Kamis, 30 April 2015

Kemungkinan Program Raskin Bersyarat

Rabu, 29 April 2015

SATUHARAPAN.COM – Program raskin berulang kali menjadi perhatian publik, termasuk menjadi perhatian Bank Dunia, ADB, OECD, Bappenas, dan KPK, menyangkut keefektifan dan efisiensinya. Isu tersebut selalu muncul sehingga Pemerintah perlu berulang kali menyempurnakan program ini.

Raskin diperkenalkan sejak krisis ekonomi tahun 1998, sebagai bentuk jaring pengaman sosial bagi rumah tangga miskin (RTM). Saat ini beberapa negara menerapkan in kind transfer program, pemberian dalam bentuk natura, seperti raskin. Sebagian besar negara menggunakan cash transfer program, pemberian dalam bentuk uang tunai. Beberapa negara mengaplikasikan conditional cash transfers (CCTs) atau bantuan langsung tunai yang bersyarat.

Skema bersyarat ini populer di berbagai negara berkembang karena di samping mengurangi kemiskinan juga mendorong penerima manfaat untuk melakukan investasi SDM dalam bentuk kesehatan dan pendidikan anak-anak mereka. Majalah the Economist (Juli 2010), dalam tulisan berjudul “Anti Poverty Programmes: Give the Poor Money”, mengungkapkan tentang keberhasilan conditional-cash transfer dalam mengurangi angka kemiskinan di berbagai negara berkembang, seperti Filipina, Kirgistan, Brasil, Pakistan, Bangladesh, Haiti, dan Kamboja.

Demikian bagusnya sehingga megapolitan New York pun mengadopsi program ini. Program itu diklaim dapat membantu jutaan orang miskin di seluruh dunia.

Di lain pihak, Bank Dunia dan ADB berpendapat, transfer dalam bentuk natura (seperti raskin) menimbulkan biaya mahal dan berisiko tinggi terhadap penyimpangan. Boleh saja mereka berpendapat seperti itu, namun kita tahu bahwa raskin mempunyai keunggulan-keunggulan yang sangat spesifik dan tidak tergantikan.

Program raskin mempunyai berbagai potensi manfaat. Pertama, aspek mikro: Program Raskin mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga, memperbaiki konsumsi gizi mikro, memperkecil poverty gap RTM, meningkatkan kemampuan RTM untuk peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan permodalan usahanya.

Kedua, aspek makro: Program Raskin merupakan outlet bagi beras pembelian di pasar domestik oleh Bulog (terkait erat dengan kebijakan perberasan nasional yaitu pembelian beras petani, program stabilisasi harga, dan kebijakan stok penyangga), mendorong pertumbuhan ekonomi pedesaan (karena 2/3 penerima raskin berdomisili di pedesaan), berperanan tidak langsung dalam stabilisasi harga beras antartempat dan antarwaktu, menciptakan dampak distribusi pendapatan baik antarsektor, antarwilayah, maupun antarkelompok pendapatan, serta mengurangi angka kemiskinan.

Pergeseran dari raskin menjadi bantuan dalam bentuk uang tunai tentu akan berimplikasi pada kebijakan pangan pemerintah. Akan terjadi perubahan yang tidak mudah. Kalau pemerintah memang ingin mempertahankan raskin, timbul pertanyaan: apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan keefektifan dan efisiensi raskin? Apakah mungkin raskin dilengkapi dengan persyaratan, sehingga dapat berdampak lebih luas untuk peningkatan kesejahteraan RTM?

Transfer Pendapatan Bersyarat

Conditional Cash Transfer Program (CCTP), disebut oleh the Economist sebagai ‘the world’s favourite new anti-poverty device’ (cara untuk mengatasi kemiskinan yang paling favorit di dunia), merupakan skema pembagian uang kepada penduduk sangat miskin dengan persyaratan tertentu.

Persyaratan tersebut terkait dengan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Persyaratan yang diterapkan dapat berupa prosentase minimum kehadiran anak-anak mereka di sekolah, atau jika bayi-bayi mereka telah divaksinasi.

Program ini diklaim mampu mengurangi kemiskinan, memperbaiki distribusi pendapatan, dan dapat diselenggarakan dengan biaya murah. Karena dikaitkan dengan program pendidikan dan kesehatan, CCTP ini  juga diklaim dapat menciptakan generasi penerus yang lebih baik. Di Bangladesh, Kamboja, dan Pakistan, skema itu dilaporkan mampu mendorong partisipasi anak-anak perempuan bersekolah.

Namun, penerapan program ini bukan tanpa kelemahan. Di Brasil, CCTP dianggap bias karena lebih efektif di pedesaan daripada di perkotaan. Program ini dianggap lebih efektif di pedesaan karena mampu memberikan insentif bagi keluarga miskin untuk memperoleh pangan, air bersih, pendidikan dasar, dan fasilitas kesehatan. Di kota, program transfer uang ini kurang efektif karena terganggu besarnya angka kejahatan, tingginya penyalahgunaan narkotika, besarnya angka perceraian keluarga, dan meluasnya praktik buruh anak-anak.

Di Indonesia, pemberian dalam bentuk uang, seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai, belum bersifat conditional) dapat terganggu keefektifan karena penerimaan dalam bentuk uang tidak selalu dimanfaatkan oleh RTM penerima manfaat untuk tujuan-tujuan yang produktif. Tidak selalu digunakan untuk memperbaiki kualitas kesehatan, pendidikan, dan permodalan sehingga dampak kesejahteraannya dipertanyakan. Yang sudah dilengkapi dengan persyaratan adalah Program Keluarga Harapan dan PNPM Generasi Sehat dan Cerdas.

Apa Tambahan Manfaat Raskin Jika Bersifat Konditional?

Presiden Haiti, Réne Préval, pernah memberikan penghargaan kepada koperasi susu yang berhasil menerapkan program bantuan natura bersyarat. Koperasi tersebut mensyaratkan anak-anak keluarga miskin penerima bantuan harus masuk sekolah. Ternyata penambahan persyaratan dalam program bantuan dalam bentuk natura dapat dilakukan dengan baik. Skema itu dapat juga diterapkan untuk raskin.

Jika terdapat penambahan persyaratan yang terkait dengan pendidikan dan kesehatan,  program Raskin juga akan mendorong peningkatan kualitas SDM penerima manfaat. Dengan kualitas SDM lebih baik, maka akan terjadi perbaikan produktivitas SDM sehingga program raskin akan lebih efektif memberikan kontribusi bagi pengentasan kemiskinan dengan dampak kesejahteraan dan dampak distribusi pendapatan yang lebih baik.

Dengan SDM yang lebih kompetitif, keluarga penerima raskin mampu memperoleh pendapatan lebih besar, dan meraih kesejahteraan yang lebih baik. Peningkatan kesejahteraan akan menghilangkan status miskinnya. Keluarga tersebut tidak lagi hidup di bawah garis kemiskinan dan exit strategy dapat terwujud. Dengan kualitas pendidikan dan kesehatan yang lebih baik, dapat terwujud generasi penerus yang lebih produktif dan kompetitif.

Dengan lingkup program raskin yang sangat luas, dengan jumlah RTM penerima manfaat sekitar 15,4 juta yang tersebar di seluruh Tanah Air, manfaat penambahan persyaratan tersebut tentu akan sangat besar. Namun, konsep Raskin Bersyarat ini bukan hal yang sederhana, dan tidak mudah. Jika diterapkan, program raskin akan lebih “mahal” karena akan menimbulkan implikasi dalam bentuk tambahan anggaran, tambahan beban pekerjaan administrasi, dan tambahan beban pekerjaan bagi pelaksana lapangan. Karena tidak mudah dan tidak sederhana, penerapan dalam bentuk pilot project di beberapa daerah dapat dilakukan pada tahap awal.

Mohammad Ismet PhD adalah Wakil Rektor Bidang Kerjasama, Universitas Cokroaminoto Yogyakarta; Direktur Perencanaan dan Pengembangan Usaha Perum Bulog, 2007-2009; dan Staf Ahli Bulog, 2009-2011.

http://www.satuharapan.com/read-detail/read/kemungkinan-program-raskin-bersyarat

Rabu, 29 April 2015

Benih Impor sebagai Penghambat Swasembada Pangan

Selasa, 28 Apr 2015

JAKARTA (27/4) – Anggota Komisi IV DPR yang bermitra dengan Kementerian Pertanian, Andi Akmal Pasluddin mengingatkan kepada pemerintah, bahwa benih-benih yang diimpor dengan tujuan mempercepat perwujudan swasembada pangan akan menjadi blunder bagi bangsa yakni akan dikuasainya satu rantai rangkaian kedaulatan pangan oleh asing.

Pidato Menteri Pertanian, Senin (27/4) di Pulau Buru, Maluku, tentang ancaman kedaulatan negara jika ketahanan pangan lemah mendapat apresiasi besar dari Andi Akmal selaku mitra kerja, namun ada satu hal yang luput menurut Andi Akmal, bahwa dari mana benih ini didapat juga merupakan rangkaian ancaman terhadap kedaulatan pangan itu sendiri.

Lebih Lanjut Politisi PKS dari Sulawesi Selatan ini  mengatakan, rangkaian rencana menuju swasembada sudah sangat matang, dengan penambahan anggaran pertanian di APBNP 2015 sebesar Rp15,8 triliun sehingga Kementerian Pertanian mendapat porsi anggaran sebesar Rp32,7 triliun akan menjadi sangat leluasa bagi kementerian ini untuk bekerja sesuai yang ditargetkan Presiden Jokowi.

Namun yang disayangkan oleh Ketua Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) PKS Sulawesi Selatan ini adalah masalah pengadaan benih untuk areal lahan 1 juta Ha dengan nilai Rp750 miliar, yang melibatkan PT Monsanto Indonesia sebagai penyedia benih dan PT Cargil Indonesia sebagai penyerap hasil produksi.

“Kami ingin penjelasan dari pihak Kementerian Pertanian, mengapa ada pihak asing pada proses penyedia benih dan penyerapan produksi? Padahal kita sedang menuju swasembada pangan,” pinta Andi Akmal.

Keterlibatan asing yang dimaksud Andi Akmal adalah adanya kerjasama Kementerian Pertanian untuk peningkatan produksi pertanian dalam skema Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PISAgro), dimana pengadaan benih pertanian mengandalkan produsen benih asing.  Keterlibatan produsen asing ini mengakibatkan prasangka-prasangka, yang pertama Negara ini masih merasa lemah dan tidak percaya diri terhadap penyediaan benih sendiri, dan yang kedua bisa diduga bahwa keterlibatan asing akan mengganggu dan mengancam target kedaulatan pangan.

“Kami berharap, Kementerian Pertanian dapat sepenuhnya mengandalkan kemampuan potensi dalam negeri untuk mewujudkan swasembada pangan sehingga target kedaulatan pangan tercapai tanpa menyakiti infrastruktur sosial dalam negeri,” pungkas Andi Akmal Pasluddin.

http://www.pks.or.id/content/benih-impor-sebagai-penghambat-swasembada-pangan

Selasa, 28 April 2015

Kedaulatan Pangan, Misi yang Belum Menyentuh Harkat Petani

April 27, 2015


Akankah kedaulatan pangan yang dicitakan terwujud? Mengingat, petani, sang pahlawan pangan, nasibnya masih terabaikan. Foto: Rhett Butler

Gatot Surono meradang. Pada pertemuan Rembuk Jaringan Tani Nasional yang berlangsung di Sekretariat Nasional Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI), Bogor (15/04), petani asal Desa Kembangan, Buka Teja, Purbalingga, Jawa Tengah, itu menumpahkan keluh kesahnya. Menurutnya, selama 62 tahun “berkarir” sebagai petani, belum ada kebijakan substansional yang benar-benar ia rasakan berpihak pada nasib para pahlawan pangan.

Lelaki 82 tahun ini coba kilas balik perjalanan hidupnya. Saat zaman kemerdekaan, petani begitu dihargai. Betapa tidak, petani selalu menyediakan sumber bahan makanan, apakah jagung, ubi, atau nasi pada para pejuang tanpa diminta. Menurutnya, petani juga siap menjadi prajurit sewaktu-waktu.

Namun, seiring perjalanan kemerdekaan, lamat-lamat keberadaan petani dipinggirkan. Terutama pada Orde Baru. Jiwa petani yang merdeka dibuat tidak mandiri.

Apa buktinya?

Cara petani menanam diatur. Mulai dari benih, pupuk, hingga bahan kimia pengusir hama harus ikut aturan yang telah disediakan. Semua sudah dibuat dalam paket. Petani harus beli, tidak boleh memproduksi bibit lagi. Padahal, pemerintah tidak membuat sendiri, ada perusahaan yang memasok.

“Saya ngeyel,” jelasnya. “Saya tidak mau ikut menanam padi yang diatur itu. Keyakinan saya kuat untuk terus menanan padi rojolele yang asli bibit lokal. Pupuk yang saya gunakan juga pupuk kandang, alami tanpa polesan kimia.”

Namun apes bagi Gatot. Ketidakpatuhannya membawanya berurusan dengan Koramil (Komando Rayon Militer) Purbalingga. Dia ditahan, tanaman padi rojolele-nya seluas setengah hektar dicabut. Tetap Gatot tidak taat, begitu bebas dari penjara, dia menanam kembali padi rojolele. Diapun lalu mengundang petugas yang pernah menahannya untuk menikmati hasil panen.

“Nasinya enak ya Pak,” ungkap sang petugas, yang kaget setelah Gatot membuka rahasia bahwa nasi yang disantapnya itu adalah padi yang sebelumnya dia cabut.

Bagi Gatot, kemerdekaan petani dalam menanam padi adalah harga mati. Meski hanya seorang petani kecil dengan luasan sehektar sawah, Gatot bisa berbangga hati karena di sawahnya terdapat 50 varietas padi termasuk mentik wangi dan pandan wangi organik yang ditanam sejak tahun 2000.

“Sebagian besar bibit yang ada di lokasi AB2TI ini berasal dari saya,” ujarnya bangga.
Ada sekitar 250 varietas padi lokal yang berada di sektretariat AB2TI yang dapat dikembangkan pada sektor pertanian. Foto: Rahmadi Rahmad

 Ada sekitar 250 varietas padi lokal yang berada di sektretariat AB2TI yang dapat dikembangkan pada sektor pertanian. Foto: Rahmadi Rahmad




Gatot Surono dapat berbangga hati karena sebagian besar varietas padi yang ada di AB2TI berasal darinya. Termasuk namanya sendiri yang diabadikan "Mbah Gatot". Foto: Rahmadi Rahmad

 Gatot Surono dapat berbangga hati karena sebagian besar varietas padi yang ada di AB2TI berasal darinya. Termasuk namanya sendiri yang diabadikan "Mbah Gatot". Foto: Rahmadi Rahmad 

Pemahaman Keliru

Kemerdekaan petani sebagai bagian dari kedaulatan pangan diamini oleh Setiyarman, Ketua Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia Jawa Tengah. Menurutnya, selama ini, tidak ada kebijakan yang pro petani, termasuk kebijakan ketahanan pangan yang saat ini diusung oleh pemerintah. Apapun aturan yang dibuat, ujung-ujungnya justru menyengsarakan petani.

Setiyarman ingat betul, bagaimana petani di tempatnya Sukoharjo menderita akibat perundangan tata guna air. Meskipun berada dekat mata air, sumber air tidak dapat mengairi sawahnya. Ironis. Begitu juga dengan kebijakan agraria yang sering membenturkan petani dengan perusahaan. Alih-alih, petani yang dikriminalisasi, sementara perusahaan terus lenggang beroperasi.

Pun, dengan UU Pangan No 18 Tahun 2012 justru menguntungkan perusahaan karena petaninya tetap miskin, harus membeli bibit, pupuk, dan sebagainya. “Bila ingin menciptakan kedaulatan pangan, harusnya petani dahulu yang diperhatikan, sudah berdaulat atau belum?” ujarnya.

Dia pun mengaku cukup bingung dengan kebijakan pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla saat ini yang mencampuradukkan antara konsep “Ketahanan Pangan” dengan “Kedaulatan Pangan”.

Bagi Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, kedua konsep tersebut dicampuradukkan oleh pemerintah maupun lembaga legislatif. Jika ketahanan pangan bersifat murni ekonomi dan kompetitif yang mengacu pada konsep perdagangan liberal internasional ala WTO (World Trade Organization), maka sebaliknya kedaulatan pangan adalah harmonisasi antara petani dan pengelolaan lahan agar tetap terjaga.

Padahal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJPM) 2015-2019 menyebutkan bahwa kedaulatan pangan merupakan sektor unggulan yang akan diwujudkan dalam strategi pembangunan nasional.

Bagi Andreas, konsep pemerintah saat ini barulah mencoba mencapai swasembada pangan. “Saat ini, kita impor beras 10 persen per tahun atau sekitar 4 juta ton, yang dalam 10 tahun terakhir impor pangan meningkat 346 persen.” Indonesia sendiri berada di urutan 72 dari 109 negara terkait ketahanan pangan.

Andreas kuatir jika petani tidak menjadi subyek kebijakan pertanian, maka ini akan mengulangi apa yang dulu pernah terjadi di era Orde Baru. Bukannya berdaya, petani tergantung kepada benih, pupuk, kredit, sistem infrastruktur dan teknik budidaya yang tidak mereka kuasai. Jangan heran saat petani menjadi obyek, sistem pertanian kita tinggal menunggu kehancuran.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati sebelumnya (09/03), pernah menjelaskan ketidakberdayaan petani akan menyeret petani untuk “tergiur” mengalihfungsikan lahan pertaniannya ke komoditas lain yang lebih produktif, seperti sawit. Atau bahkan menjual lahannya ke usaha non pertanian, yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan pangan defisit.

Berdasarkan data penelitian hingga 1 Juli 2014, total pendapatan per rumah tangga petani hanyalah sekitar Rp 12.413.920 atau sekitar Rp 1 juta/bulan yang jauh dari upah minimum regional. Tidak heran jika dari sekitar 28,55 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia, sekitar 62,8 persennya adalah petani. Jumlah petani gurem, yang memiliki lahan garapan di bawah setengah hektar pun meningkat dalam 10 tahun menjadi 74,9 persen (2003) jika dibandingkan angka 69,8 (1993).

Andreas berpendapat tidak ada cara lain selain pemerintah harus mendaulatkan petani dahulu baru mendaulatkan pangan. Baginya, terdapat empat hal yang harus diseriusi, yaitu; Pertama memberi petani akses untuk turut menentukan kebijakan baik di level pusat dan daerah. Kedua, memberi petani akses terhadap sumber daya alam produktif, yaitu tanah dan air. Ketiga, petani memiliki akses terhadap permodalan dan asuransi pertanian. Keempat, petani harus dilindungi dari sistem perdagangan internasional yang menghancurkan sistem pertanian.

Sebagai perbandingan, harga beras premium impor di pasaran hanya Rp 7 ribu/kg, sementara harga produksi di tingkat petani berkisar Rp 10 ribu/kg.

Perbedaan antara ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Sumber: Presentasi Dwi Andreas Santosa

Perbedaan antara ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Sumber: Presentasi Dwi Andreas Santosa

RUU Kedaulatan Pangan

Melihat situasi ini, Ketua Bidang Kajian Strategis Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia, Yeka Hendra Fatika, mencurigai adanya skenario yang tetap menginginkan Indonesia sebagai pasar pangan terbesar di Asia. Menurutnya, Indonesia berada di bawah cengkeraman perusahaan multinasional yang berniat melumpuhkan petani di tingkat tapak dan pada akhirnya akan mengancam kedaulatan pangan nasional.

Bahkan, UU No 18/2012 tentang Pangan, sampai sekarang tidak jelas pelaksanaannya. Sudah dua tahun berjalan, rencana pangan yang dilakukan Kementerian Pertanian hingga Dinas Pertanian sekalipun, tidak tampak hasilnya. “Ini yang menimbulkan desakan agar segera dibuat UU Kedaulatan Pangan yang harus masuk agenda Prioritas Baleg 2015,” ujarnya.

Yeka pun sepakat masalah pangan harus diprioritaskan dengan menggandeng petani sebagai pemeran utamanya. Ada dua agenda besar yang akan kita hadapi dalam waktu dekat, yaitu kesiapan menyambut SDGs (Sustainable Development Goals) yang akan dimulai September 2015 serta Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Januari 2016.

Jika dua hal besar ini tidak dipersiapkan dari sekarang, habislah riwayat pangan kita. “Apa masih berani unjuk gigi kedaulatan pangan sementara petaninya terkapar?” pungkasnya.

Nawa Cita menuju Kedaulatan Pangan. Sumber: presentasi Dwi Andreas Santosa

 Nawa Cita menuju Kedaulatan Pangan. Sumber: presentasi Dwi Andreas Santosa

Pupuk Langka, Petani Pun Jadi Gelisah

Senin, 27 April 2015

BANJARMASINPOST.CO.ID, KUALAKAPUAS - Musim tanam padi di medio April -September tahun ini, para petani di Kabupaten Kapuas diliputi kegelisahan, lantaran terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi jenis SP-36.
Kelangkaan ini dikhawatirkan dapat mengganggu produksi padi, padahal Kapuas merupakan lumbung padi di Provinsi Kalteng.
Sutikno, satu petani dari Kecamatan Bataguh, Senin (27/4/2015) mengatakan, kesulitan mencari pupuk bersubsidi jenis SP-36, terjadi hampir dua bulan terakhir. Padahal saat ini sudah waktunya melakukan pemupukan terhadap padi yang baru selesai ditanam.
“Kami sudah mencari hampir di semua kios penjual pupuk, tetapi tetap saja tidak ada yang menjual pupuk jenis SP-36. Saat ini padi yang kami tanam berumur satu bulan, dan harusnya sudah dilakukan pemupukkan," keluhTikno.
Terpisah, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (Ditantura) Kabupaten Kapuas Anjono Bhakti, melalui Kabid Usaha Tani dan Pemasaran Hasil Otovianus, tidak membantah saat ini terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi jenis SP-36.
Kelangkaan tersebut kata dia lantaran kurangnya penyaluran yang dilakukan oleh pihak distributor.

http://banjarmasin.tribunnews.com/2015/04/27/pupuk-langka-petani-pun-jadi-gelisah

Soal Hidup atau Mati


pidato  Presiden Republik Indonesia yang ditujukan kepada segenap pemuda-pemudi di seluruh Indonesia, terutama sekali pemuda-pemudi sekolah menengah, pada waktu hendak meletakkan batu-pertama dari pada Gedung Fakultet Pertanian di Bogor pada tanggal 27 April 1952 [dicopy dari Almanak Pertanian 1953 hal: 11 – 20; di-EYD-kan oleh Winarso D Widodo]


Saudara-saudara sekalian,
Merdeka!

Saya diminta untuk meletakkan batu-pertama dari pada Gedung Fakultet Pertanian, Universitet Indonesia. Permintaan itu, saya hendak menyampaikan beberapa kata lebih dahulu. Dengan sengaja pidato saya ini saya tuliskan, agar supaya merupakan risalah yang nanti dapat dibaca dan dibaca lagi dan dibaca lagi oleh pemuda-pemudi kita bukan saja dari sekolah tinggi ini, tetapi dari seluruh tanah-air kita. Malah, sekarangpun saya mengarahkan kata kepada pemuda-pemudi di seluruh Indonesia itulah. Sebab, apa yang hendak saya katakan itu, adalah amanat penting bagi kita, amat penting – bahkan mengenai soal mati-hidupnya bangsa kita dikemudian hari. Karena itu, pidato saya ini agak panjang, dan perletakan batu-pertama dari pada Gedung Fakultet Pertanian tak dapat kulakukan pada saat yang dirancangkan.

Ya, pidato saya mengenai mati-hidup bangsa kita dikemudian hari, oleh karena soal yang hendak saya bicarakan itu mengenai soal persediaan makanan rakyat. Cukupkah persediaan makan rakyat kita dikemudian hari? Kalau tidak, bagaimana caranya menambah persedian makanan rakyat itu? Peristiwa sebagai yang kita hadiri sekarang ini, ialah: perletakan batu-pertama dari pada suatu sekolah tinggi pertanian, adalah satu kesempatan yang baik untuk menyampaikan kata-kata langsung kepada pemuda-pemudi kita berkenaan dengan soal yang amat penting itu, kepada pemuda-pemudi, yang dalam tangan merekalah mati-hidupnya bangsa kita dikemudian hari.

Pemuda-pemudi! Engkau sekarang hidup dalam satu jaman yang penuh dengan soal-soal, satu jaman yang penuh dengan problem. Salah satu dari pada problem-problem makanan rakyat. Engkau telah mengalami sendiri: di waktu yang akhir-akhir ini surat-kabar surar-kabar dan tuturan-tuturan di kampung-kampung penuh dengan kata-kata: “harga beras naik gila-gilaan”, “disana-sini ada mengancam bahaya kelaparan”, “di desa ini dan di desa itu ada orang makan bonggol pisang”, “di daerah itu dan di daerah sana ada terdapat hongeroedeem”, “di dukuh anu ada orang bunuh diri karena tak mampu memberi makanan kepada anak-isterinya”, dan lain-lain tuturan sebagainya lagi. Dan sebagaimana biasa, selalu ada saja seorang yang dikambing-hitamkan, yang harus memikul segala kesalahan, atau segerombolan orang-orang yang dikambing-hitamkan karena disangka telah berbuat segala kesalahan. Terutama sekali orang-orang yang duduk dalam badan-badan pemerintahan harus bersedia menjadi kambing-hitam itu, yang di kepalanya diturunkan segala hujan-hujan tuduhan yang segar-segar, yakni harus bersedia dijadikan orang yang selalu dihantam, yang kepalanya seperti “kop van jut”.

Siapa yang sebenarnya salah? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita selidiki beberapa kenyataan yang mengenai persediaan beras. Menurut statistik 1940, bangsa kita didalam satu itu rata-rata, dus tiap-tiap orang, memakan 86 kg beras. Ini belum terhitung jagung, belum terhitung ubi kayu, ubi jalar, kacang-kacangan, dan lain-lain sebagainya lagi!

Kalau kita memakai angka tahun 1940 itu sebagai dasar, berapa beraskah yang kita butuhkan untuk sekarang? Sekarang dijumlahkan rakyat kita ialah 75.000.000 jiwa. Maka beras yang kita butuhkan untuk memberi tiap-tiap orang 86 kg beras setahun ialah : 75.000.000 × 86 kg == 6.450.000.000 kg , atau dengan sebutan lain : 6,45 milyun ton [milyun = juta - wdw]. Yang kita butuhkan. Sekali lagi: yang kita butuhkan, sekarang. Tetapi: Berapa persediaan beras kita sekarang? Artinya: Berapa jumlah produksinya sawah-sawah kita, ladang-ladang kita? Jumlah produksi sawah-sawah kita dan ladang-ladang kita, kalau dibandingkan dengan tahun 1940, tidak mundur, tetapi jumlah itu toh tidak mencukupi kebutuhan: hasil padi kita setahunnya sekarang hanya 5.5 milyun ton lebih sedikit. Padahal kebutuhan hampir 6.5 milyun ton! itulah sebabnya kita kekurangan beras. Itulah sebabnya kita tiap2 tahun harus membeli beras dari luar. Dari Siam, dari Saigon, dari Burma. Ini tahun saja kita harus mencari beras 700.000 ton, atau 700.000.000 kg. Dan ketekoran kita makin lama makin bertambah.

Engkau mengetahui: bangsa kita selalu bertambah jumlah. Ditahun-tahun yang akhir ini ditanah-air kita tiap-tiap tahunnya dilahirkan bayi 2.000.000 orang, dan ditiap-tiap tahunnya meninggal dunia 1.200.000 orang. Ini berarti Indonesia bertambah penduduk tiap-tiap tahun 800.000 orang. Sekarang! Tidak lama lagi tambahnya penduduk Indonesia tiap tahunnya bukan 800.000 orang, tetapi 1.000.000 orang. Dan tidak lama lagi 1.000.000 orang ini menjadi 1¼ milyun orang, 1½ milyun orang, 1¾ milyun orang, 2 milyun orang! Tambahnya penduduk amat cepat, tetapi tambahnya produksi beras amat pelan. Maka tiap-tiap tahun, met de regelmaat van een klok, tiap-tiap tahun, zonder ampun, tiap-tiap tahun, mau tidak mau, mengaduh atau tidak mengaduh, kita menghadapi problem kekurangan beras : sekarang 700.000 ton, besok 800.000 ton, besok lagi 900.000 ton, besok lagi 1.000.000 ton !

Itupun kalau kita setiap orangnya makan sekadar sebanyak makanan kita sekarang, dan tidak lebih. Padahal, sudah cukupkah makanan kita sekarang ini per orangnya, untuk bisa menjadi satu bangsa yang sehat dan kuat?

Mari saya ambil angka-angka tahun 1940. Didalam tahun itu jumlah makanan di Indonesia, kalau dibagi rata-rata antara rakyatnya, menjadi: 86 kg beras, jagung 162 kg, ubi kayu 30 kg, ubi jalar. Bilamana angka-angka ini diperhitungkan dalam nilai kalori, maka jumlah kalori yang dimakan oleh satu orang setahun ialah 624.960, atau 1712 kalori seorang sehari. Dus kalau kita sudah senang dengan 1712 (bundarnya 1700) kalori seorang sehari saja, kita sudah menghadapi tekort beras tiap-tiap tahun sekarang 700.000 ton, nanti 800.000 ton, nanti lagi 1.000.000 ton!

Sudahkah kita senang dengan 1700 kalori seorang sehari sebagai dalam tahun 1940 itu? Kemarin dulu aku suruh menanya kepada Dr. Purwosudarmo, sekretaris Panitia Negara Perbaikan Makanan, dan kalori dimakan oleh bangsa Indonesia seorang sehari sekarang, dan berapa kalori seharusnya untuk menjadi satu bangsa yang sehat dan kuat. Beliau menjawab: 1850 kalori seorang sehari sekarang, dan harus dijadikan 2250 kalori seorang sehari di kemudian hari. Maka aku mulai menghitung. Tidak lama 8 tahun itu, yaitu sekadar satu jumlah tahun yang engkau butuhkan untuk menjadi pemuka-pemuka praktis dalam masyarakat. 1960! Aku taksir jumlah penduduk Indonesia pada waktu itu ±83.000.000 jiwa, yaitu 8.000.000 lebih dari pada sekarang. 8.000.000 orang ini harus juga kita beri makan 624.960 kalori, yaitu 1712 kalori satu orang sehari. Kalau banyaknya kalori buat satu orang satu tahun kita biarkan sekian saja, yaitu 624.960 tidak kita tambah, maka buat 8.000.000 orang itu harus kita adakan persediaan kalori 8.000.000 × 624.960 kalori = ±5.000.000.000.000 kalori. Beberapa beraskah ini? Ketahuilah: 100 gram beras merupakan 340 kalori. Maka kalau engkau hitung, engkau akan mendapat: 5.000.000 milyun kalori itu berarti ± 1.5000.000 milyun gram beras, atau ± 1.500 milyun kg beras, atau ± 1.5 milyun ton beras.

Coba pikirkan:
Sekarang saja sudah tekort 0,7 milyun ton beras. Didalam tahun 1960 akan tekort 0,7 milyun ton beras + 1,5 milyun ton beras = 2,2 milyun ton beras! Itupun: kalau kalori makanan rakyat kita perbiarkan pada 1712 kalori seorang sehari! Panitia Negara Perbaikan Makanan minta 2250 kalori seorang sehari! Engkau barangkali ingin mengetahui angka-angka kalori makanan rakyat di negeri-negeri lain? Perhatikan! Menurut perhitungan Food and Agriculture Organization, orang makan tiap hari: di India 2121 kalori – di Burma 2348 kalori – di Cuba 2918 kalori – di Malaya 2337 kalori – di Ceylon 2167 kalori – di Indo China 2127 kalori, semuanya lebih banyak dari pada Indonesia! Didalam angka-angka itu dimasukkan juga kalori dari bahan-bahan gajih. Berapa kalori yang dimakan orang kulit putih? Di negeri Belanda setiap hari orang makan 2958 kalori, di Australia 3128 kalori, di Amerika 3249 kalori!

Pemuda-pemudi Indonesia, apakah perbiarkan bangsamu hidup dari ±1700 kalori seorang sehari? Tidak? Engkau ingin cita2 Panitia Negara Perbaikan Makanan terlaksana! Dus 2250 kalori seorang sehari? Hitunglah sendiri, kalau begitu, berapa jumlah beras kita harus tambahkan kepada persediaan makanan rakyat, buat tahun 1960, yang berpenduduk 83.000.000 jiwa itu! Mari kita hitung:

2250 kalori seorang sehari, dus 550 kalori lebih dari pada sekarang.
Buat 75.000.000 penduduk yang sekarang sudah ada itu saja, ini berarti minta tambahan kalori: 75 milyun × 550 × 365 (1 tahun = 365 hari) = ± 15.000.000 milyun kalori. Dan buat 8 milyun penduduk yang bertambah itu, dibutuhkan:8 milyun × 2250 × 365 = ± 6.500.000 milyun kalori ditambah 6.500.000 milyun kalori = 21.500.000 milyun kalori. Dihitung dalam beras – 100 gram beras = 340 kalori – ini berarti 100/340 × 21.500.000 milyun gram beras = 6.300.000 milyun gram = 6,3 milyun ton. Menjadi:  kalau kita mengingini bangsa kita dalam tahun 1960 makan 2250 kalori seorang sehari, maka produksi makanan kita harus kita tambah dengan 6,3 milyun ton setahun, dalam bentuk beras, atau aequivalentnya beras. Bagaimana kalau kita beri bentuk lain dari pada beras? Malah lebih lagi dari 6,3 milyun ton! Dalam bentuk jagung 6,3 milyun ton itu menjadi ± 7 milyun ton. Dalam bentuk ubi jalar ± 15 milyun ton. Dan dalam bentuk ubi kayupun ± 15 milyun ton!

Dan kalau tidak kita tambah produksi? Kalau tidak kita tambah produksi, maka tiap – tiap orang hanya akan makan  ± 1547 kalori saja. Maka banyak orang akan kelaparan. Maka keadaan kita akan makin kocar – kacir. Maka kejadian2  yang menyedihkan yang telah kita alami sekarang ini akan terjadi terus – terusan secara permanent, bahkan permanent in het kwadraat dan menyedihakan in het kwadraat: hongeroedeem akan terdapat dimana – mana; penyakit2 lain akan menjalar karena badan lemah kekurangan resistensi: keamanan akan terganggu terus – menerus tidak putusnya; orang akan bunuh – membunuh perkara beras; prestasi kerja akan merosot serendah – rendahnya mala petaka kebinasaan akan menjadi hantu yang bersinggah di milyunan rumah.

Mengertikah engkau bahwa kita sekarang ini menghadapi satu bayangan hari kemudian yang amat ngeri, bahkan satu todongan pistol “mau hidup atau kah mau mati”, satu tekanan tugas “to be or not to be”? didalam tahun 1960 nanti tekort kita sudah akan 6,3 milyun ton,- berapa milyun ton nanti dalam tahun 1970 kalau penduduk kita sudah menjadi 90 – 95 milyun dan berapa lagi dalam tahun 1980 kalau penduduk kita lebih dari 100 milyun? Engkau, pemuda – pemudi, engkau terutama harus menjawab pertanyaan itu, sebab hari kemudian adalah harimu, alam kemudian adalah alammu, - bukan alam kami kaum tua yang vroeg of laat akan di panggil pulang kerakhmattullah. Engkau tidak dapat memecahkan soal ini sekadar dengan sikap cynisme, seperti sikapnya setengah pemimpin – pemimpin diwaktu sekarang, yang hanya bisa menuduh, hanya bisa mencela, hanya bisa mencari dan mendapatkan orang – orang yang dicapnya, kambing hitam, dan dititiri kepalanya sebagai kop van jut. Tidak, soal makanan rakyat ini tidak dapat dipecahkan dengan cynisme, dengan sekadar menuduh, dengan sekadar mencemooh. Sebab kesulitan soal ini terletak obyektif kepada ketidak-seimbangan antara produksi dan konsumsi, antara persediaan yang ada dan jumlah mulut yang memakannya, dan tidak subyektif karena durhakanya sesuatu orang. Tiap tahun, zonder kecuali, zonder pauze, zonder ampun, soal beras ini akan datang – dan akan datang crescendo – makin lama makin hebat – makin lama makin sengit – makin lama makin ngeri – selama tambahnya penduduk yang cepat itu tidak kita imbangi dengan tambahnya persediaan bahan makanan yang cepat pula!

Maka, pemuda-pemudi, dapatkah persediaan bahan makanan itu kita tambah?

Persediaan bahan makanan itu dapat kita tambah! Tetapi tidak sekadar dengan cynisme, tidak sekadar dengan “main politik”, melainkan dengan bekerja keras atas dasar mengerti jalan – jalannya memecahkan problem yang sulit ini. Persediaan bahan makanan itu dapat kita tambah:

Pertama : dengan berikhtiar memperluas daerah pertanian kita.
Kedua : dengan menggiatkan (meng-intensivir) usaha pertanian kita, khusus dengan seleksi dan pemupukan. Dua jalan ini harus kita tempuh! Marilah kita kupas sekadarnya :

Kemungkinan memperluas daerah pertanian kita – artinya: menambah luasnya sawah-sawah kita dan ladang-ladang kita, masih mungkin, tetapi janganlah orang kira kemungkinan itu tiada batasnya. Di Jawa kemungkinan itu hampir tidak ada lagi. Di Sumatera, di Kalimantan, di Sulawesi, di Seram, dan lain-lain pulau lagi, kemungkinan itu masih ada tetapi janganlah orang mengira bahwa tiap tempat yang sekarang tertutup hutan, atau tiap tempat yang masih kosong, adalah baik buat pertanian. Ya, Sumatera dan Kalimantan penuh dengan rimba-rimba raya yang luasnya “pitung pandeleng”, tetapi hanya sebagian saja dari rimba-rimba itu tanahnya baik buat bercocok tanam. Penyelidikan “Balai Penyelidikan Tanah (Bodemkundig Instituut) sementara menunjukan angka-angka sebagai berikut :
Luas Sumatera                       47.360.000 ha
Luas Kalimantan kita              53.950.000 ha
Luas Sulawesi                        18.900.000 ha
Luas Irian kita                         38.000.000 ha
Jumlah luas empat pulau ini    158.210.000 ha
Berapa ha dari 150.000.000 ini yang baik buat pertanian? Ternyata sebagian dari tanah itu, dengan pandangan selanyang-pandang saja, terang tidak memberi harapan baik buat pertanian ialah, oleh karena kwalitet tanahnya bentuk topografinya, (keadaan airnya) tidak sesuai dengan syarat-syaratnya pertanian. Maka dengan mengecualikan tanah-tanah yang selanyang-pandang saja sudah nyata tidak baik buat pertanian itu, telah dipetakanlah atau sekadar di tinjau sejumlah tanah di Sumatera 5.359.000 ha, di Kalimantan kita 740.000 ha, Sulawesi 669.000 ha, di Irian kita 965.000 ha, total 7.733.000 ha, tetapi dari 7.733.000 ha inipun ternyata tidak semua betul-betul baik bagi pertanian. Yang betul-betul baik ternyata hanyalah sedikit lebih dari 1.000.000 ha, atau hanya 14%.

Memang ada lagi disamping tanah-tanah tersebut, sejumlah tanah gambut (veengronden) yang luasnya bermilyun-milyun ha, yang sampai kini belum diusahakan untuk pertanian dan mungkin dapat dipakai untuk pertanian, tetapi di Indonesia tanah-tanah itu masih sama sekali satu hal yang belum diselidiki kemungkinan-kemungkinannya, satu “terra incognita” yang masih gelap bagi kita, meskipun di Amerika dan Eropah orang sudah mencapai hasil pertanian yang baik diatas tanah-tanah yang demikian itu.

Alhasil: luasnya daerah pertanian di Indonesia ini masih dapat lagi dengan sedikitnya 1 milyun ha, kalau tidak 1½  milyun ha, atau baranghkali 2 milyun ha. Tanah-tanah di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian itu memang menunggu transmigran-transmigran kita, menunggu pacul dan bajak, tractor-tractor dan mesin-mesin pengetam padi, menunggu pekerja-pekerja, yang dibawah pimpinan pemuda- pemudi kita, bersama-sama dengan mereka membanting tulang dan mengulurkan urat, mencucurkan keringat habis- habisan sesuai dengan firman Allah “inamaal usri yusra”, - “in het zweet uws aanscijns zult gij uw brood verdienen”

Kecuali dengan memperluas daerah pertanian kita, maka sebagai kukatakan tadi, harus ditempuh pula jalan lain untuk menambah persediaan makanan kita.

Jalan lain itu ialah mengintensivir usaha pertanian kita, khusus dengan seleksi dan pemupukan. Jalan lain itu malahan harus kita usahakan pula bener-bener. Oleh karena kemungkinan untuk menambah luasnya daerah Sawah kita – perhatikan: Sawah, artinya Sawah basah – adalah terbatas sekali. Sawah berarti Air, dan air memang tidak selalu ada untuk pengairan yang sempurna. Luas sawah di Indonesia sekarang ini adalah + 4½ milyun ha, antaranya 3.384.000 ha di Pulau Jawa. Di Jawa diantara tahun 1931 dan 1940 luasnya sawah hanyalah bertambah dengan 100.000 ha atau tak lebih dari 3%, dan saya kira maximumnya, memang sudah hampir tercapai.

Mengintensivir pertanian kita, itulah amat penting. Perhatikan misalnya hasil baik yang kita capai dengan usaha seleksi dilapangan padi basah. Dulu kita belum kenal dengan jenis padi basah yang sekarang kita namakan Bengawan. Tetapi berkat usaha Ilmu Pertanian, dengan jalan kawin-mengawinkan bermacam-macam jenis, akhinya terdapatlah satu jenis yang dinamakan padi Bengawan, yang betul-betul padi yang “allround”: ia kebal terhadap penyakit mentek, ia punya kwalitet beras adalah baik, ia punya nasi enak sekali rasanya dimakan, ia punya jumlah produksi lebih tinggi daripada padi yang kita kenal sebelum itu. Ia memberikan hasil-tambah rata- rata 8 quintal padi se-ha-nya, atau 4½  quintal beras se-ha-nya. Berapa luasnya sawah yang sudah nyata dapat ditanami dengan padi Bengawan itu? Jumlah ini menurut penyelidikan ialah 1.000.000 ha yang dapat ditanami dengan satu jenis lain, yang juga banyak produksinya, meskipun tidak sebanyak padi Begawan itu. Maka menurut perhitungan, cara menanam padi hasil seleksi itu saja kita dapat memperoleh tambahan 1.080.000 ton padi, atau 600.000 ton beras satu jumlah yang amat lumayan sekali. Tetapi kenyataan yang menjadi hambatan ialah, bahwa pada umumnya sesuatu jenis padi mempunyai daya menyusuaikan diri yang amat kecil, mepunyai aanpassingsvermogen yang amat kecil. Jenis padi yang memuaskan di sesuatu daerah, belum tentu memuaskan bila ditanam di suatu daerah yang lain. Jenis padi harus di-perdaerahkan lebih dulu. Sebelum padi Bengsawan itu bisa disiarkan di seluruh kepulauan Indonesia, maka perlulah lebih dulu Balai-balai seleksi daerah diberpuluh- puluh tempat. Dan disamping pusat-pusat penyelidikan daerah itu, maka haruslah pula diadakan Organisasi untuk menyebarkan hasil-hasil dari pusat-pusat penyelidikan daerah itu langsung kepada petani-petani. Dibutuhkanlah pusat-pusat Bibit setempat, zaad hoeve-zaadhoeve yang masing-masing meliputi keluasan 10.000 ha atau 15.000.ha sawah. Petani-petani harus dibangunkan perhatianya oleh pusat-pusat ini, harus diinsafkan, di-“semangatkan” dengan propaganda, dengan penyuluh, dengan Demonstrasi, petani-petani harus dilepaskan dari jenis-jenis padi yang kurang manfaat, dibawa kepada jenis-jenis baru yang lebih manfaat, dibawa kepada jenis-jenis baru yang lebih baik. Ini semuanya bukan pekerjaan kecil. Ini semuanya meminta waktu dan ini semuanya meminta keringat. Jumlah pusat-pusat yang demikian itu pada masa sekarang ini masih amat terbatas sekali, padahal paling sedikitnya dibutuhkan 250 pusat- setempat, kalau bisa 300 pusat setempat.

Kalau kita bekerja keras, maka boleh diharapkan bahwa dalam waktu ± 6 tahun, dengan jalan demikian, sesuatu jenis yang baik dapat disebarkan antara petani-petani diseluruh Indonesia, sehingga produksi padi diseluruh Indonesia bertambah banyak. Insafkah engkau Pemuda-pemudi, betapa pentingya minat kepada pengetahuan-pertanian bagi bangsa yang kekurangan makanan sebagai kita ini?

Disamping seleksi, aku tadi menyebutkan pemupukan. Juga dengan Pemupukan kita dapat menambah produksinya Padi-padi basah kita, terutama sekali pemupukan dengan pupuk-tiruan (Kunstmest) fosfat, dalam bentuk dubbel Superfosfat atau enkel Superfosfat, ternyatalah amat menaikkan tingkat Produksi. Ada sawah yang dengan pupuk fosfat itu bertambah hasil 5 quintal se-ha, bahkan ada yang memberikan hasil tambah 10 quintal se-ha. kita sekarang telah mengetahui, bahwa luasnya daerah sawah-sawah kita amat "dankbar" kepada pupuk dubbel Superfosfat adalah beratus-ratus ribu ha sawah seperti misalnya daerah-daerah tuf atau margel atau laterit di Banten Utara, Jakarta Barat, daerah Cihea antara Cianjur dan Bandung, daerah Cirebon Timur, Cirebon Barat, Jogya Barat, Solo Timur Laut, Madiun Utara, Kediri Utara, Pasuruan Bangil, daerah Purwodadi, Lusi – Randublatung, Bojonegoro, Lamongan, Madura, daerah Rapang di Sulawesi Selatan, daerah Bone dan Sulawesi Tengah, dan banyak lagi daerah-daerah lain, yang semua total jumlahnya tak kurang dari 700.000 ha sawah, yang, jikalau kita bekerja mati-matian memupuknya, dengan pupuk- tiruan fosfat, total akan memberi hasil tambah tidak kurang dari 360.000 ton beras tiap-tiap tahunnya. Tetapi pemupukan itupun belum berjalan sebagaimana mestinya.

Dus: Dengan menanam jenis padi yang lebih manfaat, hasil- seleksi, kita dapat memperoleh hasil-tambah 600.000 ton beras; dengan pemupukan sawah-sawah margel atau tuf atau laterit dengan pupuk fosfat kita dapat memperoleh hasil-tambah 360.000 ton. Jumlah total: 960.000 ton, atau bulatnya 1 milyun ton. Sedangkan jumlah tambahan beras yang kita butuhkan untuk menyelamatkan 83.000.000 orang dalam tahun 1960 dengan dasar 1700 kalori seorang sehari saja ialah, sebagai kuuraikan dimuka tadi itu, 1½ milyun ton, dus masih kekurangan lagi 1/2 milyun ton. Dan jikalau kita masih bercita-cita menaikkan arbiedsprestatie rakyat kita dengan memberikan makanan kepadanya 2250 kalori seorang sehari, maka ketekoran kita itu malah masih 6,3 milyun ton satu milyun ton = 5,3 milyun ton!

Dari uraian saya diatas ini ternyatalah, bahwa tidak ada, Way Out mutlak untuk menyelamatkan rakyat Indonesia dari bahaya kelaparan dan bahaya kemusnahan, bilamana kita hanya menempuh jalan yang pada masa sekarang ini lazim diusahakan, yakni hanya jalan seleksi dan hanya jalan pemupukan bagi sawah-sawah yang sudah ada, dan ikhtiar memperluas daerah pertanian berupa sawah, yang sebagai ternyata dimuka tadi, tidak mungkin kita perluaskan lagi secara besar-besaran. Tidak, kita harus menempuh jalan lain juga, jalan yang hingga kini masih dianak tirikan, yakni jalan mencurahkan perhatian kita juga pada pertanian di tanah kering, di tanah ladang. pertanian pada tanah sawah memang masih penting bagi kita, tetapi jelaslah bahwa pertanian disawah itu saja, tidak memberikan Way Out mutlak kepada kita. Kita harus mencurahkan perhatian kita secara simultan ya kesawah ya keladang. kita harus belajar tidak memandang remeh kepada ladang. Kita harus berubah menjadi satu bangsa yang baru, juga diatas lapang pertanian. Kita harus, mau tidak mau, menempuh jalan yang di seluruh dunia ditempuh orang Eropah dan Amerika hidup di pertanian kering, kenapa kita tidak memperhatikan pula pertanian kering, kita yang kini mengetahui bahwa pertanian padi basah saja tidak memberi Way Out mutlak. Ketahuilah, bahwa pertanian rakyat ditanah kering lebih luas dari pada pertanian di sawah-sawah. Ini bukan saja satu kenyataan yang didapatkan di luar Jawa, tetapi juga satu kenyataan di Jawa sendiri, yang telah penuh-sesak-padat penduduknya itu. Sedangkan di Jawa luasnya sawah ± 3.384.000 ha, maka luasnya tanah kering yang diusahakankan untuk pertanian adalah ± 4.500.000 ha. Diluar Jawa, luasnya Pertanian tanah kering adalah ± 3.500.000 ha. Total tanah Pertanian kering Diseluruh Indonesia adalah ± 8.000.000 ha.

Alangkah besarnya persediaan makanan kita, kalau 8.000.000 ha ini dapat kita berikan produksi yang lebih tinggi! Disini ditanah-tanah kering  inilah ,letaknya “Way Out” mutlak yang kita cari! Tetapi apa lacur? Satu corak yang mencirikan pertanian di ladang ialah , bahwa oleh pengusahanya sama sekali tidak dilakukan syarat-syarat untuk mempertahankan kesuburan tanah. Satu-satunya usaha menyuburkan tanah ialah terdiri dari menanduskan (memberokan) tanah itu beberapa tahun lamanya sehingga tanah-kering tersebut ditumbuhi lagilah oleh belukar atau hutan ringan, yang kemudian ditebang pula untuk diperladang. Ketambahan lagi tanah-tanah kering itu tidak saja kehilangan kesuburanya, tetapi diduga diserang oleh, bahaya erosi, sehingga pada akhirnya daerah demikian itu merupakan satu Tanah mati, satu “stervend land” yang menyedihkan sekali.

Cara pertanian yang demikian itu tak dapat dipertanggung-jawabkan lagi! Cara-caranya harus diubah demikian rupa, sehingga kehilangan zat-zat tanah yang perlu buat tanaman dapat dihentikan, dan tubuh tanah dipelihara, sehingga kesuburan pulang kembali. Jangan menganggap remeh hal ini! Sebab, bilamana kita tidak dapat mengembalikan kesuburan tanah-tanah ladang ini sehingga dapat ditanami lagi dengan tanaman-tanaman makanan secara manfaat, bilamana kita perbiarkan stervend land tetap stervend land, dan ladang-ladang stervend land, maka perlengkapan bahan makanan bangsa kita niscaya akan roboh sama sekali, akan lebur, akan hancur, ialah oleh karena “way out mutlak” kita dalam persediaan makanan rakyat adalah justru terletak dalam tanah-tanah kering itu .

Dapatkah tanah kering menjadi sumber kemanfaatan? Dapat, pemuda-pemudiku, dapat!

Asal kita, terutama sekali kamu, generasi muda, suka “Aanpakken” soal ini dengan tetep, maka kita tak perlu berkecil hati! Kemungkinan dalam teknis dan ilmu pertaniankan telah besar sekali! Tiga puluh tahun yang lalu, propinsi Noord Brabant dan Valuwe di negri belanda yang tanahnya pasir yang amat miskin itu, hanyalah dapat menghasilkan sedikit boekweit dan kentang dan rogge. Hanya biri-biri kurus saja diternakan disana dalam jumlah yang kecil-kecil. Sekarang berkat teknik pertanian tanahnya tak kurang suburnya. Semua tanaman dapat dihasilkan di situ, Bunga-bunga yang indah menyegarkan mata, sapi-sapi yang segemuk sapi Friesland terdapat disana dalam jumlah yang besar-besar. Ini semua hasil penyelidikan yang dilakukan oleh pelbagai balai-penyelidikan dalam waktu 10-15 tahun. Berkat rajinnya anak-negerinya, Berkat tepatnya cara pengolahan tanah, berkat pemakaian pupuk-tiruan secara besar-besaran, maka mereka dapat mengatasi kesukaran-kesukaran dalam menyelamatkan dirinya dari bahaya kelaparan.

Mengapa kita di Indonesia tidak nanti dapat bertindak sedemikian juga? Kita dapat bertindak sedemikian juga, dapat, dan aku tidak ragu-ragu akan hal itu, asal kamu, generasi muda, suka bertindak, asal kamu suka belajar, asal kamu nanti suka menjadi pelopor.

Pertanian tanah-kering kita ini dapat kita bikin menjadi sungguh-sungguh manfaat, dengan melakukan empat ikhtiar yang kusebutkan dibawah ini:
Pertama: Kita harus melakukan pemupukan. Tanah-tanah-ladang kita harus dipupuk, baik dengan pupuk kandang, maupun dengan pupuk tiruan. Pupuk kandang dibutuhkan, bukan saja oleh karena pupuk inilah yang termurah bagi petani, tetapi juga oleh pupuk kandang dapat memperbaiki struktur tubuh-tanah. Kalau pupuk ini masih kurang, tambahkan denga pupuk hijau. Dan kalau inipun masih kurang, pakailah pupuk tiruan. Jangan berkata bahwa pupuk tiruan mahal! Satu-satunya “way out” inikan harus kita tempuh, kalau kita sebagai bangsa tidak mau mati. Lagi pula- semua pupuk-pupuk- tiruan yang di perlukan untuk tanah-tanah kering kita itu, yaitu pada umumnya: Zwavelzure ammonia, kaliumsulfat, dan dubbel suferfosfat, dapat dibikin di negeri kita sendiri dari bahan-bahan yang ada di negeri kita sendiri. Ini sudah kita selidiki. Maka kalau kita membikin pupuk-pupuk itu di negeri kita sendiri tak perlu kita membelinya dari luar negeri. Tak perlu kita tergantung dari keadaan deviezen lagi. Tak perlu kita tergantung dari keadaan politik di negara orang. Dan kita lantas dapat menjalankan Pemupukan tanah-tanah-kering kita secara besar-besaran. Ratusan ribu ha, Milyun-milyunan ha tanah kering menjadi tanah yang menghasilkan produksi. Hancur-leburlah hantu kemiskinan zat dalam tanah-tanah kering kita itu!
Kedua: kita harus menjalankan seleksi, khusus bagi tanah kering, alangkah masih kosongnya Usaha seleksi bagi tanah-kering itu! Tentang seleksi padi-gogo dapat dikemukakan, bahwa hal itu kini selalu diabaikan, selalu dianak-tirikan. Semua tenaga sampai kini dicurahkan kepada seleksi pada sawah, padi basah. Walaupun barangkali tidak mungkin menciptakan satu jenis pada gogo baru yang sama sekali tanah kemarau, yaitu sama sekali droogteresistent, namun toh kemungkinan untuk mendapatkan satu jenis-baru yang mendekati kebutuhan ini, tidak masuk dalam lapangan kemustahilan. Dan selain dari pada padi? Jenis kedele, jenis kacang tanah, jenis jagung, jenis canthel dan tanaman lain yang bermanfaat bagi hidupnja rakyat, pun masih mengandung kemungkinan untuk diperbaiki lagi dengan jalan seleksi. Tanah-kering harus di tanami dengan tanaman yang tahan kering, dan nilai-khasiatnya harus dibuat sederajat dengan nilai-khasiat padi, misalnya jagung, jawawut, kedele, kacang tanah, dan lain-lain sebagainya lagi. Penggiatan seleksi bagi tanaman-tanaman tahan-kering ini teranglah satu keharusan yang harus lekas kita penuhi !
Ketiga: kita harus Memperlipatgandakan Perhewanan ternak. Perternakan adalah satu syarat mutlak untuk pertanian di tanah kering. Dari mana datangnya pupuk kandang, kalau tidak dari ternak? Dari mana tenaga-tenaga penarik – trekkrachten – Untuk perusahaan Pertanian itu, kalau tidak dari sapi atau kuda? Kecual itu, adanya ternak memecahkan soal lalu-lintas, sehingga soal penggangkutpun ikut terkupas oleh karenanya pula, dan terutama kuda  mendinamiskan manusia! Belum kita sebut disini manfaat besar yang datang dari perternakan berkenan dengan kebutuhan zat putih-telur (eiwit) dalam makanan rakyat! Telur ayam, telur itik, daging ayam, daging itik, daging kambing, daging sapi, dan lain-lain sebagainya, membuat tubuh manusia menjadi sehat dan kuat. Didalam pemakaian zat putih-telur yang berasal dari hewan, Indonesia menduduki satu tempat yang teramat rendah. Hanya rata-rata 4 gram kita makan seorang sehari! Sedangkan di Siam orang makan zat putih-telur 21 gram seorang sehari di Malaya 14 gram seorang sehari, di Indo China 17 gram seorang sehari, di India 9 gram seorang sehari, di Filipina 25 gram seorang sehari, di Cuba 29 gram seorang sehari, di Burma 32 gram seorang sehari. Sejak penjajahan Belanda yang beratus-ratus tahun itu, kita telah menjadi satu bangsa yang selalu sedikit makan zat putih dari hewan dan karenanya kita telah mejadi stau bangsa yang lemah badan dan kurang dinamis. Di jamannya Sultan Agung Hanyokrokusumo, maka menurut ceritanya Riycklof van Goes, seorang Belanda yang menghadap di Keraton Sultan Agung di Kerta, di Ibukota Mataram itu tiap hari disembelih orang 500 ternak yang besar-besar. Dan lihatlah dalam sejarah: Pada waktu itu bangsa kita satu bangsa yang dinamis yang tangkas, yang ulet, yang berani, yang gemar bekerja.
Keempat : Mekanisasi. Ini salah satu yang telah lama kucitakan dan idam-idamkan. Pada umumnya luasnya pertanian di Jawa tidak melebihi 1 ha buat tiap-tiap petani, dan 1 ha ini adalah terlalu sedikit, terlalu banyak untuk mati “Te weinig om  van televen, te veel om van te sterven”. Didaerah Kolonisasi di luar Jawa  pun petani rata-rata hanya mempunyai sawah tidak lebih dari 1½ a 2 ha. Berapa sebenarnya harusnya milik tanah untuk hidup cukup, hidup sentausa? Kalau tanah itu cukup subur, seperti halnya dengan tanah-tanah yang sekarang didapatkan di luar Jawa, maka milik itu sebenarnya harus sedikitnya 10 ha buat tiap-tiap petani. Tetapi sebaliknya, kalau ia diberi 10 ha, maka ia tak mempunyai cukup tenaga untuk mengelola tanahnya itu. Dengan sepasang sapi dan dengan bantuann anak istrinya serta seorang bujang, ia paling banyak dapat menggarap 5 ha tanah. Di Limburg (Negeri Belanda) Petani rata-rata mempunyai 20 ha, yang ia kerjakan dengan keluarganya serta seekor kuda besar, dan di samping itu ia mempunyai 2-3 ekor sapi, 3-4 ekor babi, 100 ekor ayam. Bagaimanakah kita memecahkan soal kita ini, kalau kita mengingati, bahwa kita kekurangan sapi, kekurangan kerbau, kekurangan kuda? Tidakkah mungkin mekanisasi – kalau mungkin secara kollektif – membawa pemecahan dalam soal ini?
Untuk mencoba pertanian secara mekanis, didaerah Kendari (Sulawesi) ada siap-sedia 15.000 ha tanah kering yang datar dengan struktur tanah yang cukup enteng untuk digarap dengan mesin. Pembahagian hujan seluruh tahun disana adalah demikian ratanya, sehingga dua kali setahun daerah itu dapat menghasilkan panen padi-gogo yang lumayan. Tidakkah baik kita coba Pertanian mekanis disana itu?

Pemuda-pemudi, akupun sering melayangkan angan-anganku mengenai pertanian di tanah Jawa. Bilakah seorang pemuda atau pemudi Indonesia ahli ilmu pertanian mendapatkan  satu Jenis padi kering – padi kering, bukan padi basah, yang rasa nasinya tidak kurang lezat dari misalnya padi Bengawan yang kebal segala penyakit, yang dapat memberi panen dua kali setahun? Ah, kalau Jenis padi-kering yang demikian itu terdapat, kalau impedance ini terwujud, kalau segala padi basah bisa kita ganti dengan padi-kering yang all-round itu, satu revolusi besar dapat kita jalankan di lapangan pertanian padi! Kita bisa bikin petani – petani kita “collective minded”, kita bisa buang segala pematang – pematang atau galangan – galangan, kita coret sebagian terbesar dari pengeluaran-pengeluaran untuk irigasi yang berpuluh-puluh milyun, kita bisa bekerja dengan tractor-tractor dan mesin-mesin  pengetam kita bisa bekerja chemis besar-besaran, kita bisa pergunakan tenaga petani yang berlebih untuk kerajinan-tangan atau nijverheid, kita bisa lemparkan banyak sekali tenaga kerja kedalam industriliasasi di daerah-daerah kita yang harus di industrialisir! Betapa hebatnya akibat revolusi pembangun yang demikian itu! Produksi bahan makanan akan terbang naik keatas, nijverheid akan tumbuh dimana-mana, industrialisasi akan tidak kekurangan tenaga manusai, dan mental, dalam kedudukan jiwa, bangsa Indonesia akan berubah, akan bangkit sama sekali! Hilanglah nanti segala sifat kepelanan, hilanglah segala sifat tak berdaya yang menghinggapi petani-kecil, hilanglah segala kemak-kemikan japa-mantra dan kukus kemenyan dan sesajen, hilanglah segala sifat jiwa kepedesaan, tumbuhlah jiwa kebrayaan dan kerayaan yang luas, tumbulah jiwa natie yang lebar tumbulah jiwa Negara yang melangkahi segala batas-batasnya desa dan lembah dan gunung dan lautan. Terbangunlah satu bangsa  Indonesia baru yang badanya sehat-kuat karena cukup persediaan makan, yang jiwanya dinamis – tangkas – perkasa karena terlepas dari ikatan-ikatan lama yang membelenggunya ribuan tahun !

Pemuda-pemudi sekalian! Pidato ku hampir habis agak lama aku minta perhatianmu, tetapi tidak terlalu lama, oleh karena soal yang kubicarakan ialah soal hidup atau mati, camkanlah dan perhatikanlah: pada masa sekarang ini, Indonesia menghadapi satu bahaya kelaparan yang tiap-tiap tahun datang kembali, tiap-tiap tahun tambah besar, dan cepat akan merupakan satu bencana, satu malapetaka, kalau tidak kita tanggulangi secara tepat. Bahwa Indonesia pada sekarang ini terpaksa membeli beras dari luar negeri sebanyak 6 a 700.000 ton, besok 800.000 ton, lusa 900.000 ton ; bahwa disana-sini timbul penyakit hongerodeem; bahwa ditanah-air kita yang indah-permai ini ada anak-anak kecil yang diangkut kerumah sakit oleh karena periuk nasi dirumah adalah kosong, itu adalah sebenarnya satu tanda ketidak-mampuan, “brevet van onvermogen” dari pada generasi sekarang yang tak mampu mengenal dan memecahkan soal. Sebagai “mode” didatangkanlah pelbagai ahli dari  luar negeri, yang ya memang ahli, tetapi yang disini masih harus belajar lebih dahulu. Tetapi ya, generasi sekarang biarlah generasi sekarang. Tetapi engkau, engkau, pemuda-pemudi di seluruh Indonesia, yang sekarang duduk di bangku bangku SMA, engkau adalah generasi baru. Engkau adalah generasi yang akan datang! Engkaulah yang bertanggungjawab atas nasib bangsamu di masa depan. Kita kekurangan kader bangsa, terutama di lapangan pertanian dan peternakan. Aku bertanya kepadamu: sedangkan rakyat Indonesia akan mengalami celaka, bencana, malapetaka dalam waktu yang dekat kalau soal makanan rakyat tidak segera dipecahkan, sedangkan soal persediaan makanan rakyat ini bagi kita adalah soal hidup dan mati,--  kenapa dari kalangan-kalanganmu begitu kecil minat untuk studie ilmu pertanian dan ilmu perhewanan? Kenapa buat tahun 1951/1952 yang mendaftarkan diri sebagai mahasiswa bagi fakultet pertanian hanya 120 orang, dan bagi fakultet kedokteran hewan hanya 7 orang? Tidak, pemuda-pemudiku, studie ilmu pertanian dan kehewanan tidak kurang penting dari studie lain-lain, tidak kurang memuaskan jiwa yang bercita-cita dari pada studie yang lain-lain. Camkan, sekali lagi camkan, --- kalau kita tidak “aanpakken” soal makanan rakyat ini secara besar-besaran secara radikal dan revolusional, kita akan mengalami malapetaka.

Secepat mungkin kita harus membangunkan kader bangsa di atas lapangan makanan rakyat kalau mungkin laksana cendawan di musim hujan. Secepat mungkin kita membutuhkan paling sedikit 350 insinyur pertanain, 150 ahli kehutanan, ratusan ahli seleksi, ratusan ahli pembanteras hama, ratusan ahli pemupuk, ratusan ahli tubuh – tanah ratusan ahli irrigasi – pertanian – rakyat, ratusan ahli kehewanan, --- dokter-dokter hewan dan ahli-ahli pemeliharan ternak. Daftarkanlah dirimu nanti menjadi mahasiswa fakultet pertanian dan fakultet kedokteran hewan! Jadilah pahlawan pembangunan! Jadikanlah bangsamu ini bangsa yang kuat, bangsa yang merdeka dalam arti merdeka yang sebenar-benarnya! Buat apa kita Bicara tentang “politik bebas” kalau kita tidak bebas dalam urusan beras, yaitu selalu harus minta tolong beli beras dari bangsa-bangsa tetangga? kalau misalnya peperangan dunia ke-III meledak, entah besok entah lusa, dan perhubungan antara Indonesia dan Siam dan Burma terputus karena tiada kapal pengangkutan, --- dari mana kita mendapat beras? Haruskah kita mati kelaparan? Buat apa kita membuang deviezen bermilyun-milyun tiap-tiap tahun untuk membeli beras dari negara lain, kalau ada kemungkinan untuk memperlipatganda produksi makanan sendiri? Segala ikhtiar-ikhtiar kita menekan harga-harga barang di dalam negeripun – sebagai yang telah kita alami – selalu akan kandas, selalu akan sia-sia, selama harga beras periodik membubung tinggi, karena harga beras memang menentukan harga barang yang lain-lain. Politik bebas, prijsstop, keamanan, masyarakat adil dan makmur, “mens sana in corpore sano”, --- semua itu menjadi omong kosong belaka, selama kita kekurangan bahan makanan selama tekort kita ini makin lama makin meningkat selama kita hanya main cynisme saja dan senang cemooh-mencemooh, selama kita tidak bekeja keras, memeras keringat mati-matian menurut plan yang tepat dan radikal. Revolusi pembangunan harus kita adakan. Revolusi Besar diatas segala lapangan, Revolusi Besar dengan segera, tetapi paling segera diatas lapangan persediaan makanan rakyat. Dan kamu pemuda-pemudi di seluruh Indonesia, kamu harus menjadi pelopor dan pahlawan revolusi pembangunan itu! Janganlah bangsa menyesal di hari yang akan datang.

Denga ucapan itulah, saja nanti meletakan batu pertama dari gedung fakultet pertanian ini.

Sekian ! Terima kasih !

http://ngelmu-urip.blogspot.com/2011/01/soal-hidup-atau-mati.html

Senin, 27 April 2015

Dirgahayu HKTI

Senin, 27 April 2015

HARI ini, 42 tahun silam, tepatnya 27 April 1973, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dibentuk sebagai wadah kerukukan tani yang dimaksudkan untuk mewadahi banyak organisasi petani di Tanah Air. Itikad 42 tahun lalu tersebut mencuat karena teramat banyaknya organisasi tani yang menurut pemerintah perlu disatusuarakan. Demi pembangunan nasional yang ingin melepaskan diri dari ketergantungan akut sistem pangan nasional Indonesia terhadap importasi pangan global.
Bersama banyak faktor lain yang mendukung upaya menuju swasembada beras seperti Bimas-Inmas, penyuluhan pertanian, Insus, pembangunan waduk dan irigasi, benah kelembagaan, dan sebagainya. Penyatuan organisasi tani dalam pemerintahan yang monolitik-sentralistik saat itu dipandang sebagai cara jitu memudahkan pengelolaan pembangunan pertanian nasional. Apapun implikasinya, melalui pendekatan dimaksud mobilisasi petani telah sukses dilakukan.
Kulminasinya, 11 tahun kemudian tercapailah swasembada beras, 1984. Tentu amat monumental bahwa prestasi swasembada dimaksud ditandai dengan anugerah penghargaan FAO kepada Presiden RI dalam upacara perhelatan Harlah ke-40 lembaga pangan sedunia tersebut di Roma, 14 Nopember 1985. Keswasembadaan, terutama beras telah menjadi pilihan utama program pembangunan dalam konfigurasi politik pemerintahan selanjutnya.
Hari ini, ketika Republik sudah sampai pada Presiden ke-7, Pemerintahan Jokowi tidak juga melepaskan urusan keswasembadaan beras. Karena posisi strategis yang tidak pernah melemah, kalau tidak bisa disebut justru makin menguat karena berkaitan dengan ancaman kelaparan global. Sementara, secara finansial nilai uang minimal terkait swasembada beras yang setara konsumsi tahunan 31 juta ton beras, lebih dari Rp 226,3 triliun, berdasarkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras menurut Inpres 5/2015 sebesar Rp 7.300/kg.
Sekian lama pemerintahan reformasi berjalan, selama itu pula nyaris tidak terjadi benah infrastruktural. Pembangunan waduk, penataan sistem irigasi dan sejenisnya, boleh dikatakan tidak ada selama 17 tahun belakangan. Kemerosotan kinerja persawahan tentu menyertai. Mengawali Pemerintahan Jokowi, dicanangkanlah kembali pendekatan infrastuktural yang memang sangat diperlukan. Tentu saja pendekatan-pendekatan lain turut serta pula untuk mendukungnya secara simultan bagi terwujudnya swasembada beras 2018.
Alasannya, keswasembadaan pangan, utamanya beras, memang sebuah keharusan Indonesia. Kecuali diperlukan guna melandasi kedaulatan pangan, keswasembadaan dibutuhkan sebagai kendali, tidak hanya bagi stabilitas pangan, tetapi sekaligus bagi stabilitas perekonomian nasional. Hal ini mengingat keterkaitan erat kinerja pangan yang selalu terukur dalam relasi empat hal: pertama, gerakan harga pasar pangan yang harus menjamin stabilitas; kedua, daya beli publik yang sangat terbatas; ketiga, kesejahteraan petani yang menurut UU 19/2013 harus dilindungi; dan keempat peta konsumsi mayoritas rakyat banyak yang didominasi konsumsi pangan.
Perihal terakhir, tentang cunsumption bundle, peta konsumsi yang didominasi pangan, tentu terkait erat dengan tingkat kesejahteraan rakyat, dan sekaligus memiliki implikasi tersendiri dalam pengelolaan kinerja ekonomi makro. Apapun yang terjadi terhadap pasar pangan, karena dominasi konsumsi ini akan sangat berpotensi mempengaruhi stabilitas nilai uang, inflasi maupun deflasi.
Hal sebaliknya sudah barang tentu harus dicermati. Ketika terjadi perubahan kinerja perekonomian yang berpotensi memicu inflasi, (inflationary), seperti naiknya harga bahan bakar minyak (BBM), merosotnya nilai tukar rupiah, dan sebagainya, maka dominasi pangan dalam peta komsumsi, semakin menonjol, dan pengaruhnya terhadap kemerosotan nilai uang semakin kentara. Manakala pasar pangan 'kesetrum' inflasi meski sekadar sebagai penerus saja, remittance maka potensi inflationary pangan akan menjadi-jadi. Dengan akibat luar biasa bagi konsumen dan produsen pangan, dan pada gilirannya bagi perekonomian nasional.
Perspektif strategis inilah sebetulnya yang harus dicermati dengan hati-hati dalam pengelolaan pangan karena keterkaitan massifnya bagi masyarakat, produsen dan konsumen. Tanpa kehati-hatian pengelolaan, niscaya rakyat tani miskin (RTM), dan sektor pangan akan senantiasa diposisikan sebagai bemper inflasi dan tumbal stabilitas perekonomian.
Solusi fiskalnya harus strategis. Dengan tiadanya kesesuaian dukungan fiskal yang memadai, sungguh tidak bisa dipahami RTM dan organisasi tani mana pun. Andaikata dalam menghadapi gejala inflationary, pemerintah cenderung bersikap bahwa semua barang bisa dan boleh naik harganya, semaunya, kecuali produk pangan.

Prof Dr M Maksum Machfoedz
(Penulis adalah Ketua PB NU, Guru Besar UGM)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/3987/dirgahayu-hkti.kr

42 TAHUN HKTI

HKTI Organisasi Pelangi

Sejak awal mula berdiri pada 1973 lalu, HKTI memang sebuah organisasi “Pelangi” yang dihasilkan dari spektrum warna kristalisasi 14 ormas tani.  HKTI lahir dalam sebuah pusaran politik yang tengah gandrung-gandrungnya stabilitas pembangunan, derasnya arus restrukturisasi organisasi sebagaimana juga telah dilakukan dikalangan kepartaian.  Sekedar mengingatkan, menurut Heroe Soeparto dalam Petani Bangkit ! (2004), HKTI merupakan hasil fusi dari ormas-ormas tani berikut :1. Warga Tani Kosgoro; 2. Rukun Tani Indonesia (RTI) SOKSI; 3. Gerakan Tani MKGR; 4. Persatuan Tani Nasional Indonesia (PETANI); 5. Persatuan Tani Nahdatul Ulama (PERTANU); 6. Ikatan Petani Pancasila (IP PANCASILA); 7. Kesatuan Tani Pancasila (KATA PANCASILA); 8. Pergerakan Tani (PERTA); 9. Gerakan Tani Indonesia (GTI); 10. Gerakan Tani Syarikat Islam (GERTASI); 11. Gerakan Tani Muslim Indonesia (GERTAMI); 12. Persatuan Tani Kristen Indonesia (PERTAKIN); 13. Sarikat Tani Indonesia (SAKTI); dan 14. Persatuan Tani Islam Seluruh Indonesia (PETISI).

Sepertinya, semuanya pun mafhum apabila para “fusioner” yang berwarna-warni ini kemudian melahirkan sebuah organisasi yang juga berwarna-warni, satuan-satuan warna penyusunnya tampak kental meski telah mengkristal.  Kristalisasi pelangi itu dituangkan dalam kesepakatan yang dicapai oleh Tim 9 pada tanggal 21 April 1973.  Tim Kerja yang berjumlah 9 orang dan bekerja marathon sejak dari tanggal 3 April 1973 di salah satu ruangan BAKIN Jl. Senopati, menghasilkan kesepakatan sebagai berikut :

Perlu dilahirkan satu wadah organisasi tani yang bersifat nasional, berdaulat keluar dan kedalam.
Organisasi tani ini harus merupakan hasil fusi (penyaturagaan) segenap ormas tani Indonesia yang menjadi anggota BKS Tani.
Organisasi tani ini harus bersifat independen (mandiri) dalam arti tidak menginduk atau berafiliasi dengan organisasi lain apapun.
Organisasi tani ini, harus tetap mencerminkan sebagai organisasi gerakan masa dengan ciri profesi ketanian.
Organisasi tani ini bukan sebagai alat aparat pemerintah, tetapi sebagai Non Goverment Organisation (NGO).
Organisasi tani ini bersendikan demokrasi atau kerakyatan.
Organisasi tani ini secara tegas hanya berasaskan Pancasila.
Amanat Pak Harto

Benarkah proses kristalisasi satuan-satuan warna yang kemudian menjadi pelangi itu, berlangsung mulus tanpa syakwasangka?  Heroe Soeparto menuliskan sepenggal kisah dalam bukunya itu, bahwa walau pun sudah ada kesepakatan, tetapi masih ada ormas tani yang menyampaikan tanggapan bernada curiga.  Bayi HKTI ini dituduh akan digunakan untuk kepentingan politik golongan tertentu dan sekedar alat kepanjangan tangan pemerintah.

Waktu itu, Syarikat Tani Islam Indonesia (STII) beralasan bahwa organisasi tani yang akan dibentuk merupakan rekayasa pemerintah untuk membuat ormas tani menjadi banci.  Dalam perjalanannya, saya tidak tahu apakah tudingan tersebut terbukti atau tidak. Tapi, pada penyelenggaraan Munas I yang berlangsung di Istana Negara, pemerintah memberikan perhatian penuh.  Bahkan, Presiden Soeharto saat itu turut memberikan amanat langsung.  Sekedar bernostalgia bagi yang pernah mengalaminya dan mengingat amanat-amanat beliau, berikut saya tuliskan amanat Presiden Soeharto waktu itu sebagaimana ditulis Heroe Soeparto dalam bukunya PETANI BANGKIT !


Petani sebagai soko guru masyarakat, dikatakan presiden :

” Negara kita adalah negara agraris.  Sebagian besar bangsa kita adalah petani.  Dengan demikian para petani dapat dikatakan sebagai soko guru masyarakat kita … Oleh karena itu, organisasi semacam Himpunan Kerukunan Tani Indonesia atau HKTI ini sangat penting arti dan peranannya, baik dilihat dari segi pemerintah maupun dilihat dari segi masyarakat tani sendiri maupun masyarakat Indonesia umumnya”.


HKTI sebagai partner pemerintah, dikatakan presiden:

“Bagi pemerintah organisasi semacam ini dapat berperan sebagai partner dalam pembangunan sektor pertanian dan meningkatkan taraf hidup para petani”.


HKTI sebagai wahana penghimpun petani, dikatakan presiden:

“Oleh karena itu perlu dikembangkan sebagai wahana menghimpun petani yang dapat menjadi wadah mengembangkan pemikiran dan kegiatan untuk meningkatkan usaha pertanian dan taraf hidup petani.  Dan yang paling tepat untuk itu adalah wadah dari petani, oleh petani dan untuk petani sendiri, wadah ini tidak lain adalah HKTI”.


HKTI sebagai penggerak dan pengarah, dikatakan presiden:

“HKTI dapat menjadikan dirinya sendiri unsur penggerak dan pengarah pembangunan masyarakat desa.  HKTI sama sekali bukan sekedar perkumpulan.  HKTI adalah suatu gerakan untuk memajukan bangsa lewat peningkatan sektor pertanian”.


HKTI perlu memelihara kerukunan para petani, dikatakan presiden:

“HKTI dapat dan juga harus memerankan dirinya untuk memelihara kerukunan para petani … pembinaan kerukunan para petani itu memang merupakan salah satu cita yang menjiwai HKTI”.



HKTI sebagai organisasi profesi, diamanatkan presiden:

“Harus pula diingat bahwa HKTI harus konsekuen dalam membina dan mengembangkan dirinya sebagai organisasi profesi.  Kita harus menyadari justru di situlah letak kekuatan HKTI…. Sebagai organisasi profesi HKTI harus mampu meredam perbedaan paham dan golongan politik para anggotanya.  HKTI jangan sampai terlibat dalam perbedaan sikap politik yang ada.  HKTI seharusnya menjadi unsur perukun dan perekat dari masyarakat tani yang berbeda-beda paham atau organisasi politik yang mereka ikuti”.

Saya merasa, selama menjadi bagian dari keluarga besar HKTI, sejak jadi ketua DPC HKTI hingga saat ini menjadi bagian dari DPN HKTI (komite INFOKOM), amanat yang disampaikan oleh Presiden Soeharto pada waktu itu, masih sangat relevan dengan kondisi HKTI sampai saat ini dan beberapa masa ke depan nantinya.  Pada amanat bagian terakhir itulah kiranya yang sangat sulit untuk dijaga.  Barangkali, oleh karena menyadari hal itu pulalah Pak Harto memulainya dengan kalimat, “Harus pula diingat ….”.


Pasalnya, seringkali kita lupa bahwa warna pelangi yang melekat pada HKTI bermakna siapa pun tidak boleh menyatuwarnakannya.  Siapa pun harus tegas dan keras mempertahankan kepelangiannya, karena seperti pernah diamanatkan oleh Pak Harto, bahwa “Kita harus menyadari justru di situlah letak kekuatan HKTI…”, disitulah letak keindahannya. Apakah masih disebut sebuah pelangi, jika ia hanya memiliki satu warna ? Dan, kalau pun memang terpaksa harus, maka tentunya warna yang kita pilih adalah warna merah dan putih, yang dicengkeram garuda dan bertuliskan Bhineka Tunggal Ika.  Tapi, apakah warna merah dan putih itu pun masih dapat disebut pelangi?

Sungguh, sebuah tugas yang sangat berat bagi Sang Panglima Tani, Penjaga Kepelangian HKTI.

Layang-layang dan Sebatang Pohon

Sebagai anak yang dibesarkan oleh sepasang kakek dan nenek yang jadi petani nelayan, saya tumbuh sebagaimana anak desa pantai lainnya.  Bermain-main dengan angin dan ombak Pantai Selatan, pohon rindang di tepi Hutan Pananjung dan hamparan sawah Desa Babakan di Ciamis Selatan.  Salah satu permainan yang saya sukai adalah menerbangkan layang-layang di tepi pantai dan memanjat pohon lalu tidur di bawah kerindangannya.  Jujur saja, kedua permainan itu sangat berpengaruh dalam kehidupan saya selanjutnya.

Sungguh saya sangat menikmati, tatkala bersusah payah menaikkan layang-layang itu agar dapat terbang melayang di angkasa luas.  Setelah dengan gagahnya, layang-layang itu menari membelah angkasa, saya pun memandangnya takjub sambil berbaring di bawah pohon rindang.  Terkadang, angin sejuk meninabobokan saya hingga terlelap, memeluk gulungan benang di dada.

Pernah suatu saat, ketika terbangun saya tidak menemukan lagi layang-layang itu menari di langit.  Layang-layang itu, tercebur ke laut karena putus benangnya. Agaknya, kerindangan pohon tempat dimana saya berbaring memandang layang-layang tadi, telah menciptakan suasana teduh, nyaman, aman dan berpadu dengan hembusan angin sore yang menciptakan kelelapan dan juga sebuah kehilangan.

Terkadang, saya merenungi hal tersebut sebagai sebuah pembelajaran dan pencerahan.  Taktakala selesai bersusah payah menerbangkan dan membuat layang-layang itu semakin tinggi, perasaan senang dan bangga menyelimuti hati.  Bagaimana pun, tarian layang-layang di angkasa, membuktikan bahwa kita mampu menaikan layang-layang yang dapat dilihat dan dipandang orang.  Meski, layang-layang itu berada jauh di atas sana.  Semakin tinggi layang-layang menari, maka semakin jauh pula layang-layang itu dari bumi tempat saya berpijak.  Terpaan angin yang semakin kuat di ketinggian yang menjulang, terkadang membuat layang-layang itu sulit terkendali. Dan bahkan, seringkali malah benangnya melukai jari, terputus dan layang-layang pun menghilang terbawa angin.

Sungguh berbeda dengan sebatang pohon, semakin tinggi menjulang, maka semakin banyak akar mencengkeram dan semakin kuat batang menopang.  Setinggi apa pun sebatang pohon dalam terpaan angin, mestilah ia tetap bertumpu pada akar yang kuat mencengkram.  Kerindangan tajuk yang dihasilkan dari kesempurnaan akar dan batang, cabang dan ranting, mampu menciptakan keteduhan, kenyamanan dan  rasa aman.  Kalau pun harus lepas dari akar dan pangkal batangnya, maka ia masihlah dapat bertunas dan kembali tumbuh menjulang, kembali menari-nari diterpa angin.  Dan, itu karena akarnya masih kuat mencengkram.

Sebatang pohon tempat saya berbaring memandang layang-layang menari mengukir langit, memiliki dua jenis akar.  Akar yang mencengkeram ke bawah tanah, dan akar yang bergelantungan (akar gantung/napas) yang menempel ke atas pada dahannya.  Tentu saja kedua jenis akar itu memiliki fungsi dan manfaat yang berbeda bagi pohon itu sendiri.  Namun, orang-orang tua dulu di kampung saya selalu menasehati, sebisanya agar jangan berteduh dan menghindari pohon-pohon yang kebanyakan akar gantungnya.  Selain memang tampak seram, konon katanya suka banyak jin dan syetannya.

Hanya pohon yang terpeliharalah yang memiliki keharmonisan antara akar gantung, dahan, cabang dan ranting, rimbunnya dedauan, kokohnya batang dan kuatnya akar mencengkram.

Saya selalu berharap dan berdo’a, kiranya organisasi HKTI yang saya cintai, tidaklah seperti layang-layang yang semakin tinggi menari mengukir langit, semakin jauh pula dia meninggalkan bumi tempat para petani berpijak.  Kiranya HKTI dapat menjadi sebatang pohon yang semakin tinggi menjulang ke angkasa, semakin kuat pula akar mencengkram dan semakin kokoh batang menopang.  Dan, tentu saja bukan sebatang pohon yang penuh sesak dengan akar yang bergelantungan, agar tidak tampak seram dan dihuni banyak jin dan syetan.

Akhirnya, sebagai penutup tulisan ini saya ingin menyampaikan sebuah “rangkaian kalimat favorit” yang sangat mempengaruhi pola pikir, sikap dan tindakan saya. Rangkaian kalimat itu adalah apa yang pernah Pak Harto tekankan pada Pembukaan Sidang Pertama MPO HKTI di Istana Merdeka, 11 Maret 1975, sebagaimana tertulis dalam PETANI BANGKIT ! (2004).  Sebuah amanat yang tampaknya masih sangat relevan dengan analisa dari berbagai Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan yang dihadapi HKTI saat ini.

“Perbaikan kehidupan petani kita itu merupakan bagian yang paling penting daripada tujuan pembangunan kita sekarang ini, sebab para petanilah yang merupakan lapisan terbesar masyarakat kita … Menaikan taraf hidup petani berarti suatu usaha untuk menaikan penghasilan petani … Persoalan yang harus kita pecahkan bukanlah bagaimana menaikan produksi, melainkan bagaimana dapat mengadakan perbaikan nasib petani … Saya minta agar HKTI menjadi bagian aktif dalam usaha besar tadi.  Benar-benar terjunlah di tengah-tengah petani … berilah mereka petunjuk, bimbinglah mereka… Dan sekali-kali HKTI jangan hanya menjadi organisasi yang terlepas dari jutaan petani yang menjadi tujuan pengabdian organisasi ini” (Soeharto, 1975).

(Saya persembahkan untuk kawan-kawan pejuang HKTI)

https://kembaratani.wordpress.com/2008/08/16/layang-layang-dan-kearifan-sebatang-pohon/

HPP Naik Tapi Gabah Petani Dibeli Murah

Minggu, 26 Apr 2015


Agrofarm.co.id Inpres telah diterbitkan. HPP untuk gabah petani telah dinaikkan menjadi Rp 3.700 untuk gabah kering panen. Kenaikan itu dianggap belum menguntungkan petani. Tapi boro-boro Inpres direvisi. Sidak Mentan ke Jawa Tengah malah mendapati kenyataan lain. Gabah petani hanya dibeli Rp 3.000 per kilo.

Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah belum menguntungkan petani. Oleh karena itu, Aliansi Petani Indonesia (API) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk merevisi Inpres No. 5 Tahun 2015 dan menerapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Multikualitas.

Inpres No. 5 Tahun 2015 tentang Harga Pembelian Pemerintah (HPP) atas gabah/beras yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 17 Maret 2015 belum akan menguntungkan petani. Meski terjadi kenaikan bila dibandingkan HPP sebelumnya (Inpres No. 3 Tahun 2012) namun hal itu tidak serta-merta mampu meningkatnya pendapatan petani padi.

M. Nuruddin, Sekretaris Jenderal  Aliansi Petani Indonesia (API) mengatakan, saat ini harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani berdasarkan HPP 2015 adalah Rp 3.700/kg  dan Rp 3.750/kg di penggilingan. Untuk Gabah Kering Giling (GKG) Rp. 4.600/kg di penggilingan atau Rp 4.650/kg di gudang Bulog. Sedangkan untuk harga pembelian beras adalah Rp 7.300/kg.

“Penetapan harga baru tersebut meningkat 10% dari HPP berdasarkan Inpres No.3/2012 yang berlaku sebelumnya, yakni GKP di tingkat petani Rp.3.300/kg dan Rp.3.350/kg di penggilingan, GKG di tingkat penggilingan Rp.4.150/kg dan Rp.4.200/kg di gudang Bulog, Beras Rp.6.600/kg di gudang Bulog,” katanya.

Menurutnya, HPP 2012 yang berlaku dan bertahan selama lebih dari 3 tahun dan baru diubah pada medio Maret 2015 menjadikan peningkatan 10% tidak cukup berarti bagi petani. Karena faktanya di pasaran saat ini harga pembelian gabah di tingkat petani sudah jauh di atas ketetapan HPP baru, yakni berkisar rata-rata antara Rp. 4000 hingga Rp.4500 seperti di daerah Jombang, Madiun, Bojonegoro serta beberapa kabupaten lain di Jawa Timur.

“Harga juga tak jauh beda di daerah Jawa Tengah seperti Boyolali, Magelang dan Solo Raya serta sentra beras Karawang, di Jawa Barat. Demikian pula di beberapa daerah lain di luar Jawa seperti Lampung, yakni Rp. 4500/kg dan Kalimantan Tengah yang bahkan harga GKP sempat tembus Rp. 8500/kg,” ujar Nuruddin.

Fakta peningkatan harga di pasaran tersebut disebabkan oleh berbagai factor. Baik faktor meningkatnya biaya produksi seperti biaya pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja maupun biaya non-produksi  lainnya seperti transportasi. “Semua faktor itu dipengaruhi oleh berbagai kondisi ekonomi di dalam negeri seperti harga BBM, yang juga memiliki dampak langsung terhadap kebutuhan hidup sehari-hari petani,” tambahnya.

Di satu sisi peningkatan 10% HPP gabah atau beras berdasarkan Inpres No. 5 Tahun 2015 belum menjawab kebutuhan petani untuk dapat hidup secara layak karena masih senjangnya antara biaya pengeluaran produksi dan pendapatan rumah tangga tani.  “Petani lantas lebih memilih menjual padi ke tengkulak karena harganya lebih tinggi dibanding harus menjualnya ke Bulog. Dimana keadaan itu tentu akan berdampak pula pada rendahnya serapan Bulog atas gabah atau padi petani,” tandasnya.

Di sisi lain, katanya  jika HPP ditetapkan tinggi maka dikhawatirkan dapat menyebabkan harga-harga lain terkoreksi dan dapat berakibat pada terjadinya inflasi. “Mungkin Inilah alasan pemerintah untuk tidak menaikan HPP lebih dari 10%,” ujarnya pada Agrofarm.

Jika menilik waktu dikeluarkannya Inpres No.5 Tahun 2015 dimana bersamaan dengan saat panen raya di berbagai wilayah di Indonesia, maka dapat ditengarai bahwa pemerintah saat ini sedang mengantisipasi jatuhnya harga gabah akibat produksi yang berlimpah. “Saat harga jatuh maka diasumsikan Bulog akan dengan mudah menyerap hasil produksi dengan menggunakan acuan HPP 2015, yang notabene tak menguntungkan petani,” ujar Nuruddin. Beledug Bantolo

http://www.agrofarm.co.id/read/pertanian/2554/hpp-naik-tapi-gabah-petani-dibeli-murah/#.VT18TNLtmko

Minggu, 26 April 2015

Mentan ingatkan pentingnya ketahanan pangan

Sabtu, 25 April 2015

 "Jika ketahanan pangan lemah, kedaulatan negara terancam, kriminalitas pasti meningkat,"
Waekasar, Maluku (ANTARA News) - Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengingatkan pentingnya ketahanan pangan untuk Indonesia khususnya bagi para petani, di mana jika ketahanan pangan lemah maka kedaulatan negara akan terancam.

"Jika ketahanan pangan lemah, kedaulatan negara terancam, kriminalitas pasti meningkat," kata Amran, saat menghadiri panen raya di Desa Waekasar, Kabupaten Buru, Maluku, Sabtu.

Amran mengatakan, bahkan Presiden Joko Widodo memberikan instruksi langsung terkait dengan pentingnya ketahanan pangan serta memperhatikan nasib para petani agar bisa mendukung program pemerintah mencapai swasembada.

"Kami diminta Presiden memperhatikan para petani dengan turun ke lapangani untuk melakukan diskusi, dan lain sebagainya," ujar Amran.

Amran menambahkan, untuk melindungi para petani tersebut, sejak dilantik Presiden Jokowi menjadi Menteri Pertanian pada Oktober 2014 lalu, dirinya dan jajaran pemerintah lainnya sepakat untuk tidak membuka keran impor beras.

"Sampai hari ini, sejak kami bergabung di Kabinet Kerja, tidak ada impor beras. Harga beras sekarang sudah stabil," ucap Amran.

Kementerian Pertanian mencatat, dalam periode Oktober 2014 hingga Maret 2015 terdapat tambahan luas lahan pertanian padi seluas 700 hektare. Dengan adanya peningkatan tersebut, diharapkan produksi bisa mencapai tiga juta ton.

Beberapa waktu lalu, Kementerian Pertanian juga menyatakan bahwa rendahnya harga gabah kering di tingkat petani dapat menyebabkan petani kehilangan semangat untuk menanam padi.

Melalui dialog langsung, Menteri Pertanian dengan beberapa petani di Desa Talang Giring, Kabupaten OKU Timur harga gabah kering petani pada kisaran Rp3.300 hingga Rp3.500. Harga tersebut di bawah HPP yang ditetapkan pemerintah yaitu Rp3.700/kilo.

Untuk itu Menteri Pertanian akan membicarakan masalah ini kepada Bulog dan Menteri BUMN Rini Soemarno untuk meningkatkan penyerapan beras oleh Bulog, sehingga tidak ada lagi harga gabah di tingkat petani yang tidak sesuai dengan HPP.

http://www.antaranews.com/berita/492841/mentan-ingatkan-pentingnya-ketahanan-pangan

Jumat, 24 April 2015

TOLAK IMPOR BERAS DEMI KEDAULATAN PANGAN DAN PRODUTIVITAS PETANI (II)

Bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional.


Bahwa tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang pada tingkat rumah tangga, daerah, nasional sepanjang waktu dan merata melalui pemanfaatan sumberdaya dan budaya lokal, teknologi inovatif dan peluang pasar, serta memperkuat ekonomi pedesaan dan mengentaskan masyarakat dari kemiskinan


Kedaulatan pangan merupakan hak sebuah negara dan petani untuk menentukan sendiri kebijakan pangannya dengan memprioritaskan produksi pangan lokal untuk kebutuhan sendiri, menjamin penguasaan petani atas tanah subur, air, benih, termasuk pembiayaan untuk para buruh tani dan petani kecil, serta melarang adanya praktek perdagangan pangan dengan cara dumping.


Bahwa kenaikan harga beras di beberapa wilayah Indonesia, dalam beberapa minggu ini cukup mencengangkan. Operasi pasar (OP) beras yang dilakukan pemerintah tidak mungkin bisa menjadi andalan karena hanya bersifat pemadam kebakaran. Rencana pemerintah untuk kembali melakukan impor beras sebanyak 500 ribu ton pada tahun ini harus ditolak karena bertentangan dengan upaya membangun kedaulatan pangan bangsa dan bertentangan dengan upaya mensejahterakan petani.


Bahwa kebijakan impor beras tersebut bertentangan dengan tujuan pembentukan negara, yang antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum. Tugas negara untuk menyediakan pangan dengan harga terjangkau bagi rakyat miskin. Mayoritas rakyat Indonesia tinggal dipedasaan sehingga desa harus menjadi pusat pertumbuhan ekonomi khususnya disektor pertanian.


Terhadap rencana impor beras yang akan dilaksanakan pada bulan Maret tahun ini ditemukan fakta sbb:

· Kontrak impor beras 500 ribu ton antara Perum Bulog dengan Vietnam Shoutherm Food Corporations (Vinafood II) diduga merugikan negara sebesar Rp. 140 miliar.

· Harga impor beras yang dibeli dari Vinafood ternyata lebih mahal dari yang ditawarkan Pakistan dan China.

· Bulog membeli dari Vinafood 308 dollar/ton sedang Cina dan pakistan menawarkan US$ 208 dolar/ton dengan tenggang waktu pembayaran 6 bulan sampai satu tahun.

· Beras yang masuk ke Indonesia ternyata bukan hanya dari Vietnam saja tetapi didatangkan dari Thailand dan India, ini berarti Vinafood menjadi calo karena dia juga membeli beras dari Thailan dan India untuk memenuhi kontrak beras dengan Indonesia.


Bahwa kebijakan pemerintah untuk mengimpor beras menjadi ritual tahunan yang merugikan petani, khususnya terhadap hal-hal sebagai berikut:

· Impor beras pemerintah selalu diikuti dengan impor beras ilegal yang jumlahnya cukup besar.

· Impor beras secara psikologis menekan harga domestik

· Impor beras tidak memberi kepastian usaha dan insentif kepada petani dan tidak ada kepastian berapa harga gabah setelah panen.

· Impor beras tidak berpihak dalam membantu kegiatan ekonomi dipedesaan dan justru mensubsidi petani negara lain

· Dampak positif atas kebijakan larangan impor antara lain telah mendorong minat produksi, mendorong kenikan harga ditingkat petani, dan mendorong ekspor beras ke Afrika dan Arab Saudi sekitar 52.000 ton pada bulan April 2005 dan pada tahun 2006 pemerintah memiliki komitmen untuk melanjutkan dan meningkatnkan kebijakan pangan pada tahun-tahun sebelumnya yang antara lain melanjtkan larangan impor beras.


Rekomendasi:

· Perlu dibangun gerakan penolakan impor beras disetiap daerah melalui kelompok-kelompok tani secara sinergis dan simultan.

· Perlu segera dibangun ormas tani yang kuat atau penguatan secara keorganisasian terhadap kelompok tani disetiap daerah guna menguatkan posisi strategis petani dalam memperjuangkan hak-haknya. Organisasi/kelompok tani yang dibuat ditujukan untuk mewujudkan suatu sistem produksi, konsumsi, distribusi dan pasar pangan yang berpihak pada kedaulatan rakyat, perlindungan pasar dalam negeri dari impor murah (dumping).

· Perlu dibangun apresiasi terhadap daerah-daerah yang mempunyai surplus produksi sebagai bentuk penghargaan dan pembangunan motivasi para petani untuk terus berproduks.

· Terhadap Tanah, Air dan Benih

– Menuntut pembaruan agraria sejati yang memfokuskan pada distribusi terhadap rakyat tanpa tanah dan kemungkinan bagi para petani untuk memiliki hak atas tanah mereka.

– Tanah untuk petani : Tanah seharusnya menjadi milik rakyat kecil dan tak bertanah, bukan milik tuan tanah dan perusahaan besar.

– Tanah dan air harus dimiliki oleh komunitas lokal dengan menghargai sepenuhnya terhadap hukum adat dan hak-hak terhadap penggunaan sumberdaya lokal dan tradisional mereka.

– Memiliki hukum positif saja tidak cukup, di dalam lingkup internasional banyak negara yang memiliki hukum agraria tetapi tidak diimplementasikan.

– Perempuan harus memiliki hak yang setara dalam hal akses terhadap lahan dan air.

– Menolak privatisasi sumberdaya air (seperti prinsip-prinsip yang tertuang dalam UU No.7/2004) ; Pemerintah harus melindungi para petani di dalam penyediaan akses irigasi yang gratis untuk proses produksi.

– Kita seharusnya dilindungi dari polusi sumberdaya air oleh industri dan pertanian yang menggunakan bahan kimia (pupuk dan pestisida kimia), khususnya pada sistem produksi beras.

– Benih merupakan jantung dari sistem pertanian, dan basis dari kedaulatan pangan. Untuk itu tolak proses paten benih, tolak segala bentuk, sistem ataupun teknologi yang mencegah petani untuk menyimpan, mengembangkan dan mereproduksi benih sendiri.

– Mendorong hak untuk reproduksi dan pertukaran benih oleh rakyat dan untuk rakyat. Benih tidak boleh didistribusikan oleh perusahaan transnasional dan pemerintah, karena mereka akan menjadikan petani hanya sebagai konsumen dari rantai produksi benih.

– Menolak GMOs (rekayasa genetika untuk makhluk hidup) dan melarang produksi dan perdagangannya pada benih pertanian, karena prinsipnya yang tidak berkelanjutan.

· Terhadap sistem produksi pangan

– Petani harus mendapat jaminan keuntungan atas usaha produksi pangan, khususnya pada saat panen puncak.

– Mempromosikan produksi pangan yang berkelanjutan seperti pertanian alami dan organik; dengan input yang lebih rendah dan menghasilkan output yang lebih baik kualitasnya.

– Mendorong revitalisasi pengetahuan tradisional untuk sistem produksi beras yang berkelanjutan.

– Menyadari pentingnya kedaulatan pangan dalam hal ekologi dan alam dalam rangka mengurangi kemiskinan, melindungi ekosistem dan pelestarian tanah, keanekaragaman hayati, peningkatan kondisi kesehatan dan peningkatan kualitas air dan bahan pangan dengan harga yang terjangkau.

– Membuat kriteria kualitas pangan yang sesuai kebutuhan dan keinginan rakyat.

– Menekan pemerintah untuk memberikan dukungan terhadap organisasi-organisasi yang mempromosikan pertanian yang berkelanjutan dan untuk mempersiapkan kebijakan formal untuk mempromosikan sistem produksi pangan yang berkelanjutan.

· Terhadap aktivitas dan proses pasca panen

– Pemerintah harus menyediakan program-program pelayanan yang mendukung produksi dan produktivitas tanah. Pemerintah juga harus memfasilitasi aktivitas pasca panen.

– Perbaikan infrastruktur,

· Terhadap perdagangan

– Memastikan harga yang layak; dan pemerintah harus menjamin harga dengan memberikan subsidi untuk menutupi biaya produksi dan juga untuk mendapatkan keuntungan yang cukup yang sesuai dengan biaya kebutuhan hidup para petani.

– Meminta pemerintah untuk memberikan subsidi untuk mempromosikan produksi pangan yang berkelanjutan dan memastikan bahwa subsidi tidak untuk perusahaan trans-nasional dan produsen besar apalagi untuk negara lain.

– Pemerintah harus mendukung petani yang memproduksi pangan untuk kebutuhan dalam negeri.

– Hasil pertanian dalam negeri seharusnya diatur sedemikian rupa untuk mencegah surplus, dalam rangka menghindari dumping produk ekspor.

– Menolak impor beras dan mendorong negara dapat memproduksi beras yang cukup untuk konsumsi mereka sendiri. Seringkali, impor beras adalah proses dumping dari surplus produksi yang membanjiri pasar domestik dan pada akhirnya membunuh petani.

Menyadari bahwa impor beras adalah salah satu ekses dari liberalisasi perdagangan, untuk itu liberalisasi perdagangan pangan yang dilakukan oleh WTO dan Kesepakatan Perdagangan Bebas (FTA) harus ditolak. Dan dengan tegas menuntut agar WTO keluar dari urusan pangan dan pertanian.



Ir. Hasto Kristiyanto, MM

Anggota DPR Komisi VI PDI Perjuangan

Daerah Pemilihan 7 Jawa Timur

Gedung MPR DPRRI Nusantara I Lantai 8, Ruang.806

Jl.Jend.Gatot Subroto Jakarta

Telp.021-5756303 Faks.021-5756305,

Email: Hasto1966@yahoo.co.id

https://hastopdiperjuangan.wordpress.com/category/tolak-impor-beras/

TOLAK IMPOR BERAS DEMI KEDAULATAN PANGAN DAN PRODUKTIVITAS PETANI (I)

Pada tahun 2005 DPRRI dengan dipelopori oleh Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengajukan usulan Hak Angket mengenai impor beras. Hak Angket adalah hak DPR untuk mengadakan invesitigasi mengenai suatu kebijakan. Mengajukan usul Hak Angket ini merupakan fungsi pengawasan DPRRI. Usulan agar DPRRI mengajukan Hak Angket terkait dengan pemberian ijin secara diam-diam oleh pemerintah, dalam hal ini melalui Keputusan Menteri Perdagangan kepada Perum Bulog. Kebijakan ini diduga melanggar UUD 1945 dan undang-undang lainnya. Usulan Hak Angket ini didukung oleh mantan Presiden Megawati, Abdurahman Wahid, Amien Rais dan Pramono Anung. Disamping pemberian ijin tersebut, fakta yang ada pada saat itu adalah Indonesia masih memiliki beras surplus 2,23 juta ton. Pada pemungutan suara untuk memutuskan apakah akan melaksanakan Hak Angket ataukah Hak Interplasi (Hak Bertanya) yang dimajukan dalam sidang paripurna DPRRI, mayoritas anggota DPRRI memutuskan untuk melakukan Hak Interplasi dan bukan Hak Angket. Putusan ini akhirnya melancarkan keinginan pemerintah untuk mengimpor beras.

Tahun 2007, impor beras kembali akan dilakukan pemerintah. Bahkan bulan Maret ini akan segera datang beras 70.000 ton dari 500000ribu ton yang akan diimpor. Nyata sekali, pemerintah tidak belajar dari kontroversi impor beras sebagaimana terjadi tahun 2005 di atas, bahkan masalah menjadi semakin pelik dan legitimasi pemerintah semakin terdegradasi. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak bisa mengemban amanat rakyat terutama karena pemerintah tidak mempedulikan suara-suara rakyat, khususnya petani yang akan menuai dampak negatif dari impor beras ini.

Petani dan masyarakat yang menolak kebijakan impor beras diantaranya disebabkan:

– impor beras akan menjatuhkan harga produksi beras lokal, hasil panen melimpah harga padi membaik

– beras impor berpotensi membatasi penjualan beras petani ke sejumlah daerah (beras impor akan ditarget dijual di daerah tertentu, sehingga menutup keran masuk bagi beras daerah lain)

– tanpa impor beras kualitas petani terangkat, beras lokal tidak kalah dengan beras Luar Negeri

– semangat petani untuk berproduksi menurun karena ada beras impor (buat apa menanam padi, toh di masyarakat sudah banyak beras)

– harga beras ditingkat daerah sudah menguntungkan petani (PemKab Bojonegoro), tidak perlu diturunkan lagi.

– rencana impornya saja sudah membuat harga beras turun Rp.400-450

– tidak jelas aturan pengelolaan beras impor oleh Bulog dan tidak mekanisme pengawasan dan hukum yang tegas agar beras tidak masuk ke wilayah surpls beras

– akan menganggu ketahanan pangan dan kedaulatan karena ada bahaya bergantinya produser beras dalam negeri ke luar negeri (padahal kebutuhan beras selama ini tinggi dapat dipenuhi oleh produksi lokal)

– faktanya beras hingga akhir Januari 2007 pasokannya aman, akan tetapi karena banjir distribusi tergganggu dan bukan persediaan tidak ada.

Itulah sebagian sebab mengapa impor beras harus ditolak.

Sedangkan mereka yang setuju impor beras terutama dari kalangan pemerintah dan segelintir pengamat ekonomi diantaranya dengan alasan:

– Indonesia dianggap perlu mengimpor beras untuk menjamin stok dalam negeri dan politik perdagangan internasional, jika tidak mengimpor sama sekali nanti disalahkan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) seperti disampaikan Anton Apriantono (Menteri Pertanian Kabinet SBY-JK)

– Menurut Jusuf Kalla, harga beras adalah pendorong utama inflasi dan naiknya suku bunga

– Impor beras dapat menurunkan harga beras yang sedang tinggi


Bukannya mencari penyebab mengapa beras tinggi harganya, pemerintah malah mencari solusi instan yang dipaksa oleh pihak luar WTO. Hal ini menunjukkan pula ketidakmampuan menjaga legitimasi dan kedaulatan nasional dari tekanan luar untuk melindungi rakyat-petani. Gabah Giling Kering ditingkat petani masih rendah, dan hanya dibeli oleh Bulog seharga HPP. Padahal harga tersebut jauh lebih ecil dari harga produksi gabah. Pernyataan Jusuf Kalla menggambarkan bahwa petani dituntut untuk menyediakan harga beras murah demi menjaga kestabilan ekonomi makro (inflasi,pertumbuhan ekonomi dan keseimbangan perdagangan), padahael kondisi ekonomi makro tidak pernah berkontribusi langsung bagi kesejahteraan rakyat, malahan banyak dari penentu dan pelaku perdagangan uang, perbankan nasional adalah pengutang (debitor) yang nakal. Impor beras yang antara lain untuk operasi pasar telah berimbas rendahnya harga beli Pasar Induk Cipinang atas beras lokal, karena Bulog menyalurkan beras Operasi Pasar melalui PT Food Stasiun Cipinang.

Untuk itulah masyarakat lokal dan partai politik serta ormas masyrakat yang ada secara keras dan bersama-sama menolak impor beras. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk ini, di antaranya dengan menjaga dan mengawasi pelabuhan di wilayah masing-masing agar tidak dimasuki beras impor. Ini bisa dilakukan dengan kerjasama lintas ormas atau lintas partai. Di antara ormas yang telah menyatakan menolak adalah Mahasiswa…., dan Nathadtul Ulama Yogyakarta dalam pernyataan yang disampaikan websitenya (www.nu.or.id) telah menyatakan penolakan atas impor beras.

Indonesia pernah melakukan pelarangan atas beras impor tahun 2004, yang berimplikasi positif pada petani, yaitu: telah menaikan harga gabah petani; memotivasi petani untuk budidaya pertanian; perdagangan antar pulau lebih dinamis, daerah surplus beras menjual beras ke daerah defisit beras; mendorong ekspor beras ke Afrika dan Arab Saudi 5200 ton beras tahun 2005. Indonesia seharusnya menaikan bea masuk impor beras. Negara penghasil beras Thailand menerapkan bea masuk impor beras 60%, Jepang 400% sedangkan Indonesia yang juga penghasil beras hanya 30%.


Merdeka!


Hasto Kristiyanto, Anggota DPR Komisi VI PDI Perjuangan Daerah Pemilihan Jawa Timur

Gedung MPR DPRRI Nusantara I Lantai 8, Ruang.806

Jl.Jend.Gatot Subroto Jakarta

Telp.021-5756303 Faks.021-5756305

Email: Hasto1966@yahoo.co.id

https://hastopdiperjuangan.wordpress.com/category/tolak-impor-beras2/