Jumat, 29 November 2013

Posdaya-UGM Kembangkan Riset Produksi Pangan

29 November 2013

JAKARTA — Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) akan mengoptimalkan sumberdaya lokal dengan hasil riset pangan dan pengembangan produk makanan Universitas Gajah Mada (UGM). Selama ini UGM Yogyakarta mengembangkan riset produksi pangan dan pengembangan produk makanan sehat berbahan baku lokal berbasis sumberdaya lokal.

Tujuannya riset itu untuk merintis Indonesia menuju kedaulatan pangan dan ketahanan pangan nasional. Melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UGM memadukan konsep kemandirian dengan pemberdayaan melalui pos pemberdayaan keluarga (Posdaya). 

“Memang riset yang dilakukan UGM sangat bagus, dan tadi sudah dapat izin dari Pak Rektor UGM kalau mungkin kita aplikasikan hasil riset itu kepada petani yang menjadi anggota Posdaya. Menanam ganyong misalnya, bisa menjadi sesuatu makanan yang bisa dipasarkan secara internasional, padahal tanaman itu bisa dari halaman anggota Posdaya,” kata Ketua Yayasan Damandiri Prof Dr Haryono Suyono usai menandatangani MoU dengan UGM di Kampus UGM Jakarta, kemarin.

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UGM, Prof Dr Suratman mengatakan, pihaknya sudah lama bekerjasama dengan Yayasan Damandiri lewat kuliah kerja nyata (KKN) Tematik Posdaya. Sasarannya daerah tertinggal, termiskin, dan terluar.”Kami fokus pada membangun ekonomi kreatif untuk meningkatkan kesejaheraan, sasaran kami adalah masyarakat di daerah rentan dan miskin. Karena disana kekurangan kesempatan kreativitas ekonomi,” ujarnya.

KKN Posdaya ini juga termasuk dalam KKN Keistimewaan. Seperti instruksi Gubernur DI Yogyakarta, bahwa di daerah keistimewaan tidak boleh ada orang yang menganggur, masyarakat harus mandiri. “Kami mengintegrasikan konsep kemandirian masyarakat dengan pemberdayaan. Jadi kekuatan komutinas inilah yang menjadi sasaran KKN Tematik Posdaya,” kata Suratman.

Setiap mahasiswa dan dosen yang turun ke desa, dapat memetakan masalah yang ada disana, kemudian mencari pemecahannya. Sementara ada lima konsep kemandirian yang diterapkan di desa, yaitu agro production, masyarakat memproduksi hasil pertanian, jika hasil pertanian melimpah maka bisa diolah menjadi produk industri (agro industry).

Bagi masyarakat yang bisa menjual bisa melakukan agrobisnis. Konsep keempat, agro technology yaitu membuat teknologi tepat guna untuk mempercepat proses kemandirian. Jika kemandirian sudah ada maka desa itu bisa mengembangkan agroturism.

Jika sebuah desa sudah bisa menjadi desa wisata maka desa itu menjadi pasar. “Kita harus bisa menciptakan desa sebagai tujuan belanja atau village market. Yang jadi supermarket ya desa itu. Misalnya orang mau cari gula kepala ya di Kulon Progro, jadi mari kita mandirikan masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Menurut Suratman, kalau Indonesia ingin gemah ripah loh jinawi (makmur dan sejahtera), harus mendorong agar UMKM maju dan desa menjadi sumber pasar yang berkualtias. “Disinilah peran riset yang dilakukan UGM untuk memerangi bagaimana Indonesia meraih kedaulatan pangan, UGM bercita-cita agar kebijakan ekspor lebih banyak daripada impor, kalau bisa tidak usah impor pangan,” ujarnya.

Rektor UGM Prof. Dr. Pratikno dalam Forum Riset Industri Indonesia (Indonesia Industry Research Forum/IIRF) 2013, mengatakan, pihak industri dapat memanfaatkan hasil riset untuk industrinya. Sementara, untuk memenangkan kompetensi di era globalisasi perlu kedaulatan termasuk kedaulatan kepemimpinan atau disebutnya sebagai leadership.

Pratikno mengatakan, saat ini pedagang kaki lima saja sudah menjadi pasar internasional dan hampir tak ada pasar domestic. Artinya, barang-barang yang dijajakan sudah barang impor, bahkan buah saja sebagian besar sudah impor. “Jadi dimulai dari memenangkan pasar di kaki lima, kita akan mempunyai peluang untuk memenangkan wilayah lainnya,” kata Pratikno.

Menurutnya, untuk bisa menyalip kemajuan teknologi negara lain, kita tidak mungkin melalui tangga yang sama. Kepada ilmuwan Pratikno mengingatkan ibarat menaiki tangga, Indonesia masih di bawah.

Negara lain jika sudah sukses, tangga itu akan ditendang dan roboh. Jika kita menaiki tangga yang sama artinya, kita tetap merangkak dan tidak akan mengejar kemajuan yang sudah diraih oleh negara yang sukses itu. Oleh karena itu, harus mempunyai strategi berfikir dan membuat lembar baru untuk mengembangkan iptek dan pasar.

http://www.harianterbit.com/2013/11/29/posdaya-ugm-kembangkan-riset-produksi-pangan/

RI Contek Brazil Biar Lepas dari Kekang Impor Bahan Pokok

29 November 2013

Liputan6.com, Jakarta : Masyarakat Agribisnis dan Agro Indonesia bertekad mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor dengan mencontek Brazil. Ini karena negara ini pernah mengalami nasib yang sama seperti Indonesia

Ketua Masyarakat Agribisnis dan Agro Indonesia Fadel Muhammad mengatakan, Brazil pernah mengalami nasib yang sama seperti Indonesia pada era 90-an. Pertumbuhan ekomi yang tinggi tidak diimbangi dengan pasokan kebutuhan domestik.

Kondisi ini membuat Brazil menjadi negara importir pangan yang besar, bahkan hingga 70% dari kebutuhan nasional negaranya.

"Kita ingin meniru apa yang dibuat Brazil di era 90-an. Ada gap kaya miskin besar sekali seperti kita alami saat ini. Juga kita lihat di Brazil pertumbuhan ekonomi jalan begitu besar impor di Brazil," kata Fadel dalam jambore Masyarakat Agribisnis dan Agro Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Jumat (29/11/2013).

Namun, Brazil tidak selamanya terlena dengan kenyamanannya menjadi importir. Pemangku kepentingan sektor pertanian Negeri Samba tersebut langsung mencari solusi untuk mengatasi hal tersebut, dengan berinovasi di sektor pertaniannya.

"Tokoh leader melihat defisit pangan besar sekali, kita mengalami hari ini sama persis, maka di lain pihak potensi daerah luar biasa mirip-mirip kita. Di Brazil 70% impor dari mana-mana, timbul spirit baru dari tokoh-tokoh pertanian, meraka membangun pertanian dengan mekanisme baru, dengan cara baru," ungkapnya.

Itu sebabnya, menurut Fadel, Indonesia harus meniru Brazil. Dengan awal nasib yang sama Indonesia juga bisa mengembangkan sektor pertaniannya, sehingga tidak lagi mengimpor untuk memenuhi kebutuhannya.

"Kita impor sapi, jagung sampai 3 juta ton. Di Brazil sama, saya bersama teman-teman di MAI merasa ingin berbuat sesuatu, kita rapat dengan spirit yang ada jangan lagi kita impor. Kita impor beras sudah demikian hebat, kita impor jangung," tutur dia.

Indonesia dinilai memiliki potensi yang cukup tinggi untuk mengembangkan sektor pertaniannya. Bahkan kalau ini bisa dilaksanakan Indonesia bisa melebihi Brazil.

Namun, dia mengaku masih ada kendala dalam mewujudkan hal ini, yang berasal dari pasar dalam negeri karena para pengusaha lebih memilih impor ketimbang memproduksi. Sebab itu perlu persiapan matang agar sektor pertanian Indonesia menguasai pasar dalam negeri.

"Kita memiliki industri tanam global luar biasa, tapi banyak pengusaha tergiur mengimpor karena keutungan lebih cepat. Persoalan adalah merawat pasar dalam negeri, kita secara kolektif swasembada pangan belum dilaksanakan, kurang inovasi. Ada beberapa tempat punya inovasi, ada perguruan tinggi inovasi pangan perlu kita angkat," pungkasnya. (Pew/Nrm)

http://bisnis.liputan6.com/read/760115/ri-contek-brazil-biar-lepas-dari-kekang-impor-bahan-pokok?wp.bsns

Rupiah Melemah, Pemerintah Perketat Impor Lima Komoditi Pangan

29 November 2013


KBR68H, Jakarta - Pemerintah akan mengurangi impor bahan pangan untuk mengurangi efek melemahnya nilai rupiah terhadap dollar AS. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, selain mengurangi impor, paket kebijakan lain seperti mendorong peningkatan ekspor komoditas unggulan serta menaikkan pajak barang mewah impor akan segara diambil. Ia berharap dengan begitu pertumbuhan ekonomi tidak akan terganggu.


"Kita memang harus tetap konsisten dengan menuju pada swasembada. Lima saja yang kita prioritaskan, beras itu oke sudah. Yang kedua jagung, ketiga gula, kemudian kedelai, dam daging sapi. Yang penting itu menjalankan paket kebijakan ekonomi kita yang sudah kita luncurkan," ujar Hatta di Jakarta, Jumat (29/11).


Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dollar hari ini dikabarkan bertahan dengan nilai Rp 12.018 per dollar Amerika Serikat. Diperkirakan rendahnya sentimen positif di pasar uang masih akan menekan rupiah. Antara lain, karena meningkatnya kebutuhan dollar menjelang akhir tahun, dan besarnya defisit neraca transaksi berjalan di Indonesia.

http://www.portalkbr.com/berita/nasional/3041637_4202.html

Impor Pangan Timbulkan Kerawanan

29 November 2013

Harianjogja.com, JOGJA-Rektor Universitas PRGI Yogyakarta (UPY) Prof. Buchory berkeluh kesah dengan kondisi Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris tetapi justru gemar mengimpor pangan. Diapun mendesak ada itikad baik, kebijakan (political will) dan tindakan nyata dari pemerintah untuk tidak melakukan impor.

Alasannya, ketergantungan terhadap impor pangan menimbulkan kerawanan bagi sebuah negara. “Jalan keluar untuk menghindari kerawanan pangan tersebut adalah dengan gerakan produksi pangan lokal. Meski terlambat, tidak masalah. Semua komponen bangsa harus terlibat mewujudkan kedaulatan pangan,” ujarnya di Seminar Nasional Strategi dan Peran Pendidikan dalam Mewujudkan Kedaulatan Pangan Nasional di Universitas PGRI Yogyakarta (UPY), Kamis (28/11/2013).

Kekawatiran Buchory bukan tanpa alasan. Dia menyontohkan memanasnya hubungan Indonesia dan Australia akibat skandal penyadapan Australia kepada pejabat RI. Hal itu, katanya, berpengaruh pada upaya pemenuhan konsumsi daging sapi di Indonesia. Bayangkan saja, kebutuhkan daging sapi tahun depan di Indonesia sebanyak 575.880 ton. Padahal, kemampuan Indonesia hanya 443.200 ton sehingga ada selisih 132.680 ton daging sapi yang harus dipenuhi.

Kekurangan itu biasanya diimpor dari Australia. Dalam konteks keretakan hubungan RI dan Australia itu, dia melihat pemenuhan daging sapi dalam negeri sebagai tantangan atau peluang bagi Indonesia. Untuk itu, dia mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang pemenuhan daging nasional terhadap Australia.

“Dunia pendidikan bisa menjadi wahana strategis agar generasi muda lebih mencintai produk dan panganan lokal. Selama ini, kecintaan generasi muda terhadap panganan lokal sudah jauh. Mereka lebih suka meninggalkan makanan lokal dan gandrung dengan makanan impor,” sesalnya.

Sementara, Direktur Seamoe Biotrop Bambang Purwanto mengatakan, pengertian kedaulatan pangan hingga kini mulai direduksi. Kedaulatan pangan hanya dimaknai sebagai ketahanan pangan sehingga praktik impor dibolehkan. Bahkan, kedaulatan pangan diartikan sebagai kecukupan pangan yang berdampak pada tingginya impor pangan di Indonesia. “Kalau kedaulatan pangan, dimensinya harus mencukupi semaksimal mungkin kebutuhan pangan nasional. Sebab, Negara berdaulat itu tidak hanya dilihat dari ekomoni politik tetapi juga kedaulatan pangan,” tukas alumni Institut Pertanian Bogor itu.

http://www.harianjogja.com/baca/2013/11/29/bahan-pangan-impor-pangan-timbulkan-kerawanan-469566

Kamis, 28 November 2013

Kebijakan untuk Mengurangi Impor

27 November 2013

Impor pertanian Indonesia sangat tinggi untuk komoditas pangan seperti gandum, kedelai, jagung dan beras. Dari semua impor yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, mungkin keempat komoditas itulah yang paling tinggi jumlah impor nya. Padahal Indonesia terkenal sebagai negara agraris. Lalu, kebijakan apa dan bagaimana yang bisa dilakukan pemerintah utuk mengurangi impor keempat komoditas tersebut? Menurut pandangan saya, upaya yang dapat dilakukan dibagi menjadi dua tahap, yaitu jangka pendek dan jangka panjang tetapi tidak untuk gandum, yang memang tidak bisa ditanam di Indonesia (sehingga harus tetap impor dari luar negeri).

Untuk jangka pendek, tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali mengurangi tingkat konsumsinya dan menaikkan (kebijakan) tarif impor yang saat ini dinilai (sangat) rendah agar konsumen beralih mengkonsumsi produk dalam negeri.

Dan untuk jangka panjangnya, ada banyak langkah yang (mungkin) bisa diterapkan pemerintah, yaitu :
1. Memajukan teknologi sektor pertanian yang bertujuan meningkatkan produksi dalam negeri, karena saat ini teknologi pertanian di Indonesia masih sangat tertinggal dari negara2 lain.
2. Memberi subsidi pupuk kepada para petani agar menghasilkan produk yang maksimal, karena harga pupuk yang semakin mahal membuat petani semakin tertekan.
3. Menggenjot petani agar meningkatkan kuantitas dan kualitas produknya agar tidak kalah dari produk komoditas impor.
4. Pemerintah memaksimalkan penyerapan beras dari petani lokal untuk ketahanan pangan nasional, karena saat ini Bulog selalu impor saat stok produknya semakin menipis.

Kesimpulan : Pastinya masih ada banyak cara, tindakan, kebijakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi banjir produk impor didalam negeri. Semoga bermanfaat.

Michael Susanto
Mahasiswa IESP Angkatan 2012 Universitas Jenderal Soedirman

http://regional.kompasiana.com/2013/11/27/kebijakan-untuk-mengurangi-impor-611729.html

PT “MT” Diduga Edarkan Gula Impor ke Pasar

27 November 2013

Pemerintah Diminta Bertindak Tegas

NATSIR MANSYUR

MAKASSAR, BARATAMEDIA -  Gonjang ganjing peristiwa merembesnya gula rafinasi ke dalam pasar umum mengundang reaksi keras Natsir Mansyur, Ketua APEGTI (Asosiasi Pengusaha Gula Dan Terigu Indonesia)

Dalam percakapan khusus dengan BARATAMEDIA minggu lalu, Natsir Mansyur yang juga Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pemberdayaan Daerah/Bulog kembali bersuara keras dan mengecam pemerintah, dalam hal ini pimpinan kementerian tehnis, yaitu Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Perindustrian (Kemenprin).

Mantan anggota DPR RI Fraksi Golkar itu mengatakan, di Makassar ada pusat kegiatan “operasi senyap” pengedaran gula rafinasi yang dikirim berbagai daerah di Indonesia Timur. Natsir terus terang menyebut PT Makassar Te’ne sebagai “otak” perembesan gula rafinasi ke pasar bebas.

Dikatakannya, izin impor yang diberikan pemerintah kepada Makassar Te’ne disesuaikan dengan kapasitas produksi perusahaan tersebut sebesar 450.000 Ton (Empat Ratus Lima Ribu Ton) pertahun. Padahal konsumsi gula untuk Sulawesi Selatan hanya 120.000 Ton (Seratus Duapuluh Ribu Ton) pertahun.

“Yaa…terang aja ada kelebihan 230.000 Ton (Dua Ratus Tiga Puluh Ribu Ton) yang dilempar ke pasar”. Natsir mengaku Apegti sudah berkali – kali melaporkan kasus ini kepada yang berwajib di Makassar maupun kepada pemerintah di pusat, namun tidak ada tindakan.

Menurut informasi yang diperoleh BARATMEDIA, pemilik perusahaan Makassar Te’ne berdomisili di Lampung. Namun, menurut sumber Apegti di Jakarta, pimpinan perusahaan Makassar Te’ne di Makassar punya hubungan istimewa dengan pimpinan daerah di Sulawesi Selatan.

Sebagaimana diketahui, belakangan ini masyarakat lebih banyak dibanjiri oleh gula impor daripada produksi pabrik dalam negeri. Gula impor yang dimasukkan ke Indonesia rata – rata berlindung dibalik izin perusahaan pabrik gula. Jenis yang banyak diimpor adalah gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman. Selain itu yang juga banyak diimpor adalah raw-sugar alias gula mentah.

Gula impor tersebut harganya jauh lebih murah dibanding gula produksi pabrik gula lokal di Indonesia. Dengan “menumpang” pada izin impor gula tersebut, pengusaha pabrik gula membanjiri masyarakat dengan gula rafinasi dan raw-sugar. Alasannya, selain harga murah juga waktu pengadaannya sangat cepat.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengaku tidak mengetahui kenapa gula rafinasi bisa membanjiri pasar. Menurut ketentuan, gula rafinasi tidak boleh sampai masuk ke pasar.

“Itu kan untuk industri jadi harus dikontrol terutama pemda harus menjaga itu,” jelas Hatta di Kantor Presiden, Rabu (18/9/2013).

Menurutnya, kebutuhan gula untuk rumah tangga sudah mencukupi. Kadang-kadang, lanjut dia, jika panen gangguan, terpaksa dilakukan impor. Dia menegaskan, yang tidak boleh terjadi ketika petani panen alias berproduksi, masuk gula rafinasi.

Pihak Makassar Te’ne di Makassar tidak merespons keinginan BARATAMEDIA untuk meminta konfirmasi mengenai adanya berita miring yang meliatkan perusahaan tersebut. (andi)

http://www.baratamedia.com/read/2013/11/27/49982/pt-mt-diduga-edarkan-gula-impor-ke-pasar

Rabu, 27 November 2013

KTNA Sragen Gelar Rembug Paripurna

27 November 2013



Metrotvnews.com, Sragen: Kontak Tani Nelayan Andalan ( KTNA ) Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, menggelar rembug paripurna soal pertanian tanaman pangan yang melibatkan Bulog, perbankan, PT Pertani dan juga instansi Dinas Pertanian, Rabu ( 27/11), di Sragen.

Tujuan pertemuan untuk mencari solusi dari persoalan pertanian yang selama ini membelit petani.

"Banyak hal yang dibahas, dari mulai menyangkut kebutuhan permodalan, pengadaan pupuk, obat-obatan, bibit dan juga keberadaan resi gudang, serta program pemerintah yang akan memberikan perlindungan usaha tani melalui asuransi," terang Ketua KTNA Sragen, Suratno, Rabu ( 27/11) sebelum dimulainya acara rembug paripurna pertanian.

Menurut dia, banyak petani di Sragen selama ini bingung atas munculnya berbagai regulasi pemerintah yang dinilai hanya bisa dinikmati kalangan petani tertentu, namun tidak bisa menyentuh mereka. Keterlibatan mereka ikut paguyuban pertanian juga belum membantu.

Karena itu, melalui forum pertemuan dengan sejumlah institusi yang selama ini dianggap memiliki keterlibatan langsung dalam pengelolaan
hasil pertanian, diharapkan akan membawa harapan baru bagi petani di dalam bercocok tanam.

Harapan petani, lanjut Suratno, seperti Perbankan bersedia memberikan akses permodalan yang lebih fleksibel, ketimbang petani terjerat utang di pengijon. Lalu Bulog mempermudah persyaratan gabah bisa masuk, PT Pertani memberikan bibit yang unggul yang mampu meningkatkan produksi pertanian, dan Pemda mampu menjembatani kepentingan petani dalam memperoleh pupuk subsidi yang cocok dengan pertanian tanaman pangan dan
juga obat-obatan yang efektif.

" Semua yang dimohonkan teman-teman petani tidak aneh-aneh, yakni kebutuhan untuk mengelola tanaman pangan didapat mudah, sehingga produksi jadi kuat, petani sejahtera dan mampu mengembalikan kewajibannya jika berhutang secara baik. Petani sebenarnya tidak ingin menjual ke tengkulak, karena jelas rugi besar.Tetapi selama ini tidak berdaya, mereka berusaha sendiri tidak ada yang menolong," imbuh Suratno.

Sementara soal program resi gudang, di mana kabupaten Sragen termasuk pionir di Jawa Tengah, namun ternyata tidak menunjukkan keberhasilan.

"Bagaimana mau masuk, kalau persyaratannya jlimet, petani tidak mampu memenuhi syarat. Padahal kualitas beras di Sragen termasuk sangat bagus dibandingkan daerah lain, namun tetap sulit masuk," tandasnya.

Hal sama dengan upaya pemerintah yang akan meluncurkan asuransi pertanian, KTNA Sragen berpendapat, bahwa perlindungan usaha tani itu diyakini juga tidak akan membuat petani tertarik.

Selain dianggap jlimet, mekanisme yang ditempuh petani juga perlu waktu panjang. Bagi petani di pedesaan, asuransi pertanian yang menjadi program pemerintah terbaru itu juga diyakini akan membuat petani tambah bingung. (Widjajadi)

http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/11/27/6/197353/KTNA-Sragen-Gelar-Rembug-Paripurna

Indonesia upayakan peningkatan subsidi pertanian dalam WTO

26 November 2013

Jakarta (ANTARA News) - Indonesia akan mengupayakan peningkatan penentuan subsidi pertanian hingga 15 persen bagi negara berkembang dan miskin dalam Konferensi Tingkat Menteri Negara-Negara Anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) IX yang berlangsung pada 3-6 Desember 2013.

"Kita mengedepankan semangat bahwa tidak mungkin kita maju tanpa kita melakukan subsidisasi di sektor pertanian," kata Menteri Perdagangan Gita Wirjawan seusai rapat koordinasi membahas persiapan penyelenggaraan WTO di Jakarta, Selasa.

Gita menjelaskan upaya peningkatan subsidi pertanian harus dilakukan karena negara-negara maju seperti membatasi persentase subsidi pertanian negara berkembang dan miskin dengan angka subsidi yang relatif kecil yaitu 5-10 persen.

Untuk itu, sebagai ketua G33, Indonesia akan mengubah sistem ini dalam forum WTO yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, ini termasuk merundingkan mekanisme harga komoditas pertanian yang saat ini masih mengacu dari hasil Putaran Uruguay pada 1986 silam.

"Kapasitas negara berkembang untuk melakukan subsidi terhadap produk pertanian dengan ukuran lebih besar tidak dibatasi persentasenya hingga 15 persen dari output nasional. Mekanismenya juga harus diubah dan penggunaan harganya tidak dari tahun 1986, tapi dari harga tiga tahun terakhir. Solusi ini berlaku internal sampai solusi secara permanen didapatkan," katanya.

Menurut Gita, sebagai tuan rumah, Indonesia harus mampu menjadi jembatan antara negara maju dengan negara berkembang dan miskin serta mendorong daya saing kualitas ekspor produk pertanian dari negara-negara yang selama ini kurang diunggulkan.

"Kita selalu menjembatani negara berkembang dengan negara miskin serta negara maju. Kita juga ingin menyampaikan agar jangan sampai hanya negara maju yang bisa melakukan subsidi, karena negara berkembang dan miskin harus bisa bersaing dalam konteks produk pertanian," katanya.

Menteri Pertanian Suswono menambahkan pemberian subsidi pertanian yang lebih tinggi di negara berkembang dan miskin harus diberikan untuk mengatasi masalah ketahanan pangan, apalagi jumlah penduduk di negara-negara tersebut makin meningkat setiap tahunnya.

"Contohnya India penduduknya lebih dari satu miliar, masyarakatnya butuh pangan seperti gandum dan sudah sewajarnya ada stok pangan yang kuat. Kita pun stok Bulog masih kecil dan sudah selayaknya ditingkatkan," katanya.

Menurut Suswono, sudah selayaknya negara berkembang dan miskin menambah subsidi untuk meningkatkan kualitas produk pertanian, karena saat ini banyak petani miskin yang membutuhkan insentif sebagai upaya mendorong daya saing produk lokal dengan produk serupa dari negara lain. (S034/S025)

http://www.antaranews.com/berita/406762/indonesia-upayakan-peningkatan-subsidi-pertanian-dalam-wto

Selasa, 26 November 2013

RI Butuh Panduan Baku agar Mandiri Pangan dan Energi

26 November 2013

JAKARTA – Pemerintah perlu menetapkan pedoman baku semacam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang mengamanatkan secara tegas pencapaian kemandirian pangan dan energi. Pasalnya, kebergantungan Indonesia yang sangat tinggi pada impor pangan, mencapai 12 miliar dollar AS setahun, dan impor bahan bakar minyak (BBM) sekitar 150 juta dollar AS per hari menyebabkan defisit transaksi berjalan kian lebar.

Seperti diketahui, Indonesia kini menghadapi permasalahan struktural sehingga membelenggu neraca pembayaran. Meski mampu mempertahankan keseimbangan internal, RI mulai mengalami ketidakseimbangan eksternal, terutama yang bersumber dari permasalahan di sektor pangan dan energi. Selain itu, Indonesia mengalami rendahnya daya saing energi, kebergantungan pada ekspor komoditas, serta kebergantungan pada impor bahan baku dan barang modal.

Ketua Departemen Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia, Ahmad Yakub, mengungkapkan salah satu isu terpenting Indonesia dalam dua dekade terakhir adalah tercukupinya kebutuhan pangan dan energi yang berkelanjutan.

Kedua hal tersebut terus menjadi wacana, yang jauh dari penentuan kebijakan dan strategi pendanaan APBN, sehingga sangat diperlukan kembali konsep GBHN yang memastikan pemerintah menjawab persoalan pokok rakyat, yakni kemandirian pangan dan energi.

"GBHN sangat penting untuk menjaga alur kerja pemerintah, sekaligus tiap pidato presiden pada 18 Agustus ada evaluasi terhadap kinerjanya, sudah sesuai GHBN atau melenceng," papar Yakub ketika dihubungi, Senin (25/11).

Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Suroso Imam Zadjuli, menekankan kemandirian pangan dan energi perlu diatur sejak dini agar pemerintah mengambil kebijakan lebih serius.

"Pengaturan itu bisa dimasukkan dalam GBHN sebagai panduan baku pembangunan yang lebih terencana. Bila dimasukkan GBHN, pemerintah tidak akan seenaknya seperti sekarang, hanya retorika menciptakan namun kenyataannya malah sebaliknya," papar Suroso.

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Ketersediaan pangan dalam suatu bangsa merupakan suatu keharusan agar bangsa tersebut dapat mandiri. Untuk memenuhi kebutuhan pangan saat ini, Indonesia dinilai masih belum berorientasikan pada produksi untuk mendukung ketersediaan pangan sehingga banyak komoditas pangan yang masih diimpor.

Sementara itu, tantangan utama sektor energi adalah meningkatkan keandalan pasokan energi, sarana dan prasarana, serta proses dan penyalurannya untuk keperluan domestik guna memenuhi kebutuhan berbagai jenis energi.

Indonesia sebagai salah satu negara yang kaya akan sumber energi sudah semestinya dapat mencapai suatu ketahanan dan kemandirian energi, termasuk mengoptimalkan pengembangan dan pemanfaatan segala sumber daya energi yang ada dan berpotensi besar sebagai sumber energi baru dan terbarukan, utamanya yang berbasis pertanian.

Sebelumnya, ekonom Universitas Indonesia, Telisa Aulia Falianty, mengungkapkan kondisi makroekonomi Indonesia menghadapi ancaman overheating atau kepanasan walaupun masih dalam tingkat moderat.

Menurut Telisa, komponen ekonomi yang mengalami overheating dan mengkhawatirkan adalah neraca transaksi berjalan yang defisit, pertumbuhan kredit yang terlalu tinggi, dan gejolak nilai tukar rupiah.

Masalah defisit neraca pembayaran, jelas dia, membutuhkan penyelesaian struktural terkait kebergantungan impor pangan dan energi. Selain itu, perlu kebijakan diversifikasi dan industrialisasi berkelanjutan.

Kesejahteraan Petani

Pengamat pertanian, Khudori, mengatakan untuk menciptakan kemandirian pangan, diperlukan sebuah acuan yang dapat mengembangkan sektor itu dengan memprioritaskan kesejahteraan masyarakat petani.

"Pengembangan di sektor pertanian dan ketersediaan pangan yang dilakukan pemerintah harus memperhatikan faktor kearifan lokal seperti yang diamanatkan oleh Pancasila. Dalam hal ini juga menempatkan kesejahteraan petani di atas segalanya," jelas dia.

Untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan, kata Khudori, dibutuhkan dukungan kuat dari pemerintah. YK/SB/SM/tgh/mza/WP


http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/134364


Kemendag Harus Serius Dukung Swasembada Gula

26 November 2013

JAKARTA – Komisi IV DPR menegaskan bahwa swasembada gula adalah program pemerintah. Karena itu, semua elemen pemerintah termasuk Kementerian Perdagangan (Kemendag) harus mendukungnya,
di antaranya dengan mengawasi peredaran gula rafinasi (gula kristal rafinasi/GKR) agar jangan sampai bocor ke pasar umum atau tradisional.

Anggota Komisi IV DPR Habib Nabiel Almusawa mengatakan, apabila gula rafinasi masih bocor di pasaran maka Kemendag tidak serius mendukung program swasembada gula.

“Kemendag harus mendukung program swasembada gula, caranya dengan mengawasi agar gula rafinasi tidak beredar di pasar konsumsi,” kata dia di Jakarta, baru-baru ini.

Pernyataan tersebut untuk mengomentari pernyataan Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) yang menilai Kemendag tak mampu mengawasi perembesan gula rafinasi (gula murni berkualitas tinggi berkadar abu dan belerang mendekati nol) yang beredar bebas di pasaran.  Gula rafinasi khusus diperuntukan bagi industri dan dilarang dijual di pasar bebas.

Menurut Habib, jatuhnya harga gula merupakan disinsentif bagi petani tebu. Para petani tebu merugi dan jelas akan terpukul dengan kondisi ini. Di musim berikutnya, petani akan jera menanam tebu dan memilih untuk mengganti dengan tanaman lain yang lebih menguntungkan.

”Apabila semua petani tebu berfikir demikian, maka program swasembada gula akan gagal”, tandas Habib Nabiel Almusawa. (tl/ID)

http://www.investor.co.id/macroeconomics/kemendag-harus-serius-dukung-swasembada-gula/73062

Pupuk Bersubsidi Langka di Acut

26 November 2013

BAKTIA- Sejumlah petani di Baktia, Aceh Utara, mengaku resah terkait langkanya pupuk bersubsidi jenis urea. Langkanya pupuk tersebut sudah terjadi sejak sepekan terakhir. Menurut petani, jenis pupuk itu sangat dibutuhkan untuk tanaman padi.Diki Irawan (38) petani Desa Arongan Lise, Baktia kepada Rakyat Aceh Senin (25/11) menyebutkan, kelangkaan pupuk tersebut membuat pihaknya kewalahan. Pasalnya, jenis pupuk yang satu ini merupakan handalan utama untuk tanaman padi.

“Sudah sepekan terakhir ini pupuk putih (urea) langka di kawasan kami. Di Kota Panton Labu (kec- Jamboe Aye) juga langka. Mereka (pedagang) juga tak tahu penyebab langkanya pupuk ini. Padahal kami sangat membutuhkannya, sebab, sudah waktunya memberi pupuk kepada tanaman,” katanya.Hal serupa juga di katakan Nurdin petani lainnya. Menurutnya, saat ini memang sudah memasuki pemberian pupuk untuk tanaman padi. Langkanya pupuk tersebut, membuat pihaknya dan ribuan petani lainnya kecewa. Pihaknya berharap, kelangkaan pupuk ini segera teratasi.

Seorang pedagang pupuk dan pestisida di Baktia, membenarkan langkanya pupuk jenis urea sejak sepekan terakhir. “Kami tidak tahu penyebab langkanya pupuk tersebut. Kalau soal harga masih Rp 90 ribu per zaknya. Akhir ini memang banyak permintaan pupuk ini dari petani, tapi karena barang tidak ada apa boleh buat,” kata pedagang yang enggan ditulis namanya.(mag-46)

http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=35324&tit=Berita%20Utama%20-%20Pupuk%20Bersubsidi%20Langka%20di%20Acut

Senin, 25 November 2013

Petani Keluhkan Pupuk Urea Langka

25 November 2013
                                                                                                                                                                  




(BENGKAYANG)-Memasuki masa tanam padi, jagung serta tanaman lain saat ini, sebagian petani di Bengkayang, khususnya di Kecamatan Lumar dan Tujuh Belas khawatir tanaman mereka akan gagal. Penyebab utamanya ialah mereka kesulitan mendapatkan pupuk subsidi urea.

"Tak hanya di (distributor) Lumar saja yang langka, di Bengkayang juga pupuk subsidi sulit ditemui," ujar salah seorang petani asal Dusun Madi, Desa Tiga Berkat, Kecamatan Lumar, Kasyanto, Minggu (24/11/2013).

Akibat kesulitannya mendapatkan pupuk urea, Kasyanto mengaku hingga kini tanaman jagungnya masih belum diberi pupuk sebagai penyubur padahal usia tanam sudah tiga minggu. Kekhawatiran gagal panen pun menghantuinya. Kondisi inilah yang akhirnya membuatnya mengambil inisiatif untuk menggunakan pupuk jenis lain, yakni pupuk NPK. "Daripada tidak ada pupuk, terpaksalah pakai yang ada," keluhnya.

Berdasarkan penjelasannya, untuk mendapatkan pupuk urea, Kasyanto telah berupaya mencari pupuk tersebut ditingkat distributor kecamatan hingga pada toko-toko pupuk yang ada di pasar Bengkayang. Tetapi tetap saja tidak Ia temui pupuk urea bersubsidi. Sementara untuk membeli pupuk non subsidi, Ia mengaku sangat berat. Permasalahan ini semakin bertambah berat karena pada saat ini banyak petani yang mulai memasuki masa tanam padi yang mana juga sangat membutuhkan pupuk urea.

"Wajar jika banyak petani merasa khawatir dengan kesulitan memperoleh pupuk pada masa-masa sekarang," sebut Kasyanto.

Perlu diketahui, untuk pupuk urea non subsidi satu karung 50 Kg harga yang diberikan bagi para petani berada pada kisaran Rp.225 ribu hingga Rp.250 ribu. Berbanding Rp.105 ribu hingga Rp.115 ribu pupuk bersubsidi. Apabila para petani terpaksa harus membeli pupuk urea non subsidi, itu artinya mereka harus mengeluarkan biaya yang cukup tinggi dan ini tentu akan berdampak bagi penghasilan mereka sendiri. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 69/Permentan/SR.130/11/2012, Adapun Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi berdasarkan jenis pupuk antara lain, pupuk Urea dengan harga Rp. 1.800/kg, pupuk SP-36 Rp.2.000/kg, pupuk ZA Rp. 1.400/kg, pupuk NPK Rp. 2.300/kg dan pupuk organik Rp.500/kg, dengan kemasan Pupuk Urea 50kg, Pupuk SP-36 50kg, Pupuk ZA 50kg, Pupuk NPK 50 kg atau 20kg dan pupuk organik 40kg atau 20kg.

Sementara itu, ketika dikonfirmasi pada hari yang sama, ternyata tidak hanya Kasyanto saja yang merasa khawatir dengan kesulitan mendapatkan pupuk urea. Sukariadi dari Kelompok Tani Sawit Mandiri, Kecamatan Tujuh Belas juga mengaku mengalami hal yang yang sama. "Kira-kira sudah dua bulan ini pupuk urea (bersubsidi) sulit didapat," ungkapnya.

Untuk mengatasi kelangkaan pupuk urea, Ia bersama anggota kelompok lainnya hanya bisa berharap dari ketersediaan yang dimiliki pengusaha maupun pengepul usaha pertanian mereka. "Jika pupuk bersubsidi langka secara otomatis itu akan berdampak pada pendapatan para petani," sebut Sukariadi.

Terkait keluhan yang telah disampaikan, keduanya berharap agar pemerintah dapat mengatur dengan baik proses penyaluran pupuk kepada para petani agar tepat sasaran. Sementara itu, Kasyanto dengan tegas meminta agar diberikan sanksi tegas bagi para distributor pupuk bersubsidi apabila pupuk yang seharusnya didistribusikan kepada petani namun dialihkan kep ada perusahaan-perusahaan sawit.(Krisantus)

http://postkotapontianak.com/index.php/kalbar/bengkayang/item/517-petani-keluhkan-pupuk-urea-langka

Ketua KPK: Soal Ketahanan Pangan, Pemerintah Bullshit!

23 November 2013

RMOL. Ketahanan pangan adalah permasalahan terpenting bangsa Indonesia yang masih diwarnai ironi banjir impor bahan pangan pokok. Pemerintah dianggap omong kosong karena terus mengatakan kebijakan impor pangan sangat penting.

"Pemerintah bullshit (omong kosong). Sebetulnya kita tidak perlu lagi impor," tegas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad, saat memberi pembekalan di Rapimnas V Partai Golkar, Hotel Luwansa, Kuningan, Jakarta, Sabtu (23/11)

Ketua KPK mengatakan, pemerintah masih melakukan impor karena terlibat dengan pengusaha hitam dan mafia impor. Akibatnya, regulasi dibolak-balik agar bisa melakukan impor demi kepentingan pribadi.

Abraham menjelaskan sedikit hasil pengamatannya mengapa kedaulatan pangan nasional masih lemah. Misalnya, pangan bawang yang salah satunya berlimpah di Brebes, Jawa Tengah, sengaja tidak diolah dengan baik agar bisa cari keuntungan lewat impor. Begitu pula dengan gula. Menurutnya, impor gula sebetulnya diperuntukkan perusahaan kue atau minuman. Tapi yang terjadi kuota sengaja diperbesar, sehingga setelah perusahaan kue dan minuman itu sudah terpenuhi, gula impor disebar di pasar dan membuat petani dan pedagang tradisional terpinggirkan.

Kebijkan impor daging pun, menurut Abraham, terendus hanya permainan. Daging di Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Jawa Timur bahkan lebih dari cukup. Memang, regulasi membolehkan daging sapi diimpor hanya untuk rumah makan dan hotel besar. Tapi pada akhirnya pemerintah memainkan kuota daging impor dengan menyebarkan ke pasar.

Padahal kata Abraham, Amerika Serikat yang merupakan negara paling liberal sekalipun melakukan proteksi besar-besaran terhadap produksi pangannya.

"Pemerintah boro-boro subsidi dan proteksi. Makanya, pemerintah jangan terapkan liberalisasi pangan. Stop impor agar mampu swasembada pangan. Ini harus dilakukan di 2014," tandasnya. [ald

http://ekbis.rmol.co/read/2013/11/23/134298/1/Ketua-KPK:-Soal-Ketahanan-Pangan,-Pemerintah-Bullshit-! 

Sabtu, 23 November 2013

Persediaan Pupuk Urea Mulai Langka di Lombok Timur

22 November 2013

LOMBOKita - Pupuk urea dan sejenisnya mulai langka di Lombok Timur. Para petani diminta menggunakan pupuk alternatif.

Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Lombok Timur, Lalu Khalid Tarmizi mengaku kesulitan atas kelangkaan pupuk Kaltim (Urea, SP 36) karena kebutuhan pupuk mulai meningkat.

Dari hasil survei ke lapangan, musim tanam padi di sebagian wilayah Lombok Timur mulai dilakukan.

Khalid mengungkapkan, kelangkaan ini ditemukan di beberapa kecamatan. Pasalnya, Pemkab sudah mendistribusikan pupuk Kaltim sesuai kebutuhan dan luas lahan pertanian.

Dengan meningkatnya kebutuhan, petani diharapkan menggunakan pupuk alternatif (organik). Pupuk organik salah satu alternatif petani, karena tidak sulit ditemukan.

Menurutnya, pengaruh pertanian memang lebih lama jika dibandingkan dengan pupuk Kaltim. Namun pupuk organik jauh lebih alami. Jika hal tersebut bisa diterapkan, kelangkaan pupuk Kaltim ini bisa diatasi. (ari/lbk)

http://lombokita.com/ekonomi-bisnis/persediaan-pupuk-urea-mulai-langka-di-lombok-timur#.Uo_nOSegSmE

Jumat, 22 November 2013

Pensiun Nazaruddin Mencengangkan Rakyat

22 November 2013

Rakyat Indonesia dibuat tercengang dengan pemberitaan M Nazaruddin mendapatkan pensiun setelah tidak menjadi anggota DPR. Mungkin nominal pensiun tidak berarti banyak bagi Nazaruddin yang konglomerat, tapi bagi rakyat miskin itu sangat berarti.

Semestinya sang koruptor itu dipenjara dan dimiskinkan agar jera, kalau perlu siapkan peti mati untuk para koruptor kelas kakap. Negara Indonesia masih menjadi surga bagi koruptor.

Kongkalikong antara birokrat, Dewan, dan pengusaha masih sulit ditembus dan diberangus lantaran seperti lingkaran setan yang diurai tidak ada ujungnya. Kasus Bupati Gunung Mas, Bupati Lebak, Wali Kota Palembang, telah memberi pembelajaran yang berharga.

Dana pensiun semestinya diberikan kepada abdi negara yang sudah mengabdi lama untuk bumi pertiwi dengan jenjang dan karir kerja yang jelas dan sistematis. Pegawai kantor pemerintah pensiun dengan umur 56 tahun, guru 60 tahun, dosen 65 tahun.

Dari gambaran umur tersebut tentu banyak abdi negara yang sudah mengabdi selama 35 tahun, 38 tahun atau bahkan lebih. Hal ini wajar kalau mendapatkan pensiun, karena pengabdiannya sudah cukup lama.

Coba bandingkan dengan M Nazaruddin, berapa tahun mengabdi? Sumbangsih apa yang telah dia berikan kepada bumi pertiwi ? Dana pensiun Nazaruddin membuat rakyat miskin menangis.

Tiap bulan rekeningnya bertambah sedang fakir miskin antre BLSM dengan berdesak-desakan dan terinjak-injak oleh temannya yang lebih kuat antre di Kantor Pos hanya mendapatkan Rp 100.000 tiap bulan. Beban negara sudah cukup berat menanggung dana pensiun abdi negara.

Begitu beratnya beban negara menanggung dana pensiun, mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia, Taufiq Efendi pernah mewacanakan pesangon, agar beban negara tidak bertambah. Sudah jatuh tertimpa tangga.

Itulah ungkapan yang tepat buat negara kita tercinta. Akan dibawa kemana negara kita. Kehancuran karena tidak mampu membayar dana pensiun yang terus bertambah atau akan bangkit?

Ahmad Riyatno, SAg, MPd MAN 2, Semarang

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/11/22/243940/10/Pensiun-Nazaruddin-Mencengangkan-Rakyat

Pupuk Bersubsidi Sulit Ditemukan di Wilayah Sragen

21 November 2013

SRAGEN – Memasuki musim tanam pertama (MT I) yang sudah berlangsung di beberapa wilayah, petani kembali dihadapkan dengan fenomena kelangkaan pupuk bersubsidi. Ironisnya, hilangnya pupuk yang membuat kelangkaan itu terjadi di tengah tingginya kebutuhan petani jelang masa pemupukan pertama.

Jenis pupuk bersubsidi yang dilaporkan langka itu meliputi pupuk urea, phonska, dan SP36. Kelangkaan terjadi di sejumlah kecamatan baik yang akan memulai tanam maupun yang sudah memasuki masa tanam, seperti di wilayah Sambirejo, Tanon, dan Sidoharjo.

Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kecamatan Sambirejo, Karno mengatakan ketiga jenis pupuk bersubsidi itu nyaris sulit ditemukan sejak dua pekan terakhir. Padahal, saat ini pupuk itu sangat dibutuhkan karena sebentar lagi masuk masa pemupukan pertama.

Akibatnya, sebagian petani mengku terpaksa menunda pemupukan karena pasokan yang kian menipis. Namun tak sedikit pula yang terpaksa membeli pupuk jenis sama ke pengecer ilegal meski dengan harga lebih tinggi. Pihaknya menyayangkan tidak adanya kejelasan alasan maupun antisipasi dari pihak distributor terkait persoalan ini.

“Kami juga belum tahu pasti apa penyebabnya. Seminggu sebelum tanam kemarin masih banyak, tapi seminggu setelah tanam sampai sekarang sudah hilang. Distributor juga tidak memberi alasan, apakah karena pasokan yang menipis atau masalah distribusi. Mestinya mereka langsung melapor ke Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) agar ditindaklanjuti,” ujarnya, Rabu (20/11/2013).

Salah satu pengecer di Sambirejo yang enggan disebut namanya mengatakan, kelangkaan paling parah ialah pada phonska dan SP36. Sementara itu, untuk pupuk urea juga mengalami keterlambatan tapi saat ini sudah mulai bisa diatasi.

Wardoyo | Joglosemar

http://www.soloblitz.co.id/2013/11/21/pupuk-bersubsidi-sulit-ditemukan-di-wilayah-sragen/

Saatnya Lepas Dari Impor Sapi

21 November 2013

JAKARTA. Penyadapan komunikasi yang dilakukan pemerintah Australia terhadap pemerintah Indonesia merupakan momen yang tepat untuk melepaskan Indonesia dari importasi sapi asal Australia. Selama ini, Australia menjadi satu-satunya negara yang mencukupi kebutuhan daging dapi masyarakat Indonesia.

Menurut Ketua Departemen Kajian Strategis Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Ya’kub menyampaikan, di tengah situasi ini, Indonesia harus menghentikan impor sekaligus membangkitkan minat keluarga peternak lokal serta industri kecil dan menengah untuk terus berproduksi dengan memberikan insentif harga, kredit, infrastruktur dan perlindungan pasar lokal.

“Pemerintah kita harus segera membatalkan berbagai kontrak perdagangan impor di bidang pertanian seperti susu, daging sapi, dan sapi bakalan dari Australia,” ungkap Ya’kub di kantor DPP SPI di Jakarta siang ini (21/11).

Ya’kub memaparkan, ini adalah saatnya bagi pemerintah Indonesia untuk sungguh-sungguh membangun strategi ke arah swasembada daging.

“Kita harus memanfaatkan peluang ini untuk segera merestrukturisasi strategi peternakan di Indonesia. Di sejumlah daerah kita melihat permintaan akan daging lokal telah mulai meningkat, dengan harga yang lebih bersaing,” paparnya.

Apabila pemerintah melaksanakan pelarangan impor daging dari Australia, Ya’kub berpendapat hal ini berpotensi meningkatkan produktivitas dan kualitas ternak lokal. Pemerintah harus mulai membenahi industri ternak nasional agar kembali hidup, berkembang dan menguntungkan.

Ya’kub mengemukakan, pada Konferensi Internasional ke-6 La Via Campesina (Organisasi Petani Dunia) di Jakarta Juli lalu, kembali ditekankan pentingnya kedaulatan pangan. Aspek utama kedaulatan pangan yaitu memprioritaskan ekonomi serta pasar lokal dan nasional, pemberdayaan keluarga-keluarga petani kecil,  nelayan dan peternak serta produksi distribusi dan konsumsi pangan yang berdasarkan pada keberlanjutan lingkungan, sosial dan ekonomi.

“Jadi bukanlah hal yang tidak mungkin Indonesia berdaulat di peternakan sapi ini,” tegas Ya’kub.

Sementara itu akibat buntut penyadapan yang dilakukan Australia kepada Indonesia, Ya’kub menambahkan, pemerintah harus membatalkan dan mencabut semua Izin Usaha Pertambangan(IUP) perusahaan australia di Indonesia, seperti Delta Coal Mining, Alturamining yang beroperasi di Kalimantan Timur; hingga membekukan dan mengaudit dana investor Australia yang tersebar di berbagai perusahaan nasional.


Kontak lebih lanjut:

Achmad Ya’kub – Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional, DPP SPI – 0817 712 347



http://www.spi.or.id/?p=6573

Kamis, 21 November 2013

Prabowo & Ideologi Pertanian

20 November 2013

Penggugatan terhadap “ideologi pertanian”, dalam beberapa tahun belakangan ini tampak semakin mengemuka dan banyak dilontarkan oleh berbagai macam kalangan. Esensi yang menjadi persoalan adalah benarkah sekarang telah terjadi pergeseran  orientasi nilai pembangunan pertanian, dari peningkatan kesejahteraan petani menjadi peningkatan produksi pertanian ? Gejagat nya, arah dan kebijakan yang dipilih adalah percepatan pencapaian swasembada beragam bahan pangan. Jika swasembada tujuan nya, ujung-ujung nya peningkatan produksi.

Di negara kita sendiri, pilihan untuk percepatan pencapaian swasembada 5 Komoditas Pangan Strategis yakni beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula; kembali menggema ketika berlangsung Konfrensi Dewan Ketahanan Pangan pertengahan tahun 2012 ini. Presiden dan seluruh Gubernur seluruh Indonesia sepakat agar pada tahun 2014 kita mampu meraih swasembada dan khusus untuk beras, kita harus mampu mewujudkan surplus beras sebesar 10 juta ton. Untuk menggapai harapan nya itu, selain Pemerintah melanjutkan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), ternyata Pemerintah pun telah menempuh kebijakan guna merevitalisasi kelembagaan pangan yang ada, khusus nya tupoksi Perum Bulog.

Namun begitu, apa pun yang bakal digarap Pemerintah dari sisi teknis, tentu saja tidak akan mampu menyentuh akar masalah yang sesungguh nya, bila tidak diikuti dengan komitmen yang kuat dari sisi semangat dan falsafah untuk menggapai nya. Itu sebab nya, komitmen untuk merevitalisasi Bulog, perlu ditempuh melalui revitalisasi kelembagaan pangan nasional, agar kita memiliki kelembagaan pangan yang kuat untuk mengawal terwujud nya kemandirian pangan, bahkan kedaulatan pangan sekali pun. Kelembagaan bukan berarti hanya memperkuat lembaga dengan tugas pokok dan fungsi, tetapi juga memperkuat Sumber Daya Manusia, yang benar-benar dapat menjalankan amanah secara cerdas, serta mekanisme kerja yang jelas.

Ideologi pertanian yang muara nya menggapai kesejahteraan petani, rasa nya harus terus dihangatkan, agar tidak terpinggirkan oleh hal-hal lain yang cenderung mengejar kepentingan sesaat. Sikap Pemerintah untuk merevitalisasi Bulog sendiri, sepantas nya kita simpan ke dalam kerangka pikir yang utuh dan holistik. Kita ingin agar sebagai “lembaga parastatal” Bulog mampu memediasi dan menjembatani antara aspirasi petani selaku produsen dengan kepentingan masyarakat selaku konsumen, agar tujuan akhir mewujudkan kesejahteraan petani dapat sesegera mungkin terjelma.

Ideologi pertanian, yang dalam makna lain dapat dipersepsikan sebagai “kiblat” pembangunan pertanian, mesti nya mampu kita tata ulang lagi ke arah yang benar, sekira nya sekarang ini tampak ada beberapa pergeseran. Komitmen untuk menjadikan kesejahteraan petani sebagai titik puncak idealisme pembangunan pertanian, sebaik nya dipatrikan dalam rancangan pembangunan yang kita susun. Semua harus terencana dengan baik, mulai dari RPJP, RPJM, hingga ke Renstra di Kementerian. Arti nya, terasa sangat ironis, jika Kementerian Pertanian sendiri malah menempatkan urutan terbawah dari empat tujuan pembangunan pertanian nya. Walau nomor urut tidak berkorelasi positip dengan prioritas, tapi fakta nya memang begitu. Urutan pertama adalah meningkatkan produksi dan terakhir adalah kesejahteraan petani.

Kalau ada kalangan yang berpandangan, kiblat pembangunan pertanian di negeri ini “melenceng”, tentu harus dapat kita luruskan kembali agar tetap berada dalam track yang benar sesuai dengan komitmen semula. Kita sepakat dengan pemikiran yang menegaskan jika produksi meningkat otomatis kesejahteraan petani jadi membaik. Masalah nya adalah apakah kenyataan nya seperti itu ? Salah satu bukti di lapangan, mengungkapkan tidak. Naik nya produksi padi yang sangat spektakuler, terbukti tidak serta-merta meningkatkan kesejahteraan petani padi. Itulah yang dapat kita baca dari Nilai Tukar Petani padi sebagaimana yang tersaji dalam data BPS.

Prabowo Subianto selaku Ketua Umum DPP HKTI menyadari betul bagaimana kondisi dan kehidupan kaum tani di negeri ini. Malah secara gamblang Prabowo selalu menegaskan tentang makna “kemerdekaan” dalam kehidupan kaum tani. Di mata Prabowo merdeka itu jika petani mampu hidup sejahtera. Kalau sampai sekarang masih banyak petani yang hidup sengsara dan terjebak dalam suasana hidup miskin, maka sesungguh nya kita belum merdeka.

Semoga kekeliruan yang selama ini kita lalui, bukan karena ketidak-cerdasan kita dalam membaca tanda-tanda jaman, tapi lebih disebabkan oleh ketidak-seriusan kita dalam melakoni nya saja.

http://sosok.kompasiana.com/2013/11/20/prabowo-ideologi-pertanian-609763.html

Pupuk Urea Kembali Langka

20 November 2013


                

                         pupuk urea-63251105            

RADARBOLMONG, KOTAMOBAGU — Memasuki musim tanam saat ini, pupuk urea kembali mengalami kelangkaan. Kelangkaan ini, jika dibiarkan akan menganggu program pemerintah Sulut terkait swasembada pangan di Sulut.

Pasalnya, Bolmong merupakan petani padi terbesar di Sulut. Sudirman Passi salah satu pengecer pupuk asal Motoboi Kecil mengakui kelangkaan pupuk ini. Menurutnya, kelangkaan ini dikarenakan terlambatnya pasokan pupuk jenis urea dari distributor.

“Selain terlambat, informasi yang saya dapatkan stok urea bulan ini tidak mencukupi permintaan petani, “ ujar Sudirman. Namun Sudirman menjelaskan minggu depan diperkirakan stok urea kembali normal.

Hal senada juga diungkapkan oleh Nini Friyadi, ketua kelompok tani Hamparan Hijau. Dirinya berharap kelangkaan pupuk ini akan segera diatasi.

“Sebagai ketua kelompok tani, saya berharap pemerintah dan produsen pupuk dapat memperhatikan ketersediaan pupuk sepanjang tahun. Agar petani setiap musim tanam tidak merugi,” kata Nini.

Sementara itu, Managemen UD Rajawali selaku distributor pupuk di Kotamobagu belum bisa dimintai keterangan perihal terjadinya kelangkaan pupuk di Kotamobagu dan sekitarnya.(*)

Editor: Harry Tri Atmojo
Peliput: Musliadi Mokoagow

http://www.radarbolmong.com/read/4307/pupuk-urea-kembali-langka.html

Rabu, 20 November 2013

Produksi Kedelai Jambi Turun Lagi

19 November 2013

JAMBI, KOMPAS.com — Badan Pusat Statistik Jambi, Selasa (19/11/2013), memperkirakan produksi kedelai di Jambi pada 2013 diperkirakan turun 25,3 persen atau sebesar 891 ton biji kering dibandingkan tahun lalu. Total produksi tahun ini diperkirakan 2.625 ton.

"Penurunan produksi kedelai karena terjadi penurunan luas panen sebesar 740 hektar atau 26,34 persen," kata Kepala BPS Jambi Yos Rusdiansyah, Selasa. Selain itu, terjadi juga penurunan produktivitas sebesar 0,17 kuintal per hektar, atau 1,34 persen.

Yos mengatakan, selama tiga tahun terakhir produksi kedelai mengalami fluktuasi. Dia menyebutkan pada 2011 terjadi peningkatan produksi sebanyak 6,56 persen. Angka produksi itu kemudian anjlok 37,98 persen pada 2012.

Realisasi produksi kedelai Jambi pada 2012 mencapai 3.516 ton biji kering. Sementara pada 2011, realisasi produksi kedelai di provinsi itu tercatat 5.669 ton biji kering.

Dengan perkiraan realisasi produksi pada tahun ini, kontribusi kedelai Jambi terhadap angka nasional diperkirakan hanya 0,33 persen, turun dari 0,42 persen pada tahun lalu.

Dalan kesempatan itu Yos menyebutkan pula produksi kedelai di Pulau Sumatera pada 2013 diperkirakan akan mencapai 9,93 persen produksi nasional. Dia mengatakan, lebih dari 50 persen produksi kedelai nasional dipasok dari Pulau Jawa.


Sumber : ANT
Editor : Palupi Annisa Auliani

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/11/19/1015311/Produksi.Kedelai.Jambi.Turun.Lagi

Gula Rafinasi Beredar, Swasembada Gula Terancam

19 November 2013

BANDUNG. (PRLM).- Anggota Komisi IV DPR, Habib Nabiel Almusawa mengatakan, swasembada sebagai program pemerintah sehingga semua elemen pemerintah termasuk Kementerian Perdagangan (Kemendag) harus terlibat. Dukungan Kemendag di antaranya adalah dengan mengawasi peredaran gula rafinasi agar jangan sampai bocor ke pasar. Jika gula rafinasi masih bocor di pasaran maka Kemendag tidak serius mendukung program swasembada gula.

"Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (APEGTI) menilai Kementerian Perdagangan tak mampu mengawasi perembesan gula rafinasi yakni gula murni berkualitas tinggi berkadar abu dan belerang mendekati nol yang beredar bebas di pasaran. Padahal gula rafinasi khusus diperuntukan bagi industri dan dilarang dijual di pasar bebas," kata Habib dalam rilisnya ke PRLM, Selasa (19/11).
Gula konsumsi produksi petani di pasar harganya jatuh dibawah HPP yakni Rp 8.500 per kg, padahal sebelumnya Rp 9.500 per kg. Hal ini karena ada perembesan gula rafinasi yang harganya Rp 8.000 per kg, sehingga gula petani tidak laku bahkan tidak terserap pasar. "Jika terus dibiarkan, hal itu dapat menyebabkan jatuhnya harga gula konsumsi yang diproduksi petani akibat kesulitan bersaing di pasaran," katanya.

Jatuhnya harga gula merupakan disinsentif bagi petani tebu. ”Para petani tebu merugi dan jelas akan terpukul dengan kondisi ini. Di musim berikutnya mereka akan jera menanam tebu dan memilih untuk mengganti dengan tanaman lain yang lebih menguntungkan," ujarnya.

Jika semua petani tebu berfikir demikian, maka program swasembada gula akan gagal. ”September lalu Kemendag melakukan audit gula rafinasi industri yang bocor ke pasar. Buka hasil audit tersebut dan tindak tegas semua pelaku yang memasukkan gula rafinasi tersebut ke pasar agar menimbulkan efek jera kepada calon pelaku lainnya," tuturnya.(A-71/A-147)***

http://www.pikiran-rakyat.com/node/259131

Petani di Humbahas Berharap Pupuk Tidak Langka

19 November 2013

MedanBisnis - Doloksanggul. Para petani di Kecamatan Lintongnihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas) berharap agar pupuk tidak langka di daerah itu dan harganya tidak tinggi. Sebab, pada bulan Desember ini akan memasuki musim tanam.
Harapan itu diutarakan K Lumbantoruan (43) warga Kecamatan Lintongnihuta kepada MedanBisnis, Senin (18/11) saat ditemui di perladangan miliknya. Menurutnya, saat ini petani khawatir pupuk bersubsidi akan langka. "Saya mengharapkan kondisi stok pupuk tetap stabil seperti hari-hari biasa, agar tidak berdampak pada kebutuhan petani lainnnya," katanya.

Terkait harapan petani agar pupuk besubsidi tidak langka, Kadis Pertanian dan Perkebunan Humbahas, Ir Marco Panggabean MSi kepada MedanBisnis menjelaskan, bahwa pada musim cocok tanam kali ini, persediaan pupuk bersubsidi untuk para petani dalam kondisi aman. Saat ini, terdapat pupuk urea 1.591 ton, SP36 545 ton, ZA 239 ton, NPK 1.564 ton dan pupuk organic 316 ton. "Petani tidak usah khawatir akan terjadi kelangkaan," terangnya.

Marco menguraikan, untuk persediaan pupuk bersubsidi bakalan menerima jatah pupuk sesuai dengan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang diusulkan, demikian juga halnya untuk pupuk non subsidi. "Dengan persediaan pupuk ini, para petani tidak usah khawatir terjadi kelangkaan. Saya kira ini sudah cukup untuk musim tanam padi," ujarnya.

Disoal tentang kondisi musim penghujan akan semakin meningkat pemakaian pupuk untuk jenis tanaman, Marco menjelaskan bahwa petani menggunakan pupuk masih tergolong rendah, tapi pada musim pemupukan untuk jenis tanaman padi. "Jadi untuk bulan ini tidak ada kendala masalah pupuk, bisa saja kalau para petani sudah menanam semua, diperkirakan Desember dan ahir bulan Janurai petani banyak yang butuh," ujarnya.

Marco menyarakan kepada petani agar tidak terlau banyak menggunakan pupuk kimia, dan dianjurkan lebih banyak menggunakan pupuk organik. "Petani menggunakan pupuk kompos, agar lahan pertaniannya subur. Kemudian hasil pertaniannya bisa bagus dan berkualitas. Tanah juga tidak rusak, dan kesuburannya terjaga," katanya. (ck 10)

http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2013/11/19/62858/petani_di_humbahas_berharap_pupuk_tidak_langka/#.UovsiScutek

Selasa, 19 November 2013

Pahlawan kedaulatan pangan

19 November 2013

                                
                           Pahlawan kedaulatan pangan          

BANGSA kita setiap tahun merayakan Hari Pahlawan pada 10 November. Pada saat itulah kita mengenang jasa para pahlawan yang telah mengorbankan nyawanya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan.

Mereka bertempur matimatian untuk melawan tentara penjajah. Akan tetapi, kepahlawanan tidak hanya berhenti di sana. Dalam mengisi kemerdekaan pun dituntut lahir pahlawan-pahlawan baru. Mereka adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Lantas, bagaimana kita saat ini memberi makna baru kepahlawanan untuk mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman.

Kita patut merenung ketika negeri ini kian kerap dibanjiri pangan impor, siapa yang mau bergelut dengan peluh untuk berperang melawan penjajahan pangan impor itu? Mereka adalah para petani, yakni pahlawan kedaulatan pangan yang menghargai produk bangsa sendiri. Namun, ketika produksi pangan yang cenderung meningkat belakangan ini, petani yang bekerja tanpa kenal lelah mempersiapkan proses produksinya jarang mendapat apresiasi.

Petani acap dipandang sebagai kelompok marginal yang tidak memiliki bargaining posisi yang kuat sehingga tidak perlu diberi insentif. Subsidi yang diberikan kepada pahlawan kedaulatan pangan ini makin berkurang. Penindasan bentuk baru muncul dari sikap ini karena petani dianggap hanya salah satu sekrup dalam sebuah mesin produksi pertanian.

Proses pemiskinan
Dalam satu dekade terakhir, petani di negara yang dikenal sebagai bangsa agraris seperti Indonesia mengalami proses pemiskinan. Hasil sementara sensus pertanian tahun 2013 menunjukkan jumlah petani berkurang sebanyak 5,04 juta keluarga. Pada 2003, BPS mencatat jumlah keluarga petani 31,17 juta, sepuluh tahun kemudian menurun menjadi 26,13 juta keluarga. Jumlah keluarga petani yang berhenti menggantungkan hidup dari usaha pertanian rata-rata 500.000 rumah tangga per tahun atau laju penurunannya mencapai 1,75% per tahun.

Namun, jumlah perusahaan di bidang pertanian justru naik 36,77%. Dari 4.011 perusahaan per tahun 2003 menjadi 5.486 perusahaan per tahun 2013. Secara umum, di banyak negara maju susutnya jumlah keluarga petani dan meningkatnya jumlah perusahaan pertanian merupakan formalisasi sektor pertanian. Jika jumlah keluarga petani gurem menurun karena ada penyerapan tenaga kerja secara signifikan di sektor industri dan jasa, proses formalisasi berjalan baik. Sayangnya, yang terjadi adalah ”guremisasi” akibat tingginya alih fungsi lahan pertanian pangan.

Saat ini sektor pertanian sudah mulai ditinggalkan pelakunya dalam jumlah yang kian masif. Seiring dengan hilangnya lahan pertanian untuk keperluan permukiman, jalan tol, industri, perkebunan sawit, dan pertambangan, guremisasi di sektor pertanian pangan terus memuai dari tahun ke tahun. Kenyataan ini amat ironis dengan janji SBY ketika berkampanye pada 2004 untuk mendistribusikan tanah desa bagi petani kecil. Keterdesakan keluarga tani justru terjadi dalam sepuluh tahun pemerintahan SBY akibat kebijakan pertaniannya pro kehadiran perusahaan pertanian yang kapitalistik.

Bersama Badan Pertanahan Nasional, pemerintah membuat program Pembaruan Agraria Nasional untuk membantu petani yang tidak memiliki tanah. Namun, sudah dua periode SBY memerintah sebagai presiden, program itu hanya tinggal janji di atas kertas yang tidak kunjung dilaksanakan. Kegagalan mendistribusikan tanah desa ke petani kecil menjadi bukti bahwa partai politik (parpol) dan para politisinya acap hanya menjual kemiskinan rakyat untuk kepentingan politik sesaat.

Rakyat menjadi objek demi tujuan parpol meraih cita-citanya. Padahal, seharusnya parpol melalui wakilnya di parlemen menjadi terompet untuk menyuarakan kepentingan rakyat tanpa pamrih. Meski lahan peranian luas dan subur, mereka tidak memiliki lahan pertanian yang layak untuk hidup sejahtera. Pertanyaannya, dengan fakta penurunan jumlah keluarga tani yang amat signifikan dalam sepuluh tahun terakhir, apakah masih pantas Indonesia menyebut diri sebagai negara agraris?

Pada saat yang sama, jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi, perdagangan, transportasi, keuangan, dan jasa justru terus bertumbuh. Komitmen politik pertanian yang diusung Presiden SBY untuk melaksanakan reformasi agraria terbukti masih jauh dari memadai. Sejumlah kebijakan pembangunan pertanian yang dijalankan pemerintah belum responsif untuk menyelesaikan ribuan kasus sengketa dan konflik agraria yang memperhadapkan rakyat miskin dengan korporasi pemodal besar yang didukung aparatur negara. Seiring dengan krisis ekonomi global yang kian masif dialami rakyat kebanyakan, kondisi agraria di tanah air akan kian terancam.

Rawan pangan
Konsekuensi dari kegagalan pembaruan agraria nasional akan semakin memperparah kehidupan keluarga para pahlawan kedaulatan pangan. Pertambahan jumlah penduduk yang tidak diimbangi percepatan pembangunan pertanian mengakibatkan harga pangan meningkat. Hal ini membuat jutaan petani di Indonesia yang sekaligus juga sebagai konsumen terancam rawan pangan. Daya beli masyarakat terus merosot akibat kenaikan harga BBM bersubsidi yang mendorong inflasi merambat naik.

Lapisan penduduk miskin sudah bertambah tebal dan menjadi warisan kelam bagi penerima tahta kursi presiden tahun depan. Jumlah penduduk miskin meningkat secara bermakna, karena yang selama ini masuk kategori hampir miskin (near poor) akan terjerembap menjadi miskin. Upaya pemerintah untuk mengatasi dampak kenaikan harga BBM lewat suntikan BLSM sebesar Rp150.000 per bulan, sama sekali tidak memiliki arti signifikan. BLSM yang hanya diberikan selama empat bulan, tentu tidak punya daya ungkit bagi keluarga petani yang termiskinkan.

Setelah BLSM selesai, para penerimanya kembali terkesima dengan harga-harga yang sudah meroket. Indonesia sebagai negara agraris, yang sebagian besar rakyatnya bekerja di sektor pertanian sangat tergantung dengan tanah dan lahan pertanian. Oleh karena itu, guna mengakhiri proses pemiskinan petani maka pemerintah patut melakukan pembenahan kembali politik pertanahan lewat revitalisasi reforma agraria. Pengaturan kembali hak penguasaan tanah agar tidak terjadi kesenjangan dalam kepemilikan dan penguasaan atas tanah patut segera dilakukan pemerintah. Para petani harus memiliki tanah yang cukup untuk pengembangan ekonomi kerakyatan sekaligus mencegah langkah mereka untuk pindah ke kota (urbanisasi).

Dengan bersandar pada UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, pengalokasian tanah pertanian pangan harus benar-benar diperuntukkan bagi pahlawan kedaulatan pangan. Penetapan lahan pertanian pangan abadi dan perlindungan lahan pertanian pangan dari konversi menjadi hal yang mutlak dilakukan. Hal ini sekaligus menjadi senjata ampuh untuk melawan penjajahan pangan impor yang semakin memiskinkan para pahlawan kedaulatan pangan.

Komitmen politik pemerintah untuk melindungi para pahlawan kedaulatan pangan menjadi kata kunci. Mereka patut mendapat perlindungan dari pemerintah saat menghadapi kesulitan mendapatkan prasarana dan sarana produksi, gagal panen akibat perubahan iklim global, dan adanya jaminan harga. Mereka juga harus dilindungi dari praktik kaum mafioso dan pemain kartel pangan yang mendulang untung dari kemiskinan petani.

POSMAN SIBUEA
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)

Senin, 18 November 2013

Mentan Tuding Cuaca Penyebab RI Rajin Impor

18 November 2013

Liputan6.com, New York : Sektor pertanian selama ini memegang peranan penting dalam ketahanan bangsa. Sektor krusial tersebut bahkan diklaim mampu menurunkan tingkat kemiskinan serta membangun kemandirian pangan.

Sayangnya, Indonesia sebagai negara agraris justru dikenal sebagai negara pengimpor produk-produk pertanian dari negara lain.

Menteri Pertanian, Suswono mengatakan, Indonesia memerlukan upaya keras untuk meningkatkan produktivitas pertanian di tengah iklim yang tidak menentu seiring dengan pertumbuhan ekonomi bangsa ini.

"Iklim yang tidak menentu mengakibatkan kurangnya pemenuhan kebutuhan dalam negeri pada waktu-waktu tertentu, sehingga kita harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat," tutur dia saat Peluncuran Sign On (SSO) Karantina dan Layanan Elektronik (e-services) Perizinan Terintegrasi dalam rangka INSW di Jakarta, Senin (18/11/2013).

Lebih jauh dia menerangkan, tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia ikut mengerek importasi bahan baku pabrik dan industri makanan ke tanah air.

Suswono menyebut, dalam dua tahun terakhir volume ekspor dari Indonesia ke berbagai negara lebih tinggi dibanding volume impor. Dia mencatat, bolume ekspor pada 2011 mencapai 30 juta ton dan naik 1,3% menjadi 31 juta ton di 2012.

"Sedangkan nilai impor produk pertanian di akhir 2012 tercatat 19 juta ton. Angka ini turun 12,10% dari volume impor sepanjang 2011 yang sebesar 23 juta ton. Jadi volume perdagangan relatif lebih tinggi," paparnya.

Dalam menerapkan kegiatan ekspor impor di sektor pertanian, tambah dia, muncul permasalahan regulasi dan ketidakharmonisan data baik antar sub sektor maupun sektor nasional serta kementerian/lembaga.

Solusinya, Suswono mengungkapkan, pihaknya bekerja sama dengan kementerian/lembaga untuk memperbaiki proses perizinan dari hulu ke hilir yang semakin mempermudah aktivitas usaha para eksportir dan importir.

"Sistem layanan elektronik terintegrasi atau Indonesia National Single Window (INSW) bertujuan mempermudah perizinan dan efektivitas pengawasan pelayanan serta efektivitas ekspor impor barang di pelabuhan dan bandara," tukasnya.

Suswono berharap, pengembangan dan penerapan INSW di Indonesia maupun negara-negara ASEAN mampu mengatasi maraknya penyelundupan barang, termasuk produk pertanian dan memberikan pelayanan yang tinggi bagi para pelaku usaha. (Fik/Nur)

http://bisnis.liputan6.com/read/748861/mentan-tuding-cuaca-penyebab-ri-rajin-impor?wp.trkn

Menggugat Peran Fakultas Pertanian

18 November 2013

Keberlimpahan sumber daya alam Indonesia berikut keragaman genetik tersimpan di dalamnya, ternyata belum menjadi keunggulan kompetitif (competitive advantage) produk pertanian dan terbebasnya petani dari belenggu kemiskinan. Status Indonesia sebagai pengimpor sejumlah bahan pangan utama, setidaknya membuktikan rendahnya kepiawaian menyusun prioritas pembangunan ekonomi melalui pengarustamaan pemanfaatan sumber daya lokal dengan keterlibatan komunitas setempat. Ambruknya pilar penyangga pertanian dalam sistem ekonomi membuat Fakultas Pertanian (juga peternakan, kehutanan, perikanan dan ilmu kelautan) kembali digugat menyangkut sejauh mana peran yang dapat diambil, khususnya untuk menghasilkan profesional, hasil-hasil riset inovatif yang dapat mengakselerasi kemandirian pangan, dan dukungan nyata terhadap industri.

    Selain memiliki institut khusus di Bogor, Fakultas Pertanian tersebar di sejumlah universitas, bahkan hingga kota-kota kabupaten perguruan tinggi swasta pun mendirikannya. Namun, publik merasakan belum banyak produk dihasilkan sebagai indikasi bahwa pertanian di Indonesia telah berjalan on the right track. Kondisi tersebut berbeda ketika pada era 1960-an mahasiswa pertanian diterjunkan mengawal program bimbingan massal yang akhirnya membuat Indonesia secara bertahap berswasembada beras. Mahasiswa memberikan bimbingan teknis tentang praktek budidaya terbaik (best agricultural practices) sebagai syarat diperolehnya produktivitas tinggi.

    Ketidakberdayaan membuat Fakultas Pertanian terkesan sibuk dengan diri sendiri. Terakhir setelah minat luluan SMA terhadap program studi di lingkungan pertanian menurun drastis, Fakultas Pertanian melakukan perombakan kurikulum, bahkan dari 7 program studi existing diciutkan menjadi 2 saja, yakni agroekoteknologi dan agribisnis. Sejauh untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan strategik, tuntutan pasar, dan kompleksitas dihadapi, perombakan kurikulum dan bongkar pasang program studi sah-sah saja dilakukan. Apalagi, output dihasilkan lebih berorientasi pemecahan masalah bangsa melalui peran pertanian yang makin menggigit dan menunjang pembangunan berkelanjutan.

    Perubahan pada tataran global dan konsekuensi logis pembangunan, rupanya membawa implikasi terhadap minat kalangan muda terhadap pertanian. Mereka paham bahwa sampai kapan pun, pertanian merupakan hidup-matinya bangsa. Ketahanan pangan bagi sebuah negara berpenduduk lebih dari seperempat miliar jiwa merupakan keharusan tidak dapat ditawar. Melalui pertanian berdaya saing kuat, kesejahteraan petani dapat terwujud, sumber daya alam terawat dengan baik, dan dukungan pada sektor lain terutama industri makin mantap. Sayangnya, pemahaman tersebut tidak juga membuat mereka tertarik masuk program studi lingkup pertanian. Anggapan bahwa pertanian tak lebih hobi dan dapat dilakukan siapa saja meski bukan sarjana dengan spesifikasi keilmuan pertanian turut memberikan andil terhadap orientasi anak-anak muda.

    Orientasi tadi juga tidak keliru selama fakultas gagal menginterpretasikan hakikat pertanian sebagai kegiatan dengan dukungan disiplin ilmu cukup kompleks dalam tindakan nyata melalui riset inovatif teruji kalibrasinya. Fakultas harus membuktikan bahwa pertanian tidak hanya berurusan dengan cangkul lagi, melainkan bagaimana mengatasi kelangkaan tenaga kerja di kawasan pedesaan dengan mesin dan peralatan ramah lingkungan, harga terjangkau dan tidak berefek pemadatan tanah (compaction) dalam jangka panjang.

    Perubahan iklim global menuntut pemanfaatan bioteknologi modern untuk menghasilkan beragam varietas toleran terhadap berbagai medan cuaca dan tahan jasad penganggu tertentu. Degradasi kesuburan tanah akibat mismanagement sumber daya alam dan lahan bekas tambang dapat diatasi melalui bioremediasi. Demikian pula pengembangan wilayah dan restorasi lingkungan lain tentu memerlukan dukungan survai kapabilitas yang tidak hanya bertujuan mencari komoditas paling adaptif, tetapi juga teknologi murah untuk mengatasi berbagai keterbatasan.

    Profil alumni yang berhasil dalam agropreneurship tangguh dapat memberikan inspirasi kepada kalangan muda bahwa untuk sukses seseorang tidak harus semuanya jadi kontraktor, akuntan, dokter, dan pialang saham. Pertanian pun bila ditekuni secara profesional dapat menghasilkan pribadi-pribadi sukses. Kesalahan dalam melihat pertanian makin dkuatkan banyaknya sarjana pertanian tidak bekerja di bidangnya sehingga berimbas terhadap animo lulusan SMA berikutnya untuk masuk fakultas. Kenyataan objektif tersebut membuka mata atas pembenahan internal Fakultas Pertanian untuk dapat membantu penyelesaian masalah bangsa, khususnya dalam perwujudan kedaulatan pangan dan dukungan terhadap pengurangan defisit traansaksi berjalan.

    Sejalan pembenahan internal tadi, tentu negara juga harus memberikan dukungan politik terkait arah pembangunan pertanian secara menyeluruh. Bukankah meningkatnya impor pangan dan produk pertanian primer lain belakangan juga akibat kebijakan tidak terintegrasi dan lemahnya koordinasi antarkementerian? Setiap terjadi gejolak harga pangan yang dianggap menimbulkan kecemasan konsumen dan sinyal membahayakan inflasi, pemerinah selalu memilih jalan impor. Impor dibuka selebar-lebarnya kepada perusahaan mana pun diikuti penghapusan bea masuk. Animo petani yang distimulasi harga bagus kembali rontok begitu keran impor dibuka. Memang hanya dengan impor, produk berkualitas tinggi, dan harga murah dapat didatangkan kapan saja. Tanpa disadari tindakan instan tersebut telah melukai hati petani dan merontokkan semangat berproduksi. ***

Oleh Adig Suwandi, Penulis adalah pemerhati sosial-ekonomi,
alumnus Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.

http://www.suarakarya-online.com/news.html?category_name=Opini

Subisidi bagi Petani Perlu Ditingkatkan

18 November 2013


India jangan memperdagangkan masalah kedaulatan pangan dan mengorbankan nasib jutaan petani dalam kesepakatan perdagangan (bebas).

NEW DELHI – Wacana liberalisasi perdagangan, termasuk produk pangan, oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menuai protes di India. Sejumlah serikat petani berpengaruh di India mengajukan pernyataan sikap untuk tidak berkompromi terhadap masalah kedaulatan pangan dalam konferensi WTO di Bali pada Desember mendatang.

"India jangan memperdagangkan masalah kedaulatan pangan dan mengorbankan nasib jutaan petani dalam kesepakatan perdagangan (bebas)," demikian pernyataan sikap 15 serikat petani India dalam surat yang ditujukan kepada Perdana Menteri Manmohan Singh, di India, Sabtu (16/11).

Mereka secara lantang mendesak pemerintah India harus berdiri tegas terhadap tuntutan untuk setiap proposal Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa yang mengacu pada perubahan strategi perdagangan, termasuk dengan dalih untuk menghindari kelaparan. Menurut mereka, India tidak bisa dipaksa untuk kembali menjadi kaki tangan negara lain.

Seperti diketahui, anggota kelompok 33 negara berkembang (G33) pimpinan India meminta perubahan terhadap regulasi WTO mengenai Kesepakatan sektor Pertanian atau Agreement on Agriculture. Dengan amendemen aturan tersebut, pemerintah anggota WTO akan meningkatkan subsidi kepada para petani.

Selama ini, aturan WTO membatasi pemberian subsidi kepada petani tak lebih dari 10 persen dari tingkat produksinya. Ketika harga pangan dan jumlah penduduk miskin di negara berkembang meningkat dalam kurun dua dekade terakhir, subsidi tersebut telah menghilang secara substansial.

Tren Subsidi

Padahal sampai sekarang, hampir semua negara, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), mengalokasikan subsidi sangat besar bagi para petani. Berdasarkan laporan Cato Institute, Departemen Pertanian AS (USDA) mengalokasikan subsidi dalam bentuk tunai kepada petani dan pemilik lahan sebesar 10–30 miliar dollar AS per tahun.

Tak hanya itu, USDA juga memberikan subsidi secara tak langsung, meliputi asuransi panen, dukungan pemasaran dan riset pertanian bagi pebisnis di sektor pertanian. Dengan demikian, total subdisi yang digelontorkan pemerintah AS bisa mencapai 15–35 miliar dollar AS per tahun.

Sementara itu, UE melalui Common Agricultural Policy (CAP) memiliki anggaran tahunan untuk sektor pertanian sebesar 50 juta euro, sekitar 70 persen di antaranya untuk mendukung pendapatan petani, sedangkan 20 persen untuk pembangunan daerah pedesaan. Sisanya, sebesar 10 persen dialokasikan untuk mendukung upaya pemasaran.

Permintaan petani disampaikan setelah India melalui Menteri Perdagangan, Anand Sharma, pada awal pekan lalu, menegaskan pemerintah akan melindungi kepentingan petani dan rakyat miskin.

"Rencana sementara masih akan menempatkan negara pada kondisi berat yang akan membatasi penggunaannya secara signifikan dan membatasi ruang kebijakan domestik India," kata Sharma.

Konferensi tingkat menteri perdagangan (KTT) WTO di Bali dipandang sebagai kesempatan terakhir untuk menghidupkan kembali WTO menyusul pembicaraan "Putaran Doha" yang diluncurkan pada tahun 2001 di Qatar sampai sekarang mengalami kebuntuan. ins/AFP/Bangkokpost/Rtr/E-10

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/133654

Kartu Petani Tak Merata

18 November 2013

SEMARANG - Penerima manfaat kartu petani yang menjadi program unggulan Gubernur Ganjar Pranowo ternyata hanya 0,69% atau 30 ribu dari total keseluruhan 4.290.000 rumah tangga petani di Jateng.

Tentu saja jumlah penerima kartu menimbulkan kecemburuan dari petani.

Anggota Komisi B DPRD Ja­teng, Istajib AS menyatakan, ke­bijakan kartu petani semesti­nya ber­si­fat populis dan tidak hanya difo­kuskan kepada penerima manfaat.

”Gubernur harus berhati-hati saat mengeluarkan kebijakan kartu petani, apalagi itu tidak hanya sekadar kartu tetapi banyak manfaat lainnya. Kalau bisa di­berikan ke semua petani akan le­bih bagus, tapi kalau ha­nya sekian persennya akan ber­potensi timbulkan kecemburuan di kalangan petani,” kata Ketua Fraksi PPP DPRD Jateng itu.

Istajib menjelaskan, jumlah rumah tangga tani itu merupakan hasil pendataan Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng per Mei lalu. Dari jumlah 4.290.000 ru­mah tangga tani, sekitar 2.700.000 di antaranya merupakan petani perkebunan seperti tebu, cengkih, karet, dan kopi, sedangkan sisa­nya petani umum.

Anggaran

Menurut Ista­jib, jika gubernur berniat menyejahterakan petani semestinya semua rumah tangga tani di Jateng bisa diperhatikan. ”Akan lebih baik jika pemerintah provinsi mengalokasikan ang­garan untuk pertanian, dan hal itu bi­sa di­ra­­­sakan ke­se­luruhan peta­ni,” jelasnya.

Sebagaimana diberitakan se­belumnya, gubernur akan me­lun­curkan 30.000 kartu petani perkebunan, khususnya pertani­an bi­dang tebu. Peluncuran kar­tu pe­tani ini akan dilaksanakan ber­ba­rengan dengan puncak per­ingatan Hari Perkebunan Nasio­nal 2013 di kebun Tlogo Plan­tation Resort, Kecamatan Tun­tang, Kabupaten Semarang, pa­da 10 Desember mendatang.

Istajib juga mengungkapkan, jika diperbandingkan hanya untuk petani tebu, jumlah penerima manfaat kartu itu mencakup 10 persen dari total 300.000 petani tebu se-Jateng.

Menurut Ganjar, kartu petani ini multiguna, pada tahap awal akan dimanfaatkan untuk menjamin ketersediaan pupuk bagi penerimanya.

Setelah itu, kartu bisa dija­di­kan acuan untuk memberikan peralatan atau sarana prasarana produksi (saprodi).

Sebelumnya, Kepala Dinas Per­kebunan Jateng Tegoeh Wy­nar­no Haroeno menyatakan, kartu petani perkebunan menggunakan konsep single identity number.

”Fungsinya multiguna karena dapat terintegrasi dengan KTP dan ATM, kartu ini mendata nama petani perkebunan, jenis usaha, komuditas, besaran produksi, harga jual, dan lain sebagainya,” jelasnya. (J17,H68-90)

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/11/18/243495/Kartu-Petani-Tak-Merata

Ekonomi Perbanyak Doa

18 November 2013

KOMPAS.com - Nilai tukar rupiah kembali mencatatkan rekor terendah baru minggu lalu (Rabu, 13/11/2013) dalam hampir lima tahun terakhir. Mengantisipasi tekanan terhadap rupiah lebih lanjut, sehari sebelumnya, Bank Indonesia menaikkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,5 persen. Kenaikan BI Rate yang cukup kerap—lima kali dalam lima bulan terakhir yang totalnya 175 basis poin—merupakan salah satu pertanda pembenahan sektor riil mandul.

Kebijakan fiskal bisa dikatakan tidak membantu sama sekali, bahkan dalam beberapa hal kontraproduktif. Pemerintah lebih memilih jalan pintas dengan penuh kesadaran: pertumbuhan ekonomi dikorbankan!

Dalam pertemuan tahunan perbankan minggu lalu, Gubernur Bank Indonesia mengimbau perbankan untuk menahan laju kredit dan tidak jorjoran menaikkan suku bunga untuk menyerap dana masyarakat. Dengan alasan meredam pemburukan akun semasa (current account), Bank Indonesia menargetkan pertumbuhan kredit tahun depan di kisaran 15 persen-17 persen, jauh lebih rendah ketimbang pertumbuhan kredit bulan September lalu sebesar 23,1 persen.

Menteri Keuangan pun telah berulang kali mengatakan pertumbuhan ekonomi tahun ini dan tahun depan bakal terus tertekan, bahkan hampir pasti di bawah 6 persen pada tahun 2014. Tak ayal, tingkat pengangguran pada Agustus 2013 naik, baik dibandingkan Agustus 2012 maupun Februari 2013, menjadi 6,25 persen.

Semua petinggi penentu kebijakan ekonomi mengambinghitamkan ketidakpastian ekonomi dunia dan rencana pemotongan stimulus oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) sebagai biang keladi pemburukan ekonomi Indonesia. Padahal, sumber masalah lebih banyak berasal dari dalam negeri, terutama kegagalan pemerintah menghadirkan pertumbuhan berkualitas. Pertumbuhan sektor penghasil barang terus melambat. Yang paling kentara adalah sektor industri manufaktur, dari tingkat tertingginya pada triwulan III-2012 sebesar 6,4 persen menjadi hanya 4,9 persen pada triwulan III-2013.

Pembenahan infrastruktur tak kunjung menampakkan hasil nyata, bahkan dalam banyak hal memburuk. Ranking komponen infrastruktur dalam indeks kinerja logistik melorot dari peringkat ke-69 pada tahun 2010 menjadi ke-84 pada tahun 2012. Pemadaman listrik semakin kerap. Kemacetan menggila. Kondisi bandara bertambah semrawut. Alih-alih menawarkan penyelesaian menyeluruh, pemerintah pusat malahan menumpahkan kesalahan kepada pemerintah daerah. Alih-alih menyuntikkan dana lebih berarti dari anggaran negara (APBN), pemerintah justru kian mengandalkan swasta dengan mengedepankan skema private-public partnership, sedangkan alokasi dana untuk subsidi energi terus menggelembung, tahun ini dan tahun depan diperkirakan naik lagi menjadi sekitar Rp 350 triliun.

Pertumbuhan ekonomi yang semakin tidak berkualitaslah yang menjadi biang keladi dari pemburukan kinerja ekonomi Indonesia, bukan faktor eksternal. Bukanlah pertumbuhan ekonomi dunia mulai membaik? Bukankah pertumbuhan perdagangan dunia tahun ini lebih tinggi ketimbang tahun lalu?

Di tengah ketidakpastian kebijakan The Fed tentang pemotongan stimulus, bukankah selama ini arus modal asing yang masuk ke Indonesia selalu positif dalam jumlah yang tergolong lumayan besar? Bahkan, pada triwulan III-2013, investasi asing langsung neto triwulan mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, sebesar 5,1 miliar dollar AS. Dalam sembilan bulan terakhir (Januari-September), investasi asing langsung sudah mencapai 12,8 miliar dollar AS, hampir menyamai keseluruhan tahun lalu sebesar 14 miliar dollar AS.

Investasi portofolio juga tak bisa dikatakan jeblok. Selama Januari-September 2013, arus neto investasi portofolio mencapai 8 miliar dollar AS, hanya sedikit di bawah keseluruhan tahun lalu sebesar 9,2 miliar dollar AS. Investasi portofolio paling buruk terjadi pada triwulan IV-2012, tetapi itu pun masih positif walaupun kecil sebesar 190 juta dollar AS.

Jadi, peningkatan defisit neraca pembayaran pada triwulan III-2013 menjadi 2,6 miliar dollar AS—dari 2,5 miliar dollar AS pada triwulan sebelumnya—sehingga terus menekan rupiah lebih disebabkan oleh tekanan pada akun semasa.

Janganlah pemburukan neraca pembayaran ditumpahkan pada ekspansi perekonomian yang dipandang terlalu cepat sebagaimana disinyalir Gubernur Bank Indonesia dalam pidatonya minggu lalu. Gubernur BI justru harus lebih yakin dengan ucapannya sendiri pada acara yang sama: “… struktur produksi yang terbentuk dalam satu dekade terakhir lambat laun terasa semakin ketinggalan zaman (obsolete)”. Itulah wujud senyata-nyatanya dari pertumbuhan tidak berkualitas.

Pertumbuhan yang tak berkualitas itulah yang menjadi penyebab utama pemburukan akun semasa sejak tahun 2012. Telaahan struktur akun semasa lebih rinci akan sampai pada kesimpulan itu. Penyumbang positif terbesar akun semasa selama puluhan tahun adalah surplus transaksi perdagangan nonmigas.

Selama kurun waktu 2008-2011, surplus transaksi perdagangan nonmigas naik pesat, dari 15,1 miliar dollar AS tahun 2008 menjadi 35,4 miliar dollar AS tahun 2011. Namun, pada tahun 2012 anjlok menjadi hanya 13,8 miliar dollar AS, lebih rendah daripada tahun 2008. Pemburukan masih berlanjut tahun ini. Selama Januari-September 2013 surplus transaksi perdagangan nonmigas tercatat 8,9 miliar dollar AS, lebih rendah daripada periode yang sama tahun lalu sebesar 10,6 miliar dollar AS.

Transaksi perdagangan minyak pun kian parah. Tahun 2009 defisit perdagangan minyak baru 4 miliar dollar AS. Tahun 2010 naik menjadi 8,7 miliar dollar AS, lalu naik dua kali lipat lebih menjadi 17,5 miliar dollar AS setahun berikutnya, dan terus naik menjadi 20,4 miliar dollar AS tahun 2012. Selama Januari-September tahun ini kenaikan terus berlanjut dibandingkan periode yang sama tahun lalu, masing-masing 17,5 miliar dollar AS dan 14,8 miliar dollar AS. Pada triwulan III-2013 sekalipun, kenaikan masih terjadi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya maupun triwulan yang sama tahun lalu.

Penguasa sudah benar-benar terjangkit penyakit kronis sebagaimana pepatah ”gajah di pelupuk mata tak kelihatan, kuman di seberang lautan tampak nyata”.

Jangan cuma perbanyak doa. Bekerja keraslah dengan patut.

(Faisal Basri, Ekonom)

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/11/18/0745238/Ekonomi.Perbanyak.Doa

Sabtu, 16 November 2013

Gula Rafinasi Merembes, Harga Gula Petani Jatuh

16 November 2013

Jakarta - Perembesan gula rafinasi di pasaran umum menyebabkan jatuhnya harga gula konsumsi yang diproduksi petani, sehingga mereka menemui kesulitan untuk bersaing di pasaran. Atas permasalahan tersebut, Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (APEGTI) menilai Kementerian Perdagangan tidak mampu mengawasi perembesan gula rafinasi yang kerap terjadi.

“Di pasaran umum, gula konsumsi yang diproduksi petani harganya jatuh dibawah HPP yakni Rp 8.500/kg, padahal tadinya harga gula petani dipasar Rp 9.500/kg. Itu Karena ada perembesan gula rafinasi yang harganya Rp 8.000/kg, sehingga gula petani tidak laku dan tidak terserap pasar,” ungkap Ketua Umum Apegti Natsir Mansyur.

Pihaknya meminta agar pemerintah bias terbuka dengan masalah audit gula rafinasi seperti yang sebelumnya dijanjikan oleh pemerintah beberapa tahun lalu sejak 2011, 2012 hingga tahun ini. “Supaya jelas masalahnya, jangan audit gula rafinasi ini ditutup-tutupi, kan peraturan sudah tegas mengatur gula rafinasi,” kata Natsir yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah dan Bulog.

Dia juga mengatakan bahwa impor raw sugar gula rafinasi meningkat menjadi tiga juta ton pada tahun 2013 ini. APEGTI mengingatkan agar pemerintah terkait dengan DPR RI Komisi VI memperhatikan kondisi tersebut dengan kebijakan yang sudah ditentukan. “Jangan sampai regulasi yang sudah dibuat oleh pemerintah tapi justru pemerintah sendiri yang menyalahi regulasi yang ada”.

Natsir mencontohkan, korban perembesan gula rafinasi terjadi di sulawesi selatan dimana PTPN 14 sudah tidak produksi lagi, karena tidak mampu bersaing dengan gula rafinasi yang diproduksi produsen gula rafinasi yang juga ada di Sulawesi Selatan. Dia menyebutkan, kapasitas produksinya mencapai 400.000 ton/tahun, sementara penyerapan gula rafinasi hanya 250.000 ton/tahun, secara otomatis sisanya masuk ke pasar umum serta merugikan para petani.

APEGTI menilai, permasalahan tersebut perlu diwaspadai karena akan mengakibatkan pabrik gula berbasis tebu di Jawa juga akan tutup, jika masalah itu tidak ditangani serius oleh pemerintah.

http://www.beritasatu.com/industri-perdagangan/150442-gula-rafinasi-merembes-harga-gula-petani-jatuh.html

Jumat, 15 November 2013

DPRD Sumut Geram, Pupuk Langka Petani Disalahkan

15 November 2013

MedanBisnis - Medan. Petani menjerit ketika pupuk bersubsidi tidak bisa dibeli. Namun, justru petani yang disalahkan karena dianggap tidak mampu menyusun tepat waktu Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok RDKK) yang menjadi syarat pembelian pupuk bersubsidi. Alhasil, pupuk yang disantun rakyat pun beralih ke perkebunan.
Hal itu terungkap saat rapat dengar pendapat (RDP) Komisi B DPRD Sumut, bersama Dinas Pertanian, PT Pupuk Sriwidjaya (Pusri), PT Petrokimia Gresik dan PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), Kamis (14/11), di gedung DPRD Sumut.

Supervisor PT Petrokimia Gresik, Cahyono mengungkapkan, penyaluran pupuk terkendala karena masih belum sempurnanya penyusunan RDKK. Misalnya, dalam pengajuan RDKK tidak dianjurkan dosis anjuran teknis.

Sebagaimana diketahui RDKK disusun oleh kelompok tani, disetujui Mantri Tani/KCD/PPL dan rekapitulasinya disahkan kepala dinas pertanian kabupaten/kota. Sedangkan petani perorangan tidak bisa membeli pupuk bersubsidi, meskipun mempunyai modal cukup.

"Kalau begini kinerja kita, mana bisa kita bersaing dalam pasar bebas. Alasanya, petani kita bodoh, kemudian kepala daerah yang tidak tanggap. Kalau begini, petani yang jadi korban," kata anggota Komisi B DPRD Sumut, Nurul gerah dan meminta tidak menyalahkan petani.

Dia mengatakan, sebagai perusahaan plat merah, PT Petrokimia Gersik tidak hanya mencari keuntungan. Tetapi harus punya cara bagaimana pupuk itu sampai ke masyarakat tanpa birokrasi yang panjang.

Dia mengingatkan, subsidi dari uang rakyat, tapi kenyataanya rakyat susah membeli pupuk. "Jangan salahkan petani, mereka ini kebanyakan kaum yang terpinggirkan. Kepala daerah juga seharusnya membantu administrasi dan birokrasi," katanya.

Dinas Pertanian yang mempunyai tanggungjawab terhadap program pengembangan dan pembinaan pertanian juga dimintai solusi terhadap persoalan yang sudah berulang-ulang menjadi masalah petani. "Bagaimana dinas pertanian. Bisa memangkas birokrasi ini," kata Nurul ke Kadis Pertanian Sumut, M Roem.

Sekretris Komisi B, Tiaisyah Ritonga mengatakan, persoalan pupuk dari tahun ke tahun tetap pada masalah stok atau pendistribusian dan terkait dengan kelengkapan RDKK. Dia menyakini ada kesalahan koordinasi, sehingga informasi tidak sampai ke petani.

"Harapan kami pak kadis, ada terobosan, bagaimana kesulitan birokrasi yang dihadapi petani. Kemudian, sebelum dibutuhkan, pupuk sudah ada di tempat supaya tanaman petani tidak 'bantat' (istilah yang dipakai Tiaisyah mengatakan hidup tapi tak berhasil, red)," katanya.

Mengenai pemberdayaan penyuluhan kepada kelompok tani dalam penyusunan RDKK itu, PT Petrokimia Gersik hanya melakukan pendampingan. "Kita bisa lakukan pendampingan penyuluh," katanya.

Sementara, M Roem mengatakan, menjadi tugas penyuluh memberikan bimbingan kepada kelompok tani. Sedangkan para penyuluh itu merupakan kewenangan dari setiap walikota dan bupati sesuai otonomi daerah. "Kita provinsi ini hanya bisa mendorong, mengkoordinasikan, memberikan masukan-masukan supaya mengefektifkan petugas yang ada di kabupaten," sebutnya. (edward f bangun)

http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2013/11/15/62095/dprd_sumut_geram_pupuk_langka_petani_disalahkan/#.UoYvNScutek

Hadapi AEC, Kesiapan Indonesia Diragukan

15 November 2013

MAKASSAR, FAJAR – Kemampuan Indonesia menghadapi Asean Economic Community (AEC) 2015 mendatang diragukan. Ini terlihat dari impor beras dari Thailand dan Vietnam hingga Agustus ini sebanyak 302,707 ton senilai USD 156 juta.
  
Indonesia saat ini hanya menempati posisi ke-6 dalam peringkat kesiapan negara-negara Asean dalam menghadapi implementasi Pasar Tunggal 2015 mendatang.

Dalam matrik penilaian yang dirilis Sekretariat ASEAN, skor yang berhasil dikumpulkan Indonesia baru mencapai 81,3 persen, jauh tertinggal dibandingkan negara-negara pesaing lainnya seperti Thailand, Malaysia, Laos, Singapura, dan Kamboja.

Anggota Komisi VI DPR RI, Emil Abeng mengatakan Asean Community tidak memiliki fundamental yang kuat. Indonesia masih bergantung pada impor pangan dari negara lain, hal ini akan mematikan produksi pertanian lokal yang dampaknya pada lapangan kerja karena tidak memiliki daya saing.
  
“Apabila Indonesia terus bergantung pada impor pangan, sampai kapan kita harus merdeka dan tidak didikte secara ekonomi. Dengan impor beras sebesar itu berati belum ada kemandirian pangan,” kata Emil di Seminar Persaingan Usaha di gedung Rektorat Unhas, Kamis 14 November.
  
Menurut Emil, jika ekonomi Asean bergabung maka akan menjadi kuat, tetapi yang menjadi kendala ekonomi Indonesia yang belum kuat sehingga rentan dimanfaatkan negara lain.
  
“AEC ini hanya pertukaran barang, padahal yang paling bahaya adalah tantangan SDM, tidak menutup kemungkinan lulusan perguruan tinggi Singapura dan Malaysia akan masuk ke Indonesia, jika ini terjadi maka kita akan jadi penonton,” ujarnya.
  
Komisioner KPPU, Syarkawi Rauf menambahkan dalam konteks ekonomi Asean akan banyak investasi yang datang jika iklim menarik, tetapi akan rentan dimanfaatkan jika belum mampu bersaing.
  
“Singapura yang tidak memiliki kekayaan alam pasti akan berpikir bagaiman bisa memanfaatkan Indonesia. Kita harus bercermin pada neraca perdagangan kita yang tidak memberikan gambaran positif sehingga selalu terjadi defisit,” ujarnya.
  
Menurut Syarkawi, secara umum Sulsel masih jauh di atas PDB Indonesia sehingga bisa menjadi motor pembangunan. Tetapi jangka panjang bisa berpengaruh terhadap sektor pertanian yang menjadi andalan Sulsel.
  
“Dalam konteks Asean Community, pertanian akan menyatu dengan negara lainnya, jika ini terjadi apakah kita masih bisa bicara swasembada pangan. Dilema yang dihadapi pemerintah saat ini adalah ketersediaan melawan kemandirian,” tuturnya. (m02/die)

http://www.fajar.co.id/bisnisekonomi/3021538_5664.html

Ini Saran Agar RI Tak 'Kecanduan' Impor Pangan

15 November 2013

Jakarta - Institut Pertanian Bogor (IPB) salah satu perguruan tinggi di Indonesia yang cukup berkonsentrasi dalam persoalan pangan. Di tengah persoalan impor pangan yang terus membanjiri Tanah Air, diharapkan ada solusi dari pada akademisi.

Guru Besar IPB Hermanto Siregar mengatakan kedaulatan pangan adalah cita-cita bangsa, sesuai yang tertera pada undang-undang (UU) No.18 tahun 2012 tentang pangan. Di dalamnya terdapat unsur hak negara, kebijakan pangan, sistem pangan dan potensi sumberdaya lokal.

Dalam paparannya yang dikutip detikFinance, Jumat (15/11/2013), impor pangan cukup menjadi masalah negara untuk mencapai kedaulatan pangan. Dari sekian banyak impor, hampir keseluruhan produk harusnya dapat dikembangkan di dalam negeri seperti beras, kedelai, kentang, bawang, daging sapi, ikan, gula bahkan termasuk garam yang selama ini masih diimpor.

Alasan impor pangan untuk menstabilkan harga di dalam negeri dianggap tidak tepat. Sebab dengan cara instan tersebut, masih akan berbenturan dengan kendala teknis dan non teknis di lapangan.

Berikut solusi yang ditawarkan agar Indonesia mencapai kedaulatan pangan dan bebas dari impor, antaralain:

1. Peningkatan Stok Pangan
Ini adalah solusi dalam jangka pendek. Pemerintah harus memastikan tidak ada gejolak harga akibat berbagai hal, termasuk tren dari kenaikan harga internasional.

Bulog dapat meningkatkan pengadaan atau pembelian beras dalam negeri. Manakala tidak cukup, bisa melakukan impor. Ini pun dengan perhitungan yang tepat.

Stok pangan juga bisa dengan cara menggandeng pihak swasta. Terutama dalam meningkatkan distribusi pangan nasional. Sistem informasi pangan dibua secara komperhensif untuk tiap daerah dan regional.

2. Peningkatan Produksi Pangan
Program ini sudah masuk dalam rentang jangka menengah dan panjang. Fokusnya ditujukan untuk produk seperti padi, jagung, kedelai, sapi dan umbi-umbian.

Kemudian perlu dipercepat food estate, melalui pendekatan Public Private Partnership (PPP). Kemudian mengikutsertakan rakyat yang juga dapat menyerap tenaga kerja.

Program ini juga harusnya memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Agar kegiatan pertanian yang dilakukan tidak berhenti karena ada lingkungan yang rusak.

3. Pengembangan Agroindustri
Ini merupakan program lanjutan setelah produksi pangan memperlihatkan pertumbuhan yang signifikan. Caranya adalah dengan menyediakan insentif untuk investasi agroindustri yang menyerap tenaga kerja.

Kemudian optimalisasi Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dan Corporate Social Responsibility (CSR) untuk mendorong pengembangan agroindustri pedesaan. Khususnya skala mikro kecil.

4. Peningkatan Kualitas Sistem Distribusi
Program ini lebih mengarah kepada pengembangan sistem logistik nasional pangan. Ini menjadi keharusan karena kawasan produksi berbeda atau kurang terhubung dengan kawasan konsumsi.

Infrastruktur adalah unsur penting yang mesti dibenahi. Baik secara kuantitas maupun kualitas. Khususnya pada infrastuktur pedesaan dan keluar pedesaan (rural-urban linkages).

Bulog sebagai lembaga pemerintah yang berfokus untuk pangan, juga bisa mengambil andil dalam efektifitas.

5. Peningkatan Research and Development (R&D)
Pangan yang diproduksi harus selalu diikuti dengan penelitian. Misalnya dalam penggunaan bibit-bibit unggul yang mampu beradaptasi dengan perkembangan iklim di lahan-lahan yang kurang subur.

Kemudian juga pengembangan produk pangan seperti beras analog dan sejenisnya. Ada dorongan untuk diversifikasi dan peningkatan gizi. Setiap hasil riset, dapat dikonsolidasikan oleh para lembaga dan perguruan tinggi. Sehingga dapat diimplementasikan oleh pemerintah.


http://finance.detik.com/read/2013/11/15/113757/2414001/4/ini-saran-agar-ri-tak--kecanduan--impor-pangan