Senin, 30 September 2013

Indonesia harus bangkit dari kolonialisme model baru

30 September 2013

Sindonews.com - Harga bahan pokok makanan saat ini semakin mahal. Tak hanya daging, harga sayuran pun ikut merangkak naik. Meski kondisi pertanian Indonesia diwarnai praktik impor yang cukup besar.

Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Winner Agung Pribadi mengatakan, Indonesia tidak seharusnya melakukan impor dalam hal pertanian. Tingginya impor dan rendahnya ekspor tersebut disebabkan oleh Agreement on Agriculture World trade Organizations (AoA WTO) 1995.

“Prinsip AoA itu liberalisasi perdagangan, yang kaki lima disamakan dengan usaha raksasa atau korporasi. Tentu saja petani kita kewalahan bersaing, tapi mau tidak mau kita sudah ratifikasi AoA," ungkap pakar ekonomi politik UMY ini, di Yogyakarta, Minggu 29 September 2013.

Winner berpendapat, AoA sama halnya dengan kolonialisme model baru. Seperti filosofi India Vandana Shiva, kolonialisme model lama menjajah tanah sedangkan kolonialisme model baru menjajah seluruh tatanan kehidupan. “Sangat tepat yang dikatakan Vandana Shiva. Oleh sebab itu kita harus bangkit dari penjajahan atau kolonialisme model baru ini," tegasnya.

Sebelumnya, Ketua Jurusan Program Studi Hubungan Internasional (HI) UMY Nur Azizah mengatakan, dengan semangat masyarakat Indonesia untuk berubah, masih ada harapan bangkitnya pertanian atau peternakan Indonesia.

"Walaupun daging disembelih di dalam negeri, tapi bibitnya dari luar negeri. Tempe yang dibuat di dalam negeri, tapi kedelai diambil dari luar negeri. Seharusnya Indonesia mampu lepas dari rezim internasional yang membelenggu pertanian ataupun perdagangan kita," imbuhnya.

http://nasional.sindonews.com/read/2013/09/30/15/788782/indonesia-harus-bangkit-dari-kolonialisme-model-baru

Indonesia Kekurangan Penyuluh Pertanian

30 September 2013

Liputan6.com, Jakarta : Indonesia ternyata banyak menemukan inovasi dan teknologi terbaru di bidang pertanian. Namun sayang, hal itu tidak bisa diimplementasikan secara optimal karena kurangnya sosialisasi ke petani.

"Bagaimana temuan tersebut disosialisasikan, itu tugas penyuluh. Tapi sekarang ini kan jumlah penyuluh kita berkurang," jelas Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan saat berbincang dengan Liputan6.com, seperti ditulis Senin (30/9/2013).

Rusman menyebutkan idealnya satu penyuluh bertugas khusus menangani satu desa. Tapi saat ini seorang penyuluh terpaksa menangani 2-3 desa. "Kalau desanya, desa pertanian itu bisa kewalahan dia sehingga ada keluhan dari petani kalau penyuluh tiarap pas ada serangan hama," jelas dia.

Untuk itu, Rusman mengaku pihaknya telah mengajukan permohonan ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk menambah formasi CPNS untuk penyuluh. Seharusnya setiap tahun jumlah penyuluh baru yang dibutuhkan sebanyak 2.000 orang, namun realisasinya jauh di bawah itu.

"Biasanya hanya ratusan, bahkan formasi yang diberikan jauh lebih rendah dari yang pensiun," ungkap Rusman. (Ndw)

oleh Nurseffi Dwi Wahyuni

http://m.liputan6.com/bisnis/read/706098/indonesia-kekurangan-penyuluh-pertanian

PBNU Kritik Indikasi Teror Pengurusan Label Halal

27 September 2013

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengkritik rumitnya pengurusan label halal yang memberatkan produsen. Hal ini menyusul maraknya pemberitaan media massa terkait justifikasi haram terhadap produk makanan yang belum berlabel halal.

Demikian kata Ketua Badan Halal Nahdlatul Ulama, Muhammad Maksum Mahfudz dalam rilis yang diterima Tribunnews.com di Jakarta, Jumat (27/9/2013). Maraknya pemberitaan bernada justifikasi haram atas produk belum berlabel halal bentuk teror terhadap produsen.

"PBNU berprinsip sertifikasi halal itu tugas pelayanan umat, sehingga jangan sampai ada teror bagi produsen makanan. Jangan sampai sertifikasi halal menjadi ajang cari uang, menjadi ajang proyek, termasuk segala bentuk kepentingan jangka pendek lainnya," ujar Maksum.

Pria yang tercatat sebagai Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada ini mengungkapkan sertifikasi halal harus halal secara keseluruhan. Meliputi produk, lurus dalam proses audit, dan inspeksi. Sehingga seluruh proses sampai dikeluarkannya sertifikasi halal tidak boleh merugikan produsen.

"Sekarang kita lihat, berapa persen sebenarnya produk yang beredar di masyarakat kita yang sudah bersertifikat halal? Tidak lebih dari sepuluh persen. Tapi lantas apakah yang sembilan puluh persen haram? Tentu tidak, kecuali ada bukti keharaman yang tidak terbantahkan,” jelas Maksum.

Dalam keterangannya Maksum juga menyoroti prinsip inklusifitas dalam labelisasi halal, yang harus sejalan dengan prinsip layanan publik. Labelisasi halal tidak boleh hanya meyasar restoran atau pelaku usaha makanan dan minuman berskala besar saja, melainkan harus juga menyentuh kelas menengeh, kecil dan mikro, seperti Warung Tegal (Warteg) dan sekelasnya.

"Tata politik negara sudah berubah, di mana sertifikasi halal sudah jadi trend dan kebutuhan masyarakat dunia. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia diperlukan kekuatan besar untuk melayani umat. Bukan lagi masanya untuk monopoli apapun, termasuk urusan sertifikasi, dan inilah jalan positif menuju fastabiqul khairaat," tambahnya.

http://www.tribunnews.com/nasional/2013/09/27/pbnu-kritik-indikasi-teror-pengurusan-label-halal

Sabtu, 28 September 2013

"Pasar Kedelai Kita Oligopoli"

23 September 2013

Konsumsi kedelai Indonesia pada 2012 mencapai 2,5 juta ton.

VIVAnews - Harga kedelai kian melambung. Di tangan perajin, harga komoditas itu telah menyentuh Rp9.000-12.000 per kilogram. Lebih tinggi dibanding harga normal Rp7.000-8.000 per kilogram.

Kenaikan harga ditengarai karena pengaruh pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Komoditas kedelai yang mayoritas diimpor telah memengaruhi harga di pasar.

Catatan Kementerian Pertanian menyebutkan, konsumsi kedelai Indonesia pada 2012 mencapai 2,5 juta ton. Padahal, produksi kedelai di dalam negeri rata-rata hanya 700-800 ribu ton per tahun. Kondisi yang kemudian ikut memicu sejumlah perajin tahu dan tempe mogok produksi.

Selain itu, penguasaan pasar oleh empat sampai lima pemasok besar swasta membuat harga keledai dapat melonjak liar. Penguasaan pasar oleh sekelompok kecil pedagang (oligopoli) dan praktik kartel harga bukan hanya sekedar tudingan, tapi juga sudah merupakan fakta di pasar kedelai kita.

Untuk mengetahui kondisi salah satu pangan strategis ini, VIVAnews mewawancarai Wakil Menteri Pertanian, Rusman Heriawan, di kantornya. Berikut petikannya:

Harga kedelai kini melambung, perajin tahu dan tempe pun sempat mogok produksi. Bagaimana Anda melihat posisi strategis komoditas pangan ini?
Begini ya, pertama yang harus kita tahu dulu, kedelai itu sebenarnya tanaman subtropis dan kurang cocok di Indonesia. Tapi, kami tetap melihat sebagai komoditas pangan strategis. Karena, sejak zaman dulu, oleh orang tua kita, kedelai memang sudah ditanam, sebagai satu-satunya bahan baku pangan yang dikonsumsi kebanyakan orang Indonesia, yaitu tahu dan tempe. Meskipun, budidaya kedelai di Indonesia lebih sulit daripada di negara subtropis seperti di Amerika, Brasil, Argentina, dan daerah Amerika Latin lainnya.

Tetapi, itu bukan alasan bagi kita untuk tidak memprioritaskan kedelai ini. Memang, kita tidak mengonsumsi kedelai secara langsung. Tapi, pada kenyataannya, yang kita konsumsi itu tahu dan tempe yang bahan bakunya 100 persen dari kedelai. Harus dilihat posisi kedelai seperti itu.

Apakah tidak bisa digantikan dengan jenis kacang-kacangan lain?
Memang, ada juga kacang-kacangan lain yang bisa dijadikan bahan baku tahu tempe. Tapi, ini masih panjang jalannya, seperti kara dan biji-bijian lainnya. Ini baru tahap pengembangan, uji coba alternatif lain di luar kedelai. Kita coba bikin tahu tempe bukan satu-satunya dari kedelai. Walaupun, belum tentu juga disukai oleh kebanyakan masyarakat yang sudah cinta tahu tempe dari kedelai.

Tapi, bukannya kita pernah swasembada kedelai?
Benar, kita pernah swasembada kedelai. Tahun 92-an mendekati 2000, pernah bisa menghasilkan kedelai 1,5 juta ton dengan luas lahan 1,5 juta
hektare. Boleh jadi, karena luasnya lebih dari 1 juta hektare, produksinya 1,5 juta ton. Waktu itu, konsumsi kedelai sekitar itu, ya, kita swasembada. Tapi, perjalanan kemari, ada perkembangan yang kurang mendorong orang menanam kedelai.

Beberapa faktor penyebab adalah dari sisi harga. Pada 1992, harga kedelai 1,5 kali harga beras. Jadi, kalau harga beras Rp4.000 per liter, harga kedelai Rp6.000 per kilogram. Sekarang kan terbalik. Harga beras Rp8.000 per liter, harga kedelai di bawah itu. Kalau pas musim panen kedelai, harganya bisa di bawah Rp5.000 per kilogram. Jadi, dari situ saja, orang bisa melihat lebih untung tanam padi daripada kedelai.

Selain itu, umumnya kedelai ditanam bukan di lahan tunggal, lahan yang ada kompetisinya dengan tanaman lain. Misalnya, pola orang tanam padi. Setelah padi, baru kedelai di lahan yang sama. Jadi, umumnya tidak ada lahan khusus untuk menanam kedelai. Itu yang kemudian harus mencari lahan baru yang
khusus dimonopoli kedelai. Misalnya di Aceh, atau daerah lain.

Berapa sebenarnya luas lahan tanam kedelai sekarang?
Luas lahan panen kini kurang dari 600 ribu hektare, sekitar 571 ribu hektare. Produksinya cuma 850 ribu ton. Kebutuhan 2,5 juta ton. Kalau dulu tahun 1992 masih 1,5 juta ton, kebutuhan bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri. Kemudian, penduduk bertambah, dan tahu tempe tidak lagi dianggap makanan orang kebanyakan, makanan golongan orang bawah. Presiden pun suka makan tahu tempe. Jadi, konsumsi tahu tempe meningkat luar biasa, sehingga konsumsinya meningkat jadi 2,4-2,5 juta ton.

Sekarang, dengan produksi 850 ribu ton, berarti cuma 30 persen dari kebutuhan kita yang 2,5 juta ton. Untuk penuhi produksi dalam negeri, terpaksa diimpor dan impor ini kebanyakan dari Amerika. Selain itu, ada dari Brasil dan Argentina.

Beberapa tahun lalu juga sempat terjadi gejolak kedelai, apakah pemerintah tidak belajar dari kasus itu?
Ini memang peristiwa ketiga kalinya yang hampir berdekatan. Tahun 2006 juga begitu. Persis setahun lalu, ada ribut-ribut kedelai, dan ketiga, ya sekarang ini. Cuma bedanya, kalau pada 2012, persoalannya suplai dunia mengecil, karena kemarau panjang di Amerika Serikat menyebabkan produksi kedelai mereka menurun. Padahal, suplai dunia ini sebagian besar dari Amerika Serikat. Kedua, konsumsi yang meningkat di China. Jadi, kalau Amerika bisa menghasilkan 80 juta ton kedelai, 60 juta ton itu diimpor ke China. Jadi, berebut. Harga kedelai pun naik karena suplai terbatas.

Kalau tahun ini, apa pemicu utama kenaikan harga kedelai?
Sekarang berbeda. Produksinya bagus, tapi ada penguatan dolar, sehingga harga dalam rupiah menjadi naik. Nah, ini kira-kira situasinya. Selain itu, importir kedelai kan terbatas, hanya 5-6 importir. Saya tidak mengatakan kartel, terlalu dini. Tapi, kan situasi pasar menjadi oligopoli, hanya ditentukan beberapa pemain. Ini juga bisa berpotensi dicurigai main harga. Walaupun ada kurs dolar yang menguat, wajar saja ada tuduhan seperti itu.

Kondisi itu yang kemudian mendorong Bulog untuk impor kedelai?
Ya, itu juga sesuai peraturan Presiden. Ada perpres yang dikeluarkan empat bulan lalu terkait penugasan Bulog untuk penyaluran kedelai dan stabilisasi harga. Kami bersyukur, Kementerian Perdagangan, walaupun terlambat, akhirnya juga mengizinkan Bulog untuk mengimpor. Bagaimana pun, pengendalian harga itu hanya bisa dilakukan kalau pemerintah menguasai stok.

Kalau seperti beras, Bulog kan menguasai stok pemerintah cukup besar, jadi bisa mengintervensi pasar. Tapi, kalau nggak punya barangnya, kedelai tidak punya, bagaimana bisa intervensi pasar. Sekarang, kami menambah penugasan pada Bulog untuk boleh impor kedelai. Tapi, impor kedelai itu pilihan terakhir, termasuk untuk Bulog. Tugasnya tetap, bagaimana dia membeli kedelai dalam negeri dari hasil petani kita sendiri. Kalau ini jalan, Bulog bisa mengimpor pada waktu yang cepat dan membeli kedelai dari petani. Dengan begitu, pemerintah punya instrumen yang tepat untuk mengendalikan harga.

Persoalan lain, kebanyakan kedelai kan masih didatangkan dari Amerika. Bagaimana pemerintah meningkatkan produksi lokal?
Tugas Kementerian Pertanian kan bagaimana meningkatkan produksi dalam negeri. Bagaimana memperbaiki budidaya kedelai supaya meningkatkan produksi kedelai dalam negeri. Nah, dua hal itu yang kami lakukan. Kami terus mencari lahan baru untuk penambahan luas lahan kedelai. Yang prospek itu di Aceh, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.

Kita nggak perlu mengembangkan di seluruh Indonesia, nggak usah latah-latah. Tapi, cukup yang mempunyai leverage atau daya ungkit besar. Jawa Timur itu yang paling besar. Sekitar 50 persen produksi kedelai lokal dihasilkan di Jawa Timur. Luas panennya 230 hektare, produksinya 374 ribu ton. Kalau bisa mengoptimalkan produksi dari daerah-daerah ini, produksi kedelai akan meningkat. Tapi, bukan berarti provinsi lain tidak boleh dikembangkan.

Berapa sebenarnya perbandingan produksi kedelai di Amerika dengan domestik?
Amerika 80 juta ton. Kita cuma 850 ribu ton. Bukan bandingannya. Selain itu, model kedelai kita kan konvensional. Di Amerika dan Brasil kan pakai GMO (genetic modified organism). Di Indonesia belum bisa diterima. Mungkin karena masalah lingkungan dan segala macam, takut membawa penyakit, bakteri atau lainnya. Tapi, lucunya, produk yang kita impor dari Amerika dan Brasil kan produk GMO, produk transgenik, yang nantinya diolah jadi tahu tempe. Sedangkan pengembangan di Indonesia masih kontroversial. Masih dikaji oleh para ahli transgenik yang ada di Indonesia. Kalau memang mau buat lompatan besar tentang kedelai, ya, pakai model GMO.

Harga pembelian pemerintah kini Rp7.000 per kilogram, otomatis petani kedelai menjadi bersemangat. Apakah ada insentif dari pemerintah?
Insentif ada dua. Pertama di hulu. On farm, kami berikan bibit unggul yang disubsidi. Mereka membelinya tidak dengan harga pasar, tapi sudah disubsidi oleh pemerintah. Untuk program-program tertentu, kami berikan gratis. Kedua, kami memberikan kredit. Kredit usaha bisa lewat KUR (kredit usaha rakyat). Persoalannya, kreditnya ada, tapi bagaimana petani bisa mengakses kredit itu. Yang ketiga adalah pengawalan dari penyuluh supaya hasilnya baik. Yang terakhir tentu harga jual yang menjanjikan.

Dari semua itu, yang berpengaruh adalah harga. Percuma juga diberi bantuan bibit murah, bagus, dan segala macam, tapi pada akhirnya, ketika dijual harganya tidak sesuai dengan harapan petani. Tapi, sekarang Rp7.000 itu sudah lumayan, sudah memberikan keuntungan 15 persen.

Kalau insentif hilir berupa apa?
Hilirnya ya harga. Harga jual yang bagus.

Berapa sebenarnya jumlah impor kedelai yang sudah dilakukan?
Tahun 2012, impornya 2,1 juta ton. Ketika itu produksinya 840 ribu ton. Sekarang, memang belum ada data. Enam bulan pertama tahun ini sudah 860 ribu ton. Jadi, impornya lebih sedikit dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Beberapa pengamat melihat ada potensi kartel dalam beberapa komoditas pangan. Kedelai termasuk di dalamnya. Tanggapan Anda?
Begini, kecenderungan kartel itu kalau ada kesempatan, ada kondisi pasarnya. Yang kedua adalah ada niat yang menentukan harga, memengaruhi harga. Kondisi pasar itu bisa memungkinkan kartel, karena pasar kedelai kita oligopoli. Supplier-nya terbatas, tapi peminatnya banyak. Itu pasar oligopoli. Oligopoli itu pasarnya sedikit dan pembelinya banyak. Itu berlaku untuk kedelai.

Yang kedua, ada nggak niatnya? Kalau tidak ada, ya, tidak apa-apa. Mencari keuntungan itu tidak apa-apa. Tapi, ya, jangan mencari keuntungan dalam kesempitan. Kalau yang bagian itu saya tidak bisa menilai. Itu bagian KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) yang bisa menyelidiki. (eh)


Arinto Tri Wibowo, Arie Dwi Budiawati

http://analisis.news.viva.co.id/news/read/444162--pasar-kedelai-kita-oligopoli-

Malaysia Tertarik Berinvestasi Pertanian di Indonesia

27 September 2013

Kuala Lumpur – Malaysia  berminat untuk investasi dalam bidang pertanian dan peternakan di Indonesia, khususnya untuk produksi padi, jagung, dan ternak sapi.

Demikian disampaikan oleh Kementerian Pertanian dalam siaran persnya, Jumat (27/9).

Minat tersebut disampaikan Menteri Azas Tani dan Agro Industri Malaysia Dato Sri Ismail Sabri bin Yakoob saat bertemu dengan Menteri Pertanian RI Suswono, Kamis (26/9) petang di Kuala Lumpur. Keduanya melakukan pertemuan di sela-sela menghadiri acara ASEAN Ministers Agriculture and Forestry Meeting .

Pada kesempatan itu Ismail Sabri menanyakan mengenai kemungkinan pengusaha Malaysia dapat berinvestasi dalam produksi padi, jagung, dan sapi. Sabri memandang Indonesia adalah negara yang potensial untuk berinvestasi di bidang pertanian dan peternakan. Selain tanahnya subur, wilayah juga sangat luas.

“Banyak pulau-pulau kosong yang tak berpenghuni, kalau kami boleh menaruh (investasi) sapi di sana kami sangat tertarik,” kata Sabri.

Sabri mengemukakan, beberapa waktu yang lalu Malaysia sangat antusias untuk investasi mencetak sawah di Indonesia. Namun karena kebijakan pemerintah Indonesia tidak membolehkan padi atau beras di bawa keluar Indonesia, maka para pengusaha Malaysia mundur teratur.

“Apakah kebijakan seperti masih berlaku atau sudah berubah,” tanya Sabri Ismail.

Sabri juga menyatakan ingin membeli jagung untuk bahan pakan ternak dari Indonesia. Selama ini Malaysia mengimpor jagung dari India, dan sejumlah negara Amerika Latin, seperti Brasil.

“Kami berpikir untuk mengubah itu. Kami ingin membeli dari Indonesia yang lebih dekat. Dan lagi kita ini serumpun, kenapa harus beli jauh-jauh,” urai Sabri.

Pertemuan Lanjutan

Menanggapi minat Malaysia tersebut, Mentan Suswono memberikan apresiasi yang tinggi dan menyambutnya dengan antusias. Mentan mengajak pihak Malaysia untuk mendetilkan hal itu dalam pertemuan lanjutan, baik di tingkat pejabat maupun tingkat teknis.

Kedua menteri sepakat untuk menggelar pertemuan lanjutan di Indonesia pada November 2013 mendatang.

Selain membicarakan soal investasi, pertemuan keduanya juga membahas soal kerjasama dalam bidang pertanian dan peternakan antara Indonesia dan Malaysia. Mentan mengungkapkan, sejatinya sejak lama antara kedua negara sudah menandatangani MoU kerjasama dalam bidang pertanian. Namun hingga saat ini belum terbentuk kelompok kerja (working group) untuk menindaklanjuti kesepakatan kerjasama tersebut.

Untuk itu Mentan Suswono mengingatkan kembali MoU tersebut dan mengajak pihak Malaysia membentuk kelompok kerja agar hasil-hasil kesepakatan dapat diimplementasikan di lapangan.

Sabri sepakat dengan usulan Mentan Suswono, dan siap membahas kesepakatan kerjasama yang dibuat oleh menteri sebelum dirinya. “Kami siap dan kita harus segera membentuk working group agar ini bisa terlaksana,” tegasnya.

Dalam pertemuan berikutnya di Indonesia soal pembentukan working group ini juga akan menjadi agenda pembicaraan.

Penulis: Faisal Maliki Baskoro/FMB

Sumber:PR

http://www.beritasatu.com/ekonomi/140828-malaysia-tertarik-berinvestasi-pertanian-di-indonesia.html

Rabu, 25 September 2013

Kabarkan Aksi Petani Indramayu Ricuh, Petisi Raih 600 Dukungan Lebih

24 September 2013

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peringatan Hari Tani Nasional yang jatuh pada 24 September ini terasa kelabu bagi Galih Andreanto, alumni Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran.

Ia dulu mengira hidup petani pasti sejahtera. Keyakinannya berubah melihat represi polisi terhadap aksi petani Indramayu, 25 Agustus.

“Mereka diseret, dipukuli, dilempari batu, ditembaki gas air mata dan peluru karet. 22 petani terluka, 49 sepeda motor petani dirusak. Polisi juga menetapkan 5 petani jadi tersangka,” kata Galih dalam petisi www.change.org/bebaskanpetani, Selasa(24/9/2013).

Dalam sehari, petisi Galih tersebut didukung 600 orang lebih dari berbagai daerah. Donni Robbiansyah, penandatangan petisi berpendapat, negeri ini sudah penuh ironi.

"Di saat yang sama pelaku kekerasan memiliki energi untuk melakukan kekerasannya berasal dari makanan yang sebelumnya diproduksi petani,”ujarnya.

Awalnya petani yang tergabung dalam Serikat Tani Indramayu (STI) melakukan aksi damai menolak rencana pembangunan Waduk Bubur Gadung. Tak disangka, aparat yang seharusnya netral dalam penanganan konflik agraria, justru melakukan tindak kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani.

Sebanyak 30 orang (petani, mahasiswa, termasuk Sekjen STI sekaligus DN KPA Wilayah Jabar Banten) ditangkap kepolisian setempat.

Galih bercerita pada 11 September 2013, aparat Polri, TNI dari kesatuan ARHANUD, Kodim Indramayu, Perhutani, Pemuda Pancasila dan sejumlah preman menyisir basis-basis STI. Empat gubuk rusak, satu sepeda motor terbakar dan enam petani dipaksa keluar dari STI.

“Petani itu pahlawan negeri karena memberi makan elemen masyarakat. Tapi diperlakukan layaknya bukan manusia,” lanjut Galih.

Pendiri Change.org Indonesia Arief Aziz menyatakan, cukup lama bagi galih memulai petisi dan melalui petisi ini.

“Galih langsung menyebut Kapolda Jabar Suhardi Alius untuk segera membebaskan petani Indramayu. Semoga mendapat tanggapan positif,” kata Arief.

http://www.tribunnews.com/nasional/2013/09/24/kabarkan-aksi-petani-indramayu-ricuh-petisi-raih-600-dukungan-lebih

Hari Tani, Ratusan Orang di Boyolali Aksi Tolak Impor Pangan dan Tembakau

24 September 2013

Muchus Budi R. - detikNews

Boyolali - Ratusan petani menggelar mendatangi DPRD Boyolali untuk menggelar aksi memperingati Hari Tani Nasional. Mereka mendesak Pemerintah menghentikan impor pangan dan tembakau. DPRD setempat mendukung sikap petani dan berjanji akan meneruskan aspirasi petani tersebut ke DPR RI.

Aksi digelar di jalanan depan kantor DPRD Boyolali, Selasa (24/9/2013). Aksi itu diikuti ratusan petani dari sejumlah organisasi tani dam LSM yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Peduli Pangan Boyolali. Mereka melakukan orasi-orasi mendesak Pemerintah menjalankan kewajibannya melindungi nasib petani.

Korlap aksi, Syukur Fahrudin, mengatakan aksi digelar mengingat hingga saat ini kesejahteraan petani masih terpuruk dan semakin diperparah oleh kebijakan Pemerintah tidak mempedulikan nasib petani. Salah satu yang menjadi sorotan mereka adalah kebijakan Pemerintah membuka kran impor pangan.

"Di tengah musim panen raya, Pemerintah justru melakukan impor pangan secara besar-besaran. Produk pertanian asing menguasai dan membanjiri pasar dan merusak harga produk pertanian dalam negeri. Pemerintah harus menghentikan impor pangan dan tembakau, kalau tidak ingin melihat petani terlempar ke jurang kemiskinan massal," ujarnya.

Selain itu mereka juga mendesak Pemerintah membuat UU perlindungan dan pemberdayaan petani. Pemerintah juga didesak mencabut UU yang dinilai tidak pro-petani seperi UU pengadaan tanah untuk pembangunan publik, UU sumber daya air dan UU perkebunan.

Aksi tersebut mendapat dukungan dari DPRD setempat. Ketua DPRD Boyolali, S Paryanto, langsung bergabung bersama peserta aksi dan bahkan tampil memberikan orasi.Dalam orasinya, Paryanto menyatakan dukungannya atas aspirasi petani. Sebagai bentuk dukungan, DPRD Boyolali akan melayangkan surat resmi ke DPR-RI mengenai tuntutan para petani.

Pernyataan itu diulangi lagi oleh Paryanto usai berdialog dengan 15 orang perwakilan massa aksi di gedung dewan bersama sejumlah anggota DPRD lainnya. "Kami sangat mendukung. Kami akan mengirim surat resmi ke DPR RI untuk menolak impor pangan," tegas Paryanto.

http://news.detik.com/read/2013/09/24/135807/2367828/1536/hari-tani-ratusan-orang-di-boyolali-aksi-tolak-impor-pangan-dan-tembakau

Pemerintah Didesak Lindungi Para Petani

24 September 2013

Oleh : Heru Suyitno

Magelang, Antara Jateng - Puluhan warga yang tergabung dalam Komite Pimpinan Kota Partai Rakyat Demokratik Kabupaten Magelang berunjuk rasa di Kantor Dinas Pekerjaan Umum Energi dan Sumberdaya Mineral kabupaten setempat, Selasa, mendesak pemerintah untuk melindungi para petani.
Aksi untuk memperingati Hari Tani Nasional 2013 tersebut, massa selain berorasi, juga membawa berbagai atribut seperti bendera, spanduk, dan poster.

Aksi di bawah pengawalan satu peleton satuan pengendali massa Polres Magelang berjalan aman dan tertib.

Pada aksi tersebut, massa menuntut supaya pemerintah lebih berpihak kepada para petani dalam menuangkan setiap kebijakan.

Koordinator Aksi, Catur Budi, mengatakan sejauh ini pemerintah dinilai semakin tidak propetani.

"Buktinya masih adanya impor komoditas pertanian seperti beras, kedelai dan sayuran," katanya.

Mereka mendesak pemerintah untuk menyelesaikan sengketa agraria di Indonesia.

"Setiap ada konflik agraria selalu ada kepentingan masyarakat banyak yang dikalahkan oleh kepentingan segelintir orang yang berkuasa," katanya.

Selain menggelar orasi, perwakilan massa berdialog dengan Kepala DPU ESDM Kabupaten Magelang, Sutarno. Mereka mendiskusikan tentang pengelolaan sumberdaya mineral di Kabupaten Magelang.


Editor : Mahmudah

http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=84821/Pemerintah-Didesak-Lindungi-Para-Petani

Petani Berunjuk Rasa di Istana Negara

24 September 2013

TEMPO.CO, Jakarta - Ratusan orang merayakan Hari Tani Nasional dengan berunjuk rasa di depan gedung Istana Negara, Jakarta Pusat. Mereka terdiri dari Serikat Petani Indonesia (SPI), Koalisi Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Gerakan Reforma Agraria, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Ketua SPI, Achmad Yakub, mengatakan bahwa ada dua tuntutan yang ingin disampaikan di demo ini. Pertama, mendesak pemerintah menaikan harga kedelai petani lokal. Alasannya, harga kedelai lokal hanya Rp 7000 per kilogram. "Setidaknya di tingkat petani Rp 8.500 per kilogram," ujar Achmad kepada Tempo, Selasa, 24 September 2013.

Menurut Achmad, pemerintah tidak pernah berpihak kepada petani kedelai lokal. Itu dapat dilihat dari keputusan pemerintah yang mendatangkan kedelai impor untuk mengatasi kelangkaan bahan baku tempe dan tahu itu di Tanah Air. Harga kedelai impor yang didatangkan pemerintah sekitar Rp 8300 per kilogram. "Akibatnya banyak petani yang tidak mau lagi menanam kedelai," ujarnya.

Tuntutan kedua, Achmad menjelaskan, tentang lahan pertanian. Menurut dia, jumlah petani yang memiliki lahan pertanian semakin menyempit. Kini, lahan-lahan dikuasai perusahaan pertanian. Jumlahnya pun bertambah dari 1.475 perusahaan di 2003 menjadi 5.486 perusahaan pada 2013. "Bagaimana produktivitas mau naik, tanah saja tidak ada," ucapnya.

Massa yang berjumlah sekitar 300 orang itu tiba di depan Istana Negara jam 12 siang. Sebelumnya, pendemo yang membawa berbagai atribut seperti spanduk dan bendera itu, berunjuk rasa di depan Mahkamah Agung dan Kementerian Pedagangan. Berdasarkan pantauan, demo berlangsung tertib dan tidak menimbulkan kemacetan di sekitar Jalan Medan Merdeka Utara.

Demo tersebut diamankan ratusan aparat kepolisian. Kepala Polsek Gambir, Komisaris Kasmono mengatakan, pasukan pengamanan yang diturunkan untuk demo ini sekitar 200 personel. "Gabungan dari Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, dan Polsek Metro Gambir," ujarnya.

SINGGIH SOARES

http://www.tempo.co/read/news/2013/09/24/173516127/Petani-Berunjuk-Rasa-di-Istana-Negara

Korupsi benih Kementan, Kejagung periksa mantan komisaris PT SHS

24 September 2013

Kejaksaan Agung (Kejagung) telah memeriksa mantan Komisaris PT Sang Hyang Seri (SHS), Memed Gunawan hari ini. Pemeriksaan tersebut terkait dengan mekanisme penyusunan rencana kerja anggaran perusahaan SHS yang diduga mempunyai keterlibatan dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan benih oleh SHS di Kementerian Pertanian beberapa waktu yang lalu.

"Memed Gunawan, Mantan Komisaris PT SHS datang pukul 9 pagi tadi, diperiksa terkait dengan mekanisme penyusunan rencana kerja anggaran perusahaan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum, Setia Untung Arimuladi, di Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (24/9).

Selain memeriksa Memed, Kejagung juga telah memeriksa saksi lainnya dalam kasus tersebut, yakni Mantan Kepala Biro SPI SHS, Nirwana Junyus. "Yang bersangkutan (Nirwana) diperiksa mengenai temuan-temuan yang dilakukan oleh Satuan Pengawasan Internal (SPI) mengenai pelaksanaan penyaluran dan pengadaan benih oleh SHS," ujarnya.

Kejagung juga telah meningkatkan status kasus ini dari penyelidikan ke penyidikan lantaran pada saat penyelidikan ditemukan bukti-bukti permulaan adanya penyalahgunaan dalam proyek tersebut. Bukti tersebut mengenai rekayasa pada proses pelelangan yang memenangkan SHS, biaya pengelolaan cadangan benih nasional sebesar 5 persen dari nilai kontrak yang tidak disalurkan pada kantor regional di daerah, rekayasa penentuan harga komoditi, pengadaan benih program cadangan nasional fiktif.

Selain itu, Kejagung juga menemukan adanya pengadaan benih kedelai fiktif, penggelembungan volume dan harga benih kedelai, serta penyaluran subsidi benih yang tidak sesuai dengan peruntukan.

Sebelumnya pihak Kejagung telah menahan empat orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan benih oleh PT SHS di Kementerian Pertanian. Para tersangka yang ditahan itu adalah; mantan Direktur Keuangan dan SDM SHS pada 2008-2011, Rachmat; mantan Direktur Produksi PT SHS tahun 2008-2011, Yohanes Maryadi Padyaatmaja; mantan Direktur Litbang PT SHS tahun 2008-2011, Nizwan Syafaat; dan Dirut PT SHS, Kaharuddin.

Sampai kini, keempat tersangka tersebut ditahan di Rumah Tahanan Salemba Cabang Kejaksaan Agung (Kejagung) selama 20 hari yang dimulai sejak 5 September 2013 sampai 24 September 2013.
[mtf]

http://www.merdeka.com/peristiwa/korupsi-benih-kementan-kejagung-periksa-mantan-komisaris-pt-shs.html

Selasa, 24 September 2013

Pembunuhan Petani Tebu

24 September 2013

Prof Dr M Maksum Machfoedz.

STABILISASI sapi masih tidak berarti. Diselingi silih-berganti oleh krisis bawang merah, bawang putih, cabe merah, cabe rawit dan banyak lagi produk horti. Disusul kemudian krisis tahu-tempe, karena pelangkaan kedelai demi tuntutan bebas cukai. Belum juga usai urusan kedelai, meski sudah diloloskan tuntutannya dengan jawaban KIB-II, Kabinet Indonesia Bersatu, yang menghapuskan pajak importasi kedelai dari 5% menjadi nol persen. Krisis lain mencuat lagi, ditandai oleh gerakan ribuan anggota APTRI, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia, yang mendemo KIB-II karena pembunuhan petani tebu rakyat dalam negeri.

Tidak berlebihan jikalau disebut pembunuhan petani. Tidak hanya pembunuhan petani tebu yang sedang terjadi. Akan tetapi pembunuhan peternak, petani dan nelayan (PPN). Nyaris tidak bisa dibedakan antara kebijakan dan kebiadaban tataniaga. Nyatanya, tidak sedikit kebijakan yang lebih tepat disebut sebagai kebiadaban, biang ketidakadilan bagi jutaan produsen mikro, PPN RI. Kata RI ditegaskan karena, KIB berlebihan memanjakan importasi.

Bisa disimak beberapa kasus komoditas yang disebutkan. Masih ditambah pula sederetan komoditas penting PPN seperti garam, jagung, beras, susu, singkong dan sebagainya. Pangkal kesengsaraan dan penggerogotan kesejahteraan PPN tidak pernah berubah. Nyaris, semuanya berpangkal kepada kebijakan pembiadaban tataniaga yang tidak pro rakyat, mengorbankan PPN untuk memanjakan berlebihan kepentingan konsumen dan sekaligus menjadi tumbal nasional pengendalian inflasi berbasis impor.

Dalih kepentingan konsumen, keterbatasan daya beli dan pengendalian inflasi makin menjadi- jadi. Sepertinya mulia sekali orientasi kebangsaannya. Padahal, rasionalitas tersebut adalah dalih klise belaka, sulapan. Kepentingan yang sebenarnya adalah tujuan jangka pendek, memperoleh rente importasi para pemilik uang dan kroni, dengan segala gratifikasi. Mudah ditengarai ketika dilakukan pemetaan terhadap segala krisis tata niaga yang menimpa.

Untuk kasus sapi misalnya, 5.9 juta peternak miskin berikut jutaan keluarga tanggungannya, harus menerima nasib kebanjiran impor, demi murahnya daging sapi bagi konsumen, 16% saja warga Indonesia, konsumen menengah keatas. Begitu pula yang terjadi pada petani tebu. Dengan dalih sama, negara ini semakin banjir gula rafinasi berbasis gula mentah importasi yang rentenya dinikmati segelintir pemilik modal kelas tinggi.

APTRI bergolak. APTRI menuntut keadilan atas kebijakan pembangunan yang selama ini dipelintir dengan berbagai dalih, bahkan sampai upaya legalisasi. Referensi APTRI sangatlah kuat, yaitu SK Menperindag nomor 527/ 2004. Tetapi dikhianati sendiri oleh instansi terkait dalam operasionalisasi.

Pembiaran KIB-II terhadap membanjirnya gula rafinasi dalam pasar gula dalam negeri dan merebaknya pendirian pabrik gula rafinasi, merupakan pelanggaran legal. Apa yang terjadi adalah melawan ketentuan SK tersebut yang mengamanatkan bahwa importasi gula mentah, raw sugar, hanya diperuntukkan bagi industri makanan dan minuman, serta pantang masuk pasar gula RI.

Perihal lain yang lebih fatal lagi adalah pelanggaran terhadap SK 527 yang menyatakan bahwa importasi raw sugar hanya boleh dilakukan oleh perusahaan industri. Dalam kasus ini KIBII telah melakukan pembiaran importasi gula mentah dilakukan oleh perusahaan yang bukan termasuk kategori perusahaan industri, tetapi perusahaan perdagangan. Canggihnya KIB-II, ketika muncul protes diterbitkanlah SK: 376/M-DAG/SD/3/2012 sebagai legalisasi.

Dalam konteks bernegara, krisis pangan nasional, mulai dari membanjirnya importasi sapi, kedelai dan sebagainya. Ketika ditargetkan swasembada 2014, sampai dengan penerbitan SK 376 yang tidak sejalan dengan SK 527 sebagai legalisasi rente, menunjukkan fakta teramat menarik. Inkonsistensi betul-betul menjadi karakter kepemimpinan KIB-II. Fatalnya, kebijakan sendiri bahkan bisa dilanggar dengan pembijakan dan legalisasi yang tidak sejalan dengan target dan janji legalnya sendiri, sekedar demi pelampiasan syahwat jangka pendek sang kroni.

Pertanyaan publiknya, jikalau KIB-II senantiasa mencla-mencle begini, negara ini sepertinya tidak lagi ada gunanya ya? Sungguh diperlukan tata-ulang.

(Penulis adalah Staf Pengajar TIPFTP-UGM dan Ketua PBNU)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/2215/pembunuhan-petani-tebu.kr








BPK Sebut Kuota Gula Rafinasi Lebihi Kebutuhan

23 September 2013

REPUBLIKA.CO.ID, KUDUS--Audit pendahuluan yang dilakukan BPK menemukan bahwa kebutuhan industri makanan dan minuman terhadap gula rafinasi tidak sebesar kuota yang diberikan pemerintah yakni 2,265 juta ton.

"Akibatnya, potensi perembesan gula rafinasi hingga ke pasar sangat besar," ujar anggota BPK RI, Ali Masykur Musa di sela-sela dialog dengan petani tebu di aula Pabrik Gula Rendeng Kudus dalam rangka supervisi sektor pangan di Jateng, di Kudus, Senin (23/9).

Perembesan gula rafinasi di pasar, imbuhnya, membuat nasib petan kian  terpuruk, mengingat harga gula impor tersebut lebih murah dibanding produk gula pasir lokal.

Para petani, kata dia, terpaksa harus menanggung biaya produksi yang cukup tinggi dan tidak sebanding dengan harga jual gula petani.

Apabila kondisi tersebut dibiarkan, kata dia, ketahanan pangan terancam karena petani akan meninggalkan ladang-ladang produksi pangan dan beralih menjadi buruh pabrik atau pedagang pangan yang membuat program swasembada pangan nasional semakin jauh dari kenyataan.

Ia menganggap, pemerintah terlalu longgar memberikan izin impor gula mentah dan izin pendirian pabrik gula rafinasi. Kondisi itu membuat impor gula terus meningkat dan jumlah pabrik gula rafinasi terus bertambah dari semula satu kini mencapai 11 pabrik.

Padahal, lanjut dia, kebijakan tersebut telah menjadi disinsentif untuk para petani, sehingga dalam jangka panjang mereka akan enggan menanam tebu dan pasar gula nasional akan semakin dibanjiri gula impor.

Untuk melindungi petani tebu, kata dia, pemerintah perlu menerapkan kebijakan tarif impor guna meminimalkan marjin harga gula internasional dan domestik, serta mempercepat proses peningkatan produksi gula dalam negeri lewat penyediaan kredit, benih, pupuk murah, proses produksi dan pascaproduksi.

"Tanpa kebijakan propetani, program swasembada pangan nasional sulit terwujud dan akan semakin tergantung pada impor," ujarnya. Negara liberal sekelas Amerika Serikat, imbuhnya,  juga memproteksi petani dan sektor pertanian mereka dengan berbagai subsidi dan insentif.

Redaktur : Ajeng Ritzki Pitakasari   
Sumber : Antara   

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/13/09/23/mtkwbq-bpk-sebut-kuota-gula-rafinasi-lebihi-kebutuhan

Senin, 23 September 2013

Impor Pangan Makin Menggila

21 September 2013

Ini Kebijakan Pemerintah atau Begundal Kapitalis?

Analisis

Oleh: Danil’s

PEMERINTAHAN SBY-Budiono kembali menunjukan sikap tidak konsistennya membangun ekonomi pertanian yang berbasis produksi dalam negeri. Sikap Wakil Presiden, Budiono, yang memerintahkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) agar memberikan izin kepada siapapun yang ingin mengimpor kedelai, adalah salah satu fakta tentang kebijakan pemerintah yang pro kapitalis.

Jika dilihat dari berbagai kebijakan pemerintah yang selalu mengatasi krisis pangan dengan importasi, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah sekarang adalah “begundalnya” kapitalis. Pemerintah tidak mau bekerja keras membangun ekonomi pertanian yang berbasis produksi dalam negeri.

Sepintas, impor adalah cara mudah untuk mengatasi krisis bahan pangan, termasuk kedelai. Namun, sesungguhnya impor adalah gaya kapitalis dalam menjajah rakyat tani nasional. Para pengusaha hitam yang “didukung” pemerintah, membuat bahan pangan tertentu menjadi langka dan mahal. Kemudian, barulah mereka membuka kran impor lebar-lebar. Sehingga hasilnya adalah, para petani nasional tidak berdaya dan bangkrut dengan sendirinya.

Yang lebih gila lagi, meskipun Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) belum memiliki pengalaman impor kedelai, namun Kemendag telah memberikan izin impor sebanyak 125 ribu ton kepada mereka, atau setara 11,36 persen dari total kedelai yang akan di impor.

Terlihat jelas, bahwa pemerintah hendak melepas tanggungjawab sebagai penyelenggara negara, dengan melepas para perajin Tahu dan Tempe yang sama sekali tidak memiliki pengalaman untuk bertarung sendiri-sendiri melawan kehendak dan kekuasaan kartel impor kedelai. Hasilnya, tentu saja mereka akan kalah telak. Tidak percaya? Lihat saja hasil akhirnya nanti........ !!!

Kebijakan impor dan pembebasan bea masuk impor kedelai ini adalah kebijakan yang menjajah. Jadi pantas saja rupiah semakin tidak bernilai dimata internasonal. Karena tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang hobi menyelesaikan persoalan krisis pangan dengan importasi, tanpa berusaha membangun kembali produktifitas dan semangat bertani para petani dalam negeri.

Program Pembodohan

Lihatlah program-program pembodohan yang dibuat oleh pemerintah bagi para petani nasional, seperti gerakan penanaman 1 miliar pohon. Bagi para petani terpinggir yang tidak diberikan kemudahan untuk mengakses permodalan, program itu dianggap sebagai berkah yang harus disambut baik. Sehingga lahan-lahan sawah tadah hujan dan bahkan yang masih produktif pun habis ditanami pohon Sengon dan Jabon. Padahal jika memang pemerintah komitmen membangun ketahanan pangan yang berbasis produksi dalam negeri, sesungguhnya lahan-lahan itu sangat produktif untuk penanaman padi, kedelai, jagung, dan tanaman-tanaman pangan lainnya.

Begitu juga generasi bangsa yang selama ini keras menolak penindasan terhadap rakyat tani miskin. Mereka dijejali dengan seminar-seminar dan program pembibitan pohon Sengon dan Jabon. Akibatnya, mereka terbuai dan melupakan pertanian pangan yang telah membesarkan bangsa ini. Mereka tidak lagi perduli melihat alih fungsi lahan dan impor pangan yang semakin menggila. Dan karena otak mereka telah dijejali dengan program-program pro kapitalis, mereka pun akhirnya turut membodohi saudara-saudaranya sendiri (rakyat tani miskin-Red).

Andai saja generasi bangsa ini sadar, betapa mereka telah ditarik masuk kedalam jurang kejatuhan yang sangat dalam, mungkin masih ada harapan menyemangati rakyat tani untuk kembali bercocok tanam. Andai saja generasi bangsa ini berani menolak diberikan tanggungjawab program pembodohan, yang sengaja dirancang oleh kaum kapitalis bersama begundal-begundalnya dipemerintahan, mungkin masih ada harapan untuk melepaskan bangsa ini dari cengkeraman kapitalis. Dan seadainya saja generasi bangsa ini sadar, bahwa mereka tengah menanggung kejahatan kaum kapitalis yang membabat habis hutan-hutan tropis Indonesia, mungkin masih ada harapan untuk membangun ketahanan pangan yang berbasis produksi dalam negeri.

Tapi faktanya, generasi bangsa ini sudah jauh masuk kedalam perangkap yang dibangun para pengusaha kapitalis, yang didukung oleh “begundal-begundalnya” di pemerintahan. Sehingga mereka pun lupa, betapa “jahatnya” penyelenggaraan negara saat ini.

Tidakkah generasi bangsa ini sadar, bahwa penanaman Sengon dan Jabon itu adalah pengganti hutan-hutan tropis Indonesia, yang telah dibabat habis oleh para pengusaha kapitalis? Kenapa generasi bangsa ini mau menanggung seluruh dosa para pengusaha kapitalis dan penyelenggara negara yang korup? Kenapa tidak fokus membangun pertanian dan menolong rakyat tani yang tengah dijajah, baik oleh kartel-kartel impor pangan, maupun oleh begundal-begundalnya yang sudah menguasai setiap lini pemerintahan?

Jika saja generasi bangsa ini masih memiliki nurani untuk menolong saudara-saudaranya sendiri (rakyat tani miskin), agar bisa bangkit dan kembali membangun kedaulatan pangan, maka peluangnya masih sangat terbuka. Tentu saja dengan menolak segala program propaganda dan pembodohan, menolak alih fungsi lahan, menolak impor bahan pangan, dan kembali fokus menggerakkan para petani nasional agar mau menanam bahan-bahan pangan strategis. Sebab, jika mengharapkan hal itu dilakukan oleh pemerintah, maka sama saja seperti pungguk merindukan bulan. Karena faktanya, pemerintah lebih senang menangani krisis pangan menggunakan bahan pangan impor, ketimbang membuat program yang dapat menggenjot produksi rakyat tani nasional. Tidak percaya? Lihat saja anggaran bagi program pertanian, berapa yang dialokasikan oleh pemerintah..........!!! ***

Penulis Adalah:
Koordinator Barisan Rakyat Anti Korupsi (Barak), dan
Pemred Barak Online Group







http://danilbarak.blogspot.com/2013/09/impor-pangan-makin-menggila.html#more

BRI Targetkan Kredit Pertanian Tumbuh 30 Persen

23 September 2013

JAKARTA, KOMPAS.com - Bank Rakyat Indonesia (BRI) berkomitmen menjaga penyaluran kredit ke sektor pertanian. Hingga Juni lalu, kucuran kredit BRI ke sektor pertanian mencapai Rp 33,1 triliun, naik 67 persen dari periode yang sama tahun lalu.

"Kami menargetkan pertumbuhan kredit sektor pertanian sebesar 20 persen-22 persen tahun ini," ucap Muhamad Ali, Sekretaris Perusahaan BRI, akhir pekan lalu.

Target pertumbuhan itu terbilang cukup tinggi. Padahal, menurut Ali, seluruh kredit yang disalurkan BRI ke sektor pertanian masih di luar kredit yang dikucurkan melalui anak usahanya yaitu BRI Agro.

Demi memaksimalkan potensi pertanian, BRI juga menggandeng Institut Pertanian Bogor untuk mendirikan Agribisnis Development Center Pasir Sarongge di Cianjur, Jawa Barat.

"Itu merupakan wujud BRI dalam rangka menggarap potensi agribisnis di Indonesia, sekaligus sebagai wujud upaya BRI memberdayakan petani," kata Ali.

Keseriusan BRI menyalurkan kredit sektor pertanian tak main-main. Hampir seluruh jenis pertanian dan perkebunan disasar, antara lain palawija, hortikultura, pembibitan dan pembenihan, penangkapan ikan, hutan alam, perkebunan teh, kopi, tebu, budidaya biota air tawar dan payau. ( Issa Almawadi)

Sumber : Kontan
Editor : Bambang Priyo Jatmiko

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/09/23/1023274/BRI.Targetkan.Kredit.Pertanian.Tumbuh.30.Persen




Liberalisasi Membuat Indonesia Terpuruk

23 September 2013

JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah lembaga swadaya masyarakat mengingatkan, tekanan liberalisasi perdagangan dan investasi kepada Indonesia dalam forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik atau APEC awal Oktober mendatang akan sulit dihindari.

Negara-negara maju akan memanfaatkan momentum krisis ekonomi Indonesia untuk membuka keran proteksi pasar.

Jika tekanan liberalisasi ini disetujui pemerintah, menurut Ketua Koalisi Anti-Utang Dani Setiawan, dalam jumpa pers terkait penyelenggaraan APEC, Minggu (22/9), Indonesia akan terpuruk, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial.

Dengan kondisi infrastruktur yang belum memadai, produktivitas pertanian yang kecil, dan tidak jelasnya komitmen pemerintah mengembangkan industri manufaktur, pasar di dalam negeri akan diisi barang-barang impor. Selain itu, Indonesia juga akan terus didikte oleh kekuatan- kekuatan asing.

”Politik pemerintah mengelola bangsa ini dengan sistem ijon kepada negara-negara kapitalis lewat kesepakatan-kesepakatan multilateral yang merugikan. Tidak ada keuntungan bagi bangsa ini dari liberalisasi perdagangan,” katanya.

Dani khawatir, dengan kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami defisit dalam jumlah besar, pemerintah membutuhkan pasokan modal (pinjaman) luar negeri secara cepat. Akhirnya, forum APEC, yang akan diselenggarakan pada 1-8 Oktober, di Bali, dianggap cukup strategis untuk melobi negara-negara maju, antara lain Amerika Serikat, Jepang, Australia, China, dan Korea Selatan, untuk memberikan pinjaman baru.

”Ini membuka peluang untuk liberalisasi perdagangan dan investasi di banyak sektor, termasuk pertanian dan manufaktur. Dan itu sangat mungkin. Amerika Serikat, misalnya, sangat berpengalaman menggunakan kesempatan seperti ini untuk kepentingan politik ekonomi mereka,” ujar Dani.

Dengan liberalisasi perdagangan ini, bea masuk barang impor juga akan ditekan hingga nol persen.

Sejumlah laporan mengetengahkan, Indonesia saat ini mengalami tiga defisit akut, yaitu defisit perdagangan dan transaksi berjalan, defisit neraca pembayaran, serta defisit dalam APBN yang semakin melebar, mencapai Rp 200 triliun.

Tiga kondisi ini hanya bisa diatasi dengan gelontoran dana besar dan cepat dari pinjaman luar negeri.

Menurut Dani, yang paling mungkin dilakukan pemerintah di forum APEC nanti adalah mengundur jadwal liberalisasi, terutama di sektor industri pangan dan manufaktur.
Ketergantungan

Koordinator Petisi 28 Haris Rusly menyatakan, dengan mekanisme pinjaman luar negeri, selain mengalami ketergantungan pembiayaan, utang menjadi alat politik negara-negara kapitalis. Utang menjadi instrumen utama untuk memastikan dilaksanakannya kebijakan reformasi struktural meliberalisasi ekonomi Indonesia sesuai dengan kerangka APEC atau badan lain, semisal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Bank Indonesia mencatat, utang luar negeri pemerintah dan swasta per Agustus 2013 mencapai 257,980 miliar dollar AS dengan kewajiban pembayaran pokok dan bunga tahun ini mencapai 41,202 miliar dollar AS.

”Utang yang terus menumpuk akan menjadi beban bagi pemerintahan dan generasi mendatang. Ini tidak adil,” kata Haris.

Menurut Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie Massardi, disepakatinya liberalisasi perdagangan dan investasi nanti menunjukkan adanya desain politik untuk menghancurkan bangsa Indonesia. Praktik itu menguntungkan pencari rente di satu pihak dan memiskinkan rakyat di pihak lain. (K01)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/130923kompas/#/4/

Menikmati Manisnya Nanas Blitar

23 September 2013

Oleh: Defri Werdiono

Sesuai namanya, queen (ratu), nanas yang banyak dibudidayakan oleh warga Blitar utara, Jawa Timur, ini memiliki rasa manis. Komoditas yang telah lama menjadi salah satu sumber pendapatan warga di Kabupaten Blitar itu berkembang baik sepanjang tahun meskipun di lahan pasir yang kering.

Selama puluhan tahun sebagian warga yang menghuni kaki Gunung Kelud di Blitar itu membudidayakan nanas. Buah yang banyak mengandung serat itu mengisi pekarangan rumah dan menjadikannya sebagai salah satu sumber pendapatan keluarga.

Roni (53) sibuk menyiangi rumput yang tumbuh di sela tanaman nanas beberapa saat lalu. Meski telah bersinggungan dengan tanaman buah yang memiliki kulit tebal itu lebih dari 25 tahun, warga Desa Sumberasri, Kecamatan Nglegok, Blitar, itu tetap mengenakan sarung tangan untuk melindungi kulitnya dari sengatan duri kecil yang ada pada nanas.

Sesekali ia mengibaskan pakaian untuk mengusir debu tebal yang menempel. Kebun nanas itu berada di tepi jalan utama desa. ”Ini kebun orang lain. Saya hanya menggarap. Hasilnya dibagi dua,” ujarnya.

Roni mengatakan, luas kebun yang digarapnya itu sekitar 2.500 meter persegi. Lahan seluas itu bisa menampung hingga 10.000 batang nanas. Selain menggarap lawan milik orang lain yang disewanya itu, ia juga memiliki lahan sendiri seluas 7.500 meter persegi. Lahan itu ditanami nanas dan kelapa. Jika semua tanaman nanas berbuah serempak dan panen, dia bisa memetik tak kurang dari 35.000 buah nanas.

Umur tanaman nanas cukup panjang. Biasanya nanas mulai berbunga pada bulan ke-13 dan memasuki musim panen pada umur 19 atau 20 bulan. Satu tanaman hanya menghasilkan satu buah.

Merawat buah yang kaya vitamin C ini tak sulit. Pemupukan cukup dilakukan tiga kali selama tanaman itu tumbuh, salah satunya beberapa minggu sebelum panen dengan tujuan untuk menyeragamkan buah. Nanas tidak membutuhkan banyak air sehingga ada sebagian petani di Blitar yang baru memulai tanam di tengah musim kemarau.

Menurut Roni, mengacu pada pengalamannya, dengan harga nanas Rp 900-Rp 2.000 per buah tergantung ukuran, kemungkinan hasil panen yang diperoleh dari lahan yang dikelolanya itu tak kurang dari Rp 9 juta. Setelah dikurangi biaya produksi sekitar Rp 600.000, keuntungan yang didapatkan paling sedikit Rp 8,4 juta.

”Saya mendapatkan separuhnya. Setengah yang lain menjadi milik orang yang memiliki lahan. Besar keuntungannya pun menyesuaikan harga pasar. Apabila harga nanas di pasaran naik, keuntungannya tentu juga semakin besar,” katanya. Harga nanas yang paling tinggi yang pernah ia rasakan adalah Rp 3.500 per buah.
Tumpang sari

Pada waktu yang hampir bersamaan, Jais (49), warga Desa Sidorejo, Kecamatan Ngegok, Blitar, juga sibuk membersihkan lahan nanas yang baru dipanen beberapa minggu lalu. Dia juga menanam nanas secara tumpang sari dengan pepaya dan kelapa. Ia juga memanfaatkan sebagian dari luas total lahannya yang mencapai 8.000 meter persegi untuk beternak ayam petelur.

Menanam nanas secara tumpang sari, menurut Jais, memiliki keuntungan berganda. Pepaya, misalnya, dari 100 pohon yang dimilikinya bisa diperoleh sekitar 200 kilogram (kg) buah sekali panen. Dengan harga Rp 2.000 per kg, uang yang dihasilkan dari pepaya saja mencapai Rp 400.000 untuk sekali panen. Padahal, pepaya bisa dipanen beberapa kali dalam setahun. Tambahan pendapatan ini, selain yang utama dari nanas, belum termasuk dari gula kelapa yang saat ini harganya mencapai Rp 9.200 per kg.

”Pendapatan utamanya tetap dari nanas. Akhir-akhir ini, banyak warga di desa ini bisa membangun rumah bagus lantaran hasil dari nanas,” kata Jais. Ia menyebutkan, biaya untuk kedua anaknya yang berkuliah di Kota Malang, Jatim, juga berasal dari hasil menanam nanas.

Nanas telah lama berkembang di Blitar utara. Warga memilih menanam nanas lantaran komoditas itu paling cocok dengan kondisi tanah yang berpasir dan kering.

Khoirul, warga Desa Kebonduren, Kecamatan Ponggok, Blitar, menambahkan, selain nanas kini warga juga mulai mengembangkan buah lain, seperti belimbing manis. Blitar adalah penghasil sejumlah buah-buahan andalan Jatim, termasuk durian, melon, dan avokad.

Sesuai catatan Dinas Pertanian Kabupaten Blitar, nanas dari kabupaten itu memiliki ciri khas yang berbeda dengan nanas dari daerah lain. Salah satunya ukuran buah yang tidak begitu besar, beratnya sekitar 1 kg, dan memiliki rasa manis. Luas lahan nanas di Blitar diperkirakan mencapai 5.000 hektar. Penghasil komoditas itu adalah Kecamatan Ponggok,
Nglegok, Gandusari, Srengat, dan Udanawu.
Kawasan pengganti

Mengenai perkembangan tanaman nanas, sejak tahun 2010 wilayah Blitar dan kabupaten tetangganya, Kediri, menjadi kawasan pengembangan oleh Kementerian Pertanian. Penunjukan kawasan itu dilakukan sebagai pengganti dari lokasi sebelumnya di Kabupaten Subang, Jawa Barat, yang dianggap kurang maksimal.

”Dari Subang digeser ke Blitar dan Kediri. Pertimbangannya karena di sini teknologinya dinilai lebih memungkinkan untuk pengembangan komoditas nanas. Teknologi itu maksudnya adalah sekali tanam langsung dibongkar,” ujar Wawan Widianto, Sekretaris Dinas Pertanian Kabupaten Blitar, yang didampingi Kusbandono, Staf Pembenihan Hortikultura.

Menurut mereka, sejak tahun 2011 mulai dikembangkan varietas nanas smooth cayene di lahan baru seluas 25 hektar. Saat ini, luas tanaman nanas jenis itu telah mencapai 50 hektar. Smooth cayene merupakan komoditas yang dianggap lebih menjual untuk ekspor lantaran bentuk fisiknya lebih besar, kandungan airnya lebih banyak, serta rasanya manis agak masam.

”Smooth cayene untuk pasar ekspor. Namun, sejauh ini produksinya belum banyak. Adapun varietas yang lama, queen, ada pasarnya tersendiri. Nanas jenis ini banyak dikirim ke sejumlah kota di Indonesia, seperti Surabaya, Jakarta, Semarang, Balikpapan, dan beberapa daerah di Sumatera,” kata Wawan.

Dalam rangka pengembangan selanjutnya, kata Wawan, Dinas Pertanian bersama Kementerian Pertanian dan Institut Pertanian Bogor (IPB) bermaksud mengintroduksi varietas middle diamond asal Kosta Rika. Ada eksportir yang membawa bibit itu ke Blitar dan saat ini masih dalam penelitian.

Nanas lokal dari Blitar utara memang lebih banyak mengisi pasar buah tradisional. Saat ini, petani yang aktif membudidayakan nanas di Blitar sekitar 400 orang dan mereka tak lagi hanya memikirkan pasar lokal, tetapi juga pasar ekspor.

http://epaper.kompas.com/kompas/books/130923kompas/#/23/

Petani Tetap Tanam Padi, Hama Merebak

23 September 2013

MADIUN, KOMPAS — Kecenderungan petani yang enggan mematuhi pola tanam membuat mata rantai makanan sulit diputus. Seperti saat ini, kecenderungan petani tetap menanam padi dan bukannya palawija menyebabkan serangan hama merebak dan mengancam tanaman padi musim kemarau II.

Di daerah lumbung padi di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, misalnya, tanaman padi yang baru berumur satu bulan banyak yang terserang wereng coklat. Kurang dari tujuh hari sudah 90 hektar tanaman padi yang diserang wereng coklat. Ada 500 hektar tanaman padi yang terancam terserang wereng coklat.

Hama wereng, penggerek batang, bahkan tikus juga mengancam sedikitnya 800 hektar lahan pertanian di Kabupaten Cirebon dan 10.000 hektar lahan pertanian di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, pada musim gadu kali ini. Sejumlah petani di daerah pantai utara Jawa Barat itu juga memaksakan tanam padi di musim kering.

Wakil Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Indramayu Sutatang, Minggu (22/9), di Indramayu, mengatakan, siklus hama menjadi tidak terputus di daerah-daerah tertentu yang menanam padi. Ini karena daerah lain sudah tidak menanam padi. Di Indramayu ada tiga kecamatan yang masih menanam padi, yakni Bangodua, Widasari, dan Tukdana.
Sisa musim tanam I

Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Madiun Mochammad Nadjib mengatakan, merebaknya hama wereng coklat ini disebabkan masih adanya sisa telur pada musim tanam kemarau I. ”Idealnya, setelah tanaman padi, pada musim kemarau II ini petani menanam palawija. Tanaman ini bisa memutus rantai makanan hama wereng sehingga tidak berkembang bahkan mati,” katanya.

Dari 38.000 hektar areal sawah di Madiun seharusnya ditanami palawija pada musim kemarau II. Namun, petani nekat menanam padi seluas 14.000 hektar.

Suyitno, petani di Kecamatan Pilangkenceng, mengatakan, diririnya bukan tidak tahu pola tanam. Namun, hasil palawija, seperti kedelai, jagung, dan ketela, sangat kecil, sedangkan masa tanam sama dengan padi, yakni empat bulan. (NIK/ETA/REK)


http://epaper.kompas.com/kompas/books/130923kompas/#/23/

Krisis Ekonomi, Kita Bisa Apa?

23 September 2013

M Jusuf Kalla ;   Wakil Presiden RI 2004-2009; Praktisi Bisnis

Negara sedang demam dan flu. Sama dengan manusia, demam disebabkan oleh virus saat daya tahan tubuh melemah. Gejalanya adalah penurunan kurs rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan.
Ekonomi Indonesia terkena imbas pengaruh luar saat kondisi ekonomi nasional sedang lemah. Krisis ekonomi Eropa dan Amerika menurunkan permintaan komoditas Indonesia. Ekspor ke Eropa, China, dan India menurun nilai dan volumenya sejak tahun 2012.

Penurunan ekspor menyebabkan pendapatan pengusaha dan masyarakat turun serta berdampak penurunan pajak. Di lain pihak, impor tetap naik karena kenaikan permintaan BBM dan barang modal untuk investasi. Akibatnya, defisit perdagangan mencapai 6 miliar dollar AS untuk Januari-Juli 2013, dengan defisit neraca pembayaran hampir 10 miliar dollar AS.

Kebijakan dalam negeri yang populis, dengan tidak mengurangi subsidi BBM walaupun harga minyak mentah sudah di atas 100 dollar AS/barrel sejak tahun 2010, membuat subsidi mencapai lebih dari Rp 300 triliun per tahun. Pemerintah tidak mampu membangun infrastruktur dan justru menyebabkan defisit APBN yang besar karena impor BBM menggerus devisa. Dalam kondisi yang sulit ini, biaya rutin negara dalam APBN 2013 dan 2014, khususnya biaya pegawai, bunga, dan cicilan utang, tetap saja tinggi. Peluang melaksanakan pembangunan semakin kecil.

Situasi ini mengkhawatirkan pengusaha yang akhirnya kurang percaya terhadap rupiah. Kurs tembus Rp 11.000 per dollar AS, apalagi secara bersamaan Fed AS akan mengurangi stimulus dana murah karena ekonomi Amerika mulai membaik.

Tidak mudah

Penyelesaian setiap krisis tidak ada yang mudah, seperti minum obat pahit atau menjalani operasi, tetapi yang terpenting adalah belajar dari krisis agar kita tidak terperosok di lubang yang sama. Kita pernah krisis hebat tahun 1997-1998 yang memaksa pemerintah menerbitkan rekap-bond Rp 650 triliun dan kita harus membayar cicilan dan bunga hingga 20 tahun ke depan. Krisis tahun 2008 berskala lebih kecil dan bisa diatasi, kecuali bagi korban skandal Bank Century.

Krisis dengan solusi yang keliru sama dengan memberi pasien obat yang salah atau malapraktik, akibatnya fatal. Kebijakan yang keliru menyebabkan krisis tahun 1997 menjadi yang terparah di Asia Tenggara. Yang pertama, upaya mengatasi inflasi dengan menaikkan bunga sesuai dengan saran IMF justru berdampak buruk. Bunga Bank Indonesia yang naik terus justru mendorong inflasi karena biaya ekonomi naik dan produksi turun. Tahun 1998, BI Rate mencapai 60 persen dan inflasi melambung pada tingkat 77 persen. Pemilik deposito makin kaya, yang miskin makin susah. Situasi makin parah dengan pertumbuhan ekonomi negatif 15 persen.

Yang kedua dan paling fatal adalah kebijakan blanket guarantee: pemerintah menjamin semua dana nasabah di bank. Ini menyebabkan penyelewengan besar-besaran. Banyak bankir sengaja membangkrutkan banknya karena dijamin penuh oleh pemerintah. Ini meninggalkan beban Rp 650 triliun, yang bunga dan cicilannya harus dibayar anak cucu kita.

Selain saran keliru IMF, upaya juga berlebihan untuk menjaga rupiah. Padahal, rupiah tidak ke mana-mana karena tidak laku diperdagangkan di luar negeri. Rupiah hanya pindah dari bank ke bank dalam negeri karena bunga tinggi.

Tahun 2008, kebijakan blanket guarantee saya tolak keras walaupun didesak oleh Menko Perekonomian/Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia serta dunia usaha, khususnya perbankan. Pendirian saya jelas, kenapa Pemerintah Indonesia yang sedang kesulitan harus menjamin bank-bank asing, bank campuran milik investor dari Singapura/Malaysia, serta bank nasional yang kaya?

Selain jaminan oleh Lembaga Penjamin Simpanan, pemegang saham dari bank tersebut seharusnya ikut bertanggung jawab. Untuk bank BUMN, karena pemegang saham adalah negara, negara turut bertanggung jawab.

Dengan sikap tersebut, disertai penghematan anggaran dan pengurangan subsidi BBM melalui konversi minyak tanah ke LPG dan menaikkan harga BBM pada Mei 2008 serta aturan monitoring devisa membuat kita dapat melalui krisis 2008 dengan baik. Hanya saja, tanpa sepengetahuan saya, Bank Century di-bail out tanpa dasar jelas.

Belajar dari krisis 1998 dan 2008, ada langkah-langkah yang harus kita tempuh.

Pertama, meningkatkan efisiensi. Terkait penyebab eksternal berupa imbas krisis Eropa dan Amerika Serikat, kita tidak bisa berbuat banyak. Yang bisa kita lakukan adalah menjaga efisiensi dalam negeri dan menjaga pasar yang ada, baik pasar ekspor maupun domestik.

Kedua, mengatasi defisit perdagangan. Meningkatkan ekspor tidak mudah dalam pasar yang sempit dan kompetitif. Fokus kita tidak pada bagaimana menjual barang, tetapi juga bagaimana penerimaan pembayaran dikelola dengan benar karena yang defisit adalah devisa. Selama ini ekspor berjalan, tetapi devisa disimpan di luar negeri. Kewajiban ekspor natural resources dengan L/C harus diperlakukan agar devisa masuk ke BI, seperti telah disetujui tahun 2008 yang kemudian dibatalkan Menteri Perdagangan.
Monitoring devisa keluar harus diperketat, seperti di Singapura, Malaysia, dan Amerika Serikat. Ini untuk memperbaiki neraca pembayaran dan hasil pajak.

Kurangi impor

Kita perlu mengurangi impor produk yang sebenarnya bisa kita produksi. Kita masih impor pangan, tekstil, hasil industri, dan BBM. Produktivitas harus ditingkatkan dan konsumsi diprioritaskan untuk produksi dalam negeri. Pengalaman 2008/2009 menunjukkan bahwa kita bisa swasembada beras.

Selain itu, perlu diselesaikan segera sejumlah proyek listrik 10.000 megawatt yang sudah terlambat tiga tahun. Program ini sebenarnya mudah, tetapi sayang tidak dijalankan serius dan sejumlah pihak takut mengambil keputusan. Jika ini terwujud, akan mengurangi impor BBM dan subsidi sewa diesel yang mahal. Selanjutnya, perlu segera didorong proyek listrik 10.000 megawatt tahap kedua agar tiga tahun lagi Indonesia masih benderang.

Begitu pula terkait dengan perizinan. Birokrasi kita masih rumit dan lamban, artinya biaya tinggi. Izin di kementerian dan urusan membangun listrik butuh waktu lama dan bertele-tele, padahal pengeluaran untuk subsidi sudah mencekik.

Untuk mengurangi defisit APBN yang bisa melebihi batas 3 persen GDP, tidak ada cara selain menghemat dan mengurangi biaya rutin negara berupa belanja barang dan modal yang tidak perlu seperti membangun kantor-kantor pemerintah baru dan perjalanan. Pembangunan sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur harus jalan terus.

Ketiga, mengurangi subsidi energi (BBM dan listrik) dengan penyesuaian harga lagi. Walaupun Juni lalu sudah naik, kenaikan itu belum cukup mengurangi defisit. Tahun 2005, BBM naik dua kali baru stabil. Memang akan berdampak pada tingkat inflasi, tetapi hanya sementara. Semua upaya penghematan harus diwujudkan, bukan dipidatokan.

Memperbaiki defisit perdagangan dan APBN akan otomatis memperbaiki neraca pembayaran karena kepercayaan dunia usaha akan baik. Pemerintah sudah mengeluarkan paket kebijakan bulan lalu, itu belum cukup, apalagi kalau hanya bersifat imbauan dan kebijakan moneter.

Beberapa kebijakan moneter kemungkinan justru akan berdampak negatif. Upaya menaikkan BI Rate, seperti pengalaman 1998, bunga dan inflasi kejar-kejaran ke atas. Begitu pula buy back saham, justru akan mendorong investor asing menjual saham. Buat apa melindungi investor asing di bisnis yang memang penuh risiko. Jika BUMN kelebihan cash, lebih baik diinvestasikan ke sektor riil. Lebih baik melindungi produsen tempe daripada investor pasar saham.

Kita tidak perlu bersikap seakan pasar saham adalah segalanya seperti pandangan orang Singapura dan Hongkong. Faktanya, kapitalisasi saham di Singapura mencapai 120 persen GDP, di Indonesia hanya 35 persen, 75 persen milik asing.

Melemahnya kurs rupiah mengakibatkan ada pihak yang rugi dan ada juga yang untung. Bagi eksportir atau daerah penghasil komoditas ekspor, justru akan naik pendapatannya dalam rupiah sehingga makin menyejahterakan. Bagi mereka dengan pendapatan tetap dalam rupiah, pendapatan riil akan turun karena inflasi.

Kenaikan BI Rate juga akan mendorong fund manager asing masuk ke SBI, yang bunganya dibayar dan dijamin BI/negara, untuk apa? Kalau dana SBI Rp 300 triliun dan kita harus membayar bunga tanpa bisa digunakan, sama saja kita dikuras.

Begitu pula pikiran dari beberapa pejabat bahwa krisis ini dapat diatasi dengan meningkatkan konsumsi. Hanya satu negara yang bisa melakukan, yaitu Amerika Serikat, karena bisa mencetak dollar untuk membeli barang dari luar. Di Indonesia, harus ada pendapatan baru konsumsi.

Belajar dari pengalaman, dalam setiap krisis yang harus diobati adalah penyebab bukan gejalanya serta obat yang paling tepat adalah peningkatan produktivitas dan penghematan. Semua perlu pengorbanan. Memberi obat yang keliru akan sangat berbahaya dan kita sudah belajar itu saat krisis tahun 1998.

http://budisansblog.blogspot.com/2013/09/krisis-ekonomi-kita-bisa-apa.html

Utopia Berswasembada Kedelai

21 September 2013

 Oleh Toto Subandriyo

    
“Kunci utama pencapaian target swasembada kedelai adalah peningkatan luas areal tanam dan panen permanen”

GONJANG-GANJING terkait dengan kedelai di negeri ini sepertinya belum akan berakhir, bahkan memasuki babak baru. Perajin tempe/tahu di sejumlah daerah telah menunaikan ancaman mogok produksi. Tuntutan utama mereka meminta pemerintah konsisten melaksanakan aturan tentang harga patokan pembelian (HPP). Menurut ketentuan tersebut, pembelian dari petani dipatok Rp 7.000/kg, sedangkan penjualan ke perajin Rp 7.450/kg.

Gonjang-ganjing seperti itu merupakan kali ketiga selama 5 tahun terakhir. Pertengahan Januari 2008, ribuan perajin tempe se-Jakarta bahkan menggelar unjuk rasa di depan Istana Negara. Mereka menuntut pemerintah segera menstabilkan harga kedelai yang kala itu tak terkendali.

Realitas itu merupakan konsekuensi logis dari ketergantungan kebutuhan kedelai impor. Tanpa upaya serius mengatasi substansi permasalahan, yaitu rendahnya produksi kedelai nasional dan tidak tercukupinya kebutuhan konsumsi dalam negeri oleh produksi domestik, persoalan itu akan selalu berulang.

Secara historis, impor kedelai Indonesia seperti dilaporkan Bokhuis dan Von Libbenstein (1932), terjadi sejak 1928 dari Manchuria, meski baru 63.000 ton/tahun. Resesi ekonomi dunia yang melanda tahun 1934 membuat pemerintah kolonial Belanda melarang impor kedelai,  menggantinya dengan program peningkatan produksi kedelai dalam negeri.

Kebetulan saat itu jumlah penduduk masih sedikit dan indeks pertanaman padi baru sekali setahun sehingga masih banyak lahan tidak ditanami (bero). Bantuan benih unggul diberikan kepada petani yang belum pernah menanam kedelai. Meski produktivitasnya baru sekitar 6 kuintal/ha, upaya itu mampu memenuhi kebutuhan kedelai domestik.

Seiring pertambahan jumlah penduduk dan konsumen tempe, kekurangan kedelai mulai terasa pada awal 1960-an. Pemerintah Orde Lama kemudian mencanangkan program peningkatan produksi kedelai pada 1964, rekomendasi dari Lokakarya Kedelai di Bogor pada tahun yang sama.

Dalam perjalanan waktu, stagnasi produksi kedelai dalam negeri mengakibatkan volume impor terus membengkak. Meski ada peluang sangat besar dalam agribisnis kedelai, animo petani untuk menanam kedelai sangat kurang. Padahal banyak program peningkatan produksi kedelai digulirkan seperti Program Gema Palagung dan Gerakan Kedelai Bangkit untuk merintis upaya swasembada kedelai pada awal 2000.

Tahun 2009 pemerintah mencanangkan target swasembada kedelai 2,7 juta ton yang diraih tahun 2011, namun target tersebut meleset dan diundur pada 2014. Target tersebut layaknya ungkapan jauh panggang dari api. Hingga akhir 2013, menurut Angka Ramalan I BPS, produksi kedelai nasional 2013 hanya 847,16 ribu ton biji kering. Apakah benar target swasembada kedelai hanya utopia?

Sebenarnya untuk mewujudkan swasembada kedelai bukan utopia karena republik ini pernah mencapai prestasi swasembada kedelai pada 1992. Tahun itu luas tanam kedelai mencapai 1,67 juta ha dengan produksi 1,87 juta ton. Sayang, luas lahan kedelai terus menurun sejak saat itu, dan tahun 2012 luas tanam kedelai nasional tinggal 566 ribu ha.

Luas Areal

Ada beberapa upaya kunci untuk bisa mencapai target swasembada kedelai. Kunci utama peningkatan luas areal tanam dan panen yang nyata dan permanen. Untuk pencapaian produksi kedelai pada tingkat swasembada diperlukan tambahan luas areal tanam 2 juta ha. Tambahan luas areal tanam ini dutamakan pada lahan kering bukaan baru yang secara khusus diperuntukkan bagi pengembangan kedelai.

Menurut Sumarno dan Muchlish Adie (2012), terdapat beberapa keuntungan perluasan areal tanam kedelai pada lahan kering. Pertama; tidak terjadi persaingan antarkomoditas pangan lainnya. Kedua; penambahan areal tanam lebih bersifat berkelanjutan. Ketiga; skala usaha petani dapat lebih dioptimalkan. Keempat; kenaikan produksi kedelai lebih nyata.

Upaya tak kalah penting untuk peningkatan produksi kedelai adalah pengembangan riset dan teknologi pertanian. Produktivitas rata-rata nasional saat ini yang baru 14,82 kuintal/ha dapat ditingkatkan melalui inovasi varietas unggul baru dan sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Saatnya kita memanfaatkan teknologi transgenik genetically modified organism (GMO) untuk mendapatkan benih unggul dengan produktivitas tinggi.

Bukan hanya itu, pemerintah juga harus memberikan insentif lain berupa jaminan sarana infrastruktur dan sarana produksi, termasuk pembiayaan usaha petani kedelai. Ironis, meski jadi pilar  pembangunan, pertumbuhan kredit sektor pertanian jauh tertinggal dari sektor ekonomi lainnya. Menurut data BI per April 2013, total portofolio kredit ke sektor pertanian secara luas hanya 5,2% dari total penyaluran kredit.

Suka tidak suka pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan harga jual kedelai produksi petani domestik dan jaminan penjualan kepada perajin. Selain utu, melaksanakan secara konsisten mekanisme harga dasar dan harga maksimal. Insentif paling signifikan yang memengaruhi animo petani untuk menanam komoditas tertentu adalah jaminan harga jual yang memadai terhadap komoditas itu. (10)


— Toto Subandriyo, alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed, Asisten Adiminstrasi Pem­bangunan Sekda Kabupaten Tegal

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/09/21/237550/10/Utopia-Berswasembada-Kedelai

Swasembada Kedelai Hanya Soal Kemauan

22 September 2013

TEMPO.CO, Jember--Upaya untuk melepaskan diri dari ketergantungan impor kedelai, dinilai hanya soal kemauan. Sebab menurut peneliti dan dosen Fakultas Pertanian Universitas Jember,  Suyono MS, keinginan dan upaya pemerintah mewujudkan swasembada kedelai selama ini hanya retorika belaka.

"Swasembada kedelai sebenarnya hanya tinggal keseriusan untuk melaksanakan. Kita punya lahan luas, teknologi dan sumber daya manusia. Sungguh-sungguh atau tidak untuk merdeka dan berdaulat di bidang pangan, termasuk kedelai," ujar dia, Minggu, 22 September 2013.

Ahli kedelai itu menambahkan, harga kedelai yang melambung hingga menembus harga Rp 9 ribu hingga Rp 10 ribu perkilogram, merupakan harga tertinggi sepanjang sejarah harga kedelai di Indonesia. Dalam kasus itu, kata dia, menunjukkan Indonesia masih belum siap menghadapi gejolak ekonomi dunia karena masih bergantung pada impor.

Menurut dia, ada tiga hal yang menyebabkan terus meningkatnya impor kedelai. Pertama, kebutuhan kedelai terus meningkat baik untuk keperluan bahan pakan maupun industri makanan. Kedua masih rendahnya produktivitas kedelai nasional dengan rata-rata hanya sekitar 1,1 ton per hektar. "Ketiga, kebijakan pemerintah tidak konsisten dalam melakukan upaya swasembada," katanya.

Kebutuhan nasional kedelai Indonesia sekitar 2,5 hingga 2,7 juta ton setiap tahun. Sedangkan produksi nasional hanya berkisar 700 ribu hingga 800 ribu ton per tahun. "Hanya  memenuhi 30 persennya saja. Sedangkan yang 70 persen dipenuhi oleh kedelai impor terutama dari Amerika," kata dia.

Kedelai varietas Baluran dan Merubetiri temua Suyono, sudah "dilepas" Menteri Pertanian Bungaran Saragih pada April 2002. Temuan itu dinilai telah teruji di banyak lokasi, dan menghasilkan hasil panen diatas 2 ton per hektar. Potensi hasil varietas Baluran 2,5-3,5 ton per hektar, sedangkan Merubetiri 2,5-3,0 ton per hektar. "Tapi kemudian kebijakan rencana swasembada berubah-ubah, jadinya nggak karuan lagi," kata Suyono yang kini mengembangkan kedelai dan padi di kawasan Food Estate di Bulungan-Kalimantan Timur itu.

Mirfano, Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Kabupaten Jember mengatakan pemerintah telah mengeluarkan tiga kebijakan terkait kedelai yakni membebaskan bea masuk atau cukai atas kedelai impor, penetapan Harga Pokok Penjualan (HPP), dan menjaga kestabilan harga. "Tapi kebijakan itu tidak efektif menyelesaikan masalah kedelai dari hulu sampai hilir," kata dia.

MAHBUB DJUNAIDY

http://www.tempo.co/read/news/2013/09/22/092515612/Swasembada-Kedelai-Hanya-Soal-Kemauan

Pemerintah Tak Niat Wujudkan Swasembada Kedelai

22 September 2013

JAKARTA — Pemerintah akan menghapus bea masuk impor kedelai dan disaat bersamaan menerapkan memutuskan importir terdaftar diubah ke importir umum.

Kebijakan ini menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki komitmen dalam mendukung swasembada kedelai dan mengatur tata niaga kedelai yang lebih sehat, kata anggota DPR RI Komisi IV Ma’mur Hasanuddin, kemarin.

Menurutnya, kelangkaan kedelai akan terus menjerat Indonesia selama ketergantungan terhadap importasi terlalu besar. “Selama ini kita menikmati kedelai murah dari Amerika bertahun-tahun dengan tidak pernah memberikan perhatian serius dalam pengembangan produksi di dalam negeri.”

Pada akhirnya, lanjut Ma’mur, kini pemerintah menyerah pada pasar dan membiarkan konsumen mendapatkan kenaikan harga beragam komoditas kedelai di tingkat akhir. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan sendiri menjelaskan bahwa akan segera mengubah Importir Terdaftar (IT) menjadi Importir Umum (IU).

Kebijakan ini, kata dia, menyebabkan semua importir boleh mendatangkan kedelai dari luar negeri, tidak terbatas pada importir tertentu. Artinya, semakin banyak yang bisa memasok kedelai ke tanah air, diharapkan stabilisasi harga kedelai bisa tercapai.

“Jika melihat sepintas kebijakan ini nampak menyelesaikan masalah, karena mempermudah importasi untuk menstabilkan harga di pasaran. Namun sebenarnya hanya menyebabkan masalah baru karena membuka potensi importir yang tidak qualified dan hanya mencari keuntungan semata,” ungkap Ma’mur.

Ia menambahkan, sebaiknya saat ini untuk jangka pendek pemerintah mengoptimalkan badan resmi milik negara Perum Bulog untuk melakukan importasi secara terbatas dan melakukan stabilisasi harga.

Bersamaan dengan itu pemerintah melakukan investigasi dan inventarisasi importir kedelai yang ada selama ini, jika memang terjadi kartelisasi dan telah mempermainkan harga maka harus ditindak dengan tegas. Kemudian dalam jangka menengah dan panjang pemerintah harus siapkan infrastruktur pendukung guna pengembangan kedelai dalam negeri dan mencari alternatif negara pemasok untuk menghindari ketergantungan.

Saat ini ironisnya harga dikendalikan oleh pasar, pemerintah tak berdaya terhadap gejolak sedikit saja terhadap komoditas kedelai. Kemudian importasi menjadi tumpuan pemerintah dalam menstabilkan harga.

“Bukankah Pak SBY sudah menyampaikan di social media jika memang ada potensi kartel, maka harus ditindak dengan tegas.” sindir Ma’mur. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerintahkan kepada pejabat terkait untuk menangani kenaikan harga kedelai dalam upaya stabilisasi harga dan mencukupi kebutuhan kedelai masyarakat. Perintah ini dilayangkan SBY melalui akun twitter-nya @SBYudhoyono yang diunggah selasa, 17 September 2013.

Editor — Fenty Wardhany

http://www.harianterbit.com/2013/09/22/pembebasan-bea-masuk-kedelai-jeratan-importasi-berkepanjangan/

Minggu, 22 September 2013

Program Ketahanan Pangan Indonesia Rapuh

22 September 2013

DENPASAR, Inspirasi Bangsa (22/9)— Pakar agrobisnis Fakultas Pertanian Universitas Negeri Jember Dr. Ir. Yuli Hariyati menilai program ketahanan pangam yang dicanangkan pemerintah RI sangat rapuh. Akibatnya, swasembada pangan yang ditargetkan tahun 2014 terancam gagal. Hal itu dikatakan Yuli Hariyati dalam seminar nasional “Peranan Agrobisnis dan Agroindustri serta Antisipasi Perubahan Iklim Terhadap Peningkatan Ketahanan Pangan dan Kemandirian Energi” yang digelar Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa Denpasar, Sabtu (21/09).
Menurut Yuli, untuk memenuhi kondisi ketahanan pangan salah satunya adalah peningkatan ketersediaan pangan pokok. “Pemerintah telah mencanangkan tahun 2014 akan dicapai swasembada jagung, gula, dan daging sapi serta surplus 10 ton untuk beras. Tapi melihat kondisi selama 2013 ini, rasanya swasembada pangan itu akan sulit tercapai, jika tidak mau dikatakan gagal,” kata Yuli.
Menurut Yuli kapasitas produksi yang terbatas disebabkan petani menghadapi berbagai kendala. Yakni, lambatnya penemuan dan pemesyarakatan teknologi inovasi, rendahnya insentif finansial untuk menerapkan teknologi secara optimal, ketidakpastian penyediaan air untuk produksi pangan karena rusaknya lebih dari 50 % prasarana pengairan, terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian, dan meningkatkanya jumlah petani gurem (luas garapan < 0,5 ha) dari 10,7 juta menjadi 13,3 juta kepala keluarga.
Akibat terbatasnya kapasitas produksi maka Indonenesia sangat tergantung dari impor pangan. Kalau begini kondisinya maka ketahanan pangan kita sangat rapuh. Begitu ada gejolak pasar luar negeri, kita akan kelimpungan sendiri," tegasnya.
Kata Yuli, faktor penyebab Indonesia ketergantungan impor pangan adalah perubahan iklim yang tidak mendukung sektor pertanian, sempitnya lahan pertanian sebagai dampak koversi lahan, mahalnya biaya transportasi, dan kebijakan pemerintah seperti deregulasi, praktek privatisasi dan liberalisasi. "Padahal, ketergantungan impor yang tinggi dapat membahayakan ketersediaan dan harga pangan domestik," ujarny. "Apalagi, kenaikan harga pangan dunia lebih banyak disebabkan oleh persengkokolan antara kartel pangan dan penguasa sistim keuangan internasional. Kartel pangan telah menguasai ekspor dan impor pangan utama, yang berdampak pada kebijakan pertanian dan pangan di berbagai negara, terutama negara berkembang seperti Indonesia," tukasnya. Data tahun 2010 menunjukkan, rangking lima produk pangan yang masih sangat tergantung pada impor adalah gandum (4.810.539 ton), kedelai (4.609.380 ton), gula (1.785.569 ton), jagung (1.527.516 ton), dan beras (686.108 ton)
Yuli Hariyati membeberkan, penduduk Indonesia merupakan pemakan beras terbesar di dunia dengan konsumsi 154 kg per orang per tahun. Bandingkan dengan konsumsi China yang hanya 90 kg, Thailand 100 kg dan Philipina 100 kg. Hal ini mengakibatkan kebutuhan beras Indonesia menjadi tidak terpenuhi jika hanya mengandalkan produksi dalam negeri sehingga harus diimpor dari negara lain.
Untuk menjamin ketahanan pangan, solusi yang ditawarkan Yuli ada dua hal. Pertama, meningkatkan produksi padi nasional hingga mencapai swasembada nasional. Caranya dengan memberikan insentif kepada petani padi, perbaikan irigasi, tersedianya pupuk murah dan mengurangi biaya transportasi. Kedua, memperbaiki pola konsumsi dengan mengubah komposisi makanan sumber karbohidrat untuk mengurangi konsumsi beras per kapita.
Menurut Yuli Hariyati, gejolak ketersediaan dan fluktuasi harga pangan di Indonesia menuntut keseriusan pelakunya, baik petani, pemerintah, maupun lembaga penunjang lainnya guna terciptanya kondisi harmonisasi antara agrobisnis dan agroindustri. Dikatakan, agrobisnis meliputi kegiatan on farm dan off farm. Kegiatan on farm yakni budidaya tanaman. Kegiatan off farm yakni kegiatan pasca produksi yang terdiri dari kegiatan agro industri (hulu dan hilir), peran lembaga penunjang serta pemasaran hasil. (Rahman)

http://inspirasibangsa.com/program-ketahanan-pangan-indonesia-rapuh/

Sabtu, 21 September 2013

Saatnya Daerah Jawab Krisis Kedelai

21 September 2013

Krisis kedelai yang terus berulang seakan mencerminkan kemauan politik setengah hati pemerintah pusat menyelesaikan persoalan ini. Produsen tahu tempe menjerit, petani kedelai satu per satu beralih komoditas.

Tata niaga kedelai seolah dibiarkan dikooptasi importir-importir besar yang bergerak seperti mafia sehingga semakin menyebabkan pertanian kedelai lokal loyo dan tidak berdaya. Karena itu, saatnya perubahan dimulai dari daerah untuk
membangkitkan budidaya kedelai varietas unggulan seperti halnya kedelai Grobogan, Jawa Tengah.

Demikian kiranya benang merah dari diskusi bertajuk ”Krisis Kedelai Berulang, Mungkinkah Kedelai Lokal Bangkit?” yang diadakan Kompas Perwakilan Jateng di Hotel Santika Premiere, Semarang, Selasa (17/9). Diskusi ini menghadirkan pembicara kunci Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, sejumlah pejabat di sektor pertanian dan perdagangan Pemprov Jateng, Perum Bulog, para akademisi dan peneliti kedelai, anggota DPRD, petani, dan koperasi primer tahu tempe selaku konsumen.

Gubernur Jateng, yang juga politisi PDI-P, Ganjar Pranowo, dengan keras menyatakan tata niaga kedelai di Indonesia saat ini tergolong bobrok. Itu dicerminkan dari perdagangan komoditas yang masih dikuasai mekanisme kartel oleh para importir kedelai.

Mengutip laporan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ganjar membuka diskusi dengan data bahwa perdagangan kedelai di Indonesia dikuasai 14 importir. Bahkan, ada tiga perusahaan yang memegang kendali peredaran hingga 60 persen.

Kebijakan impor seolah tak bisa dihindari mengingat produksi kedelai dalam negeri tidak bisa menutup kebutuhan. Saat ini, kebutuhan kedelai dalam negeri mencapai 2,5 juta ton per tahun, sementara produksi hanya 800.000 ton per tahun. Alhasil hampir 1,7 juta ton kedelai di Indonesia harus diimpor.

Pertanyaan yang muncul, seperti yang menjadi perdebatan hangat dalam diskusi Kompas, kenapa negara agraris seperti Indonesia tidak mampu memenuhi sendiri kebutuhan kedelai? Jawabannya sederhana, tetapi persoalan di baliknya sangat kompleks.

Luas lahan kedelai semakin sempit akibat enggannya petani menanam kedelai. Jateng, yang pernah menjadi salah satu sentra kedelai Nusantara, misalnya, pada 2010 luas panen kedelai 114.070 hektar, tetapi pada 2012 menyusut menjadi 97.112 hektar.

Produksi kedelai dari tahun ke tahun merosot, yakni dari 187.992 ton pada 2010 menjadi 152.369 ton pada 2012. Padahal, kebutuhan kedelai di Jateng sekitar 342.758 ton per tahun. Tentunya Jateng tidak sendirian dalam penurunan lahan kedelai. Kondisi yang sama juga terjadi di lahan pertanian kedelai di Jawa dan di luar Jawa.

Inilah yang membuat Ganjar gusar dan mengajukan tantangan supaya Jateng bisa kembali menjadi sentra kedelai. ”Kita mulai dari Jateng supaya bisa memenuhi kebutuhan kedelai sendiri terlebih dulu,” ujarnya.

Sekretaris Kelompok Tani Kedelai Kabul Lestari Grobogan Ali Mochtar mengatakan, sebagian besar petani kedelai beralih menanam komoditas lain seperti jagung dan kacang hijau karena jaminan pasar dan harga kedelai belum jelas. Selain itu, pengolahan pascapanen kedelai juga dinilai merepotkan.

”Belum lagi ancaman 7 jenis hama, mulai dari jamur, serangga, hingga tikus. Bertani kedelai memang cukup rumit pengolahannya,” kata Ali yang juga mengembangkan kedelai varietas Grobogan tersebut.

Saat ini, produktivitas budidaya kedelai petani rata-rata sekitar 1,5 ton per hektar. Dengan hasil yang minim, petani akhirnya tidak mau menanam kedelai lagi.

Menurut Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPPT) Jateng Ismail Wahab, sebenarnya sudah cukup banyak varietas unggul yang tahan hama dengan produktivitas tinggi. Selain kedelai varietas Grobogan, ada juga kedelai Anjasmoro dan Burangrang.

Ketiga varietas ini bisa menghasilkan kedelai hingga 3,4 ton per hektar. Bahkan, kadar protein kedelai jenis ini mencapai 33 persen, lebih tinggi daripada kedelai impor yang hanya 20 persen. (GRE/WHO/SON)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/130921kompas/#/19/

Kebijakan Tak Memihak Petani

21 September 2013

Keterpaduan Antarmenteri Minim

BANDUNG, KOMPAS — Kebijakan ataupun aturan hukum di bidang pertanian dinilai tidak menguntungkan bagi petani dan masyarakat pedesaan yang umumnya bergantung pada usaha pertanian. Pemerintah juga tidak tanggap dalam menyikapi lemahnya kedaulatan pangan.

Hal itu mengemuka dalam acara bedah buku berjudul Pengantar Hukum Pertanian yang diadakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Jawa Barat, Jumat (20/9). Diskusi menghadirkan dua pembicara, yakni penulis buku Koerniatmanto Soetoprawiro dan dosen tetap Fakultas Hukum Unpar, Bandung, Tristam Pascal Moelion.

Menurut Koerniatmanto, hukum-hukum di bidang pertanian di Indonesia justru makin membuat petani dan nelayan miskin. Mereka tak memiliki akses terhadap lahan dan air yang selama ini menjadi alat-alat produksi mereka di bidang pertanian
dan perikanan. ”Petani dan nelayan merupakan bagian masyarakat yang paling miskin. Undang-undang sekarang cenderung mengabaikan mereka,” katanya.

Soal benih, misalnya, petani tidak memiliki keleluasaan untuk mengembangkan benih sendiri. Padahal, petani secara turun-temurun dan melalui pengalaman bertahun-tahun mampu membuat benih sendiri. Ironisnya, ketika upaya mandiri itu dilakukan, petani dihadang oleh sejumlah peraturan dan UU yang membatasi ruang gerak mereka. Benih mereka dinilai ilegal.

”Beberapa pihak mengklaim benih padi jenis tertentu adalah hasil penelitian dan pengembangan mereka. Padahal, itu adalah hasil pengembangan petani sendiri. Di sisi lain petani kian bergantung pada benih, pupuk, dan obat-obatan produksi pabrik. Tata niaga sarana produksi ini juga belum ada yang mengatur,” ujarnya.

Dalam bukunya, Koerniatmanto juga menyikapi secara kritis privatisasi air minum. Donor asing melalui Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, kata Koerniatmanto, berperan menekan kesepakatan-kesepakatan di balik privatisasi air minum di Indonesia. ”Padahal, air waduk itu utamanya adalah untuk pengairan pertanian,” ujarnya.

Tristam Pascal Moeliono berpendapat, hukum dan UU berperan besar untuk mengupayakan kesejahteraan bagi petani. Hukum mengatur tentang siapa yang boleh mengakses, memiliki, dan memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah di Indonesia. Selanjutnya hukum juga memberikan batasan-batasan sejauh mana kepemilikan atas sumber daya alam itu bisa digunakan.

”UU dan hukum soal pertanian sudah banyak tersedia. Hanya saja implementasinya yang lemah,” ujarnya.

Di dalam pemerintahan juga tidak ada kepaduan antarmeneteri. Misalnya antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Pekerjaan Umum mempersoalkan infrastruktur pertanian. ”Tidak ada arah atau komando yang jelas ke mana pertanian
ini akan dibawa,” kata Tristam.

Di Jakarta, Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) mengapresiasi langkah Kementerian Perdagangan melaksanakan operasi pasar kedelai di Jakarta, Jumat kemarin.

Akan tetapi, diharapkan pemerintah pusat segera melaksanakan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2013 tentang Penugasan Kepada Perum Bulog Untuk Pengamanan Harga dan Penyaluran Kedelai.

”Kenapa perpres itu terus ditunda ? Padahal, dasar hukumnya sudah jelas,” kata Sekretaris Jenderal Gakoptindo Suyanto, kemarin. (NEL/K06/REK)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/130921kompas/#/19/






Menghargai Petani Kedelai

21 September 2013

Inilah ironi petani kedelai. Setelah bertahun-tahun menanam dengan pola padi-padi-kedelai, dua tahun terakhir kedelai ditinggalkan para petani di Desa Genengadal, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Hasil panen dan harga kedelai yang tidak memadai menjadi alasan utama.

Kebiasaan menanam kedelai sebenarnya menguntungkan karena air irigasi saat kemarau tidak cukup untuk bertanam padi, sekaligus menyuburkan tanah.

Namun, musim lalu, dari setengah hektar pertanaman kedelai hanya diperoleh tak lebih dari 6 kuintal wose kering. Dengan harga Rp 4.000/kg, pemasukan kotor hanya Rp 2,4 juta. Kalah jauh jika dibandingkan dengan jagung, melon, atau semangka yang mulai mereka tanam.

Keputusan petani Grobogan juga terjadi di kawasan Demak, Pati, Kebumen, Brebes, Tegal hingga Bali. Alasannya hampir sama, produktivitas rendah dan harganya murah. Mereka tak sanggup bersaing dengan kedelai impor yang dianak-emaskan pemerintah.

Inilah penyebab utama rendahnya produksi nasional saat ini yang hanya sekitar 800.000 ton/tahun. Untuk memenuhi kebutuhan kedelai produsen tempe-tahu sebesar 2,5 juta ton lebih, pemerintah mengimpor kedelai.
Tidak ada perubahan

Ketika tahun lalu Amerika Serikat sebagai negara eksportir utama kedelai mengalami kekeringan sehingga produksi turun dan ekspor ke Indonesia berkurang, harga kedelai di pasar Indonesia melonjak. Pemerintah membuka keran impor, mempermudah izin, dan mempermurah biaya impor. Tahun ini, saat harga kedelai melonjak lagi karena nilai rupiah turun, solusi pemerintah masih juga impor.

Padahal, saat inilah momentum untuk mengubah sikap terhadap produksi dan konsumsi kedelai. Sesuai dengan UU No 41/Tahun 2009 yang di dalamnya mengatur kedaulatan pangan, pemerintah harus membuat desain baru perkedelaian.

Pertama, secara agronomi, jutaan hektar lahan sawah Indonesia sangat cocok ditanami kedelai. Dengan demikian, tak sulit mengembangkan intensifikasi dan ekstensifikasi kedelai di sawah Indonesia. Perbaikan lahan sawah dengan pemberian pupuk organik sulit karena pupuknya langka untuk skala besar dan butuh tenaga banyak. Maka yang paling baik adalah penyuburan alami dengan menanam Leguminoseae, termasuk kedelai.

Kedua, kedelai adalah kebutuhan pangan pokok ”kedua” setelah beras karena masyarakat suka mengonsumsi tempe-tahu. Jika harus terus menerus impor, itu pemborosan devisa.

Ketiga, produktivitas kedelai kita rata-rata hanya sekitar 1,4 ton/ha dan harga kedelai di tingkat petani saat ini murah sehingga petani tidak mau lagi menanam kedelai.

Maka jika pemerintah mengharapkan petani menanam kedelai lagi, harus ada perubahan mendasar agar petani tertarik menanam kedelai. Untuk itu, perlu ditemukan varietas kedelai baru atau metode budidaya baru yang bisa meningkatkan produktivitas menjadi lebih dari 3,5 ton/ha dan berbiji besar. Inilah pekerjaan rumah bagi para peneliti kedelai.

Di Jember kabarnya sedang diuji coba jenis kedelai baru yang produktivitasnya 4 ton/ha. Hal ini tentu menggembirakan karena dapat menggiatkan petani lagi untuk menanam kedelai.

Dulu, tahun 1976/1977, saat ditemukan kedelai varietas Orba, presiden langsung mengalokasikan dana Rp100 juta untuk pengadaan benih Orba dan dibagikan secara gratis kepada petani disentra-sentra kedelai di seluruh Indonesia. Dalam waktu singkat kedelai Orba menyebar di mana- mana dan berhasil menarik perhatian petani karena mampu menaikkan produksi.

Mungkin pola yang baik itu bisa dilakukan sekarang terhadap varietas kedelai-kedelai yang menjanjikan. Kalau membuat varietas kedelai baru masih susah, mulai tahun depan pemerintah bisa mengimpor benih kedelai biji besar. Bukan mengimpor kedelai konsumsi.
Jaminan harga

Pemerintah juga harus menjamin harga kedelai minimal Rp 6.000/kg kepada petani produsen kedelai. Desain harga kedelai minimal Rp 6.000/kg ini akan berdampak banyak: menarik minat petani menanam kedelai, menyuburkan tanah, dan menyejahterakan petani. Tanah sawah yang kembali subur dapat diwariskan kepada anak cucu. Kalau harga tempe-tahu harus naik, itulah konsekuensi mewujudkan kedaulatan pangan yang memang harus kita pikul bersama.

Harga eceran kedelai sekarang (sehingga sebagian perajin tempe-tahu mogok tidak berproduksi) sekitar Rp 8.000/kg. Biasanya, kalau impor lancar, harga kedelai di eceran sekitar Rp 5.000/kg. Berarti harga kedelai lokal dari petani hanya Rp 4.000/kg.

Dengan harga Rp 4.000/kg, sementara produksi hanya 1,4 ton/ha, output hanya Rp 5,6 juta/ha. Padahal biaya produksi (input) Rp 4,5 juta. Ini pun hitungan efisien karena menerapkan teknologi minimum tillage tanpa olah tanah. Keuntungan Rp 1,1 juta/ha/100 hari tentu saja tidak rasional.

Kalau ada varietas atau teknologi baru dengan produktivitas 3,5 ton/ha, lalu harga minimal Rp 6.000/kg saja di petani, output menjadi Rp 21 juta/ha. Kalaupun input bertambah menjadi Rp 6,5 juta, masih ada keuntungan Rp 14,5 juta/ha.

Selanjutnya agar petani menikmati harga kedelai yang ”sebenarnya”, sebaiknya petani dapat menjual kedelai melalui pasar komoditas nasional di sejumlah kota. Petani difasilitasi dan dijamin memperoleh harga terbaik. Sebaliknya, agar bisa menggalang kekuatan, petani juga perlu aktif bergabung di organisasi petani, baik Gapoktan maupun koperasi pertanian.

Melihat pentingnya peran kedelai dalam membangun kedaulatan pangan kita, sebaiknya juga ada semacam rencana induk kedelai yang disusun bersama para pemangku kepetingan: produsen (petani, penangkar benih), konsumen (perajin tempe-tahu, industri), dan pemerintah (peneliti, teknisi, pengambil kebijakan).

Kalau situasi dibiarkan, bahkan harga kedelai selalu ditekan agar tidak naik, petani ”diam-diam” akan meninggalkan kedelai. Ketika pengusaha tempe-tahu ribut-ribut demo, petani hanya diam. Diam merenungi nasibnya dan diam tak tertarik menanam kedelai.

(Soekam Parwadi, Direktur Pengembangan Agribisnis Pasar Komoditi Nasional Indonesia)



http://epaper.kompas.com/kompas/books/130921kompas/#/7/

Stabilitas Harga Kedelai Harus Mampu Dijaga

21 September 2013

Tekad Pemprov Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk mengembangkan pertanian kedelai harus dibarengi dengan kemampuan finansial pemerintah dalam menyerap hasil panennya. Tanpa adanya jaminan harga bagus, nasib pertanian kedelai akan terombang-ambing oleh pasar. Apalagi, saat ini pemerintah pusat sudah menuruti permintaan importir untuk membebaskan bea masuk impor kedelai.

Pengamat Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), M Maksum, mengatakan problem utama pertanian tidak hanya di sektor budi daya tanamnya, namun juga di tingkat pemasaran. Selama ini, kedelai, jagung, mocaf, bahkan beras dan produk hortikultura bisa hancur di pasaran dalam negeri karena datangnya produk impor.

"Kini, dengan BM nol untuk kedelai, PR pertanian kedelai nasional jadi tambah. Serius di budi daya harus dibarengi dengan keseriusan dalam menjaga harga hasil panennya. Tanpa itu, hanya omong kosong saja," kata Maksum.

Menanggapi hal itu, Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) Divre DIY, Awaludin Iqbal, mengatakan selama ini pihaknya telah menyerap kedelai dari petani beberapa ton dari Gunungkidul dengan harga beli 8.300 rupiah hingga 8.400 rupiah per kilogram yang dalam waktu dekat akan distribusikan kepada anggota Koperasi Pengusaha Tahu dan Tempe (Kopti) DIY.

Menurutnya, setelah naiknya harga kedelai impor akibat naiknya dollar Amerika, Bulog DIY langsung berkoordinasi dengan Kopti DIY setelah sebelumnya jalinan komunikasi terputus semenjak Bulog tidak diberi kewenangan lagi mengurusi kedelai.

"Nah, setelah pemerintah pusat kembali memberi kewenangan kembali guna mendistribusikan kedelai, maka jalinan kerja sama keduanya harus direkatkan kembali supaya hubungan baik maupun koordinasi keduanya searah," katanya.

Iqbal menyampaikan penyerapan kedelai lokal petani DIY sendiri diakuinya masih sedikit dan baru berjalan di Gunungkidul. Hal ini disebabkan DIY tidak bisa menghasilkan banyak karena ini bukan musim panen kedelai. Bulog juga telah menyesuaikan harga pembelian kedelai lokal sesuai dengan harga jual petani di pasaran, yaitu di atas Rp 8.300 per kilogram. Kopti DIY juga akan mengikuti harga pembelian tersebut nantinya.

"Kami juga sedang melakukan penjajakan kerja sama dengan kelompok tani maupun Kopti karena tugas kita bukan hanya mengurusi penyerapan atau pembelian kedelai semata. Bulog ingin bekerja sama dengan petani kedelai mulai dari penanamanya atau on farm," jelasnya.

Sementara itu, terkait pemenuhan kedelai dalam jangka pendek, pihaknya juga berkoordinasi dengan Kopti DIY sehingga impor kedelai dilakukan atas usulan mereka sesuai dengan kebutuhan. "Apabila kebutuhan kedelai di DIY mencapai 2.500 ton hingga 2.800 ton per bulan, maka sesuai konsumsi itulah kita akan melakukan impor," katanya.YK/E-12

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/129307