Selasa, 30 September 2014

Gerakkan Pertanian, Pesantren Jateng Jadi Basis Kedaulatan Pangan

Senin, 29 September 2014

Kudus, NU Online
Komunitas Masyarakat Pesantren Indonesia kini tengah fokus menggarap pertanian terpadu berbasis pesantren. Program ini sengaja diambil dalam rangka menjadi pesantren sebagai basis penggerak kedaulatan dan ketahanan pangan di samping pusat keislaman.

"Melalui program pertanian terpadu ini, pesantren diharapkan mampu mengembalikan jati dirinya sebagai pusat pengembangan cocok tanam  pertanian sebagaimana yang dilakukan para pendiri," kata Ketua KMPI Amin Abdullah pada pertemuan silaturahmi komunitas pesantren, Ahad (28/9).

Alumnus pesantren Mranggen ini mengatakan, KMPI yang dibentuk pada 2006 berkomitmen membantu pengembangan dan pemberdayaan pesantren khususnya pesantren salaf dan pesantren kecil.

Menurutnya, pesantren salaf belum memperoleh perhatian lebih dari banyak pihak termasuk pemerintah. “Upaya mewujudkan kemandirian pangan, perlu dilandasi lebih dahulu membangun kepercayaan diri di kalangan para pengasuh pesantren terutama putra kiai penerus abahnya," imbuh Amin.

Pada pertemuan bertema “Mewujudkan Pesantren Berdikari” ini, pengurus KMPI juga melengkapi kepengurusannya dengan menunjuk koordinator daerah per karesidenan seperti Pati, Solo, Boyolali, dan Semarang. (Qomarul Adib/Alhafiz K)

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,2-id,54789-lang,id-t,Gerakkan+Pertanian++Pesantren+Jateng+Jadi+Basis+Kedaulatan+Pangan-.phpx

Senin, 29 September 2014

Harapan Petani untuk Presiden

Senin, 29 September 2014


Satu hal yang luput dari para pengamat adalah peran petani yang luar biasa dalam memenangkan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pasangan presiden dan wakil presiden ketujuh.
Berdasarkan hasil survei yang dikeluarkan Kompas sehari setelah pencoblosan (Kompas 10/7/2014), petani menduduki posisi tertinggi dari kelompok pemilih yang memberikan suara ke Jokowi-JK, yaitu 59,4 persen. Urutan selanjutnya ibu rumah tangga (55,2 persen), pelajar/mahasiswa (54,1 persen), pedagang (51,3 persen), pengangguran (47,6 persen), pegawai swasta (40,4 persen), pensiunan (38,7 persen), dan pegawai negeri sipil (35,2 persen). Dengan jumlah rumah tangga petani 26,15 juta dan dengan asumsi terdapat tiga pemilih per rumah tangga, menghasilkan angka 78,45 juta. Apabila suara petani tersebar merata pada kedua kandidat (50-50), Jokowi-JK memperoleh angka 63.623.550 (47,63 persen) sehingga kalah dari Prabowo-Hatta dengan angka 69.950.744 (52,37 persen).

Meski miskin liputan media, petani bergerak luar biasa dalam memenangkan Jokowi-JK. Salah satunya melalui beragam organisasi relawan, seperti Seknas Tani Jokowi, Jokowi untuk Petani Nusantara, dan Aliansi Tani Indonesia Hebat. Ratusan ribu petani kecil menyumbangkan yang mereka miliki berupa gabah, beras, dan hasil pertanian lain untuk mendukung gerakan memenangkan Jokowi-JK.

Sudah puluhan tahun petani merindukan sosok yang mampu mengangkat penghidupan dan kehidupan mereka dari keterpurukan. Dalam khazanah Jawa itu diwujudkan dalam harapan munculnya Satrio Piningit atau Ratu Adil (istilah yang muncul pada zaman pujangga Keraton Mataram) yang diilhami dari mahakarya Prabu Sri Jayabaya dari Kerajaan Kediri (1135-1157 M). Hal sama dikatakan Soekarno pada pleidoi persidangan Landraad di Bandung 1930 yang menyatakan, ”Apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini masih terus menyalakan harapan rakyat? Tak lain ialah karena hati rakyat yang menangis itu, tak habis-habisnya menunggu-nunggu, mengharap-harapkan datangnya pertolongan.” Pertolongan itu diharapkan datang dari Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu yang mampu membawa Indonesia gemah ripah loh jinawi toto tentrem kertoraharjo (mencapai kemakmuran) melalui suro diro joyoningrat lebur dening pangastuti (keluhuran budi mengalahkan angkara murka) atau meminjam istilah Jokowi melalui revolusi mental.

Ingatan itu terus membekas di kalangan masyarakat petani Jawa pada khususnya atau petani Indonesia pada umumnya. Pesta demokrasi lima tahunan yang selama ini berlangsung tak pernah menyuntikkan api semangat untuk petani sebesar pesta demokrasi tahun ini. Mereka memiliki harapan luar biasa.

Situasi petani kecil
Sebanyak 62,8 persen dari 28,55 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia (2013) petani, sedangkan sebagian besar sisanya juga petani yang terpaksa keluar dari lahan garapan mereka. Sensus Pertanian menunjukkan tercerabutnya keluarga tani dari lahan garapan mereka sejumlah 500.000 rumah tangga per tahun selama 10 tahun terakhir. Data penurunan jumlah rumah tangga petani disambut gembira beberapa kalangan yang menunjukkan proses ”involusi pertanian” berlangsung. Petani pindah profesi masuk sektor industri dan jasa, yang menyebabkan jumlah petani menurun yang berdampak positif karena jumlah lahan yang dikuasai per rumah tangga petani meningkat.

Fenomena itu tak terjadi, yang sebenarnya terjadi mereka didera kemiskinan akut sehingga terpaksa harus keluar dari lahan atau tanah garapan mereka. Sebagai contoh di Jawa Tengah, hampir di semua golongan luas penguasaan lahan, jumlah rumah tangga petani menurun 10 tahun terakhir. Hanya di kelompok petani yang memiliki luas lahan 0,1-0,2 hektar yang sedikit meningkat, sebanyak 8.658 rumah tangga tani. Penurunan drastis terjadi pada kelompok dengan luas lahan kurang dari 0,1 hektar, yaitu 1.321.787 keluarga tani. Kelompok kedua yang mengalami penurunan cukup besar adalah pemilik lahan 0,2 hektar-0,5 hektar dan 0,5 hektar-1 hektar. Bahkan petani kaya yang punya lahan lebih dari 1 hektar jumlahnya juga turun (diolah dari ST 2013). Fenomena konversi kepemilikan ini jauh lebih berbahaya bagi kelangsungan penyediaan pangan kita dibandingkan dengan sekadar konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian.

Kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin juga kian lebar. Hanya dalam tempo sangat singkat rasio Gini (alat ukur ketimpangan pendapatan penduduk, semakin tinggi semakin timpang) meningkat tajam dari 0,35 (2008) menjadi 0,41 (2013). Pendapatan per kapita petani saat ini jauh di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar rumah tangga pertanian, petani padi, dan palawija, pendapatannya hanya Rp 912.000 per rumah tangga petani per bulan (diolah dari Iswadi, Kompas, 14/7). Padahal, mereka selama ini yang mencukupi kebutuhan pangan pokok kita.

Kajian penulis menghasilkan angka hampir mirip, antara Rp 1.000.000 dan Rp 1.300.000 per bulan per rumah tangga petani padi untuk lahan beririgasi teknis. Jika harus menyewa lahan, pendapatan petani hanya Rp 670.000-Rp 1.000.000 per bulan. Secara agregat (BPS 2014), rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian dari usaha pertanian juga menghasilkan angka tak jauh berbeda dengan angka di atas, Rp 1,03 juta per bulan. Ironisnya, angka itu lebih rendah dari upah minimum provinsi terendah di Indonesia 2014. Upaya petani bertahan hidup menyebabkan mereka harus mengais rezeki di luar pertanian atau beralih usaha ke pertanian hortikultura yang berisiko sangat tinggi. Usaha budidaya cabe, misalnya, perlu modal Rp 50 juta-Rp 80 juta per hektar per musim, bawang merah Rp 35 juta-Rp 75 juta per hektar per musim. Ketika harga cabe jatuh hingga Rp 2.000 per kilogram seperti dua bulan lalu, itu menimbulkan dampak luar biasa bagi keluarga petani.

Impor pangan 10 tahun terakhir meningkat luar biasa, 173 persen untuk 8 pangan utama, sedangkan nilai devisa yang digunakan meningkat tajam dari 3,34 miliar dollar AS (2003) menjadi 14,90 miliar dollar AS (2013) atau hampir 4,5 kali lipat. Jika data itu disandingkan dengan anggaran pemerintah untuk pangan dan pertanian, akan menghasilkan ironi karena anggaran sektor itu meningkat 611 persen hanya dalam 9 tahun. Sering dikemukakan impor pangan serta integrasi masif sistem pangan Indonesia dengan global adalah penyebab utama yang menggerus kapasitas petani memproduksi pangan. Harga impor yang lebih murah (low artificial price) dan praktik dumping menyebabkan produk lokal dan produk petani kecil tergeser produk impor.

Harapan untuk presiden
Upaya meningkatkan kesejahteraan petani perlu menjadi tujuan utama pemerintah di bawah presiden terpilih. Pola pikir dan platform ketahanan pangan yang sudah dikerjakan puluhan tahun ini perlu dirombak mendasar sehingga dunia pertanian memiliki wajah yang sama sekali baru. Platform yang hanya menempatkan pangan sekadar komoditas perdagangan, menempatkan petani hanya sebagai obyek kebijakan, dan penekanan terlalu tinggi pada sisi konsumen perlu dirombak secara mendasar. Paradigma kedaulatan pangan yang dijanjikan presiden terpilih dan ingin diwujudkan di Indonesia perlu dirumuskan dengan tepat, benar-benar dipahami oleh semua birokrat, serta menjadi roh yang menjiwai semua perumusan kebijakan dan program pertanian dan pangan.

Sebagai penutup, visi pertanian Indonesia diharapkan: ”Mewujudkan kedaulatan pangan dan reforma agraria untuk melayani dan memenuhi hak seluruh rakyat atas pangan yang menyehatkan serta peningkatan kesejahteraan keluarga tani melalui dukungan penuh negara terhadap redistribusi tanah untuk petani, pengarusutamaan pertanian keluarga dan agroekologi, serta pelindungan petani terhadap sistem perdagangan yang tidak adil” (deklarasi Aliansi Tani Indonesia Hebat, 1 Juni 2014). Penulis yakin harapan petani akan terpenuhi di pemerintahan mendatang. Dengan memuliakan petani dan meningkatkan kesejahteraan mereka, kita semua selamat dari jurang kehancuran.

Dwi Andreas Santosa Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor; Ketua Umum Bank Benih Tani Indonesia

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140929kompas/#/7/

Menopang Kedaulatan Pangan, Menantang Pasar Global

Minggu, 28 September 2014

Surabaya, Bhirawa
Krisis pangan yang kadang terjadi di negeri ini sesungguhnya merupakan peristiwa yang menggelikan sekaligus menyesakkan dada. Sebagai negeri yang memiliki lahan pertanian luas nan subur, sungguh tiada alasan bagi negeri ini untuk kekurangan bahan pangan jenis apapun. Namun, faktanya beberapa produk utama bahan pangan masih harus mengimpor dari negara lain.
Beras yang dimasa lalu sempat mengalami surplus, ternyata hari ini harus impor agar bisa memenuhi kebutuhan beras nasional. Bukan beras saja, produk-produk pertanian lainnya pun ternyata juga tergantung dari impor. Imbasnya, bangsa ini sering dilanda krisis produk pertanian tertentu karena pasokan impor yang terganggu.
Sungguh ironis, sudah 69 tahun Indonesia merdeka, namun rakyatnya masih belum berdaulat pangan. Bahkan  ada peningkatan impor pangan empat kali lipat dalam kurun waktu 10 tahun, sebanyak US$ 3,34 miliar di tahun 2003 menjadi US$ 14,9 miliar tahun 2013  lalu. Penyusutan luas lahan pertanian sebanyak lima juta hektare lebih, atau menurun 16,32 % dari 2003, selama 10 tahun. Jumlah petani juga menyusut 500.000 rumah tangga dalam kurun 10 tahun, saat ini hanya terdapat 26,14 juta keluarga tani dari tahun 2003 yang berjumlah 31,17 juta keluarga tani.
Data BPS per Maret 2014 menunjukkan tingkat kemiskinan pedesaan sekitar 17 juta jiwa atau hampir 50% dari jumlah petani yang ada di Indonesia, 31,70 juta jiwa. Indeks Kebahagiaan (IK) masyarakat kota juga lebih tinggi daripada di desa, yakni 65,92 dan 64,32. Muara dan dampak dari problem tersebut adalah kemiskinan agraria pedesaan, realita kemiskinan pedesaan selalu di depan daripada kemiskinan perkotaan. Ini berarti kemuliaan rumah tangga desa penghasil pangan tidak diimbangi dengan kemuliaan ekonomi pertanian. Oleh karena itu untuk mengubah keadaaan ini, presiden terpilih harus bergerak cepat, belajar, dan tidak mengulangi kesalahan pemerintahan terdahulu yang menyebabkan pertanian Indonesia semakin terpuruk.
Kondisi sektor pertanian yang sedemikian itu membuat industri penopang sektor pertanian juga mengalami persoalan. Terbukti, sektor industri penopang pertanian seperti industri pupuk pun tidak mampu menunjukkan pertumbuhan yang meyakinkan. Realitas ini bisa dimengerti mengingat tidak ada kebijakan di sektor pertanian yang bisa memacu industri pupuk ikut maju. Logikanya, ketika pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan yang mampu membuat sektor pertanian menggeliat, maka implikasinya industri pupuk pun ikut tidak bergerak.

Mewujudkan Kedaulatan Pangan
Kedaulatan pangan menjadi isu yang seksi dalam kampanye Pilpres kemarin. Masing-masing pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta Rajasa sama-sama menjanjikan kedaulatan pangan jika menang dalam Pilpres. Oleh karena itu, ketika Pilpres sudah usai, maka publik pantas dan wajib untuk menagih langkah-langkah pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla dalam mewujudkan kedaulatan pangan.
Di atas kertas, sesungguhnya keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negeri yang berdaulat pangan bukanlah sesuatu yang berlebihan. Apalagi dalam sejarahnya, bangsa ini pernah menggapainya. Sederhana saja, di masa orde baru lalu, Indoneisa adalah eksportir beras yang tangguh, namun kini bangsa ini telah menjelma menjadi bangsa yang selalu membutuhkan suntikan impor produk-produk pertanian, ironis bukan?
Dalam konteks inilah, ketika ada keinginan kuat dari pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan maka menjadi momentum bagi industri penopang pertanian utamanya industri pupuk untuk tumbuh dan berkembang. Artinya, ketika ada kesungguhan dari pemerintah untuk menggarap sektor pertanian, maka dengan sendirinya kondisi itu akan merangsang industri pupuk nasional untuk meningkatkan produksinya. Tanpa ada kesungguhan untuk memberi perhatian secara serius terhadap sektor pertanian, maka sulit rasanya industri pupuk nasional akan tumbuh kuat dan tangguh.
Namun demikian, tentu hanya berharap pada pemerintah untuk membuat kebijakan yang memihak petani juga tidak bijaksana. Di kalangan industri pupuk sendiri juga harus melakukan pembenahan baik dalam hal kualitas produk maupun harga jualnya. Sebab, ketika harga pupuk terlalu mahal sementara kemampuan daya beli petani minim juga akan membuat industri pupuk sulit berkembang.
Sementara di luar sana, beberapa negara tengah mempersiapkan industri pupuk yang siap menggelontor petani tanah air yang bisa jadi lebih murah dan berkualitas. Kondisi ini lagi-lagi juga butuh perhatian pemerintah agar berani membuat kebijakan di bidang industri yang memihak kepentingan industri pupuk. Misalnya memberikan kemudahan dan jaminan terhadap kebutuhan gas bagi industri pupuk tersebut. Bahkan, kebijakan subsidi pupuk yang selama ini sudah diberikan harus terus ditingkatkan dengan harapan akan menggeliatkan sektor pertanian. Bagaimanapun keberpihakan subsidi terhadap industri pupuk akan berdampak langsung kepada nasib petani di desa-desa. Inilah model subsidi yang akan mendorong produktivitas pertanian kita. Kita tentu tidak ingin pemerintah membiarkan industri pupuk nasional kita bertarung sendirian untuk dapat bertahan hidup.
Begitu beratnya dalam pengembangan industri pupuk ini, bahkan, sempat berkembang wacana bahwa pemerintah akan menutup industri pupuk badan usaha milik negara dan memilih mengimpor pupuk urea. Kalau kebijakan itu benar-benar dijalankan, maka industri pupuk BUMN akan berada dalam ancaman. Petani memang akan mendapat harga pupuk murah. Anggaran subsidi bisa dihemat, tetapi itu sesaat. Namun, buah pahit justru akan dialami saat ini. Petani bisa membeli pupuk dengan harga 500 dollar AS per ton, bahkan bisa 700 dollar AS. Itu pun kalau ada barangnya. Harga pupuk yang terlampau mahal itu tidak akan sanggup dibeli petani. Untuk menyiasati itu, petani bakal mengurangi penggunaan pupuk atau tidak mau menggunakan pupuk sama sekali. Produksi pangan, seperti beras, jagung, dan kedelai, bakal terganggu.
Berkaca dari pengalaman itu, industri pupuk ternyata menentukan bagi kelangsungan produksi pangan nasional. Namun patut digarisbawahi, bahwa subsidi pupuk adalah bagian dari proses dalam memperkuat industri pupuk nasional. Kebijakan ini bisa saja dihentikan ketika secara nyata industri pupuk nasional kita sudah tangguh dan sehat sehingga siap bersaing dengan industri-industri asing. Ingat, tidak lama lagi, di dunia bakal beroperasi 60 pabrik urea baru. Sebanyak 18 unit di antaranya berada di China. Kapasitas pabrik urea sejagat pun akan melonjak, dari 182 juta ton menjadi 226 juta  ton pada 2016. Yang menarik (baca : mencemaskan) adalah banyak di antara pabrik itu yang berorientasi ekspor. Contohnya Pakistan. Tadinya tetangga India itu terbilang importir besar urea tapi sekarang sudah mempunyai bahan baku dalam jumlah yang memadai. Tak hanya menjadi swasembada, tapi Pakistan juga bakal jadi eksportir kalau mereka punya cukup gas. Kondisi mirip terjadi di Vietnam yang kini tengah bersemangat mengembangkan  pabrik pupuk. Dan bila tidak ada kendala teknis, Vietnam akan jadi eksportir.

Peran PT Petrokimia Gresik
PT Petrokimia Gresik (PKG) yang kini merupakan anak perusahaan dari PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) memproduksi dan memasarkan pupuk urea, ZA, SP-36/18, Phonska, DAP, NPK, ZK dan industri kimia lainnya serta pupuk organik. Dengan demikian, Petrokimia memiliki peran signifikan dalam mewujudkan kedaulatan pangan khususnya dengan produksi pupuk yang berperan dalam meningkatkan produktivitas pertanian.
Diluar Petrokimia, anak perusahaan lain juga memproduksi pupuk. Misalnya saja seperti PT Pupuk Kujang (PKC), memproduksi dan memasarkan pupuk urea, NPK, organik dan industri kimia lainnya. PT Pupuk Kaltim (PKT), memproduksi dan memasarkan pupuk urea, NPK, organik dan industri kimia lainnya. PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), memproduksi dan memasarkan pupuk urea dan industri kimia lainnya. PT Pupuk Sriwidjaja Palembang memproduksi dan memasarkan pupuk urea dan industri kimia lainnya serta pupuk organik. Namun demikian dibandingkan dengan anak perusahaan lainnya, Petrokimia menjadi anak perusahaan yang terbesar kapasitas produksi pupuknya. Dengan demikian, Petrokimia memiliki kekuatan untuk ikut mengendalikan pasokan pupuk nasional.
Dalam mengemban tugas bagi ketahanan pangan nasional, PT Petrokimia Gresik dituntut untuk meningkatkan daya saingnya. Dengan demikian langkah melakukan revitalisasi pabrik lama ataupun dengan membangun pabrik baru sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi Petrokimia. Revitalisasi pabrik lama dan pembangunan pabrik baru itu merespons perkembangan industri dunia yang makin efisien dan kompetitif. Kalau industri  pupuk tidak efisien, maka produk asing itu dengan mudah akan masuk. Sekali produk asing itu masuk, dan kemudian menjalar, akhirnya kita nggak ada kedaulatan. Akhirnya, pangan kita akan ditentukan oleh suplai dari orang. Sementara pendirian pabrik pupuk baru di Kaltim dan Jatim itu berkapasitas lebih besar dan lebih hemat energi. Pembangunan pabrik di Jawa juga diharapkan memangkas pengeluaran sebanyak US$60 juta/tahun yang selama ini untuk mentransportasikan pupuk dari Sumatera dan Kalimantan ke Pulau Jawa.
Berkaca pada paparan di atas, maka perlu dilakukan langkah-langkah serius agar PT  Petrokimia Gresik bukan saja mampu menjadi penopang utama untuk mewujudkan kedaulatan pangan nasional, tetapi juga mampu berbicara banyak di pasaran pupuk di level dunia.
Pertama, bahwa adanya permintaan pupuk kian bertambah, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, maka mau tidak mau PT Petrokimia Gresik harus melipatgandakan kapasitas produksinya. Oleh sebab itu tepat kiranya kalau langkah ekspansi dalam bentuk pembangunan sebuah pabrik baru disiapkan.  Tekad PT Petrokimia untuk menambah total jumlah produksi pupuk dari kisaran 4,39 juta ton per tahun menjadi sekitar 5,32 juta ton tentu merupakan kabar baik. Ditargetkan pada tahun 2017 nanti kapasitas produksi bisa naik signifikan dari 6 juta ton menjadi 8 juta ton.
Hasil produksi pupuk yang akan dipacu produksinya adalah meliputi pupuk jenis K2SO4, ZA, urea dan NPK. Sedangkan untuk produk non pupuk yang akan digenjot kuantitas produksinya adalah meliputi amonia, cement retarder, asam sulfat, dan asam fosfat. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa konsolidasi dan membangun pabrik baru di lokasi yang dekat dengan sumber gas baru. Strategi ini dimaksudkan agar dapat lebih mengoptimalkan investasi serta lebih menjamin pasokan gas sebagai feed stock pabrik pupuk tersebut untuk memastikan program revitalisasi pabrik pupuk Indonesia berhasil dengan baik.
Kedua, PT Petrokimia Gresik dituntut untuk mengembangkan produk-produk baru sesuai dengan kebutuhan dan selera pasar. Misalnya saat ini tengah berkembang green technology atau teknologi yang ramah lingkungan, maka dengan sendirinya Petrokomia juga harus memproduksi bahan-bahan yang ramah lingkungan. Dengan luas lahan pertanian dan perkebunan di Indonesia yang begitu besar didukung dengan pengalaman Petrokimia selama lebih dari 20 tahun di Industri Agrokimia, tentu Petrokimia harus  berperan serta dan memberikan yang terbaik dengan produk-produk yang berkualitas kepada para petani dan pelaku usaha yang bergerak di bidang pertanian dan perkebunan untuk menyelamatkan hasil panen nya serta membantu pemerintah menciptatakan swasembada pangan di Indonesia. Diproduksinya Bio Pestisida dan Bio Fertillizer untuk mendukung gerakan Go Green di Indonesia tentu merupakan langkah cerdas yang dilakukan Petrokimia.
Ketiga, bahwa Petrokimia dituntut terus melakukan inovasi dan diversifikasi produk. Beberapa waktu lalu, Petrokimia meluncurkan tiga produk inovasi baru sejalan dengan upaya mendukung ketahanan pangan nasional dan memenuhi kebutuhan pasar yang semakin berkembang. Peluncuran berbagai produk inovasi tersebut merupakan bentuk diversifikasi bidang usaha yang sudah lama dikembangkan oleh PKG. Pengembangan produk inovasi ini bertujuan agar usaha PKG bisa mencakup seluruh sub sistem sektor pertanian. Adapun tiga produk inovasi baru yang diluncurkan yakni Petro Biofeed, Petro Chick dan benih jagung hibrida Petro Hi-Corn. Petro Biofeed dan Petro Chick merupakan probiotik untuk sapi dan unggas yang mengandung penghasil zat anti-mikroba pathogen, penyeimbang mikroflora rumen, dan meningkatkan napsu makan serta kemampuan mencerna protein sehingga dapat mengurangi bau pada kotoran. Sedangkan Petro Hi-Corn (varietas Bima 14 Batara) merupakan benih unggul yang lebih tahan terhadap penyakit dan memiliki potensi produksi pipilan kering 12,9 ton/ha. Meski mengeluarkan banyak produk inovatif, PKG tetap tidak akan meninggalkan produksi pupuk sebagai core bisnisnya selama ini. Peluncuran produk-produk inovasi tersebut tidak hanya untuk mendukung kinerja perusahaan tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan pasar yang semakin berkembang.
Selanjutnya, peresmian bio center plant dan ground breaking unit produksi enzim di PT Petrosida Gresik yang pertama kali di Indonesia ini dilakukan Menristek Gusti Muhammad Hatta beberapa waktu lalu sesungguhnya membuktikan Petrokimia serius untuk mengembangkan risetnya agar bisa menghasilkan produk yang berkualitas dan menjawab kebutuhan zaman. Kerjasama kemitraan dalam bentuk konsorsium dilakukan oleh BPPT dengan PT Petrosida Gresik dan perguruan tinggi Universitas Diponegoro (Undip) untuk mengembangkan teknologi enzim dan aplikasinya telah berhasil merintis suatu unit produksi enzim yang merupakan industri enzim komersial pertama di Indonesia. Dengan adanya produksi enzim ini kita tidak tergantung pada luar negeri. Ini karya anak bangsa sendiri. Dampaknya bisa mengurangi devisa impor Rp 187,5 miliar per tahun sebab impor enzim sebanyak 2.500 ton per tahun. Dengan produksi dalam negeri yang ditargetkan akan selesai pada awal 2015.
Keempat, bahwa keberadaan pupuk bersubsidi sungguh dapat membantu petani untuk meningkatkan produksi tanaman. Selain itu, industri pupuk berkembang. Namun sayangnya, produsen pupuk kurang memanfaatkan peluang pasar yang sudah terbentuk dari program pupuk bersubsidi ini. Sebenarnya, bagi produsen yang jeli melihat pasar, pupuk bersubsidi merupakan peluang yang sangat baik untuk memasarkan produk pupuk. Tapi ternyata, tak satu pun produsen yang jeli memanfaatkan peluang itu. Produsen terbuai dengan enaknya memasok pupuk yang ditugaskan untuk menyalurkan pupuk bersubsidi. Pupuk bersubsidi ini langkah awal bagi produsen untuk menggarap pasar ditingkat petani. Seharusnya, produsen jangan sebatas mensuplai pupuk ke petani saja. Mereka mestinya, memantau sampai sejauh mana manfaat pupuknya terhadap produksi. Padahal, mestinya produsen punya pandangan jauh ke depan. Setelah program ini ditiadakan, petani tetap akan pakai produk mereka. Untuk itu semestinya mereka juga mengawal di tingkat petani, sehingga diketahui keunggulan dan kelemahan produknya. [wahyu kuncoro sn]

http://harianbhirawa.co.id/2014/09/menopang-kedaulatan-pangan-menantang-pasar-global-2/

Kamis, 25 September 2014

Sawah Dikuasai Pemodal Besar

Kamis, 25 September 2014

Luas Lahan Petani Rata-rata Hanya 0,3 Hektar

CIREBON, KOMPAS — Petani di Kabupaten Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat, rata-rata hanya memiliki 0,3 hektar lahan. Sebagian besar lahan produktif di kawasan itu milik pemodal besar atau tanah bengkok. Petani umumnya menyewa tanah milik pemodal besar untuk mereka tanami.
”Harga sewanya bervariasi di setiap tempat. Pada daerah yang airnya bagus atau saluran irigasinya terjaga, maka harganya akan lebih tinggi. Sebagai gambaran, di daerah yang satu kali panen, harga sewa sawah bisa Rp 5 juta per hektar untuk satu kali musim,” kata Tasrip Abubakar, Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Cirebon, Rabu (24/9), di Cirebon.

Selain dimiliki pemodal besar, lahan-lahan produktif di Cirebon dan Indramayu dikuasai oleh pengurus desa karena merupakan tanah bengkok. Pengajar Ilmu Ekonomi di Institut Agama Islam Negeri Syekh Nur Jati, Cirebon, Agus Alwafier, mengatakan, ia pernah menelusuri hingga ke kampung-kampung dan mendapati seorang kuwu atau kepala desa menguasai puluhan hektar sawah sebagai tanah bengkok.

”Di Indramayu, fenomena ini paling banyak ditemui. Posisi kuwu amat menjanjikan karena luasnya tanah bengkok yang dijanjikan. Jumlahnya yang luas dan tidak jarang disalahgunakan. Di sisi lain, petani kecil masih banyak yang tidak memiliki lahan garapan. Para petani pun menjadi petani penyewa dengan sistem bagi hasil,” ujarnya.

Hal senada dikemukakan sejumlah petani yang tergabung dalam Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia Kabupaten Indramayu.

Karsinah (80), petani dari Desa Segeran Kidul, Kecamatan Juntinyuat, misalnya, menyewa lahan seluas 2 hektar di depan rumahnya yang kini dikelola keluarganya. ”Umumnya petani di sini menyewa. Memang ada yang punya tanah sendiri, tetapi itu umumnya bos beras (petani besar),” ujarnya.

Karena tidak mempunyai uang untuk menyewa sawah, Amin Jalalen (48), petani dari Desa Kalensari, Kecamatan Widasari, Indramayu, memilih mengelola lahan telantar di Cikamurang. ”Saya khawatir setelah tanah itu menjadi lahan produktif, negara lalu mengambilnya dari saya tanpa ganti rugi. Bahkan, negara bisa menyewakan atau menjualnya kepada pemilik modal. Selanjutnya, kami yang menyewa lahan dari mereka,” kata Amin.

Ia berharap pemerintah segera mewujudkan Undang-Undang Reforma Agraria yang memberi kesempatan petani seperti dirinya bisa mengelola lahan untuk hidup sehari-hari.

Berpihak kepada petani
Kemarin, sejumlah kelompok masyarakat tani dan berbagai elemen masyarakat yang peduli petani berunjuk rasa di sejumlah daerah. Mereka menuntut pemerintah berpihak kepada petani. Unjuk rasa ini dalam rangka memperingati Hari Agraria Nasional atau Hari Tani Nasional yang jatuh pada 24 September.

Di Palembang, misalnya, sekitar 800 orang dari kelompok masyarakat tani di Sumatera Selatan menuntut agar pemerintah menyelesaikan konflik lahan, serta melindungi lahan garapan dan harga komoditas pertanian.

Sekretaris Jenderal Serikat Petani Sriwijaya, Anwar Sadat, mengatakan, ada konflik lahan 23 desa di empat kabupaten di Sumsel dengan perusahaan perkebunan yang harus diselesaikan pemerintah. Luas lahan yang dalam sengketa itu sekitar 20.000 hektar.

Di Bandar Lampung, sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Lampung menuntut agar perampasan tanah lahan pertanian bagi perkebunan besar, taman nasional, pertambangan dan infrastruktur dihentikan.

Di Solo, Jawa Tengah, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Mahasiswa Penyelamat Agraria menuntut pemerintah fokus membangun sektor pertanian. (REK/DIA/GER/KOR/HEI/RWN/IRE/BAY/COK)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140925kompas/#/22/

Ribuan Hektar Sawah Kering

Kamis, 25 September 2014

Ketinggian Air Waduk Tilong Susut 5 Meter

TASIKMALAYA, KOMPAS — Areal tanaman padi seluas 3.713 hektar di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, dan 1.192 hektar di Provinsi Lampung kekeringan. Dampak kekeringan di dua daerah itu sebagian besar masih berdampak ringan dan sedang. Namun, 52 hektar di tanaman padi di Lampung terancam gagal panen atau puso.
Di Tasikmalaya, bantuan pompa air disediakan pemerintah kabupaten di 39 kecamatan guna meminimalkan dampak lebih buruk. Total luas lahan sawah di daerah itu 49.600 hektar.

”Sejauh ini dampak kekeringan masih bersifat ringan dan sedang. Seluas 288 hektar tanaman padi tergolong ringan dan 3.433 hektar lainnya sedang,” kata Kepala Bidang Padi dan Palawija di Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya, Hetty Heryati, Rabu (24/9), di Tasikmalaya.

Hetty mengatakan, dampak kekeringan terjadi karena banyak petani tetap menanam padi saat memasuki musim kemarau, Juli 2014. Hal itu tetap dilakukan meskipun petani sudah dianjurkan tidak menanam saat musim kemarau. ”Hujan yang masih turun pada Juli 2014 membuat petani kebingungan. Mereka tetap menanam karena mengira hujan akan turun lebih lama,” katanya.

Untuk meminimalkan dampak ini, Hetty mengatakan sudah menyalurkan masing-masing satu pompa air di 39 kecamatan. Meskipun masih jauh dari cukup, ia berharap kekeringan tidak terlalu menyengsarakan petani.

Di Lampung, kekeringan tanaman padi tersebar di 15 kabupaten dan kota. Menurut Kepala Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Lampung, Iskandar Syah, di Bandar Lampung, Rabu, dari total 1.192 hektar lahan yang kekeringan, seluas 1.124 hektar di antara kekeringan ringan, 34 hektar kekeringan sedang, 2 hektar kekeringan berat, dan 32 hektar terancam puso. Seluruh lahan persawahan yang terancam puso terdapat di Kota Metro.

Menurut Iskandar, sawah yang terancam puso ini terjadi karena petani yang sudah dianjurkan untuk tidak menanam bibit sejak Agustus, nekat, dan memaksa menanam.

”Kami sudah memprediksi hal ini. Kami tidak menyarankan tanam bibit setelah Agustus karena akan ada kekeringan dan program perbaikan saluran irigasi untuk beberapa daerah,” tutur Iskandar.

Selain sudah memasuki musim kemarau sejak September, aliran irigasi yang biasa mengaliri air ke sejumlah sawah juga ditutup. Irigasi itu sedang dalam masa perbaikan, dengan mengganti dinding aliran sepanjang puluhan kilometer.

Sunarto, buruh tani di Kecamatan Metro Selatan, Kota Metro, menyebutkan, tiga petak lahan yang ia garap mengalami puso karena kekeringan. ”Saya sudah bilang kepada pemilik lahan, tetapi pemilik lahan yakin hujan tetap turun Agustus sampai November. Memang waktu Agustus di daerah ini masih sering hujan, tetapi sejak September tak pernah hujan,” tuturnya.

Kekeringan terparah terjadi di Kabupaten Lampung Selatan. Di daerah itu 1.006 hektar tanaman padi kekeringan ringan.

Waduk Tilong
Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Lampung, Ekodiah, menambahkan, pihaknya mencoba langkah antisipasi menghadapi kekeringan dengan memberi pinjaman pompa air dan penyediaan cadangan benih nusantara.

Di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, musim kemarau ini mengakibatkan ketinggian air Waduk Tilong menyusut 5 meter dari permukaan normal hingga sekitar April lalu. Dampak yang kini mulai terasa antara lain ancaman gagal panen berpotensi melanda sekitar 80 hektar tanaman padi di bagian hilir dan gangguan pasokan air bersih bagi sebagian warga Kota Kupang.

Waduk yang dibangun selama enam tahun sejak 1995 itu berlokasi di Desa Noelnasi, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, atau sekitar 16 kilometer timur Kota Kupang. Dengan areal genangan seluas 192 hektar dan berdaya tampung 19 juta meter kubik air, keberadaan waduk sejauh ini diandalkan mengairi sawah seluas 1.484 hektar dengan pola tanam bergantian padi-palawija. Waduk sekaligus menjadi sumber air baku bagi warga Kota Kupang dan sekitarnya.

Seperti disaksikan di lokasi, Rabu, jejak penyusutan air terlihat jelas melalui dinding bagian dalam waduk. Bekas penyusutan meninggalkan warna putih dari endapan kapur. Sementara dinding waduk bagian atasnya berwarna kehitaman sebagai pertanda tak terjangkau genangan air.

Secara terpisah, sejumlah petani di sekitar waduk kini mengeluh tidak bisa lagi menggenangi sawah mereka secara maksimal. Bahkan, tidak sedikit sawah dengan tanaman padi berusia sekitar 1-2 bulan mengering.

Di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, kekeringan membuat warga di sejumlah wilayah sulit mendapatkan air bersih. Sebagian warga kini hanya mengandalkan bantuan kiriman air bersih karena sumur ataupun telaga sudah kering. Setiap ada kiriman air bersih langsung diserbu warga.

Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Gresik, Abu Hasan, 56 desa di tujuh kecamatan terdampak kekeringan. Distribusi air bersih ke desa terdampak sudah berlangsung sejak Agustus lalu.

Warga Munggugianti, Kecamatan Benjeng, Sulasmi (47), mengatakan, desanya dua kali mendapatkan kiriman air bersih. Bantuan menjadi andalan warga sebab telaga kering sejak tiga pekan lalu. (CHE/GER/ANS/ACI)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140925kompas/#/21/

Rabu, 24 September 2014

650 Hektar Sawah Baru

Rabu, 24 September 2014

Sistem Distribusi Hasil Tani Tidak Direncanakan


GORONTALO, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Gorontalo mencetak 650 hektar sawah baru pada tahun ini. Pencetakan awah baru ini akan dilakukan setiap tahun untuk mengantisipasi berkurangnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan produktif menjadi permukiman atau perkantoran. Lahan untuk pencetakan sawah baru ini diambil dari lahan bekas hak guna usaha yang tidak dimanfaatkan lagi.
”Tahun lalu kami berhasil mencetak sawah baru seluas 700 hektar dan rencana untuk tahun depan pencetakan sawah baru seluas 600 hektar. Penambahan luasan sawah baru ini dilakukan di semua kabupaten dan kota se- Gorontalo,” ujar Kepala Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo Muljady Mario di Gorontalo, Selasa (23/9).

Selain mencetak sawah baru, kata Mario, Pemerintah Provinsi Gorontalo juga tengah membangun irigasi di Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato. Irigasi yang ditargetkan rampung pada 2017 itu akan dipakai untuk mengairi sawah seluas 10.000 hektar. Jaringan irigasi di Kecamatan Paguyaman, Kabupaten Boalemo, yang dibangun tahun lalu dimanfaatkan untuk mengairi 6.800 hektar sawah.

”Pencetakan sawah baru harus diiringi dengan pembangunan irigasi. Setiap tahun kami juga ada program perawatan dan perbaikan irigasi yang mencapai ribuan hektar,” kata Mario.

Saat ini, luas sawah produktif di Gorontalo mencapai 56.894 hektar. Dengan luas tersebut, padi yang dihasilkan pada 2013 di Gorontalo sebanyak 295.913 ton.

Pemprov Jawa Barat menargetkan pencetakan 100.000 hektar sawah baru tercapai pada 2015. ”Tahap pencetakan sawah baru itu masih dalam pengidentifikasian lokasi. Umumnya, sawah baru akan dibuka di wilayah selatan Jabar. Kami masih kaji sistem pengairannya,” kata Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jabar Husain Ahmad, Selasa, di Bandung.

Menurut Husain, lahan di wilayah selatan Jabar dipilih karena masih relatif lengang dibandingkan di wilayah utara. Selama ini, persawahan di wilayah selatan sering terkena dampak kekeringan karena umumnya merupakan sawah tadah hujan. ”Oleh karena itu, kami mengembangkan cara bagaimana mengaliri sawah baru tersebut nantinya,” ujarnya.

Salah satu lokasi di wilayah selatan adalah di Tasikmalaya. Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya menargetkan membuka 100 lahan sawah baru pada 2014. ”Kami juga akan mengusahakan pembuatan jaringan irigasinya agar ketersediaan air tetap terjaga sepanjang tahun,” kata Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya Hendri Nugroho di Tasikmalaya.

Dia mengatakan, meski alih fungsi lahan Tasikmalaya baru 5-10 hektar per tahun, beragam persiapan harus terus dilakukan guna menjaga produktivitas panen beras. Kini di Tasikmalaya tercatat ada 49.600 hektar sawah dari total luas sawah mencapai 268.090 hektar. Pada 2013, total panen dari sawah Tasikmalaya mencapai 295.734 ton beras.

Distribusi hasil tani
Husain mengatakan, Pemprov Jabar hanya merancang lokasi pembukaan lahan sawah baru serta saluran pengairannya. Adapun sistem distribusi hasil tani, seperti sarana pengangkutan, dan infrastruktur jalan tidak termasuk dalam rencana itu. Pemerintah juga tidak memberi jaminan ketersediaan pupuk dan benih. ”Nanti kelompok masyarakat sendiri yang menentukan,” kata Husain.

Sebelumnya, Ketua Harian Himpunan Kelompok Tani Indonesia Jabar, Entang Sastraatmadja, menyarankan, Pemprov Jabar menyiapkan sarana pendukung bagi lahan sawah baru. ”Air adalah sarana utama. Selain itu, harus dipikirkan bagaimana nanti membawa dan menjual hasil panen mereka. Lihat saja sendiri sekarang, akses jalan menuju Jabar selatan rusak. Itu menyulitkan petani,” kata Entang.

Nana Sukarna, pendamping kelompok petani di Kabupaten Subang, mengatakan, jika pencetakan sawah baru tanpa ada perlindungan akses alat produksi, seperti ketersediaan benih, pupuk, dan alat kerja, serta akses pasar, petani sulit meningkatkan kemakmuran mereka.

”Masalah akan terulang beberapa tahun kemudian karena petani akan tetap kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Lahan, alat produksi, dan jaminan pasar adalah tiga hal wajib yang harus dimiliki petani saat ini,” ujar Nana.

Sementara itu, petani di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menjaga aliran air irigasi mulai dari pintu air di bendungan hingga ke sawah mereka. Ini untuk memastikan aliran air ke lahan mereka tidak diserobot petani lain. (APO/CHE/HEI/EGI)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140924kompas/#/22/

Selasa, 23 September 2014

Investasi Tidak Ditutup

Selasa, 23 September 2014

Kedaulatan Pangan agar Tak Terganggu

Jakarta, Kompas Pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla tidak harus menutup aliran modal asing dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Investasi itu harus dikelola secara tepat agar tidak mengganggu pencapaian kedaulatan pangan.
Menurut Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Jember Rudi Wibowo, Senin (22/9), saat dihubungi di Jember, Jawa Timur, kita hidup di alam global yang tidak mungkin lagi menutup diri dari dunia luar. Apalagi Masyarakat Ekonomi ASEAN akan dimulai pada 2015.

”Dengan demikian, jelas kebijakan pangan kita ikut memperhatikan dinamika itu. Hal terpenting adalah kebijakan pangan bangsa ini tetap mengedepankan kemandirian, ketahanan, dan keamanan pangan rakyat. Hal ini harus berlaku untuk aspek produksi, distribusi, perdagangan, dan konsumsi. Tidak mungkin kebijakan pangan kita tak mempertimbangkan jejaring global, khususnya ASEAN,” katanya.

Perdagangan dan investasi di bidang pangan tidak mungkin ditutup. Akan tetapi, mesti mengedepankan kebijakan kerja sama berdasarkan kerja sama saling menguntungkan agar kita tetap mampu menjaga kedaulatan bangsa, terutama di bidang pangan.

Investasi di bidang pangan harus mengedepankan pemanfaatan sumber pangan lokal yang sekaligus meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat lokal.

Di tempat terpisah, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Gatot Irianto mengungkapkan, bagaimanapun Indonesia membutuhkan modal untuk percepatan pembangunan sektor pertanian dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan nasional.

Saat ini berbagai industri komponen pendukung kedaulatan pangan merupakan hasil penanaman modal asing. Mereka sudah puluhan tahun berinvestasi dan melakukan penelitian sehingga secara perlahan menguasai pasar. Hal seperti ini bisa dilihat pada industri benih jagung.

”Kita tentu tidak bisa meminta mereka untuk menutup investasinya karena itu akan berdampak terhadap ketersediaan benih jagung nasional dan akan berpengaruh pada produktivitas dan produksi jagung,” katanya.

Memaksakan diri untuk berkompetisi dengan perusahaan multinasional juga membutuhkan persiapan yang matang dan strategi.

Jika tak bisa bersaing dengan mereka, cara yang terbaik adalah melakukan pengaturan sehingga investasi masih tetap berjalan sementara kepentingan kedaulatan pangan tidak terganggu.

Dalam hal komponen bahan baku industri pupuk kimia, misalnya, kebutuhan fosfat dan kalium untuk industri pupuk masih diimpor. Untuk mewujudkan kedaulatan pangan, impor tidak harus dihentikan sekarang.

Gatot melihat ada baiknya jika penggunaan pupuk kimia dikurangi sambil menggantikannya dengan pupuk organik. Akan tetapi, pengembangan industri pupuk organik harus dipersiapkan dengan baik.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin mengatakan, strategi peningkatan produksi pangan melalui pertanian presisi dan perubahan teknologi plus perluasan areal pangan masih menjadi pilihan yang rasional. (MAS)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140923kompas/#/18/

Senin, 22 September 2014

Jokowi Harus Berantas Mafia Pangan

Senin, 22 September 2014

Ketahanan Pangan | Bulog Jangan Sekadar Berorientasi pada Keuntungan

JAKARTA – Kedaulatan serta ketahanan pangan tidak akan terwujud apabila praktik kartel atau mafia di sektor pangan terus dibiarkan. Karena itu, pemberantasan mafia pangan harus menjadi prioritas dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

Demikian ditegaskan Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Benni Pasaribu, dalam diskusi bertajuk “Membaca Arah Politik Pangan di Era Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla” di Jakarta, kemarin.

Menurut Benni, salah satu masalah yang terus membuat sektor pangan tak pernah berdaulat di negeri ini adalah kuatnya cengkeraman para mafia, salah satunya mafia pupuk. “Masih ada mafia pupuk. Sebentar lagi, bulan Januari musim panen. Bulog mestinya difungsikan. Nah, saat Jokowi dilantik, itu sudah masuk musim tanam. Kita harus antisipasi kelangkaan pupuk yang selalu jadi mainan mafia pupuk,” kata Benni.

Tidak hanya mengantisipasi potensi kelangkaan pupuk di musim tanam, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla juga harus mengantisipasi kemungkinan kelangkaan benih. Selama ini, pupuk dan benih selalu menjadi “permainan” oknum-oknum di sektor pangan. Dan itu bukan rahasia lagi.

“Lihat saja kita masih menemukan pupuk bersubsidi di Kuching, Malaysia. Ini kan permainan, persis kayak mafia BBM. Nah, di bulan Oktober, saat Jokowi sudah mulai bekerja, masalah mafia seharusnya sudah bisa diberantas. Oktober mafia pupuk harus diselesaikan,” katanya.

Padahal, kata dia, Indonesia sangat mungkin untuk secepatnya bisa berdaulat di sektor pangan. Tetapi memang sektor ini seperti salah urus dan kelola. Ia pun mencontohkan BUMN Sang Hyang Sri yang bergerak dalam pembudidayaan benih. Perusahaan pelat merah yang memunyai lahan untuk pembudidayaan benih hingga 3.000 hektare itu kini megap-megap. Padahal, kalau diurus dengan benar, Sang Hyang Sri bisa jadi “juru selamat” bagi petani, terutama untuk memenuhi bibit atau benih unggul tanaman pangan atau komoditas.

“Sang Hyang Sri punya 3.000 hektare lahannya. Kini apa coba? Itu karena orientasinya proyek sehingga kreativitas tak ada lagi. Badan Urusan Logistik atau Bulog dulu bisa jadi pengaman harga pangan, kenapa sekarang tidak? Kita ada semua, tinggal kembalikan fungsi Bulog. Bulog juga tak perlu melulu cari untung, tapi jadi agen development, menjadi stabilisitator harga dan penjaga stok nasional,” kata dia.

Apalagi Bulog, kata Benni, sudah punya gudang-gudang di pelabuhan atau di kota-kota di daerah. Tinggal fungsikan itu kembali sehingga, ketika masa paceklik tiba, masalah pangan tak terus jadi problem.

“Sekarang kan gudang-gudang Bulog atau KUD menganggur, jadi lapangan futsal malah karena sekarang barang dari pelabuhan langsung masuk pasar,” kata Benni.

Yang paling menjengkelkan, menurut Benni, para mafia pemburu rente di sektor pangan itu masuk di kala musim panen petani. Contohnya membanjirnya bawang impor dari luar yang masuk ke Brebes. “Contoh bawang impor masuk lewat Brebes. Bawang impor yang masuk jelek-jelek, sementara bawang Brebes itu kualitas nomor satu. Tapi di-packing jadi bawang Brebes dikirim ke Papua. Lha orang Papua bilang kok sekarang jelek ya bawang Brebes,” katanya.

Praktik-praktik curang seperti itulah, kata Benni, yang mesti diberantas di era Jokowi. Ia yakin Jokowi berani. Karena itu, menteri pertaniannya pun mesti berani memberantas mafia, bukan malah melanggengkannya. “Berantas mafia. Bagi saya, nomor satu kembali ke rule yang ada. Kalau ada regulasi yang condong pada penguasaan pasar oleh sekelompok orang, atau monopolistik, itu kita evaluasi, kita perbaiki. Karena di situ mafia atau kartel bermain,” katanya.

Oleh sebab itu, di awal pemerintahannya, pemberantasan mafia impor pangan atau praktik kartel dalam tata niaga, mesti jadi prioritas, bahkan mesti jadi prioritas dalam program 100 hari Jokowi-Jusuf Kalla.

Menurut Benni, harus dikembangkan usaha di luar masa tanam agar petani tak menganggur ketika masa tanam usai. Ia pun mengusulkan agar pemerintah ke depan membangun industri dasar pengelolaan hasil pertanian. “Di industri dasar ini, produk pertanian paling tidak bisa diolah dalam satu atau dua proses. Nah, industri hilirnya di pelabuhan,” kata dia.

Menurut Benni, banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi Jokowi di sektor pangan, terutama komitmen Jokowi untuk melindungi petani dari serbuan produk pangan impor. Oleh sebab itu, produktivitas petani domestik mesti digenjot dan didukung, baik oleh politik anggaran, regulasi, maupun riset serta teknologi tepat guna.

Benni bersyukur kedaulatan pangan menjadi prioritas pemerintahan Jokowi. Setidaknya, ada lima strategi dasar yang harus dilakukan. Lima strategi itu, antara lain, pengembangan usaha tani berbasis agribisnis dan agri-industri, peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani, revitalisasi dan penguatan kelembagaan petani, pengembangan teknologi tepat guna berbasis kearifan lokal melalui revitalisasi dan penguatan lembaga riset, serta pembangunan infrastruktur pertanian dan perdesaan. “Strategi dasar itu harus mencapai sasaran kebijakan di level petani, lahan, infrastruktur, teknologi, industri, benih, dan kelembagaan,” kata Benni.

Benni juga menyarankan pemerintahan Jokowi segera menyiapkan infrastruktur pendukung pertanian, misalnya membangun 25 waduk baru dan saluran irigasi baru untuk 3 juta hektare serta mencetak sawah baru seluas 1 juta hektare. Reformasi agraria juga mutlak dilakukan. Hal ini penting untuk memperbesar akses petani terhadap lahan pangan baru, yakni seluas 9 juta hektare.

“Saya yakin, kalau pemerintahan Jokowi-JK berkomitmen penuh, bisa mencapai swasembada pangan dalam waktu dua tahun, selambatnya di tahun 2017,” katanya.

Swasembada itu, kata Benni, termasuk beras, jagung, gula, sagu, singkong, kentang, rumput laut, daging, dan ikan yang saat ini masih dilakukan impor. Kementerian Pertanian harus bisa mewujudkan swasembada pangan dan menghilangkan kebergantungan pada impor pangan. “Kita seharusnya mengurut dada, nasib petani selalu termarjinalkan,” katanya.

Fakta yang terjadi, ketimpangan kesenjangan kian menganga. Padahal 60 persen penduduk tinggal di perdesaan dan 70 persen di antaranya berprofesi sebagai petani. Di sisi lain, sektor pertanian hanya menyumbang 13,6 persen PDB.



Masalah Besar

Sementara itu, pengamat politik pangan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga Peneliti The Indo Strategy Foundation, Pandu Yuhsina, mengatakan di bidang administrasi dan pemetaan pertanahan, Indonesia memunyai masalah yang besar. Dari total 191,02 juta hektare luas tanah di Indonesia, ternyata masih ada 65 juta hektare yang sama sekali belum tersedia data citra satelitnya. Luas wilayah yang sudah tersedia data citra satelitnya baru seluas 102,51 juta hektare.

“Dari luasan tanah yang sudah bisa dicitrakan lewat satelit itu, baru 25,43 juta hektare saja yang sudah diolah menjadi peta dasar pertanahan,” katanya.



Pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla perlu mempercepat tersedianya peta dasar pertanahan yang baku. (ags/N-1)

http://koran-jakarta.com/?20506-jokowi%20harus%20berantas%20mafia%20pangan

Sabtu, 20 September 2014

Pengusaha Usul 4 Strategi Kedaulatan Pangan buat Jokowi

Jumat, 19 September 2014

Liputan6.com,Jakarta - ‎Kamar Dagang dan Industri (KADIN) mengusulkan beberapa strategi kepada presiden terpilih Joko Widodo untuk bisa menciptakan kedaulatan pangan bagi Indonesia.

Ketua Komite Tetap Kebijakan Public KADIN, Utama Kajo setidaknya mengusulkan empat strategi untuk dijalankan pada tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK.

Pertama, dirinya meminta kepada Jokowi untuk selalu hadir bagi para petani dan para nelayan yang menjadi ujung tombak pencapaian kedaulatan pangan.

"Hadir itu dengan perangkat dan instrumennya, berupa kebijakan yang memberi stimulus bagi mereka, bukan hanya sekedar ngomong saja," katanya di Jakarta, Jumat (19/9/2014).

Tidak hanya sekedar memberikan stimulus pemerintah juga harus memberikan pendampingan untuk menciptakan inovasi dan kemajuan di dunia pertanian dan perikanan.

Strategi kedua, pemerintahan Jokowi harus memberikan kedaulatan kepada para petani. Dalam hal ini petani diberi kebebasan dalam penanaman sesuai dengan wilayah masing-masing.

"Jangan semua petani dipaksa menanam beras untuk mengejar surplus beras semata, Indonesai Timur itu cocok nanam jagung, singkong atau sorgum," tegas Kajo.

Strategi ketiga yang diminta ‎Kadin yaitu memberikan pengawalan dan fasilitas bagi para petani dan nelayan yang berhasil menciptakan inovasi.

Kajo mencontohkan ada kelompok petani di Cirebon yang berhasil membuat bibit padi yang lebih unggul dibanding dengan bibit yang diproduksi oleh PT Sang Hyang Sri (Persero). Namun hingga kini kelompok tersebut seakan tidak dianggap oleh pemerintah.

"Keempat, negara harus mampu melakukan diversifikasi lahan, ini penting,"‎ pungkasnya. (Yas/Nrm)

Credit: Nurmayanti

http://bisnis.liputan6.com/read/2107649/pengusaha-usul-4-strategi-kedaulatan-pangan-buat-jokowi

Jumat, 19 September 2014

Menteri Pertanian Harus Berani Berantas Mafia

Kamis, 18 September 2014

INILAHCOM, Jakarta - Masalah pangan akan menjadi salah satu fokus dalam pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Selama ini sektor pangan, khususnya pertanian, banyak masalah. Salah satunya yang banyak memukul para petani domestik adalah praktek kartel. Praktek kongkalikong inilah yang mesti diberantas tuntas Jokowi-Jusuf Kalla.

"Masih ada mafia pupuk. Sebentar lagi, bulan Januari musim panen. Bulog mestinya difungsikan. Nah, saat Jokowi dilantik, itu sudah masuk musim tanam, kita harus antisipasi kelangkaan pupuk yang selalu jadi mainan mafia pupuk," ujar Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Benny Pasaribu di Jakarta, Kamis (18/9/2014).

Tidak hanya mengantisipasi potensi kelangkaan pupuk di musim tanam, tapi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla juga mesti mengantisipasi kemungkinan kelangkaan benih. Selama ini, pupuk dan benih selalu menjadi 'permainan'oknum-oknum di sektor pangan. Dan itu bukan rahasia lagi.

"Lihat saja kita masih menemukan pupuk bersubsidi di Kuching Malaysia. Ini kan permainan, persis kayak mafia BBM. Nah, di bulan Oktober, saat Jokowi sudah mulai bekerja, masalah mafia harusnya sudah bisa diberantas. Oktober mafia pupuk harus diselesaikan," katanya,

Ini momentum bagi Jokowi untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara agraris. Benni melihat selama 10 tahun kepemimpiman SBY, sektor pangan terutama pertanian tak ada perubahan signifikan.

"Coba berapa irigasi yang di bangun SBY. Dulu ada Koperasi Unit Desa (KUD), kelompok tani. Sekarang kelembagaan itu seperti dihancurkan," katanya.

Indonesia sangat mungkin secepatnya bisa berdaulat di sektor pangan asalkan tidak salah urus. Benny pun mencontohkan BUMN Sang Hyang Sri, yang bergerak dalam pembudidayaan benih. Perusahaan plat merah yang mempunyai lahan untuk pembudidayaan benih hingga 3000 hektar itu kini megap-megap.

Kalau diurus dengan benar, Sang Hyang Sri bisa jadi 'juru selamat' bagi petani, terutama untuk memenuhi bibit atau benih unggul tanaman pangan atau komoditas.

"Sang Hyang Sri punya 3000 hektar lahannya, kini apa coba. Itu karena orientasinya proyek, sehingga kreativitas tak ada lagi. Badan Urusan Logistik atau Bulog dulu bisa jadi pengaman harga pangan, kenapa sekarang tidak. Kita ada semua, tinggal kembalikan fungsi Bulog. Bulog juga tak perlu melulu cari untung, tapi jadi agen development, menjadi stabilisitator harga dan penjaga stok nasional," kata dia.

Apalagi Bulog, kata Benny, sudah punya gudang-gudang baik itu di pelabuhan atau di kota-kota di daerah. Tinggal fungsikan itu kembali, sehingga ketika masa paceklik tiba, masalah pangan tak terus jadi problem.

"Sekarang kan gudang-gudang Bulog, atau KUD, nganggur, jadi lapangan futsal malah. Karena sekarang barang dari pelabuhan langsung masuk pasar," kata Benni.

Menurut Benny, yang paling menjengkelkan para mafia pemburu rente di sektor pangan itu masuk dikala musim panen petani. Contohnya, membanjirnya bawang impor dari luar yang masuk ke Brebes.

"Contoh bawang impor masuk lewat Brebes. Bawang impor yang masuk jelek-jelek, sementara bawang Brebes itu kualitas nomor satu. Tapi dipacking jadi bawang Brebes di kirim ke Papua, lha orang Papua bilang kok sekarang jelek ya bawang Brebes," katanya.

Praktek-praktek curang seperti itulah yang mesti diberantas di era Jokowi. Ia yakin Jokowi berani. Karena itu Menteri Pertaniannya pun mesti berani memberantas mafia, bukan malah melanggengkannya.

Benny menambahkan, yang pasti banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi Jokowi, di sektor pangan. Terutama komitmen Jokowi untuk melindungi petani dari serbuan produk pangan impor. Sebab itu, produktivitas petani domestik mesti digenjot dan didukung baik oleh politik anggaran, regulasi maupun riset serta teknologi tepat guna.

"Sudah jelas, pemerintahan Jokowi, seyogyanya mampu melakukan perlindungan kepada petani dari produk impor dan persaingan tidak sehat. Karena itu semua telah melemahkan petani kita," katanya.

Benny bersyukur kedaulatan pangan menjadi prioritas pemerintahan Jokowi. Setidaknya ada lima strategi dasar yang harus dilakukan.

Lima strategi itu antara lain, pengembangan usaha tani berbasis agrobisnis dan agroindustri, peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani, revitalisasi dan penguatan kelembagaan petanu, pengembangan teknologi tepat guna berbasis kearifan lokal melalui revitalisasi dan penguatan lembaga riset serta pembangunan infrastruktur pertanian dan pedesaan.

"Strategi dasar itu harus mencapai sasaran kebijajkan di level petanu, lahan, infrastruktur,teknologi, industri, benih dan kelembagaan," kata Benny.

Benny juga menyarankan, pemerintahan Jokowi segera menyiapkan infrastruktur pendukung pertanian, misalnya membangun 25 waduk baru dan saluran irigasi baru untuk 3 juta hektar serta mencetak sawah baru seluas 1 juta hektar. Reformasi agraria juga mutlak dilakukan. Hal ini penting untuk memperbesar akses petani terhadap lahan pangan baru yakni seluas 9 juta hektar.

"Saya yakin, kalau pemerintahan Jokowi-JK berkomitmen penuh, bisa mencapai swasembada pangan dalam waktu 2 tahun, selambatnya di tahun 2017," katanya. [rok]

http://nasional.inilah.com/read/detail/2137091/menteri-pertanian-harus-berani-berantas-mafia#.VBtnNZR_vyQ

Kamis, 18 September 2014

Mafia Pupuk Masih Gentayangan

Rabu, 17 September 2014

FAJARONLINE - Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Benni Pasaribu mengatakan sektor pangan banyak permasalahan karena ulah mafia. Salah satunya adalah mafia pupuk yang saat ini masih terus beraksi. "Masih ada mafia pupuk. Sebentar lagi, bulan Januari musim panen. Bulog mestinya difungsikan. Nah, saat Jokowi dilantik, itu sudah masuk musim tanam, kita harus antisipasi kelangkaan pupuk yang selalu jadi mainan mafia pupuk" kata Benni saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk "Membaca Arah Politik Pangan di Era Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla" di Jakarta, Rabu 17 September.

Benni mengatakan selain mengantisipasi potensi kelangkaan pupuk di musim tanam, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla juga mesti mengantisipasi kemungkinan kelangkaan benih.

Selama ini lanjutnya, pupuk dan benih selalu menjadi 'permainan' oknum di sektor pangan. Karena itu, dalam memilih menteri pertanian, keberanian, ketegasan serta bebas dari korupsi harus dijadikan pertimbangan dalam memberantas para mafia pupuk tersebut. "Lihat  saja kita masih menemukan pupuk bersubsidi di Kuching Malaysia. Ini kan permainan, persis kayak mafia BBM. Pada Oktober, saat Jokowi sudah mulai bekerja, masalah mafia harusnya sudah bisa diberantas. Oktober mafia pupuk harus diselesaikan," tuturnya.

Selain mengenai kelangkaan pupuk dan benih, yang menjadi permasalahan di sektor pangan juga terjadi instruktur pertanian. Benni mengatakan selama 10 tahun kepemimpiman SBY, sektor pangan terutama pertanian tak ada perubahan signifikan. "Coba berapa irigasi yang di bangun SBY. Dulu ada Koperasi Unit Desa (KUD), kelompok tani. Sekarang kelembagaan itu seperti dihancurkan," katanya.

Benni menjelaskan Indonesia sangat mungkin bisa berdaulat di sektor pangan jika tidak salah urus dan kelola. Seperti yang dialami Sang Hyang Sri yang bergerak dalam pembudidayaan benih. "Sang Hyang Sri punya 3.000 hektare lahannya, kini apa coba. Itu karena orientasinya proyek sehingga kreativitas tak ada lagi. Badan Urusan Logistik atau Bulog dulu bisa jadi pengaman harga pangan, kenapa sekarang tidak. Kita ada semua, tinggal kembalikan  fungsi Bulog. Bulog juga tak perlu melulu cari untung, tapi jadi agen development, menjadi stabilisitator harga dan penjaga stok  nasional," tandasnya. (jpnn)

http://www.fajar.co.id/nasional/3349330_5712.html

Senin, 15 September 2014

Alih Fungsi Lahan Tidak Terbendung

Senin, 15 September 2014

Mentan Akui Ketahanan Pangan Terancam

MOJOKERTO, KOMPAS — Alih fungsi lahan pertanian di Tanah Air sulit dibendung. Luas lahan yang terkonversi tidak mampu diimbangi dengan ekstensifikasi melalui pembukaan sawah baru. Lahan produktif untuk pangan pun kian defisit. Setiap tahun tak kurang dari 110.000 hektar sawah beralih fungsi.
”Setiap tahun sekitar 110.000 hektar lahan pertanian produktif terkonversi. Di Jawa Timur saja mencapai 1.700 hektar per tahun laju konversinya,” kata Menteri Pertanian Suswono di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, pekan lalu.

Orang luar daerah
Dari pengamatan Kompas, lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi area perumahan, industri, dan peruntukan lain terlihat nyata di daerah yang selama ini menjadi sentra pangan nasional, seperti di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Di Kecamatan Maja, Kabupaten Pandeglang, Banten, misalnya, sejumlah lahan persawahan di kawasan itu dipasangi pelat milik perusahaan pengembang.

Di Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, sejumlah sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan perumahan, industri, atau dibiarkan mengering. Data Dinas Pertanian dan Kehutanan Karawang mencatat, laju alih fungsi lahan pertanian di kabupaten tersebut 180 hektar per tahun. Pemerintah Kabupaten Karawang kini menggodok peraturan daerah untuk melindungi lahan pertaniannya.

Wakil Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana menyatakan, Karawang adalah daerah lumbung padi nasional. Pemerintah kabupaten berkomitmen menjaga lahan pertanian itu. ”Kami tak ingin petani menjual sawah kepada orang luar Karawang sebab berpotensi alih fungsi,” ujarnya.

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Karawang, jika ditetapkan untuk pertanian, lahan harus dijaga. Namun, yang terjadi sekarang, kata Cellica, orang luar Karawang seenaknya mengubah lahan sawah jadi kawasan perumahan dan peruntukan lain.

Di Sumatera Selatan, luas tanam padi dalam periode 2008- 2012 menyusut tak kurang dari 5.782 hektar. Lahan yang dialihfungsikan itu sebagian adalah sawah kurang produktif karena hanya bisa dipanen sekali setahun.

Menurut Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sumatera Selatan Ilfantria, faktor utama alih fungsi sawah itu karena petani merasa belum sejahtera dari hasil panennya. ”Sawah yang dialihfungsikan ada di kawasan rawa- rawa dan pasang surut,” ujarnya.

Di Jawa Tengah, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Klaten Wahyu Prasetyo mengatakan, lahan pertanian di kabupaten itu pun beralih fungsi menjadi kawasan perumahan atau industri. Pemkab Klaten bertekad mempertahankan lahan pertanian minimal 28.434 hektar. Ini menahan laju alih fungsi lahan pertanian dan mempertahankan produksi pangan di daerah itu.

Secara nasional, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, persawahan di negeri ini tahun 2002 masih 11,5 juta hektar, tetapi tahun 2012 tersisa sekitar 8,08 juta hektar.

Pemerintah memang tak mudah menahan petani agar tidak menjual sawahnya. Satu-satunya cara, pemerintah harus menjamin bisnis pertanian bisa menguntungkan petani. ”Petani harus dibuat percaya, bisnis pertanian menguntungkan. Salah satu contohnya di Kabupaten Tasikmalaya melalui penanaman padi organik, yang dirasakan menguntungkan petani,” kata Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, pekan lalu.

Ancam ketahanan pangan
Menteri Pertanian Suswono menyatakan, alih fungsi lahan pertanian produktif di beberapa daerah itu bisa menurunkan produksi pangan dan mengancam ketahanan pangan nasional. Kebutuhan pangan nasional terus meningkat karena laju pertumbuhan penduduk tinggi.

Suswono menambahkan, upaya peningkatan produksi melalui intensifikasi saja tidak cukup untuk mengatasi kebutuhan pangan. Ekstensifikasi melalui perluasan lahan menjadi kebutuhan pada masa mendatang.

Alasan itulah yang mendorong pemerintah membuka sawah baru. Namun, program ini kurang berjalan maksimal karena berbagai kendala di lapangan. Tahun lalu hanya terealisasi 40.000 hektar dan tahun ini tercipta sekitar 60.000 hektar dari target 100.000 hektar per tahun.

”Selain anggaran pencetakan sawah yang terbatas, kepemilikan lahan juga menjadi kendala. Di luar Jawa, misalnya, banyak tanah milik adat atau tanah ulayat,” kata Suswono.

Jalan tengah membendung defisit lahan pertanian, dengan mendorong percepatan reforma agraria. Caranya, mengoptimalkan lahan yang menganggur untuk dikelola petani. Saat ini Badan Pertanahan Nasional mendata sekitar 7,2 juta hektar lahan telantar. Namun, yang benar-benar terverifikasi dan dapat dimanfaatkan 13.000 hektar.

Dengan mendorong penguasaan lahan bagi petani, Suswono optimistis pembangunan sektor pertanian akan berhasil. Kondisi petani kini tak prospektif karena penguasaan lahan yang sempit.

”Rata-rata kepemilikan lahan oleh petani kini tinggal 0,3 hektar (3.000 meter persegi) setiap keluarga. Luas lahan akan semakin turun sebab kultur petani di negara ini membagikan lahan kepada anak-anaknya,” ujarnya.

Kondisi ini berbeda dengan petani di Thailand yang rata-rata memiliki lahan sekitar 3,5 hektar per keluarga. Mereka bisa menghasilkan pendapatan yang memadai dari produksi pertanian karena menguasai lahan yang
luas walau dari sisi produktivitas masih di bawah Indonesia.

Meski peralihan fungsi lahan tak terbendung, produksi padi di negeri ini dalam 10 tahun terakhir justru meningkat. Tahun 2002, BPS mencatat produksi padi di Indonesia sekitar 51,40 juta ton. Tahun 2012 meningkat menjadi 68,74 juta ton. Namun, impor beras juga meningkat, yakni sekitar 288.000 ton tahun 2008 menjadi 473.000 ton tahun 2013. Bahkan, pada 2012 Indonesia mengimpor 1,928 juta ton beras.

Petani beralih fungsi
Di Sulawesi Selatan, alih fungsi lahan pertanian menjadi areal perumahan atau peruntukan lain juga terjadi. Namun, lajunya belum melampaui pencetakan sawah baru. Data Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sulawesi Selatan, tahun 2013 luas sawah 603.000 hektar atau meningkat dari tahun 2012 yang 581.000 hektar.

Namun, dari data sensus pertanian 2013 yang dilakukan BPS Sulawesi Selatan, jumlah petani di provinsi itu menurun dibandingkan dengan tahun 2003, yaitu dari 1,08 juta lebih rumah tangga petani menjadi 980.946 rumah tangga petani. Kepala BPS Sulawesi Selatan Nursam Salam mengatakan, petani banyak beralih ke sektor usaha lain, terutama berdagang.

(NIK/CHE/IRE/RWN/DMU/ENG)

http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008893103.aspx?epaper=yes

Sabtu, 13 September 2014

Bulog Malang Dukung Penaikan HPP Beras

Jumat, 12 September 2014

Bisnis.com, MALANG—Bulog daerah mendukung usulan penaikan harga pembelian pemerintah (HPP) beras agar penyerapannya bisa maksimal.

Kepala Subdivre Bulog Malang Langgeng Wisnu Adinugroho mengatakan dengan HPP beras sebesar Rp6.600/kg, maka sulit bagi badan tersebut untuk menyerap beras petani.

“Harga beras kualitas medium di pasar dalam beberapa tahun terakhir  tidak pernah di bawah HPP, bahkan saat ini mencapai Rp7.200/kg,” kata Langgeng di Malang, Jumat (12/9/2014).

Selain itu, penaikan HPP untuk meningkatkan kesejahteraan petani di tengah tren melemahnya harga komoditas lainnya, seperti tebu.

Namun, lanjut dia, perlu dicari strategi agar kenaikan HPP beras jangan sampai memicu inflasi yang tinggi sehingga memberatkan perekonomian masyarakat.

Meski beras yang dikonsumsi masyarakat kebanyakan berbeda dengan beras pengadaan Bulog, namun tetap saja kenaikan HPP beras dikhawatirkan berdampak pada kenaikan inflasi jika tidak dilakukan secara hati-hati.

Beras yang dikonsumsi masyarakat kebanyakan kualitas premium, sedangkan beras yang diserap Bulog kualitas medium standar nasional 3.

Melihat pola konsumsi masyarakat yang seperti itu, perlu pula difikirkan peningkatan kualitas beras yang diserap Bulog. Ada wacana seperti itu di kantor pusat.

Beras yang diserap tidak lagi kualitas medium SN3, melainkan bisa di atasnya. Beras medium kualitas SN3 dengan spesifikasi patahan 20% dan kadar air 14%.

“Bisa saja patahannya diturunkan menjadi 15%, begitu juga kadar air sehingga kualitasnya lebih bagus,” ujarnya.

Yang menjadi masalah, lanjut dia, jika kualitas  beras yang diserap Bulog menjadi lebih baik, maka dikhawatirkan beras petani yang digiling di perusahaan penggilingan jelek, tidak mampu memenuhi kriteria Bulog sehingga tidak dapat diserap.

Karena itulah, jika kualitas beras yang diserap Bulog ditingkatkan, maka harus pula dibarengi dengan revitalisasi penggilingan padi di daerah.

Dengan adanya revitalisasi penggilingan padi, maka tingkat patahan beras bisa ditekan serendah mungkin.

Terkait dengan penyerapan beras oleh Bulog Malang, kata dia, sampai saat ini sudah mencapai 43.400 ton dari target pengadaan 70.000 ton sampai akhir tahun.

Dengan penyerapan beras sebesar itu, maka sulit untuk memenuhi target pengadaan sebesar itu. Dia memprediksikan pengadaan sampai akhir 2014 hanya mencapai 50.000 ton.

Namun bila dibandingkan dengan beberapa daerah lain, pencampaian penyerapan Bulog masih tergolong bagus. Posisi penyerapan mencapai 8 besar, padahal sebelumnya berada di paling bawah, nomor13.

Hal itu terjadi karena Bulog Malang langsung menyerap beras petani dengan melibatkan satuan tugas dan langsung bermitra dengan perusahaan penggilingan padi. “Sumbangan mereka cukup lumayan, yakni 22.000 ton,” ujarnya.

http://surabaya.bisnis.com/m/read/20140912/10/74452/bulog-malang-dukung-penaikan-hpp-beras

Jumat, 12 September 2014

Nilai Sebuah Swasembada

Jumat, 12 September 2014

DALAM komparasi antarsektor, selalu saja pertanian umumnya dan pangan khususnya, menghadapi kritik, tidak punya harapan untuk menghasilkan nilai tambah dan pertumbuhan. Tidak sedikit bahkan yang menyebut bahwa sektor ini sudah berada dalam kondisi kritis, the point of missing return, selalu merugi. Lebih jauh, tidak bisa diandalkan sebagai penyedia lapangan kerja. Akibatnya, usaha tani merugi dan pendapatan buruh terbatas.
Ketidakmampuan ekonomis untuk menghasilkan pertumbuhan adalah alasan utama sinisme terhadap sektor ini. Tentu saja  tanpa merujuk pada sejarah pembangunan ekonomi bangsa yang selama ini menempatkan pertanian sebagai tumbal pembangunan. Kritik dimaksud biasa dipakai sebagai pembenaran importasi. Importasi yang murah selalu dipilih sebagai modus pengadaan pangan dibandingkan memproduksi sendiri di dalam negeri yang mahal menurut mereka dengan tanpa pernah mempertanyakan mengapa impor murah.
Adalah sebuah kecelakaan kebangsaan ketika pemikiran sederhana tersebut menempatkan impor selalu menjadi solusi pragmatis krisis pangan. Tidak pernah disadari bahwa akibatnya kecanduan, impor ini bagai narkoba. Gampang solusinya, selalu impor. Dan pada gilirannya perut bangsa ini makin tergantung terhadap pangan impor.
Pemikiran tersebut hari ini memperoleh tantangan Jokowi-JK dalam prinsip Trisakti dan kemandirian pangan yang dibungkus dalam tekad swasembada. Tentu  untuk melepaskan diri dari semakin akutnya ketergantungan Bangsa RI. Sekaligus dengan mempertimbangkan nilai swasembada yang bukan main besar dalam segala aspeknya.
Secara finansial, besarnya nilai pasar pangan domestik menempatkan konflik kepentingan antara importasi dengan sejumlah rentenya pada satu sisi, dan kemandirian produksi dalam negeri diperjuangkan para nasionalis pada sisi lain. Market size untuk pangan memang luar biasa besar. Untuk lima pangan strategis saja, setiap tahunnya dibutuhkan 32 juta ton beras. Selain itu masih diperlukan  2,6 juta ton kedelai, 570 ribu ton daging sapi,  5,7 juta ton gula kristal dan 27 juta ton jagung.
Apabila jumlah kebutuhan ini dikalikan dengan harga pasar terendah berdasarkan harga referensi, harga dasar, atau Harga Pembelian Pemerintah (HPP), angkanya cukup fantastis. Untuk beras sebesar Rp 6600/kg, kedelai Rp 8.490/kg, daging sapi Rp 76.000/kg, gula kristal RP 8.500 kg, dan jagung sebesar Rp 2.700/kg, maka nilai konsumsi lima komoditas pangan mencapai Rp 397.84 Triliun. Angka sejumlah hampir Rp 400 Triliun tersebut dihitung berdasarkan harga minimum.
Kalau pergerakan harga terjadi sampai tingkat harga eceran tertinggi (HET), dengan ruang gerak sampai 25% misalnya, maka kisaran nilai komoditas ini akan mencapai Rp 500 Triliun. Suatu ukuran pasar dan kegiatan ekonomi bahan baku yang bukan main besarnya. Ketika diasumsikan bahwa aktivitas hilirisasi bisa menghasilkan nilai tambah sekitar 20%, maka nilai ekonomi pangan strategis ini saja bisa mencapai angka Rp 600 Triliun.
Besaran finansial nilai lima komoditas strategis ini mencapai lebih 30% APBN 2014 maupun APBN 2015. Sementara itu, multiplier effects dalam hal pertumbuhan dan ketenagakerjaan mulai dari hulu sampai hilir tentu sangat spektakuler. Itu baru lima pangan strategis, dan baru nilai finansial yang terkait dengan ukuran pasar. Belum mempertimbangkan komoditas pangan lainnya yang tidak terbatas dan belum melihat nilai kebangsaannya.
Pilihan produksi sendiri atau importasi sudah semestinya memperhitungkan potensi ekonomi dan nilai politik kebangsaan secara menyeluruh. Semua  berangkat dari pertanyaan mendasar: akankah nilai pasar sebesar itu dengan segala multipier effects terkait akan dipersembahkan bagi pelampiasan syahwat rente segelintir komprador dan antek Nekolim? Menurut peringatan Bung Karno atau akan dikelola bagi penguatan kedaulatan sebuah bangsa yang hebat.
Sebuah pilihan yang sungguh teramat sederhana. Manakala Kabinet Trisakti yang akan terbentuk serius berkhidmad kepada revolusi mental yang dijanjikan. (Prof Dr M Maksum Machfoedz,Penulis adalah Guru Besar UGM, Ketua PBNU)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/3331/nilai-sebuah-swasembada.kr

Kamis, 11 September 2014

Indonesia Lumbung Pangan

Rabu, 10 September 2014

Salah satu elemen fundamental pertahanan sebuah negara adalah sektor pangan (pertanian). Sebab, hal itu terkait erat dengan kebutuhan paling mendasar dalam kehidupan manusia. Tanpa kecukupan pangan, mustahil negara tersebut mampu mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan, bahkan sebaliknya menuju jurang kehancuran. Sebagai negara agraris dengan potensi sumber pangan melimpah, sangat ironis jika Indonesia justru menjadi importir pangan. Hal ini akibat sektor pertanian belum mendapat perhatian memadai.

Jika mata rantai produksi pertanian dibenahi, bukan mustahil Indonesia berbalik menjadi lumbung pangan yang tidak saja mencukupi kebutuhan domestik, tetapi lumbung pangan bagi dunia. Persoalan pangan, harus menjadi agenda utama pemerintah baru mendatang. Sebab, fakta bahwa tantangan utama umat manusia di dunia di masa mendatang adalah sektor pangan.

Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk di dunia, kebutuhan pangan tentu saja meningkat. Di sisi lain, penyediaan pangan oleh negara-negara produsen relatif tetap. Teori Thomas Robert Malthus kini menjadi kenyataan, bahwa pertumbuhan penduduk yang mengikuti deret ukur telah melampaui kemampuan atau pertumbuhan produksi pangan yang mengikuti deret hitung.

Jika bangsa-bangsa di dunia gagal mengelola produksi pangan secara baik, bukan mustahil di masa mendatang akan terjadi peperangan memperebutkan sumber daya pangan. Dalam konteks inilah, Indonesia harus bersiap diri menghadapi tantangan global tersebut.

Untuk mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi lumbung pangan, diperlukan kerja serius pemerintah. Beberapa agenda yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah, pertama, menjamin ketersediaan lahan pertanian untuk menopang produksi pangan. Terkait hal itu, agenda reformasi agraria mutlak direalisasikan. Sebab, saat ini terjadi persoalan struktural di sektor pertanian. Salah satu indikatornya, 60% petani di Indonesia adalah petani gurem, dengan luas lahan hanya 0,3 ha. Idealnya, kepemilikan lahan minimal 2 ha per petani. Dengan demikian, produksi pertanian akan signifikan untuk menopang kesejahteraan petani dan memenuhi kebutuhan pangan nasional.

Semakin menyempitnya luas lahan pertanian, berdampak serius terhadap jumlah petani. Sensus pertanian 2013 menyebutkan, terjadi penurunan rumah tangga petani, dari 31,17 juta rumah tangga pada 2003, menjadi 26,13 juta rumah tangga pada 2013. Artinya dalam satu dekade Indonesia kehilangan 5,07 juta rumah tangga petani. Mayoritas dari mereka beralih profesi ke sektor perdagangan dan perindustrian, karena usaha pertanian tidak memberi output yang maksimal dengan luas lahan yang sangat kecil.

Jumlah rumah tangga petani tersebut, jika dibandingkan dengan luas lahan pertanian yang ada, sangat jauh dari ideal. Saat ini, Indonesia hanya memiliki 13,5 juta ha luas panen gabah. Sehingga wajar jika tiap rumah tangga petani hanya menggarap lahan rata-rata 0,3 ha. Bandingkan dengan Thailand yang memiliki luas lahan panen gabah 9 juta ha, sehingga setiap petani memiliki rata-rata 3 ha lahan pertanian.

Dalam beberapa dekade terakhir, luas lahan pertanian di Indonesia terus menyusut. Diperkirakan, laju degradasi lahan pertanian mencapai 113.000 ha per tahun. Hal itu akibat akselerasi pembangunan sektor lain, terutama sektor industri dan permukiman.

Kedua, pembenahan mata rantai produksi pertanian, mulai prapanen hingga pascapanen. Terkait hal ini, penggunaan bibit padi varietas unggul dan pemanfaatan teknologi pertanian harus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas. Bibit varietas unggul harus digunakan antara lain untuk menyesuaikan dengan perubahan iklim yang melanda dunia, yang telah mempengaruhi musim tanam dan curah hujan di sentra-sentra pertanian.

Di samping itu, sudah saatnya memberikan sentuhan teknologi pada kegiatan prapanen dan pascapanen. Dengan teknologi diperkirakan bisa meningkatkan produksi beras 30%. Penggunaan mesin penggilingan padi modern, misalnya, memberikan efisiensi tinggi dan menghasilkan beras dengan tingkat kepecahan hanya 5%. Kemampuan mesin giling modern ini nyaris menghasilkan beras dengan zero waste.

Penerapan teknologi pertanian, bisa menaikkan produktivitas padi dari 5,1 ton ke 5,2 ton per ha. Kenaikan itu sudah cukup besar karena secara agregat akan mendongkrak tambahan produksi beras nasional 1,4 juta ton. Langkah ini tentu akan mendorong surplus beras yang tahun ini diperkirakan mencapai 5 juta ton, dari keseluruhan produksi gabah 69,8 juta ton atau setara 40 juta ton beras.

Namun disadari, penggunaan mesin penggilingan modern sangat mahal, sehingga tidak mungkin terjangkau oleh petani. Untuk itu, keterlibatan swasta, di antaranya PT Lumbung Padi Indonesia, sangat diharapkan memberi kontribusi terhadap produktivitas beras dan pangan nasional. Untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan, tentu tak cukup hanya di sektor pertanian, khususnya beras. Secara simultan, pemerintah juga perlu membenahi pengelolaan dan produktivitas perkebunan dan perikanan. Dengan demikian, kedaulatan pangan benar-benar terwujud. ***


http://www.suarapembaruan.com/tajukrencana/indonesia-lumbung-pangan/64398

Rabu, 10 September 2014

Kedaulatan Pangan dan Jargon Politik (2-Habis)

Selasa, 9 September 2014

Kebijakan agraria memang tidak melulu dibebankan kepada BPN. Lagi-lagi, koordinasi menjadi bagian penting dan menuntut ketegasan pimpinan nasional.

Apakah pembangunan berhasil atau setidaknya kedaulatan bangsa atas pangan menunjukkan kemajuan? Harus diakui bahwa kegagalannya lebih banyak ketimbang prestasi. Sebaliknya, kesenjangan dalam dunia pertanian serta jurang si miskin dan si kaya terus melebar. Arya Hadi Darmawan sebagai salah satu dosen IPB yang banyak terjun ke daerah akhirnya membuat surat terbuka pada Januari 2012 lalu mempertanyakan gebyar pembangunan dan kesenjangan yang terus meningkat.

“Sekiranya Anda dulu saat belajar di IPB sempat memelajari ilmu-ilmu sosiologi pedesaan, maka Anda akan segera paham bahwa akar persoalan itu sesungguhnya bukan kekerasan biasa. Gejolak ini berakar kuat pada krisis perdesaan di pelosok-pelosok negeri yang bertali-temali dengan krisis penguasaan sumber-sumber penghidupan (tanah, air, hutan, dsb). Sayangnya, waktu terlalu cepat dan Anda tidak sempat berkenalan dengan sosiologi perdesaan,” demikian penggalan surat terbuka tersebut.

Tanggung jawab SBY dan pemerintahannya dalam pembangunan pertanian sepertinya harus terus disempurnakan agar Indonesia tak semakin terpuruk. Bisa dimaklumi jika SBY malah lebih banyak menyerahkan kembali persoalan pangan tersebut.
Pada Desember 2013, ketika hadir dalam dies natalis ke-50 IPB, sembari mengenang kembali masa-masa kuliahnya satu dekade silam, SBY meminta IPB untuk memainkan tiga peran besar. Salah satunya, kembali meminta IPB untuk berkontribusi secara aktif bagi pencapaian ketahanan dan kemandirian pangan di Tanah Air.

Perjalanan satu dekade bersama IPB tersebut menyiratkan betapa pemerintahan SBY seharusnya bisa mengegolkan sejumlah agenda pertanian. Kemauan dan komitmen politik sudah ada, mungkin pada tahap implementasi ketegasan pemerintahan masih menjadi sebuah tanda tanya. Di sisi lain, tekanan pasar internasional dan tingkat ketergantungan Indonesia pun semakin membesar. Tanpa menegasikan peran dunia kampus lain atau para akademisi yang mungkin lebih brilian dari yang ada di IPB, harapan yang besar terhadap IPB tersebut butuh eksekusi pada tingkat operasional dan perlu orang yang tepat.

Kini, harapan yang begitu besar kembali disematkan kepada Jokowi-JK sebagaimana SBY ketika 2004 lalu. Visi hingga program (jangka pendek, menengah, dan panjang) sudah digagas untuk mencapai kedaulatan pangan dan mencapai kesejahteraan masyarakat, khususnya di pedesaan.

Dwi Andreas Santosa, pakar pertanian dan bioteknologi dari IPB yang juga salah satu tim inti dalam penyusunan konsep pertanian Jokowi-JK, menegaskan tidak mudah untuk mewujudkan berbagai program terkait pangan: mulai dari kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani, peningkatan produksi dan produktivitas, reformasi agraria untuk petani kecil, infrastruktur irigasi dan transportasi, pengembangan sumber daya manusia petani, hingga informasi dan pasar pertanian.

"Konsep kedaulatan pangan sebagai bagian dari program Jokowi-JK sudah merupakan kemajuan yang sangat berarti,” kata Dwi yang juga Ketua Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) di Bogor, pekan lalu.

Kini, kata jebolan Universitas Gadjah Mada ini, perlu orang yang tepat agar mampu mengoperasionalkan berbagai gagasan kedaulatan pangan tersebut. Jangan sampai gagasan yang bagus justru dipahami secara parsial, sehingga mengulang kembali perjalanan satu dekade pertanian Indonesia.

Mudah-mudahan, presiden terpilih Jokowi bisa menjadi pemimpin yang tegas dan konsisten dalam melaksanakan konsep dan programnya. Setidaknya dalam dua pekan terakhir, komitmen itu sudah digariskan Jokowi ketika berbicara dalam forum organisasi relawan Seknas Tani Jokowi di Jakarta dan ketika berbicara dalam Muktamar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Surabaya, Jawa Timur.

Kemauan dan komitmen politik harus diperkuat dengan dukungan politik yang besar. Partai politik yang tidak menyandera presiden dan relawan yang tetap konsisten tetap mengawal berbagai gagasan dalam pembangunan pertanian mendatang.

http://www.beritasatu.com/ekonomi/208570-kedaulatan-pangan-dan-jargon-politik-2habis.html

Kedaulatan Pangan dan Jargon Politik (1)

Selasa, 9 September 2014

Gaung kedaulatan pangan begitu menggema semasa kampanye pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) beberapa bulan lalu. Baik Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang sebentar lagi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden RI, maupun Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, menempatkan kedaulatan pangan sebagai sesuatu yang penting. Entah itu kemudian hanya sebagai isu politis atau sekadar jargon, setidaknya ada komitmen dan turunan program pertanian (dalam arti luas sebagai pangan meliputi pertanian, kehutanan, perikanan, dan peternakan) yang patut diacungi jempol. Sebagai isu politis, mempertanyakan kesejahteraan petani atau impor pangan, pasti disambut antusiasme yang tinggi. Apakah bisa terlaksana? Masih menjadi pertanyaan besar.

Perdebatan konsep dan apa saja langkah prioritas yang harus dilakukan dalam pembangunan pertanian sudah berakhir. Kini saatnya membumikan visi dan misi pembangunan pertanian sebagai program yang realistis dalam segala keterbatasan. Tentu bukan dukungan politik sebagaimana dalam perolehan suara pilpres, namun dukungan berupa kebijakan pemerintah, anggaran, institusi, dan komitmen dari para elite yang terpilih.

Pada titik ini, sikap pesimistis pun mulai muncul usai euforia terbentuknya pemerintahan baru. Contoh paling aktual adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bukan saja isu pertanian (pangan) yang kemudian menjadi daya dongkrak ketika hendak mencalonkan diri jadi presiden pada 2004, tetapi juga langkah menyelesaikan studi doktoral di Institut Pertanian Bogor (IPB) membuat harapan begitu besar atas kemandirian pertanian. Dramatisasi kelulusannya dan solusi persoalan pertanian di Indonesia seakan menempatkan SBY sebagai sosok yang bisa menjadi solusi kerumitan pertanian Indonesia. Disertasi berjudul Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi Politik, Kebijakan Fiskal telah menghipnotis banyak orang di republik ini.

Banyak konsep dan program yang dicanangkan SBY dengan dukungan beberapa dosen IPB yang mengajarnya beserta para elite yang melingkarinya. Mulai dari program Revitalisasi Pertanian tahun 2004 hingga terakhir Rencana Aksi Buktitinggi pada November 2013 lalu, ternyata tidak memberikan kemajuan berarti. Bahkan, sejumlah target Rencana Aksi Bukittinggi bidang pangan kemudian direvisi lagi pada awal 2014 lalu.

"Sudah direvisi, target padi awalnya 76 juta ton menjadi 73 juta ton, kedelai dari yang awalnya 1,5 juta ton menjadi 1,3 juta ton," kata Menteri Pertanian Suswono akhir Maret lalu.

Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Pembangunan Pertanian 2010-2014, uraian rencana dan pencapaian pembangunan pertanian biasanya terkesan tidak terlalu parah. Demikian juga implementasi melalui rencana strategis (Renstra) Kementerian Pertanian 2010-2014, diulas beberapa hal yang terkesan jauh dari fakta-fakta yang ada. Revisi yang lumrah sebagaimana dilakukan pada berbagai program swasembada pangan.

Surplus 10 juta ton beras yang diandalkannya melalui Kementerian Pertanian tidak lebih dari sekadar jargon. Swasembada daging sapi dengan sistem kuota impor justru hanya memperpanjang rente ekonomi dan lahan korupsi segelintir elite atas nama partai politik tertentu. Belum lagi beberapa program atau komoditas lainnya. Itu belum termasuk salah kaprah sejumlah staf khusus SBY yang menerjemahkan pertanian sebagai sesuatu yang sederhana dan seakan-akan bisa diselesaikan dengan membalik telapak tangan. Hasilnya malah blunder yang tidak menyelesaikan persoalan, tetapi menjadi bahan tertawaan karena lucu dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Padahal, dana yang digelontorkan untuk berbagai program swasembada tersebut harus dipertanggungawabkan.

Tidak hanya itu, dalam periode kedua pemerintahannya, sejumlah posisi pendukung pertanian kembali dipegang orang-orang kepercayaannya. Mungkin itu agar berbagai program bisa dieksekusi dengan baik. Sebut saja, Joyo Winoto yang menjadi salah satu think thank pertanian SBY dan getol dengan reformasi agraria jauh sebelum itu, sepertinya tak bisa berbuat apa-apa justru pada saat didaulat menjadi kepala Badan Pertanahan Negara (BPN). Malah, pimpinan Brighten Institute yang berbasis di Bogor ini diduga ikut dalam mafia perizinan tanah, seperti kasus Hambalang yang menyeret sejumlah petinggi Partai Demokrat.

Reformasi agraria yang didengungkan Joko Winoto melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang lebih dikenal dengan program reformasi agraria pun dalam kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sangat propasar, sehingga segera dievaluasi agar efektif mencapai keadilan dan pengurangan kemiskinan. Memang semangat PPAN merupakan strategi mengurangi ketimpangan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah dan mengentaskan kemiskinan. Di samping itu, juga berkontribusi menciptakan lapangan kerja dan menciptakan ketahanan pangan terutama di perdesaan.

Kepala Peneliti Kajian Agraria LIPI Lilis Mulyani di Jakarta, pada awal Januari lalu, menyatakan PPAN merupakan program yang baik di tingkat kebijakan, namun terdapat hambatan pada pelaksanaannya, sehingga ketimpangan penguasaan lahan semakin tak terkendali. Pada saat yang sama jumlah dan luasan perkebunan besar justru semakin meningkat, demikian juga pemilikan lahan perorangan baik dalam rangka investasi atau spekulasi.

Menurutnya, menjalankan reformasi agraria dalam kondisi ekonomi Indonesia saat ini tidak mudah. Kebijakan pembangunan ekonomi yang ada telah secara eksplisit memberi porsi dominan pada pasar, perkebunan besar, pembangunan infrastruktur besar-besaran, atau bentuk pembangunan ekonomi yang "rakus lahan".


Senin, 08 September 2014

Kembalikan Kebanggaan Petani

Minggu, 7 September 2014

Mojokerto - Pekerjaan sebagai petani bisa kembali menjadi kebanggaan jika produktivitas padi mampu ditingkatkan dan hal itu bisa dicapai dengan penggunaan teknologi. Dengan jumlah penduduk yang terus meningkat dan lahan pertanian yang menciut, penggunaan teknologi on farm maupun off farm sudah menjadi keharusan.

"Saya yakin, Indonesia mampu menjadi lumbung beras dunia. Kita tidak hanya mampu memberikan makan kepada seluruh rakyat Indonesia, melainkan bisa memberi makan kepada dunia. Kita memiliki potensi yang besar. Tinggal sentuhan teknologi," kata Komisaris Utama PT Lumbung Padi Indonesia (LPI), Rachmat Gobel, saat peresmian pabrik pengolahan gabah dan beras modern terpadu di Desa Jasem, Kecamatan Ngoro, Mojokerto, Jawa Timur, Minggu (7/9).

Hadir pada acara ini, antara lain Menteri Pertanian Suswono, Wagub Jatim Syaifullah Yusuf, wakil dubes Jepang untuk Indonesia, dan Bupati Mojokerto Mustafa Kamal.

Mesin penggilingan padi yang diresmikan memberikan efisiensi tinggi dan menghasilkan beras dengan tingkat kepecahan hanya 5 persen. Dengan kemampuan seperti ini, mesin giling modern ini nyaris zero waste. Dengan menerapkan teknologi pascapanen dengan baik, produksi beras Indonesia bisa bertambah 30 persen.

Amanat Ayah
Rachmat menuturkan, tekad untuk membangun petani sudah tertancap sejak 52 tahun lalu, saat ayahnya mendirikan perusahaan elektronik. Ketika itu, ayahnya, Mohammad Thayeb Gobel berbicara tentang niatnya membangun pertanian dan meningkatkan kualitas hidup petani. Ayahnya mengoleksi sejumlah gambar tentang hamparan sawah yang terbentang luas, traktor, dan mesin giling.

"Saya sempat mendengarkan percakapan ayah dan kakek saya tentang pertanian. Kakek saya berpesan agar ayah saya membangun pertanian dan membantu petani. Hari ini, saya mewujudkan mimpi mereka," ujar Rachmat.

Diialog almarhum ayah dan kakeknya benar-benar menginspirasi dirinya. "Saya ingat, almarhhum ayah saya mengucapkan terima kasih kepada ayahnya. Ia bangga menjadi anak seorang petani pejuang. Sekarang, setelah pabrik berdiri, saya ingat, ada satu hal yang belum saya lakukan, ialah menjadi pejuang petani," papar Rachmat

Indonesia membutuhkan pasokan beras yang terus meningkat seiring kenaikan jumlah penduduk. Menilik sumber daya yang ada, kata Rachmat, tidak sulit bagi Indonesia untuk mempertahankan swasembada beras asalkan pembangunan on farm maupun off farm menggunakan teknolgi. Kegiatan on farm adalah kegiatan dari pembenihan hingga panen. Sedangkan off farm merupakan kegiatan pascapanen, mulai dari pemotongan bulir padi, pengeringan, penyimpanan, dan penggilingan.

"Jika kegiatan on farm dan off farm dilaksanakan dengan benar, pertanian Indonesia bukan hanya mencukupi kebutuhan nasional, melainkan juga mampu memberikan makanan kepada dunia," ujar Rachmat.

Upaya meningkatkan produksi pertanian harus berjalan seiring dengan kenaikan kesejahteraan petani. "Dengan segala upaya, kita harus bisa menaikkan kesejahteraan petani. Kita harus mengembalikan kebanggaan petani," tegas Rachmat.

Ia menjelaskan, pabrik yang didirikannya akan bekerja sama dengan petani sekitar dan perusahaan penggilingan milik rakyat.

Lahan Pertanian Menciut
Pada kesempatan itu, Wagub Jatim Syaifullah Yusuf menyatakan ada sekitar 27.000 penggilingan di Jatim dan di Mojokerto 650 penggilingan. Produktivitas sawah di Jatim mencapai 5,9 ton per haktare, jauh di atas rata-rata produktivitas sawah nasional sebesar 5,1 ton per hektare. Sedangkan produksi gabah di Jatim mencapai 12 juta ton per tahun atau 17 persen dari produksi nasional. "Setiap tahun, Jatim surplus beras empat juta ton," katanya.

Saifullah mengakui kepemilikan lahan pertanian terus menciut, sementara penduduk makin bertambah. "Jika tidak ada terobosan teknologi, surplus beras Jatim akan menciut, terutama beras premium. Saat ini, sekitar 40 persen penduduk Jatim mengonsumsi beras premium. Tapi, lima tahun akan datang, konsumsi beras premium bisa mencapai 60-70 persen," ujarnya.

Surplus
Sementara itu, Menteri Pertanian Suswono membantah jika ada yang menilai Indonesia mengalami krisis beras. Pada 2013 produksi gabah Indonesia sebesar 71,6 juta ton atau setara 41 juta beras. Tahun ini, berdasarkan perkiraan BPS, produksi gabah 69,8 juta ton setara 40 juta ton. "Tapi, kita tetap mengalami surplus beras. Tahun lalu, surplus sekitar 7 juta ton dan tahun ini sekitar 5 juta ton," ungkap Suswono.

Selama ini, lanjutnya, surplus atau defisit beras tergantung Bulog. Kalau Bulog tak mampu menyerap gabah rakyat dan pada akhir tahun tak mampu memiliki stok 1,5 juta ton beras, Indonesia dianggap rawan beras dan untuk mengamankan stok, Bulog harus mengimpor beras.

Konsumsi beras Indonesia saat ini 124 kg per kapita per tahun. Jika konsumsi per kapita bisa ditekan, surplus beras bisa meningkat. Bila produksi beras mampu ditingkatkan dengan penamahan lahan dan penerapan teknologi, Indonesia akan terus mengalami surplus beras. Saat ini, ada 12 provinsi yang merupakan lumbung padi nasional dan dunia.

Penerapan teknologi pertanian, lanjut Suswono, bisa menaikkan produktivitas padi dari 5,1 ton menjadi 5,2 ton per hektare. Kenaikan itu sudah cukup besar karena secara agregat akan mendongkrak tambahan produksi 1,4 juta ton.

Penerapan teknologi pertanian sudah terbukti berdampak signifikan. Penggunaan mesin panen, misalnya, mampu menurunkan waste dari 9 persen menjadi 1 persen.

"Untuk meningkatkan produksi beras dan kesejahteraan petani, luas lahan petani harus bisa ditingkatkan. Saat ini, rata-rata luas lahan petani hanya 0,3 hektare per petani. Di Thailand, seorang petani memiliki 3 hektare. Luas lahan pertanian per kapita di Indonesia hanya 560 meter, sedang di Thailand 5.600 meter per kapita," ujar Suswono.

http://www.beritasatu.com/nasional/208144-kembalikan-kebanggaan-petani.html

Jumat, 05 September 2014

Tanpa Keberpihakan ke Petani dan Nelayan, Kedaulatan Pangan Mustahil Dicapai

Jumat, 5 September 2014

Jakarta - Apabila Pemerintah RI benar-benar memberi perhatian pada kedaulatan pangan Indonesia, maka kehidupan petani dan nelayan pasti sudah lebih baik. Jika pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) memang berniat meningkatkan taraf hidup warga masyarakat kecil, maka harus mendorong perbaikan nasib.

"Orang kaya tak usah diurus, karena mereka bisa mengurus dirinya sendiri. Tapi kalau orang miskin, kalau tak ada pemberdayaan oleh pemerintah untuk mengangkat mereka, itu tak bisa bangkit. Merekalah yang harus diberi akses ke pendidikan, dana, dan lain-lain, karena selama ini akses itu hanya dikuasai orang kaya," jelas Tri Mumpuni, dari Yayasan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan, di Jakarta, Kamis (4/9).

Berbicara dalam sarasehan nasional bertema kedaulatan pangan, Tri Mumpuni menegaskan bahwa apabila sistem pembangunan nasional masih seperti sekarang, maka jangan pernah berpikir rakyat miskin Indonesia bisa terbangun.

Untuk bidang kedaulatan pangan, komitmen pemerintah untuk mengembangkannya wajib direalisasikan.

"Negara maju, kalau rakyatnya diarahkan berproduksi," katanya.

Di sisi lain, dia mengatakan prinsip revolusi mental yang digagas Jokowi harus dilaksanakan. Hal itu akan membuat pemerintah mampu membangun kedaulatan pangan berbasis lokalisme.

"Pada tahun 50-an, di Indonesia ada program dimana desa diarahkan mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Kalau desanya cuma bisa hasilkan singkong, ya sudah makan singkong. Di Madura, kalau ada jagung, ya jagung. Di Gunung Kidul, ada tiwul. Harus ada keinginan kuat untuk diversifikasi pangan," jelasnya.

Dia optimistis Indonesia mempunyai banyak generasi muda lulusan universitas yang sebenarnya memiliki kemampuan mengembangkan kedaulatan pangan, apabila didukung pemerintah.

Sebagai contoh, di tengah impor terigu Indonesia yang nilainya US$ 8 miliar pertahun (sekitar Rp 92 triliun), sarjana pertanian asal Yogyakarta sudah berhasil membuat tepung berbasis umbi lokal yang gluten free dan diminati Italia.

Tri Mumpuni yakin peluang pemerintahan Jokowi-JK dalam mengembangkan kedaulatan pangan akan lebih besar, jika memilih menteri di luar parpol.

Selain itu, pemerintahan ke depan juga harus berani menghabisi rentenir di sektor pertanian, yang telah membuat dunia pangan Indonesia tak bisa maju. Merekalah yang telah membuat Indonesia makin terbenam dalam impor.

"Celakanya para pemburu rente ini dipelihara oleh birokrat yang mendapat kenikmatan dari mereka," imbuhnya.

Penulis: Markus Junianto Sihaloho/FAB

http://www.beritasatu.com/nasional/207461-tanpa-keberpihakan-ke-petani-dan-nelayan-kedaulatan-pangan-mustahil-dicapai.html

Petani Kecil Kekurangan Pupuk Subsidi

Jumat, 5 September 2014

PANGKALAN BALAI, KOMPAS — Petani kecil di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, kekurangan pupuk bersubsidi karena realisasi alokasi pupuk tak mencapai 50 persen dari kebutuhan yang diusulkan daerah. Penyaluran juga berulang kali bermasalah diduga karena pupuk justru dijual ke perusahaan-perusahaan perkebunan di Sumsel.
Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Banyuasin, Syaiful Bahri, mengatakan, tahun ini realisasi pupuk urea untuk daerahnya sekitar 45 persen. Dari kebutuhan yang diusulkan 60.170 ton, pupuk bersubsidi yang diperoleh hanya 27.000 ton. Adapun pupuk SP-36 dari usulan 15.000 ton hanya terealisasi 4.000 ton dan Za hanya terpenuhi 638 ton dari usulan 2.800 ton atau kurang dari 22 persen.

”Pupuk menjadi starter dari tanaman itu sendiri. Jika kekurangan, akibatnya hasil panen sulit ditingkatkan,” kata Syaiful, seusai panen raya sawah lebak di Desa Sako, Kecamatan Rambutan, Banyuasin, Rabu (3/9).

Menurut Syaiful, penyaluran pupuk bersubsidi pun berulang terlambat dan tak sampai ke petani kecil atau petani dengan sawah kurang dari 2 hektar.

”Karena perbedaan harga yang cukup besar, pupuk bersubsidi diduga justru dijual ke perusahaan perkebunan yang banyak terdapat di Sumsel,” ujarnya.

Menanggapi banyaknya masalah penyaluran pupuk, Menteri Pertanian Suswono, yang hadir dalam panen raya sawah lebak Desa Sako, mengatakan, Kementerian Pertanian dan Komisi Pemberantasan Korupsi tengah melakukan kajian untuk meminimalisasi kebocoran penyaluran pupuk bersubsidi. Kajian ini dimaksudkan untuk merancang organisasi penyaluran pupuk bersubsidi yang ideal.

”Organisasi ini bisa semacam koperasi, seperti zaman koperasi unit desa dahulu. Misalnya, gabungan kelompok tani yang bertugas menyalurkan pupuk bersubsidi dan sarana produksi pertanian lainnya,” katanya.

Menurut Suswono, seharusnya tidak ada lagi kekurangan alokasi pupuk bersubsidi. Kementan telah mengalokasikan pupuk bersubsidi sesuai dengan hitungan kebutuhan petani kecil, yaitu 9,5 juta ton untuk tahun 2014. Anggarannya Rp 18 triliun.

Wacana lain adalah menghapus subsidi pupuk dan mengalihkan subsidi petani melalui bidang lainnya. Hal ini bertujuan agar subsidi petani kecil tidak disalahgunakan.

Di Jember, Jawa Timur, realisasi pemakaian pupuk bersubsidi selama delapan bulan hingga Agustus 2014, penyerapan urea tercatat 56.754 ton atau 112 persen dari seharusnya sekitar 48.096 ton. Penggunaan urea yang meningkat itu mendorong Pemerintah Kabupaten Jember menambah kuota urea. Kuota awal 72.151 ton dirasakan masih kurang. Ini diungkap Kepala Seksi Penyuluhan Dinas Pertanian Jember, Luluk Herman, Kamis. (IRE/SIR)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140905kompas/#/26/