Sabtu, 26 Desember 2015

Panen Raya Padi di 2016 Diprediksi Mundur 2 Bulan

Sabtu, 26 Desember 2015

Jakarta -Panen raya yang biasanya jatuh pada bulan Maret diperkirakan akan mundur hingga 2 bulan pada tahun 2016 mendatang. Hal ini terungkap dalam pertemuan antara Perum Bulog dengan para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Barat pada awal pekan ini.

"Senin (21 Desember 2015) kemarin kami (Bulog) kumpul dengan 250 mitra kerja kami di Jawa Barat.‎ Ketua KTNA provinsi, kabupaten, hadir semua. Kita diskusi tentang perkiraan-perkiraan panen di tahun 2016. Menurut mereka ada pengunduran panen 2 bulan, berarti diprediksi panen pertama bulan Maret, panen raya April-Mei. Biasanya Maret sudah panen raya," ungkap Direktur Pengadaan Perum Bulog, Wahyu, kepada detikFinance di Jakarta, Sabtu (26/12/2015).

Wahyu menuturkan, sebagian besar Jawa Barat saat ini bahkan belum memasuki musim tanam. Jawa Barat merupakan sentra produksi beras ke-2 terbesar di Indonesia setelah Jawa Timur.‎ Dengan perhitungan jarak antara tanam dan panen padi adalah 3 bulan, maka Jawa Barat baru mulai musim panen pada Maret 2016 dan panen raya pada April-Mei 2016.

"Sebagian besar petani di Jawa Barat, menurut informasi yang saya dapat dari Ketua KTNA setempat, belum mulai tanam. Ada yang dari Subang, Karawang, Bandung, bilang panen mundur kira-kira 2 bulan," ujarnya.

Dengan mundurnya panen raya pada 2016, berarti musim paceklik pada awal tahun bakal makin panjang. Ketua Umum Persatuan Pedagang Beras dan Penggilingan Padi (Perpadi) yang juga mantan Dirut Perum Bulog, Sutarto Alimoeso, memperingatkan pemerintah bahwa puncak paceklik padi yang biasanya setiap tahun terjadi pada Januari-Februari bisa menjadi Januari-Maret di awal 2016 nanti.

Penyebabnya ‎ialah el nino yang membuat musim tanam mundur. Harusnya tanam besar dilakukan pada bulan Oktober. Tetapi sangat minimnya curah hujan di Oktober lalu membuat para petani, terutama yang sawahnya tadah hujan alias mengandalkan air dari hujan, tak bisa menanam.

"Kalau normal puncak paceklik itu Januari-Februari, kalau sekarang bisa sampai bulan Maret," ujar Sutarto saat dihubungi detikFinance, beberapa waktu lalu.

Pria yang juga mantan Dirjen Tanaman Pangan Kementan ini menambahkan, panen di bulan Februari 2016 akan lebih sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya karena mundurnya musim tanam. Hal inilah yang membuat puncak paceklik diperkirakan bertambah 1 bulan. "Ini harus diantisipasi oleh pemerintah," tutupnya.

(hns/hns)

http://finance.detik.com/read/2015/12/26/102051/3104487/4/panen-raya-padi-di-2016-diprediksi-mundur-2-bulan

Indonesia Selalu Impor Beras, Ini Sebabnya

Sabtu, 26 Desember 2015

Impor beras terjadi karena produksi beras nasional tak selalu terserap Bulog dengan maksimal.

Suara.com - Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori mengatakan bahwa angka produksi beras Indonesia sudah cukup tinggi bahkan bisa menghasilkan surplus. Masalahnya, produksi beras yang dihasilkan petani Indonesia tidak bisa terserap oleh Perum Bulog secara maksimal untuk menjadi cadangan beras nasional.

"Jadi masalahnya di Indonesia, angka produksi padi yang tinggi dari para petani tidak selalu berkorelasi dengan angka keterserapan gabah nasional oleh Bulog. Ketika Bulog tak mampu menyerap gabah secara maksimal dan cadangan beras kita menipis, impor beras terpaksa dilakukan," kata Khudori saat dihubungi Suara.com, Jumat (25/12/2015).

Kondisi ini disebabkan Bulog dibatasi oleh Instruksi Presiden (Inpres) yang mengatur Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Sementara pengusaha beras swasta mampu membeli gabah dengan kualitas bagaimanapun dengan harga berapapun. Akibatnya banyak petani di Indonesia lebih memilih menjual gabahnya kepada pedagang beras ketimbang kepada bulog. "Sebab kalau merujuk angka produksi beras, sejak 5 tahun lalu kita ini sebetulnya sudah surplus," ujar Khudori.

Namun Khudori menegaskan bahwa sebetulnya impor beras di Indonesia tidak besar, hanya 3 - 4 persen dari kebutuhan konsumsi beras secara nasional. Walau demikian, Khudori mengakui pemerintah harus membuat terobosan untuk memaksimalkan keterserapan gabah nasional oleh Bulog. "Karena faktanya di Yogyakarta saja, ada 3 pedagang besar bisnis beras. Masing-masing orang tersebut, mampu menyerap gabah nasional dalam setahun lebih besar dari kemampuan serap Bulog dalam setahun. Jadi ini memang yang harus dibenahi," jelas Khudori.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, masalah impor beras selalu menjadi perdebatan sengit. Pihak yang pro berargumen bahwa kebijakan impor beras diperlukan untuk menjaga ketahanan pangan serta stabilitas harga beras nasional. Namun pihak yang kontra menentang kebijakan ini dengan alasan Indonesia sebagai negara agraris mampu memproduksi beras untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri tanpa harus bergantung impor beras. Impor beras dianggap sebagai cara menghilangkan kedaulatan pangan Indonesia.

Terakhir pemerintah akhirnya mengimpor beras dari Vietnam pada November 2015 sebanyak 1,5 juta ton. Wapres Jusuf Kalla beralasan kekeringan pada Agustus hingga November 2015 memicu mundurnya masa panen gabah sehingga persediaan beras untuk tahun depan berkurang.

http://www.suara.com/bisnis/2015/12/26/123106/indonesia-selalu-impor-beras-ini-sebabnya

Sabtu, 19 Desember 2015

Golkar Bakal Sulit Dipercaya

Sabtu,19 Desember 2015

JAKARTA- Penunjukan Setya Novanto yang telah dinyatakan melanggar etika oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) menjadi Ketua Fraksi Golkar DPR RI, mengundang berbagai reaksi.

Salah satunya dari mantan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla (JK). Kalla menilai penunjukan Setya Novanto sebagai Ketua Fraksi, seakan mengingkari hubungan antara politik dan kepercayaan dari rakyat.

‘’Politik itu adalah kepercayaan masyarakat, kepercayaan itu akan muncul dari persepsi. Nah, kalau persepsinya sudah (buruk-red) begini, pasti sulit mendapatkan lagi kepercayaan masyarakat. Teori politiknya ya seperti itu. Semua partai ya pasti begitu, harus bangun kepercayaan, harus punya persepsi yang baik,’’kata JK di Istana Bogor, kemarin.

Saat ini Novanto sudah dipersepsikan buruk oleh publik dalam kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo saat bertemu Presdir PT Freeport Indonesia Maroef Syamsuddin. Novanto juga telah dinyatakan MKD melanggar etika dengan kategori pelanggaran sedang dan pelanggaran berat.

Semula JK sempat berpikir bahwa Setya Novanto menjadi Ketua Fraksi Golkar masih sebatas usulan saja. ‘’Saya kira itu baru usulan saja,’’kata JK. Di sisi lain, JK tak mempermasalahkan penunjukan Ade Komarudin sebagai Ketua DPR menggantikan Setya Novanto. JK menilai Ade yang biasa dipanggil Akom adalah sosok orang yang baik.

Pujian itu disampaikan JK tanpa bermaksud memberikan persetujuan atau menolak atas penunjukan Ade sebagai pengganti Novanto di kursi Ketua DPR. ‘’Saya bukan setuju (atau) tidak setuju, saya cuma tahu orangnya baik,’’ujar JK.

Menurut JK Golkar sebenarnya memiliki banyak kader potensial untuk duduk di kursi Ketua DPR atau Ketua Fraksi. Sehingga DPP tinggal menugaskan saja sesuai dengan kemampuannya. ‘’Yah, kalau itu pilihannya dari DPP, cukup baik. Apalagi pernah jadi ketua fraksi,’’ ucap JK.

Akal-akalan

Sementara itu, Generasi Muda Partai Golkar mengatakan pertukaran posisi Setya Novanto dengan Ade Komarudin hanya akal-akalan elite Golkar. Hal itu dikemukakan usai mereka bertemu JK untuk membahas perkembangan internal Golkar.

‘’Penunjukan Novanto sebagai ketua fraksi adalah akal – akalan elite Golkar,’’ ujar juru bicara Generasi Muda Partai Golkar, Andi Sinulingga usai pertemuan yang berlangsung di kediaman dinas JK, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Jumat (18/12). Bahkan, Andi menyebut penunjukkan Novanto akan memperburuk persepsi masyarakat terhadap partai berlambang pohon beringin ini.

Sementera itu, Ahmad Dolly Kurnia mengatakan pertemuan tersebut juga menyinggung pembicaraan soal Munas ulang sebagai jalan keluar atas konflik Golkar yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun.

‘’Prinsipnya Pak JK setuju konflik harus diselesaikan. Penyelesaiannya adalah lewat Munas. Tinggal tahap-tahapannya yang harus diselesaikan dengan mengacu ke Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) partai,’’kata Dolly. Dalam pertemuan dengan JK itu, Kader muda Golkar selain Andi dan Dolly juga diikuti Dave Laksono, Ace Hasan Syadzily, Melki Lakalena, Mirwan MZ Vauly dan Sari Yuliati.

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Demokrat Ruhut Sitompul, mengatakan dengan diposisikannya Setya Novanto menjadi Ketua Fraksi, berarti Partai Golkar masih memberikan posisi penting bagi Novanto. Padahal di sisi lain Novanto telah melakukan pelanggaran etika.

Langkah Golkar yang masih mengistimewakan Novanto menurut Ruhut ibaratnya bagaikan menggali kuburnya sendiri. ‘’Ini sama saja Partai Golkar menggali kuburnya sendiri. Kan masih banyak kader, kok yang melanggar etika yang diberi posisi penting,’’ kata Ruhut di gedung DPR RI senayan, kemarin.

Ruhut mengaku khawatir, dengan menjadi Ketua Fraksi, Novanto bisa menunjuk dirinya sendiri menjadi pimpinan di Komisi atau alat kelengkapan Dewan. Bahkan Novanto bisa menjadi Ketua Badan Anggaran (Banggar) atau MKD.

Oleh sebab itu Ruhut mengaku heran dengan manuver yang dilakukan Golkar. Dari Gedung DPR RI, kemarin Pelaksana tugas Ketua DPR RI Fadli Zon mengatakan pihaknya telah menerima surat dari fraksi Partai Golkar tentang pengajuan Ade Komarudin sebagai Ketua DPR RI pengganti Setya Novanto.

Namun karena waktunya sudah mepet, pelantikan Ade sebagai Ketua DPR baru akan dilangsungkan setelah masa reses berakhir awal Januari 2016. ‘’Sudah kami terima suratnya, tapi karena waktunya sudah mepet, maka tidak mungkin dilakukan pelantikan Ade pada masa sidang ini.

pelantikan baru bisa dilakukan pada berakhirnya masa reses, Januari 2016,’’ kata Fadli Zon di Gedung DPR RI, Senayan, kemarin. Dalam rapat paripurna kemarin, Setya Novanto sudah tidak duduk lagi di kursi pimpinan Dewan. Dia duduk bersama anggota yang lain.

Saat Setya membacakan pidato pengunduran dirinya di rapat paripurna terakhir sebelum anggota Dewan memasuki masa reses Setya menjelaskan bahwa pilihan dirinya mengundurkan diri adalah bentuk penghormatan kepada seluruh rakyat Indonesia.

‘’Atas itulah saya mengundurkan diri dan memohon maaf. Semoga bangsa ini dapat menyongsong masa depan yang lebih baik,’’kata dia. Saat hendak menutup pidatonya, suara dia makin berat, bergetar dan raut mukanya penuh haru. Dia berharap kejadian ini hanya terjadi pada dirinya saja. ‘’Mudah-mudahan ini hanya terjadi pada saya.

Sekali lagi, apa yang saya lakukan akan saya pertanggung jawabkan kepada seluruh rakyat Indonesia, seluruh anggota Dewan, dan Allah Tuhan Yang Maha Esa,’’kata Setya terisak. (F4, dtc-92)

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/golkar-bakal-sulit-dipercaya/

Selasa, 15 Desember 2015

Gubernur Haramkan Beras Impor Masuk NTB

Senin, 14 December 2015

MATARAM – Gubenur Provinsi Nusa Tenggara Barat,  TGH Muhammad Zainul Majdi menegaskan beras impor dari negara mana saja asalnya haram hukumnya masuk di wilayah Provinsi NTB.

“Haram hukumnya NTB menerima beras impor,” kata Gubernur Majdi saat diskusi terbuka dengan tema peran sektor keuangan dalam memperkuat pengembangan ekonomi rakyat yang dihadiri Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Muliaman D Haddad, Ketua Dewan Pakar ICMI, Prof. Hj. Marwah Daud di Hotel Grand Legi Mataram, Sabtu malam (12/12).

 Bahkan Gubenur Majdi mewanti-wanti kapal yang mengangkut beras impor tersebut tidak diperkenankan untuk merapat di wilayah perairan ,"laut Provinsi NTB. “Dengan dalih apapun kapal pengangkut raskin itu tidak boleh merapat di wilayah NTB,” tandas Gubenur Majdi.

 Menurut Majdi, jika beras impor masuk di wilayah Provinsi NTB, maka sudah pasti akan merugikan para petani. Harga gabah petani di NTB sudah pasti akan anjlok jika beras impor dari luar negeri itu membanjiri pasaran di NTB.

Dikatakannya, beras impor yang selama ini di masukan ke NTB kualitasnya jauh dibawah kualitas beras produk petani NTB. Apalagi beras impor yang menjadi bantuan Raskin jauh lebih bagus produksi lokal.Gubenur  juga mempertanyakan komitmen pemerintah pusat dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hal itu terlihat dari berbagai program yang dikeluarkan banyak yang kontradiktif. Seperti contoh pemerintah pusat menggenjot petani meningkatkan hasil produksi pertanian. Begitu petani semangat menggenjot produksi hasil pertanian, diwaktu yang bersamaan, pemerintah pusat justru melakukan impor komoditas hasil pertanian.

 Sebagai pemerintah pusat jangan buat kebijakan kontradiktip dengan daerah misalnya pemerintah suruh petani perbanyak produksi, tapi disaat yg sama pusat lakukan impor. Akibatnya harga langsung jatuh dan sangat rugikan petani.“Kita ini memang benar benar hilang akal sehat. Kita biarkan saja pemburu rente memasukan komoditas luar masuk. Padahal harga bisa rusak karena itu,” terangnya.

 Sebelumnya pemerintah pusat telah mengeluarkan kebijakan impor beras  untuk menstabilkan harga beras yang melonjak naik beberapa bulan terakhir belakangan ini. Pemerintah pusat juga awalnya akan memasukan beras impor asal Vietnam itu ke Provinsi NTB, namun saat rapat koordinasi dengan Perum Bulog Divre NTB,Pemprov NTB menolak keras beras impor masuk ke wilayah NTB. Karena beras impor tersebut akan merusak pasar beras lokal dan sudah pasti akan merugikan para petani di NTB.( cr -luk)

http://www.radarlombok.co.id/gubernur-haramkan-beras-impor-masuk-ntb.html

Senin, 14 Desember 2015

Menegakkan Kedaulatan Petani Kita

Minggu, 13 Desember 2015

Menjadi petani, terutama petani padi, rasanya makin sulit. Ketika harga padi atau beras naik sedikit saja, pemerintah melalui Departemen Perdagangan dan Bulog buru-buru membanjiri pasar dengan beras murah, yang sebagian besar berasal dari beras impor. Tetapi, saat panen raya tiba dan harga anjlok, pemerintah dan Bulog tak sigap menyerap produksi petani. Petani yang posisi tawarnya lemah harus menghadapi sendiri para tengkulak bermodal kuat.

Niat pemerintah membantu petani dengan menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) pada masa panen raya pun tak banyak membantu. Pasalnya, seperti pernah kita lihat, HPP juga bisa jadi justru di bawah harga pasar.

Dengan HPP seperti itu, tentu saja Bulog ogah membeli produksi petani. Sebab, sebagai perum yang misinya juga mengais laba, Bulog tak boleh membeli beras atau padi di atas HPP. Apalagi harga beras di pasar dunia juga cenderung lebih rendah dari dalam negeri. Logika dagang Bulog tentu memilih mengimpor beras ketimbang bersusah payah menyerap produksi petani.

Perubahan Paradigma

Makanya, jangan harap Bulog mau membeli secara langsung padi petani. Apalagi membeli gabah basah yang harus mereka olah sendiri menjadi gabah kering atau beras. Ini mustahil dilakukan, kecuali ada perubahan paradigmatis di kalangan Bulog dan pembuat kebijakan pemerintah umumnya.

Kenapa? Sebab, diakui atau tidak, paradigma yang mewarnai cara berpikir Bulog dan para pembuat kebijakannya selama periode pemerintahan yang lalu ialah paradigma ketahanan pangan (food security). Menurut paradigma dari FAO (organisasi pangan dunia) yang amat pro-perdagangan ini, tak soal bagaimana pangan diproduksi dan darimana berasal. Yang penting ketersediaan pangan alias stok beras nasional mencukupi.

“Mereka bukan memikirkan bagaimana meningkatkan produksi beras dan diversifikasi pangan, tapi justru memanjakan kita dengan produk-produk pangan impor yang lebih murah, karena memang di negara-negara asal komoditas pangan ini memperoleh subsidi besar,” ucap pengamat ekonomi pertanian Indef, Iman Sugema, (Suara Karya, 29/3).

“Mereka bukan memikirkan bagaimana meningkatkan produksi beras dan diversifikasi pangan, tapi justru memanjakan kita dengan produk-produk pangan impor yang lebih murah, karena memang di negara-negara asal komoditas pangan ini memperoleh subsidi besar,” ucap pengamat ekonomi pertanian Indef, Iman Sugema"

Dalam konteks ketahanan pangan inilah budidaya pertanian ala revolusi hijau dan impor pangan murah menjadi relevan. Revolusi hijau bertujuan mendongkrak produksi pangan dengan program intensifikasi pertanian, yang dulu dikenal sebagai Bimas atau Panca Usaha Tani. Program ini awalnya memang mampu mengatrol produksi pangan, seperti dirasakan Indonesia dengan swasembada beras pada 1994.

Namun, revolusi hijau lambat laun menjadi malapetaka, karena membuat petani makin tidak berdaulat dalam lapangan pertanian. Revolusi hijau menjadikan kaum tani kian tergantung input pupuk dan obat kimia serta bibit unggul produksi perusahaan besar (MNC). Sementara kesuburan tanah juga kian buruk dan menurun produktivitasnya akibat asupan bahan kimiawi tanpa henti.  Jadi, swasembada beras pada 1994 bukan berarti kita berdaulat dalam hal pangan.

Sebaliknya, kedaulatan pangan (food sovereignty) mengacu hak suatu negara dan petani menentukan kebijakan pangannya sendiri dengan memprioritaskan produksi lokal guna memenuhi kebutuhan sendiri. Selain itu, juga menjamin tersedianya tanah subur, air, benih, termasuk kredit bagi buruh tani dan petani kecil serta melarang praktek perdagangan dengan cara dumping (Tejo Pramono, 2005).

Yang dimaksud hak menentukan kebijakan pangan ialah para petani sendiri yang memilih cara produksi, jenis teknologi, hubungan produksi, sistem distribusi, hingga masalah keamanan pangan. Jadi, dengan kedaulatan pangan diharapkan petani punya kemandirian dalam proses produksi pangan, tak lagi tergantung kepada pengusaha. Bahkan juga tidak lagi tergantung pada pemerintah dan Bulog. Sebab, dengan kedaulatan pangan, petani bisa menjadi wirausahawan kecil yang mandiri.

Ramah Lingkungan & Berkelanjutan

Kedaulatan pangan juga merupakan program pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan (ecological and sustainable agriculture). Maka tak mengherankan jika banyak LSM mendukung ide kedaulatan pangan sebagai pengganti model ketahanan pangan yang dinilai merugikan petani.

Pengalaman Kuba membuktikan, program kedaulatan pangan mampu menyelamatkan negeri itu dari kesulitan. Akibat krisis yang dihadapinya pasca Uni Soviet ambruk, Kuba memutar kiblat kebijakan ekonomi dari berorientasi ekspor (outward looking) menjadi mementingkan kebutuhan dalam negeri (inward looking), terutama pangan.

Dari pengalaman Kuba bisa disarikan bahwa untuk menyelenggarakan program kedaulatan pangan dibutuhkan perubahan kebijakan sektor pertanian, khususnya pangan, yang meliputi tiga hal (Any Sulistyowati, 2003).

Pertama, perubahan teknologi. Model kedaulatan pangan mengadopsi pola alternatif, yakni pertanian organik, yang memaksimalkan pemakaian sumber daya lokal. Termasuk dengan gerakan menanam kembali spesies padi lokal, penerapan sistem multikultur atau diversifikasi pangan, minimalisasi asupan luar seperti pestisida dan pupuk kimia, dan penyediaan sarana pendukung seperti bioteknologi yang berbasis masyarakat.

Kedua, perubahan produksi. Ini dilakukan dengan pembagian lahan pertanian dan pemanfaatan lahan tidur untuk usaha tani. Ditambah dengan mengintroduksi pertanian perkotaan yang memanfaatkan pekarangan penduduk.

Ketiga, perubahan distribusi, yang antara lain dengan membuka pasar khusus produk pertanian dan penjualan langsung dari petani kepada konsumen guna memotong jalur distribusi yang panjang.

Pengalaman Indonesia

Di negeri kita, upaya ke arah model kedaulatan pangan ini relatif berhasil dicoba oleh Pemkab Bantul DIY dan Sragen, Jawa Tengah. Di Sragen, misalnya, pertanian organik menjadi program unggulan pemerintah daerah di sana. Jumlah kelompok tani organik pun bertambah signifikan. Semula 29 kelompok (639 petani) saat program dimulai (2001), menjadi 247 kelompok (1.721 petani) pada 2004. Total lahan padi organik terus bertambah, dari 232 hektar (2001) menjadi 1.973 hektar (2004). Hasilnya, jumlah produksi padi organik melonjak tajam. Jika pada 2001 dihasilkan 1.187 ton gabah kering giling (GKG), tiga tahun berselang nyaris 11 ribu ton GKG.

Maka, Pemkab Sragen pun berani mencanangkan visi Sragen menjadi sentra beras organik terbesar di Tanah Air pada 2010. Mereka mengerahkan penyuluh lapangan dan membentuk perusahaan pengolahan dan pemasaran pasca panen untuk menampung produksi petani.

Walhasil, kendati tanpa Bulog atau HPP sekalipun, petani organik Sragen bisa meningkatkan kesejahteraannya. Soalnya, harga jual padi organik selalu di atas padi nonorganik. Sementara biaya produksinya justru lebih rendah, lantaran petani cukup memakai kotoran hewan sebagai pupuk dan ekstrak dedaunan setempat sebagai obat hama. Padi organik juga lebih aman dikonsumsi lantaran bebas dari residu pupuk maupun pestisida kimia.

"Pemkab Sragen pun berani mencanangkan visi Sragen menjadi sentra beras organik terbesar di Tanah Air pada 2010. Mereka mengerahkan penyuluh lapangan dan membentuk perusahaan pengolahan dan pemasaran pasca panen untuk menampung produksi petani. Walhasil, kendati tanpa Bulog atau HPP sekalipun, petani organik Sragen bisa meningkatkan kesejahteraannya"

Bagaimana dengan petani di daerah lain, di mana pemerintah lokal belum berminat memberdayakan petani melalui program kedaulatan pangan?

Jika demikian, saatnya petani tak lagi berharap banyak kepada pemerintah, apalagi pemerintah pusat. Pemerintah pusat saat ini jelas hanya peduli untuk menjadikan beras sebagai komoditas politik yang harus dijaga ketat fluktuasi harganya, demi menjaga angka inflasi. Nasib petani sendiri yang terpuruk dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi, tak pernah dijadikan tolok ukur pembuatan kebijakan.

Karena itu, petani harus mampu mengorganisir diri sendiri dan menegakkan kedaulatan pangan dalam kelompoknya sendiri. Dalam hal ini termasuk menyisihkan sebagian hasil panennya untuk konsumsi sendiri, sehingga jika harga beras melambung pada masa paceklik, mereka tak perlu kelabakan atau malah kelaparan.

Setelah itu, perlu disusul kerja sama lintas kelompok tani dan secara bersama mengimplementasikan ide kedaulatan pangan dalam kenyataan. Para petani dapat belajar ke kelompok-kelompok tani di Sragen, misalnya, yang menyelenggarakan kursus singkat pola pertanian organik.

Dengan berdaulat, pilihan kaum tani bukan lagi menanam padi sebanyak mungkin seperti imbauan penguasa, tapi hanya menanam padi sejauh menguntungkan. Jika bertani padi tak lagi menguntungkan, bahkan cenderung merugi jika semua komponen produksi dihitung rinci, saatnya para petani berani memilih: menanam padi secara organik atau bertani jenis tanaman lain yang lebih menjanjikan masa depan.

Sudah saatnya petani memperjuangkan nasibnya sendiri dan menegakkan kedaulatannya!

Aria Bima
Anggota DPR RI 2014-2019 (F-PDIP)

https://www.selasar.com/ekonomi/menegakkan-kedaulatan-petani-kita

Sabtu, 12 Desember 2015

Kepala Bulog Tersangka Korupsi Rp 1,3 M

Sabtu, 12 Desember 2015

SURABAYA (Indonesia Pagi) - Tim Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim menetapkan Kepala Unit Pengelolaan Gabah Beras (UPGB) di Bulog Ponorogo, Nowo Usmanto, sebagai tersangka dugaan korupsi di UPGB Bulog Ponorog. Kerugian negara ditaksir sebesar Rp 1,3 miliar.

Kepala Penyidikan Pidana Khusus (Kasidik Pidsus) Kejati Jatim Dandeni Herdiana membenarkan hal itu. Menurutnya, penetapan tersangka merupakan hasil dari pemeriksaan saksi-saksi dan penambahan alat bukti yang didapat penyidik. Dari hal itu, selanjutnya penyidik melakukan pendalaman dan didapati nama Nowo Usmanto sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kasus ini.

“Kepala UPGB di Bulog Ponorogo, Nowo Usmanto telah kami tetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi yang terjadi di UPGB Bulog Ponorogo,” tegas Kasidik Pidsus Kejati Jatim Dandeni Herdiana, kemarin.

Dijelaskan Dandeni, sampai saat ini penyidik masih menetapkan satu orang tersangka dalam kasus ini. Selanjutnya penyidik akan memeriksa saksi-saksi yang akan diperuntukan bagi tersangka. “Saksi-saksi masih sama seperti yang kami periksa dahulu. Bedanya saksi saat ini dibutuhkan untuk memberikan keterangan terkait tersangka,” katanya.

Adapun saksi yang akan dipanggil, lanjut Dandeni, mereka adalah para petani dan pihak-pihak di UPGB Grupit Sub Drive Bulog Ponorogo. Selain itu, pihaknya juga akan memanggil pihak Bank BRi yang mengurusi rekening atas kasus ini.

Ditanya perihal perhitungan kerugian Negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jatim. Mantan Kasi Intel Kejari Purwakarta ini mengaku belum melakukan koordinasi dengan BPKP Jatim.

“Kami masih berencana untuk meminta bantuan BPKP Jatim dalam menghitung kerugian keuangan Negara dari kasus ini,” ungkap Dandeni.

Sebelumnya, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Jatim mengatakan, kasus yang diduga melibatkan UPGB di Bulog Ponorogo ini, terdapat dua modus. Pertama, modusnya adalah Unit UPGB Bulog Ponorogo menerima gabah dan beras dari petani. Sayangnya, Bulog tidak membayar uang hasil panen dari petani sebesar Rp 1,3 miliar. n bd

http://surabayapagi.com/index.php?read~Kepala-Bulog-Tersangka-Korupsi-Rp-1,3-M;3b1ca0a43b79bdfd9f9305b812982962203e3f8971ed928cec6963a64b49d192

Sistem Pertanian Perlu Revolusi Organik

Jumat, 11 Desember 2015

JAKARTA (HN) - Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih mengatakan, sektor pertanian perlu direvolusi dengan mengembangkan pertanian organik serta menggunakan bahan alami dalam mengolah tanah.
Ia menilai, Kementerian Pertanian (Kementan) harus membuat strategi untuk meningkatkan petani individu dan dalam rangka mencapai kedaulatan pangan. "Jangan sampai memerkuat pihak korporasi di bidang pangan," ujar Henry kepada HARIAN NASIONAL, Kamis (10/12).

Menurut dia, model pertanian berbasis ekologi harus segera dikembangkan. Penggunaan pupuk kimia, pengolahan tanah modern dan pestisida harus dikurangi secara bertahap. Cara pertanian yang salah, menurut Henry, akan berdampak buruk pada lahan pertanian Indonesia ke depan.

Seharusnya saat ini petani bisa menggunakan pupuk organik dan benih yang dikembangkan sendiri serta pestisida alami. Ia juga menolak pendistribusian alat mesin pertanian dari luar negeri ke Indonesia.

"Mungkin tidak sekarang kita merasakan dampaknya tapi lima hingga 10 tahun mendatang kita akan tahu lahan kita rusak karena bahan kimia," katanya.

Henry mengingatkan agar Kementan berhenti berfokus hanya pada tiga komoditas pangan yaitu padi, jagung, dan kedelai. Jenis tanaman pangan lain sebenarnya mampu dikembangkan jika pemerintah serius.

"Uang pemerintah (APBN) seharusnya bisa dipakai untuk komoditas lain. Tapi ini digunakan untuk padi, jagung dan kedelai. Sudah begitu memakai pestisida, pupuk kimia, dan traktor dari luar negeri. Memang produksinya naik tapi kan merusak lahan," ujarnya.

Penggunaan alat pertanian modern pun dinilai justru menambah pengangguran di desa. Tenaga kerja yang mengolah tanah kini berubah menjadi mesin. Sedangkan lapangan kerja pengganti belum disediakan pemerintah.

"Jadi pengangguran makin banyak. Menurut kami ini bahaya. Model yang dikembangkan Kementan ini keluar dari Nawacita Presiden Joko Widodo," ujar Henry.

Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, pemerintah ingin berusaha menurunkan ongkos produksi pertanian dengan alat modern. Menurut dia, biaya produksi yang tinggi dikarenakan peralatan konvensional yang digunakan.

Modernisasi pertanian diklaim menjadi salah satu upaya ampuh untuk meringankan ongkos produksi tersebut. "Salah satu cara menekan ongkos produksi, pemerintah akan mengoptimalkan pemanfaatan alat-alat pertanian modern," ujar Amran.

Alat pertanian modern diyakini akan memersingkat waktu pengolahan tanah pertanian. Selain itu juga menghemat tenaga petani. "Kalau pakai alat konvesional, petani harus beramai-ramai turun ke sawah. Dengan alat-alat pertanian modern ini akan menghemat tenaga petani serta waktu tanam atau waktu panen. Semoga petani bisa menggunakan peralatan modern dan meningkatkan produksi," katanya.

http://www.harnas.co/2015/12/11/sistem-pertanian-perlu-revolusi-organik

Kamis, 03 Desember 2015

Beras Melimpah di Sentra Produksi, tapi Langka di Jakarta

Rabu, 02 Desember 2015

Metrotvnews.com, Klaten: Dalam rangka menelusuri penyebab merosotnya pasokan beras di Jakarta, Komisi Persaingan Pengawasan Usaha (KPPU) bersama Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik mendatangi sentra produksi di Jawa Tengah. Di sana, tim terkejut dengan temuan di lapangan.

Dalam sidak di sentra produksi beras di Desa Bowan, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten, didapati kalau stok beras aman. Bahkan, jumlah produksi hingga Desember ini dinilai masih ada peningkatan.

"Rata-rata (lahan seluas) 2.000 meter persegi bisa menghasilkan 1,5 ton gabah kering. Untuk daerah yang kurang pemupukan dan pengairan, agak menurun produksinya," kata Srihadi, seorang pemilik gudang prosuksi beras di Desa Bowan, Rabu (2/12/2015).

Srihadi mengatakan, jika pemupukan dan pengairan sangat bagus, lahan seluas 2.000 meter persegi bisa memproduksi hingga 1,8 ton gabah kering. Hal itu dengan catatan hama tikus dan wereng tak menyerang tanaman.

"Tapi di sini biasanya terkendala dengan iklim. Meskipun, musim panen Juli-Desember ini bisa bagus," ujarnya.

Ia menambahkan, sebagian besar keluarga petani di desa itu tidak menjual langsung gabahnya. Rata-rata, satu keluarga petani menyimpan 1,5 kuintal gabah kering. Jumlah itu untuk memenuhi kebutuhan hingga musim panen berikutnya.

Menanggapi temuan itu, Ketua KPPU, Syarkawi Ra'uf mengatakan akan terus mendalami mengapa terjadi kelangkaan stok beras di Pasar Induk Beras Cipinang dalam dua minggu terakhir. Menurutnya, masih adanya produksi beras di sejumlah sentra produksi menunjukkan bahwa stok masih aman.

"Nah, berarti ada gangguan di salah satunya distribusi itu. Nah ini siapa? Apakah pedagang besarnya? Nanti kita dalami lagi," ujarnya.

Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Hasil Sembiring menambahkan, suplai gabah di sejumlah sentra produksi beras hingga kini masih mengalir. Artinya, lanjut Hasil, produksi beras di lapangan masih ada dan terus bergulir.

"Harganya memang Rp9.000, tidak bisa dibeli Bulog, makanya harus memakai skema komersil. Harus kita carikan mekanismenya," jelasnya.

Sebagaimana diberitakan, sidak dilakukan menyusul adanya laporan kelangkaan beras di Pasar Induk Beras Cipinang. KPPU mengendus adanya kartel dalam distribusi beras. Yang paling telihat adalah kurangnya stok terutama beras IR-64 di kawasan Jakarta. Dari yang semestinya pasokan normal 1.000 ton per hari menjadi hanya 300-400 per hari. Merosotnya pasokan sudah dalam dua minggu terakhir.

Selain di Klaten, mereka juga melakukan sidak serupa di Solo, Jawa Tengah.

SAN

http://jateng.metrotvnews.com/read/2015/12/02/196914/beras-melimpah-di-sentra-produksi-tapi-langka-di-jakarta

Selasa, 01 Desember 2015

Keruntuhan Pertahanan Pangan

Selasa, 1 Desember 2015

“Sejak menjabat presiden pada 20 Oktober 2014, Jokowi bersikeras tak mau impor bahan pangan, terutama beras”

PERTAHANAN terbaik adalah menyerang, kata Sun Tzu (544- 496 SM), filsuf, jenderal, dan ahli strategi perang asal Tiongkok. Begitu pun strategi pertahanan pangan. Bila hanya bertahan dengan berproduksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, tanpa menyerang lawan dengan ekspor, niscaya benteng pertahanan pangan itu mudah dijebol.

Itulah yang terjadi pada pemerintahan Presiden Joko Widodo. Strategi pertahanan pangan yang selama ini digembar-gemborkan Jokowi, terutama menyangkut komoditas beras, ternyata dengan mudah dijebol. Ironisnya, yang menjebol justru pemerintah sehingga pertahanan pangan Jokowi pun runtuh.

Wapres Jusuf Kalla, Rabu (11/11) mengakui memasukkan beras dari Vietnam. Beras itu sudah masuk Jakarta dan daerah-daerah lain. Rabu (4/11) misalnya, 4.800 ton beras dari Vietnam tiba di Manado, Sulut. Impor itu untuk memenuhi persediaan atau stok di berapa daerah akibat El Nino yang memundurkan jadwal panen karena kekeringan.

JK mengklaim kekeringan pada Agustus hingga November 2015 memicu mundurnya masa panen padi sehingga persediaan beras untuk tahun depan menjadi berkurang. Terpenting, katanya, pemerintah menyiapkan cukup cadangan beras, termasuk dari impor. Itu demi rakyat, bukan demi segelintir orang untuk menjaga citra.

Menjaga citra segelintir orang? Mungkin yang dimaksud JK adalah Presiden Jokowi. Sebab, sejak menjabat Presiden pada 20 Oktober 2014, mantan Wali Kota Solo dan mantan Gubernur DKI Jakarta itu bersikukuh tidak mau mengimpor bahan pangan, terutama beras.

Tatkala meninjau persawahan di Cilamaya Wetan, Karawang, Jabar, Minggu (27/9), Jokowi masih bersikeras belum mau impor. Dia mengklaim saat itu cadangan beras Bulog 1,7 juta ton. Jumlah itu masih ditambah 200 ribu-300 ribu ton beras hasil panen Oktober- November 2015 sehingga aman untuk stok nasional.

Dalam pidato yang dibacakan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman pada ”Rembug Paripurna Kelompok Tani Nasional Andalan (KTNA) Expo 2015” di Boyolali, Jumat (6/11), Jokowi masih bersikukuh takkan mengimpor beras. Sepanjang 2015, katanya, Indonesia tidak akan mengimpor berkat percepatan peningkatan produksi pangan.

Di hadapan kelompok tani dari 34 provinsi, Presiden melalui Menteri Pertanian juga menjelaskan, Indonesia yang berpenduduk 252 juta jiwa dengan laju pertumbuhan sekitar 1,49% membutuhkan pangan dalam jumlah besar. Presiden ingin swasembada pangan dapat dicapai dalam waktu tiga tahun.

Produksi komoditas pangan pun harus dipercepat untuk menghindari impor beras. Ada enam provinsi yang menjadi tumpuan produksi beras nasional, yakni Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan.

Memastikan

Namun lain ladang lain belalang. Wapres Kalla pada Senin (21/9/15) justru lebih dulu memastikan pemerintah bakal mengimpor beras dari Thailand, Vietnam, Brasil, dan Pakistan.

Menurutnya, impor merupakan opsi terakhir yang dipilih pemerintah supaya stok pangan mencukupi hingga akhir tahun.

Wapres menganggap stok Bulog saat itu masih kurang aman. Stok beras untuk warga miskin (raskin) di gudang Bulog kurang lebih 1,5 juta ton hingga akhir tahun. Padahal stok pangan untuk seluruh penduduk Indonesia diperkirakan 2,5 juta-3 juta ton per bulan.

Tidak kali ini saja Presiden dan Wapres berbeda pendapat. Ironisnya, justru kebanyakan pendapat Wapres yang terlaksana ketimbang pendapat Presiden. Contoh lain adalah dalam pergantian kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri usai penggeledahan kantor PT Pelindo II di Jakarta.

Mengapa pula Wapres Kalla berani menyatakan bahwa impor beras itu demi rakyat, bukan demi menjaga citra segelintir orang? Apakah sesungguhnya Kalla is the real President?

Di luar itu, apakah di balik Wapres Kalla ada para pemburu rente? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, impor beras tersebut akan menguntungkan para pemburu rente, terutama mafia beras yang selama ini begitu mudah mengatur tata niaga dan harga komoditas makanan pokok rakyat Indonesia ini. (43)

— Suharto Wongsosumarto, alumnus Fakultas Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/keruntuhan-pertahanan-pangan/

Desa Mandiri Benih Dukung Kedaulatan Pangan

Senin,30 November 2015

Pemerintah juga perlu membangun sekolah lapang pemuliaan tanaman dan penangkaran benih.

JAKARTA - Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan, rencana Kementerian Pertanian membangun 1.000 desa mandiri benih dapat menjadi proyek percontohan atau pilot project untuk mewujudkan cita-cita kedaulatan pangan.

Oleh karena itu, kata Dwi, pemerintah perlu segera melaksanakan program itu dan memberikan pendampingan, perlindungan, pemberdayaan dan pengakuan karya petani. Di samping itu, lanjut Dwi, pemerintah juga perlu membangun sekolah lapang pemuliaan tanaman dan penangkaran benih.

Dwi mengatakan, pemerintah perlu juga melibatkan petani dan akademikus yang telah memiliki pengalaman sebagai penyuluh pertanian. "Mereka bisa memberikan sumbangan sangat besar dalam pembangunan pertanian," kata Dwi, di Jakarta, Minggu (29/11).

Menurut Dwi, rencana membangun desa mandiri benih dapat menjadi salah satu cara untuk mewujudkan kedaulatan pangan. "Melalui cara tersebut kebutuhan pupuk dan benih lebih terjamin karena semakin banyak produsen atau bahkan petani sendiri yang menyediakan," ujarnya.

Dwi menjelaskan, Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) memiliki program konservasi dan pengembangan tanaman lokal untuk menyelamatkan dan mengembangkan varietas benih. Program ini melibatkan ribuan petani.

Melalui program itu, kata Dwi, AB2TI berhasil menyelamatkan 430 varietas lokal padi, 42 varietas jagung, 70 varietas kedelai, 72 varietas palawija, 60 varietas hortikultura, 177 jenis tanaman. Salah satu contohnya adalah benih IF8 (Indonesian Farmer No. 8) yang telah digunakan dan terbukti meningkatkan produktivitas sebesar 56 persen.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Hasil Sembiring mengatakan, anggaran sebesar Rp 190 miliar disiapkan pada tahun 2015 untuk membangun 1.000 desa mandiri benih. Anggaran itu, lanjut Hasil, digunakan untuk menebar benih di 32 provinsi.

Hasil mengatakan, dua provinsi yang mendapatkan alokasi paling besar adalah Jawa Barat dan Jawa Tengah yang masing-masing mendapatkan bantuan sebesar Rp 10,5 miliar. Kedua provinsi itu, lanjut Hasil, diharapkan bisa menjadi daerah produsen benih pangan.

Sebelumnya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan, program desa mandiri benih akan sangat membantu petani untuk mendapatkan jaminan suplai benih. Tidak hanya itu, lanjut Amran, petani di setiap daerah diharapkan juga dapat meningkatkan produksinya melalui program ini.

Amran mengatakan, Kementerian Pertanian juga mengajukan anggaran Rp 1,02 triliun pada tahun 2016 untuk subsidi benih padi inbrida, hibrida dan kedelai. Anggaran sebesar itu, kata Amran, bisa digunakan untuk pengadaan benih di atas lahan seluas 4 juta hektare.

http://www.sinarharapan.co/news/read/151130012/desa-mandiri-benih-dukung-kedaulatan-pangan

Peran Bulog Minta Diperluas

Senin, 30 November 2015

Ketahanan Pangan I Gudang dan “Cold Storage” Bulog Minta Segera Dibangun

BOGOR - Pemerintah diminta memperkuat peran Perum Bulog dengan mengintegrasikan BUMN tersebut dalam Badan Ketahanan Pangan Nasional yang pembentukannya telah diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Integrasi Bulog dalam Badan Ketahanan Pangan, bukan hanya sebagai operator, namun juga pengambil kebijakan pangan sesuai dengan kewenangan yang diberikan.

“Pemerintah tidak perlu membuat lembaga baru untuk pembentukan Badan Ketahanan Pangan Nasional, cukup menaikkan kelas Bulog menjadi Badan Ketahanan Pangan, sehingga perusahaan negara tersebut bisa lebih leluasa dalam menstabilkan harga pangan,” kata Wakil Ketua Komisi IV DPR, Herman Khaeron saat media gathering dengan Forum Wartawan Bulog di Bogor, akhir pekan kemarin.

Herman menyatakan, pembentukan badan otoritas pangan (BOP) ini adalah Bulog yang ditambah dengan Badan Ketahanan Pangan (BKP) yang selama ini di bawah Kementerian Pertanian (Kementan).

Skema tersebut, lanjutnya, sangat memungkinkan karena Buloglah satu-satunya institusi pangan di Indonesia yang memiliki jangkauan yang sangat luas di daerah melalui kadivre dan kasubdivre.
“Ini spirit yang sudah kami dengungkan saat pembentukan UU Pangan waktu itu. Dengan menjadi LPNK (Lembaga Pangan Non-Kementerian), Bulog memiliki basis APBN sehingga memiliki keleluasaan anggaran, tidak seperti sekarang dilepas kepalanya tapi dipegangi buntutnya,” ujar dia.

Menurut dia, seharusnya, pembentukan BOP paling lambat dilakukan 17 November tahun ini atau tiga tahun sejak UU Pangan diundangkan. Di Kementerian PAN-RB sendiri sudah diagendakan sejak 2014, namun nyatanya hingga kini belum terbentuk.

“Baru kemarin setelah kami kirim surat teguran ke Presiden, Kementan dan Kementerian PAN-RB membentuk tim untuk pembentukan BOP. Kami ingatkan agar nantinya BOP ini benar-benar seperti spirit awal dengan menaikkan kelas Bulog, bukan yang lain,” katanya.

Payung Hukum
Direktur Utama Perum Bulog, Djarot Kusumayakti, meminta pemerintah segera memberikan payung hukum untuk memperkuat peran Bulog dalam menstabilkan harga pangan, tidak hanya terbatas pada beras.

Dia menyatakan, komoditas bahan pokok tidak hanya beras, sementara keterbatasan wewenang yang dimiliki mempersempit peran Perum Bulog sebagai stabilisator. “Untuk itu, kewenangan yang ada pada Perum Bulog masih harus ditingkatkan untuk dapat menjalankan peran strategisnya sebagai penjaga stabilitas harga,” tegasnya.

Menurut dia, Bulog siap jika memperoleh kewenangan untuk mengamankan harga kebutuhan bahan pokok selain beras. Terkait itu sejumlah infrastruktur penunjang seperti gudang-gudang, cold storage, drying center dan sebagainya direncanakan akan mulai dibangun pada 2016. “Pembenahan dan persiapan infrastruktur yang ideal terus kita upayakan,” ujarnya. sdk/E-9

http://www.koran-jakarta.com/?39313-peran-bulog-minta-diperluas

Senin, 30 November 2015

Harga Beras di Pasar Mulai Naik

Senin, 30 November 2015

JAKARTA, KOMPAS — Memasuki awal musim hujan atau musim paceklik 2015, harga beras terus bergerak naik. Penggilingan padi mulai kesulitan bahan baku dan sebagian lain tidak lagi beroperasi. Di tingkat konsumen, harga beras sangat tinggi.

Menurut Bambang Fajar, pengusaha penggilingan padi di Lebak, Banten, saat ini harga gabah di tingkat petani sangat tinggi. "Panen masih ada, tetapi sedikit. Banyak penggilingan padi yang kesulitan gabah untuk digiling," ujar Bambang, Minggu (29/11), di Lebak.

Kalaupun sekarang masih ada yang dipanen, gabahnya sangat basah. Jika dijemur menjadi gabah kering giling (GKG), susutnya mencapai 30 persen. Selain itu, tidak ada matahari.

Untuk kualitas gabah basah, harganya yang berkisar Rp 4.800-Rp 5.000 per kilogram (kg) tergolong tinggi karena jika gabah basah dikonversi ke GKG, harga jualnya di atas Rp 6.000 per kg. Untuk gabah simpan petani, harganya sudah mencapai Rp 5.500 per kg.

Menurut Syafei, pengusaha penggilingan padi di Lampung, kalaupun ada yang murah, itu hanya beras varietas Muncul. "Beras varietas Muncul lama masih Rp 8.000 per kg, tetapi kualitasya berkurang," ujarnya.

Di Lampung, penggilingan padi tidak kesulitan bahan baku karena petani di sana umumnya petani pemilik lahan. Setelah panen, mereka menyimpan gabah di rumah, lalu menjualnya saat musim hujan, karena tidak terlalu dikejar kebutuhan.

"Petani yang kaya bisa menyimpan gabah sampai 20 ton, yang biasa saja bisa 10 ton," lanjutnya.

Penginderaan jauh

Terkait dengan data pangan, penginderaan jauh lahan persawahan di Indonesia menggunakan satelit telah dirintis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). "Dari data citra satelit kemudian dikembangkan model fase pertumbuhan padi dan disusun indeks vegetasi," kata Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lapan M Rokhis Komarudin.

Pada masa awal, Lapan menggunakan citra satelit Landsat milik Badan Riset Kelautan dan Atmosfer Amerika Serikat (NOAA) untuk mengetahui fase pertumbuhan padi. (MAS/YUN)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/151130kompas/#/18/

Jumat, 27 November 2015

Data Tidak Akurat, Anggaran Membengkak

Jumat, 27 November 2015

JAKARTA, KOMPAS — Data produksi pangan yang tidak akurat berdampak luas terhadap dunia usaha, pelambatan pertumbuhan ekonomi, lonjakan harga pangan, dan pembengkakan anggaran. Akibatnya, program kemandirian pangan menjadi salah sasaran.

Menurut pengamat pertanian Husein Sawit, Kamis (26/11), di Jakarta, basis program bantuan dan subsidi pertanian, mulai dari pupuk, benih, obat-obatan, alat dan mesin pertanian, hingga pembangunan infrastruktur pertanian, adalah luas tanam atau luas panen. ”Ketika data luas panen dilebihkan, anggaran juga mengikuti,” katanya.

Menurut Husein, kondisi itu menciptakan penggelembungan anggaran. Lebih lanjut ia mengatakan, data pangan yang tidak akurat memiliki implikasi lain yang sangat luas. Dalam hal ketersediaan pangan, misalnya, karena produksi dianggap berlebih, kebijakan impor terlambat dilakukan. Akibatnya, harga beras naik tinggi seperti sekarang.

Sutarto Alimoeso, Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia yang juga mantan Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan), menyatakan, ketidakakuratan data produksi padi berdampak pada ketidakefisienan produksi beras.

Sutarto mengungkapkan, ketidakakuratan data produksi pangan, seperti padi, sudah berlangsung lama. Bahkan, saat dia menjabat Direktur Jenderal Tanaman Pangan (2006-2009), penghitungan data luas panen yang berlebih sudah terjadi.

Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia Singgih Januratmoko mengatakan, data produksi pangan yang tidak akurat, seperti data jagung, mengakibatkan kebijakan tata niaga terganggu. Pasokan jagung yang kurang di tengah ketatnya kebijakan impor memicu kenaikan harga jagung.

Kepala Bidang Pakan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk Harwanto menambahkan, data produksi pangan yang tidak akurat mengacaukan perencanaan usaha pakan ternak. Perusahaan pakan ternak tidak mendapat kepastian pasokan bahan baku pakan. Jagung sulit didapat sehingga menjadi rebutan dan harga melambung.

Sutarto mengusulkan, saatnya perbaikan data itu dilakukan, apalagi sebelumnya ada survei independen dari Jepang. Kendala saat itu, Badan Pusat Statistik (BPS) tidak punya anggaran cukup untuk memperbaiki data itu.

Memang surplus

Menanggapi ketidakakuratan data produksi pangan, Dirjen Tanaman Pangan Kementan Hasil Sembiring mengatakan, produksi padi Oktober 2014-Oktober 2015 memang surplus. Indikasinya, stok beras Perum Bulog pada Oktober 2014 sebesar 1,7 juta ton beras dicapai melalui tambahan impor 800.000 ton. Sementara Oktober 2015, tanpa penyerapan optimal puncak panen raya Januari-Mei, stok Perum Bulog mencapai 1,7 juta ton beras tanpa impor beras.

Padahal, pada 2015 terjadi pertambahan jumlah penduduk yang mengonsumsi beras sebanyak 3,7 juta jiwa (setara 460.000 ton). Hal ini membuktikan, dalam kondisi El Nino sangat kuat, kinerja produksi 2015 meningkat signifikan paling tidak 1,26 juta ton beras dibandingkan 2014.

Saat ini, stok beras Perum Bulog masih mencapai 1,3 juta ton dan pasokan di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, masih normal.

”Kami heran, kalau produksi naik, data dipersoalkan, tetapi jika data produksi turun, tidak dipersoalkan,” katanya.

Tanggung jawab BPS

Hasil Sembiring mengatakan, BPS harus bertanggung jawab terhadap data produksi pangan yang diterbitkan karena BPS mengumpulkan data mulai dari kantor cabang kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga pusat.

Selanjutnya, Kementan mendapatkan data dari BPS pusat sehingga sebenarnya tidak ada data yang diterbitkan Kementan.

Kementan mempunyai mandat produksi, sedangkan data statistik mandat BPS.

”Pertanyaannya, mengapa akurasi data produksi pangan yang dikumpulkan secara berjenjang dari level bawah, selanjutnya dikirim ke BPS kabupaten, BPS provinsi, dan BPS pusat secara daring masih diragukan,” ucapnya.

Beberapa tokoh petani di wilayah Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat, yang ditemui kemarin menyarankan, validasi data pangan oleh pemerintah perlu dilakukan dengan melibatkan petani atau gabungan kelompok tani di daerah-daerah penghasil beras. Kelompok tani itulah yang memiliki data paling riil karena mengetahui langsung dari petani. (REK/MAS)

Rabu, 25 November 2015

Indonesia Nyaris Mendekati Keadaan di Era Nabi Luth atau Nabi Nuh

Selasa, 24 November 2015



RMOL. Melalui Pilkada langsung yang akan digelar Desember 2015, epidemi kerusakan moral yang ditularkan para bandit politik masuk menjangkit banyak pihak. Mulai yang ada di dalam kampus,  masjid, gereja dan dan berbagai tempat ibadah lainnya.

"Padahal, tempat-tempat itu seharusnya steril dari politik uang," kata Haris Rusly, aktivis Petisi 28 dalam keterangan pers yang diterima RMOLJakarta, Selasa (24/11).

Epidimi kemunafikan dan kerusakan moral  juga ditularkan oleh para bandit politik yang tidak teguh dalam memegang janji politik.

"Sebagai contoh adalah ketika Presiden Joko mengatakan tidak akan meng-impor beras, namun di saat yang sama kapal yang mengangkut beras impor dari Vietnam dan Thailand bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok," kata dia.

Demikian juga ketika Presiden Joko menyerukan revolusi mental, namun di saat yang sama merusak mental masyarakat melalui memberi teladan sebagai pemimpin yang ingkar janji dan bergantung pada modal dan industri asing.

"Hal lain, ketika di saat kampanye. Saat itu Partai Nasdem melalui Ketua Umum-nya Surya Paloh mengatakan mendukung Resolusi Jihad NU yang menyerukan mengoreksi sistem Pilkada langsung yang telah merusak tatanan moral, sosial dan politik, yaitu dengan mengembalikan Pilkada melalui DPRD. Namun ketika sidang paripurna DPR-RI yang mengesahkan UU Pilkada melalui DPRD, justru Partai Nasdem yang pertama kali mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan UU yang sesuai program Partai Nasdem tersebut," papar Haris.

Dalam kasus yang lainnya, ketika di saat kampanye, Prabowo Subianto sebagai Capres pidato berapi-api tentang bocornya kekayaan negara karena dirampok oleh para bandit politik yang bersekutu dengan kekuatan asing, namun saat ini Prabowo juga tidak bersikap tegas ketika berhadapan dengan terungkapnya konspirasi melalui  percakapan antara Ketua DPR Setya Novanto dan Riza Chalid dengan Maroef Sjamsoeddin dari pihak Freeport.

"Meluasnya epidemi kerusakan moral, kerakusan dan kemunafikan tersebut membawa kita pada kesimpulan tentang keadaan bangsa Indonesia saat ini yang nyaris mendekati keadaan di era Nabi Luth atau Nabi Nuh tentang sebuah bangsa yang dimusnahkan oleh Tuhan karena mayoritas masyarakatnya terjangkit epidemi yang merusak dan tidak terselamatkan lagi dengan cara-cara politik," kata dia was-was.

Agar bangsa Indonesia selamat dari hukuman Tuhan yang Maha Kuasa, maka kita membutuhkan bangkitnya generasi baru dan lahirnya kekuatan baru yang berpegang teguh pada Pancasila sebagai nilai-nilai (nilai Ketuhanan, Kemanusian, nilai-nilai Persatuan dan Kebersamaan, nilai-nilai Musyawarah-Mufakat dan Keadilan Sosial).

Bukan Pancasila sebagai 'kepentingan' dan 'tameng' yang digunakan oleh sekelompok orang  untuk merampok dan menjual negara sebagaimana yang dicontohkan oleh sejuamlah elite politik tua juga politisi muda Parpol yang telah membusuk secara moral. [arp]

Selasa, 24 November 2015

Mendag Kejar MoU Impor Beras Pakistan, Upaya Kementan dan Bulog?

Senin, 23 November 2015

Upaya yang dilakukan instansi yang terkait dengan pasokan beras kerap bertentangan

MANILA, JITUNEWS.COM- Digadang memiliki kualitas beras yang sama dengan Vietnam dan Thailand, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag), tengah mengejar MoU impor beras asal Pakistan. Bahkan, beras asal Pakistan ini diperkirakan bakal masuk ke dalam negeri pada tahun 2016.
"Kita masih kejar MoU dengan Pakistan supaya ada payung G to G. Setelah itu, baru Perum Bulog bisa mengirim tim inspeksi dan melakukan verifikasi serta negosiasi," kata Menteri Perdagangan (Mendag), Thomas Lembong, dikutip antaranews, Senin (23/11).
Berdasarkan informasi yang diterima dari Duta Besar Pakistan, kata Thomas, Pakistan diperkirakan sanggup memasok beras sebanyak 500.000 ton. Namun, beras impor tersebut kemungkinan tidak bisa masuk ke Indonesia pada tahun ini (2015) dikarenakan waktu hingga akhir tahun, sudah terbilang sempit.
Jika impor menjadi langkah pihak Kemendag, seperti apa upaya Kementerian Pertanian (Kementan) dan Bulog untuk menjaga pasokan beras dalam negeri? Dari pihak Kementan, Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman berkali-kali menyayangkan keputusan pemerintah yang membuka kran impor. Padahal pihaknya telah berupaya keras meningkatkan produktivitas padi dalam negeri.
Salah satunya adalah dengan memprioritaskan pemanfaatan varietas padi hibrida, serta menambah anggaran pertanian untuk beberapa sentra penghasil padi di Indonesia. "Kita tidak bisa bertahan dengan hanya menanam varietas yang hasilnya standar 7-8 ton. Karena itu, kita harus prioritaskan pada benih varietas unggul yang hasilnya memuaskan, 11 ton atau lebih. Kita akan prioritaskan pada panen yang akan datang," ujar Menteri Amran, ketika mengikuti panen padi varietas Hibrida Bernas Prima 3 dan Super 3, di Kabupaten subang, Jawa Barat.
Sementara itu untuk Bulog, dikatakan Deputi Bidang Infrastruktur Bisnis Kementerian BUMN, Wahyu Kuncoro, untuk meningkatkan kuota cadangan beras dalam negeri, Bulog memiliki lima strategi yang bakal diterapkan. Pertama adalah menggarap pertanian dengan mengusulkan pemerintah agar membuka lahan baru.
Kedua, modernisasi penambahan sarana penyimpanan. Yang mana kapasitas penyimpanan yang dimiliki Bulog hanya 3,9 juta ton atau setara 6-7 persen. "Ini yang mau kita tambah menjadi 15 persen." ujar Wahyu, dikutip tempo, Senin (23/11).
Yang ketiga, Bulog akan menyerap hasil panen petani secara maksimal. Keempat, pengembangan jalur distribusi pangan. "Yang terakhir adalah penguatan fungsi Bulog. Di mana Bulog juga akan berkoordinasi dengan BUMN yang punya fungsi logistik dan distribusi," ucap Wahyu.

http://www.jitunews.com/read/25789/mendag-kejar-mou-impor-beras-pakistan-upaya-kementan-dan-bulog

Senin, 23 November 2015

DPR: Jokowi Belum Bertindak Sebagai Jenderal Pangan

Minggu, 22 November 2015

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS Akmal Pasluddin menilai hingga saat ini komitmen pemerintah menuju kedaulatan pangan masih lemah. Hal tersebut tercermin dari belum terpenuhinya amanat UU Nomor 18/2012 tentang Pangan untuk membentuk Badan Pangan Nasional Nasional (BPN).

Padahal, sesuai Pasal 129, lembaga tersebut sudah harus terbentuk paling lambat 3 (tiga) tahun sejak UU tersebut disahkan. Undang-Undang pangan ini diundangkan 17 Nopember 2012, artinya lembaga Badan Pangan Nasional sudah harus terbentuk maksimal 17 Nopember 2015.

"Dengan tidak dijalankan amanat undang-undang ini, maka pemerintah telah menurunkan kewibawaan undang-undang," kata Akmal, Ahad, (22/11).

Ia juga menilai koordinasi kelembagaan untuk mengatasi masalah pangan belum maksimal. Persoalan pangan saat ini dikelola oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP) di Kementerian Pertanian, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Badan Urusan Logistik (Bulog).

Selain itu, juga terdapat Dewan Ketahanan Pangan (DKP), yang berfungsi untuk mengkoordinasikan 16 Kementerian dan 2  Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK) dengan diketuai langsung oleh presiden dengan Ketua Harian Menteri Pertanian dan ex-officio adalah Kepala BKP.

"Presiden saat ini belum berlaku sebagai Jenderal Pangan. Pimpinan tertinggi negara yang seharusnya mampu menjadi ikon untuk mengatasi permasalahan pangan, tidak mampu memerankan diri secara optimal," jelasnya.

Sampai saat ini permasalahan pangan masih sangat rentan terutama terjadi gangguan alam maupun serangan impor dari luar negeri. Makanya  pemerintah harus menjalankan segera amanat UU untuk membentuk Badan Pangan Nasional sebagai bagian dari komitmen mewujudkan kedaulatan pangan.

“Pemerintah harus menunjukkan kekuatan komitmen untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Komitmen ini menjadi harapan agar dapat memberi solusi untuk menyatukan semua tugas dan fungsi yang ada di kementerian/lembaga sehingga, tumpang tindih tugas dan fungsi selama ini dapat dihilangkan," ujarnya.

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/11/22/ny76sb330-dpr-jokowi-belum-bertindak-sebagai-jenderal-pangan

Jumat, 20 November 2015

Banyumas Tolak Impor Beras

Kamis, 19 November 2015
     
Warga Banyumas tidak perlu khawatir terhadap kemungkinan harga beras semakin melonjak.


BANYUMAS-Bupati Banyumas Achmad Husein menolak beras impor masuk ke wilayahnya. Ia menegaskan, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, surplus beras.

"Saya kan bawahan, kalau Gubernur Jateng bilang seperti itu (menolak beras impor), saya juga ikut. Kalau atasanya bilang A, bawahannya 'ngomong' Z, ya tidak seirama," katanya di Desa Pegalongan, Kecamatan Patikraja, Banyumas, Kamis (19/11).

Ia mengatakan bahwa warga Banyumas tidak perlu khawatir terhadap kemungkinan harga beras semakin melonjak maupun terjadinya kelangkaan bahan pangan itu.

Disinggung mengenai stok beras di gudang Bulog Subdivisi Regional Banyumas yang menipis, dia mengatakan bahwa ketersediaan beras di kabupaten itu tetap aman karena pada bulan Februari sudah ada petani yang panen.

Bahkan dalam kesempatan tersebut, dia memanggil Kepala Bulog Subdivre Banyumas Setio Wastono yang juga sedang berada di tempat itu.

Setelah mendapat penjelasan dari Setio Wastono terkait stok beras di gudang Bulog Banyumas, Bupati menegaskan persediaan beras untuk Kabupaten Banyumas dalam posisi aman.

"Tetap aman, karena bulan Februari sudah ada petani yang mulai panen, jadi aman. Kabupaten Kebumen kemarin malah dipasok dari Banyumas, berarti petaninya makmur," katanya.

Selain itu, kata dia, beras untuk keluarga sejahtera (rasta) yang sebelumnya hanya 13 kali dalam satu tahun akan ditambah menjadi 14 kali.

Keterangan sama ditegaskan Kepala Bulog Subdivre Banyumas Setio Wastono. Ia mengatakan bahwa stok beras "public service obligation (PSO)" maupun beras premium di gudang Bulog masih mencukupi kebutuhan hingga bulan Februari 2016.

Sebelumnya, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga menolak beras impor mengkhawatirkan pun karena dikhawatirkan akan merugikan petani lokal.

http://www.sinarharapan.co/news/read/151119054/banyumas-tolak-impor-beras

Kamis, 19 November 2015

Ganjar tolak beras impor masuk ke Jateng

Rabu, 18 November 2015

Klaten (ANTARA News) - Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menolak beras impor dari negara lain masuk ke Provinsi Jateng dengan alasan apapun karena dikhawatirkan akan merugikan petani lokal.

"Impor beras jangan sampai masuk ke Jateng, terus terang saya tidak setuju tapi kalau pemerintah pusat punya alasan lain, saya menghormati," kata Ganjar di sela kunjungan kerja di Kabupaten Klaten, Rabu.

Ganjar mengungkapkan bahwa masuknya beras impor ke Jateng akan merusak harga beras yang ada di pasaran sehingga merugikan para petani.

Menurut Ganjar, berdasarkan hasil penghitungan yang dilakukan pihaknya, stok beras di Jateng aman hingga April 2016.

"Surplus beras di Jateng itu sekitar 3 juta ton lebih, masih cukup hingga April tahun depan," ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Ganjar mengaku sudah menginstruksikan Badan Ketahanan Pangan untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak guna mencegah masuknya beras impor ke Jateng.

Sebelumnya, Kepala Badan Ketahanan Pangan Jawa Tengah Whitono mengatakan bahwa stok beras di provinsi setempat mencukupi hingga akhir 2015 karena produksi beras mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya.

"Produksi beras di Jateng pada 2015 diperkirakan mencapai 10,6 juta ton atau mengalami peningkatan mencapai 10,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya sehingga mencukupi dan tidak butuh beras impor, sedangkan cadangan beras di Jateng saat ini masih mencapai sekitar 1 juta ton.

Menurut dia, cadangan beras sebanyak itu terdapat di rumah tangga petani, konsumen, penggilingan, maupun pedagang.

"Kebutuhan besar di Jateng sekitar 250 ribu ton per bulan, artinya selama empat bulan ke depan masih aman," katanya.

http://www.antaranews.com/berita/530175/ganjar-tolak-beras-impor-masuk-ke-jateng

Selasa, 17 November 2015

Mendag Lembong Dituding Dikendalikan Mafia Beras

Senin, 16 November 2015

JAKARTA – Pemerintah yang akhirnya mendatangkan beras dari Vietnam mendapat reaksi keras. Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Subagyo menuding Menteri Perdagangan Thomas Lembong tunduk pada tekanan mafia beras.

Karena itu, dia mendesak Thomas Lembong mundur atau Kementerian Perdagangan dibubarkan. ”Sikap pemerintah tidak konsisten. Jangan-jangan Menteri Perdagangan terlibat mafia impor beras,” ujar politikus Partai Golkar ini, Minggu (15/11). Hal itu diungkapkan Firman menanggapi pemerintah yang bersikeras mengimpor beras.

Setelah Vietnam dan Thailand, pemerintah tengah mengambil opsi impor beras lagi dari Pakistan dan Brasil. Keputusan itu diambil untuk memenuhi kuota 1,5 juta ton. Dari rencana pemerintah mengimpor beras 1,5 juta ton hingga akhir tahun tersebut, baru satu juta ton yang bisa dipenuhi dari Thailand dan Vietnam.

Target 1,5 juta ton akan sulit tercapai, mengingat Myanmar dan Kamboja juga tidak memiliki stok ekspor. Karena itu, opsinya impor dari Pakistan dan Brasil. Masalah beras impor itu, menurut Firman, hendaknya pemerintah jangan saling silat lidah.

”Harus tegas kalau memang cadangan masih cukup buat apa impor,” ujarnya. Menteri Pertanian, lanjut Firman, saat dirinya menanyakan stok beras nasional, menjawab bahwa pengadaan beras masih bisa dari dalam negeri.

Terlebih, wilayah Lampung panen raya. Presiden Jokowi juga sudah menegaskan, tidak akan dan tidak ada impor beras. ”Tetapi kenapa antarpejabat pemerintah, baik Wapres Jusuf Kalla maupun Presiden Jokowi berbeda pendapat,” tanya Firman. Namun kenyataannya masih memaksakan impor beras.

Intervensi

”Ada apa gerangan? Jangan sampai ada intervensi dari mafia beras, karena impor sangat menjanjikan keuntungan.” Hendaknya para pejabat pemerintah tidak membuat kebijakan yang menyakitkan rakyat, khususnya petani. Karena itu, Menteri Perdagangan juga harus tegas.

”Ganti Menteri Perdagangan sama saja selalu memihak kapada kepentingan mafia beras, bukan petani. Kalau selalu seperti itu sebaiknya mundur atau kementerian dibubarkan saja,” ujarnya. Lebih khusus, dia meminta Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menolak beras impor masuk Jateng.

Pasalnya, daerah ini masih surplus beras. Pendapat berbeda diungkapkan para pedagang beras di Pasar Induk Cipinang. Ujang Daruri, salah satunya. Bahkan menurut pemilik Toko UD Beras Cianjur ini, langkah pemerintah mengimpor beras Vietnam itu sebenarnya sedikit terlambat.

Sebab, jika hanya mengandalkan pasokan beras petani lokal yang terkena dampak kemarau panjang, harga beras diprediksi bakal melonjak. ”Beras kebutuhan pokok, mau mahal yang namanya makan buat harus dibeli. Sementara ada El Nino kan belum jelas parahnya sampai mana. Kalau tidak ada stok, bukan hanya naik, pasti sudah ganti harga namanya,” ungkapnya.

Kedatangan beras impor Vietnam ke gudang Perum Bulog itu juga membuat para pedagang tidak berani lagi menimbun dagangan untuk mempermainkan harga. Sebab, ada cadangan stok sehingga harga beras diprediksi stabil hingga puncak panen gabah tahun depan. (di,dtc – 61)

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/mendag-lembong-dituding-dikendalikan-mafia-beras/

Impor Beras, Pukul Produksi Petani!

Senin, 16 November 2015

Jakarta – Pemerintah telah memastikan untuk melakukan impor beras dari Vietnam pada akhir tahun 2015, kebijakan tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan kerugian bagi petani. Sementara pihak Bulog beralasan bahwa beras impor dari Vietnam digunakan hanya untuk menghadapi kondisi El Nino seperti yang terjadi saat ini.

NERACA

“Pemerintah harus berhati-hati dalam memutuskan untuk melakukan kebijakan impor beras, mengingat banyak pengaruh yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut. Pemerintah hendaknya berpihak kepada kepentingan ekonomi nasional, terutama para petani yang sekarang sedang menikmati harga yang relatif stabil, sehingga daya beli petani bisa terus membaik,” ujar Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD)-RI Farouk Muhammad di Jakarta, akhir pekan lalu (14/11).

Pemerintah beralasan, kebijakan impor tahun 2015, hanya sebagai cadangan Badan Urusan Logistik (Bulog), diantaranya untuk mengantisipasi dampak El-Nino dan bencana asap yang menimpa beberapa sentra produksi pangan di Sumatra dan Kalimantan yang diprediksi mempengaruhi hasil panen petani.

Farouk menjelaskan, keresahan petani terhadap kebijakan impor beras sangat beralasan, dengan tingkat produksi beras hingga akhir tahun 2015 akan mencapai 75.5 juta ton, pasokan beras ke Pasar Induk Cipinang seabagai barometer pasokan beras di seluruh pasar di Indonesia juga masih relatif lancar, bahkan pada bulan oktober pasokan mencapai 80 ribu ton. Jadi, secara produksi dan pasokan hingga akhir tahun 2015, masih relatif aman.

“Pemerintah menjamin beras impor tidak masuk pasar, tetapi tentu saja kebijakan ini akan menjadi tekanan psikologis tersendiri bagi petani dan pedagang. Sudah bisa dipastikan bahwa pembelian gabah petani oleh Bulog akan menurun, yang pada akhirnya berujung pada kerugian bagi petani,” tegas Farouk dalam keterangan tertulisnya yang diterima Neraca.

Mantan Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) itu mengingatkan, pemerintah harus segera memperbaiki sistem pengadaan beras nasional dengan mengubah aturan-aturan yang membelenggu seperti harga pokok petani (HPP) yang hanya satu harga, mengingat pasar beras berjalan mekanistik dan dinamis. Selain itu, kebijakan impor beras harus selalu berpedoman pada UU N0 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Pasal 36 ayat 1 bahwa “Impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri”, ujarnya.

Ancaman El Nino

Sebelumnya Dirut Perum Bulog Djarot Kusumayakti mengatakan, beras impor dari Vietnam digunakan hanya untuk menghadapi kondisi El Nino seperti yang terjadi saat ini.

“Artinya kalau negeri ini punya cadangan yang memadai, menghadapi kondisi yang seperti ini, El Nino dan lain-lain. Saya kira sesuatu yang aman,” ujarnya di kantor Kemenko bidang Perekonomian, Jakarta, belum lama ini.

Menurut Djarot, beras impor Vietnam yang sudah masuk ke Indonesia merupakan tahap awal dari total beras impor sekira satu juta ton. Sehingga, akan ada beras impor yang akan kembali masuk pada tahun depan. “Bertahap. Satu kapal ini isi berapa, yang kecil itu isi paling 4-5 ribu ton. Kalau yang besar paling 20-30 ribu ton. Kan tahapan. Ini tahap awal. Wong tahapannya banyak,” ujarnya.

Djarot menambahkan, beras impor Vietnam yang masuk merupakan jenis beras medium. Namun, untuk kepastian jumlah beras impor yang sudah masuk merupakan wewenang pemerintah. Dia berdalih tidak mengetahui, karena Bulog hanya menunggu pemerintah.

Selain itu, Kementerian Pertanian tak memungkiri adanya impor beras. Namun, Kementan menjamin beras impor tidak akan merugikan para petani. Pasalnya, pemerintah telah membuat regulasi supaya beras impor tidak membuat harga beras di petani jatuh.

“Sudah diatur oleh pemerintah supaya jangan sampai memukul harga di petani lokal, pemerintah memperhatikan itu,” kata Dirjen Tanaman Pangan Kementan Hasil Sembiring, di sela-sela rapat kerja dengan Komisi IV DPR, belum lama ini.

Setelah pemerintah mengakui telah mengimpor beras dari Vietnam, harga beras di dalam negeri memang menurun. Tetapi menurut Hasil, penurunan tersebut hanya terjadi di pedagang, tidak sa‎mpai ke petani.

Namun, upaya pemerintah mengimpor beras secara bertahap dari Vietnam ternyata belum mampu menurunkan harga beras di pasaran. Secara umum pasokan beras di pasaran masih mengalami kelangkaan.

Ketua Umum Persatuan Pedagang Pasar Hasan Basri mengatakan, stok beras di Pasar Induk Cipinang saat ini hanya terdiri dari beras kualitas medium dan premium. Sementara, stok beras kualitas rendah sudah hilang di pasaran sejak dua bulan terakhir.

”Harga beras kelas medium ke atas ini seharusnya Rp8.000/kg tapi karena stok yang ada sekarang di lapangan hanya beras kelas medium ke atas saja, maka harganya naik menjadi Rp9.000/kg,” ujarnya, pekan lalu.

Hasan menjelaskan, karena beras merupakan barang inelastis, maka konsumen yang biasa membeli beras kualitas rendah, seperti warung makan, terpaksa harus membeli beras kualitas medium ke atas.

Namun, mereka mendapatkan beras dengan jumlah yang lebih sedikit dari biasanya. Hasan menambahkan, impor yang dilakukan pemerintah masih kurang karena pemerintah terlambat melakukan impor dari Vietnam sehingga tidak mendapatkan pasokan yang dikabarkan hingga mencapai satu juta ton.

Artinya, kelangkaan masih tetap terjadi. ”Kekurangan inilah yang bisa dimanfaatkan oleh para spekulan. Dan, kita berharap jangan sampai pemain beras ini dilepas pemerintah karena 92% beras dikuasai oleh pasar,” ujarnya. Dia meminta agar pemerintah memiliki data pangan yang akurat sehingga peristiwa seperti ini tidak terus menerus terjadi.

Dia pun menilai, pemerintah harus memahami kondisi di lapangan secara riil. Dalam hal ini Indonesia bisa disebut sedang mengalami darurat pangan. ”Dibilang stok pangan kita cukup. Di lapangan yang terjadi justru sebaliknya,” ujarnya. Pihak Perum Bulog sendiri memastikan bahwa beras impor asal Vietnam sudah mulai masuk ke sejumlah pelabuhan di Indonesia.

Secara terpisah, pengamat politik pangan Andi Sinulingga mengatakan, sesuai amanat UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Ketahanan dan Kedaulatan Pangan, perlu komando langsung dari presiden. Dia menilai, masing-masing kementerian selama ini masih bertindak dengan berlandaskan ego sektoral. ”Persoalan ini harus diambil langsung oleh presiden. Tapi karena presiden tugasnya sudah banyak, bisa dialihkan ke Wapres,” ujarnya. bari/mohar/fba

http://www.neraca.co.id/article/61553/impor-beras-pukul-produksi-petani




Impor Bukti Pemerintah Gagal Serap Beras Petani

Senin, 16 November 2015
   
INILAHCOM, Jakarta Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memandang kebijakan impor beras yang barus saja dilakukan oleh Pemerintah bukti kegagalan Badan Urusan Logitisk (Bulog) dalam menyerap produksi beras nasional.

Anggota Komisi IV DPR RI Rofi Munawar mengatakan, jika mekanisme kinerja ini terus berlanjut, sebesar apapun produksi beras nasional maka pada akhirnya hanya akan membebani petani dan menguntungkan tengkulak.

"Faktor eksternal seperti El-nino, kekeringan, besarnya alokasi beras ke bencana alam, dan operasi pasr seakan menjadi rasionalisasi efektif terkait kebijakan importasi beras yang dilakukan pemerintah. Padahal sejatinya, ini merupakan karena lemahnya faktor internal yaitu kegagalan Bulog dalam menyerap produksi petani sehingga menyebabkan cadangan beras nasional menipis, jalan paling singkat tentu saja dengan melegalisasi impor," ujar dia di Jakarta, Senin (16/11/2015).

Menurut dia, setelah bantahan dari berbagai pejabat soal impor beras, akhirnya pemerintah benar-benar memasukkan beras impor ke Indonesia. Beras asal Vietnam itu bahkan sudah mulai masuk ke Jakarta dan daerah-daerah lainnya.

Pada hari Rabu (4/11/2015), sebanyak 4.800 ton beras asal Vietnam tiba di Manado, Provinsi Sulawesi Utara. Kemudian Minggu (8/11/2015), Bulog Merauke berencana mendatangkan beras impor dari Vietnam karena persediaan menipis akibat petani yang tidak mampu memenuhi kebutuhan.

Pemerintah dengan kebijakan impor beras seakan-akan sedang menyalahkan petani Indonesia yang tidak mampu memenuhi kebutuhan beras nasional, padahal kelemahan tersebut diakibatkan dari rendahnya serapan dan lemahnya redistribusi beras lokal oleh perum Bulog.

Selain itu manajemen produksi dan stok beras nasional juga lemah, seharusnya daerah yang surplus beras kelebihan produksinya didistribusikan ke daerah yang kurang. Kebijakan impor ini menunjukan pemerintah malas untuk menghimpun, menseleksi dan mendistribusi beras nasional, karena lebih mudah dan murah melakukan impor beras dari Vietnam.

"Jika pemerintah mau berpikir jernih dan berpihak kepada petani, sebenarnya mereka pasti memiliki peta sentra produksi beras nasional dan bagaimana produksinya. Dari situ dipetakan bagaimana kondisi kebutuhan di daerah tersebut, sekiranya berlebih segera lakuan redistribusi kepada daerah yang gagal panen atau kurang baik hasilnya. Usaha jangka pendek itu bisa dilakukan, sembari dalam jangka panjang mengembalikan pola konsumsi dengan program diversifikasi pangan nasional," kata Rofi.


Prediksi el-nino sudah diketahui jauh-jauh hari, pun demikian dengan potensi kekeringan. Seharusnya ada alternative solusi yang sudah disiapakan oleh pemerintah untuk menjaga produksi beras nasional.

Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan antara lain peningkatan produktivitas padi sawah dan padi gogo, peningkatan intensitas tanam, baik pada sawah irigasi maupun tadah hujan, peningkatan pemanfaatan lahan yang tidak produktif, peremajaan sumber daya pertanian (petani dll) dan penanganan pascapanen secara tepat guna menekan kehilangan hasil serta meningkatkan rendemen beras.

"Untuk itu diperlukan peningkatan koordinasi dan interaksi dari para pemangku kepentingan mulai dari tingkat pusat sampai kecamatan, utamanya antara lembaga teknis, litbang, dan penyuluhan pertanian dalam mendukung penerapan teknologi maju," jelas Rofi. [jin]

http://ekonomi.inilah.com/read/detail/2252861/impor-bukti-pemerintah-gagal-serap-beras-petani

Senin, 16 November 2015

Menteri Perdagangan Langgar UU Pangan

Senin,16 November 2015

JAKARTA, suaramerdeka.com – Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI)Henri Saragih menyatakan, Menteri Perdagangan Thomas Lembong diduga telah melanggar undang-undang. Dia pun mendukung tuntutan agar Lembong mundur dari Kabinet Kerja, karena mengimpor beras.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Subagyo menuding Menteri Perdagangan Thomas Lembong tunduk pada tekanan mafia beras. Karena itu, dia mendesak Thomas Lembong mundur atau Kementerian Perdagangan dibubarkan.

Secara prosedural, menurut Henri Saragih, merujuk Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, tindakan impor pangan merupakan perbuatan yang melanggar. Pasalnya impor pangan hanya boleh dilakukan apabila persediaan pangan dalam negeri sudah tidak mencukupi.

Saat ini, menurut Henri, Menteri Pertanian menyatakan Indonesia masih cukup beras. “Karena itu Mendag sudah melanggar UU Pangan,” ujar Henri Saragih dihubungi suaramerdeka.com di Jakarta, Senin (16/11).

Mendag dinilai mengimpor beras tanpa perserujuan Kementan. Padahal posisi Kementan dalam urusan pangan adalah pelaksana harian Dewan Pangan Nasional (DKP) yang diketuai langsung oleh Presiden.

Terpisah, Ketua LSM Protanikita Bonang mengingatkan, dalam UU tentang Pangan, Presiden telah diperintahkan membentuk Lembaga Pangan paling lambat tiga tahun setelah UU tersebut diundangkan.

“Tiga tahun setelah diundangkan berarti Presiden mempunyai waktu beberapa minggu lagi untuk mengumumkan terbentuknya lembaga pangan,” ujar Bonang.

Masalahnya, hingga saat ini perdebatan di internal pemerintahan tentang lembaga bidang pangan ini tidak kunjung selesai. “Waktu tiga tahun saja tidak cukup bagi pemerintah untuk menyepakati nama institusinya,” tegas dia.

Mengingat batas waktu yang diamanatkan dalam UU Pangan untuk membentuk institusi pangan, Presiden Joko Widodo diminta segera menerbitkan Peraturan Presiden terkait kelembagaan dimaksud. “Sebab, kalau pada akhir November 2015 Presiden tidak juga memenuhi perintah UU Pangan, berarti Presiden Jokowi tidak menjalankan perintah UU tentang Pangan,” tandasnya.
(A Adib/CN41/SMNetwork)

http://berita.suaramerdeka.com/menteri-perdagangan-langgar-uu-pangan/

Impor Beras, Mendag Didesak Mundur

Minggu, 15 November 2015

JAKARTA, suaramerdeka.com - Sikap pemerintah yang ngotot mengimpor beras dinilai tidak konsisten. Bahkan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Firman Subagyo menuding Menteri Perdagangan Thomas Lembong ditekan oleh mafia impor ini. Oleh karena itu dia dituntut mundur atau Kementerian Perdagangan dibubarkan.

“Sikap pemerintah mencla-mencle. Jangan-jangan Menteri Perdagangan terlibat mafia impor beras ini,” ujar politikus Partai Golkar ini dihubungi Suaramerdeka.com di Grobogan, Minggu (15/11).

Hal itu diungkapkan Firman menanggapi kebijakan pemerintah  yang bersikeras mengimpor beras. Setelah Vietnam dan Thailand, pemerintah tengah mengambil opsi untuk impor beras lagi dari Pakistan dan Brasil. Keputusan itu diambil guna  memenuhi kuota 1,5 juta ton.

Dari rencana pemerintah untuk mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton hingga akhir tahun tersebut, baru sebanyak satu juta ton yang bisa dipenuhi dari Thailand dan  Vietnam.

Untuk memenuhi target 1,5 juta ton akan sulit tercapai, mengingat Myanmardan Kamboja juga tidak memiliki stok untuk ekspor. Karena itu opsinya impor dari Pakistan dan Brasil.

Karena masalah beras impor itu, Firman mengatakan pemerintah hendaknya jangan saling silat lidah. ” Harus tegas kalau memang cadangan masih cukup buat apa impor,” ujarnya.

Menteri Pertanaian, lanjut Firman,  berdasarkan konfirmasi saat dirinya menanyakan stok beras nasional,  dikatakan masih cukup; apalagi di wilayah Lampung sedang panen.

Presiden Jokowi juga sudah menegaskan, tidak akan dan tidak ada impor beras. ” Tetapi kenapa antarpejabat penerintah baik Wapres Jusuf Kalla, maupun Presiden Jokowi  berbeda pendapat,” tanya Firman.

Namun kenyataannya masih memaksakan impor beras.  “Ada apa gerangan? Jangan sampai ini ada tekanan dari para mafia impor beras yang mengintervensi karena impor beras memang sangat menjanjikan dari keuntungan yang akan di raih.”

(A Adib/ CN33/ SM Network)

http://berita.suaramerdeka.com/impor-beras-mendag-didesak-mundur/

Daerah Perketat Perdagangan Beras

Senin, 16 November 2015

DALAM merespons temuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tentang adanya praktik kartel beras di daerah sentra produksi beras, pemerintah daerah pun memperketat pengawasan perdagangan komoditas pangan utama itu di wilayah masing-masing.

Para kepala daerah juga menggandeng aparat kepolisian untuk menelusuri dugaan praktik persekongkolan sekelompok pengusaha beras yang memainkn harga.

Bupati Temanggung, Jateng, Bambang Sukarno mengaku tidak menyadari bahwa gejolak harga beras di daerahnya akibat praktik kartel.

"Kami akan mengecek dulu apakah memang ada yang memainkan beras. Jika ada, pasti akan ditindak tegas," tegasnya saat ditemui kemarin.

Kepala Kepolisian Resor Temanggung Ajun Komisaris Besar Wahyu Wim Harjanto pun menimpali pihaknya akan membantu mengawasi potensi permainan beras oleh pihak-pihak yang hanya ingin meraup keuntungan dengan cara tidak sehat.

Wakil Bupati Lembata, NTT, Viktor Mado Watun juga sudah mencium adanya kartel beras di Lembata lantaran fluktuasi harga beras di wilayahnya tidak wajar.

"Melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lembata, saya minta segera mendata penjual beras dengan harga Rp12 ribu hingga Rp15 ribu per kilogram agar bisa dikonfirmasikan," ujarnya.

Begitu pula Wali Kota Batam Ahmad Dahlan yang juga meminta polisi, dinas perdagangan, dan Bulog mengawasi distribusi beras di masyarakat, termasuk menyeret pengusaha nakal yang melakukan persekongkolan harga beras ke ranah hukum.

Untuk memutus rantai kartel beras di Sulawesi Selatan, Kepala Divre Bulog Sulsel Abdul Muis Ali mengungkapkan pihaknya selalu terjun langsung untuk membeli gabah kepada petani.

Harga yang bisa diterima petani pun menjadi cara Bulog mengatasi manipulasi kartel dalam memainkan gabah di petani.

"Jika Bulog memegang kendali pasar, sudah dipastikan kartel-kartel ini akan kewalahan dalam memainkan peredaran beras," tegasnya.

Pengamat pertanian IPB Hermanto Siregar menilai struktur pasar untuk beberapa komoditas pertanian termasuk beras ialah oligopoli, atau dikuasai hanya oleh segelintir pelaku usaha.

"Selama ini, menurut pantauan saya, belum ada tindakan yang mengarah ke upaya kartel beras. Tapi kalau memang terbukti ada yang bekerja sama menahan stok agar harga tinggi, harus segera ditindak," ujarnya ketika dihubungi, kemarin.

Jangan coba-coba
Ketua KPPU Syarkawi Ra'uf menegaskan agar para pengusaha beras tidak coba-coba memanfaatkan situasi yang serbatidak pasti terkait dengan beras.

Saat ini KPPU sedang dalam tahap pemantauan dan akan masuk ke tahap penyelidikan. Kalau ada dua alat bukti, baru diproses ke persidangan.

"Kita akan memperkarakan mereka, memberikan denda, dan mencabut perizinan usaha. Presiden Jokowi mendukung KPPU untuk mencabut izin usaha mereka," tegasnya, kemarin. (PT/HK/LN/Mus/X-10)

http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/17110/Daerah-Perketat-Perdagangan-Beras/2015/11/16

Sabtu, 14 November 2015

Pemerintah JKW Berbohong Soal Impor Beras

Jumat, 13 November 2015

Belum kering bibir Presiden Jokowi yang mengucapkan bahwa Indonesia tidak akan impor beras, ternyata hari ini 12 November 2015 di beberapa media TV disiarkan adanya impor beras dari Thailand atau Vietnam sebanyak kumulatif 1,5 juta Ton beras. Karung beras yang didatangkan dari Thailand atau Vietnam itu, sudah bermerek karung berlambang Bulog, artinya sudah ada perencanaan yang cukup panjang dalam pengimporan beras tersebut. Tentu jauh hari sebelum Presiden Jokowi meyakinkan bangsa Indonesia bahwa Pemerintah tidak akan mengimpor beras lagi karena persediaan didalam negeri cukup. Masih ingatkah anda semua ketika Jokowi ditanya para wartawan tentang dia mau dicalonkan menjadi RI-1 ada ucapan Jokowi yang sangat mendasar yaitu "nggak mikir 3x tentang Presiden RI". Nyatanya seperti apa ? Sementara itu dalam memperkuat pernyataan Presiden Jokowi, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menegaskan, pemerintah tidak akan melakukan impor beras pada 2015 sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan para petani. "Pemerintah tidak akan mengimpor beras”, tegasnya saat memberikan pidato sambutan pada musyawarah perencanaan pembangunan wilayah Keresidenan Surakarta di pendopo Kabupaten Karanganyar, Selasa (31/3/2015). Andi Amran Sulaiman mengaku berulang kali ditawari impor beras dari Thailand sebanyak 1,5 juta ton dengan harga Rp 4.000 per kilogram, sedangkan harga beras di dalam negeri mencapai Rp.8.000-Rp.12.000/kg. "Kalau impor 1,5 juta ton beras itu untungnya Rp 6 triliun, kami katakan maaf tidak akan impor beras”, ujarnya. Ia mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo selalu mengontrol terkait dengan stok beras di dalam negeri. Dari keterangan Mentan RI sendiri, ternyata harga beras di Thailand jauh lebih murah dari harga di Indonesia, artinya tingkat efisiensi dari manajemen perberasan di Thailand sudah sangat tinggi. Mengapa harga beras bisa sangat mahal di Indonesia ? Ini semua menunjukkan amburadulnya manajemen pertanian dan peternakan kita serta amburadulnya informasi data yang disediakan BPS, sehingga perencanaan juga melenceng amburadul. Mengenai jumlah beras yang diimpor, ternyata jumlahnya ada yang mengatakan 1 juta Ton, ada 1,5 juta Ton ada pula yang menyatakan total lebih kurang 4 juta ton yang akan masuk ke Indonesia. Begitu juga dari berbagai pejabat berwenang ada yang mengatakan beras diimpor dari Thailand dan ada pula yang mengatakan dari Vietnam. Semua informasi masih simpang siur yang bisa didapat dari para pejabat terkait. Inilah lambang kesemerawutan manajemen Pemerintahan Jokowi-JK yang kita saksikan didalam era keterbukaan informasi. Beras impor yang didatang dari Vietnam ini ternyata dikatakan oleh Pemerintah sendiri sebagai importasi illegal yang masuk ke Indonesia, karena perlakuan importasinya tidak dilakukan secara resmi atas persetujuan Menteri Pertanian oleh Perum Bulog serta tidak tercatat juga di Badan Pusat Statistik (BPS). Sementara kita mengetahui bahwa data yang berasal dari BPS datanya tidak akurat dan data inilah yang menjadi acuan Pemerintah untuk tidak mengimpor beras untuk tahun 2015 ini. Pada sisi lain semua masyarakat mewanti wanti panjangnya kemarau akibat ElNino sehingga bisa berdampak kepada semakin menipisnya persediaan beras Nasional. Atas wawancara awak media TV 12/11/2015, Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden, mengatakan keputusan untuk mengimpor beras adalah untuk menjaga stabilitas harga beras di pasaran. Adanya kepastian pemerintah untuk mengimpor beras dari Vietnam adalah terungkap dari media mainstream Vietnam sendiri yaitu The Saigon Time yang menyatakan telah ada kesepakatan antara Kementerian Perindustrian RI dengan Kementerian Perdagangan Vietnam dimana Vietnam telah memenangkan kontrak untuk memasok beras sebanyak 1 juta Ton ke Indonesia dan akan dikirim bertahap ke berbagai pelabuhan di Indonesia selama enam bulan mulai Oktober 2015 sampai Maret 2016. Bagaimana sebenarnya manajemen Pemerintahan Jokowi ini, Presiden Jokowi memastikan tidak akan ada impor beras dan diperkuat oleh Menteri Pertanian RI Andi Amran Sulaiman dengan mengatakan “Pemerintah Tidak Akan Mengimpor Beras”, lalu Wapres JK menyetujui adanya importasi beras. Melalui informasi yang ditayangkan The Saigon Time, bahwa Menteri Perindustrian RI telah melakukan kesepakatan untuk pembelian importasi beras dari Vietnam. Kita sebagai rakyat sekarang ini, melihat perilaku hampir semua para aparat pejabat tinggi Pemerintahan Jkw sudah tidak bisa dipercaya lagi dan mereka sangat gemar berbohong dan melakukan tontonan kemunafikan kepada rakyatnya sendiri. Masihkah ada harapan kepada perubahan yang lebih baik dari Negara Indonesia kedepan ? (Abah Pitung)

http://www.kompasiana.com/abahpitung/pemerintah-jkw-berbohong-soal-impor-beras_564520c4147b61020748c960

KPPU Ragukan Efektivitas Impor Beras untuk Meredam Harga

Jumat, 13 November 2015

Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengkritisi izin impor beras sebanyak 1,5 juta ton yang diberikan pemerintah kepada Perusahaan Umum (Perum) Bulog di penghujung tahun dengan tujuan menjaga stok beras pemerintah. Bagi KPPU, pelaksanaan impor beras tanpa memperbaiki sistem distribusi ke masyarakat tidak akan mampu meredam potensi gejolak harga.

Ketua KPPU M. Syarkawi Rauf menyebut hampir setiap tahun, pemerintah berhadapan dengan masalah di sektor hulu dan hilir pangan yang selalu berujung pada minimnya pasokan mengakibatkan harga melambung tinggi di masyarakat.

Oleh karena itu, KPPU menjadikan sektor pangan menjadi salah satu dari lima sektor prioritas yang secara spesifik diawasi ada tidaknya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Syarkawi menilai meski pemerintah meyakini hingga akhir 2015 stok beras untuk kepentingan komersil dan beras miskin (Raskin) masih mencukupi, namun kekhawatiran naiknya harga beras pada awal 2016 pun tak terhindarkan.

“Terlepas dari berbagai analisa teknis seperti El Nino yang membuat harga menjadi tinggi, KPPU mencatat bahwa terdapat permasalahan mendasar yang selama ini belum ditangani secara optimal dan komprehensif,” kata Syarkawi dalam keterangan pers, dikutip Kamis (12/11).

Dalam perspektif persaingan usaha yang sehat, Syarkawi melihat bahwa struktur industri beras relatif kompetitif. Di mana interaksi di pasar cukup dinamis, sehingga kekosongan pasokan di wilayah tertentu akan segera diisi oleh wilayah lainnya.

“Namun, bila jauh dicermati business process dari produksi sampai di konsumen, maka terlihat kondisi yang oligopoli,” katanya.

KPPU menduga ada upaya pelaku usaha besar untuk mulai masuk ke dalam industri beras dengan mengembangkan industri berskala besar.

“Pelaku usaha industri besar diduga telah menguasai pembelian dari petani, mengolahnya dan mendistribusikan ke konsumen dengan brand tertentu. Kondisi ini pelan tapi pasti berpotensi mengubah struktur yang tadinya kompetitif dan dinamis menjadi lebih rigid karena pasar menjadi oligopoli,” kata Syarkawi.

Ia menyebut penyalahgunaan struktur oligopoli dalam bisnis beras telah membentuk kelangkaan dan harga tinggi.

“Guna mengantisipasi hal tersebut KPPU telah menyiapkan langkah-langkah strategis berupa kebijakan, tindakan dan menurunkan tim yang akan terjun langsung ke lapangan untuk mencegah terjadinya kartel dan potensi permainan harga,” tegasnya. (gen)

http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20151112153737-92-91251/kppu-ragukan-efektivitas-impor-beras-untuk-meredam-harga/

Kamis, 12 November 2015

Petani Jateng Kecewa Pemerintah Impor Beras

Kamis, 12 November 2015

Semarang- Petani Jawa Tengah kecewa atas kebijakan pemerintah yang tetap akan melakukan impor beras dari Thailand dan Vietnam.

"Yang semakin mengecewakan masyarakat khususnya petani Jawa Tengah karena pemerintah tidak konsisten terhadap pernyataannya bahwa Indonesia tidak akan impor beras," ungkap anggota Komisi IV DPR Firman Soebagyo usai pertemuan dengan kepala dinas kab/kota se-Jateng dalam rangka reses di Kantor Gubernur Jateng, Kamis (12/11).

Firman menegaskan, tak ada alasan pemerintah untuk impor beras, karena fakta menunjukan bahwa stok beras nasional masih mencukupi sebesar 1,4 juta ton.

"Data itu sesuai jawaban Kemtan per telepon yang saya konfirmasi tadi malam," ujar Firman.

Data BPS juga menyebutkan bahwa beras nasional masih cukup dapat dipertanggungjawabkan.

"Kalau ada pihak yang mengatakan bahwa data BPS tidak dapat dipertanggungjawabkan, lantas kita mau percaya siapa? Karena BPS itu lembaga negara. Mau percaya data siapa? Apakah kita harus percaya pada data mafia impor beras?," ujarnya.

Dia mendesak Mendag untuk membuat kebijakan yang propetani. Jangan berpihak kepada mafia impor beras. Dia menuding, ada pihak-pihak yang ngotot impor adalah bagian dari mafia impor beras.

Di samping keluhan terhadap impor beras, juga disampaikan berbagai persoalan kebijakan pusat khususnya UU Nomor 23 tentang Pemerintahan Daerah yang dinilai juga semakin mempersulit pelaksanaan progam di tingkat kab/kota se- Jawa Tengah.

Oleh sebab itu, dia mendesak segera dilakukan revisi UU tersebut.

Adapun kebijakan terkait sektor perikanaan, menurut Firman, hendaknya pemerintah pusat melihat fakta dan realita di lapangan bahwa kebijakan Kementerian KKP semakin mempersulit nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

"Para kepala dinas mendesak DPR meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan dan regulasi yang membumi hanguskan hak hidup rakyat," tegasnya.

http://www.beritasatu.com/ekonomi/321589-petani-jateng-kecewa-pemerintah-impor-beras.html

Resistensi Mafia Impor Beras

Kamis, 12 November 2015

(KOMPAS/PRIYOMBODO) Pemerintah akhirnya melanggar komitmen untuk tidak impor beras tahun ini. Oktober lalu (21/10/2015) Presiden Jokowi menyatakan impor beras dari Thailand dan Vietnam untuk menutup perkiraan defisit cadangan Bulog. Wapres Jusuf Kalla kemudian (26/10/2015) kemudian menegaskan kuota impor itu berkisar 1.0-1.5 juta ton dan dilakukan secara bertahap mulai November 2015. Impor tahap pertama sebanyak 27,065 ton sudah tiba di Tanjung Priok tangal 7 November lalu. Dengan keputusan impor itu pemerintah telah mengingkari sendiri komitmen kedaulatan pangan nasional yang sedang ditegakkannya. Timbul pertanyaan, ada kekuatan apa sebenarnya di belakang keputusan itu. Lalu, ke depan, adakah langkah dapat diambil untuk terbebas dari impor beras? Motif Easy Money Data status perberasan nasional 2015 sebenarnya mengindikasikan surplus sehingga tak perlu impor. Kendati diterpa kemarau panjang akibat El-Nino, berdasar angka ramalan BPS, produksi padi 2015 diperkirakan masih bisa mencapai angka 75.2 juta ton GKP atau setara 40.58 ton beras. Karena konsumsi beras nasional ditaksir 35.45 juta ton, maka terdapat surplus 5.13 juta ton. Dengan asumsi data BPS valid, maka keputusan impor itu tampaknya bukanlah rentetan dampak El-Nino. Kuat dugaan bahwa kekuatan di balik keputusan itu adalah resistensi jaringan “Mafia Impor Beras” (MIB). Motif utamanya adalah perolehan big easy money berupa fee impor. Bayangkan, jika besaran fee impor Rp 1.0 milyar per 1,000 ton, maka dari impor beras 1.0 juta ton akan diperoleh total fee Rp 1 triliun. Demi fee maha-besar itu jaringan MIB akan melakukan siasat apapun untuk memaksakan impor beras. Siasat yang yang lazim dilakukan, pertama, menciptakan defisit fiktif dalam neraca perberasan nasional melalui manipulasi data status perberasan dan/atau rekayasa kelangkaan beras di pasaran. Atau, kedua, menciptakan defisit riil melalui rekayasa kendala produksi, misalnya kelambatan pasokan benih/pupuk/pestisida, yang menyebabkan penurunan produktivitas secara signifikan. Resistensi jaringan MIB itu sangat liat, sulit dipatahkan. Sebabnya, di dalam jaringan itu berperan juga birokrat dan politisi lapis-atas, demi kepentingan ekonomi-politik masing-masing. Sedikitnya ada dua indikasi peran birokrat/politisi, langsung atau tidak langsung, dalam jaringan MIB itu. Pertama, kontradiksi data status beras nasional antar institusi pemerintah khususnya Bulog/BUMN dan Kementan yang kerap terjadi. Tahun 2015 misalnya, data Kementan mengindikasikan surplus beras sehingga tak perlu impor. Sebaliknya data Bulog mengindikasikan defisit sehingga harus impor beras. Kedua, penetapan harga pembelian gabah/beras oleh pemerintah/Bulog (HPP) yang jauh di bawah harga pasaran. Inpres Perberasan No. 5/2015 misalnya menetapkan HPP beras Rp 7,300/kg, padahal harga pasaran berkisar Rp 8,000-10,000/kg. Akibatnya Bulog tak mampu menyerap beras petani, sehingga target cadangan beras pemerintah tak tercapai. Solusinya, impor beras murah dari negara tetangga. Meredam Resistensi Titik kekuatan resistensi jaringan MIB sebenarnya adalah fasilitasi impor beras, langsung atau tidak langsung, dari UU Pangan No. 18/2012 dan Inpres Perberasan No. 5/2015. Jadi, langkah paling efektif untuk meredam resistensi jaringan itu adalah revisi mendasar untuk menjadikan UU dan Inpres tersebut berwatak kedaulatan pangan atau anti-impor beras khususnya. Kongkritnya, pertama, syarat kondisional impor beras pada Pasal 36 UU Pangan No. 18/2012 harus direvisi karena sangat berorientasi ketahanan pangan. Berdasar pasal itu, impor beras otomatis terbuka bagi jaringan MIB hanya dengan pengumuman angka defisit neraca beras nasional oleh menteri/ lembaga yang berwewenang. Untuk menangkal impor, UU Pangan itu harus direorientasikan pada kedaulatan pangan, dengan mensubordinasikan Bagian Kelima (ketentuan impor pangan) kepada Bagian Ketujuh (ketentuan krisis pangan). Dengan begitu keputusan impor beras tidak didasarkan pada syarat kondisional angka defisit neraca pangan, melainkan pada syarat kondisional krisis pangan nasional, yang penetapannya langsung di tangan presiden. Syarat kondisional krisis pangan akan mengunci langkah jaringan MIB dan pemerintah sekaligus. Di satu pihak jaringan MIB mustahil merekayasa kondisi krisis pangan untuk justifikasi impor. Di lain pihak, demi stabilitas ekonomi dan politik, pemerintah akan melakukan apapun untuk mencegah krisis pangan. Kedua, penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) dalam Inpres Perberasan No. 5/2015 sebagai batas atas harga pembelian gabah/beras oleh Bulog juga berorientasi ketahanan pangan. Ketentuan itu menyebabkan Bulog terkendala membeli gabah/beras apabila harganya di atas HPP, mengingat anggaran komersilnya terbatas. Fakta inilah yang selalu menjadi dasar bagi Bulog berikut jaringannya untuk impor beras. Agar berorientasi kedaulatan pangan, maka HPP pada Inpres itu harus ditetapkan sebagai harga dasar pembelian Bulog. Dengan begitu, acuan kerja Bulog bukan lagi HPP melainkan target cadangan beras pemerintah. Berapapun targetnya, Bulog harus memenuhinya melalui pembelian gabah/beras petani sesuai harga pasar. Selisih kemahalan atas pembelian itu adalah biaya kedaulatan pangan nasional yang harus ditanggung pemerintah. Ketiga, mengikuti revisi UU Pangan dan Inpres Perberasan itu, Bulog sebaiknya ditetapkan sebagai badan penyangga kedaulatan pangan nasional. Untuk menjalankan fungsi itu Bulog lalu diserahi tanggungjawab pengelolaan “kebun padi nasional” dengan pendekatan kemitraan. Luas tanamnya ditargetkan 1.0 juta ha/ tahun, untuk menghasilkan pasokan cadangan beras pemerintah sedikitnya 4.0 juta ton. Dengan menempuh tiga langkah tersebut, diharapkan bangsa ini akan terbebas dari permainan jaringan MIB dan perangkap impor beras.(*)

Felix Tani

http://www.kompasiana.com/mtf3lix5tr/resistensi-mafia-impor-beras_5643eca1a8afbd8f100dcd81