Kamis, 31 Juli 2014

Di Manokwari, Jumlah Petani Semakin Berkurang

Rabu, 30 Juli 2014

"Luas lahan pertanian yang dapat dijadikan sawah di Kabupaten Manokwari kurang lebih 5.000 kektar, sementara petani padi yang ada hanya dua kelompok dengan jumlah puluhan orang tidak mampu menggarap lahan seluas itu,"

Jakarta, Aktual.co —Dinas Pertanian Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat, mengakui petani padi di daerah itu masih kurang bila dibandingkan dengan luas lahan yang ada.

"Luas lahan pertanian yang dapat dijadikan sawah di Kabupaten Manokwari kurang lebih 5.000 kektar, sementara petani padi yang ada hanya dua kelompok dengan jumlah puluhan orang tidak mampu menggarap lahan seluas itu," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Manokwari, Saptoyudo, SP, di Manokwari, Rabu (30/7).

Petani padi di Kabupaten Manokwari kebanyakan warga transmigran dari Pulau Jawa yang usia mereka rata-rata sudah senja. Kemampuan petani usia senja menggarap sawah, menurutnya, semakin menurun sehingga sulit bagi daerah itu untuk meningkatkan produksi padi secara signifikan.

Dia mengatakan, kebanyakan anak-anak petani warga transmigran yang sekolah sampai jenjang sarjana, tidak mau menjadi petani sawah seperti orang tuanya dan lebih memilih profesi lain.

"Kami sangat khawatir 10-15 tahun mendatang sudah tidak ada lagi petani padi di Kabupaten Manokwari guna memproduksi beras untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat lokal," katanya.

 Dinas Pertanian, kata dia, akan terus berupaya untuk meningkatkan jumlah petani, sekaligus meningkatkan produksi beras karena tanpa produksi pangan lokal Kabupaten Manokwari bisa mengalami krisis pangan, apabila satu saat nanti Bulog terlambat mendatangkan beras dari luar manokwari.

Saptoyudo lebih lanjut mengatakan, tahun ini petani padi Kabupaten Manokwari menggarap sawah seluas 2.200 hektar untuk dua kali tanam atau dua kali panen. Apabila setiap hektar petani mampu menghasilkan 6-7 ton maka target produksi 20 ton tahun ini dapat tercapai.

Pihaknya menyakini target produksi tahun ini tidak akan mencapai target sebanyak 20 ton, karena petani menanam tidak sesuai jadwal yang sudah ditentukan berdasarkan perkiraan musim penghujan dan musim kemarau yang dikeluarkan instansi terkait.

Minggu, 27 Juli 2014

Kerusakan Lingkungan Bencana bagi Ketersediaan Pangan

Minggu, 27 Juli 2014

Kecenderungan banyak orang menganggap kerusakan lingkungan akan menimbulkan bencana alam. Benar, tapi masih sedikit orang beranggapan kerusakan lingkungan tidak berhubungan dengan bencana bagi ketersediaan pangan. Padahal sebelum kerusakan lingkungan yang  menyebabkan bencana alam seperti banjir bandang, longsor dan lain-lain, pada tahap awal mengancam bencana bagi ketersediaan pangan.

Kekurangan pangan selalu dikaitkan dengan gagalnya pertanian tanaman pangan, atau tingkat laju pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan ketersediaan pangan, sehingga kerusakan lingkungan tidak dikaitkan ancaman bencana bagi ketersediaan pangan. Kekurang pahaman masyarakat akan kaitan kerusakan lingkungan dengan ketersediaan pangan membuat masyarakat kurang atau tidak peduli dengan kerusakan lingkungan.

Bagi masyarakat Indonesia, anggapan ini diterima yakni kerusakan lingkungan tidak memiliki kaitan dengan ketersediaan pangan. Bila ada sekelompok masyarakat, suku bangsa yang komplein tentang kerusakan lingkungan karena tanaman produksi pertanian mereka rusak atau gagal panen dianggap dan dinilai tidak tepat sasaran, tidak relevan atau tidak memiliki kaitan dengan produksi pertanian tanaman pangan.

Hal ini pernah terjadi bagi masyarakat Kabupaten Toba Samosir yang komplaien terhadap kerusakan lingkungan di kabupaten itu disebabkan limbah pabrik yang membuat produksi tanaman pangan (padi) sawah milik para petani gagal panen. Tanaman pagi tumbuh kerdil dan bulir-bulir padi hampa atau tanpa isi padi yang nantinya menjadi beras ketika telah dipanen. Begitu juga dengan masyarakat petani di Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli Utara yang komplaein terhadap kerusakan lingkungan sebab tanaman pangan (pohon mangga) milik mereka gagal berbuah meskipun telah berbunga akan tetapi bunga buah Mangga pada gugur dan tidak menghasilkan buah mangga.

Gagalnya produksi pertanian tanaman pangan bagi Indonesia merupakan satu ancaman yang serius karena dampaknya sangat sistemik. Gagalnya panen awal dari bencana ketersediaan pangan, akan tetapi pemerintah selalu mencari solusi yang bukan menyelesaikan akar masalah. Pemerintah Indonesia selalu mencari jalan pintas dengan melakukan impor produksi pertanian tanaman pangan. Langkah yang dilakukan pemerintah dengan melakukan impor pangan, tidak bijaksana karena akar masalahnya tidak diselesaikan.

Akibatnya setiap tahun terus meningkat jumlah impor produksi pertanian pangan. Selama dua periode Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yakni 2005 – 2009 dan 2009 – 2014 data impor Indonesia untuk beras meningkat 117 persen, daging sapi meningkat 234 persen, bawang merah meningkat 76,2 persen, gula 61,7 persen, cabai 56 persen, gandum 13,1 persen, kedelai 10,9 persen (sumber data diolah dari Bappenas 2014).

Melestarikan Lingkungan

Jika Indonesia benar sebagai negara agraris (pertanian) maka seharusnya lingkungan hidup Indonesia tidak rusak akan tetapi tetap terjaga, lestari dengan alami. Hasilnya pasti Indonesia bukan sebagai negara pengimpor produksi pangan akan tetapi menjadi pengekspor produksi pertanian.

Ketika Indonesia menjadi pengimpor pangan maka bencana ketersediaan pangan sudah di depan mata dan alam yang alami sudah berkurang atau alam sudah rusak. Lihat saja data Statistik lahan pertanian tanaman pangan selama lima tahun terakhir (2004-2008), lahan tanaman padi hanya mengalami peningkatan sebesar 0,47 juta hektar dengan komposisi 11,92 juta hektar tahun 2004 menjadi 12,39 juta hektar tahun 2008.

Semakin sempit lahan pertanian maka semakin kecil Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Indonesia. Artinya, semakin kecil luas lahan RTH maka lingkungan hidup semakin tidak sehat. Lahan pertanian hampir tidak ada lagi di daerah perkotaan maka semakin sedikit daerah resapan air dan semakin sedikit produksi oksigen serta temperature (suhu) bumi semakin tinggi. Logikanya semakin bertambah jumlah penduduk maka semakin banyak dibutuhkan pangan dan bila semakin banyak dibutuhkan pangan maka semakin luas lahan pertanian yang dibutuhkan. Saling terkait satu dengan yang lainnya.

Indonesia sebagai negara agraris (pertanian) seharusnya memiliki lahan pertanian yang luas dan lingkungan hidup Indonesia semakin baik. Kini pertanyaan muncul tentang eksistensi (keberadaan) Indonesia sebagai negara pertanian dan tentang lingkungan hidup negara Indonesia.

Bila saja lingkungan hidup di Indonesia terjaga dengan baik, lestari maka lahan pertanian tanaman pangan Indonesia tetap eksis dan bencana ketersediaan pangan tidak terjadi maka dari itu menyelamatkan lingkungan hidup akan menyelamatkan ketersediaan pangan di Indonesia. Lingkungan hidup yang baik akan menghasilkan produksi pertanian tanaman pangan yang baik.

Lahan pertanian tanaman pangan yang luas akan menyehatkan lingkungan dan lingkungan yang sehat akan menyehatkan manusia dan juga hewan. Luar biasa manfaat yang dihasilkan dari lingkungan yang sehat dan juga sangat luar biasa keburukan yang diperoleh dari lingkungan yang rusak, bukan saja keburukan akan tetapi kehancuran hidup manusia ini ada di depan mata jika lingkungan hidup sudah rusak.

Ir. Fadmin Prihatin Malau.
(Penulis adalah Dosen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan, pernah menjadi penyuluh pertanian era pemerintahan Orde Baru)

Rabu, 23 Juli 2014

Belum Ada Solusi bagi Petani di Indramayu

Rabu, 23 Juli 2014

INDRAMAYU, KOMPAS — Belum ada solusi bagi petani Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, yang kekurangan pupuk urea bersubsidi. Hingga Selasa (22/7), petani masih kesulitan memperoleh pupuk urea bersubsidi di toko-toko sarana produksi pertanian. Kondisi ini pun membuat petani meradang.
”Tanaman padi kami sudah harus dipupuk karena usianya antara 30 hari dan 35 hari. Kalau tidak segera dipupuk, tanaman padi kami akan mati. Jika tidak ada juga solusi dari pemerintah, kami akan melakukan aksi,” kata Asmono, Kepala Desa Anjatan, Kecamatan Anjatan, Indramayu.

Asmono menyatakan, pihaknya belum bisa memastikan aksi yang akan diambil. Namun, yang pasti kekurangan pupuk di lapangan tersebut amat memukul petani. Pembiaran itu membuktikan, dukungan pemerintah pada pertanian masih lemah. Sekitar 500 hektar padi di Anjatan yang saat ini rata-rata baru memasuki usia sebulan terancam mati karena tidak ada urea.

Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kabupaten Indramayu Sutatang menambahkan, kelangkaan pupuk tidak hanya dialami petani di Anjatan, tetapi hampir sebagian besar petani yang baru memulai musim tanam gadu di Indramayu.

Salah satu yang terparah adalah di Desa Tugu, Kecamatan Sliyeg. Tanaman di kecamatan itu mulai memasuki usia generatif, yakni saat-saat untuk berbuah. Kalau unsur hara tanah kurang, bulir padi tidak akan keluar. Kalaupun keluar, bulir padi itu berjumlah sedikit, tidak segar, dan bahkan terancam tak berbuah sama sekali alias puso.

Sutatang menambahkan, jika pemerintah membiarkan kelangkaan pupuk, sumbangan 1,5 juta ton gabah kering panen dari Indramayu akan terkendala. Untuk dua musim tanam, luas lahan yang ditanami di Indramayu sekitar 220.000 hektar.

Sebelumnya, di Cirebon, sekitar 300 petani berunjuk rasa di gudang PT Pupuk Kujang di Kecamatan Kedawung, Senin. Mereka akhirnya diperbolehkan membeli 695 ton pupuk urea bersubsidi dari dalam gudang.

Manajer Humas PT Pupuk Kujang Ade Cahya mengatakan, pihaknya tak boleh mengeluarkan pupuk bersubsidi tanpa peraturan gubernur/bupati. (rek)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140723kompas/#/24/

Selasa, 22 Juli 2014

Subsidi Pupuk Bermasalah

Selasa, 22 Juli 2014

Petani Jawa Barat Kekurangan Urea

SIDOARJO, KOMPAS — Kementerian Pertanian mempertimbangkan pencabutan kebijakan pemberian subsidi pupuk anorganik dan organik. Fakta di lapangan, kebijakan itu lebih banyak melahirkan permasalahan daripada memberikan manfaat karena kerap terjadi penyelewengan di berbagai tingkatan penyaluran.
Hal itu mengemuka dalam dialog Kementerian Pertanian dengan para petani di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (21/7). Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Haryono mengatakan, pemerintah tengah mengkaji kebijakan tentang subsidi pupuk. Walaupun banyak petani yang meminta subsidi dihapus, pemerintah menganggap masih banyak petani yang memerlukan subsidi itu.

”Oleh karena itu, saat ini sedang dicari format kebijakan yang tepat karena faktanya, subsidi pupuk saat ini selalu bermasalah di lapangan,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian ini. Dalam dialog itu, petani mengeluh, pupuk bersubsidi selalu menjadi momok yang mengancam kelangsungan usaha pertanian dari tahun ke tahun.

”Masalah pupuk bersubsidi yang selalu berulang setiap tahun telah membatasi ruang gerak petani. Petani selalu mengalami kesulitan mendapatkan pupuk karena distributor merupakan pihak swasta dan dihadapkan pada harga yang tinggi,” ujar Sarnawi (76), petani dari Desa Wono Plintahan, Kecamatan Prambon.

Kurang
Di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, ratusan petani dari lima wilayah, Senin, mendatangi gudang PT Pupuk Kujang di Kecamatan Kedawung. Mereka datang berombongan dengan menumpang 20 truk untuk menuntut PT Pupuk Kujang segera mendistribusikan pupuk urea bersubsidi kepada petani. Selama hampir dua minggu, para petani di kawasan Cirebon dan Indramayu menjerit akibat kelangkaan pupuk.

”Umur tanaman padi kami saat ini berkisar 30-35 hari. Pada usia ini, tanaman memerlukan pupuk urea. Namun, selama hampir sepekan, bahkan lebih, kami susah sekali mendapatkan pupuk di kios pertanian hingga di toko milik distributor pupuk,” kata Tasrip Abubakar, Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Kabupaten Cirebon, yang memimpin petani mendatangi gudang pupuk itu.

Kelangkaan pupuk itu terutama dialami ratusan petani di lima kecamatan di Kabupaten Cirebon, yakni Kapetakan, Suranenggala, Panguragan, Gegesik, dan Kaliwedi. Kelangkaan pupuk juga dilaporkan terjadi di wilayah Indramayu. Di Desa Anjatan, sekitar 500 hektar lahan belum dipupuk karena pupuk urea tidak ditemukan di kios sarana produksi pertanian. Manajer Humas PT Pupuk Kujang Ade Cahya menyatakan, pihaknya selaku operator memang hanya menyalurkan pupuk bersubsidi itu sesuai dengan ketentuan pemerintah.

Butuh pupuk
Di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, ribuan hektar sawah di empat kecamatan kekurangan pupuk. Anomali cuaca, dugaan kebocoran distribusi, dan minimnya data detail kebutuhan pupuk menjadi kendala utama. ”Lebih dari 10.000 hektar dari sekitar 16.000 hektar sawah di Kecamatan Lakbok, Bantar, Purwadadi, dan Pamarican kekurangan pupuk. Banyak petani menjerit akibat hal itu,” kata Wakil Bupati Ciamis Jeje Wiradinata, di Ciamis, Senin.

Menurut peraturan Gubernur Jawa Barat tentang alokasi pupuk bersubsidi, Ciamis mendapatkan jatah alokasi pupuk bersubsidi 19.256 ton pada tahun 2014. Pupuk di Ciamis diperkirakan sudah digunakan hingga 12.000 ton. Jika musim tanam terus berlangsung, dikhawatirkan semakin banyak petani sulit mendapatkan pupuk bersubsidi. Sutarwa, petani Lakbok, Ciamis, mengatakan, tiga minggu ini dia belum memupuk tanaman padinya yang berusia kurang dari dua bulan. (NIK/REK/CHE)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140722kompas/#/24/

Senin, 21 Juli 2014

Presiden Terpilih dan Kedaulatan Pangan

Senin, 21 Juli 2014

Tak lama lagi Indonesia mempunyai presiden dan wakil presiden baru. Rakyat menumpukan harapan yang tinggi agar mereka lebih sejahtera. Petani dan nelayan, mayoritas penduduk negeri ini, berharap presiden dan wakil presiden terpilih merealisasi janji, visi-misi, dan program aksinya. Salah satu tujuan yang dipahatkan para calon presiden dan calon wakil presiden adalah membawa Indonesia (kembali) berdaulat pangan.

Dalam pelbagai kampanye, termasuk dalam pemilu-pemilu sebelumnya, misi berdaulat pangan selalu menjadi jualan. Namun, sampai sekarang tujuan itu masih jauh dari tercapai. Impor sejumlah komoditas penting, seperti gula, kedelai, jagung, susu, daging, gandum dan beras, masih amat besar. Padahal, pelbagai kebijakan untuk menekan impor tak kunjung ampuh. Bahkan, kebijakan dari pemerintah sering kali ditunggangi importir. Tahun lalu, impor aneka pangan mencapai US$12 miliar.

Produksi aneka pangan utama merosot atau stagnan. Target ambisius swasembada jagung, kedelai, gula dan daging, serta surplus beras 10 juta ton pada 2014 meleset, dan menyesatkan. Target indah di atas kertas, tapi tidak realistis di lapangan. Bagaimana mungkin swasembada tercapai jika infrastruktur irigasi rusak dan sawah terkonversi? Anehnya, meskipun produksi terus merosot, seperti terjadi pada kedelai, target tidak kunjung direvisi. Padahal, kinerja produksi pangan yang baik bisa menekan dampak buruk sistem perdagangan dan tata niaga yang tidak efisien, konsentris, dan oligopolis.

Instabilitas pangan selalu berulang. Hal ini terjadi karena dominasi orientasi pasar dalam kebijakan pangan. Hampir semua komoditas pangan, kecuali beras, diserahkan pada mekanisme pasar. Instrumen stabilisasi amat terbatas. Itu pun hanya pada beras. Orientasi ini tak salah kalau infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen sudah pejal pada guncangan pasar. Kenyataannya, ketiga persyaratan itu belum terpenuhi. Akibatnya, fluktuasi harga pangan selalu berulang. Hal ini tak hanya menggerus daya beli warga, tapi juga membuat inflasi melambung dan sulit dikendalikan.

Dominasi orientasi produksi membuat kesejahteraan petani terabaikan. Sekitar 57 persen dari 68 persen penduduk miskin di perdesaan adalah petani. Kondisi ini tak jauh beda dibanding pada tiga dekade lalu. Hal ini menunjukkan, lebih dari 30 tahun usaha menggenjot produksi pertanian tidak juga menggusur kemiskinan dari desa. Menurut BPS, angka kemiskinan di pertanian mencapai 56,1 persen, jauh di atas industri (6,77 persen). Sebagai produsen pangan, petani justru menjadi kelompok yang paling terancam oleh masalah rawan pangan. Ini tak bisa dibiarkan.

Untuk mencapai kedaulatan pangan, perubahan kebijakan diperlukan. Pertama-tama, perlu dipahami kedaulatan pangan merupakan prasyarat sebuah ketahanan. Ketahanan pangan baru akan tercipta kalau kedaulatan pangan dimiliki rakyat. Dari perspektif ini, pangan dan pertanian semestinya tidak ditaruh di pasar yang rentan, tapi ditumpukan di pundak dan kemampuan sendiri. Agar bisa berdaulat pangan, pertama, petani sebagai pelaku utama harus berdaulat. Petani akan berdaulat apabila ia memiliki tanah, bukan menjadi buruh atau penggarap. Karena itu, untuk menjamin tegaknya kedaulatan pangan, akses dan kontrol petani (kecil) terhadap sumber daya produksi penting (tanah, air, benih, teknologi, pasar, dan finansial) harus dijamin, salah satunya lewat reforma agraria. Tanpa jaminan akses dan kontrol sumber daya produksi, kedaulatan hanya omong kosong.

Dalam konteks lingkungan alam, petani perlu perlindungan atas berbagai kemungkinan kerugian bencana alam, seperti kekeringan, banjir, dan bencana lain. Negara perlu memberi jaminan hukum bila hal itu terjadi petani tak terlalu menderita. Salah satu caranya, adanya UU yang mewajibkan pemerintah mengembangkan asuransi kerugian atau kompensasi kerugian bagi petani atas dampak bencana alam atau hal sejenis. UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang ada jauh dari memadai.

Dalam lingkup lingkungan sosial-ekonomi, negara perlu menjamin struktur pasar bahwa yang menjadi fondasi pertanian adalah struktur pasar yang adil. Hal ini tidak hanya untuk mengatasi masalah struktur pasar yang tidak adil di dalam negeri, tapi juga sebagai siasat atas struktur pasar dunia yang tak adil bagi negara-negara berkembang. Pendek kata, semua yang menambah biaya eksternal petani, menurunkan harga riil produk pertanian, dan struktur yang menghambat kemajuan pertanian perlu landasan hukum yang kuat agar perlindungan petani bisa dilaksanakan sebagai kewajiban negara (Pakpahan, 2012).

Bagi Indonesia, dengan segenap potensi yang ada (lahan, kekayaan hayati, local knowledge, dan yang lain), tidak ada alasan untuk tidak berdaulat pangan. Kedaulatan pangan tidak kunjung tercapai karena pelbagai kebijakan menjauh, bahkan menegasikan pencapaian kedaulatan pangan. Momen pemilu presiden memberi harapan baru. Namun, semua bergantung pada kebijakan yang akan diambil presiden terpilih: akankah membuat kebijakan yang memperkuat atau justru menegasikan kedaulatan pangan?

Khudori,
anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)

http://koran.tempo.co/konten/2014/07/21/347417/Presiden-Terpilih-dan-Kedaulatan-Pangan

Selasa, 15 Juli 2014

Bulog Harus Dahulukan Pengadaan Beras Dalam Negeri

Senin, 14 Juli 2014

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pertanian (Mentan) meminta Perum Bulog untuk menggenjot produksi beras hingga akhir tahun. Upaya ini agar kelak Indonesia tak perlu impor beras reguler. "Kita maunya tidak impor, jadi ini dikembalikan pada Bulog," kata Mentan baru-baru ini.

Pemerintah telah memberi ruang pada Bulog untuk impor beras reguler. Impor ini dikatakan untuk mengisi gudang Bulog agar tak kosong, mengingat adanya gangguan cuaca. Pada akhir tahun, cadangan beras Bulog harus tersedia 1,5 juta ton untuk operasi pasar.

Izin impor beras ini menurut Mentan bersifat fleksibel. Bulog diharapkan tetap memprioritaskan pengadaan beras dari sumber domestik.

Jumlah beras yang diimpor Bulog diyakini Mentan tak lebih dari 500 ribu ton. Negara pengimpor beras ke Indonesia yaitu Vietnam, Thailand dan India.


Senin, 14 Juli 2014

Membangun Kedaulatan Pangan

Minggu, 13 Juli 2014

Pangan merupakan kebutuhan dasar dan sekaligus hak azasi manusia.Seseorang yang kurang gizi atau menderita gizi buruk, daya tahan tubuhnya lemah dan kecerdasannya biasanya rendah. ’You are what you eat’.Bahkan orang yang tidak makan (kelaparan) dalam waktu lama bisa berujung pada kematian.Bayangkan, sebuah negara-bangsa yang rakyatnya banyak yang menderita gizi buruk atau kelaparan dapat dipastikan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) nya rendah. Padahal, kunci kemajuan dan kesejahteraan sebuah bangsa bukan terletak pada kekayaan alam, tetapi lebih pada kualitas SDMnya.Sebut saja Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Swiss adalah contoh sukses negara yang miskin SDA, tetapi berhasil menjadi bangsa industri maju nan kaya raya. Penelitian FAO (2002) mengungkapkan, bahwa negara dengan jumlah penduduk diatas 100 juta orang, yang kebutuhan pangannya bergantung pada impor, akan sangat sulit menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat. Contohnya Uni Soviet yang pernah jadi Negara Adidaya bersama AS pada era 1960 – 1980-an runtuh dan tercerai berai menjadi negara-negara kecil lantaran kebutuhan pangannya bergantung pada impor.
Dengan jumlah penduduk dunia 7,2 milyar jiwa seperti sekarang saja, selama dekade terakhir dunia sering mengalami krisis pangan.Bagaimana kalau penduduk dunia mencapai 11 milyar orang, yang diprediksi akan terjadi pada 2100 (PBB, 2014)?. Sementara itu, pemanasan global telah menyebabkan penurunan produksi pangan di banyak negara. Yang lebih mencemaskan, bahwa demi mengamankan katahanan pangan nasionalnya, negara-negara pengekspor pangan utama seperti AS, Kanada, Australia, dan Thailand akhir-akhir ini mulai membatasi ekspor bahan pangannya.
Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia dengan potensi produksi pangan yang sangat beragam dan besar, Indonesia sejatinya berpeluang untuk menjadi bangsa besar yang maju dan makmur sebagai produsen pangan utama dunia yang tidak hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan nasionalnya, tetapi juga dapat memasok bahan pangan tropis ke seluruh dunia (feeding the world). Buka seperti sekarang, Indonesia malah menjadi bangsa pengimpor bahan pangan terbesar di dunia.


Solusi teknis

Untuk mewujudkan kedaulatan pangan nasional, diperlukan implementasi kebijakan teknikal dan politik-ekonomi secara sinergis. Menurut UU No.18/2002, ”ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap individu warga negara, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”.Dari definisi tersebut, jelas bahwa dalam ketahanan pangan, asal bahan pangan bisa dari produksi dalam negeri atau impor.Sedangkan, kedaulatan pangan mengandung arti bahwa pasok pangan, khususnya bahan pangan pokok, mesti berasal dari produksi dalam negeri.

Maka, Indonesia dikatakan berdaulat pangan, bila kita mampu memproduksi bahan pangan berkualitas dalam jumlah sama atau lebih besar dari pada kebutuhan nasional secara berkelanjutan.Selain itu, setiap warga negara di seluruh wilayah NKRI harus mampu mendapatkan sejumlah bahan pangan yang dibutuhkan sesuai dengan daya belinya. Untuk itu, kita harus mengimplementasikan sembilankebijakan utama berikut.

Pertama adalah peningkatan produksi pangan, khususnya komoditas strategis seperti beras, jagung, kedelai, gula, daging, ikan, sayuran, buah-buahan, minyak goreng, dan garam secara efisien, adil, dan berkelanjutan. Sehingga, secara nasional, total produksi pangan harus lebih besar ketimbang kebutuhannya. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan: (1) intensifikasi (peningkatan produktivitas dan efisiensi) pada lahan-lahan pertanian dan perairan perikanan yang ada; (2) ekstensifikasi alias pengembangan usaha di lahan dan perairan baru; dan (3) diversifikasi usaha produksi jenis-jenis tanaman, hewan, ikan, dan biota lain yang baru.

Intensifikasi dapat dilakukan melalui pengunaan bibit/benih unggul, teknologi budidaya mutakhir yang terbaik, pemberian pakan berkualitas dalam perikanan budidaya dan peternakan, pengendalian hama dan penyakit, pengelolaan irigasi dan tanah, tata letak dan design perkolaman yang baik; dan biosecurity (keamanan hayati).

Untuk menjamin produktivitas, efisiensi, dan keberlanjutan usaha produksi pangan, maka lahan-lahan pertanian dan perairan yang ada sekarang harus dipertahankan, tidak boleh dikonversi menjadi kawasan industri, pemukiman, infrastruktur, dan penggunaan lainnya.Mulai awal tahun depan kita harus memanfaatkan lahan-lahan marginal dan terlantar yang jumlahnya mencapai 7 juta ha untuk usaha produksi berbagai komoditas pangan. Sementara itu, ekstensifikasi harus dilaksanakan di luar kawasan lindung.Program ekstensifikasi sebaiknya dilakukan di lahan-lahan marginal, terlantar, atau kawasan hutan yang boleh dikonversi di luar P. Jawa dan Bali.

Laut yang menyusun 2/3 wilayah kedaulatan NKRI sejatinya merupakan sumber pangan yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan untuk menopang kedaulatan pangan.Potensi produksi ikan laut (seafood) sekitar 7,3 juta ton/tahun (8% total potensi ikan laut dunia), dan hingga kini baru dimanfaatkan melalui usaha perikanan tangkap sebesar 5,4 juta ton (74%). Luas lahan pesisir yang cocok untuk budidaya perikanan (seperti udang, bandeng, kerapu, kepiting soka, dan rumput laut) sekitar 1,5 juta ha dengan potensi produksi 15 juta ton/tahun, dan sekarang baru diproduksi 2,5 juta ton (17%).Sementara, luas perairan laut yang sesuai untuk usaha budidaya perikanan sekitar 24 juta ha dengan potensi produksi 45 juta ton/tahun, dan sekarang baru diproduksi 5 juta ton (11%).Rumput laut selain sebagai bahan pangan (termasuk sayuran) juga bisa diproses untuk menghasilkan ratusan jenis produk makanan dan minuman sehat, farmasi, kosmetik, biofuel, dan industri lainnya. Di masa depan, seperti yang telah dikerjakan di AS, Israel, dan Tiongkok, dengan nano-bioteknologi tanaman pangan darat (seperti padi, jagung, dan tebu) bisa dibudidayakan di perairan laut dangkal.

Kita mesti merenovasi infrastruktur irigasi (bendungan dan jaringan saluran irigasi) dan infrastruktur dasar pedesaan (jalan, listrik, telkom, air bersih), dan membangun yang baru sesuai kebutuhan setiap wilayah di seluruh Nusantara.Pemerintah melalui BUMN atau mendorong usaha swasta untuk memproduksi sarana produksi (seperti bibit, benih, pupuk, obat-obatan, pakan, bahan bakar, dan alat penangkapan ikan) dan mesin peralatan berkualitas dengan jumlah yang mencukupi untuk seluruh wilayah Nusantara.

Kedua, perbaikan dan pengembangan penanganan pasca panen seluruh produk pertanian dan perikanan dengan merenovasi serta membangun baru fasilitas pergudangan, cold storage, dan lainnya. Kehilangan bahan pangan dari lokasi produksi (panen) ke konsumen, yang selama ini mencapai 15% dari total hasil panen akibat busuk atau terbuang percuma, harus dikurangi atau tanpa kehilangan.

Lebih dari itu, industri pengolahan untuk sejumlah komoditas pertanian dan perikanan menjadi beragam produk setengah jadi maupun produk akhir juga harus terus dikembangkan.Pasalnya, selain meningkatkan nilai tambah, penciptaan lapangan kerja, dan efek pengganda (multiplier effects), hilirisasi bahan baku menjadi produk setengah jadi dan produk akhir juga lebih tahan lama, memudahkan peyimpanan dan pengangkutan (distribusi) nya.

Ketiga, dalam menu makanan mayoritas penduduk masih terlalu besar porsi karbohidratnya, berupa beras (140 kg per kapita) dan mie gandum (20 kg per kapita).Indonesia merupakan bangsa pengkonsumsi beras terbesar di dunia, rata-rata konsumsi beras dunia hanya 60 kg per kapita (FAO, 2013).Tak heran, bila penderita diabetes terbanyak di dunia menimpa bangsa Indonesia.Oleh sebab itu, perlu perbaikan komposisi asupan makanan yang lebih bergizi dan berimbang. Yakni: konsumsi beras sekitar 80 kg per kapita (orang/tahun) dan lebih besar porsi protein hewani (ikan, daging, telur, dan susu), sayur dan buah nya.Kita harus membiasakan dan menikmati sumber karbohidrat selain beras dan gandum, yang potensi produksinya sangat besar di tanah air, seperti sagu, sorgum, dan umbi-umbian.Produksi mie berbasis tepung tapioka, sorgum, dan sumber non-gandum lainnya harus terus dikembangkan.Dengan cara demikian, kita tidak hanya akan mampu berswasembada beras, tetapi juga bisa mengurangi impor gandum yang tahun lalu mencapai 7,2 juta ton.

Mengingat terbatasnya lahan penggembalaan ternak dan luasnya pun semakin menurun, maka produksi daging sapi di Indonesia akan kalah bersaing dengan harga daging impor dari Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Brazil yang memiliki padang penggembalaan yang jauh lebih luas ketimbang Indonesia.Sebab itu, sumber protein hewani yang berasal dari ikan (seafood) dalam makanan rakyat Indonesia harus lebih ditingkatkan, dari sekarang 34 kg per kapita menjadi 50 kg per kapita seperti Malaysia, atau kalau perlu seperti bangsa Jepang sebesar 100 kg per kapita.

Seperti yang dicontohkan oleh Presiden Xi Jin Ping dan para pemimpin lain Tiongkok baru-baru ini, kita harus berhenti membuang makanan secara sia-sia.Pasalnya, menurut FAO (2013), banyaknya makanan sisa yang terbuang dari hotel, restoran, rumah tangga, dan lainnya secara global mencapai 18% dari total produksi pangan dunia.

Keempat, pemerintah harus menjamin pasar seluruh produk pertanian dan perikanan dengan harga jual yang menguntungkan para petani dan nelayan (produsen), seperti melalui pemberlakuan harga dasar.Untuk komoditas-komoditas yang tidak mengalami distorsi pasar, penetapan harganya diserahkan kepada mekanisme pasar.Sebaliknya, pemerintah (c.q BULOG) harus hadir melakukan intervensi untuk berperan sebagai penyangga stok dan harga.Kebijakan ini untuk menjamin kesejahteraan para produsen pangan, karena kedaulatan pangan tidak mungkin terwujud atau tidak ada artinya, kalau petani dan nelayan nya miskin.

Kelima, antara kawasan-kawasan sentra produksi pangan dengan kawasan-kawasan konsumen (pasar) pangan maupun pelabuhan dan bandara di seluruh Nusantara harus dihubungkan dengan baik oleh jaringan transportasi laut, darat maupun udara.Hal ini untuk memastikan bahwa seluruh rakyat Indonesia dapat mengakses bahan pangan dengan mudah dan harganya terjangkau.Keenam, kita harus melakukan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap dampak Perubahan Iklim Global yang mempengaruhi produksi pangan. Ketujuh, kapasitas dan etos kerja petani dan nelayan harus terus ditingkatkan melalui program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan secara sistematis dan profesional, supaya mereka mampu memproduki bahan pangan yang berdaya saing tinggi secara berkelanjutan.Kedelapan, penguatan dan pengembangan kegiatan R & D untuk menghasilkan inovasi teknologi dan sistem manajemen yang dapat meningkatkan daya saing sektor pertanian dan kelautan secara berkesinambungan.Kesembilan, penguatan dan pengembangan kelembagaan petani dan nelayan untuk memperkokoh posisi tawar mereka di tengah era globalisasi secara berkeadilan.


Kebijakan politik ekonomi

Kebijakan teknis diatas hanya akan dapat mewujudkan kedaulatan pangan, bila didukung oleh kebijakan politik ekonomi yang kondusif.Pada intinya, kebijakan politik ekonomi harus mampu meningkatkan daya saing dan kesejahteraan produsen pangan nasional, dan secara simultan melindungi produsen dalam negeri dari gempuran produk pangan impor melalui sistem perdagangan bebas yang tidak adil (unfair free trade).Untuk komoditas pangan yang bisa diproduksi di dalam negeri dengan potensi produksi melebihi kebutuhan nasional, sebaiknya tidak diimpor lagi, baik sekarang juga atau secara bertahap.Produsen pangan nasional juga harus dilindungi dari paraktik dumping dan subsidi terselubung negara-negara eksportir pangan.

Kebijakan yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing dan kesejahteraan produsen pangan domestik adalah: (1) peningkatan akses petani dan nelayan kepada sumber modal, (2) industrialisasi pedesaan yang inklusif dan ramah lingkungan, (3) perbaikan dan pengembangan infrastruktur dan suplai energi, dan (4) penciptaan iklim investasi yang kondusif.Dalam10 tahun terakhir jumlah nominal kredit perbankan yang dialokasikan untuk sektor pertanian (termasuk kelautan dan perikanan) hanya 14% dari total kredit.Padahal, 49% total angkatan kerja Indonesia bekerja di sektor pertanian.Suku bunga pinjaman perbankan di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia, sekitar 14 persen.Di negara-negara ASEAN lain, suku bunganya paling tinggi 9 persen. Sementara di negara-negara maju (seperti AS, Uni Eropa, Inggris, dan Jepang), suku bunga kurang dari 5 persen.Yang lebih menyusahkan, dengan persyaratan yang ada sekarang, para petani dan nelayan kecil hampir mustahil untuk mendapatkan pinjaman modal dari perbankan.Oleh sebab itu, sangat tepat rencana Capres Jokowi untuk mendirikan Bank Agromaritim yang dimaksudkan untuk mendukung kinerja sektor pertanian dan sektor kelautan dan perikanan secara maksimal.

Usaha on-farm (budidaya atau penangkapan ikan) dalam sektor pertanian tidak mungkin mampu menampung tenaga kerja yang terus bertambah dengan pendapatan yang mensejahterakan.Oleh sebab itu, industrialisasi pedesaan adalah sebuah keniscayaan.Bergantung pada

potensi SDA dan SDM nya, industrialisasi itu bisa berupa industri pengolahan (hilir) hasil pertanian dan perikanan; industri peralatan dan mesin pertanian (pabrik traktor, kincir air tambak, mesin kapal, jaring dan alat tangkap ikan lainnya, dan galangan kapal); industri elektronik, otomotif, dan pariwisata.Yang penting, industrialisasi ini harus mampu menampung kelebihan tenaga kerja (labor surplus) dari sektor on-farm, mensejahterakan, dan ramah lingkungan.

Program pembangunan pertanian dan kelautan serta industrialisasi pedesaan di atas hanya dapat berjalan optimal, bila didukung dengan infrastruktur dasar (jaringan jalan, telkom, listrik, air bersih, pelabuhan, dan bandara) dan pasok energi yang mumpuni.Akhirnya, iklim investasi dan kemudahan berbisnis (seperti perizinan, keamanan berusaha, dan konsistensi kebijakan pemerintah) yang selama ini menghambat tumbuh kembangnya pembangunan pertanian, kelautan, dan industrialisasi pedesaan harus dibenahi secara revolusioner.

Prof. Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS
Ketua DPP PDI-Perjuangan Bidang Maritim dan Perikanan
edisi Sabtu, 12 July 2014

http://m.kompasiana.com/post/read/668081/2/membangun-kedaulatan-pangan.html

Sabtu, 12 Juli 2014

Digugat Petani Tebu ke PTUN, Ini Pembelaan Kemendag‏

Jumat, 11 Juli 2014

Jakarta, GATRAnews - Kebijakan Kementerian Perdagangan dalam penetapan Harga Patokan Petani (HPP) gula dan pemberian izin impor Gula Kristal Putih (GKP) sebanyak 328 ribu ton untuk Bulog menuai gugatan dari petani tebu. Kementerian Perdagangan menyatakan siap menghadapi gugatan petani tebu tersebut di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

"Tentunya itu hak seluruh hak warga negara. Jadi saya tidak menyetop dan tidak bisa meladeni kecuali dengan jalur formal di jalan tersebut," kata Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi kepada wartawan di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Jumat (11/7).

Mengenai kebijakan-kebijakan yang dipermasalahkan petani tebu ke PTUN ini, Lutfi menyampaikan pembelaan. Pemberian izin impor GKP untuk Bulog, katanya, merupakan keputusan Rapat Koordinasi yang dipimpin Menko Perekonomian pada Januari 2014.

Dirinya selaku Menteri Perdagangan hanya menjalankan keputusan tersebut. "Saya utarakan bahwa perintah Bulog mengimpor itu sesuai dengan Rakor di tingkat Menko pada Januari 2014, saya menjalankan hal tersebut," ujarnya.

Izin impor GKP untuk Bulog pun sudah habis masa berlakunya pada 15 Mei lalu dan tidak diperpanjang lagi meski realisasinya hanya 22 ribu ton, "Karena saya melihat bahwa banyak gula di pasaran, Kemendag memutuskan untuk menyetop proses tersebut. Tidak ada lagi impor baru dari Bulog. Tidak perlu ada lagi impor gula Bulog sepanjang 2014," Lutfi menegaskan.

Terkait penetapan HPP gula sebesar Rp 8.250/kg, dia menjelaskan bahwa penetapan itu merupakan hasil koordinasi antara Menteri Perdagangan dan Ketua Dewan Gula Indonesia yang juga Menteri Pertanian. Perhitungan besaran HPP didasari oleh perkiraan Kementan bahwa rendemen tahun ini sebesar 8,07 persen. Dengan rendemen sebesar itu, maka biaya produksi gula kurang lebih Rp 7.960/kg. "Artinya, harga patokan gula itu Rp 7.960/kg. Jadi, setelah ditambah keuntungan petani Rp 8.250/kg," paparnya.

Besaran HPP ini tidak bisa direvisi karena sudah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag). Lagipula, menurutnya, harga gula tidak akan naik meski HPP direvisi. Harga gula saat ini terus menurun akibat stok yang terlalu banyak, maka penyelesaiannya adalah dengan menyeimbangkan pasokan dan kebutuhan gula nasional. "Petani berpikir harga akan naik kalau HPP direvisi, itu tidak terjadi. Itu tidak menyelesaikan masalah. Penyelesaiannya, bagaimana menyeimbangkan suplai dan demand gula," tukas dia.

Namun, bila ternyata nantinya gugatan para petani tebu dikabulkan oleh PTUN, maka secara otomatis HPP gula tidak berlaku lagi. "Kita gugurkan, tidak ada HPP gula," tutur Lutfi. Dia menambahkan, rendemen gula pada awal masa penggilingan memang biasanya rendah sehingga petani rugi.

Namun, rendemen akan naik saat puncak masa penggilingan, harga gula di tingkat petani tebu pun akan membaik. Berdasarkan pantauannya, saat ini harga lelang gula sudah di atas HPP. "Setidaknya Rp 8.500/kg. Sementara ini semua transaksi di atas HPP," kata dia.

Lutfi berjanji akan mengumumkan realisasi taksasi gula setiap pabrik gula setelah musim penggilingan. Selain itu, dirinya juga akan membuka data impor gula rafinasi dan stok gula nasional. Dengan demikian, pemerintahan berikutnya dapat menghitung dengan lebih pasti kebutuhan, rendemen, dan HPP gula untuk 2015.

"Jadi kalau ada pabrik gula pemerintah bilang rendemennya 8-9, ternyata nggak sampai segitu, saya akan umumkan satu per satu pabrik gulanya. Dan saya akan umumkan stok gula secara nasional untuk sugar outlook berapa yang dibutuhkan," pungkasnya.

Sebelumnya diberitakan, petani tebu asal Jawa Tengah menggugat keputusan Menteri Perdagangan yang memberi izin impor gula kristal putih Kepada Perum Bulog ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta karena dianggap melanggar aturan hukum.

Petani yang mengajukan gugatan itu adalah M Nur Khabsyin, Djamiun, Kusmanto, Budi Utomo, Sojo Sulkhan, Rukani, Supeno, Hardi, Ahmad Aniq, dan Ahmad Najib. Mereka juga mengajukan uji materi Peraturan Menteri Perdagangan tentang Penetapan Harga Patokan Petani Gula Kristal Putih Tahun 2014 ke Mahkamah Agung. "Kami, petani tebu, dirugikan oleh dua kebijakan itu," kata Nur Khabsyin, Senin lalu.

Dia menjelaskan, keputusan Mendag yang memberi izin Bulog mengimpor gula kristal putih sebanyak 328.000 ton dari 1 April sampai dengan 15 Mei 2014 bertentangan dengan keputusan Menperindag No.527/MPP/Kep/9/2004 yang melarang impor gula dilakukan satu bulan sebelum masa giling tebu rakyat.

Menteri Pertanian telah menetapkan tanggal 15 Mei 2014 sebagai awal masa giling. Menurut Nur Khabsyin, harga gula petani di pasaran hacur akibat masuknya gula impor tersebut, apalagi stok gula nasional saat ini melimpah hingga sekitar satu juta ton. "Harga gula petani saat ini paling tinggi Rp8.600 per kilogram. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu harga gula petani mencapai Rp10.000 per kilogram," katanya.

Sementara terkait keputusan tentang harga patokan petani (HPP), Nur Khabsiyin mengatakan pihaknya mengajukan uji materi karena keputusan itu dinilai petani tidak logis, yakni lebih rendah dari biaya produksi per kilogram yang dikeluarkan oleh petani tebu.

Menurut dia, biaya produksi gula per kilogram yang dikeluarkan petani tebu sebesar Rp8.791, sedangkan HPP Rp8.250. "Bagaimana mungkin HPP lebih rendah dari biaya produksi? Padahal HPP yang diusulkan dewan gula yang diketuai Menteri Pertanian adalah Rp9.500 per kilogram. Yang lebih aneh, Menteri Perdagangan itu wakil ketua dewan gula juga," kata Nur Khabsyin.

Wakil Sekjen Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) itu berharap baik PTUN maupun MA mengabulkan gugatan yang diajukan petani tebu dan keputusan itu bisa menjadi yurisprudensi untuk masa depan sehingga kebijakan pemerintah tidak merugikan petani.

http://www.gatra.com/ekonomi-1/56705-digugat-petani-tebu-ke-ptun,-ini-pembelaan-kemendag%E2%80%8F.html

Kamis, 10 Juli 2014

Kapan Bangsa-Bangsa di Dunia Ini Belajar Makan dengan Tangan?

Kamis, 10 Juli 2014

Setelah negara-negara kelompok BRICS (Brazil, Rusia, India, China, South Africa) bangkit, banyak yang mempertanyakan teori apa yang dapat menjelaskan kemajuan negara tersebut. Apakah hal itu dapat diterangkan dengan teori modernisasi, depedensi, atau sistem dunia, suatu aliran pemikiran utama ilmuwan sosial? Sebagai orang yang pernah mendalami ilmu pangan, saya mencoba “mengkiaskan” fenomena tersebut dengan pola budaya makan bangsa-bangsa di dunia.
Menurut Suwarsono dan Alvin Y. So (1994) dalam buku yang berjudul Perubahan Sosial dan Pembangunan, dikatakan teori modernisasi muncul tahun 1950-an pada saat Amerika Serikat menjadi negara adidaya. Teori ini dikembangkan untuk memodernisasi dunia ketiga yang baru merdeka. Sudah barang tentu teori ini dibuat untuk keperluan Amerika Serikat dan negara maju lainnya.
Sedang teori dependensi berakar dari dunia ketiga sebagai jawaban atas kegagalan pembangunan (industrialisasi) di Amerika Latin tahun 1960-an. Teori dependensi ini tetap saja melihat dari kepentingan negara maju. Selanjutnya teori sistem dunia hadir tahun 1970-an setelah terjadi industrialisasi di Asia Timur (sebelum China/Tiongkok bangkit). Teori sistem dunia juga disebut Teori Ekonomi Kapitalis Dunia yang sudah barang tentu untuk mengamankan negara industri untuk memperoleh bahan baku, termasuk energi dan juga mengamankan pasar.
Teori sistem kapitalis dunia dengan “mantra” globalisasi merasuki pikiran negara berkembang akhir 1980-an. Pemerintahan Soeharto pun mulai membuka diri, termasuk di sektor keuangannya. Oleh karena kurang dipersiapkan secara matang, akhirnya pembangunan yang dilakukan Soeharto ambruk dan harus tunduk pada kehendak IMF sewaktu menghadapi krisis moneter 1997/1998.  Mahathir Mohamad yang mengaku murid Soeharto  lebih cerdik, tidak mau menuruti nasehat IMF, hasilnya Malaysia selamat dari krisis.
Dengan meredupnya negara maju akibat krisis yang terjadi di Amerika Serikat tahun 2008 dan menyusul Eropa  tahun 2012, keampuhan teori-teori yang dikembangkan oleh negara maju tersebut dipertanyakan, apalagi setelah bangkitnya negara kelompok BRICS. Selanjutnya ke manakah arah kiblat kita, akan beralih ke Timur “belajar makan dengan sumpit” atau membangun dengan kekuatan sendiri seperti yang dicita-citakan Soekarno sehingga dunia berpaling ke kita untuk “belajar makan dengan tangan”?

Tiga Pola Makan di Dunia
Di dunia ini terdapat perbedaan kebiasaan pola makan yang mencerminkan budaya yang dianut penduduknya. Kebiasaan pola makan tersebut dikelompokkan menjadi tiga: pertama dengan sendok dan garpu atau pisau dan garpu (selanjutnya istilah ini disingkat menjadi “makan dengan sendok”), kedua makan dengan sumpit (chop-sticks), dan ketiga “makan dengan tangan”. Di negara barat, seperti Eropa dan Amerika Serikat, penduduknya memiliki kebiasaan makan dengan sendok, sedang di Asia Timur seperti Jepang, Korea, dan China/Tionghoa memiliki kebiasaan makan dengan sumpit. Di Indonesia memiliki kebiasaan makan dengan tangan atau istilah Jawa muluk. Kebiasaan makan dengan tangan juga ada di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.
Menurut Menteri Pangan Ibrahim Hasan 1993-1998, dahulu orang berbondong-bondong belajar makan dengan sendok (yang dimaksud mungkin budaya barat) karena dipandang status sosial mereka lebih tinggi. Di barat menjadi pusat peradaban karena di sana ada pusat ilmu pengetahuan dan teknologi dan pusat perdagangan dan uang. Orang terkagum-kagum dengan budaya barat. Oleh karena itu, dikiaskan orang beramai-ramai belajar makan dengan sendok untuk meningkatkan status sosial mereka.
Setelah Jepang maju dengan pesat mulai 1970-an, orang mulai melirik budaya makan dengan sumpit. Kemudian Korea Selatan menyusul pada tahun 1990-an dan Tiongkok menggetarkan dunia mulai tahun 2000. Kebetulan ketiga negara tersebut mewakili budaya makan dengan sumpit. Sekarang ini dunia berduyun-duyun belajar ke Tiongkok mempelajari sukses gaya China. Barang buatan Tiongkok sekarang membanjiri pasar seluruh dunia.
Republik Salah Urus:  Dari Pidato Bung Karno sampai Revitalisasi Pertanian
Meminjam istilah Mufid A. Busyairi (2008) dalam buku Republik Salah Urus: Menguak Nasib Buram Petani Indonesia, mengatakan bahwa hidup di negeri dengan seribu satu masalah bisa merangsang kinerja otak lebih produktif, tentunya untuk menulis. Benar juga dengan berbagai masalah yang dihadapi bangsa ini, terutama yang menyangkut masalah pangan, akhirnya merangsang saya untuk mencari duduk perkaranya mengapa hal itu terjadi. Sudah barang tentu dari pandangan saya sesuai dengan pengalaman hidup dan pengetahuan yang saya peroleh.
Pidato Presiden Soekarno ketika meletakkan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor (sekarang Institut Pertanian Bogor) pada tahun 1952 sangat jelas pesannya, bahwa soal pangan (istilah beliau persediaan makanan rakyat) adalah “mati hidupnya bangsa”. Namun, beliau tidak sempat merealisasikannya, malah pada masa pemerintahannya sering terjadi bencana kelaparan dan pada akhir pemerintahannya inflasi mencapai 660 persen. Untuk perbandingan saja ikan asin dan tekstil kasar pun masuk dalam kategori 9 bahan pokok pada waktu itu. Waktu itu Indonesia masih tergolong negara miskin dengan pendapatan per kapita kurang dari USD 100. Akhirnya, Pemerintahan Presiden Soekarno pun jatuh yang dipicu oleh naiknya harga beras. Keinginan membentuk kelompok negara “New Emerging Forces” kandas karena lupa membangun kekuatan ekonomi dalam negeri dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi terlebih dahulu.
Selanjutnya Presiden Soeharto, semula memang pembangunannya bertumpu pada pertanian yang dibiayai dari hasil “boom” minyak akibat adanya krisis minyak dunia tahun 1973. Infrastruktur pertanian dibangun, peningkatan produksi beras; gula; dan palawija ditangani serius, kelembagaannya ditata, harga dasar gabah/beras diimplementasikan, diadakan reformasi kelembagaan a.l. Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM) diubah menjadi Bulog pada tahun 1967 dan dibentuk Badan Pengendali Bimas pada tahun 1970. Hasilnya tahun 1984 kita berswasembada kooditas beras, gula, dan jagung. Setelah swasembada dicapai, ternyata beban anggaran untuk membiayai membengkaknya stok beras dan gula sangat berat, kualitas beras pun menurun karena lama disimpan, kemudian diekspor merugi, selanjutnya harga riil beras dalam negeri pun turun, akhirnya petani yang jadi korban. Hanya pemerintah yang bangga dan mendapat pujian dan Presiden Soeharto yang dapat medali dari FAO.
Strategi peningkatan produksi kemudian diubah dari “swasembada absolut” menjadi “swasembada on trend”, pada saat stok beras berlebih dapat diekspor dan pada saat kekurangan beras dapat diimpor. Setelah tahun 1993, keadaan jadi kebablasan, kita menjadi “net importer” beras lagi. Akhirnya, Presiden Soeharto lengser tahun 1998 yang dipicu turunnya produksi beras tahun 1997 yang kemudian disusul oleh adanya krisis moneter  1997/1998 yang berimbas pada krisis ekonomi, sosial dan politik.
Presiden Habibie, Presiden Gus Dur, dan Presiden Megawati tidak banyak hal yang diwariskan dalam urusan pangan, mungkin karena singkatnya waktu memerintah. Yang saya catat sewaktu Pemerintahan Habibie, Gus Dur, dan Megawati produksi pertanian kita terpuruk akibat dibebaskannya impor  beras dan komoditas penting lainnya. Memang pada Pemerintahan Gusdur impor beras dan gula dikenakan bea masuk, tetapi impornya masih tetap bebas. Pada akhir Pemerintahan Megawati memang dilakukan pembatasan untuk impor gula dan beras. Setelah berbagai kritik tajam ditujukan pada kebijakan perberasan yang ambivalen, di satu sisi harga beras domestik dijaga, tetapi di sisi lain impor beras dibebaskan, artinya kita ikut menyelesaikan surplus beras dunia. Namun, dampak kebijakan pembatasan impor beras  belum dirasakan pada Pemerintahan Megawati. Perlu ditambahkan, pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 harga beras di Pasar Induk Beras Cipinang stabil sepanjang tahun sekitar Rp 2500,00 per kg, impor beras oleh swasta rata-rata per tahun 1,5 juta ton dan oleh Bulog 0,5 juta ton rata-rata per tahun.
Orang berharap banyak pada Pemerintahan SBY yang pada awal tahun 2005 mencanangkan “Revitalisasi Pertanian”, tetapi ternyata realisasinya tidak terlihat jelas. Di lain pihak, akibat pembatasan impor pada tahun 2004 oleh Presiden Megawati, dampaknya mulai terasa pada awal Pemerintahan SBY dengan naiknya harga beras dari sekitar Rp 2.500,00 pada saat panen menjadi Rp 3.500,00 per kg pada musim paceklik tahun 2005 dan awal panen 2006.  Kemudian, naik lagi menjadi sekitar Rp 4.000,00 lebih pada akhir 2006 dan awal 2007. Selanjutnya, naik lagi menjadi lebih dari Rp 5.000,00 per kg pada akhir 2007. Kenaikan harga yang cukup signifikan inilah a.l. yang diperkirakan memicu kenaikan produksi tahun 2008 yang spektakuler karena merangsang petani untuk menaikkan produksi. Pada tahun 2000 sampai 2004, selama 5 tahun harga stabil sekitar Rp 2.500,00 per kg, kemudian naik 100 persen atau menjadi Rp 5.000,00 per kg dalam tempo 3 tahun, sehingga harga beras domestik saat ini mencapai hampir 2 kali harga beras dunia.  Di tengah gegap gempitanya kenaikan produksi beras tahun 2008 dan 2009 yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan sebab-sebabnya, nasib revitalisai pertanian tidak ada gaungnya.
Apa yang terjadi dengan nasib petani dan pertanian kita? Mulai dari Pidato Soekarno tahun 1952 di IPB sampai revitalisasi pertanian gaya SBY,  menurut Agus Pakpahan (2012) dalam buku Pembangunan sebagai Pemerdekaan (lihat Bab II No. 6 buku ini) dapat dilihat permasalahan pangan/pertanian dengan jernih: ketahanan pangan yang rapuh, adanya kemiskinan dan ketimpangan atau kesenjangan sosial, terjadinya kerusakan lingkungan hidup, ketenaga-kerjaan yang karut-marut, struktur ekonomi dualistik yang timpang sebagai warisan kolonial, industrialisasi yang jalannya lambat yang menyebabkan guremisasi (mengecilnya skala usaha petani), pendidikan yang tidak nyambung dengan lapangan kerja dan berkembangnya konflik sosial, ketergantungan pada pihak luar (teknologi, modal, dan barang) dan masa depan yang kurang pasti. Selanjutnya Agus Pakpahan melalui kajiannya menegaskan bahwa selama sektor di luar pertanian (perdagangan dan industri serta keuangan) menghisap sektor pertanian, bukan pertaniannya yang tertinggal, tetapi bangsa ini akan mati. Mereka bisa menjadi parasit.
Identifikasi masalah seperti di atas mempertegas perenungan saya tentang masalah pangan seperti tertuang pada Bagian II Tulisan No. 1 sampai dengan No. 5 tentang kemelut pangan, negara agraris kok mengimpor pangan, kekuatan pertanian kecil yang dilupakan, mengurai kemelut pangan, dan berubahnya pasar dan kali. Saya sepakat dengan Agus Pakpahan perlu ada perubahan suprastruktur (perubahan cara berpikir yang memandang bahwa pertanian dan petani bukan yang utama menjadi pertanian dan petani itu hal yang sangat penting, termasuk cara berpikir dalam pembuatan peraturan perundangan dan alokasi sumber daya terhadap kegiatan pertanian). Selanjutnya, Agus Pakpahan menegaskan bahwa globalisasi akan menjadi hal yang berbahaya dan menakutkan apabila status, posisi, dan daya pertanian Indonesia masih berkembang seperti yang terjadi saat ini.
Perlu perubahan struktur yang masih dualistis sebagai warisan kolonial Belanda seperti perkebunan yang menguasai lahan ribuan ha  dihadapkan pertanian kecil yang hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 ha. Perubahan struktur ini termasuk menata kelembagaan pangan dengan pembagian yang jelas siapa yang mengurus setelah panen (off farm) dalam rangka penyediaan mutu gizi pangan untuk peningkatan mutu sumberdaya manusia, dan siapa yang bertanggungjawab mengurus budidaya (on farm). Oleh karena pangan yang termasuk dalam kategori off farm meliputi tugas-tugas antar sektor (kementerian) dan juga antar bidang, maka perlu  ada lembaga yang membuat regulasi dan juga mengkoordinasikannya agar pelaksanaan visi peningkatan mutu sumberdaya manusia dapat lebih terarah. UU Pangan tahun 2012 mengamanatkan hal tersebut secara jelas.
Selanjutnya lebih memerhatikan tersedianya infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, bendungan, saluran irigasi dan sebagainya. Banyak ahli yang melontarkan kegelisahannya terhadap nasib pertanian dan petani, tetapi tampaknya perlu adanya komitmen bersama untuk hal ini. Sayang, GBHN sebagai landasan pembangunan sudah tidak ada lagi sehingga nasib pertanian dan petani tergantung pemimpin bangsa seperti yang dilontarkan Dr. Noer Sutrisno, Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian (PERHEPI) 2004-2008 (KR ,22 Agustus 2004).
Hanya saya khawatir nasib pertanian dan petani   “hanya manis dalam pidato-pidato” (seperti juga pada pidato Bung Karno tahun 1952). Atau  hanya “manis mengendarai mobil SMK sampai Jakarta”, setelah itu  kendaraannya ditinggalkan. Saya yakin pemimpin kita bukan hanya “jago pidato” atau “jago mengendarai mobil SMK”, saya yakin beliau sangat propetani, beliau akan memerdekakan  petani, tetapi diperkirakan akan terkendala dengan dana untuk membiayainya.  APBN kita 70 persen lebih sudah diserahkan kepada daerah, sedang daerah kebanyakan menggunakannya untuk menggaji PNS. Untuk investasi, apabila kita berhutang kepada luar negeri  dibatasi jumlahnya supaya tidak mengganggu APBN. Apabila  diserahkan kepada pasar, yang terjadi nanti adalah seperti investasi kebun kelapa sawit, kebunnya berada di Indonesia dengan penebangan hutan dan perambahan lahan gambut, tetapi  investornya kebanyakan bukan dari Indonesia. Itulah dilema yang akan dihadapi pemimpin kita.
Pengalaman Bung Karno yang ingin berdikari dengan semboyan “go to hell with your aid” dan menasionalisasi perusahaan asing, hasilnya berupa kesengsaraan rakyat.  Pemerintahan Soeharto yang semula punya anggaran berlebih karena “nasib beja” atau beruntung dapat rejeki nomplok akibat krisis minyak 1973, tetapi rejeki nomplok ini hanya dapat bertahan sekitar 12 tahun. Setelah itu strateginya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi membolehkan swasta berutang langsung ke luar negeri. Ternyata dalam 10 tahun utang swasta sudah kelewat banyak melebihi utang pemerintah. Ketika terkena dampak El Nino 1997 dan El Soros (krismon) 1997/1998, Indonesia kelimpungan memanage utang luar negerinya dan pemerintah terpaksa mengikuti nasehat IMF dengan menalangi utang luar negeri yang akhirnya membebani APBN kita sampai saat ini. Setelah Soeharto jatuh pada dasarnya semua investasi diserahkan kepada pasar yang kita tahu untuk pertanian adalah sesuatu sangat sulit, kecuali untuk kelapa sawit. Kesimpulannya, siapa pun yang ingin atau berniat ngopeni atau berpihak kepada petani, mungkin hanya sebatas untuk menarik simpati saja, mudah-mudahan yang akan datang hal ini tidak terjadi.
Kapan Dunia Belajar Makan dengan Tangan?
Itu yang belum dijelaskan oleh Menteri Pangan, bagaimana dan kapan dunia belajar makan dengan tangan? Menurut pendapat saya, apabila Indonesia sudah menjadi negara maju dan super; mempunyai kelebihan dan dikagumi bangsa-bangsa lain; termasuk menata dan mengurus pangan yang dilandasi kemajuan ilmu dan pengetahuan mutakhir seperti kita dapat  mengembangkan tanaman transgenik sendiri dan lain sebagainya. Pada era tersebut Indonesia menjadi negara maju sebagaimana cita-cita proklamsi ”adil, makmur dan sejahtera”. Pada saat itu bangsa-bangsa lain akan berbondong-bondong studi banding untuk mencontoh, menimba ilmu dan teknologi serta menjadi pusat perhatian dunia. Mereka belajar adat istiadat budaya Indonesia, termasuk cara makannya. Meniru budaya makan dengan tangan merasa bergengsi dan status sosialnya meningkat serta dianggap ”modern”. Namun selama Indonesia terpuruk, mengurus pangan yang merupakan kebutuhan pokok ”tidak beres” maka cara makan dengan tangan akan dipandang aneh dan memalukan serta tidak higienis bahkan jangan-jangan dianggap primitif dan ”uneducated people”.
Sehubungan dengan hal tersebut untuk memperoleh derajat dan predikat bangsa yang dipandang maju serta berhasil dalam membangun harkat dan martabat bangsa, penulis berpendapat, pertama, kita harus belajar dari sifat-sifat baik mereka, dalam hal ini bangsa Jepang dan Korea. Bangsa-bangsa tersebut terkenal tertib, disiplin, kerja keras, hidup hemat, tak mudah putus asa dan mengeluh, taat pada peraturan dan tegas dalam penegakan hukum, tidak suka menyalahkan orang lain, dan jeli mengambil peluang pasar. Bangsa Jepang dan Korea terkenal memiliki etos kerja tinggi.
Menurut Ali Akbar (2011), dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI, dalam buku 9 Ciri Negatif Manusia Indonesia, dikatakan manusia itu di mana pun memiliki ciri negatif dan positif, hanya manusia Indonesia memiliki 90 persen ciri negatif dan yang positif  hanya 10 persen. Adapun ciri manusia Indonesia sesuai  dengan hasil penelitian tahun  2000-2010, yaitu ramah, malas, tidak disiplin, korup, emosional, individualis, suka meniru, rendah diri, boros, percaya takhyul, bodoh, pengoceh, munafik, sombong, kreatif.  Dengan demikian, kita harus dapat menghilangkan 12 sifat-sifat negatif tersebut agar kita dipandang orang lain. Mungkin ahli-ahli budaya/antropologi berperan dalam mengikis sifat-sifat negatif tersebut. Ciri buruk itu menurut konsep kebudayaan akan diturunkan kepada generasi berikutnya, hal ini terbukti ketika sifat buruk tersebut dilontarkan oleh Muchtar Lubis (1977) dalam buku Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggung Jawaban, ternyata pada saat diteliti oleh Ali Akbar ternyata ciri-ciri tersebut masih melekat.
Ketika  mencari jawaban mengapa orang Malaysia lebih taat terhadap hukum sedang orang Indonesia kurang taat, penulis memperoleh jawaban dari analisis budaya  Dr. Faruk, dosen FIB UGM, di Mingguan Minggu Pagi No 21 Agustus 2007. Beliau mengatakan bahwa  masyarakat Malaysia hidup dalam budaya epik, sedangkan masyarakat Indonesia dalam dunia novelistik. Masyarakat Malaysia memperlihatkan derajat komunalitas yang relatif tinggi, sedang masyarakat Indonesia cenderung individualistik. Dalam terminologi filsafat, masyarakat Malaysia cenderung mempunyai orientasi yang kuat terhadap etika, sedang masyarakat Indonesia pada filsafat. Dalam terminologi agama, masyarakat Malaysia bersifat syariati, sedang masyarakat Indonesia makrifati.
Selanjutnya beliau  menegaskan bahwa di Malaysia hukum obyektif lebih kuat daripada subyektifitas warga negara atau tepatnya individu, sedangkan di Indonesia subyektifitas warga negara lebih kuat daripada hukum. Karena posisinya yang lebih kuat, manusia Indonesia tidak mudah ditaklukkan oleh hukum, oleh negara, atau dengan kata lain, manusia Indonesia tidak mudah terhegemoni. Kecenderungan demikianlah, mungkin, yang membuatnya dengan mudah membebaskan diri dari kekuasaan negara dan pada gilirannya membuatnya berani mengambil inisiatif untuk melakukan usaha-usaha perlawanan terhadap rezim dan usaha-usaha untuk membuat rezim alternatif.
Pesan dari dua ahli budaya tersebut makin memperkuat saran bahwa untuk mengikis ciri buruk tersebut harus melibatkan ahlinya. Mungkin juga perlu belajar dari Mahathir Mohamad yang pada tahun 1981 mencanangkan ”The look east policy” dengan merobah orientasi kebijakan Malaysia yang lebih melihat ke Timur (Jepang, Taiwan, Korea) yang lebih menekankan belajar ”work ethic” dan ”dicipline of work place” dengan mengirim ribuan pelajar ke negara-negara tersebut. Hasilnya dapat kita lihat sekarang Malaysia selangkah lebih maju dibanding Indonesia.
Kedua, dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu menghargai barang buatan sendiri dan kesinambungan dalam pembangunan. Di Jepang sangat sedikit mobil luar Jepang yang lalu-lalang di jalan, mereka lebih menyenangi bikinan sendiri. Orang Korea lebih fanatik lagi, walaupun banyak yang dapat membeli mobil luar, tetapi mereka merasa malu kalau memakai mobil impor. Untuk itu disini ahli teknologi yang berperan agar produk kita memiliki daya saing. Di Tiongkok walaupun menganut sistem Komunis, kebijakan pembangunannya berkesinambungan. Mereka selalu berprinsip yang baik diteruskan dan yang jelek ditinggalkan. Di Indonesia cenderung ganti pemerintah akan ganti kebijakan, yang lama ditinggalkan, sehingga memulai dari nol lagi.
Berdasarkan tinjauan perjalanan sejarah strategi kebijakan pangan dari masa ke masa, sejak periode awal kemerdekaan sampai dengan 2014 (selama hampir 70 tahun) ternyata belum mencapai tingkat ketahanan pangan yang kaut dan lestari. Oleh karena itu diperlukan strategi kebijakan pangan yang komprehensif, konsisten, berkelanjutan dan berkesinambungan dari periode ke periode pemerintahan. Strategi kebijakan pembangunan pertanian harus bersifat ”holistic approach”, terintegrasi, terpadu, menyeluruh dan tidak terkotak-kotak pada saat on farm maupun off farm; antarsektor atau kementerian , antarpusat dan daerah dan antardaerah itu sendiri.
Ketiga, sesuai pendapat Agus Pakpahan (2012), kita harus mengubah tradisi berpikir kita bahwa pertanian dan petani harus menjadi prioritas utama agar tidak menjadi institusi yang terpinggirkan. Perubahan paradigma berpikir ini harus menyangkut suprastruktur berupa UU yang propetani dan pertanian, kemudian struktur atau kelembagaan yang menjamin kelangsungan pertanian dan melindungi petani, dan penyediaan infrastrukur yang berorientasi untuk mengembangkan pertanian. Adalah suatu keniscayaan, suatu negara dengan penduduk banyak akan menjadi maju, tetapi tidak didukung ketahanan pangan yang kuat. Negara akan memiliki ketahanan pangan kuat apabila didukung pertanian yang tangguh.
Perlunya perubahan cara memandang bahwa petani dan pertanian itu penting sedangkan pihak lain berkepentingan harus benar-benar dilaksanakan secara sadar dan tulus; bukan hanya ”basa-basi” saja. Selain itu juga perlu gerakan perubahan paradigma tentang ”puting the farmer first”. Dalam hal ini pemerintah harus memahai tugas pokoknya, yaitu ”nguwongke (menghargai), ngayemi (memberikan rasa tenteram), ngayomi (melindungi) dan ngayani (membuat kaya)” petani. Sesuai filosofi budaya para leluhur kita dalam mengasuh dan membesarkan anak-anaknya. Jadi pemerintah itu harus menghargai petani sebagai orang penting yang bertabat mulia, memberikan/menjamin ketenteraman, melindungi dan mensejahterakan (membuat kaya) dengan berbagai tindakan nyata.
Keempat, memilih calon pemimpin di pusat dan daerah yang mempunyai platform yang jelas, dapat menerjemahkan pesan Pembukaan UUD 1945, khususnya menjabarkan pesan “untuk memajukan kesejahteraan umum” dan Pasal 33 dan 34, khususnya yang dapat menjabarkan demokrasi ekonomi yang mengamanatkan kemakmuran bagi semua orang. Kita dapat melihat sukses Brazil yang segera dapat keluar dari kemelut ekonomi tanun 1980-1990 karena dapat memilih pemimpin yang tepat Presiden Lula yang memiliki platform yang beraliran kerakyatan.
Mudah-mudahan tulisan ini menjadi perenungan para anggota legislatif, bupati, gubernur, dan presiden. Rakyat sudah lelah adanya “adu omong dan adu menangnya sendiri yang kadang disertai adu jotos” yang bukan untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan sendiri atau kelompoknya.®®


Sapuan Gafar
Mantan Sekretais Menteri Negara Urusan Pangan dan Wakabulog

Selasa, 08 Juli 2014

Tantowi: Prabowo Sejak Dulu Menolak Impor Beras

Senin, 7 Juli 2014

JAKARTA - Juru Bicara Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Tantowi Yahya mengatakan capres nomor urut satu tersebut merupakan yang paling keras menolak kebijakan impor beras. Menurutnya, sebagai ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Prabowo tentu protes soal impor beras pada pemerintah.

Namun protes Prabowo yang lantas menolak impor beras membuat ia ditegur Jusuf Kalla (JK). Tantowi mengatakan sikap yang ditunjukkan JK sangat berbeda saat debat kelima atau yang terakhir, Sabtu (5/7).

"Sebagai ketua HKTI, Prabowo teriak-teriak agar tidak mengimpor beras. Tetapi JK memarahinya. JK suka lupa kalau yang dikritiknya, di eranya sendiri," ujar politisi Partai Golkar Tantowi Yahya saat dihubungi, Minggu (6/7).

Misalnya, saat JK menanyakan kebijakan impor beras yang mencapai 2,7 ton. Hatta menjawabnya bahwa Indonesia telah surplus, dan hanya mengimpor hanya untuk beras kosumsi warga negara asing di Indonesia. Malah, Hatta menerangkan saat krisis terjadi Indonesia bisa bertahan dengan produksinya.

Tantowi mengatakan, sejak debat pertama JK sudah menunjukan sifat menyerangnya. Berbagai isu dilontarkan untuk menjatuhkan Prabowo-Hatta. "Itu lah JK. Ketika naik panggung, niatnya mau menjatuhkan orang. Tetapi rakyat tahu, bisa menilai dengan baik," katanya.

Selain mengkritisi sifat menyerang JK, Tantowi juga menilai JK tidak konsisten. Contohnya, JK merupakan penggagas ujian nasional (UN) yang hingga kini masih menjadi perdebatan. Tetapi dia debat sebelumnya, JK bersikap seolah-olah tidak menyetujui penyelenggaraan UN.

Begitu pun mengenai pendidikan gratis yang dulu ditolak mentah-mentah oleh JK, tetapi kini menjadi modal kampanye. "Sekarang JK anti dengan UN, dulu anti pendidikan gratis. Mengingatkan saja, omongan dulu dengan sikap sekarang," tutur Tantowi. (jpnn)

http://www.jpnn.com/read/2014/07/07/244755/Tantowi:-Prabowo-Sejak-Dulu-Menolak-Impor-Beras-#

Senin, 07 Juli 2014

Penurunan Produksi Gabah Kering Bukan Berarti RI Harus Impor

Minggu, 6 Juli 2014

Liputan6.com, Jakarta - Meski Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan angka ramalan (aram) produksi padi tahun ini mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu, namun Menteri Pertanian Suswono menyatakan bahwa penurunan tersebut bukan berarti Indonesia harus mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Menurut Suswono, dari produksi tahun 2014 yang tercatat 69,8 juta ton gabah kering giling (GKG), bila dikonversikan maka akan menjadi 40 juta ton beras. Jumlah tersebut sebenarnya sudah melebihi angka kebutuhan beras nasional.

Dalam hitungannya, jika menggunakan patokan konsumsi beras Indonesia adalah angka 139 kilogram (kg) per kapita per tahun, maka dengan jumlah penduduk yang tahun lalu tercatat 247 juta jiwa, didapatlah angka konsumsi beras  sebesar 34,4 juta ton.

"Kebutuhan Indonesia sendiri hanya sebesar 34 juta ton-35 juta ton. Itu kan berarti  masih surplus 5 juta ton," ujarnya di Jakarta seperti ditulis Minggu (6/7 /2014).

Namun, Suswono mengakui bahwa aram yang mengalami penurunan tersebut patut diwaspadai oleh pemerintah dan Badan Urusan Logistik (Bulog). Oleh sebab itu, Bulog harus segera mengatur strategi sehingga jelang akhir tahun Indonesia tidak perlu melakukan impor.

"Hasil aram itu kan untuk warning. Angka itu memang karena adanya penurunan luas tanam. Tetapi kalau di akhir tahun Indonesia punya stok 1,5 juta ton, maka tidak perlu impor. Tinggal bagaimana kemampuan Bulog saja. Bulog bisa tidak serap suplus untuk stok. Kalau Bulog bisa menyerap dengan baik, maka pada akhir tahun ada 2 juta ton (stok beras)," jelas dia.

Ia melanjutkan, saat ini Bulog tengah melakukan perhitungan mendalam soal kebutuhan dan stok beras yang ada sehingga penurunan ini bisa diantisipasi semaksimal mungkin.

"Yang jelas keninginan untuk menjaga stok beras oleh Bulog dengan impor sudah diantisipasi, nanti dilihat. Bagaimana pun impor kalau terpaksa harus menjaga stabilitas agar masyarakat tidak direpotkan dengan fluktuasi harga beras yang tidak merugikan," tandas dia.

Seperti diketahui, berdasarkan data BPS, aram I 2014 diperkirakan sebesar 69,87 juta ton GKG atau mengalami penurunan sebesar 1,41 juta ton atau 1,98 persen jika dibandingkan pada 2013.

Penurunan produksi tersebut diperkirakan terjadi karena penurunan luas panen seluas 265,31 ribu hektare atau 1,92 persen dan produktivitas sebesar 0,03 kuintal per hektare atau 0,06 persen.

Sementara untuk produksi padi 2013 sebesar 71,28 juta ton gabah kering giling atau mengalami kenaikan sebanyak 2,22 juta ton, atau 3,22 persen jika dibandingkan 2012 lalu. (Dny/Gdn)

(Arthur Gideon)

http://bisnis.liputan6.com/read/2073813/penurunan-produksi-gabah-kering-bukan-berarti-ri-harus-impor

Minggu, 06 Juli 2014

Prabowo: Sejak Awal Saya Konsisten Tolak Impor Beras

Sabtu, 5 Juli 2014

JAKARTA - Calon Presiden Prabowo Subianto secara telak mematahkan tantangan pertanyaan calon presiden Jokowi mengenai upaya yang dilakukan Prabowo selaku Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).

Dalam kesempatan itu, Prabowo dengan tegas menolak impor beras dan mengaku seringkali mengingatkan kepada pemerintah terkait hal tersebut.

"Saya sejak awal konsisten menolak impor beras. Saya sering mengingatkan pemerintah. Bahkan pak Jusuf Kalla pernah panggil saya karena saya menolak impor beras. Waktu itu bapak ketua Golkar, saya anggota Golkar. Kenapa pak," kata Prabowo di Hotel Bidakara, Jakarta, Sabtu (5/7/2014).

Menerima semprotan pernyataan Prabowo, Jusuf Kalla hanya tertawa. Namun Jokowi hanya duduk terdiam memperhatikan Prabowo berbicara.

Seperti diketahui, saat ini kita sebagai pengimpor beras yang sangat besar. Tercatat pada 2012 kita mengimpor hingga 2,7 juta ton. Indonesia pernah swasembada di 2008 hingga 2009. (rzk)

http://economy.okezone.com/read/2014/07/05/320/1008785/prabowo-sejak-awal-saya-konsisten-tolak-impor-beras

Jumat, 04 Juli 2014

Produksi Beras Harus Dijaga

Jumat, 4 Juli 2014

Impor Menjadi Pilihan Terakhir

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tidak perlu mengimpor beras untuk menambah cadangan dalam rangka mengantisipasi El Nino. Pemerintah sebaiknya menjaga produksi beras di daerah-daerah lumbung beras meski dalam skenario minimalis, apalagi di beberapa tempat masih turun hujan.
”Saya kira Kementerian Perdagangan meminta Perum Bulog untuk menambah pasokan beras merupakan kepanikan yang tidak rasional. Sebab, pada kenyataannya stok beras lebih dari cukup untuk satu siklus produksi,” kata Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) M Riza Damanik di Jakarta, Kamis (3/7).

Pernyataan itu terkait dengan perintah Menteri Perdagangan M Lutfi kepada Perum Bulog untuk menambah stok beras nasional. Meski tidak menyebut secara eksplisit tentang impor beras, Kementerian Perdagangan memberikan sinyal membuka keran impor untuk menambah persediaan beras.

Menurut Riza, impor beras selalu menjadi solusi pemerintah ketika ketersediaan beras nasional terbatas. Pemerintah perlu terus mendorong swadaya pangan untuk meningkatkan ketahanan pangan Indonesia.

Karena itu, pemerintah harus memastikan diversifikasi pangan terus meluas ke seluruh wilayah Indonesia dan pasokan pangan olahan terus ditingkatkan. Selain itu, juga diperkuat riset untuk adaptasi perubahan iklim di sektor pertanian.

”Jika skenario itu dijalankan, daya tahan pangan Indonesia akan terus menguat untuk menghadapi dinamika cuaca ekstrem yang marak belakangan ini sekaligus semakin siap menghadapi pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN,” kata dia.

Riza menilai, pemerintah masih mengandalkan impor beras karena kebijakan peningkatan produktivitas sektor pertanian masih lemah. Faktanya banyak lahan pertanian yang beralih fungsi, petani kesulitan mengakses modal, infrastruktur pertanian yang minim, rantai perdagangan yang tidak memihak petani, menyempitnya lahan pertanian, dan perusakan lingkungan di sekitar kawasan pertanian.

Tambah stok beras

Menteri Perdagangan M Lutfi menyatakan, penambahan stok beras merupakan upaya pemerintah untuk mengantisipasi fenomena El Nino. Selain itu, bencana alam di sejumlah daerah di Indonesia juga berpotensi menyebabkan kehilangan beras.

Lutfi mengestimasi potensi kehilangan beras akibat bencana alam terhadap produksi beras nasional sekitar 100.000 ton.

Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurti menambahkan, stok beras pada akhir tahun minimal harus 2 juta ton. Kalaupun memang tidak bisa, sekurang-kurangnya harus 1,5 juta ton. Hal itu untuk mengantisipasi ketersediaan beras pada tahun berikutnya.

Pengamat pertanian yang juga mantan Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudo Husodo mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam membuat kebijakan impor beras.

”Saya khawatir isu El Nino ini sengaja diembuskan pihak-pihak yang berkepentingan untuk impor,” katanya.

Siswono mengatakan, sampai Juli ini di beberapa daerah masih turun hujan. Artinya, kalaupun ada El Nino, sifatnya basah.

Sebaiknya, kata Siswono, pemerintah menunggu kondisi iklim sampai bulan Oktober. Jika memang benar terjadi El Nino, impor beras bisa dilakukan.

”Impor jangan dilakukan sekarang. Biarkan petani menikmati hasil panen mereka. Kalau El Nino benar terjadi, tidak masalah. Kalau tidak benar sementara telanjur impor, bagaimana?” katanya.

Dalam sebuah diskusi, Koordinator Nasional Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) Tejo Wahyu Jatmiko mengatakan, kedua pasangan capres-cawapres telah selangkah lebih maju dengan menggunakan istilah kedaulatan pangan dalam visi misi mereka. Hal ini berbeda dengan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sekadar berorientasi pada ketahanan pangan.

”Jika hanya ketahanan pangan, hal yang penting adalah pangan tersedia, tanpa memikirkan asalnya dari mana,” kata Tejo.

Meski demikian, Tejo masih mempertanyakan strategi setiap pasangan dalam mewujudkan kedaulatan pangan, termasuk untuk menyediakan lahan pertanian. (A03/HEN/MAS)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140704kompas/#/21/

Kamis, 03 Juli 2014

Harga Gula Petani Makin Tertekan

Kamis, 3 Juli 2014

Kebijakan Impor Sangat Disesalkan

JEMBER, KOMPAS — Pemerintah dinilai tak berpihak pada produk lokal sehingga gula impor (rafinasi) masih terus membanjiri pasar domestik. Akibatnya, harga gula dari petani hanya laku dijual pada pasar lelang maksimal Rp 8.500 per kilogram, padahal gula rafinasi di tingkat pengecer Rp 8.000 per kilogram.

”Kondisi ini sangat merugikan petani karena harga pokok produksi gula petani sekitar Rp 9.500 per kilogram. Ini awal kebangkrutan petani,” kata Yeyek Sugianto, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) Pabrik Gula Semboro, Jember, Jawa Timur, Rabu (2/7).

Yeyek menambahkan, kebijakan membuka keran gula impor sebesar-besarnya berpengaruh pada gula petani. Pedagang tidak mau membeli gula petani dengan harga mahal, apalagi sisa musim giling 2013 juga masih menumpuk di gudang pabrik gula dan gudang pedagang. ”Gula rafinasi hanya untuk kebutuhan industri makanan dan minuman, tapi kenyataanya beredar di pasaran untuk konsumsi rumah tangga,” ujar dia.

Junaedi, petani tebu di Kecamatan Kalisat, mengatakan, paling menyakitkan petani adalah sikap pemerintah yang mengizinkan pedagang impor gula saat petani panen atau giling tebu. Idealnya impor disesuaikan waktunya, artinya tidak dilakukan ketika musim panen atau giling tebu.

Jika impor digerojok ke pasar saat musim giling, petani makin terpuruk karena perbankan dan direksi pabrik gula tidak lagi menyediakan kredit ketahanan pangan dan energi (KKPE) sebagai modal awal petani tebu. ”Petani butuh biaya tanam tebu, tapi dana untuk modal kerja lewat KKPE tidak ada lagi. Akibatnya, petani tidak bisa tanam tebu,” ucap Yeyek.

Ketua APTRI Arum Sabil menegaskan, nasib petani tebu dalam tiga tahun terakhir tidak menunjukkan peningkatan yang
signifikan karena harga gula selalu di bawah ongkos produksi. Regulasi pemerintah yang membuka keran gula impor menjadi salah satu pemicu murahnya harga produk lokal.

Harga patokan petani (HPP) sebesar Rp 8.250 per kilogram, sementara biaya produksi sudah Rp 9.500 per kg. Jika produksi tebu rata-rata 90 ton per hektar dan rendemen 6,5 persen-7 persen, biaya produksi petani bisa di atas Rp 10.000 per kilogram, artinya kerugian sulit dihindari. Bagi hasil antara petani dan pabrik gula 66:34 dari hasil proses tebu menjadi gula perlu direvisi menjadi 70:30 agar kesejahteraan petani terjamin.

Sekretaris Perusahaan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI Adig Suwandi mengatakan, harapan petani mendapatkan harga gula lebih baik dibandingkan 2012 dan 2013 jauh dari harapan. Isyarat tersebut setidaknya terungkap dari tender, harga hanya Rp 8,377 per kg.

Untuk menjaga agar harga gula menguntungkan dan memadai bagi produsen adalah dengan mengendalikan stok dan mencegah masuknya gula rafinasi ke pasar eceran. Selain membatasi impor, pemerintah juga diminta segera membuat regulasi baru mengenai tata niaga gula.

Dana talangan
Sementara itu, petani tebu di Jawa Tengah juga minta pencairan dana talangan hasil lelang tebu lokal dapat segera dilakukan. Dana talangan, yang sesuai kesepakatan sebesar Rp 8.500 per kilogram dan semula dijanjikan akhir Juni 2014, ternyata belum cair.

”Dana talangan itu bagian tanggung jawab investor yang telah membeli gula lokal lewat lelang. Dengan belum cairnya dana talangan ini, petani tebu menjadi lesu,” kata Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Ketua APTRI Jawa Tengah Sukadi Wibisono, Rabu, ketika dihubungi di Semarang, Jateng.

Sukadi menyampaikan, dana talangan tersebut menjaminkan stok gula milik petani di Jawa Tengah lebih kurang 500.000 ton. Saat ini petani juga mulai bersiap memasuki masa giling tebu yang sudah berlangsung sebulan ini.

Gula lokal merosot
Sementara itu, harga gula lokal akhir-akhir ini terus merosot setelah pasaran gula lesu. Gula lokal kini kalah bersaing dengan gula rafinasi yang beredar luas di tingkat konsumen.

Di Kota Semarang, gula rafinasi di pedagang eceran hanya dijual berkisar Rp 7.900 per kilogram hingga Rp 8.000 per kilogram, sedangkan harga gula lokal Rp 8.500 per kg. Maraknya penjualan gula rafinasi ini diduga akibat adanya kebocoran dari gula yang semestinya untuk industri makanan dan minuman.

Menurut Sukadi, kebocoran gula rafinasi di Jateng sangat merata. Gula ini diminati masyarakat karena harga gula lokal sesungguhnya cukup mahal, di atas Rp 8.000 per kilogram.
APTRI Jateng, juga di tingkat kabupaten dan kota, sudah berupaya protes ke dinas perdagangan setempat supaya menghentikan perdagangan gula rafinasi. Namun, nyatanya petugas di instansi perdagangan tidak mampu.

Ketua APTRI Kabupaten Pati Suhardi mengakui, harga lelang gula petani tahun ini buruk, hanya laku sebesar Rp 8.516 per kg. Ini lebih rendah dari estimasi petani yang semula berharap bisa mencapai Rp 9.000 per kilogram. Meski rendah, nilai itu masih lebih baik dibandingkan dengan gula milik petani di Jatim yang hanya laku Rp 8.200 per kilogram.

Menurut dia, harga gula petani rendah tak masalah asalkan pemerintah daerah mampu mengatasi maraknya peredaran gula rafinasi. ”Gula mentah itu sudah dijual-belikan begitu terbuka sehingga petugas instansi perdagangan kabupaten pun tidak berdaya untuk mencegahnya,” ujar Suhardi. (WHO/SIR/ETA)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140703kompas/#/21/

Pemerintahan SBY pelihara kebiasaan impor beras

Kamis, 3 Juli 2014

Merdeka.com - Stok beras di gudang Bulog sekitar 1,8 juta sampai 1,9 juta ton diyakini cukup untuk memenuhi kebutuhan selama tujuh bulan ke depan. Kendati demikian, pemerintah masih membuka keran impor beras.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi beralasan impor hanya untuk antisipasi agar tidak terjadi krisis beras. Sebab, kata dia, krisis pasokan beras lebih mengerikan dari pada krisis pasokan komoditas lainnya. Karena beras merupakan kebutuhan paling mendasar masyarakat Indonesia.

"Komoditi beras itu sifatnya jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan komoditas lain seperti daging sapi dan cabai," ujar Luthfi di kantornya, kemarin.

Dalam pandangannya, perekonomian negara, lanjut dia, akan terancam apabila terjadi krisis beras yang disebabkan kurangnya pasokan dan harganya melambung tinggi di pasaran. Karena itu pendekatan yang dipakai pemerintah adalah mendatangkan beras dari negara lain.

Sejak kelas menengah di Indonesia tumbuh, konsumsi beras premium disebut-sebut meningkat. Di sisi lain, Bulog hanya mengelola beras medium.

"Ketika kurangnya beras premium, itu yang diperbaiki adalah beras mediumnya. Itu bisa menjadi pull factor, harganya bisa naik. Jadi ini sudah saya berikan arahan," ucapnya.

Dengan dibukanya keran impor beras, semakin terlihat pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II mempertahankan kebiasaan impor beras. Importasi bahan pangan utama sepanjang pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengalami peningkatan sejak dia pertama kali menjabat pada 2004 hingga 2013, jelang setahun sebelum lengser.

Kebijakan impor ini, kata pemerintah, disebabkan cadangan bahan pangan utama nasional seperti beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi, cabai dan bawang merah tidak mencukupi kebutuhan sehingga memicu melonjaknya harga

Menurut data yang dikutip merdeka.com dari laporan Pencapaian Kinerja Pembangunan Periode Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I dan KIB II terbitan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), catatan importasi bahan pangan utama sepanjang KIB II meningkat lebih besar dibanding dengan KIB I.

Importasi beras sejak 2004 hingga 2013 mengalami fluktuasi. Pada 2004, impor beras sebanyak 236.000 ton, lantas saat 2006 jumlah impor beras naik menjadi 438.000 ton dan mencapai 1,4 juta ton pada 2007.

Sempat menurun dua tahun, tren impor beras kembali naik mulai tahun 2010, 2011, dan 2012 menjadi masing-masing sebesar 687.000 ton, 2,7 juta ton serta 1,7 juta ton.

Sementara itu, secara terpisah Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengatakan kemungkinan besar pihaknya tak akan memberikan rekomendasi izin ekspor beras. Meskipun Badan Pusat Statistik (BPS) memerkirakan penurunan produksi padi 2014 menjadi 69,87 juta ton gabah kering giling (GKG) dari sebelumnya 71,28 juta ton GKG pada tahun lalu.

Meskipun terjadi penurunan. Namun, produksi beras masih surplus sekitar 4 juta ton. "Seringkali momentum penurunan produksi padi digunakan beberapa pihak untuk membuat opini publik tentang impor beras," katanya.

Kepala BPS Suryamin menjelaskan, penurunan produksi padi disebabkan oleh penyempitan luas area panen sebesar 265,31 juta hektar. Dan, menurunnya produktivitas sebesar 0,03 kuintal per hektar.

[noe]

http://www.merdeka.com/uang/pemerintahan-sby-pelihara-kebiasaan-impor-beras.html

Rabu, 02 Juli 2014

Petani Tanaman Pangan Turun

Rabu, 2 Juli 2014

Nilai Komoditas Kurang Ekonomis

JAKARTA, KOMPAS — Jumlah rumah tangga petani tanaman pangan berkurang dalam 10 tahun terakhir dan beralih menjadi petani perkebunan atau bekerja di sektor informal di perkotaan. Rumah tangga petani meninggalkan komoditas tanaman pangan karena kurang ekonomis.
Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin menjelaskan, penurunan jumlah rumah tangga petani itu terjadi pada komoditas padi, jagung, dan kedelai. ”Penurunan jumlah rumah tangga petani tanaman pangan terjadi di Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan Papua,” ujar Suryamin dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (1/7). Penurunan jumlah rumah tangga petani itu diketahui berdasarkan Survei Pertanian 2013 dan membandingkannya dengan Sensus Pertanian 2003.

Jumlah petani kedelai turun dari 1 juta rumah tangga pada 2003 menjadi 700.000 rumah tangga pada 2013 atau turun 31,91 persen. Jumlah petani jagung turun dari 6,4 juta pada 2003 menjadi 5,1 juta rumah tangga pada 2013 (20,4 persen), sementara jumlah rumah tangga yang mengusahakan padi turun dari 14,2 juta menjadi 14,1 juta (0,41 persen).

Penurunan jumlah rumah tangga usaha tanaman kedelai terbesar terjadi di Pulau Jawa, yakni 225.230 rumah tangga atau turun sekitar 29,27 persen. Penurunan jumlah rumah tangga usaha tanaman jagung terbesar terjadi di Pulau Jawa sebanyak 785.150 rumah tangga (18,73 persen). Penurunan jumlah rumah tangga usaha tanaman padi terbesar terjadi di Pulau Sumatera sebanyak 309.830 rumah tangga (10,74 persen).

Selain usaha tanaman pangan, penurunan jumlah rumah tangga petani juga terjadi pada komoditas jeruk dan bawang merah. Jumlah rumah tangga petani usaha jeruk turun dari 973.220 rumah tangga menjadi 554.430 rumah tangga.

Pada saat yang sama, terjadi kenaikan jumlah rumah tangga petani perkebunan kelapa sawit, karet, dan kakao. Jumlah rumah tangga yang mengusahakan kelapa sawit meningkat dari 700.000 menjadi 1,5 juta, karet dari 1,7 juta menjadi 2,9 juta, dan kakao dari 1,9 juta menjadi 2,9 juta.

Tak ekonomis
Direktur Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati menjelaskan, berkurangnya jumlah rumah tangga petani tanaman pangan itu harus menjadi peringatan. ”Pemerintah sebaiknya memberikan insentif supaya jumlah rumah tangga petani tak makin berkurang. Pemerintah juga harus berperan meningkatkan produktivitas komoditas tanaman pangan,” kata Enny.

Abas, Ketua Forum Komunikasi Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, menjelaskan, petani beralih dari tanaman pangan dan hortikultura karena kurang ekonomis. ”Harga komoditas pangan dan hortikultura tidak menentu. Pemerintah juga cenderung kurang memperhatikan petani-petani kecil. Wajar jika petani tanaman pangan dan hortikultura beralih profesi menjadi petani tanaman perkebunan. Fenomena itu terus berlanjut karena tanaman perkebunan lebih menjanjikan,” ujarnya. (AHA)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140702kompas/index.html#/19/

Pembenahan Pertanian Jokowi Realistis

Rabu, 2 Juli 2014

Dalam sejumlah kesempatan, pasangan calon presiden (capres) dan cawapres, Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK), telah memaparkan visi dan misi mereka untuk membangun sektor pertanian. Jokowi-JK, pasangan nomor urut 2, ingin membenahi terlebih dulu irigasi dan waduk. Seperti yang dikatakan Jokowi, tanpa pembenahan di hulu, yaitu irigasi dan waduk, sulit dan tidak ada gunanya mencetak sawah baru karena pengairannya tidak ada.

Kalau melihat kondisi di lapangan, konsep yang ditawarkan Jokowi sangat realistis. Langkah pembenahan waduk dan irigasi inilah yang lebih bisa dilakukan dalam lima tahun ke depan. Langkah membuka lahan rasanya sulit diwujudkan karena membutuhkan dana yang tidak kecil. Jika harus membuka hutan dan menyediakan infrastruktur membuka lahan pertanian baru, akan membuang waktu terlalu lama. Apalagi, problem utama yang dihadapi sekarang adalah sistem irigasi Indonesia sebagian besar rusak berat.

Jadi, perbaikan irigasi sangat tepat dilakukan daripada pembukaan lahan baru, yang membutuhkan dana besar dan proses lebih lama. Jauh lebih efektif dan efisien memaksimalkan lahan yang ada dengan cara perbaikan saluran irigasi dan waduk.

Selain itu, banyak lahan marjinal yang bisa diefektifkan untuk pertanian, terutama lahan di luar Jawa. Lahan rawa bisa diperbaiki dengan teknologi pertanian, pembenahan irigasi, dan cara tanam sehingga bisa menjadi lahan produktif.

Saat ini, Indonesia memiliki sistem irigasi yang mampu mengairi 7,2 juta hektare lahan pertanian. Namun, 52 persen di antaranya terbilang rusak. Program yang dikemukakan Jokowi juga tidak terlalu membebani pemerintah pusat karena bisa dikerjakan juga oleh daerah. Dalam pembangunan waduk, ada kewajiban-kewajiban. Tidak semuanya harus pemerintah pusat.

Lebih Selektif

Contohnya, waduk yang mengairi 100 hektare lahan bisa dikerjakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan untuk pengairan 1.000–3.000 hektare bisa dilakukan pemerintah provinsi. Kalau lebih besar dari itu, baru pemerintah pusat yang turun tangan. Dengan demikian, setiap daerah bisa punya waduk yang memadai. Pemerintah pusat juga bisa lebih selektif, tidak harus menanggung semuanya.

Masalah irigasi ini menjadi hal sentral pada produksi beras nasional. Lahan pertanian yang mendapat aliran irigasi menyumbang sekitar 85 persen dari total produksi beras per tahun. Karena itulah, rusaknya saluran irigasi jelas akan mengurangi pasokan beras di Tanah Air.

Di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa komoditas beras masih menjadi kontributor utama penyumbang inflasi. Masalah ini harus dipahami presiden mendatang. Hal tersebut menuntut ketersediaan beras yang terkendali. Kurangnya pasokan karena banyaknya kerusakan saluran irigasi dan kekurangan waduk akan mengganggu pasokan beras, dan ini berpotensi menyumbang tingginya inflasi.

Ke depan, yang juga harus diperhatikan presiden mendatang adalah penerapan Iptek di sektor pertanian untuk mendongkrak produksi beras. Ada beberapa alasan pembangunan SDM dan teknologi pertanian harus mendapat prioritas. Pertama, lebih dari 45 persen penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Kedua, sektor pertanian menghasilkan pendapatan nasional yang terbesar dibandingkan sektor-sektor lain. Ketiga, sektor pertanian adalah basic market, pasar dasar untuk industri nasional.

Keempat, sektor pertanian menyumbangkan pendapatan negara yang besar dalam bentuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penghasilan (PPh). Kelima, sektor pertanian menyumbangkan devisa yang signifikan melalui ekspor. Oleh karena itu, sangat penting bagi presiden selanjutnya untuk memprioritaskan pengembangan SDM dan Iptek di sektor pertanian.



Pendekatan Teknologi

Teknologi pertanian di Indonesia memang tertinggal dibanding negara-negara di kawasan. Hal itu tecermin dari produktivitas hasil pangan yang rendah. Untuk padi, produktivitas di Indonesia adalah sekitar 5 ton per hektare. Di negara lain sudah 10 ton per hektare. Ini harus ditingkatkan lagi, salah satunya dengan pendekatan teknologi.

Contoh lain adalah buah-buahan Indonesia yang tidak layak ekspor. Padahal, di bumi Indonesia ini, banyak jenis buah seperti mangga dan pisang, tapi sulit diekspor karena kualitasnya kurang memadai. Sebagai negara agraris, lahan pertanian Indonesia belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan pokok masyarakatnya.

Indonesia belum bisa keluar dari jeratan importasi bahan pangan sepanjang hampir 2013. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dalam kurun Januari hingga November 2013, Pemerintah Indonesia tercatat mengimpor lebih dari 17 miliar kilogram bahan pokok senilai 8,6 miliar dollar AS atau sekitar 104,9 triliun rupiah.

Ironisnya, sebagian bahan pangan yang diimpor Indonesia justru bisa dihasilkan di negeri sendiri, seperti kentang, teh, cengkeh, jagung, dan beras. Namun, permintaan domestik yang melampaui jumlah produksi pangan mendorong pemerintah untuk menerima ekspor dari negara lain.

Langkah tersebut diambil pemerintah guna menghindari adanya kelangkaan pangan di Tanah Air. Lantas, apa saja bahan pangan yang masih diimpor pemerintah? Komoditas bahan pangan yang diimpor Indonesia dalam kurun Januari–November 2013 antara lain beras (226,4 juta dollar AS dengan volume 432,8 juta kg), jagung (822,35 juta dollar AS dengan volume 2,8 miliar kg), kedelai (1 miliar dollar AS dengan volume 1,62 miliar kg), tepung terigu (74,9 juta dollar AS dengan volume 185,8 juta kg), gula pasir (44,4 juta dollar AS dengan volume 75,8 juta kg), gula tebu (1,5 miliar dollar AS dengan volume 3,01 miliar kg), dan daging ayam (30.259 dollar AS dengan volume 10.825 kg).

Pangan lainnya yang diimpor adalah garam (85,6 juta dollar AS dengan volume 1,85 miliar kg), minyak goreng (77,4 juta dollar AS dengan volume 84,7 juta kg), susu (772,4 juta dollar AS dengan volume 194,5 juta kg), bawang merah (38,9 juta dollar AS dengan volume 81,3 juta kg), bawang putih (333,3 juta dollar AS dengan volume 404,2 juta kg), kelapa (868.209 dollar AS dengan volume 835.941 kg), ubi kayu (38.380 dollar AS dengan volume 100.798 kg), dan kelapa sawit (2,4 juta dollar AS dengan volume 3,25 juta kg).

Sungguh ini membuat miris. Penduduk Indonesia sekitar 240 juta jiwa adalah pasar potensial untuk industri pangan. Bangsa ini seharusnya bisa menyediakan kebutuhan tersebut. Hal ini menjadi PR yang mendesak untuk dikerjakan pemerintah. Jika tidak dapat dipenuhi, identitas Indonesia sebagai negara agraris akan hilang.

Dengan konsep Jokowi memperbaiki irigasi dan waduk, dipastikan secara bertahap akan mampu mengurangi volume impor sejumlah komoditas. Lebih jauh, pemerintah di bawah kepemimpinan Jokowi akan membuat program nyata untuk swasembada pangan dan meningkatkan keinginan anak muda tertarik menjadi petani.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, tidak ada cara lain bahwa pemerintah mendatang perlu membangun fasilitas penelitian dan pengembangan (research and development/R&D) sektor pertanian di tiap-tiap kabupaten/kota. Fasilitas ini sifatnya harus public service, bisa diakses secara gratis.

Yang harus diingat, fasilitas R&D tersebut tidak boleh seragam. Harus local specific, sesuai potensi daerah masing-masing. Misalnya, daerah penghasil tebu, R&D harus terkait dengan teknologi pengembangan tebu. Untuk program ini, dibutuhkan perencanaan nasional yang khusus, tenaga peneliti yang disiapkan secara nasional, dan tentunya anggaran. Namun, untuk soal anggaran, tidak semua dibebankan pada pemerintah pusat karena daerahlah yang menjadi ujung tombak.

Secara bersamaan bisa juga memberdayakan pusat-pusat penyuluhan pertanian yang sudah ada. Sekarang pusat penyuluhan pertanian itu tidak berjalan, mangkrak. Ini bisa direvitalisasi untuk dijadikan R&D pertanian.

Jika hal tersebut dapat dijalankan secara simultan, tentu jika Jokowi terpilih menjadi presiden, importasi bahan pangan dapat ditekan. Ini juga akan menghemat devisa negara. Yang lebih membanggakan produksi pangan akan bertambah signifikan jumlahnya, dan ini akan membuka lapangan kerja. Semua itu pada ujungnya akan makin menyejahterakan para petani.


Oleh Dr Sutrisno Iwantono

Penulis adalah Presiden Kerja Sama Petani Asia (Asian Farmers Group for Cooperation)

http://www.koran-jakarta.com/?15358-pembenahan%20pertanian%20jokowi%20realistis