Sabtu, 29 November 2014

Pemerintahan Jokowi Ditantang Wujudkan Swasembada Pangan

Sabtu, 29 November 2014

Mediasulbar.com - Pemerintahan dibawa kendali Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) ditantang untuk mencapai misinya untuk mewujudkan negara ini ikut swasembada pangan tanpa harus ketergantungan dengan negara lain.

"Tanah kita cukup subur. Anggaran kita sebetulnya cukup untuk mewujudkan target swasembada pangan. Keingingan presiden ini sejatinya ditindaklanjuti Kementerian Pertanian," kata Ketua Presidium Bamus Tani, Henry Saragih dalam press releasenya kepada Mediasulbar.com, Jumat, 28/11.

Menurutnya, program swasembada pangan yang menjadi dambaan pemerintahan pasti tidak akan tercapai bila program yang digulirkan tidak berbasis kedaulatan pangan.


Ia mencontohkan, pemerintahan di era Orde Baru yang digagas Presiden kedua almarhum, Soeharto bisa berjalan sukses dan hal itu seharusnya bisa berkelanjutan dengan cara mengedepankan revolusi hijau.

JIka revolusi hijau terlaksana dengan baik maka petani di Indonesia bisa menghasilkan produksi melimpah sekali panen. Kedaulatan pangan harus berbasis pertanian yang ramah terhadap ekologi yang bersumber dari pupuk dan benih yang dihasilkan sendiri oleh petani.

Anggota Presidium Bamus Tani, Muhammad Nur Uddin menyampaikan, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi atas Permohonan Uji Materi UU Sistem Budidaya Tanaman, telah jelas memberikan kebebasan kepada pertanian keluarga skala kecil untuk mencari, mengembangkan dan mengedarkan benih hasil karyanya.


Ia menyampaikan, sudah tidak tepat jika subsidi benih dan pupuk yang dialokasikan dalam draf APBN berupa pembelian pupuk dan benih dari perusahaan. Seharusnya, petani pemulia benih mendapatkan dukungan dari APBN.

Pengalihan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) harus bisa dipergunakan untuk memperluas akses petani kepada sumber-sumber agraria dan sumber-sumber pangan, bukannya raskin atau sekedar bantuan keuangan.

Untuk itulah, Anggota Presidium Bamus Tani, Gunawan juga mengingatkan agar Presiden, Menteri Agraria dan Tata Ruang, dan para Kepala Daerah untuk bisa segera melaksanakan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi atas Permohonan Uji Materi Undang-Undang tersebut.

Karena kata dia, kedaulatan pangan jelas membutuhkan redistribusi tanah untuk petani yang diawali dari penetapan kawasan pertanian, melindungi dan menambah luasan kawasan pertanian serta meredistribusikan tanah negara kepada petani kecil, petani penggarap dan buruh petani tidak dengan dipungut sewa oleh Pemerintah.

Karena itu, Bamus Tani akan menyelenggarakan musyawarah tani di daerah sebagaimana mandat UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagai bentuk perjuangan mengembalikan kedaulatan pangan Indonesia.**


http://www.mediasulbar.com/artikel-1725---pemerintahan-jokowi-ditantang-wujudkan-swasembada-pangan.html

Diselewengkan, Harga Pupuk Bengkak Dua Kali Lipat

Sabtu, 29 November 2014

TEMPO.CO , Jakarta:Pemerintah diminta memberantas penyelewengan subsidi pupuk. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan penyelewengan membuat harga pupuk membengkak hingga dua kali lipat. "Pemerintah harus mengubah sistem pertanian mulai dari membenahi penyelewengan pupuk dan menjalankan sistem pertanian ekologis," ujar Henry saat dihubungi Tempo, 28 November 2014. (Baca : PT Pusri Siapkan 180 Ribu Ton Urea Bersubsidi)

Henry mengatakan penyelewengan membuat harga pupuk bersubsidi menjadi tidak wajar. Dia mencontohkan harga pupuk urea per sak seharga Rp 60 ribu, namun ketika pupuk tersebut diselewengkan harganya menjadi Rp 120 ribu. "Harga pupuk subsidi jadi dua kali lipat," ujar Henry. (Baca : Pemerintah Tunggak Subsidi Rp 1,4 Triliun ke Pupuk)

Pupuk yang disalurkan pemerintah, kata Gatot, seharusnya juga didominasi dengan pupuk organik bukan pupuk kimia. Pada tahun ini, jumlah pupuk urea sebanyak 4,1 juta ton, sedangkan pupuk organik hanya 1,1 juta ton. Jumlah tersebut diperkirakan tak jauh berbeda pada tahun depan.

Henry berharap pemerintah mampu membenahi sistem pertanian dari mulai bentuk penyelewengan hingga pertanian ekoligis sehingga tercapai kedaulatan pangan. "Itu sudah sesuai dengan visi Presiden Jokowi," ujar Henry.

Direktur Jendral Prasarana dan Sarana Kementerian Pertanian Gatot Irianto menyatakan kebutuhan subsidi pupuk pada 2015 bakal tercukupi hingga akhir tahun. Pemerintah akan memastikan bahwa pupuk subsidi sampai di tangan petani. "Sehingga tepat pada sasaran," ujar Gatot saat dihubungi Tempo, Jumat, 28 November 2014 .

Sepanjang tahun ini, subsidi pupuk berjumlah 7,7 juta ton dan membengkak 1,8 juta menjadi 9,5 juta ton. Sedangkan pada 2015, jumlah pupuk bersubsidi tetap sama dengan tahun ini yaitu 9,5 juta ton.

Jumlah tersebut, kata Gatot, mampu memenuhi kebutuhan pupuk petani. Dia berjanji akan mengawasi distribusi pupuk sehingga tidak ada penimbunan yang menyebabkan kelangkaan. "Untuk menghindari adanya penyelewangan," ujar Gatot.

Penyelewengan tersebut, kata Gatot, terjadi karena adanya disparitas harga. "Itu yang menyebabkan kelangkaan pupuk," kata Gatot.

DEVY ERNIS

http://www.tempo.co/read/news/2014/11/29/090625198/Diselewengkan-Harga-Pupuk-Bengkak-Dua-Kali-Lipat

Jumat, 28 November 2014

Uang Sering Membutakan Orang

Jumat, 28 November 2014

Dana Desa

Hampir semua kepala desa atau lurah begitu gembira setelah mengetahui ada pengalokasian dana untuk setiap desa minimal sebesar Rp 1 miliar per tahun. Pemberian dana sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa itu diklaim sebagai berkah. Persoalan kemiskinan, keterbelakangan, dan keterisolasian yang selama ini melilit masyarakat diyakini secara bertahap teratasi.

Sejumlah program pun mulai disiapkan. Ada yang ingin membangun dan memperbaiki jalan di desa. Ada pula yang berencana mengutamakan pemenuhan kebutuhan air minum warga. Ada lagi yang ingin melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pendek kata, semua dana desa itu akan digunakan semata-mata untuk kepentingan masyarakat.

”Tiga dusun di desa kami masih terisolasi. Tidak ada jalan yang menghubungkan antardusun, termasuk ke pusat desa. Sebagian besar masyarakat kami juga belum menikmati air bersih. Jika nanti dana desa dicairkan, kami akan gunakan untuk pembangunan jalan dan pengadaan pipa air bersih,” kata Herman Naka (30), Kepala Desa Sompang Loni, Kecamatan Ranamese, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, beberapa waktu lalu.

Meski bahagia atas adanya dana desa tersebut, timbul keraguan tentang kesanggupan mengelola dana yang begitu banyak. Alasannya, selama ini para kepala desa belum pernah dipercayakan mengelola dana yang mencapai miliran rupiah, juga belum berpengalaman mengurusi pembukuan dan sejenisnya.

”Jangankan ratusan juta rupiah, dana puluhan juta rupiah saja belum pernah ditangani kepala desa. Memang, ada beberapa proyek di desa, seperti PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat). Tetapi, semuanya langsung ditangani petugas khusus. Kepala desa hanya mengetahui,” ujar Herman.

Kerisauan tersebut sungguh benar. Maklum, dalam pengelolaan keuangan negara ada sistem pelaporan yang ketat. Salah sedikit saja dalam penggunaan keuangan dan pelaporan, maka pengelolanya bisa terkategori melakukan penyimpangan dan berpotensi disebut terduga korupsi.

Lihat saja, dana bantuan operasional sekolah (BOS). Dana yang seharusnya diperuntukan membantu meringankan biaya pendidikan bagi siswa dari keluarga tidak mampu, ternyata dalam praktiknya di lapangan sering bertolak belakang. Di Sekolah Dasar Negeri (SDN) I Liliboy, Kecamatan Leihetu Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, misalnya, dana BOS tahun anggaran 2010-2014 sebesar Rp 320 juta ternyata dipakai kepala sekolah untuk membayar jasa tempat hiburan.

Pentingnya persiapan
Kendati ada sejumlah kelemahan, ketentuan UU Desa wajib dijalankan. Namun, perlu ada persiapan terlebih dahulu sehingga para kepala desa dapat mengelola uang yang begitu banyak tanpa terjerumus dalam praktik penyimpangan.

Langkah-langkah itu, menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Endi Jaweng, pemerintah pusat perlu menyosialisasikan UU Desa. Dalam sosialisasi dijelaskan pula hal-hal prinsip terkait pelaksanaannya. Sosialisasi tak hanya diberikan kepada pejabat kabupaten, tetapi yang lebih penting adalah kepada para kepala desa dan aparatur desa.

Pemerintah pusat juga wajib membuat panduan tentang tata cara pengelolaan anggaran dana desa. Panduan ini penting agar para kepala desa atau aparatur desa memiliki rambu-rambu dalam mengelola dana itu. Artinya, pemerintah pusat juga perlu memberikan pelatihan kepada calon pengelola anggaran dana desa. Tujuannya untuk peningkatan kapasitas sumber daya kepala desa dalam merencanakan program serta menyusun dan mengelola anggaran. Ini penting, sebab sebagian besar kepala desa di Indonesia hanya tamat sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) yang belum memiliki pengalaman menangani proyek-proyek pemerintah bernilai besar.

”Kami ingin dana desa dikelola secara baik dan jauh dari penyimpangan serta inefisiensi. Itu sebabnya, pelatihan dan peningkatan kapasitas menjadi kebutuhan utama dalam merealisasikan UU Desa. Maklum banyak kepala desa yang sama sekali belum mengenal pembukuan,” ujar Endi.

Pelatihan juga bertujuan membuka wawasan dan meningkatkan visi para kepala desa untuk pemberdayaan ekonomi. Dengan demikian, penggunaan dana desa benar-benar sesuai kebutuhan masyarakat.

Endi menyarankan, penggunaan dana tersebut diprioritaskan untuk pelayanan dasar, seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Disusul, pengembangan potensi unggulan desa, antara lain pertanian dan perikanan. Hasil bumi itu seharusnya terlebih dahulu diolah melalui proses inovasi dan kreativitas sebelum dipasarkan sehingga memberikan nilai tambah bagi masyarakat.

”Masalahnya sekarang adalah tahun 2015 yang merupakan awal realisasi dana desa. Waktunya tinggal sebulan, tapi sejauh ini sosialisasi, pelatihan, dan hal lainnya belum juga diberikan kepada para kepala desa. Jika persiapan tidak optimal, saya khawatir terjadi penyimpangan,” ujar Endi.

Integrasikan
Soal lain yang dihadapi adalah sejauh ini masih ada 14 kementerian yang memiliki program pemberdayaan desa. Konsep pemberdayaan yang dilakukan adalah semua program disusun di Jakarta lalu direalisasikan di desa. Masyarakat desa jarang dilibatkan untuk mengusulkan dan merumuskan program pemberdayaan. Kepala desa pun hanya mengetahui adanya proyek di desanya, tanpa dilibatkan dalam pengelolaan. Singkatnya, kepala desa dan masyarakatnya hanya menjadi obyek dan penonton.

Sebaliknya dalam UU Desa, konsep pembangunan desa menekankan pada aspek demokratis, sejahtera, mandiri, dan otonom. Artinya, masyarakat desa yang mengusulkan, memutuskan, merumuskan, dan merealisasikan program pembangunan di desa mereka.

Untuk menghindari benturan dalam pembangunan desa akibat perbedaan konsep, menurut anggota DPRD Kalimantan Barat, Maskendari, semua program dari pemerintah sebaiknya ditiadakan, kemudian diintegrasikan dalam program sesuai UU Desa. Dengan demikian, program ini benar-benar hasil inisiasi masyarakat desa.

”Desa sebaiknya maju berkembang sesuai hasil berpikir dan kerja masyarakat setempat. Ada kepuasan, kebahagiaan, kebanggaan, dan rasa memiliki. Aspek demokratis, sejahtera, mandiri, serta otonom sungguh-sungguh terwujud,” katanya.

Mengingat waktu kian pendek dan persiapan belum matang, tahap awal ini mungkin pengelolaan dana desa diberikan kepada petugas kabupaten atau camat. Alasannya, mereka telah berpengalaman mengelola proyek bernilai besar. Masa transisi hanya berlangsung setahun atau dua tahun, lalu diserahkan sepenuhnya kepada kepala desa. Jika persiapan kurang matang, dana desa bukannya berkah, melainkan menjadi bencana karena uang sering kali membutakan orang.


Oleh: Jannes Eudes Wawa

Swasembada yang Berdaya Saing dan Menyejahterakan

Jumat, 28 November 2014


Swasembada pangan yang berdaya saing dan menyejahterakan petani merupakan syarat untuk memenangi persaingan dalam perdagangan pangan lingkup ASEAN. Sayangnya, hingga detik ini ketiga prasyarat utama itu belum satu pun bisa dipenuhi.
Ibarat pelari maraton, produsen pangan Indonesia sedang lumpuh. Kedua kakinya lunglai tidak bisa digerakkan. Parahnya lagi, perut si pelari kosong melompong sehingga tak bertenaga. Sekadar mau berdiri saja tidak bisa. Tidak berdayanya kondisi pangan Indonesia selama ini akibat negara salah mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia, dan permodalan di sektor pangan.

Profil tiap-tiap komoditas pangan Indonesia cenderung mengkhawatirkan. Masalah seperti itu terdapat pada komoditas beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi, unggas, serta aneka sayur dan buah-buahan.

Beras, misalnya, pada 2014 Indonesia harus impor 500.000 ton. Daya saing beras Indonesia rendah karena harga beras di Indonesia hampir dua kali lipat harga beras Vietnam. Komoditas ini juga belum menyejahterakan petani, apalagi petani gurem. Rata-rata pendapatan bulanan petani padi Rp 1,2 juta per rumah tangga petani. Angka ini jauh di bawah upah minimum provinsi yang paling rendah sekalipun.

Komoditas jagung yang berbasis pada benih jagung hibrida mempunyai daya saing. Harga jagung di Indonesia bisa kompetitif dibandingkan dengan jagung impor. Meski begitu, Indonesia masih harus mengimpor 3 juta ton jagung per tahun. Komoditas jagung juga belum menyejahterakan petani karena rata-rata berlahan sempit. Kondisi komoditas kedelai tidak jauh beda.

Bagaimana dengan daging sapi? Produksi daging sapi nasional berbasis ternak sapi rakyat. Daya saingnya rendah dan tidak ada kepastian pasokan daging sapi ke pasar. Tahun 2014 Indonesia mengimpor daging sapi 188.000 ton dalam bentuk daging, sapi siap potong, dan sapi bakalan.

Kondisi komoditas gula tidak kalah parah. Daya saing Indonesia rendah karena harga gula lokal lebih mahal Rp 2.000 per kilogram dibandingkan dengan gula Thailand.

Komoditas gula pun belum menyejahterakan petani karena rata-rata produktivitas di bawah 100 ton per hektar dengan rendemen rata-rata 7,5 persen. Hanya saja, rata-rata kepemilikan lahan tebu lebih dari 2 hektar.

Produksi daging ayam dan telur Indonesia melimpah. Tiap tahun produksi daging ayam di atas 1,7 juta ton. Sayang, harga ayam dan telur sering berfluktuasi dan cenderung lebih mahal daripada Malaysia.

Persoalan utama karena skala kepemilikan ternak unggas Indonesia relatif kecil. Selain itu, Indonesia belum mandiri dalam memproduksi ayam bibit.

Dalam komoditas sayuran dan buah, konsumen mulai tergiur produk negara lain. Buah dan sayuran lokal kurang mendapat perhatian sehingga impor sayuran dan buah terus meningkat.

Bergerak bersama
Dalam menghadapi pasar bebas ASEAN, aspek swasembada, aspek daya saing, dan aspek menyejahterakan petani harus bisa dipenuhi. Tidak bisa berat sebelah, mengutamakan yang satu mengabaikan yang lain.

Produksi komoditas pangan yang melimpah akan percuma karena tidak akan terserap pasar kalau tidak mempunyai daya saing. Begitu pula produksi pangan yang melimpah dan berdaya saing tidak akan berkelanjutan apabila tidak menyejahterakan produsen/petani.

Di sisi lain, keberhasilan menyejahterakan petani tidak banyak gunanya jika komoditas pangan itu tidak memiliki daya saing. Dalam kondisi pasar bebas MEA, produk yang tidak berdaya saing dalam harga dan kualitas pasti ditinggalkan konsumen.

Begitu pula apa artinya komoditas pangan yang bisa menyejahterakan petani dan berdaya saing, tetapi produksinya sedikit dan tidak mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia. Karena itu justru menjadi peluang negara lain ekspor pangan ke Indonesia.

Koordinasi
Untuk komoditas daging sapi, ada harapan baru. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Syukur Iwantono mengatakan, pengembangan integrasi usaha sawit-sapi di perkebunan kelapa sawit akan mampu mendongkrak produksi dan daya saing daging sapi Indonesia. Biaya produksi dapat dipangkas dari 40 persen menjadi kurang dari 5 persen. Lebih efisien dibandingkan dengan daging sapi yang diproduksi berbasis padang penggembalaan.

Bagaimana dengan aspek kesejahteraan peternak? Para peternak harus bergabung dalam koperasi atau kelembagaan lain untuk membudidayakan sapi secara komunal. Program pendampingan dan keterlibatan swasta, BUMN, dan perguruan tinggi sangat menentukan.

Soal beras, tantangan utama Indonesia adalah keterbatasan lahan dan kecilnya skala produksi. Produktivitas tanaman padi Indonesia sudah lebih tinggi daripada negara pesaing seperti Thailand dan Vietnam, tetapi harga beras per satuan produksi masih kalah akibat skala produksi yang kecil.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sekaligus Plt Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Haryono memastikan upaya perluasan areal pertanaman padi seluas 1 juta hektar melalui perbaikan jaringan irigasi.

Ke depan produksi padi harus didukung penambahan lahan pertanian baru dengan jaringan irigasi baru.

Kebijakan pemerintahan Joko Widodo yang dalam lima tahun masa pemerintahannya ingin membangun 25-30 waduk baru lengkap dengan jaringan irigasinya merupakan langkah awal yang tepat. Tak kalah penting, petani kecil harus diberi kesempatan menaikkan skala usaha dengan berbagai kemudahan akses ke sumber daya lahan.

Tantangan produksi gula, kata Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Jember Rudi Wibowo, adalah memproduksi gula yang banyak dengan daya saing tinggi agar terserap pasar.

Kondisi perunggasan nasional di tengah ancaman perdagangan bebas ASEAN justru sedang bertikai di antara para pelakunya.

Produksi buah skala besar berbasis perkebunan buah rakyat harus dikembangkan. Khusus untuk sayuran, sudah saatnya Indonesia mengembangkan sayuran dataran rendah, sesuai potensi dan ketersediaan lahan.


Oleh: HERMAS E PRABOWO

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/141128kompas/?abilitastazione=#/54/

Kamis, 27 November 2014

KPK Temukan Penyelewengan Raskin

Rabu, 26 November 2014

Jakarta, HanTer - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menemukan ada penyelewengan dalam pelaksanaan dan pengadaan beras untuk rakyat miskin (raskin). Kendati demikian, KPK belum menetapkan tersangka.

"Belum ada tersangka, masih terus didalami untuk mendapatkan bukti-bukti," kata Juru Bicara KPK, Johan Budi ketika dikonfirmasi Harian Terbit, Selasa (25/11/2014).

Johan Budi mengungkapkan menyangkut penyelewengan beras raskin, pihaknya belum mengetahui secara detail bagaimana proses dan mekanisme dalam penyelewengan beras raskin tersebut. Hanya saja KPK tetap menindaklanjuti kasus penyelewengan raskin yang diduga melibatkan pejabat Bulog.

Sementara itu Kepala Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha membenarkan jika KPK melakukan kajian dalam kasus penyelewengan  raskin. Dalam kajian ditemukan kejanggalan dalam penyaluran raskin untuk masyarakat berpenghasilan rendah, mulai dari jumlah, sasaran sampai kepada mutu raskin yang dibagikan.

Saat ditanyakan apakah ada laporan soal penyelewengan raskin? Priharsa menegaskan, "Bukan laporan, tapi temuan KPK saat melakukan kajian," tegasnya.

Saat ditanya sudah ada tersangka yang ditetapkan? Priharsa menuturkan, untuk sementara ini belum ada karena KPK melakukan pencegahan. "Gak ada. Kan pencegahan," ujarnya.

(Safari)

http://harianterbit.com/read/2014/11/26/12422/25/25/KPK-Temukan-Penyelewengan-Raskin

Gubernur Harapkan Rp1 Triliun Dari Impor Pangan

Rabu, 26 November 2014

Makassar (ANTARA Sulsel) - Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo mengharapkan dana tambahan Rp1 triliun per provinsi yang diminta dari pemerintah pusat untuk mendukung kedaulatan pangan berasal dari pengalihan anggaran impor pangan.

"Ada dana yang cukup besar untuk impor pangan. Dana itu lebih baik digunakan untuk program yang mendukung kedaulatan pangan kita. Itu yang kami minta untuk dialihkan," kata Syahrul di Makassar, Rabu.

Ia menegaskan bahwa permintaan dana tersebut tidak ada hubungannya dengan langkah pengurangan subsidi BBM yang kini dilakukan pemerintah pusat.

"Ada atau tidaknya pengurangan subsidi BBM, dana untuk kedaulatan pangan tetap harus jadi perhatian," ujarnya.

Syahrul yang juga Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) mengatakan bahwa berdasarkan pengalaman di Sulsel, investasi di bidang pertanian akan membawa keuntungan yang lebih besar.

"Di Sulsel, kita memberikan dana Rp280 miliar untuk mendukung pertanaman padi, dan hasilnya kita memperoleh pendapatan lebih dari Rp24 triliun," jelasnya.

Ia mencontohkan bahwa dengan memastikan ketersediaan air untuk pertanian melalui pembangunan sarana irigasi, petani minimal dapat menanam hingga 5 kali dalam dua tahun. Hal ini, kata dia, akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

"Petani kita bisa sejahtera dan kebutuhan pangan dalam negeri juga bisa kita penuhi, ini yang kita harapkan," tutupnya.  AJS Bie

Editor: Daniel

http://www.antarasulsel.com/berita/60147/gubernur-harapkan-rp1-triliun-dari-impor-pangan

Refleksi Kedaulatan Pangan

Rabu, 26 November 2014


Dunia menyambut hari pangan sedunia (World Food Day) 16 Oktober tahun 2014 ini dengan tema “Family Farming: “Feeding the World, Caring for the Earth”.Tema ini---beririsan dengan tahun 2014 sebagai Tahun Pertanian Keluarga Internasional---diarahkan untuk mendorong peran pertanian berbasis keluarga untuk ketahanan pangan, penghapusan kelaparan dan mendorong pembangunan berkelanjutan.

Peta Kelaparan
Isu pangan tidak kalah krusialnya dengan isu sosio-ekonomi lainnya di dunia. Fakta statistik tentang kelaparan dan malnutrisi menggarisbawahi sejumlah kondisi darurat kemanusiaan yang mengharuskan para pemimpin politik dan seluruh kekuatan sipil global untuk menyatukan sinergi dan upaya nyata dalam memberantas isu. Betapa tidak, 800 jutaan orang atau 1 dari 9 orang di planet ini tidak memiliki akses pangan yang cukup untuk menopang kehidupan mereka secara wajar. Dari jumlah ini, Asia menempati posisi signifikan setara dua per tiga jumlah penduduk, disusul Afrika Sub-Sahara di mana 1 dari setiap 4 orang masuk dalam kategori malnutrisi. Kondisi ini mengakibatkan 3,1 juta kematian anak balita per tahun.

Kendati begitu, dunia ini masih sarat situasi paradoksal. Sedikit pemahaman reflektif kita. Organisasi Pangan Dunia (FAO) menegaskan bahwa gaya hidup hedonistik manusia modern telah mengakibatkan 1,3 miliar ton makanan per tahun terbuang percuma. Terbuangnya makanan tentu tidak hanya persoalan ekonomis dan kemanusiaan semata. Dampaknya terhadap derajat kualitas lingkungan tentu tidak kalah pentingnya di sisi lain. Makanan yang terbuang identik dengan besarnya pemborosan. Dari hulu, makanan yang terbuang berarti pemborosan pupuk, pestisida dan air. Di tingkat hilir, bahan bakar lebih banyak dibakar untuk transportasi makanan. Selain itu, sampah makanan juga berarti lebih banyak emisi gas metana, 1 dari 6 unsur gas rumah kaca yang berdasarkan rezim Protokol Kyoto berkontribusi terhadap pemanasan bumikarena daya panasnya terhadap bumi 20 kali lebih besar dibandingkan CO2 (Lean, 2006).

Sepintas gambaran ini mengandung pretensi hiperbolis. Meski data tidak cukup tersedia, dalam lingkup nasional misalnya, kasus yang terjadi sejumlah kecil wilayah kita bisa menjadi rujukan. Di tengah ratusan triliun digelontorkan untuk subsidi BBM, krisis pangan di Kabupaten Yahukimo, Papua dan Kabupaten Sikka dan Lembata, NTT beberapa waktu lalu, menggugah kontemplasi kita betapa sebagai bangsa yang merdeka hampir 70 tahun masih berkutat dengan urusan perut. Patut dipertanyakan kehadiran negara dalam mengemban tugas dasarnya. Oleh karena itu, di tengah pendulum politik subsidi BBM yang terbukti telah ‘membangkrutkan’ fiskal negara, isu pangan---lingkup nasional dan global---harus masuk dalam relung terdalam politik negara. Dalam konteks ini, agenda ketahanan pangan dalam bingkai kelembagaan baru menjadi sangat relevan.

Badan Lingkungan PBB (UNEP)menunjukkan bahwa salah satu momentum ancaman deforestasi paling serius ketika terjadi booming atas beberapa komoditas tertentu di tingkat domestik dan global. Akibatnya alih fungsi hutan untuk tanaman komoditas seperti sawit, tebu dan lain-lain tidak terelakan. Dalam lingkup nasional, pembukaan lahan sawit yang mencapai hampir dua kali lipat dalam dua dekade terakhir menunjukkan situasi yang semakin mengkhawatirkan secara sosio-ekonomis dan ekologis (Kompas, 14/10). Data juga menunjukkan hampir 80 persen minyak sawit Indonesia yang mencapai 22 jutaan ton per tahun diekspor untuk tujuan yang lebih banyak untuk biodiesel. Ironis bukan! Tekanan alih fungsi lahan yang semakin masif untuk pengembangan komoditas tanaman pangan justru lebih banyak diperuntukkan untuk non-pangan. Pendek kata, tekanan berat bagi bumi yang hampir mendekati batas-batas kapasitas biofisiknya dan dalam beberapa kasus bahkan telah melebihinya lebih banyak didedikasikan untuk kepentingan gaya hidup.

Momentum Pemerintahan Baru
Momentum hari pangan sedunia tahun ini dapat menjadi pengingat kembali bagi semua pemangku kepentingan, utamanya para elit pemangku negara untuk mendorong kiprah masyarakat dalam penyediaan kebutuhan pangan berbasis pertanian keluarga. Ini tentu tidak saja dalam upaya menjamin akses dasar atas kebutuhan pangan bagi hajat hidup orang banyak tetapi juga kesinambungan daya dukung lingkungan. Argumen ini,bagaimana pun, masih dalam ujian berat meskipun secara normatif politik pembangunan nasional telah menancapkan paradigma pembangunan yang serba keberlanjutan.


Dalam konteks inilah, agenda politik unggulan pemerintahan Jokowi-JK untuk mengampu pekerjaan besar yang bernama ketahanan pangan menjadi sangat strategis dan visioner. Isu pangan nasional akan semakin melimbungkan tugas negara tidak saja karena pertumbuhan demografis, perubahan iklim tetapi juga bumi sebagai tempat penyemai bahan pangan telah mengalami tekanan berat. Bisa jadi pesan ini terkesan klise tapi kegagalan negara dalam mengelola isu ini bisa membawa implikasi katastrofik bagi generasi kita depan.

Oleh Hariyadi, Peneliti P3DI Setjen DPR-RI, Jakarta.

http://www.publicapos.com/opini/2979-refleksi-kedaulatan-pangan

Kamis, 20 November 2014

HKTI : Petani Pangan Makin Miskin

Rabu, 19 November 2014

Dampak Kenaikan Harga BBM Bersubsidi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Pasca kenaikan harga BBM bersubsidi dipastikan petani pangan makin miskin tak bisa berbuat apa-apa.
"Menaikan harga BBM bersubsidi kok pukul rata, petani disamakan orang yang punya mobil. Ini tidak adil, petani pangan sudah pasti makin berat hidupnya," kata Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Sadar Subagyo kepada TeropongSenayan di Jakarta, Rabu, (19/11/2014)

Lebih jauh mantan anggota Komisi XI DPR F-Gerindra ini mempertanyakan Pemerintahan Jokowi. "Apasih yang mau dicapai dari sektor pertanian ini. Ini kebijakan kalap, petani pangan makin tak mendapat perhatian," ujar Sadar lagi.

Selain itu, kata Sadar, sudah pasti daya beli petani terus merosot dan ditambah lagi dengan inflasi di daerah juga akan naik.

Oleh karena itu, kata Sadar, HKTI meminta DPR mendorong kembali pengembalian Nilai Tukar Petani (NTP) ke angka 132 yang cenderung menurun dari tahun ke tahun. Rata-rata 3 bulan terakhir, NTP berada di 102.

Langkah ini akan membuat petani Indonesia makmur. Rata-rata NTP pada  2001  mencapai 132. Artinya,  pendapatan petani 132, pengeluarannya 100.  "Masih bisa menabung 32. Sekarang di 2014, NTP hanya 102. Ini membuktikan, pembangunan selama ini memiskinkan petani,” terangnya.

Dikatakan Sadar, kondisi petani Indonesia sangat memprihatinkan. Karena begitu panen, harga jatuh. Ditambah lagi, ada 'keisengan' yang luar biasa yakni, impor komoditi yang sama. "Mau panen bawang merah,   ada impor. Akibatnya, harga bawang jatuh. Penderitaan petani sangat panjang. Padahal, tugas pemerintah untuk memakmurkan petani," imbuhnya.

Akibatnya, lanjut Sadar, generasi muda enggan bertani.   Demikian juga dengan usaha tani, khususnya tanaman pangan utama menjadi tidak menarik lagi. Jumlah rumah tanga yang menanam padi pada 2003 sejumlah 14,2 juta dan pada 2013 turun menjadi 14,1 juta.

Begitu pula dengan rumah tanga yang menanam jagung, turun dari 6,4 juta di 2003 menjadi 51,1 juta di 2013. Hal ini menjadi lampu merah buat bangsa Indonesia. “Kalau generasi muda enggan bertani, maka jebakan pangan di depan mata," ungkapnya.

Untuk itu, HKTI meminta DPR mendesak pemerintah agar melakukan reformasi total di usaha tani tanaman pangan utama sehingga dalam 5 tahun ke depan NTP dapat meningkat signifikan melebihi NTP 2001 sebesar 132,” pungkasnya. (ec)

http://www.teropongsenayan.com/3280-hkti-petani-pangan-makin-miskin

Selasa, 18 November 2014

Pentingnya UU Pangan Dalam Memposisikan Bulog RI Secara Kompetitif

Selasa. 18 November 2014

Mewujudkan ekonomi nasional yang mandiri (berdikari) menjadi persoalan yang sangat urgensif ketika Indonesia telah berada sebagai bagian dari solusi dunia. Tidak terkecuali dalam bidang persaingan ekonomi-bisnis dalam konektifitas ekonomi regional. Makanya, menjadi perlu dan mendesak agar dilakukannya revitalisasi dan penyesuaian bahkan reformasi agar para pelaku ekonomi nasional dapat bangkit dan kemudian diperhitungkan baik domestik maupun internasional. Bahwa, kemampuan berdikari itu selanjutnya juga akan ditentukan oleh serangkaian keputusan penting untuk memposisikan pelaku usaha secara strategis sehingga mampu berdayasaing secara konstruktif (sehat) di antara para pelaku usaha (bisnis) lainnya.


Itulah sebabnya Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik Republik Indonesia (Perum BULOG), sebagai pelaku usaha ‘plat merah’ yang berdiri di bawah gugusan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Maka itu, BULOG praktis harus mampu mengikuti arah kebijakan makro ekonomi nasional sebagai pengejawantahan dari UUD 1945, Pasal 33 ayat (2,3, dan 4), bahwa Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Kemudian, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Keberadaan BULOG mengharuskannya untuk menjaga suatu keselarasan dengan Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Pangan dalam arti luas telah diposisikan secara strategis di dalam UU ini. Dengan demikian, BULOG meskipun mengandung nomenklatur sebagai perusahaan penyelenggara suatu sistem logistik nasional akan tetapi dengan dinamika perubahan dalam skema ekonomi nasional maka mengharuskannya untuk juga mengakomodir UU Pangan agar tidak terjadi kondisi yang tumpang-tindih ketika UU Pangan mengharuskan suatu BUMN tertentu dalam menyelenggarakan kedaulatan pangan dengan segala jangkauan dan kompleksitas pengaturan tersebut.

Menurut hemat kami BULOG mestinya mengambil posisi yang akomodatif serta sinergis dengan gagasan mengapa UU Pangan itu hadir sebagai paying hukum tentang pangan nasional untuk mencapai kedaulatan pangan. Dari nomenklatur tersebut maka sudah selayaknya maka BULOG mengambil UU Pangan dalam kerangka kebijakan usaha yang telah dilakukan agar dapat dikenbangkan lebih dinamis dan strategis sesuai norma atau substansi hukum yang mengatur tentang pangan dengan segala infrastruktur, sistem, pelaku dalam mencapai tujuan UU Pangan disamping skema peraturan-perundangan lainnya.

Mengapa UU Pangan menjadi identik bagi peningkatan kinerja Perum BULOG yang senantiasa maju-mundur dalam kebijakannya dari periode kepemimpinan nasional. BULOG terkesan sangat kaku, kurang transparan, lamban atau tidak dinamis, rendah dayasaing, rentan intervensi, dan tidak tercermin adanya suatu actuating dalam manajemen organisasi usaha milik negara (perusahaan publik).

Itulah yang akan menjadi tantangan bagi kepemimpinan Jokowi-JK, untuk merevitalisasi BULOG, termasuk Kementerian BUMN RI, DPR RI, dan bidang atau sektor terkait lainnya. Bahwa UU Pangan harus sudah efektif berlaku setelah 3 (iga) tahun disahkannya menjadi UU. Oleh karena itu, persis dalam tahun 2015 ini dan periode berikutnya harus dapat diimplementasikan secara menyeluruh. Substansi pengaturan yang ada di dalamnya sudah cukup baik. Hal ini mungkin sikap akomodatif dari para legislator untuk menerima berbagai masukan publik, kritik atas keberadaan Perum BULOG dari masa ke masa, semuannya dimaksudkan agar berfungsinya BULOG sesuai kaidah Peraturan Perundangan dan azas, prinsip usaha yang baik dan produktif. Kini UU tersebut telah ada dan sedang menunggu arah pengembangan selanjutnya, sehingga BULOG menjadi perusahaan yang  kompetitif.

Skema Hukum Dan Kebijakan

Perkembangan BULOG dari masa ke masa sejalan dengan skema kebijakan hukum yang sudah sangat kompleks. Dimulai sejak zaman Hindia Belanda yang ditandai dengan keluarnya Staatsblad Nomor : 419 Tahun 1927 Tentang Indische Bedrijvenwet.  Sejak dibentuknya BULOG pada 10 Mei 1967 berdasarkan keputusan presidium kabinet No.114/U/Kep/5/1967, dengan tujuan pokok untuk mengamankan penyediaan pangan dalam rangka menegakan eksistensi pemerintahan baru. Kemudian, dilakukan revisi dengan Keppres Nomor 39 Tahun 1969, pada 21 Januari 1969 dengan tugas pokok melakukan stabilisasi harga beras, dan kemudian direvisi dengan Keppres Nomor 39 Tahun 1987, untuk menyongsong tugas BULOG dalam rangka mendukung pembangunan komoditas pangan yang multikomoditas. Sedangkan Keppres Nomor 103 Tahun 1993 yang memperluas tanggungjawab BULOG sehingga mencakup koordinasi pembangunan pangan dan meningkatkan mutu gizi pangan.

Di dalam website resmi BULOG telah diutarakan kronologi perubahan berbagai payung hukum terkait eksistensinya sebagai perusahaan negara yang bertanggungjawab dalam dinamika logistik nasional, yang hingga saat ini masih berkutat seputar pangan nasional. Meskipun ada beberapa terobosan namun belum dapat mekar secara utuh, kuat, dan berdayasaing tinggi. Misalnya, Keppres Nomor 50 Tahun 1995 untuk menyempurnakan struktur organisasi BULOG yang pada dasarnya bertujuan untuk lebih mempertajam tugas pokok, fungsi serta peran BULOG. Oleh karena itu, tanggungjawab BULOG lebih difokuskan pada peningkatan stabilisasi dan pengelolaan persediaan bahan pokok dan pangan. Tugas pokok BULOG sesuai dengan Keppres yang  mengendalikan harga dan mengelola persediaan beras, gula, gandum, terigu, kedelai, pakan dan bahan pangan lainnya, baik secara langsung maupun tidak-langsung, dalam rangka menjaga kestabilan harga bahan pangan bagi produsen dan konsumen serta memenuhi kebutuhan pangan berdasarkan kebijaksanaan umum Pemerintah.

Namun tugas tersebut berubah dengan keluarnya Keppres Nomor 45 Tahun 1997, dimana komoditas yang dikelola BULOG dikurangi dan tinggal beras dan gula. Kemudian melalui Keppres Nomor 19 Tahun 1998 pada 21 Januari 1998, Pemerintah mengembalikan tugas BULOG seperti Keppres Nomor 39 Tahun 1968. Selanjutnya melalu Keppres Nomor 19 Tahun 1998, ruang lingkup komoditas yang ditangani BULOG kembali dipersempit seiring dengan kesepakatan yang dilakukan oleh Pemerintah dengan pihak International Monetary Fund (IMF). Keppres ini sepertinya mengarahkan tugas pokok BULOG dibatasi hanya untuk menangani komoditas beras. Sedangkan komoditas lain yang dikelola selama ini dilepaskan ke mekanisme pasar.

BULOG menuju suatu bentuk badan usaha terlihat dengan terbitnya Keppres Nomor 29 Tahun 2000, BULOG menuju organisasi yang bergerak di bidang jasa logistik disamping masih menangani tugas tradisionalnya. Keppres Nomor 29 Tahun 2000 melahirkan tugas pokok BULOG untuk melaksanakan manajemen logistik melalui pengelolaan persediaan, distribusi dan pengendalian harga beras. Keluarnya Keppres Nomor 166 Tahun 2000, selanjutnya terjadi perubahan dengan Keppres Nomor 103/2000. Keppres Nomor 03 Tahun 2002 maka tugas pokok BULOG masih sama dengan ketentuan dalam Keppers Nomor 29 Tahun 2000, tetapi dengan nomenklatur yang berbeda dan memberi waktu masa transisi sampai dengan 2003. Akhirnya dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 2003 maka BULOG resmi beralih status menjadi Perusahaan Umum.

UU ini sepertinya menunggu realisasi semangat ’nawacita’ yang digagas oleh Bung Karno, yaitu berdikari dalam bidang ekonomi, maka itu UU Pangan mengandung pesan betapa pentingnya ketahanan pangan dalam bingkai kedaulatan pangan. Disamping terkesan sangat idealistik tetapi pas pada momentum ketika dunia telah berada dalam kondisi saling menghargai dan bekerjasama secara timbal-balik (reciprocitas). UU ini hendak mengutarakan suatu kedaulatan pangan : Pasal 1 ayat (2) bahwa Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Sementara itu, Pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

Untuk itu, diharapkan tercapainya suatu kemandirian pangan sebagai cerminan dari adanya  kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beranekaragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Agar adanya kepastian ketersediaan pangan maka diperlukan suatu ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Termasuk upaya menciptakan keamanan pangan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.

Itulah sebabnya, maka penyelenggaraan Pangan dilakukan sebagai rangkaian kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam penyediaan, keterjangkauan, pemenuhan konsumsi Pangan dan gizi, serta keamanan Pangan dengan melibatkan peranserta masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu. Sehingga terjaminnya ketersediaan Pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan.

Oleh karena itu, BULOG dimungkinkan untuk menyelenggarakan perdagangan pangan sebagai bentuk kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penjualan dan/atau pembelian Pangan, termasuk penawaran untuk menjual Pangan dan kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan Pangan dengan memperoleh imbalan. Sehingga Ekspor Pangan adalah kegiatan mengeluarkan Pangan dari daerah pabean negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen. Impor Pangan adalah kegiatan memasukkan Pangan ke dalam daerah pabean negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen.

Dengan demikian BULOG harus mampu mengatasi persoalan Pangan, serta krisis sebagai suatu keadaan kekurangan, kelebihan, dan/atau ketidakmampuan perseorangan atau rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan Pangan dan Keamanan Pangan. Krisis Pangan adalah kondisi kelangkaan Pangan yang dialami sebagian besar masyarakat di suatu wilayah yang disebabkan oleh kesulitan distribusi Pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan, dan konflik sosial, termasuk akibat perang. Upaya itu dilakukan oleh BULOG sebagai salah-satu Pelaku Usaha Pangan.

BULOG: Faktor Penyangga BUMN

Sejalan dengan perubahan dan perkembangan hukum, sehingga BUMN harus diatur di dalam Undang Undang tersendiri, agar manajemennya bisa berjalan sebagaimana mestinya. Jika berpedoman kepada UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maka di dalam UU ini yang dimaksud dengan BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yakni kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara.

Dalam perkembagannya suatu BUMN bisa berbentuk Perusahaan Perseroan (Persero) adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) - sahamnya dimiliki oleh negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mencari keuntungan. Kemudian, juga berbentuk perusahaan Perseroan Terbuka (Persero Terbuka) ialah perseroan yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan Peraturan Perundangan di bidang pasar modal. Begitu juga, dengan Perusahaan Umum (Perum) adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi, dan sekaligus bisa mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.

Namun demikian, jangan sampai usaha-usaha yang dilakukan oleh BULOG sebagai Perusahaan Umum hanya berkutat dalam idealisme politik ekonomi nasional. Seharusnya BULOG tetap mempertimbangkan kemampuan kompetitifnya terhadap korporasi lainnya. Sehingga segala upaya internal tidak hanya mengupayakan kedaulatan pangan sebagai fasilitator. Tetapi, BULOG harus mampu mampu meningkatkan multiplikasi pangan, dengan karakteristik usaha yang efisien, efektif, akuntabel, profitabel, dan seterusnya, selama dibenarkan menurut hukum.

Dalam hal ini BULOG dalam kaitannya sebagai BUMN, harus selaras dengan Pasal 2 ayat (1), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, maka telah termuat ketentuan tentang maksud dan tujuan BUMN. BUMN didirikan bertujuan untuk memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional yang pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. BUMN dalam tujuan tersebut maka diperbolehkan untuk mengejar keuntungan. Termasuk dalam menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Sehingga BUMN diharapkan mampu menjadi perintis atas berbagai kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. BUMN juga dapat ikut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat pada umumnya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka keberadaan BUMN menjadi sangat penting dan berperan aktif sebagai instrumen negara yang strategis dalam upaya menyejahterakan rakyat. Melalui keberadaan dan peranan BUMN tersebut, maka pelayanan masyarakat bisa lebih efektif, dan terjangkau. BUMN berkembang searah dengan tujuan nasional, jangan sampai keberadaannya hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu yang hanya menambah pundi-pundi kekayaan peribadi dan golongan.

Keberadaan BULOG otomatis dan sebagai harus bisa merealisasikan amanah konstitusi nasional, sehingga badan usaha tersebut memiliki misi untuk menjadikan dirinya sebagai pionir dalam skema atau bidang bisnis yang dijalani. Selain itu, BUMN harus mampu menjaga dan berfungsi sebagai penyetaraan serta filter terhadap kecenderungan kompetitor global ketika ada kecenderungan dan bentuk-bentuk dominasi perusahaan asing dalam kegiatan bisnis di tanah air. Untuk itu, maka BUMN harus mampu menjalankan bisnis yang senantiasa menjaga idealisme kebangsaan, yang berorientasi untuk mampu memberikan pelayanan publik yang baik dan produktif. Sekaligus juga dapat berperan sebagai wadah dalam menyiapkan sumberdaya nasional (training center), khususnya di bidang ekonomi.

Berdasarkan pertimbangan yang strategis itulah, maka peranan yang harus dijalankan oleh BULOG harus dapat berfungsi sebagai garda utama perusahaan nasional untuk juga mampu menghasilkan devisa bagi negara (profit center), sekaligus senantiasa dapat mendorong tercapainya sistem pelayanan publik, khususnya dalam bidang kedaulatan pangan.

Adapun persoalan yang paling krusial hingga saat ini adalah masih rendahnya kinerja dan produktifitas sebagian BUMN, sehingga keberadaannya menjadi (cost center) atau membebani keuangan negara, karena masih seringkali merugi, tidak terkecuali BULOG. Sehingga sebagian BUMN tersebut, justeru jangan berpotensi menjadi beban terhadap kondisi fiskal negara, dan selanjutnya malah ikut memperparah atau melemahkan dayasaing nasional.

Untuk itu, dibutuhkan telaah yang mendalam dan pemahaman yang komprehensif tentang adanya berbagai faktor internal perusahaan BUMN. Terkadang manajemen perusahaan BUMN masih belum konsisten dalam menciptakan bagaimana seharusnya budaya kerja yang profesional, prinsip-prinsip produktifitas kerja, dan penerapan manajemen yang sesuai dengan rencana program yang telah disusun secara bersama-sama setiap tahunnya. Budaya kerja adalah salah-satu motivasi yang kuat terhadap pencapaian tujuan perusahaan BUMN yang sejalan dengan tujuan nasional secara keseluruhan.

Tumbuhnya budaya produktif pada perusahaan BUMN, dan berkembangnya budaya organisasi perusahaan yang mengarah pada realisasi atas berbagai prinsip dalam good corporate governance. Disamping itu, belum optimalnya kesatuan-pandang dalam kebijakan privatisasi di antara stakeholders BUMN tersebut. Hal itu bertujuan untuk mengurangi peranan negara yang berlebihan di sektor bisnis. Berlebihan artinya jangan sampai BUMN mengungkung dinamika pertumbuhan ekonomi sektor privat, sehingga ekonomi rakyat dapat pula tumbuh dan berkembang secara dinamis. Jangan sampai BUMN melakukan praktek persaingan usaha tidak sehat, hanya karena motif keuntungan yang tidak mendasar terhadap prinsip keberadaan dari BUMN.

Sedangkan persoalan BUMN dari segi eksternal, maka lebih ditekankan pada fungsi rule of law dalam bidang ekonomi sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi kreatifitas dalam perkembangan bisnis. Artinya, BUMN akan menjadi sosko-guru ekonomi nasional di tanah air, sekaligus berfungsi sebagai garda terdepan dalam menghadapi terpaan persaingan bebas ekonomi global, yang berpotensi merugikan ekonomi nasional. Sehingga BUMN diharapkan dapat berfungsi untuk menahan laju persaingan dalam konteks pasar bebas dunia.

Berbagai terobosan dalam konteks pemerintahan JokowiJK maka BULOG RI RI dapat menyesuaikan diri sebagai pelaku usaha yang konstruktif, kompetitif, dan produktif. BULOG RI RI sebagai Perusahaan Umum yang tidak berorientasi laba. Namun demikian, memungkinkannya untuk dapat menyesuaiakan diri dengan posisi yang sejajar dengan BUMN lainnya. Badan Usaha Milik Negara seperti: PT Garuda Indonesia, PT Bank Mandiri, PT Pelni, PT Aneka Tambang, PT Jamsostek, PT Pertamina, dan lain sebagainya.

BULOG Sebagai Potret Negara Hadir di Tengah Masyarakat

Itulah sebabnya upaya untuk mewujudkan BULOG yang kompetitif tersebut maka perlu dilakukan upaya restrukturisasi, penyesuaian, audit, dan kalau perlu merubah status badan usaha dari perusahaan umum menjadi Perseroan Terbatas. Perubahan menjadi Perseroan Terbatas akan semakin jelas gerakan usaha yang dilakukan oleh BULOG untuk masa selanjutnya. Selain akan menciptakan penyehatan badan usaha yang bergerak sebagai penyeimbang dibidang logistik nasional dala arti luas, dan sebagai realisasi dari semangat UU Pangan sekaligus UU lainnnya yang secara terintegrasi memberikan ruang gerak bagi peningkatan peranan dan produktifitas, sebagai modal bagi penerimaan negara untuk membesarkan pundi-pundi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Potensi pengembangan itu sudah terbuka lebar searah dengan perubahan paradigma bisnis di tanah air. Sehingga antara tujuan idealistik dalam mencapai ketahanan pangan nasional juga akan memberikan nuansa usaha bagi peningkatan kesejahteraan publik. Maka itu, peranan BULOG harus semakin terukur, akuntabel, kapabel, produktif dan seterusnya.

Perubahan visi dan pola pikir tadi tentu harus ditopang dengan pembenahan struktur organisasi secara mendasar. Selama ini BUMN masih terkesan punya budaya birokrasi yang masih kaku. Maka itu, meskipun revitalisasi tidak merubah nomenklatur BULOG secara komprehensif paling tidak harus terwujud dinamika organisasi sehingga negara tetap hadir dalam skema ketahanan pangan. Karena itu program restrukturisasi merupakan salah-satu sasaran pembenahan BULOG khususnya, untuk proses pendewasaan menuju suatu lembaga sejenis lainya yang berjiwa holding plus, maka itu  harus dipimpin secara profesional. BULOG sebagai salah satu BUMN dapat lebih berwujud sebagai organisasi flat & lean.

Pembelajaran organisasi semacam inilah merupakan awal tantangan dari pelaksanaan program kementerian BUMN yang baru. Sebagai bentuk upaya untuk menggugah BUMN dapat berjalan dalam menangani gejolak lingkungan eksternal. Utamanya BULOG maka harus memperhatikan dinamika perkembangan kondisi internal dan eksternal, demokratisasi, desentralisasi, globalisasi, penegakan hukum, dan beberapa peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

Termasuk bagaimana upaya mengembangkan waduk-waduk (irigasi) yang sedang dirancang oleh pemerintahan JokowiJK. Sekaligus menyukseskan bagaimana penguatan Poros Maritim yang berkontribusi bagi pembesaran ketersediaan pangan nasional dan lain sebagainya. Sebab, dengan begitu luasnya persoalan yang dihadapi BULOG maka semua itu akan sangat tergantung kepada kepemimpinan yang berkapasitas dan visioner.

Berdasarkan visi UU Pangan maka BULOG dalam rangka mewujdukan kedaulatan pangan harus  bergerak dengan azas kedaulatan, kemandirian, ketahanan, keamanan, manfaat, pemerataan, berkelanjutan dan keadilan. Tujuannya untuk meningkatkan kemampuan memproduksi Pangan secara mandiri, menyediakan Pangan yang beraneka ragam, memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi, mewujudkan tingkat kecukupan Pangan, terutama Pangan Pokok.

Selain itu, diperlukan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mempermudah atau meningkatkan akses pangan bagi masyarakat, utamanya masyarakat rawan Pangan. Meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas Pangan, menyikapi perkembangan pasar dalam negeri dan luar negeri. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang Pangan yang aman, bermutu, dan bergizi. Meningkatkan kesejahteraan bagi Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan. Melindungi dan mengembangkan kekayaan sumberdaya Pangan nasional.

Dilakukan secara terintegrasi dalam rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah. Kemudian, pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat, dengan konstruksi kebijakan yang disusun di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Dalam bentuk rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana kerja tahunan. Tingkat Nasional dilakukan dengan memperhatikan rencana pembangunan nasional serta kebutuhan dan usulan provinsi. Tingkat Provinsi dilakukan dengan memperhatikan rencana pembangunan provinsi dan memperhatikan kebutuhan dan usulan kabupaten/kota serta dilakukan dengan berpedoman pada rencana Pangan nasional. Tingkat Kabupaten/Kota dilakukan dengan memperhatikan rencana pembangunan kabupaten/kota dan rencana Pangan tingkat provinsi serta dilakukan dengan berpedoman pada rencana Pangan Nasional.

Penulis : Undrizon SH-Praktisi Hukum pada Undrizon, SH And Associates, Jakarta

http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=16653&type=7#.VGraITSsUXs

UU Hortikultura Tak Berpihak Pada Petani

Selasa, 18 November 2014

JAKARTA- Ketua bidang Konsultasi dan Advokasi Dewan Hortikultura Nasional, Toni Kristiantono mengingatkan ketentuan mengenai pembatasan investasi di Undang-undang (UU) No. 13 /2010 tentang Hortikultura yang kini tengah dikaji kembali di Mahkamah Konstitusi sangat tidak berpihak kepada petani.

"Pembatasan investasi di hulu pada undang-undang hortikultura akan membuat industri di hilir tidak berkembang, sehingga pada akhirnya akan merugikan bahkan mematikan para petani," kata Toni di Jakarta, kemarin.

Sekarang ini, menurutnya, petani hortikultura di Indonesia jumlahnya sudah mencapai lebih dari 10 juta orang.Pembatasan investasi sangat tidak mencerminkan keadilan karena hanya akan dinikmati beberapa pengusaha benih lokal saja, sedangkan 10 juta petani akan mengalami kesulitan bahkan mati.

Perusahaan benih hortikultura lokal yang saat ini memiliki sarana breeding (pembiakan) sampai pemuliaan terintegrasi baru segelintir saja, bahkan tidak mencapai 10 perusahaan.

Industri saos tomat, misalnya, apabila pasokan dari petani di Indonesia berkurang tentunya akan beralih kepada produk impor agar produksinya tetap berjalan, akibatnya kehidupan petani tomat akan terancam. suh/E-3

http://koran-jakarta.com/?24127-uu-hortikultura-tak-berpihak-pada-petani

Raskin Dihapus Sama Saja Sengsarakan Petani Miskin

Senin, 17 November 2014

Pemerintah Diminta Berpikir Matang Sebelum Bertindak

RMOL. Rencana pemerintah menghapuskan program beras untuk Rakyat Miskin (Raskin) terus mendapat perlawanan. Alasannya, program ini sangat dirasakan manfaatnya oleh kalangan kurang mampu. Selain itu, raskin merupakan andalan bagi kaum tani di Indonesia untuk menjual beras yang dihasilkannya.

Ketua Umum Kontak Tani Ne­layan Andalan (KTNA) Wi­narno Tohir mengatakan, pro­gram ras­kin bukan sekadar pro­gram me­menuhi kebutuhan pa­ngan ma­syarakat. Program ini juga ter­kait pertumbuhan sum­ber daya manusia, serta perta­ha­nan bagi distribusi produk para petani lo­kal dari serbuan produk impor,” katanya dalam siaran persnya, kemarin.

Winarno meminta pemerintah tidak gegabah menghapus pro­gram raskin, karena program ter­sebut dinilai berhasil menja­min kebutuhan pangan masyara­kat, menjaga stabilitas harga be­ras di pasaran, juga menjadi an­dal­an pe­tani untuk menjual hasil tani­nya dengan harga yang ma­hal di atas harga pasaran. Ka­lau ras­kin dihapus, diperki­rakan har­ga beras akan melon­jak, mes­­­ki­pun orang miskin di­kasih uang untuk bisa membeli beras, tetapi harga beras di pasar akan naik,” ujarnya.

Dia menerangkan, saat ini harga raskin Rp 1.600,- per kilo­gram sementara harga beras ter­murah di pasaran Rp 6.600,- per ­kilogram.

Jika selama ini masyarakat mis­kin memperoleh raskin seba­nyak 15 kilogram per bulan, ma­ka pemerintah ke depan harus me­nyiapkan uang yang setara dengan harga 15 kilogram beras. Selama ini harga raskin di dae­rah-daerah Papua sama dengan Pulau Jawa, karena pendistribu­siannya ditanggung Bulog. Kalau pakai e-money, harga beras tidak ter­kon­trol karena sesuai dengan me­kanisme pasar dan tentu harganya lebih mahal dari harga beras di Jawa,” paparnya. 

Wi­na­nor menambahkan, pro­gram ras­kin juga telah membantu petani karena selama ini Bulog membeli beras petani di atas har­ga pasaran. Setiap bulannya Bu­­­log setidak­nya mengelola 3,6 juta ton beras hasil tani dari ma­syarakat, karena itu petani me­rasa dibantu dengan program ras­kin,” tandasnya.

Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, mendesak pemerintah meninjau ulang ren­ca­na penghapusan ras­kin. Pihak­nya menentang rencana peme­rintah menghapuskan raskin dan pupuk bersubsidi dengan alasan penghapusan itu sangat tidak tepat karena masih dibu­tuh­kan oleh masyarakat. Fadli me­nilai, pemerintah seharusnya menam­bah subsidi bagi masya­rakat miskin dan petani, bukan mengu­ranginya. 

Akan lebih bagus lagi sub­si­di itu ditambah, bukan dihi­langkan. Bahkan kalau bisa be­nih itu ya benih gratis, kalau me­mang mau betul-betul ke arah swasembada pangan. Ingat, pe­tani kita saat ini meru­pakan ma­syarakat petani yang terlemah secara eko­nomi,” katanya.

Sebelumnya, pemerintahan Jokowi-JK berencana meng­hapus program Beras untuk Rak­yat Miskin (Raskin) dan Pupuk Ber­sub­sidi pada 2015. Langkah ini di­ambil guna me­nga­lihkan pem­be­rian subsidi ke­pada golongan ma­syarakat yang lebih tepat. ***

Senin, 17 November 2014

Rakor Pangan Libatkan Bulog, BIN, Polri, Disperindag, Pertanian

Minggu, 16 November 2014

Jakarta,HanTer-Rapat koordinasi pengamanan dan pengawasan ketersediaan pasokan pangan kebutuhan pokok dengan beberapa instansi pemerintah, yakni Perum Bulog, Badan Intelijen Negara (BIN) dan Polri serta Disperindag diselenggarakan pada akhir pekan ini.

Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menuturkan, rapat ini mendiskusikan pengamanan dan suplai bahan pokok dalam negeri. Secara umum, ia mengakui stabilitas harga ini bergantung cuaca, iklim, logistik dan distrisbusi. Ditambah infrastruktur kurang baik menciptakan inefisensi. Di rapat tersebut, salah satu bahan pokok menjadi perhatian pemerintah adalah cabai.

Sejak awal pekan ini, harga cabai melambung bahkan tembus Rp 100 ribu per kilo gram (Kg) di Riau. Cabai juga sentuh harga Rp 60 ribu kg di Jakarta. Melihat kondisi itu, Pemerintah menawarkan solusi untuk menjaga harga cabai dengan mendorong petani menggunakan teknologi untuk meningkatkan produksi.

"Kami akan dorong petani gunakan teknologi untuk bisa tingkatkan produksi. Kemudian kami juga minta optimalkan perdagangan antar pulau daerah sentra surplus ke daerah lain dengan upayakan BUMN, swasta maupun Bulog," ujar Rachmat Gobel, usai rapat koordinasi, Minggu (16/11/2014).

Ia menambahkan, pemerintah juga akan memonitor perdagangan antar pulau dengan mengidentifikasi jalur logistik dan angkutan yang efisien untuk menjaga kestabilan harga.

Pola distribusi ini menjadi cara jangka pendek untuk menjaga harga cabai.

Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Hasanuddin Ibrahim mengatakan, pihaknya sedang mencoba dan mensimulasikan distribusi cabai dari tempat relatif murah.

"Dari Jawa Timur murah sedangkan di Jawa Barat mahal. Kenapa tidak disimulasikan langsung karena dekat bisa dengan kereta," ujar Hasanuddin.

Sedangkan dalam jangka menengah, pemerintah mendorong masyarakat untuk menanam cabai dengan pot di urban area. "Karena tidak sulit. Walaupun secara praktik tidak mudah karena ketergantungan kesediaan rumah tangga, ini harus kita lakukan," tutur Hasanuddin.

Tak hanya itu saja, setiap wali kota juga diharapkan pro aktif untuk gerak cepat ketika mengetahui harga bahan pokok misalkan cabai mahal di daerahnya untuk mendatangkan dari daerah lainnya. "Secara perundang-undangan sudah diserahkan ke Pemda," kata Hasanuddin. O ant

(Baron)

http://www.harianterbit.com/read/2014/11/16/11663/21/21/Rakor-Pangan-Libatkan-Bulog-BIN-Polri-Disperindag-Pertanian

Presiden Jokowi Diminta Pertahankan Program Raskin

Minggu, 16 November 2014

Bisnis.com, JAKARTA - Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) meminta pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mempertahankan program beras bagi rakyat miskin (raskin) karena program tersebut mampu menjamin petani dalam memasarkan hasil panennya dengan harga menguntungkan.

Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir mengatakan Raskin tidak sekedar program untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, tetapi juga terkait dengan pertumbuhan sumberdaya manusia dan pertahanan bagi distribusi produk para petani lokal dari serbuan produk impor.

"Pemerintah jangan terburu-buru menghapus program Raskin. Sebab, program ini berhasil menjamin kebutuhan pangan masyarakat, menjaga stabilitas harga beras di pasaran, juga menjadi andalan petani untuk menjual hasil taninya dengan harga yang cukup tinggi, di atas harga pasaran," katanya di Jakarta, Ahad (16/11/2014).

Menurut dia, jika Raskin dihapus, diperkirakan harga beras akan melonjak. Walaupun orang miskin diberikan uang (e-money) dan bisa membeli beras tapi harga di pasar akan naik. "Uang yang diberikan itu tidak cukup buat memenuhi kebutuhan pangan mereka, kalau harga di pasar melonjak?," ujarnya.

Dia menguraikan harga Raskin saat ini Rp1.600/kg sementara harga beras termurah di pasaran Rp6.600. Selama ini, masyarakat miskin memperoleh Raskin sebanyak 15 kilogram per bulan.

Oleh karena itu, pemerintah ke depan harus menyiapkan uang yang setara dengan harga 15 kilogram beras per bulan. Belum lagi, terganggunya harga beras di daerah-daerah timur, seperti Papua, Maluku dan Sulawesi.

"Selama ini, Raskin di daerah-daerah Papua sama dengan di Jawa. Karena pendistribusian ditanggung Bulog. Kalau dengan e-money, harga beras tidak terkontrol karena sesuai mekanisme pasar," katanya.

Hal itu, tentu harganya lebih mahal dari harga beras di Jawa, karena distribusi ditanggung oleh pasar. "Kalau tak ada subsidi silang, kasihan orang miskin yang jauh. Ada ketidak adilan," tandasnya.

Program Raskin, menurut Winarno, juga telah membantu para petani, karena selama ini Bulog membeli beras petani di atas harga pasaran. Setiap bulan, BUMN itu setidaknya mengelola 3,6 juta ton hasil tani dari masyarakat.

"Selama ini petani merasa dibantu dengan program Raskin. Siapa yang mau beli hasil tani dengan mahal kalau bukan Bulog. Bulog mengelola 3,6 ton dari petani. Bulog mau membeli, karena ada Raskin.

Winarno menyatakan untuk perbaikan, perlu kesepakatan dan perubahan sistem penyimpanan beras oleh Bulog. "Itu soal kesepakatan, bagaimana caranya agar Bulog bisa menyimpan lebih baik. Atau Bulog menyimpan gabah, jadi pengiriman ke daerah cukup gabah tinggal bulog menyiapkan penggilingan di daerah-daerah."

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon juga mendesak pemerintah meninjau ulang rencana penghapusan Raskin. Dia menilai penghapusan Raskin sangat tidak tepat karena masih dibutuhkan oleh masyarakat.

Fadli berpendapat pemerintah seharusnya menambah subsidi bagi masyarakat miskin dan petani, bukan menguranginya.

"Akan lebih bagus lagi ditambah, bukan dihilangkan. Bahkan kalau bisa benih itu ya benih gratis, kalau memang mau betul-betul ke arah swasembada pangan. Karena petani kita saat ini masih merupakan masyarakat petani yang terlemah secara ekonomi," katanya.

Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, K.H Sholahuddin Wahid menyarankan jumlah Raskin ditambah untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.

"Raskin ini membantu rakyat untuk bisa beli beras. Tinggal sistemnya saja yang diperbaiki. Selain itu jumlahnya sedikit. Padahal, menurut Riset, orang Indonesia dengan gizi kurang mencapai 37%-38%. Ini sama dengan jumlah Raskin. Jadi jangan dihapus."

Dia menegaskan rakyat Indonesia berhak hidup dan memproleh kehidupan. Yang harus menjamin pemerintah.


Source : Antara
Editor : Fatkhul Maskur

http://news.bisnis.com/read/20141116/15/273320/presiden-jokowi-diminta-pertahankan-program-raskin

Jumat, 14 November 2014

Pelembagaan Swasembada Pangan

Kamis, 13 November 2014

‘PERANG’ isu  mengenai kedaulatan pangan, sangat gencar saat pilpres lalu. Tim sukse kedua kubu secara berlebihan menonjol-nonjolkan masalah kedaulatan pangan (KP). Sampai kemudian memunculkan wacana untuk terbentuknya kementerian KP, disertai dengan aneka penggabungan kementerian dalam jajaran KP.

Itu dulu. Beberapa bulan yang lalu. Bagaimana nasib wacana itu pada hari ini? Isu KP nyaris tidak berbekas. Dalam  struktur dan personalia Kabinet Kerja (KK) dan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) nyaris tidak bisa dibedakan.

Dalam urusan pangan inipun, yang dipamerkan KK pada hari-hari pertamanya adalah swasembada: beras, gula, jagung dan kedelAI, persis apa yang juga disuarakan oleh KIB-II lima tahun lalu, kecuali ada tambahan swasembada daging sapi dalam KIB-II. Jargon KIB-II ini jelas sekali terukur bahwa pada hari ini telah gagal total. Apakah hasilnya juga akan berbentuk sama lima tahun ke depan dengan KIB-II meski target KK empat tahun?

Lima tahun ke depan, sudah pasti bahwa dari empat produk itu, kedelai dan gula, tidak akan terealisir swasembadanya. Kecuali dengan tangan besi dan dengan pemikiran strategis yang spektakuler. Mengapa?

Faktanya, hari ini produksi kedelai dalam negeri kurang dari 800.000 ton pertahun, dan importasi sejumlah 1,8 juta ton. Bagaimana  caranya meningkatkan produksi nasional sampai tiga kali lipat masih tidak jelas arahnya. Sementara itu, kebutuhan gula total sebesar 5.7 juta ton, tetapi produksi dalam negeri hanya 2,2 juta ton. Untuk mencukupi gula konsumsi yang 2,6 juta ton pun masih harus maraton karena penjajahan oleh gula rafinasi yang disenangi birokrasi.

Bagaimana dengan jagung dan beras? Secara kuantitatif jagung agak optimis karena kekurangannya tidak cukup besar. Akan tetapi, satu hal yang harus dicatat adalah bahwa tercapainya swasembada ini bermakna ketergantungan total terhadap benih jagung milik perusahaan asing, hampir sepenuhnya.

Sementara itu, untuk swasembada beras, tentu adalah sebuah kemunduran besar ketika target itu tidak tercapai karena target KK hanyalah swasembada, dibandingkan target KIB-II yang surplus 10 juta ton beras. Meski yang terakhir ini juga banyak mengandung pencitraan. Ketika targetnya KK juga sekitar pencitraan, maka mudah sekali mencapai swasembada tetapi swasembada berbasis impor.
Pelajarannya, acap kali isu politis pangan tidak tersentuh oleh kabinet, khususnya ketika berwacana tentang swasembada pangan.  Realitasnya, meski sistem produksi acapkali terganggu oleh kesalahan internal, gangguan tataniaga akibat syahwat importasi KIB-II dalam banyak hal nampak lebih nyata. Lesunya harga lokal sebagai akibatnya, menjadi alasan kelesuan usahatani.

Ada baiknya pada bulan madu KK ini kita menengok amanat UU 18/2012 tentang Pangan yang mengamanatkan pengarusutamaan kedaulatan pangan sistem pangan nasional. Berkenaan dengan itu UU dimaksud juga sekaligus mengamanatkan jaminan ketercapaian KP melalui pembentukan otoritas pangan.

Mengaitkan kepentingan KP dan pelembagaan otoritas pangan yang diamanatkan UU 18/12 ini, sangat mudah ditafsirkan. Bahwa otoritas dimaksud adalah otoritas yang mengawal dan bertanggung jawab terhadap urusan KP, yang antara lain, harus mengkoordinasikan kementerian teknis terkait, mengendalikan tataniaga, merumuskan kebijakan pangan nasional, merancang ulang politik pangan nasional, dan segebog urusan lainnya.

Masih dalam masa bulan madu. Masih banyak peluang untuk menyadari bahwa pangan itu juga urusan ikan, beras dan sejenisnya. Pada saat yang sama harus dilihat pula bahwa ada banyak peluang pangan dijanjikan oleh sektor kehutanan dengan lahan tumpang sari, juga peluang tataniaga sebagai senjata, begitu pula urusan tata-air dan industri pangan. Nilai tambah dan produktivitas pangan nasional ada dimana-mana di seluruh lokalita Indonesia.

Bulan madu ini harus dimanfaatkan dengan membangun <I>blue print<P> bersama untuk itu semua. Cetak biru pembangunan sistem pangan nasional, bukan hanya dalam jajaran kementan, bukan hanya terbatas pada kiprah perikanan, dan bukan pula sekedar kiprah logistilk Bulog. Akan tetapi cetak biru nasional yang mengamankan program pembangunan yang katanya <I>mainstreaming<P> KP. Agar tidak dikatakan ‘katanya KP'.

Prof Dr HM Maksum Mahfoedz
(penulis adalah Guru Besar FTP UGM, Ketua PB NU)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/3508/pelembagaan-swasembada-pangan.kr

Kamis, 13 November 2014

Revitalisasi Peran BULOG : Harapan bagi Pemerintahan Baru

Kamis, 13 November 2014

Mahatma Gandhi : “bagi yang sangat kelaparan, kadang makanan itu adalah tuhan. Maka Negara harus memastikan tak ada warganya yang sampai men-Tuhan-kan makanan karena saking laparnya”
Wejangan Gandhi itu mengingatkan kita tentang hak asasi rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara, yakni terbebasnya rakyat dari ancaman kelaparan. Deklarasi Roma 2009 dan konstitusi negara kita, pun memuat substansi yang sama.
Namun menjamin pemenuhan hak dasar tersebut bukan perkara mudah. Ketersediaan maupun aksesibilitas rakyat dalam menjangkau kebutuhan pangannya, masih menjadi tantangan besar untuk memenuhinya.
Persoalan di sisi produksi kian terasa dengan berlakunya kebijakan yang semakin liberal. Hampir semua komoditas impor marak menghiasi pasar di seantero negeri. Liberalisasi membuat produsen atau petani lokal yang skala usaha taninya kecil tidak berdaya menahan gempuran komoditas impor.
Daya saing komoditas pangan kita sangat rendah, karena skala usaha petani kita sangat kecil dimana kepemilikan lahan berkisar 0,3 Ha per petani. Bandingkan dengan negara-negara maju yang kepemilikan lahannya sampai 50 Ha per kapita. Semakin besar hamparan lahan semakin efisien dan ekonomis usaha tani yang dilakukan, karena biaya satuan produksinya lebih kecil.
Persoalan pada sisi konsumsi, ditandai dengan daya beli masyarakat yang masih sangat rendah, sehingga sangat sensitif dan rentan terhadap fluktuasi harga. Skala pasar yang luas dan kondisi yang belum sempurna, sangat memungkin banyak pihak ‘bermain” dalam spekulasi harga. Kartel-kartel pada komoditas pangan yang bermodal besar dan akses yang kuat sangat mampu mengatur harga.
Peran Penyeimbang
Dua sisi kelemahan tersebut, di sisi produksi dan konsumsi, masih mewarnai konstelasi dunia pangan di negeri ini. Posisi BULOG sebagai lembaga stabilisasi kembali disoal dan diharapkan perannya sebagai penyeimbang atas kedua sisi tersebut.
Sebagai alat penyeimbang, BULOG bagaikan “bandul pendulum” yang bergerak di antara titik-titik yang saling berseberangan. Menjaga keseimbang antara kepentingan di sisi produsen maupun konsumen, agar bandul pendulumnya berada pada titik keseimbangan (equilibrium).
Bulog dapat berperan dengan menjaga harga di tingkat petani pada tingkat harga yang wajar, sehingga memberikan jaminan harga dan pasar bagi petani, Serapan BULOG terhadap produksi dalam negeri merangsang petani untuk memproduksi pangan pokok dengan produktifitas yang lebih tinggi, sehingga dapat mengurangi ketergantungan supply beras dari luar negeri.
Efektifitas BULOG menghimpun produksi para petani tersebut juga memberikan jaminan ketersediaan pangan dan stabilisasi harga di tingkat konsumen. Penguasaan stok pangan yang cukup akan sangat berpengaruh dalam pencegahan gejolak harga dan permainan para spekulan. Berbagai program proteksi seperti Operasi pasar dan Raskin, sangat efektif sebagai alat stabilisasi harga beras di tingkat konsumen Sehingga kelompok masyarakat miskin dapat terlindungi dari tekanan harga yang semakin mengurangi daya beli mereka.,
Menghalau kendala
Pada komoditi beras, peran BULOG dalam menjaga titik equilibrium sangat efektif. Karena didukung kapasitas manajemen dan infrastruktur yang baik, juga kebijakan yang komprehensif dan sangat kondusif terhadap kewenangan BULOG dalam mengelola komoditi beras. Hanya saja, dalam menjaga keseimbangan antara misi pengadaan stok beras dengan mempertahankan standar kualitas dalam penyalurannya masih terkendala trade off, dimana kedua aspek tersebut dapat saling menafikan sehingga salah satunya akan terpinggirkan. Seringkali terjadi, manakala Pemerintah menargetkan kepada Perum BULOG untuk mencapai angka volume pengadaan dari dalam negeri agar tidak perlu ada tambahan import, maka berbagai filter yang menjaga standar kualitas beras pengadaan akan mengendor karena adanya tekanan sedemikian kuat. Bilamana hal itu terjadi, maka Perum BULOG akan menanggung akibat dalam kualitas berasnya ketika dilakukan penyaluran kepada target konsumen.
Sehingga kebijakan pengadaan selayaknya diberikan kelenturan-kelenturan yang dapat mengakomodir aspek kuantitas yang menjadi target pemerintah, tapi juga sekaligus memuat aspek kualitas yang dibutuhkan oleh konsumen yang akan dilayani oleh Perum BULOG.
Kemudian bagaimana dengan pengelolaan terhadap komoditi-komoditi lainnya ?
Sejak pengebirian peran BULOG dalam mengelola beberapa komoditi pangan oleh IMF tahun 1998, belum ada kebijakan yang signifikan mengembalikan peran tersebut. Penugasan BULOG untuk mengamankan harga kedele, disusul stabilisasi harga daging sapi dan gula pasir, belum berjalan sesuai harapan.
Peningkatan peran BULOG sebagai stabilisator pada tiga komoditi tersebut, masih dihadang beberapa kendala sehingga penguatan peran tidak optimal. Kendala yang harus diatasi antara lain, hambatan birokrasi perijinan yang masih menyamakan BULOG dengan perusahaan swasta lainnya.
Misi stabilisasi yang diemban BULOG selayaknya didukung kebijakan perijinan khusus yang kondusif. Aturan perijinan bagi BULOG harus bersifat katalisator dan supporting, bukan barrier yang menghambat stabilisasi. Selain itu waktu perizinannya mesti diberikan jauh sebelum waktu pelaksanaannya, sehingga pemesanan komoditi dilakukan jauh hari untuk mendapat jaminan supply dan harga yang kompetitif.
Tidak kalah pentingnya adalah dukungan akurasi data dari instansi yang berwenang tentang angka produksi dan konsumsi, Kesimpangsiuran data sangat menghambat perencanaan dan ketepatan waktu pelaksanaannya.
Kendala berikut adalah kebutuhan anggaran stabilisasi yang selayaknya difasilitasi oleh negara. Dana komersial perbankan yang selama ini dipergunakan BULOG tentu mengandung konsekuensi dalam peran stabilisasinya. Kewajiban mengembalikan beban bunga yang cukup besar ditambah kewajiban menghasilkan keuntungan sebagai BUMN, tentu menjadi beban korporat yang sangat berat.
Dibutuhkan suatu kebijakan yang lebih eksplisit dan komprehensif untuk memberikan ruang kondusif bagi BULOG dalam melakukan stabilisasi harga komoditi pangan. Sehingga dapat menjadi landasan yang kuat untuk memastikan intervensi negara berfungsi secara optimal dalam menjamin terpenuhinya hak asasi rakyat.
Pemerintahan yang baru diharapkan tidak akan membiarkan sebagian besar rakyatnya terperangkap dalam gempuran arus liberalisasi pasar yang hanya akan menguntungkan secuil pemangku kepentingan. Ekspektasi yang terlanjur menggelumbung ini akan menjadi taruhan seberapa besar relevansi demokrasi terhadap kesejahteraan rakyat.

Oleh : Roy Rahmadi Prawira
(Dewan Pakar DPD Perpadi Sumut)


Revitalisasi Peran Bulog

Kamis, 13 November 2014

Seorang karyawan memeriksa stok beras di Gudang Bulog Pekandangan Subdrive Indramayu, Jawa Barat, Kamis (5/6). Badan Urusan Logistik (Bulog) memastikan stok beras jelang Ramadhan dan Lebaran masih aman karena hingga saat ini cadangan beras mencapai 1,9 juta ton. Investor Daily/ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/Asf/pd/14.

Mahatma Gandhi mengatakan: “Bagi yang sangat kelaparan, kadang makanan itu adalah tuhan. Maka negara harus memastikan tak ada warganya yang sampai men-tuhan-kan makanan karena saking laparnya.”

Wejangan Gandhi itu mengingatkan kita tentang hak asasi yang wajib dipenuhi oleh negara, yakni terbebasnya rakyat dari ancaman kelaparan. Deklarasi Roma 2009 dan konstitusi negara kita pun memuat substansi yang sama. Namun, menjamin pemenuhan hak dasar tersebut bukan perkara mudah. Ketersediaan maupun aksesibilitas rakyat dalam menjangkau kebutuhan pangannya masih menjadi tantangan besar untuk memenuhinya.

Persoalan di sisi produksi kian terasa dengan berlakunya kebijakan yang semakin liberal. Hampir semua komoditas impor marak menghiasi pasar di seantero negeri. Liberalisasi membuat produsen atau petani lokal yang skala usaha taninya kecil tidak berdaya menahan gempuran komoditas impor.

Daya saing komoditas pangan kita sangat rendah, karena skala usaha petani kita sangat kecil dimana kepemilikan lahan berkisar 0,3 hektare per petani. Bandingkan dengan negara-negara maju yang kepemilikan lahannya sampai 50 hektare per kapita. Semakin besar hamparan lahan semakin efisien dan ekonomis usaha tani yang dilakukan, karena biaya satuan produksinya lebih kecil.

Rabu, 12 November 2014

Target Swasembada Pangan Jokowi

Rabu, 12 November 2014

PRESIDEN Joko Widodo telah menargetkan Indonesia swasembada pangan dalam tiga tahun mendatang.
Tekad itu diawali peletakan batu pertama proyek rehabilitasi saluran irigasi sekunder Belawa di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Peningkatan produksi akan digenjot sehingga dalam dua tahun impor beberapa komoditas pangan bisa dihentikan.

Pada tataran empiris, pemenuhan kebutuhan pangan jadi domain negara. Negara bertanggung jawab penuh memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Mengingat betapa strategis keberadaan pangan bagi masyarakat, pengelolaan ketahanan pangan bangsa tidak boleh diserahkan semata kepada mekanisme pasar.

Masalah pangan tidak sepantasnya diposisikan sebatas komoditas perdagangan layaknya manufaktur, hanya dilihat dari sisi penawaran dan permintaan. Bagi bangsa Indonesia, pada sebutir beras tidak hanya melekat dimensi ekonomi, tetapi juga melekat dimensi spiritual, keadilan, nasionalisme, bahkan dimensi sosial dan politik.

Sejauh mana kondisi pangan kita saat ini? Realistiskah target swasembada pangan yang telah ditetapkan Jokowi? Upaya-upaya apa yang harus ditempuh Kabinet Kerja agar komitmen tersebut tak bernasib sama dengan target pemerintah sebelumnya yang mentah dan direvisi di tengah jalan?

Lima komoditas
Uraian berikut menekankan pada lima komoditas pangan utama, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Lima komoditas pangan utama ini sengaja dipilih karena telah ditetapkan sebagai prioritas pencapaian swasembada oleh pemerintahan sebelumnya.

Untuk komoditas beras, pada 2014 pemerintah menargetkan produksi padi nasional 73 juta ton gabah kering giling (GKG). Angka Ramalan II Badan Pusat Statistik (ARAM II BPS) yang dipublikasikan 3 November 2014 menyebut produksi padi tahun ini akan mencapai 70,61 juta ton GKG (setara 40 juta ton beras).

Saat ini kebutuhan beras nasional 35 juta ton (asumsi jumlah penduduk 247 juta jiwa, konsumsi beras 139 kilogram per kapita per tahun). Dari angka produksi tersebut akan diperoleh surplus 5 juta ton beras. Melihat kondisi ini, sebenarnya Presiden Joko Widodo dan Kabinet Kerja tidak harus bersusah payah lagi untuk mewujudkan swasembada beras, tinggal menjaganya agar tetap bisa berkelanjutan.

Untuk komoditas jagung, pada 2014 pemerintah menargetkan produksi 20,82 juta ton pipilan kering. Berdasarkan ARAM II BPS, produksi jagung nasional tahun 2014 diperkirakan mencapai 19,13 juta ton pipilan kering. Membaiknya harga jagung di tingkat petani yang sempat menembus rekor Rp 3.600 per kilogram pada tahun 2012 merupakan insentif yang sangat menggembirakan para petani.

Jika situasi kondusif ini tetap terjaga, diharapkan angka impor jagung—yang besarnya sekitar 3 juta ton per tahun—secara berangsur dapat dikurangi. Dilihat dari kondisi saat ini, melalui beragam upaya yang serius, target swasembada jagung pada 2017 merupakan target yang sangat realistis.

Komoditas kedelai adalah komoditas paling krusial di antara lima komoditas tersebut. Hal ini karena selama ini produksi kedelai nasional hanya mampu mencukupi 30 persen kebutuhan domestik yang mencapai 2,4 juta ton per tahun.

Pada tahun 2014, pemerintah menargetkan produksi kedelai sebesar 1,3 juta ton biji kering. Berdasarkan ARAM II BPS, produksi kedelai tahun 2014 akan mencapai 921.340 ton biji kering. Untuk menutup kebutuhan kedelai dalam negeri, setiap tahun pemerintah mengimpor kedelai tidak kurang dari 2 juta ton. Melihat kondisi tersebut, tanpa disertai upaya dan terobosan kebijakan yang spektakuler, sepertinya target Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan swasembada kedelai pada 2017 hanya akan menjadi utopia yang menggantung tinggi di langit.

Untuk komoditas gula, nasibnya juga tak jauh berbeda dengan kedelai meski permasalahannya berbeda. Musim giling tebu 2014 ini merupakan tahun petaka bagi para petani dan industri gula dalam negeri. Harga pokok produksi gula Indonesia pada 2013 sudah mencapai Rp 8.100 per kg. Di sisi lain, Perum Bulog dapat mengimpor gula plus bea masuk dengan harga sekitar Rp 7.200 per kg. Jika gula tersebut dijual dengan harga Rp 8.000 per kg, lonceng kebangkrutan industri gula nasional hanya tinggal menunggu waktu.

Pada tahun 2014, kebutuhan gula nasional mencapai 5,7 juta ton, yang pada tahun sama diperkirakan terjadi defisit gula nasional sebesar 2,25 juta ton. Tanpa upaya serius dari pemerintah, target pencapaian swasembada gula pada tahun 2017 sangat sulit diwujudkan.

Program swasembada daging yang dicanangkan pemerintah pada 2014 ini sudah dapat dipastikan gagal total. Menurut catatan Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia, hingga akhir 2014 impor daging bisa mencapai 45 persen dari total kebutuhan. Angka itu jauh melampaui angka yang ditetapkan dalam peta jalan swasembada daging 2014 sebesar 10 persen. Guna mencapai swasembada daging pada 2017, sepertinya pemerintah harus bekerja ekstra keras.

Insentif harga jual
Beragam upaya dapat ditempuh pemerintah untuk mewujudkan tekad Jokowi mewujudkan swasembada pangan pada 2017. Pertama, jaminan sarana infrastruktur dan sarana produksi (seperti pupuk, benih, obat-obatan, serta alat dan mesin pertanian) yang memadai. Langkah awal yang tepat telah dilakukan Jokowi adalah dengan memfokuskan pembangunan sarana infrastruktur pertanian.

Kedua, peningkatan luas areal tanam yang nyata dan permanen. Untuk mencapai swasembada kedelai, diperlukan tambahan luas areal tanam 2 juta hektar di lahan kering bukaan baru yang khusus diperuntukkan bagi pengembangan kedelai. Keuntungannya antara lain tidak terjadi persaingan antarkomoditas pangan, dapat berkelanjutan, skala usaha petani lebih optimal, dan kenaikan produksi lebih nyata.

Ketiga, pengembangan riset dan teknologi pertanian. Produktivitas rata-rata kedelai nasional saat ini baru 15,06 kuintal per hektar. Melalui inovasi varietas-varietas unggul baru dan sistem pengelolaan tanaman terpadu, angka produktivitas itu dapat ditingkatkan. Teknologi transgenik genetically modified organism untuk mendapatkan benih unggul dengan produktivitas tinggi perlu dipertimbangkan.

Keempat, mempermudah akses permodalan dan pembiayaan usaha tani. Sungguh ironis, meski menjadi pilar  pembangunan, pertumbuhan kredit sektor pertanian jauh tertinggal daripada sektor ekonomi lain. Berdasarkan data yang dihimpun Otoritas Jasa Keuangan, penyaluran kredit untuk sektor pertanian dan kehutanan per Mei 2014 hanya mencapai Rp 191,80 triliun. Angka ini sangat kecil dibandingkan dengan total kredit perbankan sebesar Rp 3.429,68 triliun.

Kelima, pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan harga jual yang memadai bagi komoditas produksi petani. Petani harus dilindungi dari serbuan pangan impor sebagaimana komitmen Jokowi menegakkan kedaulatan pangan. Mekanisme harga dasar dan harga maksimum harus dilaksanakan secara konsisten. Insentif harga jual yang memadai inilah yang paling signifikan untuk meningkatkan kegairahan petani dalam berusaha tani.

Toto Subandriyo Peminat Masalah Sosial-Ekonomi; Alumnus IPB
dan Magister Manajemen Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/141112kompas/#/6/

Senin, 10 November 2014

Dr Aviliani, Ekonom: Bertani Tidak Menguntungkan, Ekstensifikasi Lahan Harus Ditinggalkan

Minggu, 9 November 2014

Ekonom Dr Aviliani menyebutkan , selama ini, sektor usaha pertanian, khususnya yang digarap petani kecil sangat tidak menguntungkan. Itu yang menyebabkan sektor ini selalu tidak pernah mencapai sasaran yang ditetapkan.  “Petani tak menikmati nilai tambah yang besar dari lahan yang digarapnya,” katanya.

Menurutnya, wacana  program ekstensifikasi lahan untuk menambah produksi pertanian harus segera ditinggalkan. “Lahan kita sudah sulit. Rata-rata petani kita hanya punya lahan 0,3 haktare. Karena itu, perlu dipikirkan bagaimana bisa mensejahterakan petani dengan areal yang minim itu,” katanya.

Pemerintahan ke depan, katanya, harus mengoptimalkan peran lembaga-lembaga yang mendukung peningkatan kesejahteraan petani lewat  penyiapan lahan yang baik, pemeliharaan tanaman dan akses pemasaran paska panen yang terencana.

“Peran penyuluh harus kembali diaktifkan. Lembaga-lembaga seperti Bulog yang siap membeli produksi petani dengan harga yang layak harus dikembangkan. Kalau perlu Bulog kembali  menangani  pengamanan pasokan sembilan bahan pokok seperti era Orde Baru lalu,” katanya.

Selama ini, kemampuan Bulog belum dioptiomalkan. “Padahal, mereka punya gudang yang selama ini tidak dimanfaatkan dengan baik,” katanya.

Dengan meningkatkan peran Bulog dalam melakukan pembelian produksi pertanian  petani, Bulog bisa mengoptimalkan gudang-gudang di daerah bekerja sama dengan pemerintah daerah (Pemda). “Yang terpenting, program itu harus dilakukan secara  transparan untuk menghindari penyimpangan seperti yang terjadi di masa lalu,” katanya.

Menurutnya, petani harus didorong membentuk kelompok dengan menjamin produksinya dibeli Bulog.  “Itu semacam insentif agar petani bergabung dalam kelompok,” katanya.

Dengan fungsi penyangga ada di lembaga semacam Bulog, pemerintah akan mudah mengatur pasokan bahan pokok sehingga harga bisa terkendali karena pasokan yang memadai. “Petani  akan diuntungkan karena ada kepastian pembeli, masyarakat juga diuntungkan karena harga lebih stabil,” katanya.

Karena itu, Avi mendorong pemerintahan mendatang punya lembaga khusus yang siap menampung produksi bahan pangan petani.”Siapa yang memegang, apa Bulog atau lembaga baru terserah. Yang penting fungsi itu harus dijalankan sehingga petani lebih bergairah dalam menanam,” katanya.

Dengan  kepastian pembeli hasil produksinya, perbankan dipastikan akan lebih mudah masuk memberikan pembiayaan kepada petani.

“Pembinaan yang baik, kepastian pasar dan permudah akses petani terhadap pembiayaan. Bila itu bisa diwujudkan, produksi pasti akan naik sehingga kita tidak lagi tergantung impor untuk memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri,” papar Avi. iin  achmad

http://www.agrofarm.co.id/read/pertanian/1074/dr-aviliani-ekonom-bertani-tidak-menguntungkan-ekstensifikasi-lahan-harus-ditinggalkan/#.VGCIsTSsXyQ

Jumat, 07 November 2014

Pakar: Penghapusan Raskin Berpotensi Langgar Konstitusi

Kamis, 6 November 2014

Jakarta, GATRAnews - Pakar Pertanian Univesitas Negeri Sebelas Maret Solo (UNS) Tuhana mengungkapkan, rencana menghapus raskin dan menggantinya dengan e-money berpotensi melanggar UUD 1945 dan UU Pangan.

"Dari sisi regulasi, negara wajib memberi perlindungan sosial kepada masyarakat miskin, terutama soal pangan. Dalam hal implementasi, kebijakan mengganti raskin dengan e-money bisa menimbulkan banyak masalah baru," nilai Tuhana, di Jakarta, Kamis (6/11).

Ia menjelaskan, para pakar pertanian dan pangan di Solo juga melakukan kajian khusus terkait rencana yang digulirkan Rini Soemarno tersebut. Sebab, selain meresahkan masyarakat, penghapusan raskin juga akan berimbas pada ketahanan pangan dan 'shock culture'  di masyarakat.

“Di daerah, isu ini berkembang dan meresahkan. Raskin ini kan awalnya bertujuan mengurangi beban masyarakat berpenghasilan rendah. Beras langsung dikonsumsi oleh masyarakat kalau diganti uang bisa menimbulkan banyak masalah baru. Masyarakat bisa terjebak pola konsumtif akut. Karena tak ada jaminan e-money itu akan digunakan untuk apa,” ujarnya.

Ia berharap pemerintah mempertahankan raskin dengan perbaikan dari sisi aturan dan implementasi.  Yakni dengan mempertegas petunjuk teknis,  pemantauan dan pengawsan terhadap program serta memberi reward dan punishment yang sesuai bagi pelaksana Raskin.

“Kalau Raskin diganti e-money, ini berbahaya. Karena Raskin sangat bermanfaat buat masyarakat. Implementasinya saja diperbaiki, distribusi dan indikator yang berhak agar berjalan ideal dan tepat sasaran. Selain itu, hubungan tim raskin pusat, provinsi dan kota harus satu persepsi terkait program raskin ini, dari koordinasi hingga pengawasannya,” paparnya.

Penulis : Iwan Sutiawan
Editor: Tian Arief

http://www.gatra.com/nusantara-1/nasional-1/90851-pakart-penghapusan-raskin-berpotensi-langgar-konstitusi.html

Rencana Penghapusan Program Raskin Mendapat Tentangan

Kamis, 6 November 2014

Metrotvnews.com, Jakarta: Rencana penghapusan program beras untuk rakyat miskin (Raskin) yang diwacanakan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Mariani Soemarno mendapat penolakan dari sejumlah pengamat pangan. Rencana itu diyakini dapat meresahkan masyarakat ditengah ketidakpastian kondisi ekonomi seperti saat ini.

Ketua Tim Independen Kajian Pangan Universitas Andalas Jhon Farlis mengatakan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Universitas Andalas, masyarakat lebih resah dengan wacana penghapusan program Raskin, ketimbang penghapusan subsidi BBM.

"Hasil kajian kami, dalam survei yang dilakukan pekan ini, masyarakat lebih suka kebutuhan pangannya terjamin ketimbang jaminan BBM. Kalau Raskin dihapus, masyarakat bisa chaos," tukas Jhon melalui siaran persnya, Kamis (6/11/2014).

Jhon mengingatkan, sejarah mencatat hancurnya negara-negara sosialis seperti Uni Sovyet, berawal dari kesalahan dalam kebijakan pangan. Menurutnya, kalau senjata minim, negara hanya perlu berdiplomasi dengan musuh di luar. Tapi kalau pangan yang krisis, negara berhadapan dengan rakyatnya. Jhon mengaku heran dengan rencana menteri BUMN menghapus Raskin.

Sebab, menurutnya, selain tidak berwenang menggulirkan kebijakan Raskin, sang menteri tidak memahami bahwa kebutuhan pangan merupakan kebutuhan azasi yang wajib dilindungi oleh negara. Begitu pula subsidi pangan dibatasi hanya bagi masyarakat dengan persyaratan ketat. Sementara BBM sebagai kebutuhan sekunder disubsidi penuh untuk seluruh masyarakat.

"Selama ini pemerintah begitu ketat dalam menjamin kebutuhan pangan masyarakat, tetapi terlalu longgar dan royal dalam mensubsidi BBM. Orang ingin memperoleh Raskin harus dengan syarat tertentu. Tapi BBM bersubsidi, orang kaya pun boleh menikmatinya. Padahal secara nominal, subsidi pangan ini terbilang kecil dibanding subsidi BBM," cetusnya.

Menurut Jhon, subsidi pangan, khususnya Raskin, saat ini perlu diperluas jangkauannya. Bukan malah dikurangi, apalagi dihapuskan. Dalam APBN 2015, besaran subsidi pangan untuk Raskin dianggarkan Rp18,9 triliun, sementara subsidi BBM mencapai Rp291 triliun.

"Padahal, seandainya 240 juta masyarakat Indonesia digratiskan berasnya, APBN hanya mengeluarkan sebesar Rp216 triliun per tahun. Rakyat senang walaupun BBM naik, tapi beras aman. Jadi seharusnya Raskin ini diganti dengan Rasmas, Beras untuk seluruh masyarakat. Sehingga yang menikmati beras murah tidak terbatas pada masyarakat miskin saja," usulnya.

Rencana menggantikan pola pembagian Raskin dengan e-money, menurut Jhon, juga sangatlah riskan dan butuh biaya yang lebih mahal. Belum lagi efek e-money yang membuat masyarakat konsumtif tanpa arah.

"Tak ada jaminan masyarakat menggunakan e-money itu untuk membeli beras. Dengan Raskin ini dua sekaligus yang diatasi, pertama kerawanan pangan, kedua kerawanan ekonomi. Kalau e-money terkesan demokratis, masyarakat bisa membeli apapun. Tapi masalah kerawanan pangan tidak teratasi. Saat ini 95% masyarakat Indonesia mengonsumsi beras. Kalau beras tidak disubsidi, harga di pasar bisa kacau," ujarnya.

Sementara, pakar pertanian Univesitas Negeri Sebelas Maret Solo (UNS) Tuhana mengungkapkan, rencana menghapus Raskin dan menggantinya dengan e-money berpotensi melanggar UUD 1945 dan UU Pangan. "Dari sisi regulasi, negara wajib memberi perlindungan sosial kepada masyarakat miskin, terutama soal pangan. Dalam hal implementasi, kebijakan mengganti Raskin dengan e-money bisa menimbulkan banyak masalah baru," pungkasnya.
WID

http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/11/06/315075/rencana-penghapusan-program-raskin-mendapat-tentangan

Rabu, 05 November 2014

Jokowi Targetkan Tahun 2015 Impor Pangan Dihentikan

Rabu, 5 November 2014

PINRANG, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo menargetkan, tahun 2015 mendatang, Indonesia akan mengalami swasembada pangan nasional. Pemerintah juga menargetkan ketergantungan impor pangan seperti kedelei dan gandum untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, akan dihentikan.

Pernyataan tersebut dikemukan Presiden Jokowi saat meletakkan batu pertama pembangunan irigasi sepanjang 2.200 meter di Desa Bendoro, Kecamatan Wattang Sidenreng, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, Rabu (5/11/3014). Pembangunan saluran irigasi ini untuk mengairi 57.000 hektar lahan pertanian di tiga kabupaten, yakni Sidrap, Pinrang dan Sengkang. Dalam peletakan batu pertama irigasi itu, Jokowi didampingi istrinya, Iriana Joko Widodo, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo dan sejumah pejabat lainnya.

Pembangunan irigasi Bendoro ini mendapat sambutan positif dari warga dan para petani setempat. Ribuan warga rela menanti kedatangan Jokowi di lokasi pembangunan irigasi. Bahkan, sejumlah warga memanjat pohon agar bisa menyaksikan langsung Jokowi meletakkan batu pertama pembanguna irigasi tersebut.

Kepada wartawan, Jokowi menyatakan bahwa 52 persen saluran irigasi di seluruh indonesia kondisinya rusak parah dan harus segera dibenahi. Dia mengatakan, dalam lima tahun kepemimpinannya, ia berjanji akan menyelesaikan 30 waduk yang berfungsi menampung dan mengairi lahan pertanian di Indonesia.

Tahun depan, lanjut Jokowi, pemerintah akan memulai pembanguan lima waduk di lima lokasi di indonesia seperti Aceh, Banten, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Kudus. Jokowi menargetkan tiga tahun mendatang, Indonesia akan mengalami swasembada pangan nasional.

“Kita menargetkan dalam tiga tahu mendatang Indonesia mengalami swasembada pangan hingga impor pangan seperti kedelei, beras dan terigu bisa dihentikan,” ujar Jokowi seusai meletakkan batu pertama pembanguan irigasi Bendoro, Rabu.

Seusai meletakkan batu pertama, Presiden jokowi bersama rombongan bertolak menuju Kabupaten Pinrang untuk melakukan panen perdana di Kecamatan Lanrisang. Selanjutnya Jokowi akan terbang ke Makassar dan Mamuju. Lalu keesokan harinya, Jokowi akan mengunjungi Kendari sebelum kembali ke Jakarta.

http://regional.kompas.com/read/2014/11/05/16573241/Jokowi.Targetkan.Tahun.2015.Impor.Pangan.Dihentikan?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp

Subsidi Dialihkan ke Program Pangan

Rabu, 5 November 2014

Pertanian dan Perikanan Jadi Target
 

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan mengalihkan subsidi bahan bakar minyak ke program pembangunan yang lebih produktif. Melalui pengalihan itu, pemerintah berambisi atau memiliki target mencapai swasembada pangan dalam tiga tahun mendatang.
”Kita ingin mengalihkan dari yang konsumtif menjadi produktif. Dari yang boros untuk subsidi BBM ke arah usaha produktif. Jadi, kita ingin ada pengalihan subsidi BBM ke subsidi pupuk, benih, infrastruktur irigasi, dan bendungan untuk petani,” kata Presiden Joko Widodo saat memberikan pengarahan pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kabinet Kerja 2014, di Istana Negara, di Jakarta, Selasa (4/11).

Selain Wakil Presiden Jusuf Kalla, rakornas tersebut juga dihadiri oleh jajaran menteri Kabinet Kerja, gubernur, kepala kepolisian daerah, panglima komando daerah militer, dan kepala Badan Intelijen Negara di daerah seluruh Indonesia.

Jokowi memaparkan postur anggaran 2015 mencapai Rp 2.019 triliun dengan anggaran untuk subsidi BBM mencapai Rp 330 triliun. Porsi anggaran subsidi BBM yang besar dan alokasi pembayaran utang yang mencapai Rp 400 triliun sangat memberatkan anggaran negara dan membuat posisi ruang fiskal anggaran menjadi sempit.

Jokowi juga memberikan perbandingan anggaran negara dalam lima tahun terakhir, yaitu anggaran subsidi BBM mencapai Rp 714 triliun, anggaran kesehatan Rp 202 triliun, dan anggaran pembangunan infrastruktur Rp 577 triliun. Dari anggaran subsidi BBM itu, sekitar 71 persen dinikmati masyarakat menengah ke atas.

”Setiap hari kita membakar, membakar, begitu terus (untuk subsidi BBM). Yang justru sangat penting, untuk kesehatan dan infrastruktur, jauh lebih sedikit dibandingkan subsidi BBM. Inilah yang harus kita ubah. Tidak ada negara lain yang melakukan seperti ini,” kata Jokowi.

Menurut Jokowi, pengalihan subsidi BBM ke usaha produktif menjadi keniscayaan, apalagi pemerintah mematok target untuk mencapai swasembada pangan dalam tiga tahun mendatang.

Sebagian anggaran pengalihan subsidi BBM akan digunakan membangun 5-7 bendungan per tahun serta membangun dan memperbaiki saluran irigasi di seluruh Tanah Air yang saat ini kondisinya 52 persen rusak. Pembangunan bendungan dan saluran irigasi dilakukan secara paralel dengan pembagian porsi yang jelas antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

Pengalihan subsidi BBM tak hanya ditujukan untuk pertanian, tetapi juga untuk membantu nelayan melalui pemberian mesin kapal, penyediaan pendingin ikan, dan pembangunan pelabuhan. Pemerintah menargetkan membangun dan memperluas 24 pelabuhan dalam lima tahun. Pengalihan subsidi BBM juga ditujukan untuk memberikan bantuan modal bagi usaha mikro dan kecil.

Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil menyatakan, pemerintah masih terus menyiapkan upaya penyesuaian harga BBM bersubsidi yang akan diumumkan bulan ini. Sejumlah program perlindungan sosial dan kebijakan untuk menjamin ketersediaan barang kebutuhan masyarakat disiapkan guna meredam kemungkinan terjadinya gejolak ekonomi akibat penyesuaian harga BBM bersubsidi.

Ketersediaan pasokan
Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Someng mengungkapkan, masyarakat tidak perlu khawatir atas rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Pemerintah harus menjamin ketersediaan BBM bersubsidi sampai akhir tahun. BBM bersubsidi yang habis bisa digantikan dengan nonsubsidi.

”Masyarakat tidak boleh panik. Selama BBM bersubsidi dan nonsubsidi tersedia, masyarakat tidak akan panik. Kuncinya adalah ketersediaan,” kata Andy menjelaskan.

Andy mencontohkan ketersediaan BBM di wilayah Indonesia bagian timur yang dikenal paling sulit dalam hal pendistribusian BBM. Meskipun BBM bersubsidi dijual dengan harga yang jauh melebihi ketentuan pemerintah, masyarakat tetap membeli selama BBM tersedia.

Andy juga mengatakan, kuota BBM bersubsidi tidak boleh jebol sampai pukul 24.00 tanggal 31 Desember nanti. Pertamina harus pintar mengelola agar kuota itu cukup sampai akhir tahun. Dari kuota 46 juta kiloliter tahun ini, diperkirakan sampai awal November ini sudah terpakai sebanyak 39 juta kiloliter.

Andy menyatakan, harga BBM harus mencapai harga keekonomian. Kenaikan harga BBM bersubsidi yang ideal berkisar Rp 2.000-Rp 3.000 per liter.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto mengatakan, pejabat sebaiknya menghentikan wacana soal kenaikan harga BBM. Pernyataan-pernyataan itu dikhawatirkan menimbulkan kepanikan di masyarakat dan membuat terjadinya penimbunan BBM bersubsidi. (APO/SON/WHY)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/141105kompas/#/19/