Sabtu, 30 Agustus 2014

Presiden Pro Petani

Sabtu, 30 Agustus 2014

SETIAP menjelang pemilu; petani, nelayan, dan keluarganya jadi komoditas seksi.
Pelaku politik mana pun tahu pertanian masih jadi rebutan 41 persen tenaga kerja Indonesia, dan ditekuni 26,13 juta rumah tangga petani (sekitar 104 juta jiwa). Orang kota penting, tetapi orang desa yang jumlahnya banyak jauh lebih penting. Siapa berhasil memikat petani dipastikan meraih banyak suara. Petani dan pertanian lumbung suara yang bisa menyediakan tiket bagi siapa pun untuk menduduki kursi presiden/wakil presiden.

Itu sebabnya tiap kampanye calon presiden/calon wakil presiden selalu mengangkat tema kebutuhan pokok, nasib petani, dan pangan sebagai isu utama. Namun, setelah pemilu, petani, nelayan, dan keluarganya biasanya ditinggalkan. Posisi mereka amat penting saat di bilik suara, tetapi begitu presiden/wapres terpilih daya tawar mereka turun drastis. Ini karena mekanisme one man one vote tak berlanjut dalam pengambilan kebijakan saat mereka berkuasa. Inilah pentingnya memilih presiden pro petani.

Kasus global
Sejarah mencatat ada sejumlah presiden pro petani. Pertama, Abraham Lincoln. Presiden ke-16 Amerika Serikat itu menjadi pemersatu Amerika. Ia membebaskan perbudakan di AS pada 1863. Bekas petani ini menilai pertanian menempati posisi khusus. Di hadapan Wisconsin State Agricultural Society, 30 September 1859, ia mengatakan: ”Agricultural fairs are becoming an institutions of the country. They are useful in more ways than more. They bring us together, and thereby make us better acquainted and better friends than we otherwise would be”.

Tak seperti sektor lain, bagi Lincoln, tak ada proses produksi yang secanggih sektor pertanian: padat ilmu dan teknologi, mulai dari awal sampai akhir. Lincoln memberi pelajaran pentingnya pertanian diurus di atas landasan hukum yang kuat. Pada 20 Mei 1862, ia menciptakan Homestead Act 1862, yang memberikan lahan 160 acre atau 65 hektar per kapling untuk petani. Homestead Act dipandang sebagai simbol demokrasi AS karena merombak struktur sosial warga. Per acre lahan dibayar 1,25 dollar AS.

Dana itu untuk membangun jalan kereta api yang menghubungkan Atlantik dan Pasifik. Di tahun sama, Lincoln melahirkan Morrill Land Grant College Act 1862. UU ini melandasi berdirinya universitas-universitas yang awalnya berbasis pertanian. Keberadaan perguruan tinggi di tiap negara bagian adalah hasil Morril Act. Dengan dua UU itu, Lincoln memberi modal tanah dan otak buat petani/pertanian (Pakpahan, 2012).

Kedua, Presiden AS Franklin D Roosevelt (FDR). Ia mewarisi depresi ekonomi (great depression) di awal 1930-an akibat Wall Street rontok. Pengangguran membengkak, puluhan ribu perusahaan dan bank tutup, puluhan ribu orang bunuh diri, serta petani sengsara. Kesengsaraan dan keputusasaan melanda seluruh negeri. Ia menawarkan agenda New Deal. Untuk melindungi petani, ia menciptakan Agriculture Adjustment Act (AAA) 1933. Tujuan utama, menyembuhkan pertanian dari guncangan depresi ekonomi, terutama harga komoditas pertanian yang sangat rendah. AAA jadi dasar perbaikan harga. Caranya, antara lain, petani dibayar untuk membatasi areal pertaniannya dan pemerintah membeli hasil peternakan.

Kemudian ia menciptakan Commodity Credit Corporation (CCC) pada 1933. Harga-harga komoditas pertanian kembali merayap naik. Antara 1933 dan 1937, harga komoditas pertanian meningkat dua kali lipat. Pada 1936, Mahkamah Agung AS menyatakan AAA ilegal. Namun, FDR tak surut langkah. Ia teguh dengan pendirian dan usahanya mengangkat harkat dan derajat the forgotten men, istilah untuk petani, buruh, dan orang kecil lain, serta menyelesaikan masalah makro secara keseluruhan.

Kini, luas lahan per petani di AS sekitar 200 hektar atau tiga kali luas lahan saat Homestead Act. Meski belum sembuh dari krisis keuangan, AS tetap negara adidaya, terutama di bidang pertanian (Pakpahan, 2004). Bahkan AS merupakan negara terkuat di bidang pertanian meski jumlah petaninya hanya 2 persen.

Ketiga, Presiden Taiwan era 1980-an, Lee Teng Hui. Ia doktor ekonomi pertanian tangguh lulusan Cornell University, AS. Bagi dunia pertanian, Lee dikenang karena memadukan pembangunan infrastruktur fisik dan regulasi di hampir semua kebijakan
ekonomi yang diambilnya. Infrastruktur irigasi, listrik, air bersih, jalan, jembatan, dan telekomunikasi jadi penghubung ekonomi aktivitas ekonomi yang efisien.

Secara khusus, ia meletakkan sektor pertanian sebagai basis ekonomi. Ia yakin pertanian mampu jadi pengganda tenaga kerja karena menciptakan keterkaitan ke depan dan ke belakang yang amat tinggi dengan sektor lain dan jadi pengganda pendapatan lewat penciptaan nilai tambah yang tinggi (pengolahan lewat agroindustri) sekaligus memacu produktivitas SDM.

Selain menyederhanakan prosedur pajak, Lee memberi akses yang seimbang kepada pelaku usaha kecil menengah (UKM) terhadap sumber pendanaan (perbankan dan nonbank) dan memangkas pungli. Usaha besar, terutama di bidang pertanian, terkait erat pada UKM, baik dalam pasokan bakan baku maupun dalam kelancaran arus distribusi barang dan jasa. Teknologi yang dibangun tidak asal high tech, tetapi didasarkan pada keunggulan komparatif dan kompetitif Taiwan. Lee berhasil metransformasi ekonomi Taiwan secara
mulus: dari berbasis pertanian
ke industri yang tangguh. Kini, Taiwan bersama Hongkong, Korea Selatan, dan Singapura jadi Asian Four Tigers. Lee menjadi contoh baik transformasi ekonomi.

BPS  mencatat, pertanian masih jadi gantungan hidup 40,83 persen warga. Sekitar 57 persen dari 63 persen warga miskin di pedesaan adalah petani. Di luar itu pengangguran pada 2014 masih 7,15 juta jiwa (5,7 persen), angka pengangguran terbuka 36,97 juta jiwa, sektor informal dominan dari struktur tenaga kerja (65 persen), dan angka kemiskinan 28,28 juta orang (11,25 persen). Jumlah penduduk defisit energi 30 juta jiwa dan prevalensi anak kerdil sekitar 40 persen, lingkungan hidup makin rusak, kesenjangan ekonomi makin menganga, daya saing ekonomi melemah, dan kualitas hidup masyarakat jauh tertinggal. Berapa tahun lagi ketertinggalan itu bisa diselesaikan? Pilpres memberi harapan perubahan. Namun, itu tergantung dari langkah presiden terpilih nantinya.

Tiga syarat
Belajar dari tiga presiden pro petani di atas, untuk kasus Indonesia, seorang presiden (terpilih) bisa disebut pro petani apabila mau dan mampu melakukan tiga hal berikut. Pertama, merombak struktur sosial warisan kolonialisme. Distribusi dan penguasaan sumber daya agraria (lahan) makin timpang. Ini berujung pada konflik agraria yang akut, kemiskinan pedesaan, dan terbatasnya lapangan pekerjaan pedesaan. Tidak cukup reforma agraria, presiden terpilih juga harus mengidentifikasi, menginventarisasi, dan merevisi peraturan perundang-undangan yang masih mengakar/bersumber/berjiwa kolonialisme dan feodalisme.

Kedua, membuat UU Perlindungan Petani (setara AAA). UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang ada jauh dari memadai. Usaha pertanian berisiko besar. Ketika terjadi bencana alam, hama dan penyakit negara harus menjamin petani tidak menderita.

Lewat UU ini negara perlu menjamin bahwa struktur pasar yang jadi fondasi pertanian, baik dalam negeri maupun internasional, merupakan struktur pasar yang adil. Selain itu, semua hal yang menambah biaya eksternal bagi petani, menurunkan harga riil produk pertanian, dan struktur yang menghambat kemajuan pertanian, perlu landasan hukum yang kuat agar perlindungan petani dapat dilaksanakan sebagai kewajiban dari negara.

Ketiga, UU Restrukturisasi Industri. Pertanian harus dijadikan basis ekonomi dan batu pijak pengembangan industri. Sejarah industrialisasi di Indonesia adalah industri yang memeras petani. Industrialisasi justru menyebabkan pemiskinan sektor pertanian. Pembangunan ekonomi lebih menguntungkan sektor industri/perkotaan. Implikasinya, industrialisasi menyebabkan ketimpangan yang lebar antara sektor pertanian dan industri atau juga meningkatnya ketimpangan wilayah pedesaan dengan wilayah perkotaan. Melalui UU ini, presiden terpilih harus mendorong berkembangnya industri berbasiskan pertanian.

Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia;
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)

https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1778453295742421775#editor/target=post;postID=984407646279067597

Jumat, 29 Agustus 2014

SUBSIDI BBM KEBIJAKAN POPULER

Jumat, 29 Agustus 2014

SIAPA bilang keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi adalah kebijakan tak populer. Langkah rasional menjadi langkah populer jika ditujukan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Yang penting, presiden sendiri yang mengumumkan dan menjelaskan secara jujur dan gamblang mengenai program yang menyejahterakan rakyat itu.

Selama ini anggapan yang jamak bahwa menaikkan harga BBM bersubsidi adalah kebijakan tak populer. Sebab, langkah ini akan memicu gejolak sosial, menaikkan angka kemiskinan, dan biaya hidup meningkat alias inflasi. Dijamin langkah ini menjadi komoditas politik paling empuk.

Paradigma tersebut akhirnya menjadi bayangan ketakutan para pemimpin. Ketakutan ini sejujurnya beralasan sepanjang realokasi anggaran subsidi BBM tidak benar-benar tertuju ke jantung-jantung beban rakyat, seperti kesehatan, pendidikan, kemiskinan, transportasi, dan infrastruktur dasar.

Paradigma ”kenaikan harga BBM bersubsidi tak populer” menyebabkan solusi persoalan subsidi BBM yang sudah jelas dan final dari nalar ekonomi selalu tersesat di lorong politik. Alhasil, persoalan menjadi berlarut-larut hingga menyebabkan komplikasi perekonomian yang luas dan dalam.

Paparan soal komplikasi tersebut sudah terlalu banyak dikemukakan. Intinya, besarnya subsidi BBM merugikan perekonomian Indonesia, merugikan rakyat.

Pemangku kepentingan juga sudah paham solusi mengatasi subsidi, yakni dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Kini saatnya mengambil tindakan, bukan lagi berwacana atau membuat rekomendasi. Ketakutan mengambil solusi semata-mata dikonstruksi oleh paradigma lawas tersebut.

Karena itu, obat generiknya adalah mendekonstruksi paradigma ”tidak populer itu”, terutama mulai dari presiden. Paradigma baru itu adalah menaikkan harga BBM bersubsidi adalah langkah populer. Sebab, menaikkan harga BBM bersubsidi akan menciptakan ruang fiskal yang bisa membiayai berbagai program populer. Setiap kenaikan harga BBM subsidi Rp 1.000 per liter akan memberikan tambahan ruang fiskal Rp 48 triliun.

Tidak disangkal bahwa setiap kenaikan harga BBM subsidi Rp 1.000 per liter juga akan menambah inflasi 1,2 persen. Namun, masyarakat miskin yang akan paling merasakan dampak inflasi bisa diberi insentif berupa bantuan langsung tunai selama tiga bulan sebagaimana terjadi selama ini. Pemerintah bersama Bank Indonesia juga bisa ketat mengendalikan inflasi agar tidak liar.

Katakan, presiden menaikkan harga BBM subsidi Rp 2.000 per liter. Jika ditambah dengan realokasi belanja kementerian dan lembaga negara yang masih boros serta peningkatan penerimaan negara, tak mustahil akan ada tambahan ruang fiskal sedikitnya Rp 200 triliun. Dana tambahan itu bisa untuk membuat berbagai program populer.

Apakah membangun puskesmas tak populer? Apakah membangun pelabuhan dan bandar udara tak populer? Apakah mengalokasikan dana desa separuh dari amanat undang-undang pada 2015 tak populer? Apakah membangun rumah rakyat tak populer. Apakah memberikan subsidi langsung kepada petani dan nelayan tak populer?

(FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140829kompas/#/21/

Rabu, 27 Agustus 2014

Konsumsi & Impor Beras RI Tentukan Cadangan Dunia

Rabu, 27 Agustus 2014

JAKARTA – Kenaikan konsumsi dan impor beras Indonesia dinilai sudah sangat mengkhawatirkan. Bahkan, akibat kebergantungan yang tinggi terhadap impor beras, Indonesia kini menjadi importir terbesar yang menentukan posisi pasokan beras dunia. Tahun ini, volume impor beras Indonesia diperkirakan antara 500 ribu–1,5 juta ton. Dan, pada pertengahan bulan ini, Badan Urusan Logistik (Bulog) telah mendatangkan 50 ribu ton beras dari Vietnam.

Fenomena ini menyebabkan Indonesia sulit keluar dari jebakan impor pangan karena program diversifikasi pangan yang seharusnya diarahkan kepada jagung, ketela, dan sorgum gagal akibat diabaikan pemerintah. Diversifikasi pangan justru mengarah pada terigu. Rata-rata impor pangan Indonesia kini mencapai 110 triliun rupiah per tahun.

Akibatnya, kebergantungan pada impor pangan menyebabkan rakyat Indonesia menjadi celaka dua kali, yakni bukan saja menjadi importir terbesar beras dunia, tetapi juga menjadi importir terbesar terigu. Kenyataan ini sangat berbahaya bagi perkembangan pertanian nasional karena terigu yang tidak bisa diproduksi di Indonesia telah menjadi makanan pokok.

Demikian diungkapkan Guru Besar Sosial Ekonomi Pertanian UGM, Yogyakarta, Dwidjono Hadi Darwanto, ketika dihubungi, Selasa (2/8). Dia memaparkan bahwa pola fluktuasi ketersediaan beras dunia hampir mirip dengan fluktuasi kebutuhan impor Indonesia.

“Impor Indonesia, menurut penelitian yang saya lakukan, berkontribusi 30 persen terhadap fluktuasi harga dunia. Jadi, bukan pasokan kita yang memengaruhi fluktuasi ketersediaan dan harga beras dunia, tapi permintaan kita. Jadi, impor Indonesia sangat menentukan ketersediaan dunia. Misalnya, Indonesia bilang akan impor tahun depan, harga di pasaran dunia langsung naik,” jelas Dwidjono.

Kondisi seperti itu, menurut Dwidjono, sangat mengkhawatirkan karena pasokan beras Indonesia sangat bergantung pada stok dunia yang tipis. Untuk itu, seharusnya pemerintah berpikir bagaimana meningkatkan produksi nasional, bukan malah terus memfasilitasi impor.

“Yang pertama yang bisa ditempuh adalah peningkatan sarana-prasarana. Sekitar 14 persen faktor produktivitas ditentukan oleh ketersediaan irigasi. Padahal, irigasi kita lebih dari 56 persen rusak. Dan beberapa tahun ini tidak ada perbaikan.”

Sementara itu, di sisi petani, lanjut Dwidjono, untuk saluran tersier yang langsung ke lahan petani juga rusak parah. Padahal, pemerintah telah menyerahkan perawatannya kepada petani sehingga hal ini makin memberatkan petani. “Bagaimana petani bisa maju kalau beban makin berat,” tegas dia.

Selanjutnya, teknologi petani juga tidak pernah diperhatikan pemerintah. Petani bisa memproduksi pupuk organik, tetapi pemerintah justru memberikan subsidi kepada pabrikan pupuk organik. Padahal, kebutuhan pupuk organik di masing-masing daerah berbeda sesuai dengan kondisi tanahnya masing-masing.

“Tetapi dengan satu pabrikan yang disubsidi pemerintah, semua daerah diberi pupuk yang sama,” ujar Dwdjono.

Angka ramalan satu (Aram I) produksi padi 2014 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Juli 2014 menyebutkan produksi padi pada 2014 diperkirakan 69,87 juta ton, atau turun 1,41 juta ton (1,98 persen) dibanding produksi pada 2013.

Anjloknya produksi diperkirakan karena penurunan luas panen dan produktivitas masing-masing sebesar 265,31 ribu hektare (1,92 persen) dan 0,03 kuintal per hektare (0,06 persen).

Aram I juga memberi konfirmasi target ambisius pemerintah untuk mewujudkan surplus beras 10 juta ton pada tahun ini mustahil tercapai. Soalnya, berdasarkan hitung-hitungan pemerintah, surplus beras 10 juta ton hanya bisa direngkuh bila produksi padi mencapai 76,57 juta ton.

Kurang Komitmen

Sementara itu, pengamat ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Rina Oktaviani, menambahkan pemerintah saat ini kurang memiliki komitmen politik yang tinggi bagi peningkatan usaha pertanian. Akibatnya, petani tidak dapat berkembang. Padahal, semua konsep pengembangan pertanian sebenarnya sudah ada, tinggal bagaimana komitmen untuk mengimplementasikan. Itu masih sulit ditemukan,” jelas dia.

Menurut Rina, sesungguhnya konsep strategis pertahanan nasional itu bukan semata terlihat dari modernisasi alat utama sistem persenjataan, tapi bagaimana sebuah bangsa bisa makan sendiri, bukan bergantung pada bangsa lain. “Memang tidak ada negara yang tidak impor pangan. Tapi, kalau sudah lebih dari 40 persen, itu sangat berbahaya,” ungkap dia.

Sementara itu, janji presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) untuk mencetak sawah 1 juta hektare per tahun diharapkan jangan hanya sebatas wacana yang bagus, tapi tidak menjadi kenyataan.

Apalagi, kabar yang beredar menyebutkan bahwa Kementerian Kehutanan akan mengalihkan 10 juta hektare kawasan hutan menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI). Luas HTI ini hampir sama dengan luas gabungan 3 provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur atau sedikit lebih luas dari Provinsi Papua Barat. Realisasi kebijakan yang seketika dinilai sulit dilaksanakan sehingga aturan itu disinyalir hanya sebagai bagi-bagi jatah di masa transisi pemerintahan. YK/ers/WP

http://www.koran-jakarta.com/?18868-konsumsi-impor-beras-ri-tentukan-cadangan-dunia

Selasa, 26 Agustus 2014

Dirut Bulog: Kembangkan Diversifikasi Berbasis Pangan Lokal

Selasa, 26 Agustus 2014

Jakarta, (Analisa). Dirut Perum Bulog Sutarto Alimoeso menyatakan program diversifikasi atau penganekaragaman pangan harus berbasis pangan lokal bukan justru bahan pangan impor.

Menurut dia di Jakarta, Senin, pengembangan diversifikasi berbasis pangan lokal merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan oleh pemerintah, apalagi di Indonesia banyak terdapat sumberdaya alam pendukungnya.

“Harus ada kemauan (mengembangkan berbasis pangan lokal) bersama-sama. Selain itu Diversifikasi berbasis pangan lokal harus diperkenalkan sejak dini,” katanya.

Mantan Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian itu mengungkapkan sejumlah komoditas pangan lokal yang bisa dimanfaatkan sebagai program penganekaragaman pangan pokok selain beras seperti ganyong, jagung, ubi, singkong dan waluh.

Sutarto menyayangkan program diversifikasi pangan yang terjadi selama ini justru mengganti beras dengan mengonsumsi makanan berbasis gandum yang merupakan komoditas impor, yang dampaknya justru meminggirkan pangan lokal.

Kondisi tersebut, tambahnya, terlihat dari tingkat konsumsi gandum yang meningkat sangat drastis yakni mencapai 7 juta ton dalam waktu 30 tahun.

“Pikiran kita ‘diracuni’ oleh para pelaku (usaha gandum). Gandum baru 30 tahun lalu dikenalkan secara masif namun konsumsinya sudah hampir 7 juta ton,” katanya.

Sutarto menegaskan, diversifikasi pangan berbasis pangan lokal bukan berarti mengganti total beras dengan komoditas pangan tersebut namun memanfaatkannya pada saat-saat tertentu.

Dia mencontohkan, dalam sehari masyarakat bisa makan dengan beras dua kali sedangkan yang sekali dengan bahan pangan lain baik ubi, singkong atau jagung.

“Atau dalam seminggu bisa menggunakan waktu dalam sehari tidak mengonsumsi beras namun pangan pokok yang lain,” katanya. (Ant)

http://analisadaily.com/news/read/dirut-bulog-kembangkan-diversifikasi-berbasis-pangan-lokal/57905/2014/08/26

Senin, 25 Agustus 2014

Selamatkan Varietas Padi Lokal

Senin, 25 Agustus 2014

BANDUNG, KOMPAS — Varietas padi lokal Indonesia butuh penyelamatan. Dari perkiraan ribuan varietas yang pernah berkembang, kini hanya ratusan varietas yang bertahan. Jika dibiarkan, akan menjadi kehilangan besar bagi dunia pertanian di Indonesia.
”Pendataan yang kami lakukan ada 125 varietas yang bisa diselamatkan. Perhatian minim terhadap varietas lokal membuatnya tidak banyak digunakan dan dipertahankan,” kata perwakilan dari Pengurus Nasional Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia, Rokhiman, di Festival Padi Nusantara, di Bandung, Minggu (24/8).

Rokhiman mengatakan, keprihatinan itu membuat pihaknya ingin menyelamatkan varietas benih lokal tersebut. Setelah dikumpulkan, dengan mekanisme penyimpanan yang baik, kualitas benih itu selanjutnya bisa dipertahankan 10-15 tahun. Varietas benih itu di antaranya rojolele, mencrit, dan menthik susu.

Hal ini memberikan banyak waktu bagi pemulia benih
untuk mengawinkan benih padi kualitas terbaik. Setidaknya
ada beberapa hasil perkawinan benih padi lokal yang terbukti memberikan hasil panen ideal karena mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan di Indonesia.

”Di antaranya varietas IF (Indonesia Farmer) 8 yang dikembangkan di Mojokerto, Jawa Timur, dengan potensi panen hingga 13,76 ton per hektar. Ada juga varietas IF 9 dan IF 10 yang menghasilkan 10-11 ton per hektar saat ditanam di Lamongan, Jawa Timur, dan Indramayu, Jawa Barat,” katanya.

Belum didukung
Menurut Rokhiman, potensi ini belum sepenuhnya mendapatkan dukungan pemerintah. Padahal, jika benih ini terus dipromosikan dan dikembangkan, ia yakin petani Indonesia akan jauh lebih sejahtera.

Banyak varietas padi lokal Indonesia, kata Rokhiman, lebih tahan hidup di daerah rawa, tumbuh subur pada musim kemarau atau tahan hidup di kawasan minim air, tidak mudah terserang hama, hingga jauh lebih hemat biaya produksinya.

”Kreativitas petani mendapatkan benih berkualitas ini merupakan aset berharga bagi Indonesia. Semoga pemerintahan yang baru mau memperhatikan masalah pertanaman padi ini,” katanya. (CHE)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140825kompas/#/22/

Sabtu, 23 Agustus 2014

Padi Lokal Lebih Tahan terhadap Hama

Sabtu, 23 Agustus 2014

BANDUNG, KOMPAS — Mayoritas petani di Indonesia tidak lagi menggunakan benih padi lokal. Padahal, padi lokal jauh lebih kuat menghadapi serangan hama dan tahan hidup di kawasan minim air.
”Sebagian besar petani enggan menggunakan padi lokal karena enggan menunggu hasil panen yang lebih lama, hingga enam bulan. Jika menggunakan benih padi buatan pabrik, mereka bisa panen dalam empat bulan,” kata petani di Karangjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Uho Buchori, pada Festival Padi Nusantara di Bandung, Jawa Barat, Jumat (22/8).

Uco mengatakan, keengganan petani menggunakan bibit lokal sangat disayangkan. Saat petani diuji perubahan iklim dan serangan hama, padi lokal bisa menjadi alat pertahanan yang ideal. Berdasarkan pengalaman petani di Tasikmalaya, benih lokal jauh lebih tahan hama dan hidup dengan sedikit pasokan air.

Padi lokal punya siklus hidup enam bulan sebelum panen. Siklus hidup lebih lama ini membuat daya tahan terhadap hama atau minim air sangat kuat.

Selain tahan hama dan tidak terlalu banyak butuh air, keuntungan ekonomi beras lokal jauh lebih tinggi. Petani padi lokal organik asal Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Sidiq Pamungkas, mengatakan, untuk 1 hektar lahan sawah padi konvensional biasanya dibutuhkan biaya Rp 8 juta-Rp 9 juta. Saat panen, sawahnya hanya menghasilkan maksimal sekitar 6,4 ton beras yang laku dijual Rp 8.000 per kilogram.

”Biaya yang dikeluarkan menanam padi lokal, terutama dikembangkan secara organik, hanya membutuhkan Rp 6 juta-Rp 7 juta per hektar. Namun, saat panen bisa menghasilkan hingga 8 ton per hektar. Berasnya laku dijual Rp 11.500-Rp 25.000 per kilogram,” katanya.

Hama belalang

Puluhan hektar tanaman padi dan jagung di sejumlah daerah di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, terserang hama belalang sejak beberapa minggu terakhir. Hama belalang itu diperkirakan dapat semakin meluas.

Lajuardi (40), petani di Dusun Ulak Medang, Desa Ulak Medang, Kecamatan Muara Pawan, Ketapang, Jumat, menuturkan, hama belalang sering terjadi di daerah itu sejak puluhan tahun lalu. Hama belalang tahun ini awalnya menyerang ladang masyarakat di daerah pedalaman, antara lain Kecamatan Kendawangan dan Marau.

Kepala Bidang Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten Ketapang Humaidi mengklaim, pihaknya terus berupaya membasmi hama belalang dengan memberikan bantuan pestisida kepada petani. (CHE/ESA)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140823kompas/#/22/

Kamis, 21 Agustus 2014

Beras Vietnam Mulai Masuk Pasar Lokal

Rabu, 20 Agustus 2014

Sebanyak 9.500 ton beras impor dari Vietnam akan memasuki Sumatera Utara bulan ini (Agustus) untuk memperkuat stok bahan pangan utama di daerah itu dan sekitarnya.

"9.500 ton beras yang masuk ke Pelabuhan Belawan itu merupakan sebagian dari 50.000 ton total impor secara nasional di bulan Agustus ini," kata Kepala Perum Bulog Divre Sumut Fasika Khaerul Zaman di Medan, Rabu.

Secara total Sumut sendiri mendapat jatah 65.000 ton dari 500.000 ton total beras yang akan diimpor Bulog sesuai Surat Menteri Perdagangan RI tanggal 20 Juni 2014. Bulog akan mengimpor beras itu dari India, Kamboja, Myanmar, Thailand dan Vietnam.

Dia tidak bisa memastikan, kapan tanggal masuknya beras impor asal Vietnam itu ke Pelabuhan Belawan dengan alasan impor itu dilakukan Pusat.

Namun sesuai hasil Rapat Koordinasi Terbatas Bidang Perekonomian tentang Kebijakan Stabilisasi Pangan di Jakarta 10 Juni lalu dan berdasarkan Surat Menteri Perdagangan 20 Juni lalu tentang Izin Impor Beras Bulog sebanyak 500.000 ton, pasokan beras tersebut akan dilakukan secara bertahap yang dimulai pada Agustus ini.

Dia menjelaskan, kebijakan impor tersebut untuk menjaga kestabilan pasokan beras di dalam negeri. Langkah itu dinilai semakin perlu karena berdasarkan angka ramalan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional turun 1,98 persen atau menjadi tinggal 69,87 juta ton dari tahun lalu yang mencapai 71,28 juta ton.

Perkiraan produksi beras oleh BPS itu lebih rendah dari target produksi Pemerintah yang sebesar 73 juta ton. Selain produksi yang diramalkan menurun, pengadaan beras Bulog di dalam negeri juga lebih rendah dari tahun lalu.(ANTARA)

http://geotimes.co.id/bisnis/bisnis-news/perdagangan/8378-beras-vietnam-mulai-masuk-pasar-lokal.html

Mendag Izinkan, Bulog Impor Beras 500.000 Ton

Rabu, 20 Agustus 2014

MEDAN - Berdasarkan hasil Rapat Koordinasi Terbatas Bidang Perekonomian tentang Kebijakan Stabilisasi Pangan pada 10 Juni 2014 lalu di Jakarta, dan Sesuai Surat Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 797/M-DAG/SD/6/2014 tanggal 20 Juni 2014, maka Perum Bulog diberikan Izin Impor Beras sebanyak 500.000 ton yang didatangkan dari Negara India, Kamboja, Myanmar, Thailand dan Vietnam.

Kepala Perum Bulog Divre Sumut Fasika Khaerul Zaman mengatakan, bahwa jumlah tersebut akan dilakukan secara bertahap sesuai kebutuhan. tahap pertama pada bulan Agustus 2014 sebanyak 50.000 ton dari Vietnam.

"Kebijakan impor tersebut untuk menjaga kestabilan pasokan beras di dalam negeri, apa lagi produksi gabah turun berdasarkan angka ramalan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, secara Nasional BPS menyatakan bahwa produksi beras akan mencapai 69,87 juta ton atau turun 1,98 persen dibanding tahun lalu sebanyak 71,28 juta ton," jelas Khaerul, Rabu (20/8/2014),

Menurutnya, perkiraan produksi ini lebih rendah dari 4,48 persen dibanding target produksi Pemerintah sebesar 73 juta ton, dimana angka ramalan pertama diperoleh dari penghitungan produksi riil selama Januari hingga April ditambah angka Mei hingga Desember 2014.

Selain produksi yang diramalkan menurun, pengadaan beras Bulog di dalam negeri lebih rendah dibanding tahun lalu, data Bulog menyebutkan Pengadaan Beras hingga 18 Juli 2014 mencapai 1,86 juta ton atau lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu sebanyak 2,42 juta ton.

"Serapan ini sudah cukup besar mengingat produksi beras tahun ini diramalkan turun," ujarnya.

Khaerul menuturkan, harga gabah dan beras juga jauh di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Dari rencana impor beras Tahap Pertama tersebut, dalam waktu dekat ini diperkirakan akan masuk melalui Pelabuhan Belawan sebanyak 9.500 ton yang diangkut Kapal MV. Truong Minh Star, serta stock tersebut nantinya akan disebar ke Propinsi lainnya.

"Dalam waktu dekat, kita perkirakan akan masuk sebanyak 9.500 ton beras yang diangkut Kapal MV. Truong Minh Star melalui Pelabuhan Belawan, stock tersebut nantinya akan disebar ke Propinsi lainnya," tuturnya. (rzk)


http://economy.okezone.com/read/2014/08/20/320/1027484/mendag-izinkan-bulog-impor-beras-500-000-ton

Rabu, 20 Agustus 2014

Ini Dia Alasan Pemerintahan Baru Harus Merombak Direksi Perum Bulog

Rabu, 20 Agustus 2014

DUKUNGAN kepada Barisan Rakyat Anti Korupsi (Barak) untuk terus menggulirkan desakan kepada pemerintahan baru yang tak lama lagi segera dilantik, agar merombak Direksi Perum Bulog, terus mengalir. Belakangan, sejumlah aktivis Banten Menggugat Kejahatan Raskin (Bem Keras), mendatangi Saung Barak di Kelurahan Cilowong, Taktakan, Kota Serang-Banten. Kedatangan para aktivis itu tak lain menyatakan kesiapan untuk bersama-sama mendesak pemerintahan baru mencopot Direksi Perum Bulog yang tidak pro rakyat tani nasional dan tidak mampu menyediakan Raskin yang layak bagi masyarakat penerima manfaat.

Barak dan sejumlah organisasi pendukung lainnya memiliki fakta tak terbantahkan soal buruknya kinerja Direksi Perum Bulog dalam menyediakan beras bagi kebutuhan masyarakat penerima manfaat Raskin. Berikut ini beberapa fakta yang belakangan ini terus mengemuka;

Pada Kamis (14/8/2014), Perum Bulog Subdivre Lebak-Pandeglang menyalurkan 53.760 kilogram beras Raskin bercampur dedek bagi masyarakat penerima manfaat di Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten. Beras itu berasal dari Gudang Malingping, Kabupaten Lebak-Banten.

Sebelumnya, Perum Bulog Subdivre Lebak-Pandeglang juga menyalurkan beras Raskin Tidak Memenuhi Syarat (TMS) Inpres Perberasan, karena berwarna kuning dan berdebu. Raskin itu disalurkan kepada masyarakat penerima manfaat di Desa Hegarmanah, Kecamatan Penggarangan, Kabupaten Lebak-Banten.

Tak hanya di Kabupaten Lebak dan Pandeglang, persoalan buruknya kualitas Raskin juga di keluhkan oleh Kepala Kelurahan Labuh Baru Barat, Kecamatan Payung Sekaki, Kota Pekanbaru-Riau, Lukman Hakim. Diakuinya, banyak masyarakat penerima manfaat yang komplain soal buruknya kualitas Raskin, seperti berkutu dan bau apek.

Buruknya kualitas Raskin juga sempat membuat Bupati Garut berang saat melakukan inspeksi mendadak digudang Bulog Garut, lantaran kualitasnya sangat jelek. Tapi meskipun Bupati sempat marah, namun tetap saja Perum Bulog setempat menyalurkan beras yang TMS Inpres Perberasan. Seperti halnya yang diterima warga Desa Tarogong, Kecamatan Tarogong Kidul, Garut-Jabar. Mereka menerima Raskin berwarna kekuning-kuningan dan berbau tidak sedap.

Sebelumnya, warga tujuh Desa, di Kecamatan Ulim, Kabupaten Pidie Jaya, Nanggroe Aceh Darussalam, mengeluhkan beras Raskin yang dinilai tidak layak konsumsi karena bercampur dedak dan berwarna kekuning-kuningan serta yang mengeluarkan bau tidak sedap.

Kemudian, Selasa (19/8/2014) kemarin, sekitar 120 orang massa aksi dari Forum Masyarakat Peduli Raskin (FMPR) Lebak, Banten, menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Bulog Subdivre Lebak-Pandeglang. Mereka menuntut perbaikan kualitas dan kuantitas Raskin, serta evaluasi terhadap kinerja Kepala Subdivre setempat.

Beberapa persoalan diatas hanyalah secuil dari segunung permasalahan ditubuh Perum Bulog. Anehnya, persoalan-persoalan diatas selalu saja berulang terjadi dan seakan tak terkoreksi. Karena anehnya, meski kasus-kasus itu diketahui oleh Direksi Perum Bulog, namun seakan tidak mendapat tanggapan untuk dilakukan perbaikan. Jangankan untuk mengenakan sanksi berat kepada para pejabatnya yang lalai, bahkan “sengaja” mempermainkan hak masyarakat miskin, sekedar untuk melakukan sidak pun mungkin tidak dilakukan. Buktinya, para pejabat yang selama ini dikritisi habis-habisan karena kinerjanya yang buruk, masih menguasai kursi empuk yang dibeli dari uang rakyat miskin.

Belum lagi persoalan impor beras disaat produksi dalam negeri mengalami surplus, dan “dikuranginya” Letter of Credit (LC) untuk pembelian gabah petani lokal dengan alasan tidak ada anggaran. Sementara disaat yang sama, Perum Bulog justeru mengalokasikan anggaran sekitar Rp.1,4 triliun untuk mengimpor beras petani asing sebanyak 500.000 ton. Padahal, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir, bahwa produksi padi tahun 2013 kemarin saja mencapai 71.279.709 ton dengan produktivitas sebesar 51,52. Produksi padi tersebut mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yang sebesar 69.056.126 ton dengan produktivitas sebesar 51,36. Kenyataan tersebut menjadi deskripsi sepintas mengenai besarnya produksi beras Indonesia.

Merujuk pada sejumlah fakta yang mengemuka itulah, makanya Barak Barak dan sejumlah organisasi pendukung lainnya mendesak pemerintahan baru yang akan segera dilantik, agar merombak Direksi Perum Bulog saat ini, dan menempatkan figur-figur yang pro Gakin dan rakyat tani nasional, agar hak-hak dasar masyarakat penerima manfaat Raskin dan rakyat tani nasional terlindungi. ***

Danil’s
Penulis adalah: Koordinator Nasional Barisan Rakyat Anti Korupsi (Barak), dan
Pemred Barak Online Group

http://beritabarak.blogspot.com/2014/08/ini-dia-alasan-pemerintahan-baru-harus.html

Kedaulatan Pangan Perlu Perhatikan Benih

Selasa, 19 Agustus 2014

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar ekologi dari India Vandana Shiva mengatakan, kedaulatan pangan suatu bangsa termasuk Indonesia juga perlu memperhatikan aspek pengelolaan benih sebagai sumber produksi pangan bagi anggota masyarakat.

"Benih memegang peranan penting karena memiliki manfaat yang besar, seperti bila terjadi bencana atau kegagalan tanam maka benih mampu menyelamatkan manusia dari kelaparan," kata Vandana Shiva dalam dialog tentang pangan yang digelar Yayasan Kehati di Jakarta, Selasa (19/8).

Menurut dia, Indonesia yang memiliki potensi pangan yang melimpah seharusnya telah dapat mencapai kedaulatan pangan.

Untuk itu, ia mengimbau agar paradigma pertanian mengembalikan petani kembali sebagai pengembang benih agar pengelolaan benih dapat dilakukan dengan baik oleh warga masyarakat di tingkat lokal.

Selain itu, lanjutnya, pengelolaan benih yang baik juga harus memperhatikan faktor keanekaragaman hayati yang dinilai akan menciptakan keseimbangan dan keselarasan dengan alam.

Sedangkan Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Dwi Andreas Santoso berpendapat, keberpihakan kebijakan yang ada terhadap petani masih kurang karena aturan yang ada malah menghambat petani dalam pengelolaan benih secara lokal.

Untuk itu, tegasnya, agar mencapai kedaulatan pangan maka keberpihakan terhadap petani harus ditingkatkan sehingga dapat pula tercipta pertukaran benih lokal secara global dengan petani di berbagai penjuru dunia.

Sementara Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin mengemukakan, pemerintah perlu membuat peraturan atau lembaga yang berwenang untuk melindungi kepentingan masyarakat luas akan pengelolaan benih.

Sedangkan Officer Pertanian Yayasan Kehati Puji Sumedi menyebutkan bahwa pengelolaan benih melalui masyarakat merupakan suatu keniscayaan.

Puji juga menyatakan perlunya mengombinasikan antara kearifan lokal dan aplikasi teknologi modern guna meningkatkan keharmonisan seperti dalam hal pengelolaan benih.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/14/08/19/nak0ua-kedaulatan-pangan-perlu-perhatikan-benih

Selasa, 19 Agustus 2014

Ratusan Massa Geruduk Kantor Bulog Subdivre Lebak-Pandeglang

Selasa, 19 Agustus 2014

Tuntut Direksi Perum Bulog Evaluasi Kinerja Kasubdivre

Banten_Barakindo- Ratusan massa yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat, menggelar aksi demostrasi di depan kantor Perum Bulog Subdivre Lebak-Pandeglang, di Kecamatan Warung Gunung, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, Selasa (19/8/2014). Sekitar 120 orang massa aksi itu menamakan diri sebagai Forum Masyarakat Peduli Raskin (FMPR).

Massa mendesak Kepala Bulog Subdivre Lebak-Pandeglang mengundurkan diri lantaran dinilai tidak mampu memperbaiki kualitas beras miskin (Raskin).

Aksi masa kali ini dikawal ketat oleh sekitar 50 orang aparat Kepolisian dari Polres Lebak. Sepanjang aksi, massa terus meneriakan yel-yel dan tuntutannya untuk didengar oleh para pejabat Perum Bulog dan Bupati Lebak, Hj. Iti Jaya Baya.

Koordinator Lapangan massa aksi, Firman menuntut, agar Tikor pusat, provinsi dan Kabupaten Lebak, segera melakukan monev terhadap kualitas dan kuantitas beras Raskin. Selain itu, FMPR juga meminta Tikor Raskin  memperkuat sistem pengawasan, agar tidak terjadi penyimpangan kualitas dan kuantitas Raskin.

“Kami pun meminta Perum Bulog pusat segera mengevaluasi kinerja Kepala Bulog Subdivre Lebak, karena gagal melaksanakan tanggungjawabnya,” ujar koordinator FMPR, Firman Alamsyah dalam aksinya.

Firman juga menegaskan, Bupati Lebak harus bertanggungjawab mengevaluasi dan memberikan rekomendasi penilaian kinerja Kasubdivre Lebak secara transparan. Bupati Lebak, lanjutnya, harus menolak penyaluran Raskin yang berkualitas jelek dan kurang takaran. “Bupati Lebak harus memberikan sanksi tegas kepada Bulog Subdivre Lebak yang melakukan pendistribusian Raskin pada malam hari,” jelasnya.

Aksi kali ini ditengarai sebagai buntut dari disalurkannya beras Raskin berkualitas buruk (Tidak Memenuhi Syarat) diwilayah Kabupaten Lebak bagian selatan beberapa waktu lalu.

Dipihak lain, Koordinator Barisan Rakyat Anti Korupsi (Barak), Danil’s, meminta Direksi Perum Bulog segera mencopot Kepala Bulog Subdivre Lebak, Herman Sadiq. “Kalau Kasubdivre “kontroversial” itu tidak segera di copot, maka kami khawatir akan ada aksi-aksi lanjutan yang lebih dahsyat. Dan bahkan bukan tidak mungkin, massa aksi akan datang ke Jakarta dan menduduki kantor Perum Bulog Pusat,” tandasnya. (Redaksi)*

Kegagalan Kebijakan Pangan

Senin, 18 Agustus 2014

Badan Pusat Statistik (BPS) melansir data impor yang sangat mengejutkan. Dalam kurun 10 tahun, impor produk pertanian Indonesia melonjak hingga empat kali lipat. Tahun 2003, impor produk pertanian US$ 3,34 miliar, namun pada 2013 sudah menyentuh US$ 14,9 miliar.

Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, Adi Lumaksono mengatakan, negara mengeluarkan banyak uang untuk mengimpor produk-produk pertanian dari luar negeri. “Hal ini tentu memprihatinkan. Banyak mata uang dolar yang dikeluarkan untuk membeli produk pertanian dalam negeri," ucap Adi, pekan lalu.

Ketua Serikat Petani Seluruh Indonesia (SPI), Henry Saragih menyatakan, lonjakan drastis impor menjadi warisan masalah kebijakan pangan yang sangat buruk bagi pemerintahan baru. Ia menegaskan, sebagai negara pertanian, seharusnya pemerintah membuat kebijakan yang berpihak ke pertanian, bukan justru mengabaikannya.

“Namun yang terjadi, pemerintah sekarang mewariskan begitu banyak masalah pangan, mulai konflik agraria, penyusutan tenaga kerja pertanian, sampai menurunnya kesejahteraan petani. Ini bentuk kegagalan kebijakan pangan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),” tutur Henry.

Ia menekankan, pemerintah dalam 10 tahun terakhir sangat mengagungkan kehebatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Nyatanya, dalam pertumbuhan itu ada banyak ketidakadilan, kemiskinan, dan kesenjangan pendapatan yang semakin tinggi.

Apalagi, pertanian tidak lagi dianggap sebagai sumber kesejahteraan bagi rakyat. Lapangan pekerjaan di bidang pertanian semakin menurun. Pertanian yang berkembang justru bukan tanaman pangan, melainkan pertanian untuk kebutuhan ekspor. “Pemerintah mengorbankan pertanian dengan melaksanakan sistem ekonomi pasar,” ujar Henry.

Impor Beras
Kebijakan pemerintah terbaru adalah memberikan kuota impor beras kepada Bulog sebanyak 500.000 ton. Impor tersebut  akan dipergunakan pemerintah untuk memenuhi stok cadangan beras nasional. Dari kuota tersebut, Perum Bulog telah merealisasikan impor dari Vietnam 50.000 ton, untuk menjaga stabilitas harga beras di dalam negeri yang mulai naik.

Berdasarkan data, Perum Bulog mendapatkan alokasi 500.000 ton, terdiri atas beras medium dengan tingkat pecah 25 persen sebanyak 300.000 ton dan beras premium dengan tingkat pecah 5 persen sebanyak 200.000 ton.

Impor diberikan karena berdasarkan data BPS, selama semester I/2014 diperkirakan 69,87 juta ton GKG atau menurun 1,41 juta ton atau 1,98 persen dibandingkan pada 2013. Penurunan produksi tersebut diperkirakan terjadi karena penurunan luas panen seluas 265.310 hektare atau 1,92 persen dan produktivitas 0,03 kuintal per hektare atau 0,06 persen.

Direktur Utama Perum Bulog, Sutarto Alimoeso sebelumnya menyatakan, stok beras Bulog hingga Juni 2014 mencapai 1,9  juta ton. Ini lebih rendah dari stok yang seharusnya 2 juta ton. Ketahanan stok ini cukup untuk sekitar tujuh bulan ke depan. Menurutnya, posisi stok ini cukup serius memengaruhi harga beras di dalam negeri.

"Posisi ini mirip 2010, harga menjadi tidak stabil. Berdasarkan kondisi ini, tampaknya memang harus impor," ujar Sutarto.

Menurut Henry, rujukan data untuk impor masih perlu diperdebatkan sebab sering kali terjadi benturan perbedaan data antara Kementerian Pertanian (Kementan) dengan BPS.  Hal ini dikatakannya menjadi prioritas yang harus diambil pemerintah mendatang untuk mengaudit data pertanian.

“Konsumsi sebenarnya berapa, luas lahan produksi. Ini harus dikerjakan pemerintah baru agar bisa mengambil kebijakan yang lebih baik,” tutur Henry.

Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir mengungkapkan, pihaknya tidak heran dengan data impor yang dilansir BPK. Pemerintah begitu mudah mengeluarkan kebijakan imor setiap kali ada ancaman inflasi.

“Argumen inflasi dipakai sebagai senjata untuk impor. Akibatnya, inflasi pangan dimanfaatkan pelaku usaha untuk mengimpor sebanyak-banyaknya prouk pertanian,” ucap Winarno.

Keinginan mengimpor dengan meningkatkan produktivitas sudah tidak sama. Petani mundur karena tidak mampu bersaing dengan impor,  terutama dalam harga. Sektor pertanian tergerus karena modal, akses kredit, teknologi yang terbatas, serta musim yang bersifat anomali. “Pertanian bukan lagi sumber kesejahteraan bagi petani,” katanya.

Ia mengingatkan, jika pemerintah membiarkan kondisi ini, pertanian akan lenyap. Winarno menyebutkan. tanda-tanda semakin hilangnya pertanian makin nyata, terlihat  dari pengenaan PPN untuk produk-produk pertanian. “Bagaimana mungkin produk pertanian segar, seperti tomat, wortel, sayur-sayuran dikenai PPN? Saya tidak habis pikir,” tutur Winarno.

Data BPS memaparkan, lonjakan impor tersebut karena tidak sebandingnya produktivitas dibandingkan kebutuhan konsumsi. Ironisnya, luas lahan pertanian menurun hingga 5 juta hektar lebih, menurun 16,32 persen dari 2003. Tercatat seluas 31,2 juta hektare pada 2003 menjadi 26 juta hektare pada 2013.

Upaya peningkatan produktivitas pertanian di dalam negeri juga tidak diimbangi pola konsumsi masyarakat yang semakin cenderung impor. “Pemerintah seharusnya gencar mempromosikan produk pertanian dalam negeri, baik di toko-toko ritel maupun lainnya. Jadi, selera masyarakat akan kembali beralih mengonsumsi produk pertanian dalam negeri,” ujar Bustanul.

Adalah menjadi tantangan, mengembalikan kepercayaan petani untuk kembali yakin pertanian adalah sumber kesejahteraan. Untuk ini, diperlukan kebijakan yang mengembalikan kedaulatan pangan. Mau impor selamanya?


Sumber : Sinar Harapan
http://sinarharapan.co/news/read/140818122/kegagalan-kebijakan-pangan-

Senin, 18 Agustus 2014

Adakah Kemerdekaan Pangan?

Senin, 18 Agustus 2014

HUT PROKLAMASI adalah urusan kemerdekaan. Berdasarkan falsafah kebutuhan sandang-pangan-papan, sudah tentu kemerdekaan pangan menjadi hal utama untuk diwujudkan guna mengikis habis penjajahan pangan  yang  berimplikasi kolonialisasi dan imperialisasi baru. Bung Karno, tahun 1965, sudah mengingatkan akan bahaya kolonialisasi baru melalui antek-antek Nekolim, Neo Kolonialisme dan Neo Imperialisme.
Enam puluh sembilan tahun berjalan. Kemerdekaan pangan RI ternyata masih terseok. Sekurangnya kesimpulan itu bisa diangkat dari hasil survey Badan Pusat Statistik. Data  mutakhir menyebutkan importasi pangan 2013 mencapai 14,90 miliar dollar AS, empat kali lipat dibandingkan angka importasi sepuluh tahun sebelumnya (2003) yang hanya 3.34 miliar dollar AS. Menyedihkannya, angka tersebut tidak pernah bersih dari importasi lima pangan strategis, beras-gula-kedele-jagung-daging sapi, yang ditargetkan swasembada 2014.
Sungguh kemunduran kemerdekaan pangan yang teramat akut. Itulah yang menyebabkannya selalu menarik diangkat sebagai isu debat visi dan misi dalam kampanye pilpres lalu. Lebih responsif lagi adalah menguatnya semangat swasembada dan kedaulatan pangan yang dilontarkan oleh tim sukses capres terpilih: Jokowi-JK, utamanya untuk pangan strategis.
Apresiasi publik sangat gegap gempita. Swasembada beberapa pangan pokok kini akan menjadi realita setelah selama ini target swasembada tidak pernah menjadi kenyataan. Yang pasti, apresiasi itu tidak akan pernah memaklumi, jika nanti  Pemerintah Jokowi-JK ternyata mengulangi kegagalan swasembada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), dan swasembada gagal dan mundur lagi.
Persiapan untuk itupun dibangun cermat. Penguatan pangan dalam Nawa Cita, pengutamaan pangan dalam Trisakti, efektifitas kiprah Rumah Transisi, sampai rancang bangun struktur kabinet yang akan dibentuk Jokowi-JK selepas pelantikan. Persiapan semakin konkrit, dan bisa disimpulkan dalam wacana perampingan kabinet atas nama efisiensi dan efektifitas.
Wacana perampingan kabinet mengarah pada peleburan 2-3 kementerian menjadi satu. Khusus untuk urusan pangan telah muncul wacana peleburan Kementerian Pertanian, Kemenhut dan Kementerian Kelautan-Perikanan. Wacana ini muncul berdasarkan perlunya koordinasi intensif kementerian terkait agar lebih terkendali, mengarah kepada swasembada. Jelas sekali asumsinya. Gagalnya swasembada karena gagalnya produksi domestik. Produksi tentu sangat penting dan harus didukung sejumlah upaya perlindungan. Akan tetapi, perampingan bisa menjadi blunder pengulangan gagal ketika asumsinya teramat sederhana.
Berbicara produksi, tentu JKW-JK tidak pernah boleh melupakan sejarah, yang mengajarkan rivalitas akut Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan dalam urusan pangan. Anekdotnya, bagai ayam dan telor. Produksi gagal maka Menteri Perdagangan import pangan. Sementara, menurut Menteri Pertanian, karena banyak impor murah maka produksi tidak optimal sehingga gagal meraih swasembada. Nyatanya, peperangan antara perlindungan produksi di satu sisi, dan memuncaknya importasi pangan di pihak lain itulah masalahnya.
Rivalitas itu nampak pada setiap kali krisis pangan. Dalam setahun terakhir, percekcokan antara dua kementerian itu sekurangnya nampak dalam krisis daging sapi, importasi gula mentah, pro-kontra importasi beras, krisis tahu-tempe, importasi horti, dan aneka krisis pangan lain. Semua itu membuktikan betapa tidak berartinya segala upaya perlindungan produksi domestik, setelah pasar pangan dijajah importasi sejumlah komprador.
Dalam urusan perlindungan sebenarnya, UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan, UU 13/2010 tentang Hortikultura, UU 18/2012 tentang Pangan, dan UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, sudah jelas mensiratkan pentingnya perlindungan bagi produksi pangan domestik, utamanya perlindungan perdagangan dari bahaya importasi. Dari sudut pandang perlindungan, proteksi perdagangan ternyata lebih hebat dampaknya. Karena itu perampingan dan kementerian baru menjadi tidak ada maknanya. Ketika kita tidak punya power menangkal bahaya importasi, tidak kuat pengaruhnya terhadap sistem tataniaga. Karena semua itu kalah kuat dengan syahwat rente importasi. Atau  ketika kementerian baru itu senantiasa takluk kepada segelintir komprador, antek-antek Nekolim.

Prof Dr M Maksum Machfoedz (Penulis adalah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Guru Besar UGM)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/3246/adakah-kemerdekaan-pangan.kr

Jumat, 15 Agustus 2014

Swasembada Pangan Sebatas Wacana

Kamis, 14 Agustus 2014

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2012 mencanangkan kebijakan swasembada produksi pangan lima komoditas, yakni beras, gula, jagung, kedelai, dan daging sapi. Hingga menjelang masa kepemimpinannya habis kebijakan tersebut masih sebatas wacana.

Badan Pusat Statistik mencatat pada 2003 impor produk pertanian mencapai US$3,34 miliar (sekitar Rp39,3 triliun).Pada 2013, nilai impor produk pertanian sudah mencapai US$14,9 miliar (sekitar Rp175,29 triliun), naik empat kali lipat.

Sasmito Hadi Wibowo, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, mengatakan melonjaknya nilai impor tersebut diakibatkan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia yang naik, diiringi dengan semakin banyaknya turis mancanegara yang datang ke tanah air.

Di sisi lain, produksi dalam negeri yang hanya tumbuh normal. Salah satu yang mendorong lonjakan tersebut adalah sayuran.

Melihat data BPS, nilai impor sayuran pada 2013 sebesar US$640,76 juta. Nilai ini naik 27,24% dibanding tahun sebelumnya yang sebesar US$503,59 juta.

Program swasembada pangan itu awalnya mensyaratkan pembuatan undang-undang dan peraturan pemerintah yang berpihak kepada petani dan lahan pertanian. Yang kedua pengadaan infrastruktur tanaman pangan seperti pengadaan daerah irigasi dan jaringan irigasi pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai, serta akses jalan ekonomi menuju ke lahan tersebut.

Yang ketiga, penyuluhan dan pengembangan terus menerus untuk meningkatkan produksi, baik pengembangan bibir, obat-obatan, teknologi maupun sumber daya manusia petani. Yang keempat, melakukan diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan untuk bertumpu pada satu makanan pokok saja seperti nasi.

Mengapa Gagal?

Dalam prakteknya, sudah tiga tahun program tersebut dijalankan tidak menunjukkan hasil yang memuaskan.

Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, Adi Lumaksono, mengatakan ada beberapa penyebab mengapa swasembada pangan tersebut belum tercapai.

“Salah satunya seperti soal pendistribusian. Contohnya kasus daging sapi, di mana sebenarnya Indonesia memiliki sentra penghasil sapi yang ada di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Tetapi tidak didukung dengan angkutan ternak yang memadai. Karena tidak mau ambil pusing, pemerintah cari cara mudahnya ya dengan impor,” katanya.

Penyebab lainnya adalah pemahaman tentang diversifikasi pangan. Masyarakat yang ada di kawasan timur Indonesia yang pada umumnya mengkonsumsi sagu malah didorong untuk makan beras.

Selanjutnya, terkait masalah daya saing, impor produk pertanian subsektor hortikultura dari Thailand yang cukup besar. Hal inilah yang membuat konsumsi pangan di Indonesia terus meningkat, sehingga kebijakan swasembada pangan ini menjadi ambigu di kalangan masyarakat.

Beberapa upaya telah dilakukan pemerintah untuk menekan impor, namun upaya-upaya tersebut justru semakin menekan petani bukan melindungi petani.

Salah satu contoh pemerintah mencoba memperbaiki struktur pajak di Indonesia lebih diperketat. Namun struktur pajak di Indonesia belum mampu menjadi instrumen untuk terciptanya ketahanan pangan nasional. Sebaliknya, pajak tersebut justru memberikan keluasaan bagi masuknya produk pangan impor sehingga melemahkan daya saing produk pangan dalam negeri.

Kebijakan Baru

Pemerintahan baru diharap mampu mengatur kebijakan-kebijakan baru untuk mengatasi konsumsi pangan masyarakat yang terus meningkat dan meningkatkan produksi pangan lokal.

“Terutama menteri pertanian nanti harus bisa mengendalikan dan meningkatkan produksi dalam negeri untuk menopang konsumsi masyarakat. Selain itu juga mengurangi ketergantungan impor,” kata Sasmito.

http://www.geotimes.co.id/politika/politika-news/kebijakan/8073-swasembada-pangan-sebatas-wacana.html

SBY Dinilai Gagal Bangun Sektor Pertanian

Kamis, 14 Agustus 2014

Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 Agustus 2014 akan menyampaikan menyampaikan pidato  terakhir setelah sepuluh tahun terakhir menjalankan pemerintahan di Indonesia. SBY dipastikan akan menyampaikan pidato yang antara lain tentang success stor
y sebagai bentuk pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Di era keterbukaan ini, SBY diharapkan berani jujur menyampaikan bagian yang tidak sukses.

Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana mengatakan, bidang pertanian merupakan noktah hitam dalam pemerintahan SBY. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 12 Agustus 2014 menunjukkan, impor produk pertanian melonjak 400% selama 10 tahun terakhir. "Data tersebut dapat dikatakan sebagai indikator bahwa pembangunan bidang pertanian selama dua era Kabinet Indonesia Bersatu tidak berhasil," katanya saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, Rabu (13/8)

Pada 11 Juni 2005 di Bendungan Jatiluhur Purwakarta SBY dengan penuh rasa percaya diri mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Perkebunan, dan Kehutanan. Tindak lanjut dari pencanangan itu di bidang pertanian adalah Program  Swasembada 5 komoditas pangan pada 2010, yaitu beras, daging sapi, kedelai, jagung, dan gula. Meski tidak pernah dipublikasi, program swasembada 5 komoditas itu dapat dikatakan gagal. Program tersebut dilanjutkan pada era KIB II dan ditargetkan tercapai pada  2014. Target itu sebagai salah satu kontrak politik menteri pertanian dengan Presiden SBY.

Hingga pengujung KIB II, pencapaian target swasembada 5 komoditas pertanian tersebut juga tampaknya juga tidak tercapai. Teguh menilai, tidak ada perubahan yang  berarti dalam produksi  kedelai. Akibatnya, Indonesia harus impor  70% dari kebutuhan nasional. Selain itu,  jagung, gula, beras juga masih harus diimpor.

Teguh mengatakan, impor yang sangat mencolok daging sapi. Pasalnya, dalam proyeksi yang disusun Kementerian Pertanian  seharusnya impor tahun ini hanya sekitar  10% kebutuhan nasional atau setara sekitar  54,56  ribu ton daging sapi. Tetapi diperkirakan impor daging sapi tahun ini diprediksi mencapai 250 ribu ton atau 45% kebutuhan nasional. Populasi sapi potong yang ditargetkan pada 2014  adalah  17,6 juta ton. Tetapi berdasarkan hasil sensus pertanian BPS 2013, populasi  sapi potong hanya 12,6 juta ekor.

Dia menyatakan, jika dikaitkan dengan anggaran yang disediakan untuk pencapaian program, jelas sangat tidak berimbang. Uang rakyat melalui APBN yang digunakan sejak 2006  tidak imbang dengan pencapaian hasil di akhir pemerintahan SBY pada 2014.
"Kami berharap Presiden SBY berani secara jujur menyampaikan ketidak berhasilan di bidang pertanian sehingga pemerintah baru nanti dapat menggunakan hal tersebut untuk menyusun program yang lebih baik," ucapnya.

Teguh menambahkan, sudah tidak bijak lagi jika pemerintah menggunakan berbagai alasan, seperti ketersediaan lahan untuk  apologi. Rakyat akan lebih menghargai jika presiden mengedepankan tanggung jawab  sebagai kepala pemerintahan atas ketidak-tercapaian target swasembada di bidang pertanian selama sepuluh tahun terakhir.

Sementara, dalam kapasitas sebagai Ketua Dewan Persusuan Nasional, Teguh sangat menyayangkan kurangnya perhatian pemerintahan SBY kepada pengembangan peternakan sapi perah rakyat.  Dalam sepuluh tahun ini, produksi susu segar stagnan. Akibatnya,  masa depan Indonesia akan semakin tergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan susu dalam negeri. Saat ini  sekitar 60%  kebutuhan susu harus diimpor. "Padahal pengembangan usaha peternakan sapi perah rakyat  sangat relevan dengan jargon pro job, pro poor, dan pro growth," tukasnya. [agus]


Tetap Impor Beras Padahal Produksi Surplus, Ini Alasannya

Kamis, 14 Agustus 2014

Kegiatan impor merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh setiap negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Impor pada dasarnya menunjukkan bahwa setiap negara itu tidak bisa hidup sendiri, ia layaknya seperti manusia memerlukan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Impor juga menunjukkan bahwa setiap negara memiliki kelemahan dalam memenuhi kebutuhannya sehingga mau tidak mau harus membeli dari negara lain.

Sampai saat ini, kegiatan impor juga masih dilakukan oleh Indonesia, khususnya impor beras. Impor sama dengan membeli hanya saja uangnya masuk pendapatan negara lain. Impor beras Indonesia seperti yang dikatakan oleh media neraca.co.id (27/03/2013), masih mengimpor dari negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand. Baru-baru ini seperti yang diberitakan oleh kompas.com menyebutkan bahwa Indonesia masih mengimpor beras, padahal produksi padi Indonesia mengalami surplus. Dalam hal ini, di kalangan pemerintah, terutama di kemeterian pertanian saling lempar tanggung jawab. Beberapa bulan yang lalu, saat Hatta rajasa masih menjabat sebagai menkoperekonomian, beliau menyebutkan bahwa soal impor beras merupakan wewenang dari kementerian pertanian (kementan) sehingga tampak beliau tidak mampu menjawab soal impor beras ini.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statitik (BPS), produksi padi tahun 2013 kemarin saja mencapai 71.279.709 ton dengan produktivitas sebesar 51,52. Produksi padi tersebut mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yang sebesar 69.056.126 ton dengan produvtivitas sebesar 51,36. Kenyataan tersebut menjadi deskripsi sepintas mengenai besarnya produksi beras Indonesia. Tetapi, tetap saja pemerintah melalui BULOG harus mengimpor lantaran konsumsi beras masyarakat Indonesia yang terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Jika tidak mengimpor, maka akan terjadi kenaikan harga beras dalam negeri yang tinggi sebab jumlah permintaan lebih tinggi dari jumlah persediaan beras dalam negeri. Meskipun di satu sisi, impor juga akan menghancurkan harga beras di tingkat petani karena harga mereka berpotensi dipermainkan oleh para tengkulak.

Impor beras Indonesia secara historis memang sering mengalami surplus, tetapi jumlah permintaan beras melebihi surplus tersebut. Terbukti bahwa Indonesia menempati urutan pertama negara konsumen beras terbesar (nerac.co.id, 27/03/2013). Konsumsi beras Indonesia mencapai 102 kg/kepita/tahun. Tingkat konsumsi tersebut melebihi konsumsi beras negara Asia, seperti Korea yang hanya 60 kg/kapita/tahun, Jepang 50 kg/kapita/tahun, Tahiland 70 kg/kapita/tahun, dan Malaysia sebesar 80 kg/kapita/tahun. Perbedaan ini tentu masih dapat dimaklumi karena memang Indonesai masih menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok. Desakan impor tersebut pada dasarnya bertujuan agar kuota beras akhir tahun Indonesia masih mencukupi maka mau tidak mau pemerintah harus megimpor beras. Beberapa tahun ini, Indonesia terjerat desakan impor beras ke Vietnam yang ternyata diselewengkan oleh oknum importir.  Tentu, dalam kasus ini pun, di kementerian pertanian, BULOG, dan pemerintah sendiri masih saling lempar tanggung jawab.

Dalam opsi pertama, realisasi impor beras ini banyak dipermainkan oleh para mavia importir. Pemerintah hendak membatasi impor beras, tetapi swasta ternyata terus mengimpor beras. Akibatnya, pemerintah sendiri tampak kebingungan dalam menjelaskan kepada masyarakat sebab jika terdapat fenomena seperti ini, biasanya pemerintah yang menjadi sasaran. Kurangnya pengawasan terhadap kegiatan impor, terutama di kepabeanan menyebabkan hal tersebut rentan terjadi. Oleh karena itu, sudah sewajarnya pemerintah hendaknya lebih memperketat pemeriksaan impor beras ke Indonesia.

Opsi kedua yang hendaknya dimengerti oleh masyarakat agar tidak sertamerta menyalahkan atau mencari kambing hitam dalam masalah surplus beras tetapi masih saja mengimpor adalah bahwa Indonesia sampai saat ini masih dilanda oleh efek fenomena El Nino yang menyebabkan curah hujan di Indonesia berkurang sehingga ini merupakan kondisi yang buruk bagi Indonesia. El Nino juga sangat berpengaruh terhadap produksi pertanian, terutama produksi padi. El Nino yang merupakan fenomena 3 - 8 tahunan sekali ini biasanya memberikan dampak 12 bulan hingga 18 bulan sehingga akan mengurangi produksi pertanian.

Dengan demikian, impor adalah sebuah keniscayaan sebab jumlah permintaan yang jauh melampaui stok yang ada. Ini memerlukan usaha keras dari tingkat petani hingga pemerintah untuk bersama-sama meningkatkan produksi beras kedepan.

http://m.kompasiana.com/post/read/680073/1/tetap-impor-beras-padahal-produksi-surplus-ini-alasannya.html

Kamis, 14 Agustus 2014

Belenggu Impor Pangan

Kamis, 14 Agustus 2014

MEMPRIHATINKAN. Kata tersebut sangat tepat menggambarkan situasi sektor pertanian Indonesia. Negeri yang menyandang predikat negara agraris ini dari tahun ke tahun kian menggantungkan diri pada produk pangan impor.
Badan Pusat Statistik mencatat nilai impor produk pertanian melonjak 346%, atau empat kali lipat, selama periode 2003-2013. Laju pertumbuhan impor tersebut jauh melampaui laju pertumbuhan penduduk selama satu dekade.
Pada 2003, jumlah penduduk Indonesia sekitar 214 juta. Di 2013, populasi Indonesia menjadi lebih dari 252 juta orang, tumbuh 18% jika dibandingkan dengan 2003.
Dengan mempertimbangkan laju inflasi dan nilai tukar rupiah selama periode yang sama, pertumbuhan impor produk pertanian masih jauh meninggalkan laju pertumbuhan penduduk. Itu berarti kemampuan negeri kita dalam menghasilkan produk pertanian melemah sehingga harus ditutupi impor.
Penyebabnya sangat jelas terlihat. Lahan usaha tani menyusut sebanyak 5 juta hektare menjadi 26 juta hektare. Dalam tempo 10 tahun itu pula, Indonesia kehilangan 5,07 juta rumah tangga usaha petani.
Di sisi lain, teknologi pertanian yang diterapkan di Indonesia tidak banyak berkembang. Bawang merah impor merambah hingga ke sentra-sentra produksi di dalam negeri. Gula mentah impor menyeruak ke pasar domestik hingga mematikan usaha petani tebu.
Janji menambah lahan milik petani yang dilontarkan pemerintah tidak kunjung dipenuhi. Perbaikan tata niaga pertanian untuk memotong rantai pasokan produk petani pun terbengkalai. Rakyat lebih memilih menjadi pedagang yang bisa meraup untung berkali lipat ketimbang hidup miskin sebagai petani.
Bila hal itu terus dibiarkan, bukan tidak mungkin pertanian Indonesia akan bernasib seperti sektor minyak dan gas bumi. Indonesia berubah dari eksportir neto menjadi importir neto. Ini sungguh gambaran masa depan yang merisaukan, bahkan menyeramkan.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dengan tegas memberi mandat kepada pemerintah agar menetapkan kebijakan impor pangan yang tidak berdampak negatif terhadap usaha petani. Selain itu, Undang-Undang No 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani memberikan jaminan kesejahteraan kepada petani agar bisa tetap berproduksi. Tambahan 2 hektare lahan untuk petani guram yang telah berkecimpung di usaha tani selama lima tahun berturut-turut juga menjadi mandat. Kini, tinggal menunggu usaha keras pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono menunaikan perintah undang-undang di penghujung masa tugas mereka. Bila pemerintahan saat ini tak sanggup, apa boleh buat, kita berharap pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk menunaikan amanat Undang-Undang Pangan dan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani tersebut.
Gerak cepat membenahi sektor yang menghasilkan pangan bagi anak negeri harus ditempuh. Hanya ada dua pilihan, yakni mandiri dan berdaulat di bidang pangan atau tunduk di bawah kendali negara-negara pemasok pangan.
(Chs)

http://news.metrotvnews.com/read/2014/08/14/277262/belenggu-impor-pangan

Rabu, 13 Agustus 2014

Kesejahteraan Petani Rendah

Rabu, 13 Agustus 2014

Pendapatan Rp 12,41 Juta/Tahun

JAKARTA, KOMPAS — Badan Pusat Statistik mencatat, usaha petani di sektor pertanian secara nasional rata-rata hanya menyumbang pendapatan rumah tangga petani 46,74 persen. Sumber pendapatan petani yang lebih besar secara akumulasi berasal dari usaha di luar pertanian.
Kepala BPS Suryamin, Selasa (12/8), di Jakarta, mengungkapkan, tingkat kesejahteraan petani di Indonesia masih rendah. Padahal, sekitar 38 juta angkatan kerja Indonesia bekerja di sektor pertanian.

Statistik menunjukkan, mayoritas tenaga kerja di sektor pertanian rata-rata berusia 49-50 tahun. Mereka sebagian tamat sekolah dasar (SD) dan tidak tamat SD. Umumnya satu kepala keluarga petani menanggung lima anggota keluarga.

Menurut Suryamin, salah satu penyebab sulitnya menekan angka kemiskinan di Indonesia adalah karena petani sudah berusia lanjut dan berpendidikan rendah. Mereka sulit beradaptasi dan bekerja di sektor lain karena kemampuannya hanya bercocok tanam. Kalaupun ada peluang bekerja di sektor industri, belum tentu tenaga mereka bisa terserap.

Pendapatan Rp 12,41 juta
Direktur Bidang Statistik Produksi BPS Adi Lumaksono mengatakan, pendapatan petani dari sektor pertanian per tahun hanya Rp 12,41 juta per rumah tangga petani (RTP). Apabila dihitung rata-rata pendapatan bulanan, jumlah itu lebih rendah daripada UMP terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang sebesar Rp 1,2 juta per bulan.

Sumber pendapatan petani dari usaha di luar sektor pertanian sebesar 13,46 persen. Pendapatan dari sumber lain, termasuk transfer, sebesar 12,31 persen.

Begitu pula pendapatan dari menjadi buruh tani menyumbang 6,85 persen. Adapun yang bersumber dari buruh di luar sektor pertanian menyumbang 20,56 persen.

Usaha di sektor pertanian yang memberikan kontribusi pendapatan terbesar bagi RTP adalah subsektor tanaman perkebunan yang memberikan kontribusi 33,49 persen. Tanaman padi memberikan kontribusi 25,31 persen. Ternak unggas memberikan kontribusi 12 persen, sedangkan usaha hortikultura 9,93 persen.

Suryamin menjelaskan, berdasarkan sensus BPS 2013, jumlah RTP dalam sepuluh tahun terakhir (2003-2013) berkurang 5,1 juta RTP, dari 31,23 juta pada 2003 menjadi 26,14 juta pada 2013.

Rinciannya adalah jumlah petani yang menguasai lahan kurang dari 1.000 meter persegi berkurang 5,04 juta RTP. Petani yang menguasai lahan 1.000- 1.999 meter persegi berkurang 52.168 RTP.

Petani dengan lahan 2.000- 4.999 meter persegi berkurang 83.581 RTP. Petani dengan lahan 5.000-9.999 meter persegi berkurang 227.739 RTP.

Petani dengan lahan 2-3 hektar berkurang 54.928 RTP. Jumlah petani dengan penguasaan lahan 1-2 hektar bertambah 64.320 RTP.

Jumlah petani dengan penguasaan lahan 3 hektar ke atas bertambah 298.832 RTP. (MAS)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140813kompas/#/18/

Senin, 11 Agustus 2014

Pemerintah Enggan Beli Gabah Petani Lokal

Senin, 11 Agustus 2014

Anggaran Bulog Dipakai Impor Beras Asing 500.000 Ton

Jakarta_Barakindo- Menjelang berakhirnya masa pemerintahan kabinet Indonesia Bersatu II (dua), kinerja pemerintah SBY-Budiono kembali tercoreng ulah “begundal” petani asing yang mengimpor beras petani dari luar negeri disaat rakyat tani dalam negeri segera memasuki masa panen ke-dua (Gadu).
Impor itu dilakukan pemerintah melalui Perum Bulog, tepat setelah memasuki masa libur lebaran 1 Syawal 1435 H (2014) ini. Imbasnya, pengadaan gabah petani lokal di Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Barat (Jabar) tersendat.

“Kami heran, kenapa pemerintah lebih memilih mengimpor beras petani asing dibanding membeli gabah/beras petani lokal. Kami melakukan penelusuran dibeberapa tempat terkait, kuat dugaan Letter of Credit (LC) untuk pembelian gabah petani lokal tidak tersedia (dibatasi-red) dengan alasan tidak ada anggaran,” ujar Koordinator Barisan Rakyat Anti Korupsi (Barak), Danil’s, Senin (11/8/2014).

Karenanya Danil’s mempertanyakan, jika memang dana untuk membeli gabah/beras petani lokal tidak ada, lalu dari mana sumber dana untuk membeli beras petani asing sebanyak 500.000 ton tersebut.

“Kalau dana untuk membeli gabah petani lokal tidak ada, lalu dari mana sumber dana untuk membeli beras petani asing (impor) sebanyak 500.000 ton atau setara Rp.1,4 triliun (setara harga Rp.4.700,- per Kilogram). Atau jangan-jangan uang ini bersumber dari begundal petani asing ??? Ini harus diusut oleh aparat penegak hukum untuk melindungi kepentingan rakyat tani NKRI,” tegasnya.

Selain meminta aparat hukum menelusuri sumber dana importasi tersebut, Danil’s juga mendesak pemerintahan yang baru nanti (transisi November 2014-red) merombak total Direksi Perum Bulog, yang pro petani asing (senang impor-red) diganti dengan figur yang berkomitmen melindungi rakyat tani dalam negeri.

“Sebab kalau direksi yang “senang” impor dibiarkan terus berkuasa, maka selamanya hak-hak dasar rakyat tani NKRI akan “diperkosa”. Setelah transisi pemerintahan nanti, kami akan berdjoang mendesak pemerintahan yang baru untuk merealisasikan perombakan “kabinet” di Perum Bulog,” pungkas Danil’s menegaskan.

Seperti diketahui, Kementerian Perdagangan (Kemendag) merilis, bahwa Perum Bulog mendapatkan alokasi impor beras sebanyak 500.000 ton yang terdiri dari beras medium dan beras premium. Impor beras medium atau beras dengan tingkat pecah (broken) 25 persen sebanyak 300.000 ton, sisanya 200.000 ton adalah beras dengan tingkat pecah (broken) 5 persen atau beras premium.

Hal itu ditegaskan Mendag, Muhammad Lutfi, Jumat (8/8/2014). Katanya, Bulog baru merealisasikan impor sebanyak 50.000 ton. "Bahkan 50.000 ton itu sudah sampai di Indonesia untuk mengantisipasi kekurangan stok dan tingginya permintaan," kata Lutfi. (Redaksi)*

http://barakpost.blogspot.com/2014/08/pemerintah-enggan-beli-gabah-petani.html

Minggu, 10 Agustus 2014

Petani Dieng Terpapar

Sabtu, 9 Agustus 2014

Penggunaan Pestisida Sudah Melampaui Batas

BANJARNEGARA, KOMPAS — Sekitar 90 persen petani sayuran di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, terpapar racun pestisida. Dampak paparan racun pembasmi hama itu sangat serius karena dapat memicu karsinogenisitas, yaitu kemampuan menghasilkan kanker, kerusakan hati, gangguan reproduksi, dan kerusakan saraf.
Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara Siti Haryati, Jumat (8/8), mengatakan, hasil pemeriksaan terhadap petani sayur di Kecamatan Batur, Dataran Tinggi Dieng, beberapa waktu lalu, menyebutkan, dari 217 petani sayur, hanya 15 orang (6,9 persen) dinyatakan normal. Selebihnya menderita keracunan berat 5 orang (2,3 persen), keracunan sedang 120 orang (55,3 persen), dan keracunan ringan 77 orang (35,5 persen).

Keadaan ini diyakini mencerminkan kondisi petani Dieng keseluruhannya, sekitar 1.500 orang. ”Ini memprihatinkan. Penggunaan pestisida sudah kelewat batas dan membahayakan petani pengguna. Efek keracunan tergantung dari formulanya dan akan muncul jika penggunaannya dalam waktu lama,” kata Siti.

Pestisida itu masuk ke tubuh petani dengan berbagai cara, seperti pernapasan, kulit, hidung, dan mulut. Jika di lambung masih bisa dikeluarkan, tetapi kalau masuk ke darah akan membentuk ikatan di dalamnya.

Sulthoni (38), petani kentang di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, menuturkan, petani menyemprot pestisida secara berlebihan karena khawatir pestisida dan pupuk kimia yang diberikan melalui penyemprotan akan hilang terbawa air hujan. Dia mencontohkan, saat musim kemarau, penyemprotan bahan kimia, baik anti hama maupun obat penyubur, dilakukan seminggu sekali. Namun, ketika hujan datang, penyemprotan dilakukan 4-5 kali seminggu.

Masih diremehkan
Sulthoni mengatakan, untuk tanaman kentang seluas 3,5 hektar miliknya berusia 40 hari dibutuhkan sekitar 1.000 liter pestisida untuk sekali semprot. Padahal, pada akhir 1990-an, takarannya hanya 500-600 liter. ”Tanahnya sudah tidak mampu dengan dosis yang dulu. Hasilnya jelek. Kalau ditambah, baru produksinya lumayan,” katanya.

Berdasarkan pantauan Kompas, dalam penyemprotan, petani tidak memperhatikan bahaya bahan kimia pada tubuh jika sampai terisap. Mereka tak menggunakan pelindung hidung atau masker.

Eko Witarso (45), petani di Desa Karangtengah, Batur, mengatakan, petani kentang sebenarnya sudah tahu jika pestisida berbahaya bagi kesehatan. ”Keracunan itu hampir semua petani pernah mengalami. Mual-mual, muntah, pusing, dan mata berkunang-kunang. Tetapi bagaimana lagi. Kalau enggak begitu, enggak panen,” kata petani yang sudah menanam kentang selama 20 tahun.

Eko bahkan sempat dirawat di puskesmas setempat karena keracunan pestisida. Namun, dia tak kapok. ”Sekarang kalau ingat pakai masker. Semua petani pasti ada flek (paru-paru) atau gangguan pernapasan,” ujarnya.

Mudasir, Ketua Kelompok Tani Dieng Perkasa yang aktif menyosialisasikan pertanian organik, mengatakan, akibat pola penanaman yang tidak memperhatikan kaidah konservasi, termasuk penggunaan pestisida berlebih, produksi kentang di Dieng terus menurun. Pada akhir 1990- an masih 30 ton per hektar, tetapi kini maksimal 12-14 ton per hektar. Bibit 1 kg kentang yang dulu bisa dipanen 20 kg kini 6-7 kg.

Kini 7.758 hektar dari total 10.000 hektar lahan di Dieng kritis. Rinciannya, 4.000 hektar di Wonosobo dan sekitar 3.700 hektar di Banjarnegara. Erosi tanah seluruh kawasan pertanian di Dieng 4,5 juta ton per tahun.

Kentang dari Dieng, misalnya, kian sedikit lolos ekspor karena ditolak akibat kandungan pestisidanya terlalu tinggi.

Mengutip data Organisasi Buruh Internasional, Sekretaris Daerah Banjarnegara Fahrudin Slamet Susiadi mengatakan, 14 persen pekerja di sektor pertanian di seluruh dunia terkena bahaya pestisida dan 10 persen di antaranya terpapar bahaya yang fatal. ”Ini termasuk petani kentang di Dieng yang sangat tergantung dari pestisida kimia dalam mengolah lahannya,” ujarnya. (GRE)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140809kompas/#/22/

Selasa, 05 Agustus 2014

Produksi Kedelai Banten Mencapai Lima Besar Nasional

Senin, 4 Agustus 2014

Bantenbox.com-Serang, Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak) Provinsi Banten terus berupaya meningkatkan produksi kedelai di wilayah Provinsi Banten setiap tahunnya. Periode Juni tahun 2014, jumlah produksi kedelai Banten sekitar 11.900 ton dan mampu menyumbang kebutuhan kedelai secara nasional.

" Dari perolehan ini, para petani kedelai di sentra produksi berada di Pandeglang mendapatkan penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu,"ujar Kepala Distanak Banten, Eneng Nurcahyati, akhir pekan lalu.

Eneng Bahkan menjamin, produksi kedelai di Banten akan terus meningkat setiap tahun dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini selain untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor dan memberikan peningkatan produksi kedelai secara nasional.

Saat ditanya perihal stabilitas harga kedelai, Eneng mengaku menjamin harga beli minimal kedelai di Banten mencapai Rp7.000 per kilogram. " Kami sudah bekerjasama dengan Bulog Divre Banten untuk membeli produksi kedelai dalam upaya menjaga stabilisasi harga. Yakni Rp 7000 per kilogram.

Itu termasuk harga wajar,"tandas Eneng seraya mengimbau agar para petani selalu meningkatkan semangat untuk terus menanam kedelai. Oleh karena itu, para petani kedelai di Banten diharapkan bisa meningkatkan area tanaman kedelai tersebut pada tahun-tahun berikutnya.(adv)

http://bantenbox.com/berita-1682-.html

Senin, 04 Agustus 2014

Perlu Dibentuk Menko Kedaulatan Pangan dan Energi di Kabinet Jokowi-JK

Minggu, 3 Agustus 2014

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bara Jalan Perubahan optimistis Kabinet Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) akan lebih ramping dan efektif serta efisien, dengan mengorganisasi Kementerian berbasis Produksi dan Pemanfaatan SDA dengan Kelembagaan pendukungnya menjadi terpadu dalam satu atap.
Menurut Gideon Wijaya Ketaren, salah seorang presidium Bara Jalan Perubahan, pembangunan kehutanan jangan lagi berorientasi "penjualan" lahan pada korporasi. Namun lebih kepada orientasi produksi tanaman "timber dan non timber" dengan lebih memberdayakan masyarakat petani di sekitar hutan, apalagi merampas hak-hak masyarakat adat.
Artinya, sektor On Farming serahkan pada petani dan korporasi dengan kapitalnya yang besar boleh difokuskan pada sektor Off Farm (hilirisasi). Sehingga pengelolaan dimaksimalkan ke dalam direktorat jenderal kehutanan dan perkebunan (dirjen depthutbun) dibawah kementerian pertanian.
Pengelolaan kegiatan konservasi dan pelestarian ekosistem hutan dan DAS dapat dikelola dalam satu Kementerian LH dan KA (Lingkungan Hidup dan Konservasi Alam). Sedangkan Ditjen Plannologi sangat tepat dikelola dalam Kementerian Agraria dan Pertanahan.
Menurutnya, kegiatan produksi ini harus didukung oleh pengelolaan kelembagaan tani, nelayan, masyarakat sekitar hutan yang nantinya secara praktis dikelola dalam Kementerian Koperasi dan UKM serta didukung oleh Kementerian Sosial dan Pembangunan Desa yang lebih berorientasi pada partisipasi rakyat.
"Program-program sektoral yang sering overlaping saat ini akan otomatis mampu dieliminir dengan baik. Lalu kementerian ESDM yang sering konflik dalam penguasaan lahan serta Kementerian perikanan dan kelautan serta pemberdayaan pulau terluar dapat bersinergi secara maksimal didalam Kemenko Kedaulatan Pangan dan Energi ini nantinya," menurut GWK.
Jika perlu, tandas dia, dibentuk kementerian industri agraris (pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, kayu dan non kayu) yang terpisah dari kementerian industri non agraris. Hal ini bertujuan agar jelas dimata rakyat guna dan manfaat sektor pertanian dan SDA ini, bukan hanya memandang income pertanian itu dari export CPO saja.
"Tapi ada komoditi lain yang juga menarik untuk dikembangkan," tegas GWK.
Dengan Menko Kedaulatan Pangan dan Energi bisa menfokuskan diri pada koordinasi kementerian. Yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Maritim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Konservasi Alam, Kementerian Agraria dan Pertanahan, Kementerian ESDM, Kementerian Koperasi, UKM, Kementerian Sosial dan Pembangunan Desa, dan Kementerian Industri Agraris (Pupuk, Bibit dan Pasca Panen).
"Dengan konsep ini kami yakin Indonesia sebagai eksportir utama produk pangan dan pertanian secara luas nantinya, serta bukan mustahil Nusantara ini mampu menjadi Lumbung Pangan Dunia," tambah Handoko, salah satu Presidium Bara Jalan Perubahaan.(*)

http://www.tribunnews.com/nasional/2014/08/03/perlu-dibentuk-menko-kedaulatan-pangan-dan-energi-di-kabinet-jokowi-jk

Minggu, 03 Agustus 2014

Agar Swasembada Beras, Bangka Tengah Butuh 50 Hektar Sawah

Minggu, 3 Agustus 2014

REPUBLIKA.CO.ID, KOBA -- Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung, menyatakan daerah itu setidaknya membutuhkan sekitar 50 hektare sawah produktif di setiap desa untuk menuju swasembada pangan.
"Butuh 50 hektare lahan sawah setiap desa jika ingin swasembada pangan dan sekarang baru satu desa yang sudah membuka lahan sawah," kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Bangka Tengah Sajidin di Koba, Sabtu (2/8).
Ia menjelaskan di Bangka Tengah terdapat sekitar 60 desa yang banyak memiliki lahan kosong untuk digarap menjadi lahan persawahan. "Namun lahan tersebut belum tentu semuanya produktif dijadikan lahan persawahan karena banyak area bekas penambangan bijih timah," ujarnya.
Mengubah lahan kritis itu menjadi lahan produktif, katanya, bukan pekerjaan yang mudah karena membutuhkan keinginan atau animo yang kuat dari masyarakat setempat. "Dorongan yang kuat dari pemerintah daerah harus disertai keinginan yang kuat dari masyarakat untuk mewujudkan lahan sawah produktif," ujarnya.
Ia menjelaskan saat ini ketergantungan daerah terhadap kebutuhan pangan dari luar daerah masih tinggi karena produksi padi lokal masih relatif minim. "Boleh dikatakan hampir 90 persen kebutuhan pangan lokal dipasok dari luar daerah karena produksi lokal masih minim," ujarnya.
Ia menjelaskan produksi padi lokal hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan selama satu minggu, sedangkan sisanya untuk kebutuhan satu tahun didatangkan dari luar daerah. "Ada sebagian warga yang menggalakkan menanam padi ladang namun produksinya belum begitu bisa diharapkan, karena padi ladang masih dijadikan tanaman sela," katanya.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/08/03/n9p0ia-agar-swasembada-beras-bangka-tengah-butuh-50-hektar-sawah

Sabtu, 02 Agustus 2014

Distribusi Pupuk di Bali Dikurangi 50 Persen

Jumat, 1 Agustus 2014

Kelian Subak Toya Yeh Hee, Nyoman Sumendra, bahwa jatah pupuk urea kini dipotong sampai 50 persen dari jatah sebelumnya.

Jakarta, Aktual.co — Kelian Subak Toya Yeh Hee, Nyoman Sumendra, bahwa jatah pupuk urea kini dipotong sampai 50 persen dari jatah sebelumnya.

Hal itu sesuai imbauan Pemprov Bali untuk menggunakan pupuk organik. Imbauan itu tidak disertai dengan penyaluran pupuk organik yang memadai sesuai kebutuhan petani, serta tibanya sering terlambat.

Pada sisi lain penggunaan pupuk organik merugikan petani, karena hasil panen menurun dua ton per hektarenya hanya menjadi enam ton per hektare dibanding menggunakan pupuk urea yang produksinya mencapai delapan ton/hektare.

Pupuk organik yang disubsidi pemerintah Provinsi Bali cukup murah yakni Rp 100/kg ditingkat petani.

Sebelumnya, sejumlah petani di Kabupaten Klungkung, Bali menglami kelangkaan pupuk urea bersubsidi belakangan ini, padahal mereka sangat membutuhkan dalam memasuki musim tanam 2014.
(Ant)

http://www.aktual.co/ekonomibisnis/140441distribusi-pupuk-di-bali-dikurangi-50-persen