Kamis, 31 Oktober 2013

Presiden Ajak Masyarakat Kurangi Beras

31 Oktober 2013

JAKARTA (KRjogja.com) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan, saat ini sudah tiba saatnya kita mengubah pola konsumsi pangan secara bertahap, dengan lebih meningkatkan asupan buah-buahan, sayuran, daging dan ikan, dan mengurangi porsi beras sebagai sumber karbohidrat.

Untuk itu, kata Presiden SBY saat memberikan sambutan pada puncak peringatan Hari Pangan Se Dunia ke-33 di Minangkabau International Convention Center, Padang, Sumbar, Kamis (31/10/2013) pagi, Indonesia harus mengoptimalkan sumber daya perikanan, peternakan, serta peningkatan upaya diversifikasi pangan.

"Diversifikasi pangan atau keragaman konsumsi pangan, merupakan salah satu strategi untuk mencapai ketahanan pangan," tegas Presiden SBY sebagaimana dilansir dari laman resmi Setkab.

Presiden mengemukakan, upaya untuk memperkuat kemandirian pangan terus dilakukan. Dua hari lalu misalnya, Presiden telah memimpin Rapat Terbatas di Bukittinggi untuk menyusun rencana aksi peningkatan produksi pangan, terutama lima bahan pangan strategis yaitu beras, kedelai, jagung, gula, dan daging sapi.

Setelah melalui pembahasan yang mendalam, lanjut Presiden, dengan melibatkan para Menteri terkait, para Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian, para Gubernur dan kalangan dunia usaha, secara bersama telah menetapkan sebuah rencana aksi.

"Rencana aksi ini merupakan program akselerasi, di samping program-program peningkatan kemandirian pangan yang selama ini telah kita jalankan," ungkap Kepala Negara.

Melalui upaya rencana aksi itu, Presiden optimistis di tahun-tahun mendatang Indonesia akan semakin mandiri dan tidak mudah terguncang oleh gejolak harga pangan dunia. "Saya berharap, Hari Pangan Sedunia tahun ini dapat menjadi momentum bagi terwujudnya kemandirian pangan yang berkelanjutan," kata Presiden SBY. (Tom)

http://krjogja.com/read/192138/presiden-ajak-masyarakat-kurangi-beras.kr

Perlunya Lembaga Pangan Nasional

30 Oktober 2013

Ali Khomsan  ;   Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, IPB

TIGA hal penting yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan pangan nasional adalah kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan. Penyelenggaraan pangan mempunyai tujuan utama, yakni pemenuhan konsumsi pangan masyarakat.

Kedaulatan pangan dimaknai sebagai hak bangsa dan negara untuk menentukan kebijakan pangan. Termasuk di dalamnya adalah hak masyarakat untuk menghidupkan potensi sumber daya lokal dalam produksi pangan.

Sementara itu, pengertian kemandirian pangan adalah menyangkut kemampuan negara dan bangsa memproduksi pangan dari dalam negeri untuk seoptimal mungkin dapat menjamin pemenuhan pangan penduduk.

Yang terakhir, ketahanan pangan. Ini lebih menyangkut aspek terpenuhinya pangan bagi negara dan perseorangan sehingga tercapai derajat hidup sehat, aktif, dan produktif.

Mengapa perlu lembaga pangan nasional? Selama ini, aspek produksi telah ditangani secara holistik oleh kelembagaan teknis, yaitu Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan didukung kementerian lain yang menyediakan sarana dan prasarana untuk distribusi pangan.

Lembaga pangan yang kita perlukan tidak lagi mengurusi tataran teknis produksi, tetapi lebih pada aspek perencanaan pangan nasional.

Salah kelola pangan dapat memunculkan problem serius, seperti kelaparan, kekurangan gizi, bahkan sampai gejolak sosial.

Cadangan pangan

Lembaga pangan nasional berperan dalam menetapkan cadangan pangan, terutama pangan pokok. Saat ini, mungkin hanya beras yang menjadi pangan pokok strategis.

Namun, krisis kedelai yang terjadi seharusnya juga membuka mata kita bahwa perlu definisi konkret tentang jenis-jenis pangan yang harus ada cadangannya.

Tentang kebijakan impor pangan, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian mungkin mempunyai visi berbeda. Kementerian Perdagangan lebih prokonsumen sehingga landasan kebijakan impor lebih ditujukan agar masyarakat konsumen tidak dibebani harga pangan terlalu tinggi.

Sementara Kementerian Pertanian lebih propetani sehingga menginginkan impor pangan agak direm. Kalau toh harga pangan terpaksa naik, yang diuntungkan adalah petani-petani kita.

Lembaga pangan nasional adalah institusi yang berdiri di tengah-tengah dan diharapkan mampu menjembatani dua visi ekstrem tersebut. Zaman Orde Baru, Pak Harto pernah mempunyai Menteri Negara Urusan Pangan.

Saat ini, Kementerian Pertanian menyangga beban berat terkait dengan upaya diversifikasi pangan.
Setiap kali melihat data konsumsi beras rata-rata nasional, kita terperangah karena rasanya sulit sekali mengubah pola makan bangsa kita yang begitu dominan mengonsumsi beras.

Perbaikan pola konsumsi pangan masyarakat harus menjadi salah satu fungsi lembaga pangan nasional.
Sosialisasi penganekaragaman konsumsi pangan selama ini memang agak lemah dan terkadang hanya dilakukan pada acara-acara resmi, seperti lomba tumpeng nonberas pada peringatan Hari Kemerdekaan.
Setelah acara berlalu, berakhir pula gaung diversifikasi pangan. Padahal, mengubah kebiasaan makan masyarakat memerlukan strategi yang menyeluruh dan berkesinambungan.

Krisis pangan

Dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dinyatakan bahwa pemerintah atau pemerintah daerah berwenang menetapkan kriteria dan status krisis pangan.

Selama ini, isu krisis pangan lebih sering kita saksikan atau kita baca lewat media massa. Laporan-laporan jurnalis membuka mata kita bahwa suatu wilayah menghadapi krisis pangan.

Definisi krisis pangan adalah kondisi kelangkaan pangan yang dialami sebagian besar masyarakat yang, antara lain, disebabkan oleh masalah distribusi, perubahan iklim, bencana alam, dan konflik sosial.
Krisis pangan sebenarnya menunjukkan adanya kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan. Dalam jangka panjang, krisis pangan akan menimbulkan kelaparan.

Lembaga pangan nasional bisa melakukan surveilans sehingga ancaman krisis pangan bisa diantisipasi.
Memang yang menetapkan krisis pangan nasional adalah Presiden, tetapi Presiden tetap harus mendapat informasi dan data yang valid tentang kondisi pangan nasional. Lembaga pangan nasional bertanggung terhadap potret situasi pangan bangsa ini.

Di lembaga pangan nasional, hal penting yang harus menjadi perhatian adalah adanya pusat informasi pangan.

Pengambilan kebijakan pangan bisa keliru apabila data pendukungnya tidak up to date. Pusat informasi pangan ini memang telah diamanatkan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Dalam pasal tersebut diuraikan dengan rinci data apa saja yang harus tersedia, seperti jenis pangan, neraca pangan, kawasan pangan, permintaan pasar, produksi, harga, dan konsumsi.
Ada anekdot bahwa di Indonesia segala macam data tersedia, yang tidak ada adalah data yang benar.


Oleh sebab itu, harus kita dukung semangat yang diusung Undang-Undang Pangan, yakni perbaikan sistem pangan dan gizi yang bersifat menyeluruh, dari produksi, distribusi, konsumsi, sampai status atau perbaikan gizi. ●

http://budisansblog.blogspot.com/

Jangan Gampang Impor

30 Oktober 2013

Deklarasi Rencana Aksi Peningkatan Produksi Pangan

BUKITTINGGI, KOMPAS — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan jajaran pemerintah untuk tidak gampang memberlakukan kebijakan impor bahan pangan. Ketergantungan pada impor pangan membuat Indonesia rentan terhadap situasi pangan global.

”Kalau ada gejolak (harga pangan), jangan gampang impor pangan. Ketergantugan pada impor tidak baik,” ungkap Presiden, Selasa (29/10), di Balai Sidang Bung Hatta, Bukittinggi, Sumatera Barat.

Presiden Yudhoyono menyatakan hal itu ketika memberikan pengantar pada rapat pembahasan pangan. Para pejabat yang hadir antara lain Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur Nusa Tenggara Barat M Zainul Majdi. Pengusaha yang datang antara lain Wakil Ketua Kadin Bidang Pangan yang juga Wakil Presiden Direktur PT Indofood Sukses Makmur, Franciscus Welirang.

Ketergantungan pada impor, menurut Presiden, membuat Indonesia rentan terhadap ketidakstabilan harga pangan global. Karena itu, jalan terbaik mengatasi gejolak harga pangan dalam negeri adalah dengan mendorong produksi pangan lokal.

Di pengujung rapat, ke-12 gubernur/wakil gubernur menandatangani nota kesepahaman dengan para menteri dan pengusaha yang diwakili Ketua Kadin Suryo Bambang Sulisto, untuk meningkatkan produksi lima komoditas pangan penting, yakni beras, kedelai, gula, daging sapi, dan jagung. Rapat juga menghasilkan rencana aksi peningkatan produksi pangan.

Presiden menyatakan, tahun depan diperkirakan diperlukan 33 juta ton beras. Surplus produksi diperkirakan 8 juta ton beras. Namun, Indonesia ditargetkan mampu surplus 10 juta ton beras tahun 2014. ”Terbuka ruang kolaborasi dunia usaha dan pemerintah agar surplus (10 juta ton beras) tercapai,” ujarnya.

Untuk kedelai, tahun depan diperkirakan dibutuhkan 1,988 juta ton. Ditargetkan produksi kedelai nasional tahun 2014 lebih dari 1 juta ton. Naik dibandingkan dengan produksi tahun lalu sebesar 900.000 ton.

Untuk daging sapi, kebutuhan mencapai 575.880 ton pada tahun depan, sedangkan perkiraan produksi 443.200 ton. Rencana aksi menargetkan produksi daging sapi tahun depan lebih banyak 20.000 ton atau mencapai 463.200 ton.

Untuk gula, menurut Yudhoyono, tidak terjadi kekurangan. Kebutuhan pada tahun depan mencapai 2,7 juta ton, sedangkan perkiraan produksi adalah 2,8 juta ton. Rencana aksi menargetkan produksi ditingkatkan menjadi 3,1 juta ton.

Untuk jagung, juga tidak terjadi kekurangan. Kebutuhan tahun depan diperkirakan 14,26 juta ton, sedangkan produksi diperkirakan 19 juta ton. Meskipun demikian, rencana aksi menargetkan perbaikan produksi hingga mencapai 20 juta ton. (ATO)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/131030kompas/#/15/

Waduh, Sumenep kehilangan 7.500 hektar lahan pertanian tiap tahun

30 Oktober 2013

SUMENEP, kabarbisnis.com: Alih fungsi lahan pertanian tampaknya semakin menggila. Di Sumenep, Madura, misalnya, penyusutan lahan produktif tiap tahunnya mencapai 7.500 hektar.

Bupati Sumenep, A. Busyro Karim, mengatakan sebagian besar alih fungsi lahan produktif yang menyusut itu menjadi industri atau perumahan. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menahannya adalah dengan pengaturan pemberian ijin pembangunan dan industri, berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sumenep.

Saat ini, lahan-lahan pertanian produktif jadi gedung mewah. Ia terus berupaya mengantisipasi dampak penyusutan lahan tersebut. Saat ini, ia sedang melakukan Sosialisasi Peraturan Daerah No 12/2013 tentang RTRW.

Faktor utama penyusutan lahan produktif itu, disebabkan banyak tanah yang dibeli beberapa pihak dengan harga industri, bukan lagi harga petani. Sedangkan pemerintah daerah tidak mungkin membeli tanah dengan harga setinggi itu kalau hanya untuk pertanian.

Bupati mengungkapkan, alternatif lain untuk mengantisipasi menyusutnya lahan produktif adalah dengan cetak sawah baru setiap tahun. Namun di Sumenep, cetak sawah yang telah dilakukan baru di Kecamatan Kangayan, Pulau Kangean. Sedangkan untuk cetak sawah baru di wilayah daratan belum bisa dilakukan, karena terkendala lahan.

“Kita butuh seluas 300 hektar, sementara di daratan belum ada lahan seluas itu untuk cetak sawah baru. Jadi, kami masih mencari alternatif daerah lain, guna cetak sawah baru di wilayah daratan ini,”pungkasnya seperti dikutip dari laman kominfo Pemprov Jatim. kbc2

http://kabarbisnis.com/read/2842744

Selasa, 29 Oktober 2013

Ketahanan Pangan Sumbar Rapuh

29 Oktober 2013

Padang, Padek—Ketahanan pa­ngan di Sumbar dinilai rapuh. Se­jumlah kalangan menyebut data surplus pangan di daerah ini, belum berbanding lurus dengan realitas. Indikatornya, komoditas pangan rentan dimainkan spekulan di pa­saran. 

Karena itu, produksi pangan Sumbar yang diklaim surplus oleh pemerintah Sumbar, patut d­iper­tanyakan. Kecukupan pangan me­ragukan mengingat luas lahan per­tanian terus menyusut, sawah ber­peta merah masih luas dan tim penyuluhan tidak berfungsi.

Demikian pendapat peneliti dan pengamat pertanian dari Fakultas Pertanian Unand, Agus Taher dan  Yonariza secara terpisah kemarin, dalam merefleksi Hari Pangan Se­dunia yang diperingati secara na­sional di Padang, esok lusa.

Rapuhnya ketahanan pangan Sumbar itu, tambah Agus Taher, diperparah lagi dengan tidak terj­a­ganya mutu pangan yang dihasilkan, mekanisme pasar dan lemahnya intervensi pemerintah. “Sebagai solusinya, pemda Sumbar perlu menyiapkan pelayanan publik dan penyuluhan guna mengontrol pro­duksi, distribusi dan fluktuasi harga pangan di Sumbar,” katanya.

Agus Taher berani mengo­reksi klaim ketahanan pangan oleh pemda Sumbar tidak sesuai realita. Pasalnya, pangan mudah langka dan harga tidak stabil. Indikasi lain, luas lahan perta­nian di Sumbar tidak bertam­bah. Sebaliknya, lahan terlantar alias sawah peta merah masih luas.

“Realitas di lapangan, peng­gu­naan bibit unggul tidak diba­rengi dengan pemupukan yang seimbang, sehingga mengurangi populasi. Sementara konsumsi beras per kapita tetap tinggi, masa tanam tidak terkontrol. Jarak tanam sangat dekat, pu­puk subsidi kurang sehingga petani kewalahan mendapat pupuk, ketersediaan air, fasilitas dan pengendalian hama serta beragam kondisi yang meng­ancam,” paparnya.

Dia mencontohkan pasar-pasar di Padang, sebagian besar diisi beras asal Palembang, Jawa Timur atau Thailand. Hanya 10 persen beras produksi Padang atau Sumbar.  “Makanya, kecu­kupan pangan meragukan,” kata Agus Taher.

Dari fenomena itulah dia mengaku kurang percaya de­ngan ketahanan pangan Sum­bar. Memiriskan lagi, semua kepala daerah seakan tidak menangkap realitas itu.

“Dulu ada padi sebatang, tapi kurang dioptimalkan. Hanya terpaku pada jargon pupuk organik, sehingga hasilnya tak maksimal. Gulmanya banyak sehingga produksi menurun. Jika ini tidak segera dibenahi, pangan Sumbar akan semakin terancam,” tukasnya.

Poin terpenting, menurut­nya, menghidupkan kembali penyuluhan. Merujuk kepada 10 pilar pertanian di Thailand, penyuluhan ditempatkan pada poin nomor dua. “Ini yang hilang sejak lama, setelah jatuhnya Orde Baru. Segala bentuk pe­nyu­luhan hingga ke kenagarian perlu dihi­dupkan lagi untuk memacu pro­duktivitas,” usulnya.

Yonariza menambahkan, data statistik ketahanan pangan kurang sedikit dari kebutuhan. Pangan Sumbar yang surplus adalah beras. Faktor ini dipicu oleh penyeragaman pangan secara nasional. Sebut saja pera­li­han pangan di daerah timur seperti Maluku ataupun Menta­wai, dari sagu, jagung atau gan­dum, semua beralih pada beras.

“Pangan Sumbar yang ku­rang saat ini, jagung untuk pakan ter­­nak di Payakumbuh. Kebu­tu­han sekitar 1 juat ton, semen­tara yang diproduksi baru 700 ton. Ko­­moditi lain seperti telur atau­pun daging surplus,” kata profe­sor yang juga Ketua Juru­san So­sial Ekonomi Pertanian Unand itu.

Dia tidak menampik ketaha­nan pangan masih rapuh meng­ingat harga pangan mudah fluk­tuatif karena langka di pasaran. “Ini lantaran tidak adanya peren­canaan tanam oleh petani. Sifat­nya masih individu. Alhasil, ketika cabai mahal, petani se­mua­nya menanam cabai. Seba­lik­nya, ketika harga murah, tidak ada petani yang menanam,” paparnya.

“Di sinilah peran pemerintah dalam menentukan masa ta­nam. Jadi petani tahu kapan memulai menanam dan berapa luas tanam. Saat mereka ke pasar, mereka mendapat infor­masi. Jadi petani ataupun peda­gang dapat mengambil kepu­tusan. Keberpihakan pemerin­tah pada pertanian itu penting,” jelasnya.

Dia juga mengkritisi meka­nisme dan intervensi pasar yang diambil pemerintah sering me­ru­­gikan petani. Seperti mem­buka peluang impor. “Memang, di satu sisi konsumen diuntung­kan, namun di sisi lain pangan lokal terancam,” tegasnya.

Begitu juga program ban­tuan pemerintah pada petani, dinilainya sering tidak sampai pada petani. Kalaupun sampai, biaya transportasi lebih besar dari bantuan. “Bantuan Rp 1, biaya mengantarkannya Rp 3,” sindirnya.

Karena itu, kata Yonariza, meski telah surplus bukan berar­ti telah tercapai ketahanan pa­ngan. “Pola konsumsi kita masih dijajah. Kita lebih memilih pa­ngan impor ketimbang bahan yang terbuat dari ubi atau sagu. Mestinya mengarah pada keta­hanan pangan dan kemandirian pangan yang harus diciptakan. Bagaimana masyarakat berdau­lat dan tidak dijajah pola kon­sumsi pangan,” katanya.

Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar (KMSS), Khalid Saifullah menilai, selama ini pemerintah cenderung menem­puh cara instan dalam mewu­judkan kedaulatan pangan. Semakin tersingkirnya benih-benih lokal, pemaksaan penggu­naan benih-benih luar, pemak­saan penggunaan obat-obatan dan pupuk kimia, semakin ber­ku­rangnya areal pertanian, le­mah­nya perlindungan terha­dap petani, adalah ancaman ketaha­nan pangan di masa mendatang.

Jika pemerintah serius me­wujudkan kedaulatan pangan, KMSS mengusulkan 5 agenda. Pertama, pemerintah harus melaksanakan janji performa agraria agar terjadi keadilan penguasaan ruang. Kedua, pe­nga­kuan hak-hak petani atas komponen pertanian dan men­jamin keberlangsungan dan ketersediaannya. Ketiga, adanya pengakuan pengetahuan lokal petani dan melindungi keber­lang­sungannya sebagai metode menuju kedaulatan pangan.

Keempat, mendukung per­ta­nian dan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada terca­painya kedaulatan pangan di mana petani sebagai pameran utama. Kelima, menghentikan pencemaran, pengrusakan ter­ha­dap air, kesuburan tanah dan lingkungan secara keseluruhan dan menghukum pencemar serta perusak lingkungan.

Cabai Naik 10%

Dari pantauan Padang Eks­pres di pasar-pasar tradi­sional Padang, kemarin, stok sembako relatif stabil. Beras, tepung terigu, gula, minyak curah, dan kacang-kacangan masih stabil, baik harga maupun stoknya.

Haji Mardi, pemilik toko grosir sembako di Jalan Bela­kangolo, mengatakan, stok beras dan kebutuhan pokok masih stabil. Hanya gula yang sepekan ini mengalami penurunan sebe­sar 10 persen. “Harga gula sebe­lumnya Rp 12.500 ribu per kilogram, turun menjadi Rp 12 ribu per kilogram,” ujarnya.

Begitu juga beras, relatif stabil. Kebutuhan beras Sumbar masih mampu dipenuhi dari beras lokal. “Stok beras aman, kami biasanya langsung mem­be­li ke heler. Kualitas nomor sa­tu masih beras anak daro,” ujarnya.

Untuk stok “barang mudo” seperti bawang merah, bawang putih, cabai, dan tomat, hanya cabai yang naik 10 persen karena stok terbatas. Disinyalir karena berkurangnya hasil panen cabai di daerah produsen cabai, yakni Pulau Jawa dan Curup, Kerinci, Medan, dan Bengkulu.

Sebagian besar pedagang cabai di Padang mengandalkan pasokan cabai dari luar Sumbar.

Pemilik grosir  barang mudo “Usaha Muda” Ujang, menga­ta­kan, tren kenaikan harga cabai su­dah berlangsung sejak sebulan la­lu. “Stok cabai lokal terbatas, be­lum bisa diandalkan untuk m­e­menuhi kebutuhan,” tutur­nya.  (cr1/cr6)

http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=48138

Indonesia Alami Krisis Pangan?

27 Oktober 2013

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Oxfam untuk Koalisi Rakyat Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah menyatakan Indonesia saat ini sudah rawan pangan akibat banyaknya komoditas penting yang diimpor.

"Menurut saya Indonesia sudah mengalami kerawanan pangan. Tidak terasa. Kita tidak sadar apa yang di depan meja itu berasal dari luar," kata Said dalam diskusi di Cikini, Jakarta, Minggu (27/10/2013).

Said menuturkan, pada tahun 2011, neraca perdagangan komoditas pangan Indonesia mengalami defisit hingga menembus angka 6 juta dollar AS. Dari berbagai komoditas pangan itu, tiga komoditas yang menjadi penyumbang defisit terbesar, yaitu beras, gandum dan jagung.

Menurut Said, saat ini lima komoditas utama masyarat Indonesia, yaitu beras, jagung, gula, daging, dan kedelai, diimpor dari luar negeri. Indonesia, kata Said, masih beruntung karena kelima komoditas tersebut masih stabil di pasar internasional. "Baru kedelai saja yang kemarin bergejolak," ucapnya.

Sementara itu, profesor dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa memprediksi jika tren itu berlanjut dan dibiarkan, krisis pangan akan terjadi pada pertengahan pemerintahan mendatang.

"Menurut perhitungan kami, 2014 ini masih aman," katanya. Membantah teori keunggulan komparatif yang dicetuskan David Ricardo, Andreas berpendapat jika negara ingin maju, ia seharusnya memproduksi semua komoditas, terutama komoditas pangan.

Pemerintah seharusnya fokus pada komoditas pangan, kata Andreas, karena komoditas ini menempati posisi terpenting dalam sebuah negara.

"Ketergantungan sebuah negara akan pangan, bila terjadi fluktuasi harga, kemudian impor kita besar, ekonomi akan kolaps," ujarnya.

Reformasi 1998 di tanah air, kata Andreas, juga dipicu adanya krisis beras di berbagai daerah yang kemudian meletup di tingkat pusat. Begitu juga dengan terjadinya revolusi di Timur Tengah yang diakibatkan adanya krisis pangan. "You control food, you control people," katanya.

Ia pun mencontohkan pemerintah Amerika Serikat yang tidak segan menggelontorkan dana besar-besaran bagi para petaninya, terutama dalam hal menstabilisasi harga pangan. Indonesia, kata Andreas, seharusnya mencontoh AS yang dianggap sebagai model terbaik dalam mewujudkan kedaulatan pangan.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/10/27/1730452/Indonesia.Alami.Krisis.Pangan.

2017, Indonesia Diprediksi Alami Krisis Pangan

27 Oktober 2013

JAKARTA - Peneliti pangan asal Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santoso memprediksi Indonesia akan mengalami krisis pangan pada tahun 2017. Prediksi ini berdasarkan tingkat konversi lahan pertanian di Indonesia yang semakin hari terus meningkat.

Hal ini disampaikannya menanggapi hasil riset terbaru Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan tentang pangan komunitas. Riset tersebut menunjukan  bahwa lahan pertanian di Indonesia khususnya Pulau Jawa semakin menyusut.

"Sampai 2014 pangan kita masih aman. Tapi kalau tren ini terus berlanjut, pada tengah pemerintahan mendatang akan terjadi," kata Andreas dalam acara peluncuran hasil riset tentang pangan komunitas di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (27/10).

Andreas mengatakan, minimnya lahan ditambah dengan ketergantungan akan impor membuat harga pangan semakin mahal. Karenanya, jika pemerintah tidak mengatasi masalah ini maka harga pangan dipastikan tidak akan bisa terjangkau oleh masyarakat.

"Kalau impor kita tinggi dan negara pengekspor tidak punya stok maka negara kita bisa kolaps," ujar dosen IPB tersebut.

Riset Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan mengambil sampel lahan sawah di Karawang, Jawa Barat. Selama kurun waktu 1989-2007, laju alih fungsi lahan di Karawang mencapai 135,6 hektare per tahun. Artinya, selama periode tersebut lahan sawah di Karawang berkurang sebanyak 2.578 hektare.

Ayip Abdullah dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan mengatakan, luas lahan pertanian di Karawang menyusut dari 94 ribu hektare menjadi 92 ribu hektare. Lahan pertanian dikonversi menjadi wilayah industri, perumahan, maupun infrastruktur jalan.

"Kalau begini terus, status Kabupaten Karawang sebagai lumbung beras nasional pelan-pelan akan hilang," ujar Ayip.

Ayip menambahkan, program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) ikut bekontribusi mengurangi lahan pertanian di Karawang. Menurutnya, proyek pembangunan pelabuhan Cilamaya dan jalan penghubungnya menghabiskan persawahan sekitar 60 hektare.

"Jika rata-rata produksi di wilayah ini 5 ton per hektare maka akan hilang sebanyak 300 ton gabah," paparnya.

Penelitian yang dibiayai Oxfam ini juga memotret situasi pangan di Sumba Timur, NTT dan Nabire, Papua. Ketahanan pangan di dua daerah tersebut mengkhawatirkan karena kendala iklim dan resiko bencana.

Dalam kesempatan yang sama, Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Rizal Edy Halim mengatakan bahwa pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mencegah konversi lahan pertanian. Namun, ia mengakui bahwa kebijakan tata ruang itu belum dijalankan oleh seluruh provinsi.

"Ada 17 provinsi yang sudah selelsai tata ruangnya, dan 16 belum. Yang belum selesai nanti kita evaluasi dulu," kata Rizal. (dil/jpnn)

http://www.jpnn.com/read/2013/10/27/197850/2017,-Indonesia-Diprediksi-Alami-Krisis-Pangan-

Menteri dan Gubernur Rapat Ketahanan Pangan di Padang

28 Oktober 2013

Bisnis-jabar.com, PADANG – Sebanyak 10 menteri dan 14 gubernur se-Indonesia akan mengikuti rapat terbatas ketahanan pangan di Istana Bung Hatta, Bukittinggi, Selasa (29/10/2013).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dijadwalkan memimpin langsung rapat tersebut.

Kepala bagian protokol pemprov Sumatra Barat Kuswandi mengatakan rapat terbatas ketahanan pangan itu diikuti oleh 10 menteri dan 14 gubernur se Indonesia. “Iya, ada 10 menteri dan 14 gubernur yang akan mengikuti rapat terbatas dengan presiden,” katanya kepada Bisnis, Senin (28/10/2013).

Kespuluh menteri tersebut yakni, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Hatta Rajasa, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, Menteri Perindustrian MS Hidayat, Menteri Keuangan M Chatib Basri, Menteri Pertanian Suswono, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Menteri
Pekerjaan Umum Joko Kirmanto, dan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring.

Selain itu juga hadir Kepala BPS dan Kepala Bulog. “Yang hadir adalah menteri dan pejabat tinggi yang terkait bidang ketahanan pangan,” ujarnya.

Sementara itu, 14 gubernur yang diundang tersebut adalah Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno, Gubernur Sumut, Gubernur Sumsel, Gubernur Lampung, Gubernur Banten, Gubernur Jabar, Gubernur Jateng, Gubernur Jatim, Gubernur Bali, Gubernur NTB, Gubernur Kalbar, Gubernur Kalsel, Gubernur Kaltim, dan Gubernur Sulsel.

Kepala daerah yang diundang mengikuti rapat terbatas itu dinilai memiliki komitmen tinggi serta sudah menjalankan program ketahanan pangan di daerahnya.

Dalam kunjungan ke Sumbar kali ini, presiden dijadwalkan akan membuka peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) ke 33 pada Kamis (31/10/2013) mendatang. (JIBI/k19/k29)

http://www.bisnis-jabar.com/index.php/berita/menteri-dan-gubernur-rapat-ketahanan-pangan-di-padang?utm_source=front&utm_medium=box&utm_campaign=berita_terbaru

Senin, 28 Oktober 2013

DPR Minta BPK Audit Semua Perjanjian Internasional

22 Oktober 2013

RUU Perdagangan

[JAKARTA] Komisi VI DPR RI meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) segera mengaudit semua bentuk perjanjian internasional, terutama terkait dengan perdagangan.

Audit itu dilakukan untuk mengetahui besarnya potensi kerugian dari sebuah perjanjian internasional, dan sebelum DPR dan Pemerintah duduk dan menyepakati Rancangan Undang-Undang  (RUU) Perdagangan yang saat ini sudah diserahkan ke Komisi VI DPR RI.

Hal itu dikatakan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Arya Bima dalam diskusi bertema “RUU Perdagangan” yang diselenggarakan di DPR, Selasa (22/10).

Hadir sebagai pembicara pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy dan dosen Fakultas Ekonaomi Universitas Indonesia (UI), Surjadi.

Menurut Arya Bima, pihaknya siap meminta pemerintah mengaudit semua perjanjian internasional terkait perdagangan.

Dia pun menyatakan akan menolak RUU Perdagangan kalau  naskah akademik dan isinya berlawanan dengan konstitusi atau UUD 1945.

Arya Bima mengatakan, salah satu perjanjian internasional yang perlu dievaluasi adalah perjanjian kawasan perdagangan bebas China-Asean Free Trade Area (CAFTA).

Menurutnya, sejak diberlakukannya CAFTA pada awal 2010, defisit neraca perdagangan Indonesia dengan China kian meningkat.

“CAFTA telah menyebabkan defisit neraca perdagangan meningkat. Bahkan sejak itu dampak yang dirasakan adalah terjadinya deindustrialisasi akibat membnjirnya produk China masuk Indonesia,” katanya.

Secara global, kata dia,  impor Indonesia telah mencapai 70%, sedangkan di sektor pangan mencapai 60% akibat kebijakan yang pro-pasar.

Sementara itu, Ichsanuddin Noorsy mengatakan, RUU Perdagangan yang tengah di bawah ke DPR  saat ini sangat sarat kepentingan asing  dan sangat pro pada liberalisasi pasar.

Bahkan dia menilai naskah akademis dari RUU itu telah menggadaikan kedaulatan ekonomi Indonesia pada kepentingan asing.

“Kalau saya DPR, saya pulangkan RUU Perdagangan ini ke pemerintah, karena bertentangan dengan konstitusi. Saya pernah lakukan itu saat masih di DPR,” ujarnya.

Menurut Noorsy, konsep naskah akademis yang ada pada RUU tersebut lebih bernuansa konsep yang ada pada Organisasi Perdagangan dunia (WTO).

Dalam konsep organisasi perdagangan itu tidak dikenal mengenai komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti sektor energi. [L-8]

http://www.suarapembaruan.com/home/dpr-minta-bpk-audit-semua-perjanjian-internasional/43785

Jumat, 25 Oktober 2013

RUU PERDAGANGAN Tak Perlu Terburu-buru

25 Oktober 2013

Djoko Darmono, Pengamat Birokrasi Pemerintahan


JAKARTA (Suara Karya): Liberalisasi perdagangan mempersulit bangsa dalam membangun kemandirian ekonomi. Kondisi ini dikhawatirkan makin parah jika RUU Perdagangan gol menjadi undang-undang tanpa pembahasan kritis.

    Menurut pengamat birokrasi pemerintahan Djoko Darmono, pemerintah dan DPR harus mempertimbangkan berbagai hal menyangkut kepentingan nasional dalam membahas RUU Perdagangan. Apalagi kekhawatiran terhadap isi RUU itu sudah disampaikan berbagai kalangan.

    "DPR dan pemerintah perlu berhati-hati. Jangan sampai melupakan tujuan utama regulasi yang dibuat, yaitu membangun perekonomian nasional yang kuat dan menyejahterakan masyarakat," kata Djoko di Jakarta, Kamis.

    Selain itu, pelambatan perekonomian nasional harus dijadikan pertimbangan penting. Kalangan pelaku usaha, menurut dia, juga harus memberikan masukan kepada pemerintah dan DPR sehingga kehadiran UU Perdagangan yang baru mampu memberikan kemaslahatan bersama.

    "Kekhawatiran bahwa liberalisasi perdagangan merugikan pelaku usaha di dalam negeri harus dijawab pemerintah lewat UU Perdagangan," ujar Djoko.

    Lebih jauh dia mengatakan, pemerintah dan DPR tidak perlu terburu-buru dalam mengegolkan RUU Perdagangan. Berbagai aspirasi publik harus dikaji dan diserap lebih dulu.

    Sementara itu, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Surjadi, mengingatkan agar semangat RUU Perdagangan tidak proliberalisasi sekaligus tidak bertabrakan dengan undang-undang yang lain.

    Surjadi yang ikut menyusun naskah akademik RUU Perdagangan itu mengatakan, sebelum membuat draf RUU, dia terlebih dahulu mewawancarai pejabat sejumlah ditjen di lingkungan Kementerian Perdagangan. Itu dilakukan untuk mengetahui fungsi dan tugas masing-masing institusi.

    "Jadi, naskah akademik RUU Perdagangan merupakan gambaran umum tentang pengetahuan para dirjen di Kemendag mengenai fungsi masing-masing. Kami tidak boleh menambah atau menguranginya. Tugas kami menyusun secara akademik pemahaman mereka soal fungsi masing-masing," tutur Surjadi.

    Menteri Perdagangan Gita Wirjawan sendiri dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR berharap RUU Perdagangan rampung pada akhir tahun ini. "Kami harus bekerja maksimal sehingga sebelum akhir 2013 sudah bisa selesai. Tak perlu menunggu sampai awal 2014," ujarnya. Gita juga telah menindaklajuti daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Perdagangan yang disampaikan fraksi-fraksi di DPR.

    Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Riza Damanik membeberkan RUU Perdagangan yang makin menegaskan praktik liberalisasi perdagangan di Indonesia, bukan melindungi kepentingan nasional. Itu terlihat dari beberapa pasal yang diadopsi langsung dari ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

    Menurut Riza, pengalaman mengenai penerapan kawasan perdagangan bebas China-ASEAN (CAPTA) seharusnya dijadikan bahan pelajaran penting dalam penyusunan RUU Perdagangan. Karena itu, dia mendesak DPR agar tidak terburu-buru mengesahkan RUU Perdagangan. "Banyak pasal di dalam RUU Perdagangan belum mengatur peran negara dalam melindungi kepentingan nasional dari praktik perdagangan bebas, baik bilateral maupun multilateral," papar Riza.

    Dia menambahkan, dengan mengadopsi langsung prinsip-prinsip liberalisasi ekonomi, RUU Perdagangan bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi yang dianut konstitusi negara. Kedaulatan ekonomi negara sama sekali dinafikan. "Draf RUU Perdagangan jelas bertabrakan dengan pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara, khususnya hak ekonomi, sosial, dan budaya," kata Riza.

    Dia mencontohkan, di sektor pangan, impor pangan ternyata dampaknya buruk bagi petani dan nelayan kecil. Menurut dia, di sektor pangan, serangan impor pangan sejak tahun 2010 hingga 2012 menunjukkan peningkatan drastis, yaitu dari 11,7 miliar dolar AS hingga 17,2 miliar dolar AS. "Ini berdampak buruk bagi petani dan nelayan kecil," katanya.

    Di sisi lain, pihaknya juga meminta pemerintah untuk tidak menjadikan RUU Perdagangan itu sebagai sarana untuk melegitimasi kerja sama perdagangan bebas, bilateral dan multilateral. Sebaliknya, kata dia, pemerintah dan DPR harus mengevaluasi penerapan berbagai perjanjian dagang yang telah dilakukan Indonesia selama ini. (Sabpri/A Choir)

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=337336

Kamis, 24 Oktober 2013

Risiko Impor Pangan

24 Oktober 2013

Di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini, persoalan impor pangan tampaknya masih sulit diatasi pemerintah. Selain terus membebani defisit neraca perdagangan Indonesia, impor pangan yang semakin deras belakangan ini menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat di negeri ini.

Ironis memang, dari kajian IPB terungkap dari sekitar 225 produk pertanian yang dijual di pasar swalayan, diantaranya 70%-80% merupakan produk impor. Terdapat kecenderungan bahwa impor produk-produk pertanian terus meningkat. Untuk jangka panjang, kondisi ini tidaklah bagus. Selain dapat mengancam kedaulatan pangan dan kehidupan lebih dari 50 juta rakyat Indonesia, hal ini juga berpotensi membawa risiko terhadap kesehatan manusia bila kapabilitas institusi di negeri ini lemah dalam pengawasannya.

Meski terdapat aturan WTO terkait importasi pangan bahwa kita bisa menolak masuknya pangan dari luar bila produk tidak memenuhi ketentuan WTO khususnya terkait technical barrier to trade (TBT agreement) dan sanitary and phytosanitary (SPS agreement), susah kita membendung masuknya produk tersebut. Ini karena keterbatasan dan masih lemahnya instrumen pengawasan di banyak pintu masuk.

Begitu juga dengan dukungan tiga peraturan Menteri Pertanian, yaitu No 88/2011, No 89/2011, dan No 90/2011, serta pembatasan pintu masuk bagi impor 47 komoditas buah dan sayuran menjadi hanya empat, yaitu Bandara Soekarno-Hatta, Belawan, Tanjung Perak, dan Makassar. tidaklah akan mampu membendung masuknya produk impor. Bahkan, ketiga permentan tersebut ternyata diprotes juga oleh importir Indonesia sendiri.

Salah satu cara membatasi membanjirnya produk impor adalah dengan mencerdaskan konsumen Indonesia da lam memilih produk yang akan dibeli nya. Informasi mengenai risiko bahaya dari produk impor serta mengenai keunggulan produk asli Indonesia perlu disampaikan kepada mereka.

Terkait produk buah-buahan dan sayuran impor, di balik penampilan serta mutu fisik lainnya yang memikat, sesungguhnya terdapat risiko yang mungkin dalam beberapa kasus baru akan dirasakan dalam jangka lama. Sudah menjadi rahasia umum, dalam sistem pertanian modern, petani di negara manapun sudah sangat bergantung pada pupuk kimia dan pestisida sintetis.

Dari berbagai studi menunjukkan bahwa meski penggunaan pestisida dilakukan dengan ketat sehingga residu yang tertinggal di bawah ambang batas, tetap berisiko. Paparan terus-menerus sejak masa kehamilan dapat menyebabkan risiko berbagai kanker dan mengganggu perkembangan kognitif anak yang dilahirkan.

Telah dilaporkan pula, pestisida dari golongan organophosphat yang bersifat antiandrogenik menyebabkan demasculinization, yaitu hilangnya sifat-sifat maskulin pada kaum pria. Dalam praktik di rantai pemasok buah-buahan di negara modern sudah sangat umum buah-buahan, seperti apel, alpukat, dilapisi lilin (wax) untuk mencegah penguapan yang berlebih. Sudah sangat umum pada lilin tersebut ditambahkan suatu fungisida yang ternyata juga bersifat antiandrogenik.

Pada produk daging yang diimpor juga terdapat risiko kemungkinan mengandung penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia, misalnya, sapi gila, antraks, dan flu burung. Risiko daging dari produk impor mengandung penyakit tersebut sangat dimungkinkan mengingat pola pemeliharaan yang menyalahi kodrat dari binatang itu sendiri.

Sebenarnya produk lokal, seperti buah-buahan dan ternak asli Indonesia, mempunyai banyak keunggulan dan bebas dari risiko bahaya tersebut, Karena banyak buah asli Indonesia belum dibudidayakan dengan serius. Tanaman-tanaman, seperti manggis, salak, nangka, dibiarkan saja di kebun-kebun, di belakang rumah, di hutan-hutan, tanpa dipupuk atau disemprot pestisida. Dengan demikian, risiko terpapar oleh pestisida dan bahan kimia lain sangat kecil atau dapat dikatakan organic by neglected. Karena itu masyarakat Indonesia perlu mewaspadainya risiko pangan impor tersebut.

http://www.neraca.co.id/harian/article/34355/Risiko.Impor.Pangan

Besok, 100 Massa Aksi Hari Ketiadaan Pangan

24 Oktober 2013

MAKASSAR, WARTATIMUR.COM – Sekretariat Bersama Perjuangan (Sekber) rakyat Sulsel akan melakukan aksi kampanye memperingati hari ketiadaan pangan di Flyover, jalan Urip Sumiharjo, Makassar, Kamis (24/10) besok.

Berbagai organisasi rakyat kemahasiswaan dari berbagai kampus se-Makassar ini turun kembali ke jalan dengan tagline ‘Lawan Monopoli dan Hentikan Perampasan Tanah, Wujudkan Kedaulatan Pangan dengan Land Reform Sejati’.

Setelah melakukan beberapa kali diskusi dan konsolidasi, dipastikan aksi kampanye besok akan berjalan damai dengan estimasi massa 100 orang. (NR)

Penulis : Nirwan
Editor : Asri Abdullah



http://wartatimur.com/besok-100-massa-aksi-hari-ketiadaan-pangan.html

Mengukur Ketahanan Pangan Indonesia

23 Oktober 2013

Oleh: Ir. Fadmin Prihatin Malau, Dosen Komunikasi Agribisnis di Fakultas Pertanian Univ. Muhammadiyah Sumatera Utara Medan




Perdebatan panjang acapkali terjadi pada kalangan praktisi dan politisi tentang ketahanan pangan Indonesia. Ada yang mengklaim ketahanan pangan Indonesia cukup baik. Namun, ada yang menilai ketahanan pangan Indonesia kurang baik dan bahkan ada yang menilai dalam kondisi rawan pangan. Perdebatan panjang ini terjadi akibat persepsi (cara pandang) tentang ketahanan pangan yang berbeda dan kepentingan yang berbeda dari kondisi ketahanan pangan itu sendiri.

Cara pandang dan kepentingan praktisi dan politisi selalu berbeda maka untuk menentukan apakah ketahanan pangan Indonesia dalam kondisi baik atau buruk harus terlebih dahulu disesuai dengan cara pandang dan kepentingan yang sama.

Masalah ketahanan pangan merupakan masalah nasional dan internasional sehingga ada Hari Pangan Sedunia (HPS) yang ditetapkan Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Food Day melalui Resolusi Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) Nomor 1/1979 di Roma Italia, ditetapkan tanggal 16 Oktober sebagai HPS sejak tahun 1981 yang diperingati seluruh negara-negara anggota FAO termasuk Negara Indonesia sebagai anggota FAO memperingati HPS secara Nasional setiap tahun.

Biasanya setiap kali peringatan HPS di Indonesia dijadikan momentum untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat dan para stakeholder terhadap pentingnya penyediaan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketahanan pangan Indonesia selalu dirangkai dengan kondisi kecukupan pangan dan bergizi bagi seluruh rakyat Indonesia.

Standarisasi Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan selalu terkait dengan berbagai kepentingan seperti kepentingan politik maka para praktisi terkadang harus berhadapan dengan kepentingan yang ada. Namun, terlepas dari kepentingan politik, penulis ingin mengajak pembaca untuk menyamakan persepsi (cara pandang) tentang ketahanan pangan yang sesungguhnya yakni secara akademisi dan ilmiah.

Secara akademisi, ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk mengaksesnya. Sederhananya, sebuah rumah tangga atau keluarga dapat dinilai memiliki ketahanan pangan apa bila para anggota rumah tangga itu tidak berada dalam kondisi kelaparan atau juga tidak dalam kondisi terancam kekurangan pangan atau kondisi dihantui ancaman kelaparan.

Ketahanan pangan sangat penting karena merupakan satu ukuran terhadap gangguan pada masa depan. Banyak faktor yang menjadikan kondisi ketahanan pangan terganggu seperti faktor alam yakni kemarau atau kekeringan, banjir, tanah longsor dan lainnya yang berhubungan dengan alam.

Disamping faktor alam juga faktor non-alam seperti transportasi, terganggunya pengangkutan bahan pangan baik pengangkutan via laut atau perkapalan, pengangkutan via darat dan pengangkutan via udara. Faktor kestabilan ekonomi masyarakat, kondisi negara yang tidak aman seperti terjadi peperangan, kerusuhan dan lainnya.

Faktor-faktor itu merupakan gangguan ketahanan pangan pada satu daerah atau negara, maka untuk menilai ketahanan pangan itu bisa dari segi keswadayaan perorangan (self-sufficiency) dan juga dari segi ketergantungan eksternal yang ada.

Banyak negara menginginkan keswadayaan perorangan yang utama sebab dapat menghindari berbagai faktor gangguan ketahanan pangan. Keswadayaan perorangan yang baik sangat ditentukan oleh tingkat perekonomian dari setiap individu atau keluarga yang ada pada satu daerah atau negara. Bila keswadayaan perorangan sudah baik atau memadai maka daerah atau negara itu akan terhindar dari ketahanan pangan yang buruk.

Parameter Ketahanan Pangan

Badan dunia (PBB) yang menangani masalah kesehatan atau World Health Organization (WHO) telah membuat definisi tentang komponen utama ketahanan pangan yakni ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan.

Tiga komponen utama ketahanan pangan ini bila diuraikan yakni ketersediaan pangan merupakan kemampuan seseorang, sekelompok orang (rumah tangga) memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasar.

Kemudian akses pangan merupakan kemampuan untuk memiliki sumber daya secara ekonomi maupun secara fisik untuk mendapatkan bahan pangan bernutrisi. Sedangkan komponen pemanfaatan pangan merupakan kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan dengan benar dan baik serta proporsional.

Apa bila tiga komponen utama ketahanan pangan ini telah terwujud maka ada komponen yang sangat penting dari tiga komponen utama ketahanan pangan yakni kestabilan dari ketiga komponen utama ketahanan pangan untuk waktu lama.

Parameter ketahanan pangan ini harus ada, tidak bisa tidak ada karena dari parameter itu dapat diukur secara akurat, ilmiah tentang kondisi dari ketahanan pangan di Indonesia. Parameter ketahanan pangan yang digunakan akan memberikan gambaran jelas tentang kondisi ketahanan pangan Indonesia yang sesungguhnya.

Menurut data PBB dari Food and Agriculture Organization (FAO) menyebutkan Indonesia pada tahun 2013, posisi ketahanan pangan Indonesia berada pada urutan 66 dari 107 negara. Sementara itu urutan tertinggi ketahanan pangan dunia ditempati Amerika Serikat dan yang terendah ditempati Republik Kongo.

Ketahanan pangan Indonesia berada pada posisi 66 secara dunia dan secara Asean posisi Indonesia berada pada urutan ke-16. Pada skala Asean posisi Indonesia lebih baik dari Myanmar dan Kamboja maka secara nasional ketahanan pangan Indonesia harus menjadi prioritas utama agar tercapai kemandirian dan kedaulatan pangan.

Standarisasi ketahanan pangan harus sejalan dengan parameter ketahanan pangan maka baru diperoleh kondisi yang sesungguhnya dari ketahanan pangan Indonesia. Kajian ilmiah secara akademisi ini sangat penting sebab akan memberikan gambaran yang sesungguhnya dari ketahanan pangan di Indonesisa.

Ketahanan pangan Indonesia tidak bisa berdasarkan asumsi, prediksi dan sekadar pernyataan dari Kepala Negara, pejabat yang menangani masalah ketahanan pangan atau kepala daerah akan tetapi harus ada kajian yang terukur dan teruji secara akademisi murni.

Banyak komentar dari para pejabat di Indonesia yang dilansir media mengatakan Pemerintah Indonesia sudah mampu swasembada pangan yakni beras pada tahun 2013 dan akan terus ditingkatkan pada tahun mendatang. Faktanya berbagai komoditi pangan seperti beras, jagung dan lainnya masih ada impor.

Kemandirian Ketahanan Pangan

Pendekatan dengan kajian ilmiah akademisi sangat membantu untuk menentukan kondisi yang sesungguhnya dari ketahanan pangan Indonesia. Kondisi itu secara umum sangat mudah menilainya yakni sudah adanya kemandirian ketahanan pangan.

Pendekatan kemandirian ketahanan pangan juga dapat dikaji secara akademisi yakni apa bila komponen dari kemandirian itu memang sudah ada. Kemandirian ketahanan pangan Indonesia itu dapat dinilai dari penguasaan lahan pertanian per petani di Indonesia. Kondisi yang ada penguasaan lahan pertanian sangat kecil yakni sekitar 53 % menguasai lahan pertanian per petani atau per rumah tangga petani kurang dari 0,5 hektar.

Bila penguasaan lahan pertanian yang kecil atau kurang dari 0,5 hektar per rumah tangga petani maka produksi pertanian per tahunnya akan sangat kecil. Hal ini sejalan dengan luas lahan produksi pertanian yang kecil.

Kecilnya jumlah produksi pertanian maka Pemerintah Indonesia tidak mampu menghilangkan kartel ketahanan pangan. Banyak pihak menyalahkan kartel ketahanan pangan yang terjadi di Indonesia dan mendesak pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang bisa menindak tegas para pelaku kartel ketahanan pangan Indonesia.

Desakan dari berbagai pihak untuk menghilangkan kartel ketahanan pangan, tidak juga terwujud perangkat hukumnya.

Akan tetapi seandainya ada peraturan atau perangkat hukumnya yang tidak membolehkan kartel ketahanan pangan Indonesia maka juga akan belum mampu mewujudkan keinginan dari ketahanan pangan Indonesia sebab luas lahan pertanian per petani atau per rumah tangga petani masih kecil dan produksi pertanian per tahunnya masih sangat kecil.

Selama ini Pemerintah hanya mencari cara instan memenuhi konsumsi pangan yakni dengan jalan impor. Buktinya produksi pangan di Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia dan masih kekurangan pangan dan resiko kelaparan terus menjadi masalah serius.

Data Global Food Security Index 2012 yang dirilis Economic Intelligent Unit, indeks keamanan pangan Indonesia berada di bawah 50 (0-100). Posisi Indonesia jauh lebih buruk dari Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipina. Data Global Food Security Index 2012 ini berdasarkan faktor kekurangan gizi, berat badan anak dan tingkat kematian anak di Indonesia.

Melihat dari faktor yang ada maka ketahanan pangan Indonesia berada pada zona merah, untuk itu mengukur ketahanan pangan dengan akademisi dan ilmiah harus mewujudkan kemandirian pangan yang berkesinambungan bukan sekadar memenuhi kebutuhan pangan. Pemerintah harus segera melakukan strategi akademisi dan ilmiah yang jitu agar ketahanan pangan Indonesia tidak semakin buruk.

Pemerintah melepaskan masalah ketahanan pangan Indonesia dari masalah politik dan mengkedepankan masalah realistis dengan kebijakan yang jelas kepada petani kecil yakni dengan memberikan inovasi teknologi dan pengembangan institusi. Targetnya para petani harus terus berkembang seiring dengan modernisasi dan itu harus dimulai ketika memeringati hari pangan se-dunia ini. Semoga. (analisadaily.com)

http://www.neraca.co.id/harian/article/34126/Mengukur.Ketahanan.Pangan.Indonesia

PETANI JAWA BARAT AKAN GRUDUK KANTOR MENTERI PERTANIAN UNTUK TUNTUT SUBSIDI DAN PERLINDUNGAN

23 Oktober 2013

Besok, kamis (24/10), petani di Jawa Barat akan menggelar aksi massa di depan Kantor Kementerian Pertanian untuk menuntut subsidi pertanian dan perlindungan hak petani. Massa aksi terdiri dari petani Kabupaten Bogor, Bandung, Sumedang, Cirebon, Banten yang tergabung dalam Alliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA).

Tema peringatan hari pangan sedunia yang diselenggarakan oleh kementerian pertanian “Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan”, adalah ilusi pemerintah atas jawapan persoalan pangan. Krisis pangan yang saat ini menjadi teror rakyat diseluruh dunia adalah mitos tentang tidak tersedianya pangan.

Jawaban pemerintah ini berbanding terbalik dengan kenyataan di Indonesia, bahwa panen padi pada 2013 mengalami peningkatan 3 %, dari tahun sebelumnya. Selain itu, hasil release organisasi pangan dunia Food and Agriculture Organization (FAO), dinyatakan dalam dukumen ‘Crop Prospects and Food Situation” produsen pangan dunia mengalami peningkatan 3,3%.

Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Rahmat Ajiguna mengatakan, akar masalah krisis pangan bukanlah disebabkan oleh stock pangan dunia tidak mencukupi. Namun akar persoalan pangan karena adanya monopoli sektor pertanian dan pangan oleh korporasi besar dunia. Mereka mengontrol produksi dan distribusi pangan untuk kepentingan dan meraup keuntungan. Masalah pangan di Indonesia, tidak akan bisa diselesaikan hanya dengan seminar, promosi makanan dan gelar teknologi, seperti kegiatan peringatan hari pangan seduani yang dilaksanakan oleh kementrian pertanian pada 24-27 Oktober 2013 di Minangkabau.


Rahmat menjelaskan, masalah pangan di Indonesia hanya bisa dijawab dengan mewujudkan kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan hanya akan mampu di jalankan ketika pemerintah memiliki kemauan dan keberanian untuk tidak diintervensi oleh asing, dengan menjalankan reforma agraria sejati. Sebab sumber kekayaan dan sektor pertanian telah dimonopoli oleh para investor asing. Dampaknya petani harus tersingkir dari alat produksinya, akibat perampasan tanah. Petani juga harus bertani dalam sistem pertanian yang terbelakang, tanpa investasi, bahkan tanpa peningkatan ketrampilan. Mereka harus hidup dengan secuil tanah tanpa bantuan berarti oleh pemerintah.

Tarman (52) salah satu petani sayuran Desa Pangalangan Kabupaten Bandung, mengaku saat ini terdapat 900 Kepala Keluarga (KK) di desanya, harus bertani dalam kondisi yang tidak tenang, karena ancaman perampasan tanah dan tanpa bantuan apapun dari pemerintah. Mereka tidak pernah dikunjungi oleh pejabat dari dinas pertanian apalagi dapat bantuan.

 Pengakuan senada disampaikan jumali (37) salah satu petani padi Kabupaten Cirebon harus berebut air dan membayar mahal untuk mengairi sawahnya. Karena tidak adanya irigasi yang memadahi, mereka harus membangun sumur bor dan membeli mesin pompa.  “jika saya dan mayoritas petani desa ini membangun sumur bor dan mesin pompa, akan membtruhkan biaya yang sangat mahal dan tidak mampu membelinya”, pungkasnya.

Kondisi yang sama juga dialami petani A Sule (39) dari Desa Tajur Halang, Kabupaten Bogor, selain tanah pertaniannya terancan dirampas oleh PT. Buana Estate , mereka harus menangung resio gagal panen karena serangan hama. “Sejauh ini tidak ada bantuan pemerintah untuk mengatasinya,  bahkan subsidi takpernah kami nikmati. ” tutur Sule juga Ketua Serikat Petani Setempat.

Salah satu petani dari Tajur Halang lainya Fahru (37) mengungkapkan, ratusan keluarga bergantung hidup di kaki gunung salak semakin kesulitan modal untuk menggarap lahan. Secara swadaya petani desa ini membangun irigasi sederhana dengan paralon agar bisa di alirkan air dari puncak gunung ke ladang-ladang kami.

Bu Neneng  (40) petani Rumpin, Kabupaten Bogor, mengaku memiliki masalah yang tidak jauh beda. “ Kami hanya memiliki sawah yang sangat sempit, jika panen kami tidak pernah menjual hasil panen, karena hanya bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Beban ini bertambah berat dan tidak bisa hidup tenang. Karena sawah pertanian dan lahan rumah penduduk desa diklaim oleh TNI AU dengan dalih tanah ini milik mereka dan sampai saat ini belum ada penyelesaian,” uangkap neneng.

Masalah semacan ini tidak hanya terjadi di Jawa Barat, tetapi menjadi masalah umum petani di Indonesia. meraka terancam dengan perampasan tanah, mereka terjerat praktek peribaan dan tengkulakisme, mereka bertani dengan keterampilan yang rendah dan tanpa perhatian serius dari pemerintah, seharusnya pemerintah memberikan perlindungan kepada petani, selain menjamin atas tanah bagi para petani, pemerintah juga harus memberikan sudsidi, dan melindungi harga, tetapi kenyataan sebaliknya justeru pemerintah mengundang investasi dan membuka kran impor, tentu ini akan mematikan petani dan mengubur kedaulatan pangan di Indonesia. Atas kebijakan ini para petani akan melakukan aksi dan menuntut kepeda menteri pertanian pada tanggal 24 Oktober agar memberikan subsidi dan perlindungan bagi petani.

http://pp-frontmahasiswanasional.blogspot.com/2013/10/petani-jawa-barat-akan-gruduk-kantor.html

Ichsanuddin Noorsy : Gita Wirjawan Ajukan RUU Perdagangan Neolib

22 Oktober 2013

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Ekonomi Politik, Ichsanuddin Noorsy, meminta Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Wirjawan agar instrospeksi diri jika ingin mencalonkan diri sebagai Presiden.

"Mendag kalau kampanye mau jadi Presiden maka ngaca dulu deh," kata Noorsy dalam diskusi soal RUU Perdagangan di gedung DPR RI Jakarta, Selasa (22/10/2013).

Pernyataan Noorsy terkait dengan draf akademis Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan dari pemerintah yang antara lain ditandatangani oleh Mendag Gita Wirjawan.

"Ini naskah akademis RUU Perdagangan neolib," kata Noorsy.

Dia mencontohkan frame kata-kata yang dipakai dalam naskah akademis RUU Perdagangan itu bisa dilihat pada kata pengantar yang secara terang benderang menyebut free trade (perdagangan bebas).

"Saya menemukan rumusan banyak sekali yang harus dibedah. Ini baru di naskah akademis belum masuk isi RUU -nya. Kenapa kita bahas naskah akademisnya dulu karena setiap UU tidak mungkin dibahas tanpa naskah akademis," kata Noorsy.

Noorsy juga tidak menemukan kata-kata "untuk hajat hidup orang banyak" dalam draf RUU Perdagangan itu. "Dan kelihatannya draf akademik RUU ini tunduk pada WTO (World Trade Organization/Organisasi Perdagangan Dunia). Ini adalah konsep WTO . Padahal draf ini harus dibuat dalam rangka menegakkan konstitusi bukan dengan menggadaikan kedaulatan ekonomi," ujarnya.

Di tempat yang sama, Anggota Komisi VI DPR RI Bima Arya mengatakan RUU Perdagangan dibahas agar produk domestik/produk nasional memiliki domain penting dalam perdagangan.

"Itu target kita membuat RUU Perdagangan. Apalagi sudah 68 tahun kita merdeka belum punya UU Perdagangan secara menyeluruh," ujarnya.

Dia prihatin sebab saat ini konsumsi pangan dalam negeri 60 persen diantaranya diimpor.

"Kita bukan bangsa produsen lagi tetapi bangsa predator (konsumtif). Bukan kebijakannya yang salah tetapi cara berpikirnya yang salah," kata dia.

http://www.tribunnews.com/bisnis/2013/10/22/ichsanuddin-noorsy-gita-wirjawan-ajukan-ruu-perdagangan-neolib

Konsep RUU Perdagangan Dianggap Neoliberal

22 Oktober 2013

JAKARTA, (PRLM).- Konsep RUU Perdagangan dinilai lebih tunduk kepada World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia, sehingga harus ditolak. Sebab, RUU ini bertentangan dengan konstitusi UUD 1945, dan nantinya kalau lolos jadi UU akan membuat bangsa tergadaikan.
“Dilihat dari naskah akademiknya, jelas RUU ini sangat neolib(eral), menyerahkan kepada pasar bebas. RUU ini harus ditolak. Sebab, kalau sampai lolos jadi UU, cenderung menggadaikan kedaulatan ekonomi Indonesia,” kata pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy dalam diskusi "RUU Perdagangan" di DPR, Selasa (22/10/2013).
Noorsy memberi salah satu contoh, RUU Perdagangan ini juga menguntungkan asing dari sistem pembayaran. Karena RUU ini lebih banyak dilakukan dalam sistem elektronik, nanti yang akan memainkan hanya dua kartu kredit dari Visa dan Master, keduanya dari luar negeri yang menguasai hampir seluruh perbankan kita.
“Untuk sistem pembayaran, kita dikuasai oleh Visa dan Master. Yang sistem elektronik asli dalam negeri hanya dua, Bank Mandiri dan BCA. Mestinya, dalam RUU ini menekankan pentingnya perbaikan pembayaran elektronik dalam negeri itu,” ungkapnya.
Anggota Komisi VI DPR Aria Bima menyatakan, RUU Perdagangan ini dibahas dalam kondisi nyata ketika Indonesia mengalami defisit perdagangan sejak CAFTA (perdagangan bebas dengan Cina) diberlakukan, dagang kita kalah.
“Kami tidak ingin kondisi ini diterus-teruskan. RUU ini nantinya juga tidak untuk memayungi kondisi faktual saat ini, yang kenyataannya sedang kalah dalam berdagang," tegas Aria Bima.
RUU Perdagangan, kata politisi PDIP ini, pada dasarnya harus melindungi kepentingan nasional kita. Kenyataanya, barang impor kita begitu banyaknya, bahan pangan ada yang mayoritas, seperti bawang putih dan kedelai serta jagung.
"RUU ini harus menciptakan lapangan kerja dan menekan lepasnya devisa akibat defisit neraca perdagangan, dan membuat iklim pertanian kita tumbuh menjadi kekuatan utama untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor,” katanya. (A-109/A-88)***

http://www.pikiran-rakyat.com/node/255871

RUU Perdagangan Bahayakan Ekonomi Nasional

23 Oktober 2013

JAKARTA — Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy mengusulkan agar DPR RI menolak usulan RUU Perdagangan karena membahayakan ekonomi nasional. Pasalnya, naskah akademik dan RUU Perdagangan tidak sejalan dengan Konstitusi dan cenderung tunduk pada kepentingan asing, ungkap Ichsanuddin Noorsy, pada diskusi “Forum Legislasi: RUU Perdagangan”, kemarin.

Tampil bersama Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Aria Bima dan Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Suryadi, Ichsanuddin mengaku setelah dirinya mempelajari naskah akademik dan draf RUU Perdagangan, ditemukan banyak hal yang tidak sejalan dengan konstitusi dan justru cenderung tunduk pada aturan lembaga perdagangan dunia yakni World Trade Organization (WTO).

“Setelah saya mempelajarinya, saya menemukan banyak pasal yang lebih mengutamakan kepentingan asing daripada kepentingan nasioal. Ada semangat neolib.”

Contohnya, draf RUU Perdagangan tersebut menyampaikan konsep-konsep yang sejalan dengan konsep WTO. Jika RUU tersebut sampai disetujui DPR, dikhawatirkan dapat menggadaikan kedaulatan ekonomi nasional.

Ditambahkan, dalam naskah adademik hanya mempertimbangkan pasal 5 dan pasal 33 UUD NRI 1945 tapi tidak mempertimbangkan 29 UU lainnya yang terkait dengan perdagangan.Dengan pertimbangan hanya melihat pertimbangan dengan variabel tunggal, padahal banyak aturan perundangan lain yang terkait.

Ia juga melihat RUU Perdagangan ini menguntungkan asing dari sistem pembayaran elektronik yang dikelola oleh asing. Jika ingin menerapkan sistem pembayaran elektronik agar menerapkan sistem pembayaran yang berbasis nasional. Karena itu, DPR harus mengembalikan RUU Perdagangan kepada pemerintah agar diperbaiki dengan berbasis nasional.

Aria Bima malah mengatakan, untuk mengukur sebuah aturan perundangan berpihak kepada rakyat atau asing maka DPR harus berani memerintahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit seluruh perjanjian perdagangan internasional.

Menurut dia, RUU tentang Perdagangan yang sedang dibahas di Komisi VI DPR RI ini juga harus sejalan dengan amanat konstitusi. “Fraksi PDI Perjuangan DPR siap melakukan itu untuk kepentingan nasional,” katanya.

Liberalisasi ekonomi, kata dia, memberikan dampak negatif kepada rakyat Indonesia, salah satunya adalah defisit neraca perdagangan hingga 70 persen, karena lebih banyak impor. Kondisi ini harus segera dievaluasi dan dicari solusinya.

Pada drag RUU Perdagangan yang sudah diperbaiki pemerintah tercatat 438 Daftar Isian Masalah (DIM) yang akan dibahas Komisi VI DPR RI hingga Januari 2014.

“Dalam kurun waktu itu pasti banyak berbagai kepentingan yang masuk, sehingga harus dikawal oleh masyarakat agar menghasilkan sebuah UU yang berpihak kepada rakyat,” kata Aria Bima.

http://www.harianterbit.com/2013/10/23/ruu-perdagangan-bahayakan-ekonomi-nasional/

Rabu, 23 Oktober 2013

Aturan Undang-Undang Harus Berpihak kepada Rakyat

22 Oktober 2013

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guna mengetahui apakah aturan perundang-undangan berpihak kepada rakyat sesuai amanat konstitusi, khususnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan yang dibahas Komisi VI DPR RI, maka DPR harus berani memerintahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit seluruh perjanjian perdagangan internasional.

“Fraksi PDIP DPR siap melakukan itu. Sebab, dampak dari liberalisasi ekonomi sekarang ini Indonesia mengalami defisit transaksi sampai 70 persen, karena lebih banyak impor daripada ekspornya sejak Januari 2010 sampai 2013 ini. Untuk itu, deindustrialisasi itu harus dievaluasi,” kata Arya Bima Wakil Ketua Komisi VI DPR RI dalam diskusi ‘RUU Perdagangan’ bersama pengamat politik ekonomi Ichsanuddin Noorsy, dan pengajar fakultas ekonomi UI Surjadi di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (22/10/2013).

Menurut Arya Bima, RUU Perdagangan yang sudah diperbaiki oleh pemerintah, yang terdiri dari 438 daftar inventarisasi masalah (DIM), akan dibahas sampai Januari 2014.

“Dalam kurun waktu itu pasti akan banyak berbagai kepentingan yang masuk. Karena itu harus dikawal oleh masyarakat agar menghasilkan sebuah UU yang berpihak kepada rakyat sesuai amanat konstitusi, dan bukannya untuk kepentingan asing atau liberalisasi,” ujarnya.

Sebelumnya RUU yang diajukan oleh Kemendag tersebut sempat dikembalikan oleh Komisi VI DPR RI, dan sudah diperbaiki khususnya yang berbau neolib, dan bertentangan dengan amanat UUD 1945. RUU ini akan mengatur masalah perdagangan terkait dengan kedaulatan pangan, pedagang kecil dan menengah (UKM), termasuk masuknya ritel seperti Alfamart, Indomart, dan mall-mall yang sudah masuk kabupaten/kota di Indonesia.

Fraksi PDIP sendiri, kata Arya Bima akan mencermati RUU ini secara ideologis, misalnya dalam memproteksi pasar-pasar tradisional.

“Di mana kebijakan ritel yang diputuskan dengan Perpres per 1 Januari tersebut harus dievaluasi, karena terbukti kompetisi perdagangan kita tak berimbang. Yaitu banyak dikuasai barang-barang impor, sedangkan impor kita minus. Sehingga banyak terjadi kelangkaan kebutuhan pokok masyarakat akhir-akhir ini termasuk kedelai,” katanya.

Sementara itu Surjadi mengingatkan jika sebuah RUU yang mempunyai spirit nasionalisme, tapi begitu dituangkan dalam perundang-undangan malah bertabrakan dengan UU yang lain, sehingga terjadi tumpang-tindak peraturan. Termasuk UU otonomi daerah yang mengatur hubungan pusat dan daerah, juga PP No.38/2007 yang mengatur kewenangan pemerintah pusat dan daerah.

“Belum lagi masih banyak masalah internal di Kemendag RI sendiri, yang terjadi antar Dirjen, dan dengan kementerian terkait seperti perindustrian,” katanya.

http://www.tribunnews.com/bisnis/2013/10/22/aturan-undang-undang-harus-berpihak-kepada-rakyat

Mentan akui ketersediaan lahan ganjal target swasembada pangan

22 Oktober 2013

JAKARTA, kabarbisnis.com: Terus menyusutnya lahan pertanian dan sulitnya menambah lahan baru diklaim Kementerian Pertanian (Kementan) sebagai penyebab melesetnya target swasembada lima komoditas pangan strategis pada 2014. Kelima komoditas pangan tersebut yakni beras, kedelai, gula, jagung, dan daging.

Menteri Pertanian Suswono menyatakan, dukungan sektor atau instansi lain terhadap Kementan dalam mewujudkan target tersebut sangat minim, misalnya dukungan dalam mendapatkan lahan baru, perbaikan irigasi, hingga ketersediaan regulasi yang diperlukan.

Menurutnya, pencapaian swasembada pangan harus dilakukan secara bersama dengan sektor lainnya agar kebijakan berjalan sinkron. Kementan mengklaim telah bekerja keras dan tidak main-main dalam mewujudkan target swasembada tersebut. Meski Kementan juga mengakui ada persoalan internal di Kementan yang juga turut berkontribusi membuat target swasembada pangan tidak sepenuhnya terpenuhi.

“Kami bekerja tidak main-main. Kami mohon keruwetan dalam pencapaian swasembada pangan ini dipahami. Dukungan antarsektor untuk mewujudkan swasembada sangat dibutuhkan, salah satunya agar keterbatasan lahan bisa diatasi,” ungkap Mentan Suswono saat rapat kerja dengan Komisi IV DPR di Jakarta, Senin (21/10/2013).

Suswono menjelaskan, untuk mencapai swasembada, khususnya padi/ beras, kedelai, gula, dan jagung, dibutuhkan tambahan lahan seluas 2 juta hektare (ha). Nyatanya untuk mendapatkan tambahan lahan tersebut tidaklah mudah. Untuk mencapai swasembada gula misalnya, dibutuhkan tambahan 350 ribu ha lahan, namun sampai saat ini itu sulit direalisasikan. Begitupun untuk penambahan lahan bagi padi/beras, kedelai, dan jagung. kbc10

http://www.kabarbisnis.com/read/2842542

Ichsanuddin Noersy: RUU Perdagangan Rugikan Indonesia

22 Oktober 2013

JAKARTA, (PRLM).- Kalau RUU Perdagangan ini dibiarkan lolos begitu saja maka sama dengan menggadaikan kedaulatan ekonomi bangsa ini kepada asing. Apalagi konsep perlindungannya semu, yaitu hanya ketika terjadi kelangkaan dan harga-harga barang kebutuhan pokok naik, pemerintah baru turun tangan.

“Tak ada perlindungan jangka panjang, karena tergantung pada kasus kelangkaan dan harga-harga naik," kata pengamat politik ekonomi Ichsanuddin Noersy dalam diskusi ‘RUU Perdagangan’ bersama Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Arya Bima dan pengajar fakultas ekonomi UI Surjadi di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (22/10/13).

Noersy menegaskan, naskah akdemik RUU Perdagangan usulan Kemendag RI yang disampaikan ke DPR RI neoliberal, hanya untuk kepentingan asing, dan tak ada usaha untuk menciptakan kedaulatan ekonomi bangsa. Apalagi ada 29 UU yang terkait dengan RUU Perdagangan ini, dan itu sama sekali tidak disinggung, sehingga seolah-olah RUU ini berdiri sendiri, dan tak terkait dengan UU yang lain.

“Jadi, DIM (daftar inventarisasi masalah) RUU itu bukan untuk menegakkan konstitusi, karena tidak disusun berdasarkan kekeluargaan. Maka wajar kalau naskah RUU ini tunduk pada pasar bebas dunia atau WTO, karena WTO memang tak pernah menyinggung kedaulatan ekonomi, melainkan hanya ketahanan ekonomi. Di mana Indonesia merupakan pasar potensial asing,” jelasnya.

Dia mencurigai konsep utama RUU Perdagangan ini lebih tunduk pada World Trade Organization (WTO). "Dilihat dari naskah akademiknya, jelas RUU ini sangat neolib, termasuk framenya, maka hasilnya sudah pasti neolib," terangnya.

Lihat saja, dalam pasal 5 naskah akademik RUU ini dijelaskan bahwa sedikitnya ada 29 UU yang berkaitan. "Artinya, disini pemerintah hanya melihat pandangannya sebagai single variabel. Padahal, banyak sekali yang perlu dibedah rumusannya," ujarnya.

Kalau RUU ini dibiarkan lolos begitu saja maka sama dengan menggadaikan kedaulatan ekonomi bangsa ini kepada asing. Apalagi konsep perlindungannya semu, yaitu hanya ketika terjadi kelangkaan dan harga-harga barang kebutuhan pokok naik, pemerintah baru turun tangan. “Tak ada perlindungan jangka panjang, karena tergantung pada kasus kelangkaan dan harga-harga naik, bagaimana?” katanya mempertanyakan.

Globalisasi memang suatu keniscayaan, tapi jangan terjebak pada globalisme di mana semua kepentingan asing dan global menggerogoti kedaulatan ekonomi, kedaulatan, pangan, dan kedaulatan bangsa ini. Sehingga Indonesia akan tergantung kepada asing, impor, dan terus menumpuk utang luar negeri. “Transaksi elektronik dari kartu kredit, ATM dan sebagainya, ternyata semua milik asing yaitu visa dan master card. Jadi, tak ada yang berbasis kekuatan nasional,” tambah Ichsanuddin.

RUU ini tidak mengadopsi sistem pembayaran berbasis nasional. Namun kalau RUU ini pada akhirnya lolos, dalam pendekatan globalisme, jelas bangsa ini akan terjerat.

Noorsy mendesak DPR agar mengembalikan RUU ini kepada pemerintah. "Kembalikan kepada pemerintah," tegasnya sambil menyarakan agar DPR bisa mendorong BPK untuk melakukan audit semua perjanjian perdagangan luar negeri. "Dengan audit perjanjian perdagangan ini, maka kita bisa menentukan dimana posisi kita sesungguhnya di APEC," ungkapnya

Selain itu dalam berbagai kebijakan ekonominya, Amerika Serikat tak pernah menyinggung geopolitik, mengapa? “Karena itulah kepentingan Amerika, agar bisa menguasai pasar Indonensia. Untuk itu dalam penyediaan barang dagangannya, yang terpenting cepat (speed), kuat (stamina), dan tepat (akurat). Jadi, RUU Perdagangan ini ahistoris karena kerangka berpikir ke depannya salah, maka perlu semua perjanjian perdagangan internasional itu diaudit,” ujarnya.

Dengan demikian katanya, siapapun presidennya di 2014 mendatang, tak akan bisa memperbaiki perekonomian bangsa ini, karena semua UU-nya menggilas. “Semua UU nya neolib, dan sulit bisa memperbaiki satu per satu dari 29 UU khususnya yang terkait dengan UU Perdagangan ini,” pungkasnya. (A-109/A-108)***

http://www.pikiran-rakyat.com/node/255885

Resah Melihat Politik Liberal, PBNU Siapkan Resolusi Jihad II

22 Oktober 2013

Wakil Ketum PBNU As'ad Said Ali
Wakil Ketum PBNU As'ad Said Ali

Surabaya, Sayangi.Com - Wakil Ketua Umum PBNU KH As`ad Said Ali menegaskan bahwa organisasinya sedang menyusun atau merumuskan "Resolusi Jihad NU II" untuk mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi yang membawahi lembaga tinggi negara, seperti presiden, DPD dan DPR.

"Kita belum tahu apa namanya, apakah fatwa, resolusi jihad II, III, atau apa, yang jelas para kiai sudah resah dengan situasi yang menyimpang dari Pancasila akhir-akhir ini," kata As'ad Said Ali,  dalam sarasehan `Revitalisasi Resolusi Jihad NU` di Surabaya, Selasa (22/10).

Sarasehan tersebut dibuka oleh Gubernur Jatim Soekarwo dan dihadiri antara lain  Mayjen TNI (Purn) Saiful Sulun (mantan Pangdam V/Brawijaya), KH Solahuddin Wahid (Tebuireng, Jombang), KH Miftachul Akhyar (Rais Syuriah PWNU), dan KH Sholeh Qosim (Sidoarjo).

"Keresahan para kiai sudah diungkapkan Rais Aam PBNU KH Sahal Mahfud dalam Munas Alim Ulama NU di Buntet, Cirebon pada beberapa waktu lalu, bahkan Presiden SBY langsung merespons keresahan para kiai saat menutup Munas itu," katanya.

Intinya, para kiai meresahkan dinamika politik yang berkembang jauh dari kesepakatan pendirian negara ini akibat masuknya liberalisme dan fundamentalisme yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara secara sistematik.

"Para kiai langsung meminta MPR dikembalikan kepada fungsinya sebagai lembaga negara tertinggi yang membawa lembaga tinggi negara lainnya, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, sehingga bila ada masalah antarlembaga maka ada penegah yakni MPR," katanya.

Selain itu, para kiai juga meminta amandemen UUD 1945 ditinjau kembali, karena hanya sedikit amandemen yang bermanfaat, seperti terkait HAM, sedangkan lainnya justru mudharat (tidak bermanfaat). "Jadi, amandemen itu jangan menabrak Pembukaan UUD 1945," katanya.

Para kiai juga meminta 10 UU terkait ekonomi ditinjau ulang. "Ekonomi harus mengedepankan etika dan ekonomi khas Indonesia adalah gotong royong, antara ekonomi atas dan ekonomi bawah saling bekerja sama dan saling membantu," katanya.

Untuk pemilihan langsung mungkin cukup di tingkat provinsi, karena demokrasi itu menyimpang dari Pancasila. "Pancasila itu mengedepankan musyawarah. Itulah demokrasi ala Indonesia, bukan pemilihan langsung," katanya.

Di bidang hukum, para kiai juga tidak sepakat dengan hukum yang formalistik tanpa etika dan keadilan. "Di bidang budaya juga sama, NU tidak sepakat maksiat dilawan dengan kekerasan, tapi maksiat harus dilawan dengan sistem, strategi, dan kebijakan," katanya.

Menurut dia, Presiden memahami semua keresahan para kiai itu dan sepakat dengan pandangan para kiai. "Hanya saja, Presiden meminta waktu untuk menunggu pasca-2014 agar amandemen atau dinamika yang ada tidak terkesan bongkar pasang setiap tahun," katanya.

Dalam kesempatan itu, mantan Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI (Purn) Saiful Sulun mengakui liberalisme sudah menggantikan Pancasila di negeri ini dengan menumpang reformasi, karena itu dirinya mendukung "jihad" para ulama NU untuk mengembalikan "rel" Indonesia.

"Saatnya, para ulama NU mengeluarkan fatwa kembali seperti Resolusi Jihad di masa lalu. Resolusi Jihad NU II ini berisi tiga hal yakni kembali ke Pancasila, kembali ke Demokrasi Indonesia, dan kaji ulang Amandemen UUD 1945," katanya.

Saat membuka sarasehan itu, Gubernur Jawa Timur Soekarwo mendukung agar "Resolusi Jihad NU" diperingati secara rutin pada setiap tahun karena erat kaitannya dengan Pertempuran 10 November.

"Saya setuju, karena itu saya mendukung acara ini, bahkan saya mendukung kalau peringatan Resolusi Jihad NU itu diperingati pada setiap tanggal 22 Oktober yang nantinya dirangkai dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November," kata Soekarwo (Ant)

http://www.sayangi.com/politik1/read/8699/resah-melihat-politik-liberal-pbnu-siapkan-resolusi-jihad-ii

Selasa, 22 Oktober 2013

Agung Jelantik Sanjaya: Pemerintah Gagal Membangun Kedaulatan Pangan

21 Oktober 2013

MESKI Indonesia di karunia sumber daya alam melimpah. Hal ini tidak serta merta membuat penduduk negeri ini sejatera, tapi  sebalkinya tingkat kesejahteraan khususnya petani makin terpuruk dengan membanjirnya produk pangan impor.

Hal ini pula yang membuat kalangan anggota komisi IV DPR gundah gulana. Salah satunya Agung Jelantik Sanjaya, anggota komisi IV DPR Fraksi Gerindra ini mengaku kecewa dengan kebijakan pemerintah saat ini yang tak melindungi para petani dalam negeri.Menurut dia  pemerintah terlalu fokus terhadap perkembangan industri sehingga bidang bidang semisal agrikultur, peternakan, dan perikanan terlupakan. Alhasil, ketika kekurangan pangan, impor menjadi solusi jangka pendek.



“Indonesia sedang berada di tengah krisis pangan yang luar biasa. Beras impor, cabai impor, bawang impor, dan banyak lagi. Padahal, Indonesia memiliki lahan luas yang sangat subur dengan potensi besar,” ujar wakil rakyat asal daerah pemilihan Bali, saat diwawancarai di kantornya bilangan Senayan Jakarta, baru-baru ini.

Saat ini, kata Agung Indonesia mengimpor setidaknya sebanyak  lima puluhan lebih  jenis bahan pangan. Selain impor, pemerintah masih belum mampu menstabilisasi beberapa harga bahan pangan yang terus meroket.

Kondisi itu, lanjut Agung menunjukkan kegagalan pemerintah dalam membangun kedaulatan
pangan. Padahal, dulu Indonesia merupakan salah satu pengekspor beragam produk pertanian dan peternakan terbesar di Asia Tenggara.

Bukti lain kegagalan pemerintah itu nampak terlihat dengan carut-marutnya sistem pengaturan dari hulu hingga hilir. Dalam hal ini khususnya Kementerian Pertanian yang membawahi Departemen Pertanian seharusnya dapat bekerjasama di lapangan dengan sinergis, karena yang paling dirugikan sebenarnya adalah petani dan juga rakyat. ”Harusnya ada integrasi dan koordinasi dari semua kepentingan produksi seperti pupuk, benih, obat-obatan, irigasi, lahan dan modal,” terang Agung.

Sosok Sederhana yang Merakyat

Kiprah  Agung  Jelantik Sanjaya terbilang baru dipanggung politik, tapi kalau bicara  komitmennya memperjuangkan nasib para petani Agung paling terdepan. Betapa tidak, hal ini dilakukannya sebagai salah satu butir visi dan misi  Partai Gerindra, yaitu mendorong  pembangunan ekonomi kerakyatan, pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan bagi seluruh warga bangsa dengan mengurangi ketergantungan kepada pihak asing.

“Yang jelas sampai saat ini kita tetap konsisten dalam hal pangan untuk rakyat. Salah satu wujud yang  dilakukan adalah  mengadakan evaluasi  terhadap program-program lama atau yang  sudah berjalan, termasuk juga merevisi pengembangan program-program yang p selama ini tidak tepat sasaran seperti  Raskin, Bantuan Langsung Masyaraat (Balsem),” ujar Agung meyainkan.

Menurut dia, Balsem itu  tidak mendidik karena tak dapat  memberdayakan rakyat kecil,  sebalik mereka  terninabobokan atas bantuan tersebut. Padahal, yang mereka butuhkan sekarang adalah lapangan kerja serta  peningkatan sumber daya manusia.

Saat ditanya apa prasyarat kedaulatan pangan yang diusung Partai Gerindra. Pertama adalah  pertanian karena sektor ini dapat menjamin ketahanan pangan maupun kedaulatan pangan, termasuk kita  juga terus  melakukan pemberdayaan terhadap para petani, yang diawali dengan memotivasi mereka agar bangkit kedepannya. Apalagi,  hasil pertanian mereka sekarang  tidak mencukupi untuk hidup dikarenakan luas lahan yang mereka  garap  kecil dan terbatas.

Kedua, tambah Agung adalah pendidikan pelatihan dan memberikan teknologi ke para petani.  Kalau sekarang, misalnya pupuk saja yang membuatnya perusahaan, sedangkan negara yang mengambil, hasilnya pun sekarang  kaga bagus utamanya pupuk yang disubsidi.

“Kami sudah mencoba melakukan hal-hal yang lebih berpihak ke para petani, salah satunya dengan mengajarkan mereka cara membuat pupuk organik yang berkualitas.Termasuk juga mengadakan kerja sama dengan para ahli dan perguruan tinggi, yang ternyata hasilnya jauh lebih bagus,”pungkasnya. (yo/pinsa)

http://www.majalahpotretindonesia.com/index.php/utama/politik/4474-agung-jelantik-sanjaya-pemerintah-gagal-membangun-kedaulatan-pangan

Rp160 Triliun untuk Impor Pangan

21 Oktober 2013

Liberalisasi Perdagangan Merajai Ekonomi RI

JAKARTA- Kebijakan pemerintah yang terus membuka peluang impor, mengakibatkan liberalisasi perdagangan kini merajai ekonomi di Indonesia. Hampir sekitar Rp160 triliun dihabiskan pemerintah selama 4 tahun belakangan ini untuk mengimpor pangan yang sebenarnya bisa dihasilkan petani di Indonesia.

Hal ini dikatakan Wasekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam diskusi bertajuk Evaluasi Publik 4 Tahun Kinerja Pemerintah dan DPR  di Jakarta Pusat, Minggu, (20/10). Diskusi ini menanggapi hasil survei Pol-Tracking Institute, dimana tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Boediono dalam bidang ekonomi mencapai 70,9 persen.

Menurut Hasto, ini diakibatkan selama Presiden SBY memerintah, banyak kebijakan mengimpor bahan pangan.”Kita tidak bisa memiliki kedaulatan pangan. Sejak tahun 2004, kami menolak impor beras, kita punya petani kenapa harus impor, tapi ini tetap saja berjalan,” kata Hasto dalam diskusi.

“Dari survei yang dikeluarkan ini kita bisa melihat juga, 91 persen masyarakat mengeluhkan harga kebutuhan pokok yang tinggi, karena impor. Inilah yang menyebabkan masyarakat tidakpuas,” tambah Hasto.

Pemerintahan selanjutnya, kata dia, harus bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan mengutamakan kedaulatan pangan dibanding rajin mengimpor pangan dari petani asing.

Terpisah, Ketua DPD Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Utara, Zubaidah mengatakan, liberalisasi perdagangan dan pangan sangat mengkhawatirkan. Sebab, harga bahan pangan melambung, sementara pasar pangan nasional tergerus oleh banjirnya bahan komoditi impor. “Seperti apa yang terjadi dengan komoditi kedelai, merupakan hal nyata bagaimana pemerintah tidak berdaya untuk mengatur atau mengontrol harga kebutuhan rakyatnya. Misalnya, ketika kelangkaan kedelai di pasaran lokal, maka anjuran untuk ekspor begitu gencarnya. Sehingga kebijakan impor kebutuhan komiditi pangan dilakukan bahkan dengan bea masuk nol rupiah. Dapat dipastikan hal ini akan berlaku juga pada komoditi lain, sehingga kesempatan petani lokal untuk menjadi produsen utama pangan dalam negeri seketika diberangus oleh sistem ini,”ungkapnya
Zubaidah menilai, perdagangan multilateral ini akan lebih mengutamakan  kepentingan pasar daripada kebutuhan nasional. Sebut saja saat ini, katanya,  kasus kelapa sawit yang sebagian besar diekspor mengakibatkan harga minyak goreng di dalam negeri naik pesat.

Di sisi lain, pola penguasaan tanah untuk pertanian masih terkonsentrasi kepada segelintir perusahaan baik perusahaan pangan dan perkebunan. Pembaruan Agraria yang menjadi janji SBY untuk membagikan lahan kepada petani kecil sampai detik ini belum juga terealisasi.

Menurutnya, Indonesia tidak akan pernah keluar dari krisis pangan ketika lahan pertanian masih dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan perkebunan dan benih tanaman masih diimpor dari luar dan bukan hasil kreativitas dan pengembangan budi daya benih lokal oleh petani. Kedaulatan pangan hanya akan tercapai apabila pemerintah lebih memilih untuk mementingkan petani kecil dari pada mengejar pertumbuhan ekonomi semu yang nyatanya tidak berdampak kepada perbaikan taraf hidup rakyat sepenuhnya.

Oleh karena itu, dalam rangka memperingati Hari Pangan yang jatuh kemarin, DPW SPI Sumut menyatakan Indonesia harus keluar dari keterikatan terhadap APEC, WTO dan Bank Dunia karena dinilai tak realistis terhadap kondisi masyarakat pada saat ini.

Selain itu,  wujudkan Kedaulatan Pangan dengan terlebih dahulu melaksanakan Pembaruan Agraria sesuai amanat UUPA No. 5 Tahun 1960, “pangan adalah Hak Azasi yang seharusnya menjadi kesempatan semua orang untuk mendapatkannya. Dan yang bertanggungjawab dalam hal ini adalah pemerintah,”tutupnya.  (flo/mag-9/jpnn)

http://www.hariansumutpos.com/2013/10/67544/rp160-triliun-untuk-impor-pangan#axzz2iR3qDYjj

Memutus Kecanduan Impor Pangan

21 Oktober 2013

Negeri ini dilanda kurangnya tenaga kerja pertanian.

Negeri ini memiliki banyak ironi. Inilah negeri dengan sebutan agraris namun masih mengimpor pangan. Di antara tanaman pangan, impor paling besar adalah gandum. Setiap tahunnya, Indonesia mengimpor sekitar 7 juta ton gandum.

Selain gandum, Indonesia juga pernah mengimpor beras, bawang putih, buah-buahan, kedelai, dan kebutuhan pangan lainnya. Negeri ini juga dilanda kurangnya tenaga kerja pertanian. Hasil sensus pertanian tahun 2013 menunjukkan, jumlah rumah tangga petani menurun dari 31,17 juta rumah tangga pada 2003 menjadi 26,13 juta rumah tangga pada 2013.

Ini berarti Indonesia telah kehilangan 5,07 juta rumah tangga petani dalam 10 tahun (Sinar Harapan, 17/10/2013). Selain itu Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 60 Tahun 2012 menyebutkan ada 20 jenis produk hortikultura yang importasinya diatur pemerintah.

Impor tanaman pangan tahun 2012 mencapai nilai sekitar Rp 80 triliun. Tahun ini, jika pemerintah tidak memiliki kebijakan tegas untuk mengendalikan impor pangan secara simultan, diperkirakan nilainya dapat tembus Rp 95 triliun.

Impor pangan hanya menuai banyak persoalan. Hal ini diindikasikan adanya kasus impor pangan di negeri ini yang semakin terkuak. Kongkalikong antara pemberi dan penerima kuota impor diduga terjadi, bahkan menciptakan kartel dan mafia impor.

Aparat penegak hukum perlu memberi sanksi yang berat bagi spekulan dan importir nakal. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan hendaknya menjadi landasan hukum bagi pemerintah, agar dapat menjerat orang yang dengan sengaja menimbun dan menyebabkan harga pangan tinggi dan merugikan masyarakat. Sanksi administrasi, denda, dan pidana perlu ditegakkan secara tegas untuk memberi efek jera.

Setiap tahun produk-produk pangan impor di Indonesia semakin tidak terbendung dan sudah pada tahap kronis. Hampir 65 persen dari semua kebutuhan pangan dalam negeri kini dipenuhi dari impor. Pada sisi lain, Data Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) menyatakan 70 persen bahan produk pangan berasal dari impor. Bahan tambahan pangan (BTP) yang ada di Indonesia, 80 persen juga masih impor.

Kalangan pengusaha umumnya mendatangkan bahan pangan dari kawasan Eropa, Amerika, dan China. Membanjirnya produk impor pangan karena pemenuhan suplai dalam negeri terus berkurang akibat produksi rendah. Faktor lemahnya riset penelitian dan inovasi menjadi salah satu penyebab produktivitas selalu rendah.

Mengakhiri Kecanduan

Pemerintah seharusnya segera mengakhiri kecanduan terhadap bahan pangan impor. Pasalnya, pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat menentukan tingkat kesehatan, kecerdasan, dan kualitas SDM suatu bangsa. Sangat tepat meminjam pidato Presiden Soekarno tahun 1957 yang mengatakan, pertanian dan pangan adalah hidup-matinya bangsa Indonesia.

Setelah 40 tahun (1997), hasil penelitian FAO mengonfirmasi kebenaran pernyataan profetik Bung Karno tersebut, bahwa sebuah negara dengan penduduk lebih dari 100 juta jiwa, tidak mungkin bisa menjadi maju dan makmur bila pemenuhan kebutuhan pangan domestiknya bergantung pada impor.

Kondisi stok pangan yang kian terbatas, sementara kebutuhannya terus meningkat akibat pertumbuhan jumlah penduduk, seharusnya merupakan peluang bagi Indonesia untuk menggenjot produksi sejumlah komoditas pangan yang dapat diproduksi di dalam negeri, baik untuk memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor.

Lebih dari itu, karena Indonesia masih memiliki lahan pertanian, perkebunan, serta perikanan cukup luas dan berpotensi untuk meningkatkan produksi pangan, pemerintah tidak perlu terus-menerus kecanduan impor pangan.

Di sisi lain, pemerintah perlu mengatur dan mengelola lahan pertanian produktif agar tidak beralih fungsi. Zona lahan pertanian abadi perlu diwujudkan untuk meningkatkan produksi.

Tingkatkan Produksi

Kebijakan impor bahan pangan, selain menghamburkan devisa juga membunuh produsen pangan dalam negeri dan mengancam kedaulatan pangan nasional. Untuk mewujudkan kemandirian pangan nasional dan mengakhiri kecanduan impor pangan, subsistem produksi, industri pascapanen, distribusi, pemasaran, dan konsumsi perlu dibenahi.

Pada subsistem produksi, pemerintah mesti meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha dengan menerapkan teknologi budi daya pertanian mutakhir yang ramah lingkungan dan sesuai daya dukung wilayah, pada lahan usaha yang ada serta melakukan ekstensifikasi usaha budi daya pada lahan-lahan baru yang potensial.

Setiap unit usaha perlu diupayakan agar memenuhi skala ekonomi. Infrastruktur usaha budi daya komoditas pangan yang ada mesti dirawat dan diperbaiki, serta membangun yang baru di setiap kabupaten/kota sesuai kebutuhan wilayah di seluruh Indonesia.

Pemerintah perlu meningkatkan inovasi dan penelitian produk pertanian agar menghasilkan daya saing dan nilai tambah. Industri pascapanen perlu dikembangkan.

Prasarana jalan, pelabuhan laut, bandara, jaringan komunikasi, dan listrik juga harus lebih disempurnakan guna menunjang sistem serta mekanisme distribusi yang lebih handal, sehingga masyarakat memiliki akses yang baik untuk mendapatkan setiap komoditas pangan yang dibutuhkan. Ini juga akan meningkatkan efisiensi ekspor komoditas pangan ke seluruh dunia.

Pada subsistem konsumsi, pola konsumsi pangan perlu diatur. Misalnya, menurunkan konsumsi beras dari 139 kilogram per tahun menjadi minimal 100 kilogram per kapita per tahun dalam 10 tahun. Dengan demikian, program diversifikasi pangan non-beras merupakan alternatif penanggulangan yang perlu dikerjakan saat ini secara bertahap.

Pada subsistem pemasaran, perlunya meningkatkan pemasaran produksi pangan nasional secara ramah lingkungan (organik) dan berkelanjutan, untuk setiap komoditas pangan yang bisa diproduksi di dalam negeri.

Akhirnya, berbagai kebijakan pemerintah perlu melindungi petani kecil demi terwujudnya tujuan kemandirian pangan nasional, gerakan konsumsi pangan dan buah lokal dalam negeri perlu diaplikasikan secara nyata untuk memutus kecanduan impor pangan.

*Penulis adalah peneliti dan mahasiswa Program Pascasarjana IPB, pegiat Jaringan Petani Sehat Indonesia (JPSI).
Sumber : Sinar Harapan

http://www.shnews.co/detile-26741-memutus-kecanduan-impor-pangan.html

Abraham Samad: Liberalisasi Pangan Haram Hukumnya!

21 Oktober 2013

JAKARTA, BARATAMEDIA – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad menyatakan Indonesia harus mampu memroteksi ketahanan pangan nasional. Sebab, potensi kedaulatan pangan Indonesia sangat besar. Sayangnya, tidak bisa dimaksimalkan pemerintah.

“Saya katakan, liberalisasi pangan di Indonesia itu haram hukumnya,” tegas Abraham saat tampil sebagai pembicara di Dialog Kebangsaan dan Rembug Nasional dengan tema ‘Mewujudkan Kedaulatan dan Ketahanan Bangsa Melalui Peran Serta Rakyat’, di Istora Senayan, Jakarta, Senin (21/10).

Acara yang digagas Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dihadiri lebih dari 20.000 peserta.

Dalam kesempatan itu, Abraham mengatakan, sebagai elemen masyarakat yang terpenting, buruh dan petani harus ikut memberantas penyakit bangsa ini, yakni korupsi. Karena, dengan masih adanya korupsi, harapan untuk Indonesia yang berdaulat, termasuk mandiri secara pangan, akan sia-sia.

“Kaum petani dan buruh adalah elemen masyarakat yang terpenting. Saya mengajak kita semua untuk memerangi penyakit korupsi,” kata Abraham yang langsung disambut gemuruh dukungan dari seluruh peserta.

Abraham melanjutkan, pihaknya saat ini sedang fokus memberantas korupsi di tiga sektor hajat hidup masyarakat. Yakni kedaulatan dan ketahanan pangan, sumber daya energi, dan revenue atau penghasilan dari pajak.

Dituturkan, berdasarkan hasil telaah KPK, impor pangan seperti beras, gula, daging sapi adalah hasil kongkalikong antara pengusaha atau pejabat dan para pengusaha hitam. “Ada kartel, mafia impor,” ujar Abraham.

Soal korupsi di sumber daya energi migas dan minerba, Abraham mengatakan dari 44 blok migas yang sudah dikelola, ada potensi meraih pemasukan nyaris Rp20.000 triliun. Angka itu belum termasuk pertambangan ilegal di sektor minerba. Namun, jumlah pemasukan itu tidak tercapai lantaran para pelaku tidak membayar royality kepada negara sebesar 50 persen, tapi malah menyuap penguasa atau pejabat.

“Dengan penghasilan Rp20.000 triliun, APBN Rp1.700 triliun itu kecil. Kita semua bisa memiliki penghasilan Rp30 juta sebulan,” sebut Abraham.

Abraham pun meminta KPK tetap diberikan kepercayaan untuk memberantas korupsi di Tanah Air. “Beri KPK waktu untuk membereskan segala kejahatan (korupsi) yang memorakporandakan Indonesia,” pungkas Abraham.

Untuk diketahui, saat pembawa acara menginformasikan kedatangan Abraham, seisi Istora Senayan bergemuruh dan bertepuk tangan. Presiden KPSI Said Iqbal pun ketika itu mengajak buruh memberikan ‘standing applaus’ menyambut kehadiran Abraham.

Selain Abraham, pembicara yang mengisi dialog kebangsaan itu antara lain Ketua Umum PBNU Said Agil Siraj, Kasad Jenderal Budiman, Ketua Umum PGRI Soelistiyo dan Budayawan Setiawan Djodi.

Dialog kebangsaan ini bertujuan untuk menggagas Indonesia baru tanpa penjajahan, tanpa korupsi, serta merupakan satu upaya kaum buruh untuk menuntut haknya setelah selama ini menggelar berbagai unjuk rasa.

Ketua HKTI Oesman Sapta menyampaikan, buruh, petani, dan guru harus bangkit bersama-sama memperjuangkan ketidakadilan di negeri ini.

Sementara itu, Sekjen KSPI M Rusdi menyampaikan, para peserta yang hadir berasal dari unsur buruh, petani, nelayan, dan guru se-Jabodetabek, plus perwakilan dari beberapa wilayah, seperti Karawang, Purwakarta, Aceh, Medan, dan Lampung.

Elemen-elemen lain seperti guru, petani, nelayan, menurut Rusdi, sengaja diundang dalam dialog nasional tersebut untuk membicarakan masalah kesejahteraan rakyat. “Posisi Indonesia sudah dalam G20, masuk dalam 15 besar ekonomi dunia, ya semua itu seharusnya berimbas pada kesejahteraan masyarakat,” katanya.

Namun, lanjut dia, upah buruh di Indonesia berada pada peringkat ke-69 di dunia, nasib para petani juga idem, bahkan mereka tidak punya lahan, begitu juga nelayan yang tidak sejahtera serta guru honor mendapatkan pendapatan yang tidak memadai. “Jadi tujuan kita mengadakan dialog nasional ini ingin menggagas Indonesia baru tanpa penjajahan, tanpa korupsi,” tambahnya.

Rusdi mengatakan dialog nasional serta rembug nasional merupakan rapat akbar KSPI menjelang mogok nasional yang akan dilakukan para buruh pekan depan.

Mogok nasional rencananya dilangsungkan pada 28- 30 Oktober. Tuntutan buruh adalah pelaksanaan jaminan kesehatan mulai 1 Januari 2014 secara keseluruhan, karena itu pihaknya menolak Penerima Bantuan Iuran (PBI) hanya 86,4 juta, melainkan harus 125 juta.

Selain itu, buruh juga menuntut kenaikan upah minimum sebesar 50 persen, penghapusan sistem alih daya, dan mendesak disahkannya RUU Pekerja Rumah Tangga. (fys)

http://www.baratamedia.com/read/2013/10/21/46214/abraham-samad-liberalisasi-pangan-haram-hukumnya

KASUS DAGING IMPOR Sosok Bunda Putri Makin Jelas

22 Oktober 2013

JAKARTA (Suara Karya): Sosok Bunda Putri makin jelas setelah Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hilmi Aminuddin, mengungkapnya saat bersaksi di persidangan perkara suap pengurusan kuota impor daging sapi pada Kementerian Pertanian dengan terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq. Sidang itu berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kemarin.

    Menurut Hilmi, Bunda Putri dikenalnya bernama Non Saputri. Dia adalah tokoh pengusaha dari Jawa Barat. Hilmi mengenalnya pertama kali di sebuah acara pernikahan dalam ruangan VVIP.

    "Bunda Putri, pertama kenal beliau sebagai tokoh pengusaha Jawa Barat, cukup senior, sering ketemu di acara resepsi di ruang VVIP. Biasalah saling kenal," kata Hilmi menjawab pertanyaan pengacara terdakwa suap impor daging Lutfhi Hasan Ishaaq, Mohammad Assegaf.

    Setelah itu, Hilmi mengaku mengenal Bunda Putri dengan baik. Bahkan, diakuinya, perempuan paruh baya itu sering berkonsultasi dengan dirinya.

    "Bunda Putri sering datang ke saya untuk konsultasi. Waktu Bunda Putri berkunjung, Pak Luthfi datang, kemudian ngobrol-ngobrol," ujar Hilmi.

    Bahkan, Hilmi mengaku mendapat informasi perihal kedatangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kantor DPP PKS dari Bunda Putri.

    "Karena dia (Bunda Putri) yang telepon saya bahwa DPP dikepung. Jadi, yang telepon pertama itu Bunda Putri," kata Hilmi. Saat Bunda Putri menelepon, Hilmi mengaku sedang berobat di sebuah klinik. Mendapat informasi itu, Hilmi mengaku langsung menghubungi Luthfi Hasan Ishaaq.

    Pada bagian lain, Hilmi bahkan membenarkan bahwa Bunda Putri mengetahui banyak hal di luar urusan bisnis. Perempuan itu, menurut Hilmi, sangat mengetahui perihal reshuffle kabinet. Hal itu diketahuinya saat mereka melakukan pertemuan.

    "Kadang bicara reshuffle, kadang bicara yang lain, saya jadi pendengar yang baik saja. Bicara politik banyak, reshuffle juga ada," kata Hilmi.

    Hilmi mengaku, hubungannya dengan Bunda Putri baik-baik saja. Dia mengatakan, perbincangan dengan Bunda Putri terus dilakukan. "Berlanjut sampai sekarang, mengobrol lepas saja, ekonomi, politik, saya pendengar yang baik saja," ujarnya.

    Namun, Hilmi membantah mengenalkan Bunda Putri kepada mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq sebagai orang dekat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). "Tidak seperti itu," kata Hilmi.

    Hal itu berbeda dengan pernyataan yang pernah diungkapkan Luthfi saat menjadi saksi untuk sidang perkara yang sama dengan terdakwa Ahmad Fathanah.

    Saat itu, Luthfi mengatakan mengenal Bunda Putri, bahkan pernah mendatangi kediamannya untuk bertanya soal reshuffle kabinet. Alasannya, perempuan itu memiliki kedekatan khusus dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sehingga tahu banyak perihal reshuffle.

    Pada kesempatan itu, Luthfi bahkan menyebut Bunda Putri sering menjadi semacam penghubung antara dewan pembina partai politik yang ada di Indonesia.

    Pada bagian lain kesaksiannya, Hilmi juga menyebut nama pengusaha besar Chairul Tanjung, selaku Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN), saat menyampaikan kegundahannya terhadap penyebaran daging tikus dan celeng yang marak saat itu.

    "Sebelumnya ada tamu ke rumah saya, persisnya Bapak Chairul Tanjung (CT). Karena saya sulit sekali ketemu Hatta Rajasa, saya sampaikan kepada beliau bisa nggak disampaikan pesan saya ke Hatta Rajasa. Saat itu CT menjawab bisa," kata Hilmi.

    Perihal sosok Bunda Putri, juga disampaikan Ketua DPP PKS, Hidayat Nur Wahid (HNW). Menurut HNW, demikian Hidayat akrab dipanggil, Bunda Putri merupakan unsur pimpinan Lumbung Informasi Rakyat (Lira) yang diketuai Jusuf Rizal. Lira selama ini dikenal sebagai organisasi yang dekat dengan Partai Demokrat.

    "Informasi yang berkembang, Bunda Putri justru merupakan pimpinan organisasi sayap dari partainya Pak SBY, Lira. Karena itu, saya berharap Pak SBY dapat menjelaskan sosok Bunda Putri. Jadi, sekali lagi, kata kuncinya, kami dan mungkin seluruh rakyat Indonesia merasa setuju kalau Bunda Putri ini diungkap setuntas-tuntasnya dan 3.000 persen setuju kalau PKS memanggil Bunda Putri," ujar anggota Komisi I DPR tersebut.

    Pascapidato SBY yang menjelaskan bahwa dirinya tidak mengenal sosok Bunda Putri, banyak beredar foto wanita itu dengan sejumlah pejabat. Salah satunya dengan Sekretaris Kabinet Dipo Alam.

    Namun, Dipo membantah bahwa dirinya mengenal sosok yang disebut oleh mantan Presiden PKS Lutfhi Hasan Ishaaq dekat dengan SBY itu. Tak hanya itu, sebulan terakhir juga beredar foto Bunda Putri dengan sejumlah menteri lainnya, seperti dengan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan dan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro. Dalam pidatonya, SBY marah atas tudingan Luthfi dan membantah dikatakan mengenalnya.

    Sebelumnya, anggota Komisi III DPR Bukhori Yusuf menantang Sutarman yang baru saja disetujui menjadi Kapolri menggantikan Timur Pradopo untuk mengungkap siapa gerangan Bunda Putri itu.

    "Apakah Sutarman mampu mengungkap sejelas mungkin tentang siapa gerangan Bunda Putri. Seharusnya memang Polri bisa mengungkapnya, sekaligus mengungkap siapa orang yang berada di balik Bunda Putri. Seharusnya Polri mengetahui dan Polri bisa mengungkapnya," ujar Bukhori.

    Sosok Bunda Putri menjadi heboh setelah mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, mengungkap Bunda Putri yang disebut-sebut terkait kasus dugaan suap pengurusan impor daging sapi adalah orang dekat Presiden SBY.

    Saat dikonfirmasi, Presiden Lira Jusuf Rizal mengakui bahwa Non Saputri aktif di organisasi Lira sejak tahun 2010.

    "Dia memang pembina Lira. Dia itu Non Saputri yang aktif di organisasi sejak tahun 2010. Selain sebagai pembina, Bunda Putri juga menjabat ketua salah satu sayap organisasi Lira, yaitu Lira Hijau yang menangani isu tentang lingkungan," ujar Jusuf Rizal.

    Dia juga tidak membantah para aktivisnya kerap datang ke rumah Bunda Putri. "Kadang ada rapat di rumahnya. Itu biasanya kalau beliau sibuk," ujarnya menambahkan.

    Jusuf juga menceritakan soal awal mula dirinya mengenal Bunda Putri. "Awal mengenal Bunda Putri saat sama-sama aktif di komunitas relawan pemenangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," katanya. Sejak itu Bunda Putri menjadi salah satu pembina Lira bersama dengan Mayjen Purn Arief Siregar dan Meyjen Purn Zulfahmi Rizal.

    "Kita juga aktif di perkumpulan Komando (Komunitas Masyarakat Cinta Indonesia) yang mengusung isu-isu terkait bailout Century," katanya. (Sugandi/Nefan K)

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=337078