Jumat, 30 Januari 2015

Janji yang Tak Tampak

Jumat, 30 Januari 2015

SESUAI agenda Nawa Cita pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, pemerintah ingin mewujudkan kemandirian pangan.
Dalam praktiknya, agenda membangun program kemandirian pangan dan kesejahteraan produsen pangan, yakni petani, kerap terabaikan. Pemerintah terlalu fokus pada target pencapaian swasembada pangan yang keberhasilannya lebih mudah diukur dan pencapaiannya lebih mudah daripada memprioritaskan peningkatan kesejahteraan petani.

Ada masalah yang tidak pernah diungkap transparan, yakni seberapa besar peningkatan pendapatan petani bisa dicapai melalui peningkatan produktivitas dan luas areal pertanaman.

Jika pendapatan petani naik, apakah mereka menjadi sejahtera? Apakah pendapatan yang naik sedikit itu tidak akan tergerus inflasi akibat naiknya kebutuhan hidup, atau justru lebih parah lagi kenaikan pendapatan yang sedikit itu tertimbun inflasi?

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 1993-2013 rata-rata peningkatan produktivitas petani hanya 0,82 persen. Pada periode yang sama, inflasi rata-rata meningkat 11,3 persen per tahun. Dari data ini terlihat, daya beli dan tingkat kesejahteraan petani berangsur-angsur turun. Kondisi ini bisa menjadi alasan berkurangnya 5,1 juta rumah tangga petani pada 2003-2013.

Pendapatan petani pangan rata-rata Rp 1 juta per bulan. Jumlah ini jauh di bawah pendapatan buruh pabrik yang rata-rata sudah di atas Rp 2 juta per bulan.

Saat ini, lebih dari 5 juta rumah tangga petani (RTP) memiliki luas lahan kurang dari 0,5 hektar. Dengan asumsi setiap RTP terdiri atas empat orang, ada 20 juta jiwa yang menggantungkan pendapatan pada lahan 0,5 hektar itu.

Jamak terjadi, petani tidak selalu panen akibat serangan hama-penyakit dan perubahan iklim global. Peningkatan produktivitas tanaman pangan, seperti padi, jagung, dan kedelai, pasti meningkatkan pendapatan petani. Namun, hal itu belum tentu bisa meningkatkan kesejahteraan petani karena peningkatan pendapatan sangat terbatas.

Bagaimana dengan peningkatan indeks pertanaman (IP)? Lahan pertanian yang belum beririgasi umumnya berada di luar Pulau Jawa. Petani pangan di Jawa dikenal ulet, gigih, kreatif, dan pantang menyerah. Di mana ada air mengalir, petani akan memanfaatkannya untuk mengairi lahan. Tanpa ada saluran irigasi teknis/semiteknis, selama daerah itu terjangkau aliran air, petani akan mencetak sawah.

Di Jawa, ruang bagi peningkatan IP pangan dalam skala luas sangat sempit. Padahal, di situlah basis petani miskin. Memang di daerah-daerah tertentu di bagian tengah dan selatan Jawa, di areal perbukitan dan pegunungan, ada potensi peningkatan IP. Alasannya, sumber air sungai tersedia.

Persoalannya, skalanya kecil dan sangat tidak efisien. Misalnya, butuh investasi hingga ratusan juta rupiah untuk membangun bendung guna menaikkan elevasi air sungai untuk irigasi yang hanya memenuhi kebutuhan 50 hektar lahan.

IP di lahan itu akan naik berlipat-libat, dari satu menjadi tiga. Pertanyaannya, apakah hal itu efisien dan bisa dijalankan dengan standar penganggaran pembangunan irigasi yang berbasis pada luas lahan?

Dengan rata-rata kepemilikan lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar di Jawa, petani pangan tidak bakal hidup sejahtera. Instrumen utama peningkatan pendapatan, yaitu peningkatan produktivitas dan IP, tidak mampu mendongkrak pendapatan petani gurem di Jawa secara signifikan.

Kondisi sebaliknya terjadi di luar Pulau Jawa karena rata-rata IP masih rendah, satu atau dua kali tanam dalam setahun. Luas rata-rata kepemilikan lahan pertanian di luar Jawa minimal satu hektar.

Bergema di Istana
Di Jawa sudah tahu apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana menetapkan target budidaya pertanian pangan. Sadar tidak akan bisa sejahtera dengan lahan 0,5 hektar atau kuran, petani kecil di Jawa umumnya menjadikan usaha pertanian pangan sebagai pekerjaan sambilan.

Target mereka tidak meningkatkan produktivitas setinggi-tingginya, tetapi agar bisa rutin panen setiap kali tanamsehingga memilih benih padi, jagung, atau kedelai yang biasa ditanam dan dikenali karakternya.

Tujuan utama budidaya pangan yang mereka lakukan tidak untuk meraih pendapatan setinggi-tingginya, tetapi sekadar memenuhi kebutuhan makan keluarga.

Dalam konteks ini saja sudah tidak ada kesesuaian target antara pemerintah dan petani sebagai produsen pangan. Pemerintah menggebu-gebu ingin menaikkan produktivitas dan produksi pangan. Di sisi lain, petani kecil yang merupakan persentase terbesar petani di Indonesia menjadikan target pemenuhan pangan keluarga sebagai tujuan utama. Kalau ada sisa, baru dijual. Inovasi berisiko dan mereka tidak mau mengambil risiko karena kegureman usaha taninya.

Melihat kenyataan di atas, keinginan pemerintah meningkatkan produksi pangan untuk mencapai swasembada pangan tidak sejalan dengan harapan dan keinginan petani, terutama petani kecil. Oleh karena itu, upaya membangun pencapaian swasembada pangan tidak bergaung di tingkat petani.

Gema swasembada pangan hanya ada di Istana Negara, Kementerian Pertanian, pemerintahan provinsi, pemerintahan kabupaten, mulai senyap di kecamatan dan desa, serta denyutnya lemah di tingkat rumah tangga petani.

Program pencapaian swasembada pangan dengan anggaran besar bagaikan menepuk ruang hampa. Peningkatan produksi pangan lebih bergantung pada nasib baik dan kondisi iklim yang mendukung daripada program-program pemerintah. Tentu program itu bermanfaat, tetapi masih jauh dari yang diharapkan.

Upaya memotivasi petani agar sejahtera menjadi hal utama jika ingin mencapai swasembada pangan berkelanjutan. Upaya memotivasi yang dilakukan harus realistis dan terukur.

Kalau tidak mungkin menyejahterakan petani padi, jagung, dan kedelai, atau komoditas lain, seperti gula dan daging sapi, dengan skala usaha kecil, solusinya tentu harus meningkatkan skala usaha. Dengan meningkatkan skala usaha, pendapatan petani akan naik berlipat-lipat. (HERMAS E PRABOWO)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150130kompas/#/6/

Kamis, 29 Januari 2015

Tidak Ada Kedaulatan Pangan Tanpa Pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945!

Kamis, 29 Januari 2015

Betapa tidak berdaulatnya bangsa kita di bidang pangan. Hampir semua kebutuhan pangan kita diimpor dari luar negeri: beras, kedelai, kentang, singkong, biji gandum, tepung terigu, jagung, dan lain-lain.

Data dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia menyebutkan, 65% kebutuhan pangan di dalam negeri didapatkan melalui impor. Sedangkan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) memperkirakan 80% kebutuhan bahan pangan Indonesia diperoleh melalui impor.

Kenyataan itu menunjukkan, Indonesia tak lagi berdaulat di bidang pangan. Kebutuhan pangan rakyatnya saja sebagian besar impor. Padahal, seperti sering didengung-dengungkan, Negara kita adalah Negara agraris. Ya, benar-benar ironis: Negara agraris menjadi pengimpor pangan.

Ada beberapa faktor penyebab kita tak berdaulat di bidang pangan:

Pertama, kaum tani Indonesia, sebagai tenaga pokok dalam produksi pangan, semakin dipisahkan dari alat produksinya, yakni tanah. Sebagian besar tanah-tanah produktif sekarang ini dikuasai oleh korporasi besar (perkebunan, pertambangan, dan lain-lain). Akibatnya, 85% rumah tangga petani di Indonesia adalah petani tak bertanah dan petani gurem.

Kedua, kebijakan agrarian kita saat ini sangat liberal dan mirip dengan sistim agraria di jaman kolonial. Di sini, peruntukan tanah bukanlah untuk petani penggarap atau untuk menopang produksi pangan nasional, melainkan untuk melayani kebutuhan tanah bagi pemilik modal di bidang perkebunan, pertambangan, pertanian, dan lain-lain.

Untuk diketahui, saat ini ada 72 juta petani dengan lahan di bawah 0,3 hektar. Di sisi lain, lahan seluas 9 juta hektar dikuasai 20 perusahaan besar. Data Institut For Global Justice mengungkapkan,  sebanyak 175 juta hektar tanah di Indonesia dikuasai oleh asing. Perkebunan sawit terhitung menguasai tanah cukup banyak. Hingga tahun 2011, perkebunan sawit sudah menguasai 8 juta hektar tanah. Sekitar 50% perkebunan sawit itu dikuasai asing dan 2 juta hektar diantaranya adalah pengusaha Malaysia.

Ketiga, hilangnya peran Negara dalam melindungi sektor pertanian. Kita bisa melihat, Negara justru mensponsori kebijakan impor pangan. Sebetulnya, kebijakan impor pangan ini bukan semata karena kurangnya stok pangan di dalam negeri, melainkan karena pemerintah Indonesia tunduk pada ketentuan WTO terkait liberalisasi pertanian melalui skema “Agreement on Agriculture (AoA). Impor pangan ini memukul produksi petani. Banyak petani menganggap kegiatan bertani tak legi ekonomis.

Sudah begitu, proses distribusi pangan Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing: Syngenta, Monsanto, Dupont, dan Bayer menguasai pengadaan bibit dan agrokimia. Cargill, Bunge, Louis Dreyfus, dan ADM menguasai sektor pangan serat, perdagangan, dan pengolahan bahan mentah.  Sedangkan Nestle, Kraft Food, Unilever, dan Pepsi Co menguasai bidang pengolahan pangan dan minuman. Ini juga termasuk dalam impor pangan. Impor kedelai, misalnya, dikuasai oleh PT Cargill Indonesia dan PT Gerbang Cahaya Utama (GCU). Sedangkan Sedangkan Carrefour, Wal Mart, Metro, dan Tesco menjadi penguasa pasar ritel pangan.

Sudah jelas, kaum tani Indonesia belum berdaulat. Ini diperparah oleh hilangnya keberpihakan Negara terhadap kaum tani. Akibatnya, kekuatan produktif di dalam negeri tidak bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan “kedaulatan pangan”. Padahal, kekuatan pokok untuk mewujudkan kedaulatan pangan adalah massa-rakyat yang produktif.

Bagi kami, kedaulatan atas pangan hanya mungkin terjadi jikalau Pasal 33 UUD 1945 ditegakkan. Salah satu turunan dari pasal 33 UUD 1945 itu adalah UU Pokok Agraria (UUPA) 1960. Dan salah satu titik tolak dari penegakan UUPA 1960 adalah land-reform atau reforma agraria. Di sini, reforma agraria berarti penghapusan kepemilikan tanah yang tidak adil di tangan korporasi besar dan pengembalian lahan-lahan milik petani yang dirampas korporasi.

Oleh karena itu, pemerintah harus segera melaksanakan: Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960 secara benar dan konsisten; Hentikan kebijakan liberalisasi impor pangan; menuntut pemerintah untuk memberikan jaminan pasar bagi produksi petani; Dukungan anggaran untuk perbaikan infrastruktur pertanian (waduk, irigasi, dll), dukungan modal/kredit bagi petani, dan modernisasi teknologi pertanian; Penghentian segala bentuk kekerasan dalam penyelesaian konflik agraria; Dan, sebagai solusinya, kami mengusulkan pembentukan Panitia Nasional Penyelesaian Konflik Agraria.

Oleh : Dana Gumilar (KORWIL BPW III ISMPI)

http://www.mediatani.com/2015/01/tidak-ada-kedaulatan-pangan-tanpa.html

Rabu, 28 Januari 2015

Mentan: Kita Perluas Peran Bulog Tahun Ini‏

Selasa, 27 Januari 2015

Sukoharjo, GATRAnews - Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan bahwa pemerintah akan memperluas peran Perum Bulog, bukan hanya sebagai stabilisator harga beras seperti saat ini, tapi juga menjadi stabilisator jagung dan kedelai.

Karena itu, Bulog harus menyerap juga sebagian produksi jagung dan kedelai nasional untuk stok penyangga. Ditargetkan, ke depan Bulog memiliki stok beras hingga 2 kali lipat dari jumlah saat ini, jagung sebanyak 2,5 juta ton, dan kedelai 1 juta ton.

Perluasan peran Bulog ini perlu dilakukan untuk menjamin harga di tingkat petani, sehingga para petani bersemangat menanam. Selain itu, peran pemerintah dalam menstabilkan harga pangan juga semakin kuat. "Bulog kita perluas perannya sebagai stabilisator. Rencananya serapan gabah 2 kali lipat, jagung 2,5 juta ton, dan kedelai 1 juta ton," ungkap Amran saat kunjungan kerja di Sukoharjo, Selasa (27/1).

Rencana ini, katanya, sudah dibicarakan bersama dalam rapat koordinasi kementerian bidang perekonomian. Perum Bulog pun sudah dihubungi. "Sudah dibicarakan di rapat koordinasi. Dirut Bulog kemarin juga sudah saya telepon," dia menuturkan.

Perluasan peran Bulog akan dimulai tahun ini. Dana untuk penyerapan jagung dan kedelai pun telah disiapkan untuk Bulog dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara - Perubahan (RAPBN-P) 2015. "Mulai sekarang bergerak. Tahun ini dimulai. Sudah dianggarkan di APBN-P. Nanti anggarannya tanya ke Bulog," pungkasnya.

http://www.gatra.com/ekonomi-1/makro/131322-mentan-kita-perluas-peran-bulog-tahun-ini%E2%80%8F.html

Selasa, 27 Januari 2015

Suplai Diharapkan Tepat Waktu

Selasa, 27 Januari 2015

BANYUWANGI, KOMPAS — Musim tanam di Banyuwangi, Jawa Timur, diperkirakan serentak pada awal Februari. Pemerintah diminta menyediakan pupuk tepat waktu.
Sebagian besar lahan pertanian, seperti di Kecamatan Banyuwangi, Kabat, Rogojampi, Singojuruh, Songgon, Sempu, Srono, Muncar, dan Cluring, masih dalam tahap pengolahan tanah dan persemaian bibit padi. Kurang lebih sepekan lagi petani memasuki masa tanam awal.

Sekretaris Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Banyuwangi Suyitno, Senin (26/1), mengatakan, mendekati masa tanam petani mulai membutuhkan pupuk, terutama urea. Pemupukan tepat waktu penting untuk menjaga produktivitas pertanian. Tahun lalu, saat pupuk terlambat diperoleh, hasil panen petani berkurang dari 5,6 ton menjadi 5,4 ton per hektar.

Kepala Bidang Pertanian dan Tanaman Pangan Dinas Pertanian Kabupaten Banyuwangi Pratmadja Gunawan mengatakan, pupuk bersubsidi sudah mulai disalurkan ke petani sejak awal Januari lalu. Hingga 15 Januari, pupuk yang sudah disalurkan ke petani di Banyuwangi sebanyak 5.156 ton pupuk urea, 1.480 ton ZA, 1.464 ton SP-36, 3.291 ton NPK, dan 3,097 ton pupuk organik. Jumlah tersebut 35-40 persen dari jatah pupuk pada bulan Januari.

Untuk menghindari kelangkaan pupuk seperti yang terjadi tahun lalu, distribusi pupuk dipercepat.

”Alokasi bulan ini sudah disiapkan. Jika kurang, alokasi Februari bisa diturunkan sebelum terjadi kelangkaan pupuk. Sejauh ini, kebutuhan dan jumlah alokasi pupuk sama. Jadi, seharusnya tak ada lagi kelangkaan pupuk subsidi,” katanya.

Pada 2014, pupuk sempat langka karena distribusi ke daerah-daerah terpencil terkendala persoalan teknis, yakni terbatasnya armada milik agen pupuk. Selain itu, petani yang mempunyai lahan hortikultura tak mencantumkan kebutuhan pupuk sehingga pasokannya tak sesuai dengan kebutuhan.

Organik
Di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, petani didorong lebih banyak menggunakan pupuk organik dan menerapkan pemupukan berimbang. Hal itu untuk menyiasati kelangkaan pupuk dan memulihkan struktur kesuburan tanah.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bojonegoro Ahmad Djupari menyatakan, penggunaan pupuk organik secara terus-menerus bisa menghasilkan panen seperti halnya pupuk kimia.

”Kami mendorong petani menggunakan pupuk kandang dan pupuk organik karena itu bisa memulihkan agregat kesuburan tanah,” katanya.

Di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, masa krisis pupuk telah teratasi. Stok pupuk mencukupi, sedangkan masa pemupukan sudah terlampaui.

Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Indramayu Sutatang menuturkan, ada beberapa kecamatan di Indramayu yang tidak lagi memerlukan banyak pupuk. Sebab, usia tanaman padi sudah tak memerlukan banyak pupuk. Biasanya tanaman memerlukan banyak pupuk saat masa tanam awal hingga usia 15 hari. (NIT/ACI/REK)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150127kompas/#/19/


Senin, 26 Januari 2015

Pupuk Bersubsidi Diberi Tanda Khusus

Senin, 26 Januari 2015

● Atasi Kelangkaan

REMBANG – Kasus kelangkaan pupuk bersubsidi terutama jenis urea merupakan fenomena yang terjadi secara berulang-ulang hampir setiap tahun, utamanya pada musim tanam padi.

Padahal alokasi pupuk bersubsidi nasional dari 5 pabrik pupuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah disesuaikan dengan kebutuhan petani. Hal itu diungkapkan Manajer Humas PT Petrokimia Gresik (PKG) Yusuf Wibisono, kemarin.

Seperti tahun 2015, alokasi pupuk bersubsidi nasional sebesar 9,55 juta ton. Perinciannya, jenis Urea 4.100.000 ton, SP-36 850.000 ton, ZA 1.050.000 ton, NPK 2.550.000 ton, dan Organik 1.000.000 ton.

Dari jumlah tersebut, PT Petrokimian Gresik merupakan pemasok paling besar, yakni 5.219.785 ton dari berbagai jenis pupuk. ”Khusus untuk jenis urea kami memasok 257.905 ton untuk tahun ini,” katanya.

Dikatakan, selama ini kebijakan produksi selalu diprioritaskan untuk memenuhi sektor subsidi. Jika penugasan (permintaan) lebih besar dari kepampuan produksi, maka akan dipenuhi dari impor.

Meski begitu kita masih sering mendengar adanya berita mengenai kelangkaan pupuk bersubsidi. Hal itu bisa terjadi karena banyak faktor penyebabnya.

Dijelaskan, persoalan yang muncul, saat ini mayoritas petani sudah memasuki musim panen, bahkan sudah ada yang memasuki periode musim tanam kedua, sehingga mulai melakukan pemupukan.

Namun fakta di lapangan, banyak pemerintah daerah belum mengeluarkan Pergub dan Perbub yang menjadi dasar penyaluran pupuk bersubsidi di tingkat kabupaten/kota dan kecamatan. ”Sampai saat ini, dari 34 propinsi baru 16 propinsi yang sudah mengeluarkan pergub. Kemudian, dari 486 kabupaten/kota, baru 20 kabupaten/kota yang menerbitkan perbup.”

Penyerapan

Selain itu, rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) yang disusun oleh Gapoktan dan Dinas Pertanian setempat banyak yang belum terbit.

Ditambah lagi dengan adanya pergeseran iklim yang mempengaruhi jadwal musim tanam petani. Persoalan lainnya, terjadinya perluasan lahan dari area eks hutan yang sebelumnya tidak diperhitungkan dalam areal konsumsi pupuk.

Termasuk adanya petani yang belum terdaftar dalam kelompok tani, sehingga tidak memiliki RDKK. Lagi pula banyak petani yang belum menerapkan pemupukan berimbang, bahkan menggunakan pupuk secara berlebihan.

”Hal seperti itulah yang bisa mengakibatkan tingginya penyerapan pupuk bersubsidi, sehingga muncul berita pupuk lanngka,” jelas Yusuf Wibisono, didampingi Kabag Infokom Widodo Heru dan Staf Hubungan Media Edri Gasyaf.

Meski begitu, pihaknya tetap berupaya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Misalnya dari sisi distribusi pupuk, disediakan stok di gudang-gudang untuk kebutuhan dua minggu, sesuai Permendag. Mendorong dan membantu dinas setempat agar RDKK, Pergub, dan Perbub segera diterbitkan. Untuk daerah yang belum memiliki Pergub/- Perbub, PKG menyalurkan berdasarkan alokasi penyaluran tahun sebelumnya.

”Kami bekerja sama dengan pihak terkait juga melakukan pengawasan penyaluran pupuk bersubsidi di distributor dan kios,” katanya.

Selain itu juga ada upaya untuk pencegahan penyelewengan pupuk bersubsidi, misalnya dengan pemberian bag kode untuk kepentingan penelusuran atas kualitas produk dan identifikasi asal produk.

Selebihnya adalah pewarnaan pada pupuk subsidi (pink pada Urea dan orange pada ZA), serta pemberian stiker pada truk pengangkut pupuk bersubsidi. Dengan cara itu peredaran pupuk bersubsidi akan lebih mudah diawasi.(jl-44)

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/pupuk-bersubsidi-diberi-tanda-khusus/

Ketemu Jokowi, Iskandar Usul Infrastruktur dan Pertanian Sumsel

Minggu, 25 Januari 2015

KAYUAGUNG, SUMSEL. Jurnalsumatra.com – Bupati Ogan Komering Ilir (OKI), Iskandar, SE diminta mewakili Bupati Walikota se Sumsel untuk memaparkan isu-isu strategis pembangunan di Sumatera Selatan pada rapat koordinasi (Rakor) Presiden Joko Widodo dengan seluruh bupati dan walikota, Kamis (22/1/2015) di Istana Bogor Jawa Barat. Iskandar tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengusulkan pembangunan infrastruktur dan peningkatan produksi pertanian di Sumsel.

“Presiden Jokowi ingin mendapatkan masukan dari para Pemda terkait isu-isu strategis yang merupakan representasi publik di daerah. Mewakili Sumsel, menurut saya agenda penting yang harus kita sampaikan yakni pembangunan infrastruktur dan menjadikan Sumsel sebagai penopang kedaulatan pangan nasional,” ujar Iskandar usai bertemu presiden.

 Agenda pembangunan penting di Sumsel yang perlu  diusulkan ke pemrintah pusat menurut Iskandar, yaitu, keberlanjutan pembangunan kawasan Tanjung Siapi-api dan tol Palembang-Indralaya (Palindra) dan pembangunan jaringan irigasi di OKI.

 Terkait tanggapan Presiden terhadap usulan itu, Bupati mengaku puas. Sebab Presiden komitmen membantu untuk mewujudkan agenda pembangunan tersebut.

 Rapat koordinasi presiden dengan para bupati dan walikota ini diselenggarakan untuk membahas agenda prioritas pemerintahan dan pembangunan di 6 bidang.

 “6 bidang tersebut yaitu kedaulatan pangan, infrastruktur, potensi kelautan, sumber daya alam, energi. Dan keenam, kendala dalam perizinan, pelayanan, tumpang tindih peraturan perundang-undangan dan ego sektoral,” ucap Mendagri Tjahjo Kumolo.

 Selain Mendagri, Rakor ini juga dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri PU dan Pekerjaan Umum Basuki Hadi Muljono, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, Sekertaris Kabinet Andi Widjajanto juga menteri pertanian Andi Amran Sulaiman.

 Siap Dukung Kedaulatan Pangan Nasional

 OKI menjadi prioritas pemerintah pusat dalam pengembangan kedaulatan pangan nasional. Potensi areal pertanian tanaman pangan dan hortikultura di OKI mencapai528.387 Ha. Dengan rincian Luas lahan sawah lebak mencapai 119.888 Ha (63,29%), sawah tadah hujan 46.941 Ha (24,78%), luas lahan sawah pasang surut  21.957 Ha (11,59%) dan sawah irigasi teknis baru mencapai 650 Ha (0,34%)

Memiliki kesempatan berdialog langsung dengan presiden tidak disia-siakan Iskandar untuk memaparkan kesiapan Kabupaten OKI mendukung program kedaulatan pangan nasional. Iskandar meminta kembali kepada presiden untuk membangun jaringan irigasi sepanjang 7.000 ha yang  dijanjikan menteri pertanian saat berkunjung di Kabupaten OKI beberapa waktu lalu.

 “Saya sampaikan kepada presiden, OKI memiliki potensi pertanian yang sangat luas, namun permasalahannya  adalah susahnya manajemen air di sawah-sawah kita. Kalau musim panas kekeringan jika musim hujan seperti sekarang bisa gagal panen. Saya mintakan sekali kepada Bapak presiden untuk membangunkan jaringan irigasi di OKI dan saya yakinkan Presiden, OKI mampu produksi 1 juta ton setiap tahun” ungkap Iskandar.

Iskandar yakin OKI siap mendukung program Kedaulatan Pangan Nasional.(RICO)

http://www.jurnalsumatra.com/2015/01/25/ketemu-jokowi-iskandar-usul-infrastruktur-dan-pertanian-sumsel/

Jumat, 23 Januari 2015

”Jokowinomics” dan Pangan

Jumat, 23 Januari 2015

JAUH di luar tradisi kerja teknokratik, Presiden Joko Widodo memerintahkan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo menyukseskan program ketahanan pangan.
Perintah ini, sebagaimana dilaporkan The Jakarta Post (9/1/2015), direalisasikan dengan sebuah kesepakatan bersama (MOU) antara TNI Angkatan Darat (AD) dan Kementerian Pertanian. Dalam pelaksanaannya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan, AD akan menerjunkan 50.000 prajurit dan 50.000 anggota Babinsa untuk mendukung program ini.

Apa alasan pelibatan AD dalam program ini? KSAD Jenderal Nurmantyo menjawab, ”Kecukupan pangan sangat penting bagi negeri ini dan bisa memperkuat daya tahan nasional.” Walau dalam konteks kerja ”teknokratis” jawaban tersebut bersifat retorika, penelaahan sejarah memperlihatkan jejak aspek ”ideologis” dan politik-ekonomi ketahanan pangan.

Eksploitasi sumber daya pertanian
Logika ini tegak pada asumsi bahwa rencana menciptakan ketahanan pangan akan menjadi usaha sistematis mengeksploitasi sumber daya pertanian secara besar-besaran. Pada titik ini, mau tak mau kita teringat pada ”revolusi perkebunan” di bawah program Sistem Tanam Paksa Pemerintah Hindia Belanda kurun 1830-1970. Tinjauan lebih lanjut menunjukkan aspek ”ideologis” dan ekonomi-politik program ini, yaitu krisis fiskal daerah koloni Belanda (Jawa) warisan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) dan Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stanford Raffless (1811-1814) yang mencapai puncaknya 1824. Ini mendorong Gubernur Jenderal ven der Capellen (1818-1824) menjadikan Jawa agunan guna memperoleh utang kepada Palmer and Co, sebuah perusahaan Inggris berpusat di Calcuta, India.

Usaha ini, seperti ditulis Chr LM Penders dalam pengantar suntingan dan terjemahannya Indonesia: Selected Documents on Colonialism and Nationalism 1830-1942 (1977), mendorong negara induk (Belanda) dengan terburu-buru memberikan talangan finansial koloninya ini pada 1826 dan 1828. Akan tetapi, usaha ini bersifat tambal sulam. Karena itu, krisis fiskal pemerintah koloni tetap membayangi. Inilah yang menyebabkan program Sistem Tanam Paksa yang melahirkan ”revolusi perkebunan” ajuan Jenderal van den Bosch diterima Raja Belanda. Seperti tertera dalam laporan aktivitasnya sepanjang 1830-1833, van den Bosch menyatakan bahwa memiliki Jawa adalah sebuah kehormatan (tribute), tetapi mengalami salah urus yang parah hingga menimbulkan krisis fiskal berkepanjangan.

Ini terjadi lebih karena persoalan politik daripada teknikal ekonomi, yaitu renggangnya hubungan penguasa Eropa-rakyat pribumi dibandingkan dengan masa VOC yang dibubarkan 1799. Dengan mengambil Perang Diponegoro (1825-1830) sebagai latar belakang, van den Bosch menyatakan kerenggangan itu dipicu hasutan ulama-ulama Islam fanatik sehingga Sultan Sepuh Yogyakarta memperlakukan orang-orang Eropa dengan cara menghina (disdain). Karena itu, van den Bosch menyatakan supremasi Eropa harus ditegakkan dengan cara lain: menghormati eksistensi penguasa-penguasa lokal. Sebuah keyakinan bahwa rakyat tak akan patuh kepada penguasa asing, kecuali atas persetujuan elite lokal.

Kebijakan bersifat indirect rule (memerintah secara tak langsung) ini akan menguntungkan, seperti dinyatakan van den Bosch: ”to make this relationship beneficial to us” (membuat hubungan ini menguntungkan kita). Dimensi ”ideologis” dan politik-ekonomi Sistem Tanam Paksa yang melahirkan ”revolusi perkebunan” ini terletak di sini, yaitu pengawetan gagasan supremasi wangsa kulit putih yang terejawantah dalam bentuk kolonialisme dan usaha menghindari kebangkrutan ekonomi dan politik bagi negara induk yang terancam kehilangan koloninya.

Dan dalam praktiknya, eksploitasi sumber daya pertanian memang bermuara ke arah itu. Walau secara teknikal pelaksanaan Sistem Tanam Paksa ini bisa ditafsirkan usaha pionir mengeksploitasi sistem pertanian Indonesia melalui asupan modal, teknologi, dan manajerial, ujungnya melahirkan bangunan kekuasaan politik-ekonomi dalam skala tak berpreseden. Yaitu konsolidasi kekayaan di atas mana an effective modern colonial state (sebuah negara kolonial modern yang efektif) untuk pertama kalinya berdiri. Bersamaan dengan itu, ”keabsahan” kolonialisme kembali ditegakkan. Dalam arti kata lain, negara kolonial modern yang efektif itu berdiri di atas basis material yang kokoh.

Ini dibuktikan oleh fakta berikut. Dalam laporan kegiatan 1930-1933, van den Bosch menyatakan hanya dalam dua tahun usia Sistem Tanam Paksa, defisit fiskal (budget deficit) yang membebani negara induk (the mother country) selama setengah abad terakhir telah berganti dengan keuntungan. Pada 1832 ”lebih dari lima juta gulden dan pada 1833 lebih dari 10 juta gulden (keuntungan) telah dikirim ke Belanda.” Dan, lanjutnya, ”akhir 1834 diperkirakan sejumlah 28 juta gulden atau 30 juta gulden akan bisa dikirim (ke Belanda).”

Di luar perkiraan van den Bosch, kurang dari 30 tahun kemudian, Sistem Tanam Paksa ciptaannya ini telah melahirkan keuntungan raksasa melebihi khayalannya. Dalam tulisan ”Building the Network of Railways and Tramline”, yang dimuat dalam For Profit and Prosperity: The Contributions Made by the Dutch Engineers to Public Works in Indonesia, 1800-2000 [2008], Augustus J Veenendaal Jr menyatakan melalui Sistem Tanam Paksa itu ”Jawa segera menjadi pelampung (cork) di atas mana Belanda mengapung sehingga tak lama kemudian utang-utang negara itu dapat dibayar melalui keuntungan-keuntungan positif Hindia Belanda.” Bahkan, lanjutnya, ”keuntungan itu cukup besar untuk mendanai proyek-proyek utama seperti penciptaan jaringan Rel Kereta Api Negara Belanda pasca 1860-an dan proyek-proyek yang memfokuskan pada transportasi yang menghubungkan Amsterdam dan Rotterdam melalui laut.”

Tak mengherankan jika Belanda tak pernah bermaksud menjadikan Indonesia merdeka. Membahas karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana, Gazali Dunia (2008) mengutip pernyataan Menteri Jajahan Belanda Hindrikus Colijn (1933-37) pada 1930-an: ”Selama Gunung Mount Blanc berdiri, selama itu Hindia Belanda tak pernah merdeka.” Ucapan Colijn ini bersifat ”ideologis”. Sejarawan M C Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia (1981) menyebutnya sebagai a bitter opponent of Ethical ideas (seorang penentang sengit gagasan-gagasan Politik Etis). Dan, karena pernah menjabat direktur perusahaan minyak Shell Belanda, Colijn tentu sangat paham arti ekonomi bagi negerinya dengan menjajah Indonesia.

Bagi bangsa ini, Sistem Tanam Paksa pengalaman keperihan kolektif kemanusiaan. Dalam catatan Ricklefs, sistem ini telah melibatkan rakyat dengan angka mencengangkan. Pada 1840, sebesar 57 persen dan pada 1850 sebesar 46 persen penduduk Jawa dimobilisasi untuk tujuan itu. Unsur ”paksa” dalam sistem ini menimbulkan kesengsaraan tak terperikan. Rakyat yang dilibatkan, seperti dilaporkan Inspektur Sistem Tanam Paksa Vitalis (1833-1838) pada 1851, tak lagi berbentuk manusia, melainkan, walking skeletons (kerangka-kerangka berjalan). Mereka, ”dengan bersusah payah, menyeret-nyeret diri dari satu ke tempat lain yang dalam proses itu kerap dalam keadaan sekarat.”

Dalam laporan itu, Vitalis berterus terang mengakui: ”Jika tak menyaksikan sendiri, tentu saya enggan melaporkannya.... Bahkan, korban-korban ini dapat dipergoki di jalan-jalan ke arah Tasikmalaya, Garut, Arjawinangun dan Galo. Orang bahkan tak mengacuhkannya!” Yang lebih menyakitkan adalah sikap anti-kemanusiaan di dalamnya. Ketika Vitalis bertanya kepada bupati setempat, mengapa ia tidak meminta mayat-mayat yang bertumbangan itu dikuburkan. Dengan seenaknya sang bupati menjawab: ”Tiap malam, tubuh-tubuh itu akan diseret harimau.”

Membalikkan sejarah
Dengan fakta ini, bagaimana kita memahami program kedaulatan atau ketahanan pangan dalam Jokowinomics dewasa ini? Jawabannya, program itu usaha politik-ekonomi dan ”ideologi” serius membalikkan sejarah keterjajahan dan kesengsaraan rakyat pada masa lalu. Ketahanan pangan bukan saja identik menjaga kedaulatan bangsa, melainkan juga membebaskan rakyat dari kesengsaraan.    

Semangat inilah yang mengaum dalam ucapan Soekarno (dikutip Ade Fitrianti, mahasiswi bimbingan saya di Pascasarjana UI, dalam tesisnya ”Politik Impor Beras”, 2015), ketika berpidato di hadapan BPUPKI: ”Apa gunanya grondwet itu kalau tidak dapat mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet yang berisi droits de l’homme et du citoyen itu tidak bisa menghilangkan kelaparan orang miskin yang hendak mati kelaparan.” Dengan fakta sejarah dan politik-ekonomi di atas, kita bisa mengerti, mengapa Soekarno melihat ketahanan pangan (yang menghindari rakyat mati kelaparan) ”sederajat” dengan UUD (Grondwet) yang berisi hak-hak asasi warga negara (droits de l’homme et du citoyen). Maka tak heran jika Jokowi kini mengerahkan semua sumber daya, termasuk kaum militer, untuk menyukseskan program kedaulatan pangan.

Tentu saja, di dalam beberapa hal, usaha ke arah itu telah dirintis sebelumnya. Harus diakui program-program Kementerian Pertanian dan otoritas-otoritas lain  yang berhubungan dengan pangan selama satu dekade ini telah mengarahkan usaha mewujudkan kedaulatan pangan. Akan tetapi, pendekatan yang dilakukan bukan saja lebih bersifat teknis, melainkan masih ditandai oleh besarnya arus impor pangan. Data yang diajukan Kompas (23/12/2014) menguatkan sinyalemen ini.

Sejak Januari hingga Oktober 2014, impor pangan telah menelan devisa 6,6 miliar dollar AS, setara Rp 80 triliun. Di samping impor beras yang menelan devisa 200 juta dollar AS, impor jagung, gula, kedelai, daging sapi, tembakau, dan gandum ”pelahap” devisa terbesar, menghabiskan 700 juta dollar AS, 1,2 miliar dollar AS, 700 juta dollar AS, 1 miliar dollar AS, 500 juta dollar AS dan 2,1 miliar dollar AS. Pertumbuhan penduduk dan kelas menengah beberapa dekade mendatang akan mendorong impor pangan dalam jumlah lebih besar dan secara struktural mengancam daya tahan fiskal dan neraca transaksi berjalan.

Arah kecondongan inilah yang harus dicegah. Apakah ada presedennya? Salah satunya PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), BUMN di sektor pangan. Di bawah Dirut Ismed Hasan Putro, RNI berusaha melihat persoalan ini dari segi ”ideologis” dan ”politik” dengan menjadikan kedaulatan dan ketahanan pangan sebagai ”gerakan”. Seperti tertera dalam Transformasi RNI Terbang Tinggi (2014), bertekad memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, termasuk pangan dan air; arus impor pangan dilihat sebagai pertarungan politik. ”Bagaimana bisa di negeri yang tongkat kayu bisa dijadikan tanaman, kok, impor begitu banyak. Impor jadi pemburuan rente elite politik tertentu,” ujarnya.

Ini mendorong RNI menerjemahkan ”gerakan” ketahanan pangan ke dalam intensifikasi, ekstensifikasi, dan sofistikasi, yang diejawantahkan pada perluasan areal persawahan, mengembangkan dan memadukan sistem perkebunan dengan ternak sapi dan pengemasan modern serta pengembangan model perdagangan produk-produk pertanian dan pangan. Dilihat dari sini, RNI telah berusaha merealisasikan semangat ideologis ketahanan pangan ke dalam kinerja praktikal dan teknikal melalui asupan kapital, teknologi dan manajerial. Namun, usaha semacam ini hanyalah petit model (model kecil) yang tak memadai mengoreksi struktur sejarah Sistem Tanam Paksa abad ke-19, yaitu membalikkan arah kekayaan material hasil eksploitasi sumber daya pertanian kepada rakyat dan bangsa Indonesia.

Kendati demikian, meminjam frasa dari tulisan YB Kadarusman (The Jakarta Post, 13/10/2014), secara teoretis ”gerakan” ini bisa disebut trickle-up economy, lawan dari trickle-down economy. Hal itu, yakni kebijakan ekonomi yang secara sengaja didesain punya efek distributif dan memberdayakan partisipasi rakyat banyak. Karena merupakan lapangan ”maha luas”, program pengembangan sektor pangan akan mampu mengakomodasikan partisipasi rakyat banyak tanpa prasyarat keterampilan.

Di sini pula konteks ”ideologis” dan politik-ekonomi program ketahanan pangan Jokowinomics. Yaitu kesediaan negara memobilisasi seluruh sumber dayanya untuk membalikkan arah kebijakan dari trickle-down kepada trickle-up economy. Dengan melakukan itu, struktur kekuasaan oligarki ekonomi-politik sektor pangan lama akan tertransformasikan kepada yang ”baru”, yang bersifat distributif dan mengakomodasikan partisipasi rakyat banyak. Hanya dengan ini, sumber daya material hasil eksploitasi sistem pertanian yang dimapankan struktur sejarah Sistem Tanam Paksa bisa dibalikkan kepada rakyat dan bangsa Indonesia.

Fachri Ali
Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150123kompas/#/6/

Kendalikan Harga Bahan Pokok, Butuh Intervensi Pemerintah

Kamis, 22 Januari 2015

 Metrotvnews.com, Jakarta: Ekonom Didik J Rachbini menilai, untuk menjaga kestabilan harga bahan kebutuhan pokok akibat fluktuasi harga bahan bakar minyak (BBM), maka perlu ada campur tangan pemerintah. Seperti diketahui, baru-baru ini pemerintah kembali menurunkan harga BBM jenis premium dan solar, namun pada kenyataannya hal tersebut tidak serta merta membuat harga bahan kebutuhan pokok ikut turun.

Didik menilai, selama ini kebijakan pemerintah terkait persoalan BBM sudah salah kaprah dan sekarang merupakan saat yang paling tepat bagi pemerintah untuk membenahinya.

"Harus ada instrumen untuk mengontrol kestabilan harga, dan itu sifatnya wajib. Stabilitas bahan bokok itu tidak hanya soal BBM kalau beras itu suplainya banyak dan jembatannya tidak putus sehingga suplainya bagus maka harganya tidak akan naik," ujar Didik usai acara Ekonomy Outlook 2015 di kantor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Jakarta, Kamis (22/1/2015).

Menurut Didik, peran Perum Bulog harus diberdayakan dan jangan justru dihilangkan. Di sisi lain, pemerintah juga harus turun bekerja. Bulog dapat menjadi instrumen pemerintah dalam melakukan kontrol harga di pasaran dan intervensi pemerintah itu harus ada.

Rencana pemerintah untuk mengintervensi harga dengan batas atas dan bawah, menurutnya bagus dan platformnya sudah ada sejak dahulu dan hal tersebut memang merupakan jalan terbaik. "Stabilitas itu ada diantara harga tertinggi dan terendah, bila terlalu tinggi konsumen yang menjerit dan bila terlalu rendah petani bisa gulung tikar," cetus Didik.

Didik mendukung sepenuhnya review harga BBM setiap dua minggu sekali sebab bila harganya terlalu murah. Kalau tidak di-review secara berkala, menurut Didik hal itu akan cenderung boros. Dia menganggap hal itu sudah hukum Tuhan, bahwa kalau harga tinggi masyarakat akan mengontrol konsumsinya. BBM bukan menjadi satu-satunya faktor yang memengaruhi harga barang kebutuhan.

"Silakan naikkan hingga 100 persen, tetapi kalau suplainya dipasok banyak ya tidak akan naik. Pemerintah yang harus turun tangan, kalau pedagang itu yang menimbun banyak, karena itu kan spekulasi juga dan itu ada di lapangan," tutur Didik.

Kontrol harga yang paling efektif menurut Didik adalah melalui operasi pasar dan juga saluran distribusi yang tidak boleh putus. Bila ada pihak yang menimbun dan mempermainkan harga harus segera ditindak. Sistem tersebut sudah puluhan tahun diterapkan di Indonesia pada masa lalu.

"Sekarang ini pemerintah tidak punya instrumen untuk mengontrol harga, timnya saja tidak ada. Dulu itu ada di Setkab (Sekretariat Kabinet) informal dibawah presiden, sekarang pemerintah ibarat mau memancing ikan tetapi tidak punya alat pancingannya, Jadi ya dibikin dulu," kata Didik.
WID

http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/01/22/348551/kendalikan-harga-bahan-pokok-butuh-intervensi-pemerintah

Kamis, 22 Januari 2015

Menunggu Inpres Perberasan

Kamis, 22 Januari 2015

MASYARAKAT sekarang sedang menunggu keluarnya Instruksi Presiden tentang Perberasan. Inpres terakhir, Inpres No 3/2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, dikeluarkan 27 Februari 2012 dengan keterangan sebagai kelanjutan kebijakan perberasan sebelumnya.
Inpres Perberasan merupakan kebijakan Presiden yang ditujukan kepada menteri terkait dan para gubernur/wali kota untuk mengatur koordinasi dan pelaksanaan di setiap kementerian dalam rangka kebijakan perberasan nasional. Inpres No 3/2012 mengatur harga pembelian, menunjuk pelaksananya, mengatur hasil pembelian untuk keperluan apa, serta menunjuk siapa yang melakukan koordinasi dan evaluasi. Yang tak diatur dalam Inpres tersebut pola pembiayaan dan siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi kerugian.

Saling menunggu
Siapa masyarakat yang menunggu keluarnya Inpres tersebut? Pertama, yang jelas petani. Sebenarnya Inpres tersebut apabila dikeluarkan pada Januari-Februari manfaatnya bagi petani terasa kurang. Inpres tersebut hanya berfungsi sebagai patokan harga yang akan terjadi di pasar saja sehingga petani dapat memperkirakan untung-ruginya. Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres umumnya sekitar Oktober untuk mendorong petani meningkatkan produksi padi. Setelah reformasi tidak ada pola yang tetap, tetapi umumnya keluar pada akhir Desember, bahkan kadang-kadang dikeluarkan pada April.

Kedua, pihak pedagang pengumpul dan penggilingan yang berkepentingan. Mereka akan bergairah kalau dalam Inpres tersebut dicantumkan beras untuk keluarga miskin (raskin). Para pedagang dan penggilingan akan berlomba memburu gabah sehingga akan mengangkat harga secara signifikan. Kalau hanya untuk cadangan beras pemerintah (CBP), mereka akan bertanya: berapa jumlah yang akan dibeli dan bagaimana kualitasnya. Mereka akan berhitung kalau CBP sebesar 1 juta ton dan mengetahui posisi stok beras Bulog saat ini 1,6 juta ton, para pedagang dan penggilingan akan mengurangi pembelian dan diperkirakan harga akan jatuh.

Ketiga, pihak Perum Bulog. Dengan adanya rencana pemerintah yang mengganti raskin dengan e-money, diperkirakan Bulog akan mengubah strategi pembeliannya. Bulog akan selektif dalam pembelian gabah/beras disesuaikan dengan kemampuan penjualan. Dengan demikian, pencabutan raskin akan kontraproduktif dengan rencana pemerintah yang akan mencapai target swasembada dalam tiga tahun. Bulog juga tidak dapat mengandalkan penjualan melalui operasi pasar karena dari pengalaman yang lalu, apabila keadaan produksi bagus atau dalam keadaan swasembada, ternyata tidak ada operasi pasar.

Keempat, pihak perbankan yang membiayai Bulog. Sejak kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dicabut tahun 1999, mulai tahun 2000 Bulog menggunakan kredit komersial perbankan yang dijamin oleh Menteri Keuangan. Menteri Keuangan bersedia menjamin kredit Bulog karena adanya jaminan penyaluran beras raskin. Apabila raskin dicabut, masih bersediakah Menteri Keuangan menjamin kredit Bulog? Akhirnya, mungkin Bulog diminta menggunakan APBN untuk pembiyaannya, tetapi yang menjadi pertanyaan, anggaran tersebut untuk program apa? Yang jelas, untuk menyantuni keluarga miskin sudah dicabut dan untuk CBP diperkirakan stoknya masih cukup besar. Akhirnya, akan terjadi kemelut yang tidak berujung karena setiap pihak berpikir secara sektoral, bukan secara komprehensif.

Sekarang ini informasi dari lapangan situasinya memberikan sinyal saling menunggu. Pihak perbankan menunggu kejelasan dari Bulog apakah kreditnya tidak macet. Pihak pedagang dan penggilingan juga menunggu kejelasan tugas yang diberikan kepada Bulog seperti apa. Pihak Bulog pun diperkirakan mengalami kebingungan. Pihak pemerintah juga harus berpikir setelah gabah/beras dibeli oleh Bulog, barangnya untuk apa?

Pengelola CBP harus berpikir ulang cara perputaran stoknya karena beras kalau disimpan selama tiga bulan sudah berubah kualitasnya. Pengalaman tahun 1984-1993, ketika dalam posisi swasembada beras, apabila Bulog melepas berasnya di dalam negeri, akan membuat harga turun. Apabila beras diekspor, harga beras dunia juga akan turun, kerugian bertambah.

Untuk apa?
Memang banyak yang skeptis atas pengaruh kebijakan harga beras terhadap kenaikan produksi padi. Namun, ilustrasi pentingnya, tingkat harga untuk mendorong kenaikan produksi dapat diikuti seperti uraian berikut ini.

Pada saat kebijakan impor beras dapat dilakukan secara bebas, harga beras di Pasar Induk Cipinang berkisar Rp 2.300-Rp 2.500 per kilogram untuk beras jenis IR III, stabil sepanjang tahun selama kurun waktu 2000-2004. Sejak impor beras dibatasi tahun 2004, baru tahun 2005 harga bergerak naik pada masa panen, sekitar Rp 2.400 per kg menjadi sekitar Rp 3.500 per kg pada Desember 2005 kemudian naik lagi menjadi sekitar Rp 4.000 per kg pada Februari 2006. Ternyata harga masih bergerak naik pada bulan paceklik, Desember 2006, menjadi sekitar Rp 4.500 per kg dan naik lagi menjadi sekitar Rp 5.000 per kg pada Februari 2007.

Pemerintah tampaknya terkaget-kaget akan adanya kenaikan harga yang demikian tinggi (naik dua kali lipat dalam tiga tahun). Oleh karena itu, pemerintah merespons dengan mengeluarkan Inpres No 2/2005 dengan menaikkan harga pembelian beras pemerintah sebesar 27 persen (dari Rp 2.790 menjadi Rp 3.550 per kg). Tahun berikutnya melalui Inpres No 3/2005 menaikkan harga pembelian gabah kering giling sebesar 27 persen (dari Rp 1.765 menjadi Rp 2.250 per kg) yang berlaku untuk tahun 2006. Tahun 2007 pemerintah masih menaikkan lagi harga beras sebesar 13 persen.

Apa dampak pembatasan impor beras dan kenaikan harga pembelian pemerintah tersebut? Diduga kenaikan produksi beras selama tiga tahun berturut-turut (2007, 2008, dan 2009) antara lain karena pembatasan impor beras dan kenaikan harga pembelian pemerintah. Faktor lain iklim yang mendukung (kemarau basah) dan tentunya kerja keras Kementerian Pertanian. Sayang belum ada yang tertarik meneliti penyebab kenaikan produksi yang spektakuler tahun 2007 sebesar 4,9 persen, tahun 2008 sekitar 5,5 persen, dan 2009 sebesar 5,8 persen. Akibat kenaikan produksi beras tersebut, Indonesia selamat menghadapi krisis pangan dunia tahun 2008. Indonesia tidak perlu berebut terjun ke pasar beras dunia.

Akhirnya, dari analisis situasi perberasan dan dalam rangka mengurai keadaan pasar yang tidak menentu saat ini, sebaiknya Inpres Perberasan segera dikeluarkan. Pengalaman menunjukkan, apabila harga turun akan lebih sulit mengangkatnya dan akan berdampak pada kepercayaan petani.

Selanjutnya, disarankan pencabutan raskin diundur menunggu 1-2 tahun lagi atau keluarga miskin yang di perkotaan saja yang dilepas terlebih dahulu seperti usulan Bank Dunia pada 2012. Tingkat harga pembelian pemerintah perlu dipertimbangkan karena sudah tiga tahun tidak mengalami perubahan. Namun, yang mengganjal dari masalah tersebut, harga beras dalam negeri sekarang sudah dua kali lipat dari harga beras dunia.

Sapuan Gafar
Mantan Sekretaris Menteri Negara Urusan Pangan dan Wakil Kepala Bulog

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150122kompas/#/7/

Selasa, 20 Januari 2015

Bulog Tak Lagi Hanya Tangani Beras

Selasa, 20 Januari 2015

Juga Akan Tangani 7 Komoditi

SEMARANG – Perum Bulog tahun ini akan menangani komoditas bahan pokok selain beras. Hal ini guna menjaga kestabilan harga serta ketersediaan bahan-bahan pokok di pasaran.

Kepala Perum Bulog Divre Jateng, Damin Hartono mengatakan, untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, pihak Kementerian BUMN meminta Bulog untuk menangani bahan pokok lainnya. Tercatat ada tujuh komoditas yang akan ditangani oleh lembaga tersebut. Yaitu beras, gula, jagung, kedelai, daging, bawang dan cabai. “Sebelumnya, kita hanya melayani beras, gula, jagung, kedelai dan daging. Sekarang ditambah dua lagi, cabai dan bawang,”ujarnya, kemarin.

Bahan-bahan pokok ini ditangani lembaga tersebut, dengan tujuan menjaga kestabilan harga dan ketersediaannya di pasaran dalam kondisi apapun. Cabai dan bawang diikutkan, mengingat belakangan harga keduanya fluktuatif. Padahal, komoditi ini banyak dibutuhkan masyarakat. “Beberapa waktu terakhir ini cabai harganya tidak terkendali dan mendorong inflasi, maka itu kebijakan ini diambil. Dengan adanya tambahan komoditas yang akan ditangani itu, mulai sekarang kami akan melakukan survei ke daerah-daerah penghasil bawang-bawangan dan cabai,” jelasnya

Untuk bawang, Bulog akan melakukan survei ke Kabupaten Brebes. Lalu untuk melihat potensi cabai, Bulog akan survei di wilayah Kedu. “Kami akan survei bagaimana stok dan potensi komoditas tersebut di daerah-daerah tersebut,” tambah Damin.

Selain itu juga memantau perdagangan antar daerah dan distribusinya. Termasuk juga menyiapkan tempat penyimpanan yang menjamin stok komoditas tersebut selalu ada. Dengan adanya upaya-upaya ini, diharapkan inflasi dapat lebih terkendali, harga stabil, sekaligus mengantisipasi impor. (dna/smu)

http://radarsemarang.com/ekonomi-bisnis/bulog-tak-lagi-hanya-tangani-beras/

Senin, 19 Januari 2015

Harga pokok penjualan beras naik 10,7%

Minggu, 18 Januari 2015


JAKARTA. Bulog memutuskan Harga Pokok Penjualan (HPP) beras naik 10,7% di tahun ini. Ini merupakan kenaikan HPP pertama dalam dua tahun terakhir.
Saat ini harga jual gabah petani sebesar Rp 6.100 per kilogram (kg) sampai Rp 6.200 per kg. Dengan HPP baru, diperkirakan harga jual sekitar Rp 6.700 per kg sampai Rp 6.800 per kg. Sementara harga beras menjadi RP 7.500 sampai Rp 8.300 per kg.
Sejatinya, kenaikan HPP ini lebih rendah dari usulan para petani, yaitu 15%. Winarno Tohir, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) mengatakan, asumsi kenaikannya adalah 5% untuk melawan inflasi dan sisanya 10% agar bisa dinikmati oleh petani.
Meski lebih rendah dari usulan, Winarno mengatakan, petani menerima.
Dia menjelaskan, HPP beras perlu dinaikkan. Pertama, menjaga semangat petani untuk tetap menanam padi sehingga swasembada pangan bisa terwujud. Kedua, menjaga harga tidak anjlok ketika panen terjadi.
"Januari sampai Februari memang harga beras akan mahal sebab produksi beras juga sedikit. Namun, pada Maret sampai April harga akan jatuh. Nah, HPP ini akan melindungi saat harga jatuh," tandas Winarno pada Jumat (16/1).
Diprediksi, Januari akan akan terjadi defisit beras. Luas area panen pada Januari diperkirakan sebesar 600.000 hektare (ha).
Lahan panen baru meningkat ketika Februari menjadi  1,2 juta ha dan Maret 3 juta ha. Sisanya pada April sekitar 2,2 juta ha.
Jika dihitung selama empat bulan, akan ada panen sekitar 21,2 juta ton beras. Rinciannya, pada Januari 1,8 juta. Lalu Februari sebesar 3,6 juta ton dan Maret sebesar 9,1 juta ton. Terakhir April sebesar 6,7 juta ton.
Jika setiap bulan, kebutuhan nasional beras mencapai 3 juta ton. Artinya hanya pada Januari saja terjadi defisit beras. Itulah yang membuat harga beras pada Januari ini masih merangkak naik.

http://industri.kontan.co.id/news/harga-pokok-penjualan-beras-naik-107

Kemendag Temukan Penimbun Beras di Cakung

JAKARTA - Kementerian Perdagangan (Kemendag) beberapa waktu lalu melakukan inspeksi mendadak (sidak) terhadap beberapa gudang beras di Jakarta Utara dan Jakarta Timur. Dari sidak tersebut diketahui adanya indikasi penimbunan beras.

"Ada indikasi menimbun karena beras yang disimpan di sana menurut saya kapasitasnya penuh, sangat penuh. Intinya penimbunan itu tidak diperbolehkan apabila terjadi harga yang tinggi, dia bergejolak dan ingin mengambil keuntungan," ujar Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Srie Agustina, saat ditemui di Pasar Modern Bumi Serpong Damai, Tangerang, Minggu (18/1/2015)
Dia menjelaskan, gudang yang diidentifikasi melakukan penimbunan berada di wilayah Cakung, Jakarta timur. Di dalam gudang beras tersebut ditemukan beras yang berasal dari operasi pasar khusus Badan Urusan Logistik (Bulog).

"Tidak boleh seharusnya (beras Bulog) ada di sana, harusnya operasi pasar khusus datang ke distribusi kemudian disalurkan begitu," imbuhnya.

Menurut Srie, tindakan penimbunan tersebut telah menyalahi Undang-Undang (UU) Perdagangan. Pelakunya pun bisa dijatuhi sanksi minimal lima tahun, dan denda hingga Rp20 miliar.

"Apa lagi kalau banyak ditemukan identifikasi lain, seperti izin gudang, administrasi penutupan gudang," tandas Srie.

http://economy.okezone.com/read/2015/01/18/320/1093769/kemendag-temukan-penimbun-beras-di-cakung

Jumat, 16 Januari 2015

“JKW-JK : Kedaulatan Pangan Setengah Hati dalam RPJMN”

Kamis, 15 Januari 2015

Jakarta, beritaasatu.com - Rencana Pembangunan Jangka Menengah nasional (RPJMN) 2015-2019, yang disusun pemerintahan Jokowi – JK menunjukan peningkatan anggaran dan target terkait urusan pangan. Tetapi secara garis besar, terbatas pada peningkatan produktivitas semata. Tidak sejalan dengan kedaulatan pangan, yang intinya untuk memanusiakan para produsen pangan Indonesia. Beberapa strategi justru mengulang kesalahan pemerintahan sebelumnya dan kembali meminggirkan produsen pangan skala kecil.

“memang tidak semudah membalik telapak tangan memenuhi hak atas pangan ditengah situasi yang serba Kritis, dimana kemajuan ekonomi Indonesia tidak beranjak secara signifikan. Perlu langkah-langkah strategis JKW sebagai dasar untuk membenahi kondisi Darurat Pangan menjadi Daulat Pangan seperti yang dijanjikan” tutur Tejo Wahyu Jatmiko , kordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) , saat Pers Rilis di Jakarta (15/01).

Tejo mengingatkan Negara mempunyai peran penting karena memilki otoritas dan kapasitas untuk mengkonsolidasi sumberdaya ekonomi demi kepentingan pemenuhan hak atas pangan.

“hal yang selalu disampaikan berulang-ulang adalah masalah produktifitas semata, terkait swasembada pangan dalam 3 tahun. Namun bagaimana cara mencapai itu yang sebenarnya lebih penting. Pertanyaan besarnya , diletakan dimana petani Indonesia dalam kerangka ini ?” ujar tejo.

Hal senada juga di ungkapkan oleh Said Abdullah, kordinator Pokja Beras ADS, “situasi saat ini dengan ditolaknya gugatan masyarakat sipil terhadap UU pangan, khususnya terkait benih Transgenik menunjukan arah yang salah dalam meletakkan landasan kedaulatan pangan dan harus segera dikoreksi oleh Jokowi-JK. ” tegasnya

JKW-JK harus cerdas dan strategis dalam menentapkan langkah-langkah menuju kedaulatan pangan , terutama dengan terbatasnya anggaran yang tersedia. Kesalahan dalam perencanaan dapat meruntuhkan visi misi tentang kedaulatan pangan. (boim)


Kamis, 15 Januari 2015

Menteri Sofyan Naikkan HPP Beras Jadi 10%

Rabu, 14 Januari 2015

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, pemerintah telah sepakat menaikan harga pembelian pemerintah (HPP) beras petani naik 10 persen dari harga yang sebelumnya Rp6.600 per kilogram (kg).

"Iya tadi diusulkan harga pembelian Bulog naik 10 persen," kata Sofyan di Kantornya, Jakarta, Rabu (14/1/2015).

Sofyan mengaku, kenaikan ini akan diberlakukan mulai pada Januari 2015 atau sejalan dengan pemberian beras miskin (Raskin) yang akan dimulai pemerintah.

Dirinya juga menuturkan bahwa kenaikan ini juga baru dilakukan setelah beberapa tahun belakangan ini.

"Mulai pembelian tahun ini, karena sebelumnya tidak naik selama 3 tahun terakhir," pungkasnya.

(rzk)

http://economy.okezone.com/read/2015/01/14/320/1092411/menteri-sofyan-naikkan-hpp-beras-jadi-10

Swasembada Gagal, KSAD Siap Mundur

Kamis, 15 Januari 2015

BANDUNG, KOMPAS — Program swasembada pangan, yang ditargetkan Presiden Joko Widodo dalam tiga tahun hingga tahun 2017, didukung penuh oleh jajaran TNI Angkatan Darat dengan melakukan tugas pendampingan pertanian.
Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Gatot Nurmantyo, di Bandung, Rabu (14/1), menegaskan, bila dalam waktu yang ditentukan swasembada pangan tidak terwujud, dia siap mengundurkan diri.

”Bapak Presiden telah menyatakan, jika swasembada pangan tak terwujud Menteri Pertanian akan dicopot. Tentunya bukan hanya Menteri Pertanian, saya pun siap mundur, sebab TNI AD juga turut bertanggung jawab dalam menyukseskan program pembangunan. Namun saya optimistis, target dapat tercapai,” kata Gatot Nurmantyo.

Ia mengatakan itu ketika memberikan paparan dalam acara Silaturahmi KSAD dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompinda) Provinsi/ Kabupaten/ Kota dan Komponen Masyarakat Se-Wilayah Jawa Barat dan Banten, di Gedung Graha Tirta Siliwangi, Bandung.

Perang
Gatot saat itu memberikan materi tentang bahaya perang proxy (proxy war), yakni perang menggunakan pihak ketiga guna mengalahkan musuh. Sasaran perang proxy di dunia saat ini lebih mengarah pada perebutan sumber pangan, air, dan energi. Oleh karena itu, kedaulatan pangan nasional sangat penting dan harus dibangun dengan kokoh.

Gatot menjelaskan, dalam mendukung swasembada pangan ini seluruh jajaran Komando Daerah Militer (Kodam), beberapa perwira, dan bintara, telah diikutsertakan dalam pembekalan pertanian di Sulawesi Selatan. Ada sekitar 52.000 anggota bintara pembina desa (babinsa) akan dikerahkan untuk ikut mendampingi kegiatan penyuluh pertanian, serta didukung pula seluruh prajurit, dan satuan jajaran TNI.

”Dari pembekalan yang diperoleh nantinya akan diaplikasikan oleh anggota di daerahnya, sesuai dengan kondisi wilayah masing-masing,” ujar Gatot.

Dalam acara itu dilakukan penandatanganan nota kesepahaman tentang peningkatan produktivitas hasil pertanian yang ditandatangani Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan Panglima Kodam III/ Siliwangi Mayor Jenderal TNI Dedi Kusnadi Thamim. Penandatanganan nota kesepahaman di bidang pertanian juga dilakukan antara Pelaksana Tugas Gubernur Banten Rano Karno dan Pangdam III/ Siliwangi.

”Selama ini Jawa Barat menjadi pemasok padi terbesar nasional, dengan kontribusi sekitar 18 persen dari keseluruhan produksi. Tahun ini, untuk mengamankan cadangan beras nasional, pemerintah meningkatkan target produksi Jabar. Kami optimistis mampu menambah 1,5 juta ton sampai 2 juta ton gabah kering giling, dari 12 juta ton yang sudah dihasilkan tahun lalu. Dengan dukungan TNI, tentu ketahanan pangan kita makin kokoh,” kata Heryawan.

Di Jawa Timur, Dinas Pertanian Jember dan Komando Distrik Militer 0824 Jember melakukan sosialisasi teknis pertanian kepada petani. Untuk itu, setiap babinsa dilatih menjadi petugas pendamping penyuluh pertanian lapang. (SEM/SIR/ACI)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150115kompas/#/27/

Penyaluran Pupuk Bersubsidi Diperketat

Rabu, 14 Januari 2015

Penyaluran Pupuk Bersubsidi Diperketat
Bupati Bojonegoro Suyoto memanen padi di daerah bantaran Sungai Bengawan Solo, kemarin. Petani bantaran Sungai Bengawan Solo berhasil memanen padi pada musim hujan tahun ini.
BOJONEGORO - Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Bojonegoro Basuki menegaskan, jika ditemukan penyelewengan pendistribusian pupuk bersubsidi maka pihaknya akan menyerahkan langsung pada polisi untuk ditindaklanjuti.

Pengawasan penyaluran pupuk bersubsidi diperketat selama musim tanam tahun ini. “Pengawasan dilakukan mulai dari gudang penyangga, distributor, dan pengecer. Pengawasan dilakukan secara rutin dengan organ verifikator untuk mengawasi agar pupuk sampai ke tangan petani sesuai kuota,” ujarnya.

Pengawasan penyaluran pupuk subsidi tersebut dilakukan oleh Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) Kabupaten Bojonegoro dan bekerja sama dengan pihak kepolisian. Pelanggaran pendistribusian pupuk subsidi, menurutnya, sudah masuk dalam ranah pidana. “Beberapa ada pesan masuk pupuk dari toko. Itu jika terjadi merupakan wilayah pelanggaran undang-undang tata kelola pendistribusian pupuk bersubsidi,” katanya.

Selain itu, pihaknya juga mengimbau kepada masyarakat agar turut serta melakukan pengawasan pendistribusian pupuk bersubsidi. Sehingga diharapkan pada 2015 diharapkan semua bisa sinkron mulai produsen sampai dengan distributor. “Jangan sampai produsen telat dalam menyediakan pupuk di gudang penyangga, sedang distributor juga mengambil jatah sesuai dengan jatah yang sudah ditetapkan,” ucapnya.

Sementara, Sales Supervisor PT Petro Kimia Gresik, Adi Sutanto mengatakan, saat ini kendala di lapangan terkait dengan pendistribusian pupuk yang belum merata. Hal itu disebabkan adanya beberapa wilayah distributor jauh dari kantornya sehingga tidak efisien dan efektif. “Pada 2015 ini diusulkan pihak distributor untuk menata kembali agar wilayah yang dijangkau tidak terlalu jauh di mana distributor ini ada,” katanya.

Hal itu menyebabkan penyaluran pupuk tidak merata. Namun, kata dia, gudang yang kosong bisa mengambil pupuk dari gudang yang lain. Di Kabupaten Bojonegoro, gudang pupuk menyebar di Kecamatan Sumberejo, Baureno, Kalitidu, Padangan. “Jika salah satu telat bisa mengambil dari gudang yang lain,” ujarnya.

Sementara itu, Bupati Bojonegoro Suyoto panen padi di Desa Kedungprimpen, Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro. Padi yang dipanen ini berada di areal persawahan di daerah bantaran Sungai Bengawan Solo.

Pada musim hujan tahun sebelumnya persawahan di daerah bantaran Sungai Bengawan Solo ini selalu menjadi langganan banjir. “Selama musim hujan tahun ini petani di daerah bantaran Bengawan Solo dapat memanen padi dengan kualitas bagus,” ujar Suyoto usai panen padi bersama petani.

Di Kecamatan Kanor, lahan persawahan yang berada di daerah bantaran Sungai Bengawan Solo seluas 2.761 hektare yang berada di 17 desa. Lahan padi yang dipanen saat ini sekitar 210 hektare dengan hasil panen padi per hektare sekitar 6–8 ton. Sedangkan, harga jual gabah juga cukup tinggi yakni di kisaran Rp4.300 hingga Rp4.000 per kilogram.

Muhammad Roqib

http://www.koran-sindo.com/read/950379/151/penyaluran-pupuk-bersubsidi-diperketat-1421209432

Pemerintah Siapkan 9,5 Juta Ton Pupuk Subsidi di 2015, Naik 22%

Rabu, 14 Januari 2015

Serang -Kementerian Pertanian (Kementan) punya tugas mempercepat target swasembada pangan dalam 3 tahun ke depan khususnya beras. Tahun ini pemerintah menyediakan 9,5 juta ton pupuk bersubsidi atau naik 22% dari alokasi tahun lalu sebanyak 7,78 juta ton.

Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman pernah mengatakan anggaran subsidi pupuk dan benih dalam rancangan APBN-Perubahan 2015, rinciannya 9,5 juta ton untuk pupuk senilai Rp 28 triliun, dan bantuan benih Rp 2 triliun.

"Total pupuk subsidi untuk 2015 sebanyak 9,5 juta ton untuk seluruh Indonesia," kata Amran disela-sela blusukan di Serang, Banten, Rabu (14/1/2015).

Hari ini, Amran blusukan ke daerah Banten, ia sempat meninjau gudang benih dan irigasi. Amran dan rombongan berangkat dari Jakarta sekitar pukul 06.00 WIB, dan tiba di lokasi sekitar pukul 08.30 WIB, di gudang benih di Kecamatan Kramatwatu, Serang, Banten. Amran juga mengunjungi irigasi Cisata di Desa Kondang Jaya, Pandeglang, Banten.

"Saya ingin petani sejahtera, masyarakat Indonesia bahagia," katanya.

Ia mengatakan fokus kementeriannya mencapai swasembada pangan untuk 3 tahun ke depan khususnya beras, jagung, kedelai, dengan fokus pada hal penopang pertanian seperti penyediaan pupuk dan benih bersubsidi, benih gratis, perbaikan irigasi, dan bantuan alat pertanian.

"Bantuan untuk pupuk, benih, dan irigasi seperti tadi yang sudah diungkapkan," ungkap Amran.Tahun lalu, anggaran subsidi pupuk sebesar Rp 21,05 triliun dengan rincian Rp 18,05 triliun untuk subsidi tahun 2014 dan Rp 3 triliun untuk membayar kekurangan subsidi tahun 2012.

Volume pupuk bersubsidi tahun lalu sebanyak 7,78 juta ton dengan rincian Urea 3,42 juta ton, SP-36 0,76 juta ton, ZA 0,80 juta ton, NPK 2 juta ton dan organik 0,80 juta ton.

Tahun ini, beberapa BUMN ditunjuk untuk pengadaan pupuk dan bibit agar mempercepat pengadaan, untuk mencegah keterlambatan distribusi ke petani.

Beberapa BUMN yang dituntuk untuk pengadaan pupuk yaitu PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) dan PT Pupuk Indonesia. Sedangkan untuk pengadaan bibit, ditunjuk langsung PT Pertani dan PT Sang Hyang Seri (Persero).

Rabu, 14 Januari 2015

Massa ARRI Minta Presiden Jokowi Copot Menteri BUMN

RABU, 14 JANUARI 2015


Jakarta, Seruu.com - Sekitar 200 orang yang tergabung dalam Aliansi Relawan Dengan Rakyat (ARRI) mengelar aksi unjuk rasa di kantor Kementerian BUMN di Jalan Medan Merdeka Selatan, Rabu (14/1/2015).

Dalam aksinya, massa ARRI menuntut agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencopot Menteri BUMN Rini Soemarno.

"Apa yang dilakukan Menteri Negara BUMN, Rini Soemarno, dalam menunjuk jajaran direksi BUMN seperti Telkom, PLN, dan BULOG sangat  membabi-buta dan tidak memakai prosedur, " teriak Koordinator Aksi Dian dalam orasinya.

Dian menambahkan, “Menteri Rini Suwandi boleh jadi telah mempecundangi kewenangan dan peran presiden yang seharusnya terlibat dalam penunjukan-penunjukan direksi-direksi BUMN”. Ditakutkan para direksi itu adalah teman-teman dekat menteri atau wakil presiden, sehingga penunjukan mereka bagian dari nepotisme.

Dalam keterangan yang diberikan terpisah, kordinator ARRI, Dadan Rhamdani mengatakan ,”Penggantian dan penunjukan jajaran direksi bisa dilakukan dalam sekejap, kok seperti alap-alap curanmor saja. Apalagi dengan memanfaatkan kelengahan publik dan kesibukan Presiden Jokowi.”

Menurut Dadan, ini semua karena sejak awal Menteri BUMN  Rini Soemarno seperti juga calon Kapolri adalah orang-orang yang tidak kredibel dan kena kartu merah KPK  saat dinominasikan.

“Tidak heran kalau hasil kerjanya amburadul, karena yang bersangkutan sebelumnya terlibat dalam  skandal  SKL (Surat Keterangan Lunas) yang diberikan kepada konglomerat penerima BLBI,” tambah Rhamdani.

Penempatan orang-orang Bank Rakyat Indonesia (BRI) dalam jajaran direksi BUMN, walau mungkin bagian dari pengembangan bisnis perbankan, tetapi jelas menyalahi norma-norma usaha. Sofyan Basir dan Lenny Sugihat sebagai direktur utama PLN dan BULOG dapat melakukan moral hazard karena adanya conflict of interest (konflik kepentingan).

Di sela-sela aksi ARRI, Dian Setiowati pun meminta Presiden Jokowi agar segera mengevaluasi kerja Meneg BUMN, jika tidak kinerja BUMN akan berantakan.

"Kalau perlu segera diganti karena mengancam keberadaan dan keselamatan aset negara. Bukankah Meneg BUMN ini pula berteriak akan menjual Gedung BUMN dan menempatkan orang asing sebagai direksi BUMN. Ini jelas bertentangan dengan Nawacita dan Trisakti yang diusung oleh Presiden Jokowi,  ujarnya.

Niat Presiden Jokowi agar BUMN (Badan Usaha Milik Negara) mengembangkan aksi korporasi dan andil dalam pembangunan nasional dikhawatirkan akan sia-sia. "Dalam beberapa putaran penggantian jajaran direksi tercium adanya tangan-tangan mafia yang ingin menempatkan orang-orangnya dan menjadikan BUMN sebagai ladang bisnisnya. Saat ini  beberapa direktur utama BUMN ditengarai adalah orang-orang yang tergabung dalam mafia perbankan atau mafia lainnya," terangnya.

"Bancakan BUMN ini menggila saat Presiden Jokowi akan menyuntik BUMN dengan dana puluhan triliun  dan menghilangkan tradisi pembagian deviden. “Ada operasi senyap  untuk mengusai BUMN basah dengan menunjuk direktur BUMN secara tidak transparan,”tutup Dian.

Aksi unjukrasa damai oleh massa ARRI ini, berlangsung selama satu jam dan berakhir sekitar pukul 13.30 WIB. [Simon]

http://utama.seruu.com/read/2015/01/14/240158/massa-arri-minta-presiden-jokowi-copot-menteri-bumn

Stop Penjarahan BUMN, Presiden Dituntut Evaluasi Kerja Menteri Rini

Rabu, 14 Januari 2015
 

RMOL. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendorong agar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengembangkan aksi korporasi dan andil dalam pembangunan nasional. Tetapi rencana ini  dikhawatirkan akan sia-sia mengingat dalam beberapa putaran penggantian jajaran direksi ditengarai ada campur-tangan mafia.

"Selama ini rupanya ada operasi rahasia untuk menguasai BUMN beromzet besar dengan menunjuk direktur BUMN tanpa melalui uji publik dan diam-diam," kata koordinator Aliansi Relawan dengan Rakyat  (ARRI), Dadan Rhamdhani melalui rilis tertulis yang diterima redaksi, Rabu (14/1).

Pihaknya menilai apa yang telah dilakukan Menteri Negara BUMN, Rini Suwandi dalam menunjuk jajaran direksi BUMN seperti Telkom, PLN, dan Badan sangat  ceroboh dan tidak menggunakan prosedur yang memadai. Tindakan Menteri Rini tersebut dinilai mempecundangi kewenangan dan peran presiden yang seharusnya terlibat dalam penunjukan-penunjukan jajaran direksi BUMN.

Bahkan penggantian dan penunjukan jajaran direksi bisa dilakukan dalam 12 jam seperti membangun 'Candi Prambanan'. Itupun dengan memanfaatkan kelengahan publik dan kesibukan Presiden Jokowi saat mengurus longsor di Banjarnegara, kebakaran Pasar Klewer, dan jatuhnya pesawat AirAsia.

"Ini memang bukan hal yang aneh, karena sejak awal Menteri BUMN  Rini Suwandi, seperti juga calon Kapolri adalah orang-orang yang tidak kredibel dan kena kartu merah KPK  saat dinominasikan," jelasnya, lebih lanjut.

Dengan kenyataan ini, ARRI memperkirakan kinerja BUMN akan tetap rendah, karena yang bersangkutan sebelumnya juga terlibat dalam  skandal SKL (Surat Keterangan Lunas) yang diberikan kepada konglomerat penerima BLBI. Penempatan orang-orang Bank Rakyat Indonesia dalam jajaran direksi BUMN, walau mungkin bagian dari pengembangan bisnis perbankan, tetapi jelas menyalahi norma-norma usaha.

"Sofyan Basir dan Lenny Sugihat sebagai direktur utama PLN dan Bulog dapat melakukan moral hazard (pelanggaran moral) karena adanya conflict of interest (konflik kepentingan)," tegasnya.

Oleh karena itu, sambung Dadan, ARRI menuntut agar Presiden Jokowi segera mengevaluasi kerja Meneg BUMN. Kalau perlu segera melakukan penggantian menteri BUMN karena mengancam keberadaan dan keselamatan aset negara.

"Apa yang telah dilakukan Meneg BUMN dengan rencana akan menjual gedung BUMN dan mempekerjalan orang asing sebagai direksi BUMN. jelas bertentangan dengan Nawacita dan Trisakti yang diusung oleh Presiden Jokowi," kata Dadan menginformasikan bahwa hari ini massa ARRI berjumlah 200 orang akan mendemo Menteri BUMN, Rini Soemarno.[wid]

http://politik.rmol.co/read/2015/01/14/186839/Stop-Penjarahan-BUMN,-Presiden-Dituntut-Evaluasi-Kerja-Menteri-Rini-

Arri Demo Kementerian BUMN

Rabu, 14 Januari 2015

Desak Hentikan “Perilaku Bancakan” BUMN

Jakarta_Barakindo- Niat Presiden Jokowi agar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengembangkan aksi korporasi dan andil dalam pembangunan nasional di khawatirkan akan sia-sia. Dalam beberapa putaran penggantian jajaran direksi perusahaan-perusahaan BUMN, tercium adanya tangan-tangan mafia yang ingin menempatkan orang-orangnya dan menjadikan BUMN sebagai ladang bisnisnya.

Menurut Aliansi Relawan dan Rakyat (Arri), saat ini  beberapa direktur utama BUMN ditengarai adalah orang-orang yang tergabung dalam mafia perbankan atau mafia lainnya. Bancakan BUMN, katanya, semakin menggila saat Presiden Jokowi akan menyuntik BUMN dengan dana puluhan triliun  dan menghilangkan tradisi pembagian deviden.

“Ada operasi senyap  untuk mengusai BUMN basah dengan menunjuk Direktur BUMN secara tidak transparan”, kata kordinator aksi Dian Setiowati dalam siaran pers-nya yang diterima Barak Online Group.

Hari ini, Rabu (14/01/2015) sebanyak 200 orang yang tergabung dalam Aliansi Relawan dan Rakyat (Arri) menggelar melakukan aksi demonstrasi di depan kantor Meneg BUMN.

Apa yang dilakukan Menteri Negara BUMN, Rini Suwandi, dalam menunjuk jajaran direksi BUMN, ujarnya, seperti Telkom, PLN, dan BULOG sangat  membabi-buta dan tidak memakai prosedur.

Dian menambahkan, Rini boleh jadi telah mempecundangi kewenangan dan peran Presiden yang seharusnya terlibat dalam penunjukan-penunjukan Direksi- Direksi BUMN. “Ditakutkan para Direksi itu adalah teman-teman dekat menteri atau Wakil Presiden, sehingga penunjukan mereka bagian dari nepotisme,” jelasnya.

Terpisah, Koordinator ARRI, Dadan Rhamdani mengatakan, penggantian dan penunjukan jajaran direksi bisa dilakukan dalam sekejap, seperti alap-alap curanmor saja. Apalagi dengan memanfaatkan kelengahan publik dan kesibukan Presiden Jokowi. Menurut Dadan, ini semua karena sejak awal Menteri BUMN  Rini Suwandi seperti juga calon Kapolri adalah orang-orang yang tidak kredibel dan kena kartu merah KPK saat dinominasikan.

“Tidak heran kalau hasil kerjanya amburadul, karena yang bersangkutan sebelumnya terlibat dalam  skandal  Surat Keterangan Lunas (SKL) yang diberikan kepada konglomerat penerima BLBI”, tambah Rhamdani.

Penempatan orang-orang Bank Rakyat  Indonesia (BRI) dalam jajaran Direksi BUMN, walaupun mungkin bagian dari pengembangan bisnis perbankan, tetapi jelas menyalahi norma-norma usaha.

Sofyan Basir dan Lenny Sugihat sebagai direktur utama PLN dan BULOG, katanya lagi, dapat melakukan moral hazard, karena adanya conflict of interest (konflik kepentingan-red).

Dian Setiowati menambahkan, Presiden Jokowi harus segera mengevaluasi kinerja Meneg BUMN. “Jika tidak, kinerja BUMN akan berantakan. Kalau perlu segera diganti saja, karena mengancam keberadaan dan keselamatan aset negara. Terlebih Meneg BUMN telah mengutarakan keinginannya untuk menjual Gedung BUMN, dan menempatkan orang asing sebagai Direksi BUMN. Ini jelas bertentangan dengan Nawacita dan Trisakti yang diusung oleh Presiden Jokowi,” pungkasnya. (Redaksi)*  

http://beritabarak.blogspot.com/2015/01/arri-demo-kementerian-bumn.html#more

Selasa, 13 Januari 2015

Politikus Demokrat: Kebijakan BBM Persulit Perekonomian Masyarakat Desa

Selasa, 13 Januari 2015

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Fraksi Partai Demokrat Khatibul Umam Wiranu menemukan masyarakat semakin terjerat dengan kesulitan ekonomi pasca kenaikan harga BBM bersubsidi yang dilakukan Presiden Joko Widodo pada bulan November lalu.
Dari hasil reses di dapilnya Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap, Khatibul mengatakan, kebijakan penurunan harga BBM pada awal 2015 lalu, nyatanya tidak memberi efek apapun atas kenaikan sejumlah komoditas di pasar
"Harga kebutuhan bahan pokok warga seperti beras, minyak goreng, bawang merah, sayur mayur hingga garam dan produk kebutuhan pokok lainnya mengalami kenaikan signifikan di pasar. Keluhan ini dijumpai hampir di semua wilayah khususnya tempat kunjungan reses," katanya dalam keterangan pers yang diterima Tribunnews.com, Selasa (13/1/2015).
Menurutnya, kenaikan serupa juga terjadi di komoditas bahan bangunan seperti semen, pasir, batu, kayu dan lainnya. Hampir semua bahan bangunan semuanya mengalami kenaikan harga.
Selain itu, kenaikan harga juga terjadi di jasa transportasi. Belum lagi kebijakan kenaikan harga LPG 12 kilo serta kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) kian melengkapi keterdesakan masyarakat desa atas himpitan ekonomi yang terjadi saat ini.
Lebih lanjut dikatakan Khatibul, hasil temuan di lapangan terkonfirmasi tentang tidak efektifnya program KIS, KIP dan KKS. Pemicunya karena menggunakan data pada tahun 2011 atau data empat tahun silam.
"Efek di lapangan, saya jumpai para kepala desan dan perangkat desa kerepotan menghadapi warga yang merasa tidak adil dalam pembagian KIP, KIS dan KKS. Selain itu, banyak yang tidak berhak malah mendapat, dan yang berhak malah tidak dapat," katanya.
Dirinya menilai, persoalan yang terjadi saat ini, tampak Negara tidak hadir di tengah-tengah masyarakat.
"Seperti kenaikan sejumlah komoditas sembako, bahan bangunan, alat transportasi karena imbas kenaikan BBM, tampak terasa, negara absen, acuh sekaligus cuek terhadap persoalan nyata di tengah masyarakat," katanya.
Lebih lanjut dirinya menyarankan kepada Presiden Joko Widodo untuk menginstruksikan kepada jajarannya baik di pemerintah pusat maupun perangkat-perangkat di daerah untuk segera merespons secara serius atas kenaikan sejumlah komoditas tersebut. Harus ada terobosan nyata untuk menghadapi masalah ini.
"Blusukan Presiden dan para menteri harus diikuti solusi yang konkret di lapangan. Negara harus hadir di tengah masyarakat," tambahnya.

http://www.tribunnews.com/nasional/2015/01/13/politikus-demokrat-kebijakan-bbm-persulit-perekonomian-masyarakat-desa

Guruh Sukarno Putra Terus Berkarya Bagi Bangsa

Selasa, 13 Januari 2015

Di Ulang Tahun Yang ke-62
TAK terasa, kini Guruh Sukarno Putra (GSP) genap berusia 62 tahun. Ya, pria yang lahir di Jakarta pada 13 Januari 1953 dengan nama lengkap Muhammad Guruh Irianto Sukarno Putra, merayakan Ulang Tahun (Ultah)-nya yang ke-62 pada Selasa 13 Januari 2015.

Pria ber-zodiac Capricorn itu adalah anak bungsu dari pasangan presiden pertama Republik Indonesia (RI) yang sekaligus Proklamator, Soekarno dan Fatmawati.

Selain dikenal sebagai salah satu politisi di Senayan, Guruh juga adalah salah seorang seniman ternama di tanah air. Sejak kanak-kanak, ia dikenal sangat menyukai kesenian dan sastra. Sehingga tidaklah heran, di usianya yang baru menginjak lima tahun, Guruh sudah menekuni tarian Jawa, Sunda, dan Bali. Sejak itu pula ia kerap mementaskan tariannya diatas panggung. Pada usia itu juga ia membentuk band cilik dan bermain piano.

Menjelang remaja, Guruh membentuk band The Beat-G (tahun 1965) dan merilis album perdananya di tahun 1975 berjudul Guruh Gypsy, yang berisi musik paduan gamelan Bali.

Dua tahun kemudian, Guruh mendirikan organisasi pemuda, Swara Mahardika, yang kemudian bermetamorfosis menjadi Yayasan Swara Mahardika pada 1987. Kemudian pada tahun 1989 juga, Guruh mendirikan  dan PT Gencar Semarak Perkasa (GSP).

Pria yang kerap disapa dengan panggilan pak GSP itu kerap mengadakan pertunjukan dan pagelaran untuk menunjukkan ekspresinya dibidang seni.

Di antara pertunjukan karya seni yang digelarnya, antara lain Pagelaran Karya Cipta Guruh Soekarno Putra I (1979), Pagelaran Karya Cipta Guruh Soekarno Putra II: Untukmu Indonesiaku dan memproduksi film semi-dokumenter Untukmu Indoensiaku (1980), Pagelaran Karya Cipta Guruh Soekarno Putra III: Cinta Indoensia Pagelaran Jakarta Week di Singapura (1984), dan Pagelaran Karya Cipta Guruh Soekarno IV: Gilang Indonesia Gemilang (1986). Selain itu, Guruh juga pernah menggelar pertunjukan kolosal 'JakJakJakJak Jakarta' dalam rangka ulang tahun Jakarta ke 462 tahun (1989), Pagelaran Kolosal: Gempita Swara Mahardhika dalam rangka 10 tahun Swara Mahardika (1987).

Tak hanya itu, peran Guruh di bidang perfilman tanah air-pun tak bisa dipandang sebelah mata, karena ia pernah menjadi ilustrator musik film Ali Topan Anak Jalanan. Ia juga pernah berperan sebagai Sunan Muria dalam film Sembilan Wali (1985).

Koordinator Nasional (Kornas) Protanikita, Bonang, menyampaikan selamat untuk putra Proklamator tersebut. “Selamat Ulang Tahun untuk pak Guruh Sukarno Putra. Segenap pengurus dan aktivis Protanikita mendoakan semoga panjang umur, selalu diberi kesehatan lahir dan batin, murah rezeki, dan terus mempersembahkan karya-karya terbaik bagi kamajuan bangsa dan negara,” ujarnya.

Sementara itu, Koordinator Nasional Barisan Rakyat Anti Korupsi (Kornas Barak), Danil’s, berharap besar dari putra bungsu Presiden pertama RI itu untuk mengingatkan generasi bangsa tentang semangat kemerdekaan yang digelorakan Bung Karno.

“Kami sering mendapat pesan dari salah satu mentor kami (Bung Kobu-red) tentang gerakan memerdekan Indonesia oleh Soekarno. Bermula dari sebuah diskusi di Bandung pada sekitar tahun 20-an. Kala itu, sebagian orang berpendapat, jangan dulu merdeka, karena rakyat belum banyak yang berpendidikan. Tapi karena kegelisahannya, suatu hari beliau naik sepeda ke arah selatan, dan masuk ke area persawahan. Ditengah sawah beliau berdialog dengan salah seorang petani. Dari dialog itu Bung Karno berkesimpulan, kalau rakyat tani tidak dibantu, maka kehidupannya tidak akan pernah berubah. Karena itu, untuk menolong mereka, maka jalan satu-satunya adalah dengan memerdekakan Indonesia,” jelasnya.

Sejak itu, lanjut Danil’s, Bung Karno memutuskan bahwa Indonesia harus merdeka. “Generasi bangsa harus kembali di ingatkan, bahwa Bung Karno berdjoang memerdekakan Indonesia karena tidak tahan melihat kehidupan rakyat tani yang bernama Marhaen. Semangat Bung Karno ini harus kembali di gelorakan,” pungkasnya. (Redaksi)*

http://beritabarak.blogspot.com/2015/01/guruh-sukarno-putra-terus-berkarya-bagi.html

Anggota Dewan Jatim Kecam Rencana Pemerintah Hapus Subsidi Pupuk

Senin, 12 Januari 2015

SURABAYA - Rencana pemerintah Joko Widodo (Jokowi) yang akan menghapus subsidi pupuk petani mendapat kecaman dari kalangan parlemen, terutama mereka yang berasal dari Komisi B DPRD Jatim. Para wakil rakyat ini menuding pemerintah Jokowi sengaja akan menghancurkan kehidupan para petani yang selama ini selalu menjadi ‘permainan’ oleh kebijakan pemerintah. Anggota Komisi B DPRD Jatim, Yusuf Rohana mengaku apa yang menjadi alasan pemerintah dalam menghapus subsidi pupuk tidak bisa dibenarkan. Kalaupun sistem yang ada membuat terjadinya penyelewengan seharusnya yang diperbaiki sistemnya, bukan sebaliknya pupuk subsidi yang dihapus.
Selain itu perlu adanya peningkatan pengawasan di lapangan. ‘’Saya melihat pemerintah sekarang ini bisanya hanya menghapus saja, tanpa melalui evaluasi yang matang. Jujur kalau subsidi pupuk dihapus, maka dipastikan kehidupan para petani kita semakin terpuruk.,’’tegas politikus asal PKS Jatim, Minggu (11/1). Tidak itu saja, harga produk pertanian akan ikut terdongkrak naik akibat dihapuskannya subsidi tersebut. Dengan begitu masyarakat yang akan dirugikan lagi, setelah BBM (bahan bakar minyak) naik, meski diturunkan kembali ternyata tidak membawa dampak yang signifikan dengan naiknya hampir semua bahan pokok. Ditambah lagi dengan naiknya harga LPG dan kini dibarengi hilangnya subsidi pupuk. Ditambahkannya, selama ini dengan menghilangnya pupuk urea bersubsidi itu menjadi masalah bagi petani. Jika membeli pupuk urea non-subsidi, maka petani harus mengeluarkan biaya yang lebih besar. Dimana pupuk urea subsidi harganya Rp 100.000 per karung ukuran 50 kilogram. Sedangkan urea non-subsidi dengan berat yang sama harganya sekitar Rp 240.000 per karung , atau selisih harga antara urea subsidi dengan urea non-subsidi sekitar Rp 140.000. ‘’Melihat kenyataan tersebut petani berharap urea subsidi bisa didapatkan kembali,’’jelasnya.
Terpisah, Anggota Komisi B DPRD Jatim yang lain, Sugiri Sancoko mengaku sangat menyesalkan sikap pemerintah yang akan menghapus subsidi pupuk bagi para petani. Mengingat pupuk merupakan ‘harta’ satu-satunya yang sangat dibutuhkan para petani ketika musim tanam. Karenanya kalau sampai subsidi dihapus, maka dipastikan akan semakin banyak petani yang jatuh miskin. Padahal rata-rata para petani mengandalkan pendapatannya dari hasil pertaniannya. Melihat kenyataan tersebut, pihaknya akan mendesak kepada seluruh unsure komisi B untuk ngelurug pemerintah dalam hal ini Menteri Pertanian. Para wakil rakyat ini akan meminta pertimbangan ke pemerintah apa yang menjadi dasar dan alasan subsidi pupuk dihapus. Kalaupun itu yang dipertanyakan banyaknya penyelewengan seharusnya sistim pengawasannya harus diperketat.
‘’Jangan hanya karena ada penyelewengan kemudian subsisi di hapus. Ini tidak menyelesaikan masalah. Sebaliknya justru akan menimbulkan masalah baru, dimana akan jelas mendongkrak harga produk pertanian yang lain dan efeknya masyarakat yang lagi-lagi dirugikan. Ini yang harus dipikirkan oleh pemerintah Jokowi,’’ papar politisi asal Partai Demokrat ini. Seperti diketahui, Pemerintah akan menghapus subsidi pupuk. Hal itu diungkapkan oleh Sekretaris Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Aviliani usai bertemu presiden di Istana Negara beberpa waktu lalu.“Presiden ingin subsidi pupuk dihapus,” ujar Aviliani. Aviliani menjelaskan, rencana penghapusan subsidi pupuk itu dilandasi fakta bahwa selama ini sebagian pupuk subsidi justru diselewengkan, tidak diberikan kepada petani yang berhak. Karena itu, kata Aviliani, Jokowi menginginkan agar subsidi pupuk dialihkan ke pos lain di sektor pertanian. ‘’Supaya manfaatnya lebih dirasakan oleh petani,” katanya.

http://pksjatim.org/2015/01/anggota-dewan-jatim-kecam-rencana-pemerintah-hapus-subsidi-pupuk/

Senin, 12 Januari 2015

HPP Beras Perlu Ditinjau Ulang

Minggu, 11 Januari 2015

Bulog DIY menunggu kajian ulang HPP beras untuk menyesuaikan perubahan harga yang terjadi akhir-akhir ini.

Harianjogja.com, JOGJA—Badan Urusan Logistik (Bulog) Divisi Regional Daerah Istimewa Yogyakarta (Dirve DIY) masih menunggu perubahan harga pembelian pemerintah (HPP) beras. Pasalnya, HPP beras saat ini perlu ditinjau ulang seiring dengan perkembangan ekonomi di Indonesia.


Kepala Perum Bulog Divre DIY Langgeng Wisnu Adinugroho mengatakan Bulog DIY masih mengacu pada HPP beras sebesar Rp6.600 per kilogram (kg). Padahal, harga beras di pasaran sudah di atas Rp8.000 per kg.

“Soal pengadaan beras, kami masih mengacu pada Inpres 3/2012. Sampai saat ini kami masih menunggu penyesuaian HPP karena memang perlu ditinjau ulang,” ungkap Langgeng di kantornya, Jumat (9/1/2015).

Menurut dia HPP yang masih berlaku saat ini layak diperbaiki. Alasannya, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada November 2014 lalu, berdampak pada kenaikan biaya operasional produksi beras di tingkat petani.
Harga solar sebelum kenaikan pada 2014 dipatok Rp5.500 per liter. Kemudian, pemerintah menaikkan harga solar menjadi Rp7.500 per liter dan menurunkan kembali menjadi Rp7.250 per liter. Sementara premium, dari Rp6.500 dinaikkan menjadi Rp8.500 kemudian diturunkan kembali menjadi Rp7.600 per liter.

“Memang, pemerintah sudah menurunkan harga BBM per 1 Januari 2015. Namun, penurunan harga tersebut tidak diimbangi dengan penurunan harga-harga di pasaran. Biaya operasional cenderung mengalami peningkatan. Misalnya untuk biaya penggilingan, butuh penyesuaian harga. Padahal HPP beras masih menggunakan aturan lama,” katanya.

Jika HPP beras masih dipatok Rp6.600, sambung Langgeng, Bulog akan kesulitan menyerap beras yang dihasilkan dari para petani. Apalagi, selama belum musim panen harga beras di pasaran cenderung tinggi kecuali saat panen raya terjadi.

“Padahal, Bulog harus mampu menyerap 70 persen beras petani. Target itu harus tercapai saat panen raya. Kalau HPP tidak ditinjau ulang penyerapan sebesar itu cukup berat,” katanya.

http://www.solopos.com/2015/01/11/bulog-diy-hpp-beras-perlu-ditinjau-ulang-566741?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook

Sabtu, 10 Januari 2015

Prof Maksum: Harlah ke-42 PDI-P, Marhaen Menagih

Sabtu, 10 Januari 2015

Jakarta_Barakindo- Di Hari Lahir (Harlah) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang ke-42 pada Sabtu (10/1/2015) ini, kaum Marhaen, terutama Rakyat Tani Miskin (RTM) yang selama ini menjadi pendukung setia Partai Politik (Parpol) berlambang kepala Banteng bermoncong putih itu, berharap banyak adanya keberpihakan terhadap nasib mereka.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof Moch Maksum menuturkan, perhelatan Harlah PDI-P kali ini sangat bermakna, betapa perjuangan panjangnya telah membawa pergeseran dari posisinya sebagai partai oposisi menjadi partai Pemerintah. Adalah kemenangan Jokowi-JK yang telah merubah wajah PDI-P pada perayaan Harlah yang mengambil tema “Berjuang Untuk Kesejahteraan Rakyat” kali ini.

“Banyak sekali maknanya bagi PDIP, terutama elitnya yang duduk sebagai anggota DPR dan DPRD, anggota Kabinet Kerja (KK), dan sebagainya, selepas euforia kemenangan dalam Pemilu dan Pilpres. Tapi tidak demikian dengan Kaum Marhaen, utamanya RTM yang setia hidup di desa, meski selama ini harus menderita dalam kedlaliman Negara,” ujarnya.

Guru Besar UGM itu juga menjelaskan, euforia elitis ternyata belum memberikan makna bagi kaum Marhaen, karena masih tidak jelasnya arah perjalanan kiblat kebangsaan. “Boleh jadi Inilah waktu yang tepat bagi kaum Marhaen yang tergabung sebagai warga PDI-P untuk menagih janji PDI-P sebagai partai utama pengawal Jokowi-JK dan KK,” katanya.

Banyak alasan untuk menagih janji itu bagi kaum Marhaen, utamanya RTM yang selama ini adalah mayoritas konstituen Jokowi-JK.  Karena telah sekian lama RTM terdlalimi dalam aneka kebijakan yang bak terorisme, setiap saat senantiasa makin dlalim dan memiskinkan RTM.

“Janji perubahan PDI-P, Jokowi-JK dan KK, sudah waktunya ditagih kaum Marhaen. Karena hakekatnya, Marhaenisme adalah ideologi yang menentang penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Jikalau PDI-P masih bersentral pada inti ajaran Bung Karno ini, tentu RTM harus mengingatkan PDI-P yang janjinya sekian lama adalah Kedaulatan Pangan (KP),” tegasnya.

Penguatan janji itu, lanjutnya, makin terlihat ketika kampanye Pilpres yang menjanjikan kesejahteraan RTM melalui KP, dan disosialisasikan sebagai terget utama dalam Kampanye Jokowi-JK. “Sayangnya, janji yang terukur itu sekarang masih berwujud janji. Kaum marhaen pantang berpangku tangan. Janji programatik KP sebagai mainstream kinerja KK selalu digembar-gemborkan selama ini, seratus hari pertama ternyata tidak menunjukkan bangunan road map yang jelas dan rasional. Tidak ada itu. Kecuali irrasional. Marhaen wajib meluruskan rasioanalitas KK ini,” tegasnya lagi.

Kaum Marhaen, tambahnya, harus pula mengawal bahwa KK wajib menjawab amanat legal beberapa UU tentang kedaulatan, antara lain UU No 18/2012 tentang Pangan, UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No 6/2014 tentang Desa, dan UU No 7/2014 tentang Perdagangan. “Perintah KP beberapa dokumen legal ini teramat jelas dan terukur,” katanya.

Kesatuan dari perihal yang disebutkan, sampai sekarang hanya dijawab dengan
ketidakjelasan arah dan road map menuju KP, serta kesimpang-siuran pelembagaan KP dalam seratus hari pertama KK. “Ini alasan mendasar bagi umat Marhaen untuk menagih janji PDI-P dalam Harlahnya, agar segera meluruskan Kiblat KK menuju pengarusutamaan KP. Itulah hak kaum Marhaen sebagai komponen utama PDI-P,” tandasnya menambahkan, ada persoalan sederhana yang harus segera dijawab, yakni lembaga mana yang bertanggung jawab ketika KP Republik Indonesia nanti amburadul? “Sudah pasti tidak ada yang menjawab, karena lembaga yang bertanggungjawab terhadap KP memang tidak pernah ada dalam KK,... Na'udzu Billaaaaah...,” pungkasnya. (Redaksi)***

http://beritabarak.blogspot.com/2015/01/prof-maksum-harlah-ke-42-pdi-p-marhaen.html#more

TNI AD Bantu Kemtan Percepat Swasembada Pangan

Jumat, 9 Januari 2015

Jakarta - Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD) membantu Kementerian Pertanian (Kemtan) dalam mempercepat swasembada pangan.

TNI AD optimistis swasembada bisa tercapai sesuai keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam tiga tahun ke depan. Bahkan bisa lebih cepat yaitu dalam waktu dua tahun.

"Bapak Presiden sudah sampaikan swasembada pangan dalam tiga tahun ke depan. TNI diperintahkan untuk membantu agar bisa tercapai. Maka kami ambil langkah-langkah. Kalau bisa secepatnya," kata Kepala Staf Angkatan Darat (Ksad) Gatot Nurmantyo dalam rapat pimpinan (Rapim) di Jakarta, Kamis (8/1).

Rapim dihadiri para pejabat dari TNI AD. Rapim juga dihadiri Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman.

Gatot menjelaskan swasembada pangan sangat penting. Tidak mungkin ketahanan pangan tercapai tanpa swasembada pangan. Menurutnya, berbahaya jika negara ini menjadi negara industri. Padahal negara ini dikenal sebagai negara agraris.

"Kami siap membantu swasembada. Tiga tahun ke depan kami optimistis tercapai. Bukan hanya swasembada tetapi juga bisa ekspor beras," tegasnya.

http://www.deptan.go.id/ap_posts/detil/205/2015/01/09/08/10/21/TNI%20AD%20Bantu%20Kemtan%20Percepat%20Swasembada%20Pangan

Kamis, 08 Januari 2015

BERTAHAP, JOKOWI HAPUS SUBSIDI PUPUK

Kamis, 8 Januari 2015

JAKARTA - Kedaulatan pangan adalah salah satu agenda prioritas pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) - Jusuf Kalla (JK). Beberapa perubahan besar pun siap dilakukan untuk menggenjot kinerja sektor pertanian.
Sekretaris Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Aviliani, mengatakan, salah satu perubahan kebijakan mendasar yang akan dilakukan Presiden Jokowi terkait dengan subsidi pupuk. “Presiden ingin subsidi pupuk dihapus,’’ ujarnya usai pertemuan ISEI dengan Presiden Jokowi di Kantor Presiden kemarin (6/1).

Rencana penghapusan subsidi pupuk itu dilandasi fakta bahwa selama ini sebagian pupuk subsidi justru diselewengkan, tidak diberikan kepada petani yang berhak. Karena itu, kata Aviliani, Jokowi menginginkan agar subsidi pupuk dialihkan ke pos lain di sektor pertanian. “Supaya manfaatnya lebih dirasakan oleh petani,’’ katanya.

Keinginan untuk menghapus subsidi pupuk ini sebenarnya sudah pernah disuarakan di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Suswono, menteri pertanian ketika itu, mengakui jika penyaluran pupuk bersubsidi sulit dikontrol. Disparitas harga antara pupuk subsidi dan nonsubsidi membuat godaan untuk menyelewengkannya kian besar. Apalagi, di kawasan ASEAN, tidak ada lagi negara yang masih menerapkan skema subsidi pupuk.

Meski mengakui tidak memiliki data pasti berapa banyak pupuk subsidi yang diselewengkan, Kementerian Pertanian menyebut jika temuan-temuan di lapangan mengonfirmasi hal itu. Namun, hingga berakhirnya pemerintahan SBY, rencana penghapusan subsidi pupuk itu tidak kunjung terealisasi.

Lantas, bagaimana rencana pemerintah untuk tetap membantu petani? Menurut Aviliani, Presiden Jokowi berencana menjadikan Perum Bulog sebagai badan penyangga untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Karena itu, fungsi dan peran Bulog pun akan diperkuat. “Bulog nanti juga akan menjamin agar petani bisa menjual hasil pertaniannya dengan harga bagus (mendapat untung, Red),’’ ucapnya.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Rokhmin Dahuri, mengatakan, pemerintah memang sudah waktunya menghapus subsidi pupuk. Menurut dia, pemberian subsidi pupuk bagi petani hanya menolong di awal rangkaian proses tanam. Padahal, seringkali kerugian justru dialami petani saat harus menjual hasil panennya. “Jadi, di situlah pemerintah harus bertindak,’’ ujarnya.

Menurut mantan Menteri Kelautan dan Perikanan di era Presiden Megawati Soekarno Putri tersebut, dalam kondisi panen raya atau hasi panen melimpah, harga hasil pertanian seringkali anjlok. Akibatnya, meski petani sudah mendapat subsidi pupuk, tetap saja merugi karena hasil penjualan panennya tidak bisa menutup biaya produksi.

“Jadi, subsidi pupuk bisa dialihkan untuk subsidi harga. Artinya, pemerintah menjamin untuk membeli hasil panen petani di harga yang pantas, yang penting petani (mendapat) untung. Itu lebih bermanfaat bagi petani,’’ kata pengamat yang juga menjadi tim penyusun visi misi Jokowi - JK saat pemilihan presiden 2014 lalu.

Namun, rencana penghapusan subsidi pupuk tersebut tidak akan dilakukan sekaligus, melainkan bertahap. Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2015, pemerintah masih mengalokasikan subsidi pupuk sebesar Rp 28 triliun. Nilai tersebut turun Rp 7 triliun dibanding alokasi dalam APBN 2015 yang mencapai Rp 35 triliun. “Ada 9,5 juta ton pupuk yang akan disubsidi,’’ ujarnya.

Menurut Amran, selain ketersediaan pupuk, pemerintah juga akan fokus membenahi distribusi. Fakta di lapangan menunjukkan, selama ini pupuk subsidi sering telat didistribusikan kepada petani, sehingga baru datang saat masa tanam sudah lewat. Akibatnya, hasil produksi pun tidak bisa optimal.

Karena itu, agar penyediaan pupuk sampai tepat waktu di tangan petani, pemerintah kini tidak lagi melakukan tender, melainkan sudah menunjuk langsung PT Pupuk Sriwidjaja Palembang (Pusri) dan PT Pupuk Indonesia. “Jadi, dua BUMN itu yang akan bertanggung jawab menyediakan pupuk subsidi,’’ katanya. (owi)

http://www.jambi-independent.co.id/index.php/headline/item/606-bertahap-jokowi-hapus-subsidi-pupuk

Rabu, 07 Januari 2015

Raskin Dihapus, Kedaulatan Pangan Indonesia Melemah

Rabu, 7 Januari 2015

Pemerintah berencana menghapus program beras miskin (raskin) menjadi program bantuan uang elektronik secara langsung atau e-money. Ini dikhawatirkan akan memicu lonjakan inflasi dan terjadi chaos di masyakakat.

Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi menilai, rencana penghapusan Raskin sebagai tindakan gegabah. Berresiko tinggi terhadap peningkatan jumlah masyarakat miskin dan mengancam ketahanan pangan masyarakat berpendapatan rendah. Raskin bukan hanya untuk membantu masyarakat miskin, tapi lebih dari itu. Fungsi dari raskin itu adalah mengendalikan harga beras.

Bayu menambahkan, raskin sudah ada mulai tahun 1970 dengan nama berbeda, namun sama prinsipnya. Mulanya bukan untuk masyarakat miskin, namun untuk perlindungan harga beras petani. Adanya fluktuasi harga akibat naik turunnya jumlah pasokan. Ini berresiko bagi produsen dan konsumen. “Resiko pasar bebas paling serius dihadapi petani kecil dan konsumen berpendapatan rendah,” ujar Bayu.

Bayu menegaskan, penghapusan raskin tidak hanya berimbas pada inflasi, tetapi juga chaos di tengah masyarakat. Penghapusan raskin memberi peluang bagi para spekulan untuk bermain. Selama ini raskin menjadi instrumen negara untuk menjaga harga gabah petani agar tetap tinggi di pasaran. Sekaligus menjaga harga beras tetap terjangkau di masyarakat.

“Saat ini kita hanya punya beras yang dikelola oleh negara, dan menutup peluang spekulan untuk bermain. Kalau raskin dihapus, fluktuasi harga bisa tinggi," tukasnya pada diskusi bertema “Stop Liberalisasi Beras “ di Hotel Bidakara Jakarta.

Bayu mengatakan, ada tiga pilar raskin. Satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Secara system dalam rangka usaha menghindari pangan pokok rakyat dari resiko pasar bebas. Pertama, dalam pengadaan beras harga dijamin oleh pemerintah dengan tujuan untuk melindungi petani. “Jadi pengamanan harga pada saat panen. Bulog membeli 3,5 – 4 juta ton gabah/beras dari petani,” kata Bayu.

Bayu menegaskan, pemerintah hanya mempunyai stok pangan nasional yaitu beras. Digunakan untuk operasi pasar dan stabilitasi harga karena inflasi musuhnya penanggulangan kemiskinan. Begitu terjadi kenaikan beras, maka orang msikin akan bertambah. Disamping untuk bantuan darurat seperti bencana alam.

“Benefit raskin dapat menstabilkan harga gabah petani. Tanpa ini, pada saat panen harga jatuh dan ketika paceklik harga naik. Adanya raskin  berarti ada bantuan injeksi dana pemerintah Rp 18 triliun per tahun ke pedesaan,” tambahnya.

Kedua, raskin menjadi stok pangan pemrintah sekitar 1- 2  juta ton. Peran stok pemerintah mampu meredam peran spekulan. Spekulan akan takut bermain jika pemerintah punya stok yang kuat. Ketiga, raskin untuk keluarga berpendapatan rendah. Penyaluran raskin kepada 15,5 juta KK atau sekitar 60 juta jiwa di Indonesia. Ini diberikan 250–300 ribu ton beras per bulan.

“Adanya raskin keluarga berpendapatan rendah ini tidak harus beli di pasar, akibatnya beras medium harganya stabil di pasar,” ujar Mantan Wakil Menteri Perdagangan ini. beledug bantolo

http://www.agrofarm.co.id/read/pertanian/1389/raskin-dihapus-kedaulatan-pangan-indonesia-melemah/#.VK0cidKsUXs