Minggu, 31 Mei 2015

Ihwal Pangan Bukan Urusan Main-Main

Minggu, 31 Mei 2015
A.J. Susmana (Istimewa)


Gagasan Solopos kali ini ditulis A.J. Susmana. Penulis adalah Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Saat ini penulis aktif sebagai anggota Divisi Sastra di Sanggar Satu Bumi dan Wakil Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik.

Solopos.com, SOLO — Soal pangan adalah juga soal kebudayaan. Apa yang dimakan bisa menjadi ukuran kebudayaan dan peradaban sehingga tidak sekadar ukuran kemiskinan hidup dan soal kekayaan semata.

Di sana terkandung ilmu, pengetahuan, dan kebijaksanaan yang dapat menyempurnakan kemanusiaan sebagaimana pilihan yang sering dihadapkan kepada kita: hidup untuk makan atau makan untuk hidup?

Manusia tak berkecukupan bila  hanya meramu dan mengumpulkan. Manusia kemudian mengolah segala materi yang bisa menjamin kehidupan dan kelangsungan hidup umat manusia.

Di atas semua cita-cita dan pandangan muluk soal pangan, yang jelas bagi kita, pangan adalah kebutuhan pokok, kebutuhan primer. Pangan yang pertama-tama adalah soal mempertahankan hidup.

Ini sebagaimana doa yang menuntut dari Doa Bapa Kami, ”Berilah kami makanan yang secukupnya pada hari ini”. Naluri kehidupan akan menuntun pada kebutuhan pangan dan bisa tidak peduli pada keberatan-keberatan etis.

Filsafat atau pandangan hiduplah yang kemudian menuntun kita ke laku tentang bagaimana memperlakukan soal pangan ini. Sebagai bangsa dengan cita-cita besar, Bung Karno pada pidato peletakan batu pertama Gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor pada 27 April 1952  menggariskan tentang hal ini.

Bung Karno menyatakan soal pangan adalah soal hidup atau mati. Bung Karno pada kesempatan itu mengatakan politik bebas, prijsstop, keamanan, masyarakat adil dan makmur, mens sana in corpore sano, semua itu menjadi omong kosong belaka selama kita kekurangan bahan makanan.

Bung Karno juga mengatakan semua itu menjadi omong kosong selama tekor kita ini makin lama makin meningkat, selama kita hanya main cynisme saja dan senang cemooh-mencemooh, selama kita tidak bekeja keras, memeras keringat mati-matian menurut plan yang tepat dan radikal.

Presiden pertama Republik Indonesia ini menandaskan revolusi pembangunan harus kita adakan. Revolusi besar di atas segala lapangan, revolusi besar dengan segera, tetapi paling segera di atas lapangan persediaan makanan rakyat.

Saat ini setelah hampir 70 tahun pendirian Republik Indonesia dan 63 tahun pidato Bung Karno soal pangan sebagai soal hidup mati negeri ini, kita tetap belum bisa berdiri di kaki sendiri (berdikari) dalam  persediaan makanan.

Tanah-tanah di negeri ini masih kurang dalam menumbuhkan bulir-bulir padi untuk rakyat sehingga ketersediaan pangan terutama beras harus didatangkan dari luar.

Sekarang pun situasinya seperti yang dikeluhkan Bung Karno 63 tahun yang lalu ketika berharap akan lahirnya putra-putri negeri yang bisa membebaskan rakyat Indonesia dari ancaman kelaparan.

Musuh Berbahaya

Bung Karno mengatakan buat apa kita bicara tentang ”politik bebas” kalau kita tidak bebas dalam urusan beras, yaitu selalu harus minta tolong membeli beras dari bangsa-bangsa tetangga?

Kalau misalnya peperangan dunia III meledak, menurut Bung Karno, entah besok entah lusa, dan perhubungan antara Indonesia dan Siam dan Burma terputus karena tiada kapal pengangkutan, dari mana kita mendapat beras?

Haruskah kita mati kelaparan? Buat apa kita membuang deviezen bermiliar-miliar tiap-tiap tahun untuk membeli beras dari negara lain, kalau ada kemungkinan untuk memperlipatganda produksi makanan sendiri?

Menurut Bung Karno, segala ikhtiar kita menekan harga-harga barang di dalam negeri pun–sebagaimana yang telah kita alami–selalu akan kandas, selalu akan sia-sia, selama harga beras periodik membubung tinggi, karena harga beras memang menentukan harga barang yang lain-lain.

Karena itu, soal pangan bagi berlangsungnya sebuah bangsa yang merdeka bukanlah soal main-main. Soal pangan tak sekadar menyediakan pangan yang entah datangnya dari mana, tapi menyediakan makanan yang sehat bagi generasi bangsa penerus adalah juga tanggung jawab para pemangku negeri.

Dengan begitu masuknya beras sintetis (diduga kuat beras yang dibuat dengan salah satunya bahan pembuat plastik) dalam kebutuhan pangan rakyat di luar pengetahuan pemerintah tentu saja sangat mengganggu kemampuan kita menjaga negeri ini dan tentu saja menghina tingkat kebudayaan kita dalam soal pangan.

Apakah intelijen kita tidak bekerja? Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menduga operasi beras plastik ini bukan sekadar motif ekonomi tapi juga motif politik: makar terhadap negara dan sabotase kepada pemerintah.

Menurut Tjahjo, Menteri Perdagangan maupun Badan Urusan Logistik (Bulog) sudah berkali-kali membuat pernyataan bahwa sejak Januari lalu tidak ada impor beras.

Dalam soal membangun kemandirian pangan tentu harus kita dukung. Para penjahat yang laku politik dan pekerjaan mereka melemahkan kemampuan kita untuk semakin mampu memproduksi pangan secara mandiri harus kita anggap sebagai musuh yang paling berbahaya.

http://www.solopos.com/2015/05/31/gagasan-ihwal-pangan-bukan-urusan-main-main-608721/2

Daripada Dibubarkan, DPR Dukung Bulog Direformasi

Sabtu, 30 Mei 2015

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijaya mengatakan, harus ada langkah reformasi di dalam internal Perum Bulog dibanding harus membubarkannya.

"Kita sepakat soal reformasi intern, termasuk seluruh kepala-kepala divisi Bulog yang ada di daerah-daerah, di tingkat kabupaten dan provinsi yang bermasalah harus dilakukan reformasi," ujar Azam ketika dihubungi Sindonews di Jakarta, Sabtu (30/5/2015).

Pasalnya, kata Azam, banyak barang-barang konsumsi yang rusak di daerah akibat kurang kompetennya divisi Bulog di daerah.

"Banyak yang barangnya rusak, berkutu, dan itu sudah 10 tahun saya lihat, dan harus ada perbaikan betul dari pemerintah sekarang," ujar Azam.

Menurut dia, manajemen di daerah-daerah memang terlalu besar, sehingga menimbulkan pelaksanaan kebijakan di daerah setempat di luar kontrol.

"Itu yang maksud saya manajemennya harus direformasi. Memperbaiki menajemn dari pusat sampai daerah karena yang banyak terjadi, Bulog ini sampai daerah terlalu besar, sehingga out of control terhadap pelaksanaan kebijakan beras rakyat di kabupaten-kabupaten. Jadi jangan dibubarkan, tapi diperbaiki," tutur dia.

Di samping itu, Azam menyarankan agar orang-orang baru yang bahkan di luar Bulog bisa direkrut dalam penempatan posisi divisi Bulog di pusat dan daerah. Kemudian harus dilakukan koordinasi dengan orang-orang yang sudah berkompeten lama di Bulog.

"Saya kira tetap harus digabung, yang lama yang punya kompetensi baik, dengan orang yang baru. Yang baru ini bisa masuk, asalkan diperiksa dan diseleksi dulu, dilakukan verifikasi," imbuh dia.

Namun yang terpenting, menurut dia, itikad baik untuk memperbaiki manajemen pengadaan bahan pokok di daerah.

"Jadi jangan barang-barang itu berputar saja, tidak ada barang baru, sehingga menimbulkan beras berkutu. Masa selama 10 tahun beras berkutu terus? Artinya apa, kekeliruan manajemen dalam pengadaan itu harus diperbaiki," tandas dia.

http://ekbis.sindonews.com/read/1007105/34/daripada-dibubarkan-dpr-dukung-bulog-direformasi-1432977303

Sabtu, 30 Mei 2015

Lembaga Pangan Dipercepat

Sabtu, 30 Mei 2015

Perum Bulog Perlu Kembali Jadi Penjaga Stok

JAKARTA, KOMPAS — DPR meminta pemerintah mempercepat regulasi dan pembentukan lembaga pangan nasional. Lembaga pangan tersebut penting untuk menjamin kedaulatan dan harga pangan di tengah mengecilnya peran pemerintah dalam tata niaga pangan strategis.

Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron kepada Kompas, Jumat (29/5), mengatakan, Kementerian Pertanian (Kementan) telah membuat rancangan peraturan presiden tentang lembaga pangan nasional. Regulasi itu merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Rancangan peraturan presiden itu tinggal menunggu tanda tangan presiden. Dengan peraturan presiden tersebut, lembaga pangan nasional bisa terbentuk dan berperan menjaga dan mencitakan kedaulatan, kemandirian, ketahanan, dan keamanan pangan.

"Melalui lembaga pangan nasional itu, peran Perum Bulog bisa diperkuat. Syaratnya, Bulog harus menjadi operator pengendali stok dan harga pangan di bawah lembaga tersebut," ujarnya.

Menurut Herman, pembentukan lembaga pangan nasional pada tahun ini sangat tepat. Apalagi di tengah memburuknya tata niaga bahan pokok yang dikuasai pelaku usaha dan pedagang.

Pada tahun ini, Bulog sulit menyerap beras karena harga beras tinggi dan dikuasai pedagang. Pada saat yang sama pula, harga beras medium melambung tinggi dan pemerintah sulit menstabilkannya.

"Kami akan mendukung pemerintah untuk membentuk lembaga pangan nasional. Kami juga telah memberikan masukan agar strata Bulog dinaikkan menjadi bagian dari lembaga itu sehingga tidak lagi mengedepankan bisnis," katanya.

Selama ini, lanjut Herman, peran Bulog yang bukan komersial masih terbatas, yaitu menyediakan stok beras dan melakukan operasi pasar. Pada tahun ini, anggaran Bulog untuk raskin Rp 18,8 triliun dan untuk beras cadangan pemerintah Rp 1,5 triliun.

content
Untuk pengadaan beras itu, Bulog harus menggunakan pinjaman dana dari bank terlebih dahulu, baru kemudian diganti dari anggaran pemerintah. Artinya, Bulog harus menanggung bunga bank dari pinjaman itu rata-rata Rp 1 triliun.

"Jika Bulog bertugas sebagai operator lembaga pangan nasional, Bulog bisa memperoleh dana APBN secara langsung dan tidak perlu harus menanggung bunga sebesar itu," ujarnya.

Sambut baik

Pakar pertanian HS Dillon menyambut baik rencana Presiden Joko Widodo merombak Perum Bulog. Bulog memang perlu dikembalikan ke fitrahnya sebagai penjaga stok pangan yang melindungi petani dan konsumen.

"Selama ini, peran Bulog sebagai penyangga dan penjaga stok pangan dan stabilitator harga bahan pokok kurang kuat," kata HS Dillon.

Menurut Dillon, peran Bulog sebenarnya sangat sederhana, yaitu menyerap beras petani sebagai stok dan cadangan nasional. Ketika harga beras di tingkat petani rendah, Bulog wajib menyerapnya sehingga melindungi petani dari kerugian.

Kemudian ketika harga beras di pasar tinggi, Bulog harus segera menggelontorkan beras untuk menstabilkan harga. Dengan begitu, Bulog juga menjadi pelindung dari konsumen.

"Namun, belakangan ini, Bulog kesulitan menyerap beras petani karena harga beras di atas harga pembelian pemerintah (HPP). Celah tersebut sudah dibaca dan dimanfaatkan para pelaku perberasan. Celah itulah yang perlu dievaluasi dan dicarikan solusi," ujarnya. (HEN)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150530kompas/#/18/

Kisruh Urusan Beras

Sabtu,30 Mei 2015

Beras sebagai sumber bahan pangan utama rakyat Indonesia tidak henti-hentinya diterpa persoalan: produksi, pasca panen, hingga gejolak harga. Paling akhir masalah beras palsu berbahan baku plastik yang dioplos dengan beras konsumsi.

Masih dalam ingatan harga beras naik di awal tahun 2015. Dan pada Mei 2015 harga beras kualitas medium kembali naik.

Melonjaknya harga beras di awal tahun sejatinya tidak lepas dari kebijakan strategi stabilisasi harga. Kekosongan penyaluran raskin di akhir tahun 2014 dan awal tahun 2015, serta panjangnya musim paceklik akibat mundurnya musim tanam dan musim panen padi di musim hujan, tidak diantisipasi dengan penggelontoran beras ke pasar melalui operasi pasar (OP).

Dalam kondisi genting, OP distop. Strategi OP diubah total. Tuduhan mafia kepada para pedagang beras, serta penghentian OP melalui pedagang, memicu kekisruhan harga.

Harga beras menjadi liar. Memasuki panen raya padi, sudah terbentuk tingkat harga beras baru yang tinggi. Perum Bulog merupakan garda terdepan pelaksanaan stabilisasi harga beras tidak banyak bisa berbuat. Padahal, Bulog sangat dibutuhkan kehadirannya di pasar, termasuk sekadar menenangkan publik.

Sikap yang menggampangkan pengelolaan beras akan berbuah "bencana". Belum lagi adanya perubahan karakteristik pola pertanaman padi dalam kondisi iklim anomali.

Dalam kondisi musim tanam padi yang mundur di musim hujan, biasanya akan berdampak pada tidak terjadinya panen raya padi secara serentak. Panen padi berlangsung dalam waktu yang berbeda di setiap wilayah.

Pola panen bergilir ini mengakibatkan harga gabah sulit turun. Kondisi ini diperparah dengan kehadiran pemain baru dengan modal kuat dalam bisnis penggilingan padi dan perdagangan beras. Mereka punya kemampuan mengendalikan harga beli gabah di tingkat petani.

Meski sudah diingatkan terus bahwa kehadiran pemain baru bisa mengganggu stabilitas pasar gabah, pemerintah bergeming. Kehadiran mereka akan mengatrol harga gabah petani, dan ini menguntungkan bagi produksi.

Kehadiran perusahaan penggilingan padi besar dan modern baru dengan kapasitas giling di atas 1 juta ton jelas akan mengatrol harga gabah. Dengan kehadiran beberapa pemain besar secara simultan, membuat persaingan dan perburuan gabah di lapangan kian ketat. Dampaknya, harga gabah tetap tinggi sekalipun panen berlangsung.

Perum Bulog diyakini bakal tidak mampu melakukan pembelian beras sesuai target 4,5 juta ton. Dari data Bulog, per 25 Mei 2015, total pengadaan beras Bulog baru 1,1 juta ton. Dengan tambahan pengadaan beras sebesar itu, total stok beras nasional di gudang Bulog kini hanya 1,3 juta ton.

Untuk negara dengan penduduk 250 juta jiwa yang 80 persen masyarakatnya mengonsumsi nasi berbahan baku beras, mengandalkan stabilisasi harga beras hanya dengan 1,3 juta ton raskin adalah keliru. Dengan stok kecil, Bulog bisa apa?

Data di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, sebagai barometer beras nasional menunjukkan, harga beras kualitas medium pada Mei 2015 mulai naik. Beras IR-64 kualitas II yang akhir April 2015 harganya Rp 8.100 per kilogram (kg), pada 27 Mei naik menjadi Rp 8.500 per kg.

Begitu pula harga beras IR-64 kualitas III, setara beras medium Bulog, pada periode sama harganya naik Rp 200 per kg, dari Rp 7.500 menjadi Rp 7.700 per kg. Untuk beras kualitas lebih tinggi dan premium, harganya masih stabil.

Perjalanan tahun 2015 masih panjang, setidaknya masih tujuh bulan lagi. Masih harus melalui bulan Ramadhan dan Lebaran, serta musim paceklik 2015/2016 yang belum bisa diprediksi kondisinya secara pasti.

Presiden Joko Widodo harus turun tangan. Segera mencermati dengan baik situasi perberasan kini hingga awal tahun 2016, dan membuat keputusan-keputusan strategis yang bisa mengendalikan harga beras. Urusan pangan ini selalu berat taruhannya. (HERMAS E PRABOWO)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150530kompas/#/17/

Jumat, 29 Mei 2015

‎Kasus Sawah Fiktif, Kabareskrim Panggil Dahlan Iskan

Jumat, 29 Mei 2015

Jakarta - Kabareskrim Komjen Budi Waseso (Buwas) memastikan nama mantan menteri BUMN Dahlan Iskan masuk dalam daftar panggilan Bareskrim terkait kasus korupsi sawah fiktif di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

"Nanti akan terlihat (siapa yang paling bertanggungjawab). Tetapi beliau (Dahlan) pasti akan dipanggil, dimintai keterangan, karena waktu itu jadi pejabat saat itu," kata Buwas di Mabes Polri Jumat (29/5).

Menurut jenderal bintang tiga itu kasus ini bermula dari adanya laporan yang masuk. Setelah itu Bareskrim pun melakukan cek ke lapangan dan menemukan fakta di lapangan secara fisik kegiatan sawah itu tidak ada.

"Sementara pengeluaran dananya ada, tetapi fisiknya tidak ada. Maka itu kita akan proses ini secara keseluruhan. Semua akan diperiksa dan akan dikumpulkan seluruh alat bukti," sambungnya.

Namun Buwas belum mengetahui dana milik BUMN mana yang tersedot untuk kegiatan fiktif itu. Juga apakah dana itu diambilkan dari pos dana corporate social responsibility (CSR) atau pos lain.

"Pokoknya ada dana negara yang harus dipertanggungjawabkan. Ada dugaan penyimpangan dana itu. Nilainya belum bisa dipastikan, nanti setelah diperiksa, dan setelah ini kami mungkin sita dokumen, baru minta audit kepada BPK," lanjutnya.

Untuk itu Buwas juga belum bisa memastikan apakah tersangkanya kelak di level KPA, PPK, atau lainnya. Dia meminta publik untuk bersabar.

Seperti diberitakan kasus ini diduga melibatkan sejumlah perusahaan BUMN yang terjadi dalam kurun waktu 2012-2014.

Proyek ini dimulai pada Desember 2012 lalu. Niatnya merupakan proyek patungan sejumlah perusahaan BUMN yang nilainya mencapai Rp 317 miliar.

Awalnya akan mencapai 3.000 hektare (ha). Di tahun 2013 akan diteruskan menjadi 40.000 ha dan di tahun 2014 bisa mencapai 100.000 ha. Untuk itu BUMN akan mengusahakan dana sampai Rp 5 triliun, kata Dahlan, saat itu.

Penanggung jawab proyek ini adalah salah satu BUMN pangan PT Sang Hyang Seri (SHS).

Lalu juga ada yang membantu teknologi (seperti PT Batantekno dan PT Pupuk Indonesia), ada juga yang ambil bagian untuk land clearing dan penyiapan lahan (PT Hutama Karya, PT Brantas Abipraya), dan konsultan perencanaan dan pengawasan (PT Indra Karya dan PT Yodya Karya).

Bank BNI, Bank BRI, Bank Mandiri, PGN, Pertamina, Indonesia Port Corporation (IPC), dan beberapa BUMN lain mendukung dari sisi pendanaan, ungkap Dahlan kala itu.

Sedianya polisi akan memeriksa mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan dan Dirut PGN Hendi Priyosantoso kemarin namun, keduanya dipastikan tidak hadir dan akan dipanggil kembali.

Penyelidikan kasus ini telah dilakukan sejak April 2015. Ada 21 saksi yang telah diperiksa, termasuk enam orang camat, kepala desa, ketua RT, dan petani di Kecamatan Hilir Utara.

Farouk Arnaz/NAD

http://www.beritasatu.com/hukum/278213-kasus-sawah-fiktif-kabareskrim-panggil-dahlan-iskan.html

Petani Butuh Keberpihakan Nyata Pemerintah

Jumat, 29 Mei 2015

Maksimalkan Peran Bulog, Tidak Perlu Bentuk Pasar Lelang

JAKARTA – Kalangan akademisi meminta Presiden Joko Widodo dan jajaran kabinetnya tidak gampang mengobral janji muluk terkait kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani, seperti wacana lelang produk pangan.

Mereka menilai yang paling dibutuhkan petani nasional saat ini adalah keberpihakan pemerintah yang nyata terhadap nasib petani nasional sehingga petani bisa untung karena mendapat jaminan pembelian seluruh hasil panen pada harga pembelian pemerintah (HPP) yang tinggi, serta perlindungan dari banjir impor pangan yang tanpa kendali.

Demikian diungkapkan pakar pertanian UGM Yogyakarta, Masyhuri, saat diminta pendapatnya mengenai gagasan terbaru Presiden Jokowi tentang pasar lelang pertanian, Kamis (28/5). Masyhuri menambahkan lebih baik presiden fokus memperbaiki semua perangkat yang telah ada seperti operasi Badan Urusan Logistik (Bulog), penentuan HPP, dan pemanfaatan lahan terlantar.

Menurut dia, pasar lelang produk pertanian dan perkebunan saat ini sudah berjalan. Meski sudah ada HPP, penjualan produk petani juga menggunakan sistem lelang, namun kenyataan petani sulit mendapatkan harga yang bagus. Contohnya, harga tebu petani jatuh lantaran rembesan gula rafinasi di pasar gula konsumsi menekan harga gula di pasar.

Selain itu, kejadian melambungnya harga beras di tingkat konsumen pada Februari lalu mestinya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah. Yakni, perlu persiapan, modal, dan operasi yang bagus untuk melawan para pemain besar komoditas pertanian.

“Kalau kita lihat Februari itu, dirut Bulog baru ternyata gagap juga dimainkan oleh pemain beras besar. Dari presiden sampai menteri sama semua, kebijakannya timbul akibat kepanikan, bukan perencanaan dan eksekusi yang matang,” ungkap Masyhuri, yang juga peraih penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara 2014. Masyhuri menyayangkan inpres perberasan yang selalu tidak pernah dimaksimalkan oleh negara sejak era Presiden SBY.

Inpres HPP beras selalu berada di bawah harga pasar sehingga setiap tahun publik selalu disuguhi oleh isu kesulitan Bulog dalam menyerap beras petani. Apalagi di tahun ini, target pembelian beras petani sebesar 2,5-2,75 juta ton jelas sulit terealisasi karena sampai Mei, pemerintah baru menyerap 20 persen dari target.

Menurut Masyhuri, selain faktor HPP, kecepatan Bulog merespons situasi pasar juga sangat lemah, tanpa terobosan berarti. Apalagi jika mengingat janji Jokowi untuk tidak impor beras.

“Berdasarkan UU, hari ini sebenarnya Bulog bisa beras petani beli di atas HPP, karena dia bisa kerja komersial. Presiden pun bisa merintah Bulog beli di atas HPP dan itu pernah dilakukan SBY tahun 2011 dengan menerbitkan Inpres tambahan,” jelas dia.

Intinya, petani mengharapkan sinyal positif dari pemerintah sehingga mereka merasa bisa mendapat untung yang layak dari kegiatan pertanian. Tanpa itu, sangat sulit untuk mendorong produktvitas. “Maksimalkan Bulog dan HPP, pasti tidak perlu pasar lelang segala,” kata Masyhuri.

Optimalkan Bulog

Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta, M Maksum, menyatakan untuk mengendalikan harga pangan dan memastikan petani mendapat harga yang layak atas usahanya, tidak ada jalan kecuali mengembalikan fungsi Bulog seperti sebelum 1998. Bulog harus bisa menyerap produksi petani dengan harga yang layak. Tanpa itu, semua gagasan termasuk pasar lelang akan menjadi percuma.

“Apalagi sekarang HPP beras justru tidak masuk akal buat petani, tapi malah mau bikin pasar. Kalau pemerintah kasih harga yang bagus, dan kecepatan Bulog menyerap produksi bagus, tentu sebagian besar masalah bisa selesai,” kata Maksum.

Sedangkan pengamat pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya, Ramdan Hidayat, menilai Bulog memang diharapkan mampu tampil sebagai penyangga stok pangan nasional.

Lembaga itu mesti diberdayakan untuk bisa membeli produk pangan nasional terlebih dahulu pada harga berapapun, sebelum memutuskan untuk memberikan izin impor.

Apabila Bulog dirancang untuk bekerja seperti itu maka petani bakal terangsang untuk bercocok tanam karena hasilnya layak untuk menyambung hidup mereka. Selain itu, membeli seluruh produk petani nasional di harga yang lebih mahal dari harga impor sekalipun, akan menghasilkan efek berantai yang bermanfaat di dalam negeri, seperti konsumsi, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja. n YK/SB/W

http://www.koran-jakarta.com/?31419-petani%20butuh%20keberpihakan%20nyata%20pemerintah-11

Ditemukan Sawah Kuno di Situs Liyangan

Jumat, 29 Mei 2015

TEMANGGUNG, suaramerdeka.com – Tim peneliti liyangan pada lanjutan ekskavasi tahun 2015 setelah membuka latar keempat, kini kembali mendapatkan temuan berupa pematang sawah zaman dulu peninggalan era Mataram kuno. Pematang sawah membuktikan adanya kehidupan sosial masyarakat secara luas selain peribadatan di lereng Sindoro ini.

Sugeng Riyanto Ketua Tim Peneliti Liyangan dari Balai Arkeologi Yogyakarta mengatakan, temuan pematang sawah di area atas di ujung jalan batu atau di sebelah barat daya dari candi. Pematang itu diperkirakan terkubur material vulkanik saat Gunung Sindoro meletus dahsyat pada abad X Masehi.

“Di ujung jalan batu atau arah mata angin sebelah tenggara jalan batu ada temuan yang kita duga bagian dari area pertanian. Indikasinya, ada semacam pematang meski masih asumsi. Ini memperkuat dugaan kita adanya area pertanian, selain area ibadah dan hunian,”ujarnya kemarin.

Gejala pematang di atau area pertanian sejajar dengan talud bolder, panjangnya rata-rata 3 meter dan terdiri dari tiga jalur pematang. Sedangkan beberapa meter dari pematang di atas balok batu diperkirakan dahulu ada bangunan rumah.

(Raditia Yoni Ariya/ CN40/ SM Network)

http://berita.suaramerdeka.com/ditemukan-sawah-kuno-di-situs-liyangan/

Subsidi Pupuk Rp 30 Triliun Tak Tepat Sasaran

Jumat, 29 Mei 2015

JAKARTA – Pemerintah akan mengubah mekanisme penyaluran subsidi pupuk pada tahun depan. Alasannya karena selama ini pupuk subsidi tak tepat sasaran kepada petani yang membutuhkan.

“Melaksanakan secara bertahap mekanisme subsidi pupuk melalui subsidi langsung kepada petani yang termasuk rumah tangga miskin dan rentan,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro dalam konferensi pers di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Kamis (28/5).

Bambang menjelaskan, tahun lalu dana yang dianggarkan untuk subsidi pupuk mencapai Rp 30 triliun, namun yang menikmati justru bukan petani. Padahal produk pupuk subsidi tidak boleh digunakan oleh perkebunan besar.

”Kenapa kita ajukan ini, karena selama ini subsidi pupuk cukup besar, sekitar Rp 30 triliun tahun lalu, dan tidak tepat sasaran. Artinya bukan dibeli petani yang membutuhkan. Misalnya dibeli oleh perkebunan, tapi dengan harga subsidi. Ini yang mau kita bereskan,” jelasnya.

Subsidi Langsung

Rencananya, lanjut dia, akan diubah ke dalam mekanisme subsidi langsung. Jadi nanti subsidi akan diberikan langsung kepada para petani. “Ketersediaan pupuk itu cukup, kemudian subsidi diberikan dalam bentuk uang supaya mereka bisa membeli pupuk.

Jadi pendekatannya adalah subsidi langsung karena kita mengurangi subsidi harga,” terangnya. Dengan perombakan distribusi itu, menurut dia, maka akan ada perubahan dari sistem distribusi terbuka menjadi tertutup.

Selama ini, setelah alokasi pupuk subsidi ditetapkan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat, lalu dari produsen yang ditugaskan, mengirimnya ke distributor hingga pengecer, ke kelompok petani, namun sistem ini rawan penyimpangan karena fisik pupuk bisa dikuasai oleh orang-orang yang mencari keuntungan. (bn,dtc-69)

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/subsidi-pupuk-rp-30-triliun-tak-tepat-sasaran/

Robohnya Lumbung Padi Kami

Jumat, 29 Mei 2015

Pada kesempatan pulang kampung, saya menyempatkan diri untuk menemui sejawat lama, sahabat semasa sekolah dasar belasan tahun silam. Sebut saja namanya Yuliswar. Dua kali saya menyambanginya di warung kopi, tempat ia bersantai melepas lelah setelah seharian bergelimang lumpur sawah.

Namun, Yuliswar seolah-olah telah membaca kedatangan saya. Tak seperti biasanya, ia ternyata tidak berada di sana. Saya menduga-duga, jangan-jangan Yuliswar sengaja menghindar? Padahal saya sangat merindukan perjumpaan itu. Lalu, saya mendatangi rumah orangtuanya. "Mungkin Yuliswar malu karena kini ia sudah menjadi orang tani," kata ibunya dengan nada yang terdengar begitu dingin.

Jarak ideologis

Apa sebenarnya yang salah dengan orang tani? Kenapa Yuliswar mesti menanggung malu hanya karena ia orang tani? Apakah sudah terbentang jarak ideologis yang memisahkan orang tani dan orang rantau seperti saya? Apakah terminologi "orang tani" sudah tegak sebagai martabat rendah yang merepresentasikan peruntungan tidak mujur? Sementara "orang rantau" hendak memperlihatkan sebentuk cita-cita, bahkan puncak pencapaian yang hendak direngkuh oleh semua orang? Padahal, tidak semua orang rantau itu terbilang bernasib mujur. Banyak yang "jadi orang", tetapi tak terhitung pula yang terpelanting sebagai pecundang.

Saya tak pernah lupa, dahulu Yuliswar murid paling menonjol di kelas kami. Cepat menangkap penjelasan guru, kuat daya ingat, dan andal dalam ilmu hitung. Bila belum dapat disebut jenius, paling tidak ia murid paling tanggap, cepat, dan tepat, hampir di setiap mata pelajaran. Tak ada yang sanggup menumbangkan rekornya sebagai pemegang juara I di kelas kami. Dari kelas I hingga VI, ia pemegang tampuk juara abadi di sekolah kami yang sederhana itu.

Dengan potensi kecerdasan tersebut, saya ketika itu memperkirakan kelak ia bakal menjadi orang besar. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian, setelah menyandar gelar sarjana geografi dari sebuah perguruan tinggi negeri, dengan kerendahan hati Yuliswar memilih hidup sebagai petani, tinggal di kampung, tidak seperti saya yang kemudian memilih terbang-hambur dari tanah kelahiran.

Tetapi, kenapa ia malu bertemu saya? Saya curiga, jangan- jangan orang tani telah menjadi pertanda bagi ketidakmujuran nasib sejawat saya itu. Menjadi petani bukan lagi cita-cita luhur yang terpancang sejak semula, tetapi telah beralih menjadi sekadar ranah pelarian guna bersunyi-diri, dan merayakan kekalahan dari hidup yang keras.

"Akhirnya di pematang sawah juga ia menambatkan kekalahan," begitu kira-kira ungkapan peyoratifnya. "Apalah guna sekolah tinggi bila ujung-ujungnya bergelimang lumpur sawah juga?" Inilah pertanyaan yang kerap mengusik-bila tak bisa disebut mengancam-kaum terdidik pedesaan.

Bagi kaum tani masa kini, berpendidikan tinggi berarti upaya menjauh dari dunia tani, dunia lumpur, dan dunia cangkul. Pencapaian utamanya tentulah menjadi pegawai negeri sipil dengan segenap atribut, seperti seragam, lembaga tempat bekerja, dan tak lupa; status sosial yang terpuji di tengah-tengah masyarakat.

Maka, bila seorang sarjana menjatuhkan pilihan menjadi petani, itu akan menjadi masalah, bahkan tak jarang dipandang sebagai aib. Bagi keluarganya, kalau tidak berhasil menjadi pegawai negeri sebagaimana yang diidam- idamkan, setidaknya ia bisa merantau jauh, bekerja apa saja di kota, asal tidak mengayun cangkul di sawah, sebagaimana keseharian ibu-bapaknya.

Demikian gambaran sederhana tentang mentalitas petani masa kini. Orang-orang yang terlahir di lingkungan masyarakat tani tidak lagi tergiur, apalagi bersetia kepada ibu kultural yang melahirkannya.

Lain sejawat saya, lain pula tetangga saya, yang tak segan-segan menggadai, bahkan menjual lahan sawah guna membiayai keberangkatan anak gadisnya untuk menjadi TKI di Timur Tengah. Baginya, sejumlah bidang sawah warisan keluarga tidak lagi dapat diandalkan. Hasil panen dari musim ke musim merosot jauh.

Alih-alih mendatangkan hasil yang memadai, dari panen ke panen, lubang utang kepada tauke justru semakin menganga. Sebegitu gampangnya petani merelakan lahan sawah, guna membangun rumah, membiayai pesta pernikahan, hingga membeli sepeda motor keluaran terkini. Padahal, sawah itu adalah nyawa mereka, identitas, dan sidik jari mereka.

Lalu, bagaimana strategi pertahanan pangan dapat ditegakkan di negara agraris ini? Alih- alih dapat memperkuat ketahanan pangan, yang berlangsung saban hari justru kian rapuhnya etos kepetanian yang di masa lalu dipercayai sebagai fondasi utama ketahanan pangan.

Maka, sebelum terlalu jauh mencanangkan program-program teknis dalam menyongsong swasembada beras, barangkali negara perlu mempertimbangkan mentalitas petani yang sedang keropos ini. Membangun irigasi, penyebarluasan bibit unggul, dan penerapan teknologi pertanian guna mendongkrak kapasitas produksi tentulah penting, tetapi yang jauh lebih mendesak adalah membangun manusia petani itu sendiri.

Bila ini diabaikan, tekad pemerintah untuk menghentikan impor beras tetap akan dikalahkan oleh ancaman ketidakstabilan harga karena dari tahun ke tahun stok beras selalu tidak cukup. "Kalau tidak impor, harga naik. Kalau impor, petani jadi tidak rajin berproduksi," demikian kata Presiden ( www.kompas.com, 18/4/2015).

Mentalitas kepetanian

Kalimat "rajin berproduksi" tentu erat kaitannya dengan mentalitas kepetanian yang sedang tergerus itu. Perlahan-lahan petani kita sedang bergeser menjadi sekadar buruh tani. Akibatnya, di berbagai belahan wilayah, banyak petani yang membeli beras untuk kebutuhan dapur sendiri. Sama sekali tak ada cadangan pangan yang dapat disisihkan dari setiap panen mereka. Ribut-ribut soal beras sintetis boleh jadi bagian dari problem ketidakmampuan petani kita dalam mempertahankan, apalagi meningkatkan kapasitas produksi gabah, selain tentu saja karena faktor-faktor eksternal dan nonpetani, yang selekasnya harus menjadi perhatian pemerintah.

Orang-orang bijak sudah mencatat, setiap manusia memiliki kesetiaan kepada alam kulturalnya. Buktinya, sejauh ini kita masih bersetia kepada adat istiadat, etnis, dan agama, tetapi kenapa kita tidak punya keteguhan hati untuk bertahan sebagai petani?

Bila mentalitas kepetanian yang sejati tidak segera dibangkitkan, apalagi kalau dibiarkan terus-menerus mengalami keretakan, maka lumbung-lumbung padi di seantero negeri bakal roboh, dan ketahanan pangan kita akan semakin bergantung pada kiriman beras dari luar negeri.

DAMHURI MUHAMMAD

SASTRAWAN, ALUMNUS PASCASARJANA FILSAFAT UGM

http://print.kompas.com/baca/KOMPAS_ART0000000000000000014150104.aspx

Bulog Siap Jadi Penyangga Empat Komoditas Pokok

Kamis, 28 Mei 2015

JAKARTA, KOMPAS — Meski konsep perombakan Perum Bulog yang digaungkan pemerintah belum terperinci, Perum Bulog sudah mulai berbenah secara kelembagaan dan internal. Bulog sudah menyiapkan konsep menjadi penyangga stok bahan pokok selain beras, yaitu gula, jagung, dan kedelai.

"Kami memang belum mendapat konsep terperinci dari pemerintah. Kemungkinan ke depan pemerintah akan membahasnya bersama kami. Namun, secara internal, kami sudah mempunyai konsep," kata Direktur Utama Pelayan Publik Perum Bulog Lely Pelitasari Soebekty kepada Kompas di Jakarta, Kamis (28/5).

Pernyataan tersebut merupakan tanggapan Perum Bulog atas rencana Presiden Joko Widodo merombak Bulog sebagai penyangga stok pangan beras dan sejumlah komoditas bahan pokok lain. Jokowi menyatakan hal itu dalam pidato pembukaan di Rapat Koordinasi Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) pada Rabu kemarin.

Menurut Lely, Bulog ke depan memang ingin berkembang sebagai lembaga penyangga stok pangan. Tidak hanya beras, tetapi juga gula, jagung, dan kedelai.

Bulog juga tidak menutup kemungkinan untuk menjadi penyangga stok daging. Daging merupakan bahan pokok penting yang juga mempunyai implikasi terhadap inflasi di Indonesia.

"Kami masih menunggu arahan langsung dari pemerintah pusat. Jika sudah ada, Bulog pasti akan menjalankan amanah itu," ujarnya.

Lely menambahkan, Bulog berharap pemerintah memberikan paket lengkap. Paket tersebut berupa konsep, regulasi, kelembagaan, dan anggaran.

"Kami juga berharap pemerintah memberikan dukungan dalam proses bisnis Bulog ke depan. Sarana dan prasarana serta infrastruktur terkait juga perlu disediakan," ujarnya.

http://print.kompas.com/baca/2015/05/28/Bulog-Siap-Jadi-Penyangga-Empat-Komoditas-Pokok

Kamis, 28 Mei 2015

Bulog Harus Direvitalisasi demi Angkat Kesejahteraan Petani

Kamis, 28 Mei 2015

JAKARTA – Pakar pertanian menilai gagasan Presiden Joko Widodo untuk memperbanyak pasar lelang produk pertanian pangan sebagai program yang tidak efektif meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani. Bahkan, program itu dianggap sia-sia karena minimnya kapasitas dan integritas birokrasi dalam menciptakan lelang yang adil, transparan, dan realistis.

Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta, M Maksum, menyatakan hal itu saat dihubungi, Rabu (27/5). Maksum menanggapi instruksi Presiden Jokowi kepada menteri bidang pangan untuk memperbanyak pasar lelang produk pertanian di sentra-sentra produksi daerah.

Kebijakan itu bertujuan menciptkan tata niaga perdagangan yang sehat dan memperjelas margin keuntungan yang akan diperoleh para petani. Pasar lelang itu nantinya digunakan untuk menjual bahan pokok hasil pertanian. Mengingat sampai saat ini yang meraih untung paling banyak dari sistem penjualan adalah pihak tengkulak.

Menurut Maksum, untuk mengendalikan harga pangan dan memastikan petani mendapat harga yang layak atas usahanya, tidak ada jalan kecuali mengembalikan fungsi Bulog seperti sebelum 1998. Bulog harus bisa menyerap produksi petani dengan harga yang layak. Tanpa itu, semua gagasan akan menjadi percuma.

“Apalagi sekarang HPP (harga pembelian pemerintah) beras justru tidak masuk akal buat petani, tapi malah mau bikin pasar. Kalau pemerintah kasih harga yang bagus, dan kecepatan Bulog menyerap produksi bagus, tentu sebagian besar masalah bisa selesai,” kata Maksum.

Bulog memang diharapkan mampu tampil sebagai penyangga stok pangan nasional. Lembaga itu mesti diberdayakan untuk bisa membeli produk pangan nasional terlebih dahulu pada harga berapapun, sebelum memutuskan untuk memberikan izin impor.

Apabila Bulog dirancang untuk bekerja seperti itu maka petani bakal terangsang untuk bercocok tanam karena hasilnya layak untuk menyambung hidup mereka. Selain itu, membeli seluruh produk petani nasional di harga yang lebih mahal dari harga impor sekalipun, akan menghasilkan efek berantai yang bermanfaat di dalam negeri, seperti konsumsi, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja. Sebaliknya, nafsu mengumbar impor justru menghasilkan efek berantai tersebut di negara eksportir.

Sebelumnya, saat memimpin rapat koordinasi nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), Presiden Jokowi menginstruksikan kepada kementerian terkait untuk membangun pasar lelang produk pertanian. Melalui pasar ini, Presiden berharap para petani bisa menikmati hasil kerja kerasnya.

"Yang dilakukan akan membuat pasar lelang sehingga margin keuntungan yang ada itu bisa betul-betul dinikmati petani," kata Jokowi.

Selain sebagai komponen perbaikan tata niaga, pasar lelang ini merupakan bagian dari pengendali inflasi. Seperti diketahui, Presiden menargetkan inflasi plus minus 4 persen tahun ini. Dengan demikian, pasar lelang di daerah sebagai penghasil komoditas bahan pokok diyakini bisa mencapai target itu.

Kualitas Data

Akan tetapi, Maksum justru beranggapan bahwa gagasan pasar lelang dari pemerintah yang bertujuan untuk memastikan data penawaran dan permintaan, malah mengkonfirmasikan bahwa dugaan pakar pertanian maupun petani yang menilai kualitas data sebagai dasar pengambil keputusan impor ternyata lemah, benar adanya. Artinya, selama ini keputusan impor atau tidak impor hanyalah kepentingan para importir yang didukung oleh para pengambil keputusan di elit istana.

“BPS, Bulog, Kementan, Mendag, asosiasi petani, semua punya data sendiri, ini masalah berdekade-dekade yang tidak pernah coba diperbaiki,” ungkap dia.

Maksum memaparkan pasar lelang selama ini sudah rutin dilakukan oleh para peternak sapi di Jateng dan DIY dengan dikoordinasi oleh jaringan petani rakyat. Artinya, gagasan pasar lelang sesungguhnya adalah gagasan bagus agar para produsen pangan bisa mendapatkan harga terbaik dan para pedagang bahan pangan bisa mendapat barang terbaik.

Namun, pasar lelang yang diinisiasi pemerintah, menurut dia, sulit menjadi kenyataan karena mekanisme yang sama dalam lelang proyek APBN maupun APBD sampai saat ini belum mampu diperbaiki pemerintah. “Maka ini gagasan ngoyoworo dan pasti cuma buang-buang uang,” jelas Maksum. YK/SB/mza

Beras Impor Ilegal asal India Dioplos dengan Lokal, Begini Caranya...

Kamis, 28 Mei 2015

BATAM - Dugaan temuan beras oplosan antara beras impor asal India bermerek IKR dengan beras lokal yang ditemukan di Pasar Cahaya Garden, Bengkong, Batam, Kepri awal pekan lalu ternyata memiliki mata rantai panjang.

Pasalnya, Direktur PT Jerbua, Wirianto mengaku beras di gudangnya diperoleh dari salah seorang pengusaha yang berada di kawasan Sengkuang. Belum diketahui, apakah beras impor itu legal mengingat pemerintah memberlakukan penghentian impor beras sejak tahun lalu.

"Beras asal India ini kami dapatkan dari Haji Toyib," kata Wirianto saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPRD Batam dan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan ESDM serta Dinas Kesehatan Kota Batam di Kantor DPRD Kota Batam, Rabu (27/5).

Namun, Wirianto membantah gudang miliknya itu mengoplos beras. Ia mengaku, saat Komisi II DPRD Batam menyidak beberapa waktu lalu yang menemukan proses pemindahan beras dari satu karung ke karung lainnya, bukan merupakan pengoplosan. Melainkan, kata dia, hanya memindahkan beras dari karung yang rusak dan dimasukkan ke karung baru.

"Tidak ada kami pakai karung lain selain merk IKR, untuk mengganti yang rusak kami memang punya stok," ujarnya.

Sementara temuan lain seperti beras yang berkutu serta temuan adanya beberapa drum formalin, Wirianto menampik. Ia mengatakan, beras yang berkutu itulah yang masuk kategori beras bagus. Sayang, ia tak mau menjelaskan maksud pernyataannya tersebut.

"Tapi sebelum dimasukkan ke karung, beras berkutu itu kami bersihkan dulu dengan diayak," jelasnya.

Selain adanya dugaan beras oplosan, Komisi II DPRD Batam mendapatkan perusahaan tersebut beroperasi tanpa mengantongi izin. Anggota Komisi II DPRD Batam, Mesrawati Tampubolon mengatakan, dari temuannya itu, ia mencurigai beras yang didatangkan dari India tersebut dimasukkan ke karung yang merupakan beras merk lokal."Saya tinggal di Bengkong, tapi saya tidak menemukan beras merk IKR ini. Bisa jadi beras ini dimasukkan ke karung merk lain," terkanya.

Lanjut Mesrawati, penemuan ini sebenarnya berawal dari laporan masyarakat setempat yang mulai resah dengan aktivitas perusahaan tersebut. Ditambah beberapa bahan berbahaya yang dialirkan ke parit dan ditakutkan akan mencemari lingkungan.

Pasalnya, perusahaan ini juga kedapatan membuat sabun dan ditemukan bahan-bahan kimia di gudang tersebut. Perusahaan ini mengklaim mengantongi izin dari Dinas Kesehatan Provinsi Kepri.

"Jadi kami minta untuk berhenti sementara (operasionalnya)," katanya.

Sementara itu, Kadisperindag Amsakar Achmad juga berjanji akan menindak lanjuti hasil RDP yang dilakukan di ruang Komisi II tersebut. Ia mengaku sudah berkoordinasi dengan bea cukai terkait masalah tersebut.

"Sebelum masuk ke Batam, beras itu tanggungjawab Bea Cukai, dan setelah masuk barulah tugas kita. Memang beras impor ini sulit untuk dicegah mengingat banyaknya pelabuhan tikus di Batam ini," katanya.

Namun untuk dugaan beras oplosan tersebut, pihaknya akan segera menurunkan tim. Jika terdapat bukti kuat tentu pihaknya akan membawa kasus tersebut ke ranah hukum. Terlebih, jika beras oplosan itu memiliki ancaman bagi kesehatan.

"Bisa kena pidana kalau memang terbukti mengoplos beras yang membahayakan orang lain," tegas Amsakar.(rna/jpnn)

http://www.jpnn.com/read/2015/05/28/306404/Beras-Impor-Ilegal-asal-India-Dioplos-dengan-Lokal,-Begini-Caranya.../page2

Jokowi Rombak Perum Bulog

Kamis, 28 Mei 2015

Pemerintah Daerah Perlu Anggarkan Dana Operasi Pasar

jakarta, kompasPresiden Joko Widodo berencana merombak fungsi Perum Bulog sebagai penyangga stok bahan pokok masyarakat. Ke depan, Bulog tidak hanya berperan sebagai penyangga stok beras nasional, tetapi juga sejumlah bahan pokok penting yang lain. Bulog juga akan diperkuat oleh pemerintah daerah terutama dalam operasi pasar.

"Kami ingin Bulog tidak hanya mengurusi beras, tetapi juga komoditas pangan yang lain. Namun, ini masih dalam proses, merevisi regulasi, dan membenahi kelembagaan," kata Presiden Joko Widodo ketika membuka Rapat Koordinasi Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di Jakarta, Rabu (27/5).

Menurut Joko Widodo, peran Bulog sebagai penyangga stok pangan itu harus diperkuat. Bulog juga harus dibantu pemerintah daerah (pemda) terutama dalam operasi pasar.

Pemda harus mengalokasikan anggaran untuk operasi pasar di daerah masing-masing guna mengendalikan harga. Jika pemda, TPID, dan Bulog mampu mengendalikan harga, inflasi dapat ditekan. "Saya berharap TPID sesering mungkin terjun ke distributor, pedagang besar, dan ke gudang-gudang mereka agar mereka merasa diawasi. Jangan sampai mereka tidak merasa diawasi sehingga bisa mempermainkan harga," katanya.

Joko Widodo menegaskan, permainan harga itu ada di gudang-gudang, terutama di tempat-tempat yang jangkauannya sulit. Karena itu, Joko Widodo memerintahkan Kejaksaan dan Kepolisian turut serta dalam pengecekan dan pengawasan tersebut dalam rangka upaya untuk mengendalikan inflasi.

Joko Widodo berharap agar target inflasi pada tahun ini tercapai, yaitu 3-5 persen. Percepatan pembangunan infrastruktur dan pembenahan tata niaga bahan pangan akan menjadi faktor penentu pencapaian target itu.

Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil menambahkan, Presiden memang berkomitmen menjadikan Bulog sebagai penyangga stabilisasi harga pangan. Komoditasnya tidak hanya beras, tetapi juga gula dan komoditas penting lain.

"Kami masih akan menghitung dan memastikan komoditasnya, kesiapan Bulog, serta anggaran. Komoditas yang dipilih nanti adalah komoditas yang memberikan implikasi pada stabilitas harga," ujarnya.

Sebelumnya, Sofyan pernah menyatakan, pemerintah juga akan menyerap gula kristal putih yang diproduksi pabrik gula PT Perkebunan Nusantara. Penyerapan akan dilakukan oleh badan usaha milik negara dengan target serapan 30 persen, sehingga pemerintah mempunyai cadangan gula guna mengendalikan harga gula di pasar (Kompas, 13 Mei 2015).

Tantangan struktural

Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo mengemukakan, Indonesia menghadapi enam tantangan struktural pengendalian inflasi. Pertama, terbatasnya kapasitas produksi pangan strategis. Hal itu terjadi karena luas lahan pertanian menyusut berganti dengan permukiman dan kawasan industri. Kedua, nilai rupiah masih rentan karena bahan baku manufaktur Indonesia masih bergantung pada barang impor.

"Ketiga, produksi pangan kita juga masih rentan terhadap iklim sehingga pasokan kerap terganggu," ujarnya.

Keempat, lanjut Agus, Indonesia masih bergantung pada impor bahan bakar minyak. Kelima, konektivitas antardaerah, terutama antarpulau, masih lemah sehingga menyebabkan ekonomi berbiaya tinggi.

"Keenam, kami juga melihat rantai distribusi pangan di Indonesia itu masih panjang dan dikuasai segelintir pelaku saja sehingga selalu ada oligopoli dan monopoli. Bukan petani yang menikmati harga pangan, melainkan para pemain tersebut," katanya.

Oleh karena itu, Agus berharap pemerintah harus memiliki solusi struktural. Untuk saat ini, serapan dana pembangunan infrastruktur di sektor pangan, industri, energi, dan maritim, perlu dipercepat.

Pembenahan tata niaga pangan juga harus dilakukan, terutama dalam rangka memutus rantai distribusi pangan yang panjang dan pengendalian harga. Pemda juga harus mengalokasikan anggaran guna membantu Bulog dalam operasi pasar.

"Di sisi lain, setiap daerah harus mempunyai TPID dan peta jalan pengendalian inflasi. Saat ini, sudah ada 432 TPID, dan ke depan akan terus ditambah. Pada 2013, baru ada 183 TPID," ujar Agus. (HEN)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150528kompas/#/17/

Rabu, 27 Mei 2015

Presiden Jokowi Akan Rombak Fungsi Bulog

Rabu, 27 Mei 2015

JAKARTA, KOMPAS.com – Presiden RI Joko Widodo menyampaikan, pemerintah akan mengubah fungsi perum Bulog sebagai lembaga peyangga kebutuhan bahan pokok masyarakat.

“Kita juga ingin merombak fungsi Bulog sebagai lembaga penyangga, dan tidak hanya mengurusi masalah beras,” kata Jokowi dalam pidatonya dalam Rapat Koordinasi Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), di Jakarta, Rabu (27/5/2015).

Jokowi mengatakan, nantinya Bulog tidak hanya mengurusi komoditas beras saja, melainkan juga komoditas pangan lain. “Tapi ini masih dalam proses, merevisi regulasi dan kelembagaan,” ucap mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Selain merombak fungsi Bulog, Jokowi juga meminta kepada pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran APBD tahun depan untuk stabilisasi harga, yakni melakukan kegiatan operasi pasar.

“Sekarang ini yang melakukan operasi pasar baru Bulog. Tapi, kalau Provinsi, Kabupaten, Kota bersama-sama melakukan itu, inflais bisa kita tekan serendah-rendahnya,” ucap Jokowi.

Dia menyebut, banyak hal yang menyebabkan inflasi. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kenaikan tarif listrik, kenaikan tarif angkutan umum, kenaikan harga LPG mempengaruhi gejolak harga yang bisa meningkatkan inflasi.

“Dan yang paling banyak pengaruhnya adalah beras, cabai, bawang merah, daging ayam dan daging sapi,” ujar Jokowi.

Kapolri Pastikan Tak Ada Beras Plastik

Selasa, 26 Mei 2015


JAKARTA - Pemerintah dan Polri akhirnya mengumumkan hasil penelitian atas sampel beras sintetis. Berdasarkan uji atas sampel beras yang dilakukan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM), Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan Pusat Laboratorium Forensik Polri, ternyata tidak ditemukan beras yang bercampur plastik.

“Hasil pemeriksaan laboratotium forensik itu negatif. Tidak ada unsur plastik dari hasil pemeriksaan laboratorium itu,” ujar Kapolri Jenderal Badrodin Haiti di kantor Presiden, Jakarta, Selasa (26/5).

Untuk mempertegas hasil uji laboratorium itu, kata Badrodin, dirinya bersama Menteri Perdagangan Rahmat Gobel telah meminta sample yang masih tersisa di Sucofindo untuk diperiksa lagi di laboratorium BPOM dan Puslabfor Polri. Sebab, sebelumnya penelitian Sucofindo menunjukkan adanya kandungan sintetis dalam beras yang diuji.

Namun, dari pemeriksaan ulang itu ternyata tak ditemukan kandungan sintetis. “Hasilnya juga negatif,” tegas Badrodin.

Karenanya pemerintah memastikan beras yang diduga plastik itu tidak benar. Meski demikian Badrodin meminta masyarakat tetap melaporkan ke polisi jika memang menemukan beras sintetis.

“Saya mengimbau kepada masyarakat untuk tidak resah. Kalau ada yang dicurigai, silakan memberikan informasi kepada aparat pemerintah setempat atau kepada petugas kepolisian di tempat masing-masing untuk bisa dilakukan pengecekan,” pinta Badrodin.

Sedangkan Kepala Badan POM  Roy Alexander Sparringa mengungkapkan hal senada. Menurutnya, hasil uji BPOM atas beras yang diduga sintetis itu juganegatif.

“Jadi jelas kami ingin sampaikan di sini masyarakat diimbau tenang. Kami Badan POM telah menginstruksikan jajaran di daerah  untuk mengawal kasus ini dan siap untuk menguji jika diduga ada,” tutur Roy.(flo/jpnn)

http://www.jpnn.com/read/2015/05/26/306209/Kapolri-Pastikan-Tak-Ada-Beras-Plastik

Selasa, 26 Mei 2015

Hari Ini, Jokowi Kumpulkan Menteri Bahas Beras Plastik

Selasa, 26 Mei 2015


JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo akan menggelar rapat terbatas bersama sejumlah menteri dan pejabat terkait di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (26/5/2015). Rapat akan secara khusus membahas temuan beras plastik.

"Besok (hari ini), Presiden akan ada rapat bersama menteri, BPOM, dan Polri khusus bahas beras plastik. Jadi tunggu hasilnya," ujar Menteri Perdagangan Rachmat Gobel di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (25/5/2015).

Gobel mengatakan, BPOM nantinya akan menyampaikan hasil uji laboratorium ke Presiden. BPOM sebelumnya sudah menyatakan bahwa hasil uji laboratorium terhadap sampel beras plastik sudah selesai dan telah diserahkan ke kepolisian untuk diusut. (baca: Kapolri Bentuk Tim Khusus untuk Usut Beras Plastik)

Menurut Gobel, hingga saat ini Kementerian Perdagangan belum menemui kasus beras plastik lainnya. Bekasi, menjadi satu-satunya lokasi penemuan beras yang kabarnya mengandung bahan plastik itu.

Dia juga memastikan bahwa beras plastik itu bukanlah hasil dari impor beras yang dilakukan pemerintah. (Baca: Jokowi Minta Kasus Beras Plastik Jangan Dibesar-besarkan)

"Kita belum pernah terbitkan izin impor beras," ucap Gobel.

Pria yang merintis karier sebagai pengusaha barang elektronik itu mengaku sudah pula menanyakan soal beras impor ini ke Menteri Perdagangan Malaysia dan Menteri Perdagangan Tiongkok. Mendag Malaysia menyatakan bahwa beras itu bukan berasal dari mereka. Demikian pula dengan Tiongkok.

"Di Tiongkok, hanya ada satu perusahaan BUMN mereka yang melakukan ekspor beras. Tapi mereka pastikan beras itu bukan punya mereka," ucap Gobel.

Saat ditanyakan apakah kemungkinan beras plastik itu diproduksi dalam negeri, Gobel menyatakan, masih harus ada pengkajian mendalam. Pasalnya, pemerintah melihat ada keganjilan dari temuan beras plastik ini. (Baca: Mentan: Beras Plastik Tidak Mungkin Menguntungkan)

"Harga plastik itu lebih mahal daripada beras. Jadi kalau dicampurkan, bukannya untung, malah rugi. Makanya ini ada motif apa, yang harus ditelusuri," papar dia.

http://nasional.kompas.com/read/2015/05/26/10104461/Hari.Ini.Jokowi.Kumpulkan.Menteri.Bahas.Beras.Plastik

Pupuk Palsu Ancam Kedaulatan Pangan

Senin, 25 Mei 2015

BANDUNG, (PRFM)- Penemuan pupuk palsu merk terkenal di Kabupaten Cianjur oleh Polda Jabar berdampak besar terhadap hasil produksi pertanian, khususnya di bidang pangan yang mengancam kedaulatan pangan negara.

"Dalam pembuatan pupuk palsu, kandungan pupuk tidak sesuai dengan standarnya sehingga produksi padi kita terganggu dan pengadaan dalam negeri tidak tercapai, otomatis program pemerintah untuk swasembada padi, jagung, dan kedelai 2017 tidak tercapai. Hal ini juga mengganggu stabilitas pangan yang ujungnya akan berdampak pada ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan kita," kata Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat, Entang Sastra Atmadja.

Entang menyatakan, selama ini masih banyak petani yang menggunakan pupuk kimia daripada pupuk organik di Jawa Barat. Hal itu disebabkan pupuk organik yang selama ini dikampanyekan berbagai pihak belum begitu memasyarakat juga belum ada semacam jaminan bahwa pupuk organik bisa meningkatkan produksi pangan seperti pupuk kimia.

"Menurut saya, penggunaan pupuk kimia ini harus mulai dikurangi dan mengampanyekan penggunaan pupuk organik dan jadikan pemanfaatan pupuk organik ini sebagai gerakan di tingkat nasional hingga daerah, sehingga semuanya punya kepedulian tanpa memarjinalkan para produsen pupuk kimia," tambah Entang.

Sebetulnya ada Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) yang seharusnya mengawasi produksi dan peredaran pupuk. Namun, realitanya komisi ini belum bergerak secara maksimal karena masih banyak kendala, terutama yang terkait politik pengadaan anggaran. Entang juga menyatakan saat ini pemerintah sedang melakukan penataan ulang lagi terhadap kebijakan subsidi pupuk yang besarannya lebih besar dari APBD Jawa Barat. Namun, peningkatan subsidi ini belum diimbangi dengan peningkatan produksi dan kesejahteraan petaninya.

"Semestinya, para pemimpin daerah yang juga merangkap sebagai ketua dewan ketahanan pangan sudah saatnya melakukan kampanye besar-besaran terkait pemanfaatan pupuk organik dengan ditunjang anggaran yang sesuai," pungkasnya.

Penulis: Seyla Musi Indah
Editor : Waritsa

http://www.prfmnews.com/?cmd=info&tmplt=2&vr=7906&pos=artikel&scat=4

Polda Jabar Sita 23 Ton Pupuk Palsu

Bandung - Polisi menyita 23 ton pupuk palsu berbahan batu zeolite dari sebuah pabrik di Kabupaten Bandung Barat. Pengungkapan kasus perdaran pupuk palsu ini merupakan bentuk Polda Jabar mendukung program Nawa Cita yang dicanangkan Presiden Joko Widodo guna meningkatkan ketahanan pangan melalui swasembada pangan.

Personel Ditreskrimsus Polda Jabar menangkap dua tersangka yaitu AS dan JE. Kapolda Jabar Irjen Pol Mochamad Iriawan menegaskan para tersangka menjual pupuk palsu tersebut dengan harga sangat rendah.

Tersangka menjual pupuk jenis POSKALMIC Si-P 36 kepada petaniseharga Rp 800 perkilogram, sementara harga eceren tertinggi (HET) merek pupuk tersebut harga jualnya Rp 2.000 perkilogram.

"Peredaran pupuk palsu ini tidak sesuai ketentuan. Tersangka menjualnya di bawah HET," ujar Iriawan di Mapolda Jabar, Jalan Soekarno Hatta, Kota Bandung, Kamis (21/5/2015).

Kasus ini terungkap sewaktu polisi menyelidiki dan memeriksa PD. AM milik AS yang mengedarkan pupuk palsu kepada petani di Kabupaten Cianjur. AS mengaku memperoleh pupuk yang tidak sesuai label dari pemilik pabrik CV Putri Gresik, JE, yang beralamat di Kabupaten Bandung Barat. JE ternyata memproduksi pupuk dengan mencatut merek POSKALMIC Si-P 36.

"Tersangka memproduksi pupuk menggunakan bahan dasar batu zeolite. Jika ditaburkan ke tanaman, nantinya membuat tanaman menjadi kering, bukan menyuburkan. Modus mereka menyamakan atau menyamarkan produksi pupuk palsu yang dikemas menyerupai pupuk aslinya," tutur Iriawan.

Polisi menyita barang bukti pupuk palsu seberat 23 ton yang terdiri 200 karung dengan merek POSKALMIC Si-P 36 dengan berat masing-masing karung 50 kilogram, 200 karung berisi pupuk merek Ziophoska, 40 karung berisi pupuk merk Ponska, 10 karung ukuran 50 kilogram yang berisi tepung zeolite dan lima karung ukuran 50 kilogram yang berisi batuan zeolite.

"Sejauh ini peredaran pupuk palsu tersebut baru ditemukan di wilayah Jawa Barat," kata Iriawan.

AS dan JE kini meringkuk di sel tahanan Mapolda Jabar. Keduanya Pasal 60 jo Pasal 37 UU RI Nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, serta UU RI Nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian. Mereka terancam pidana penjara maksimal lima tahun dan denda maksimal 250 juta.

http://news.detik.com/bandung/read/2015/05/21/132622/2921018/486/polda-jabar-sita-23-ton-pupuk-palsu

Beras Imitasi

Senin, 25 Mei 2015

Negeri ini tampaknya akan semakin larut terjerat praktek manipulasi, dan sarat dipenuhi berbagai hal bersifat imitasi. Lihat saja ulah para pengelola negara yang masih dengan mudah memanipulasi kebenaran dengan melakukan praktek korupsi tanpa malu. Terjerumusnya sejumlah pejabat, politisi dan pengusaha ke dalam penjara karena kasus korupsi menjadi bukti mereka telah memanipulasi amanah jabatan yang diberikan pada mereka. Substansi kebenaran juga bisa menjadi imitasi bahkan palsu karena bisa ditafsirkan sesuka penafsirnya. Lihat saja carut-marut yang terjadi di ranah hukum, menjadi bukti gamblang betapa kebenaran bisa mudah dipalsukan.

Yang paling akhir, pemalsuan terjadi pada beras. Bayangkan, beras yang menjadi makanan hampir semua rakyat negeri ini dipalsukan dengan beras imitasi yang mengandung plastik. Meskipun pernah menjadi isu, namun fakta nyata baru terungkap di Bekasi ketika seorang penjual nasi uduk menemukan beras imitasi dalam beras yang dibelinya di pasar. Artinya, beras yang jelas-jelas sangat berbahaya bagi kesehatan itu sudah beredar luas di masyarakat. Itu juga berarti, masyarakat harus menanggung resiko mengkonsumsi beras ‘beracun’ yang bisa berdampak pada berbagai penyakit dan rasa sakit.

Upaya sejumlah pihak untuk melakukan inspeksi dan pengawasan di sejumlah pasar tentu perlu mendapat apresiasi. Langkah ini bisa mempersempit gerak para pedagang nakal yang bermain di balik bisnis kotor mereka. Namun langkah terpenting sebenarnya justru harus dilakukan pada pintu masuknya beras imitasi itu. Menurut informasi, beras palsu itu diproduksi di Tiongkok dan masuk secara gelap ke Indonesia. Akan sangat efektif mencegah peredaran beras palsu itu bila pintu masuknya ditutup rapat melalui pengawasan yang lebih ketat. Pihak berwajib yang bertugas melakukan pengawasan perlu lebih jeli dan tegas mencermati masuknya beras palsu impor itu.

Yang juga perlu dilakukan adalah melakukan sosialisasi dan edukasi pada masyarakat luas untuk memilih beras yang baik dan sehat. Perlu dikenalkan metode praktis dan sederhana untuk mendeteksi beras yang benar-benar berkualitas. Langkah ini tidak saja melindungi masyarakat dari beras imitasi tetapi juga menghindarkan masyarakat dari beras yang proses pengolahannya tidak benar, misalnya menggunakan pemutih dan parfum pengharum. Langkah ini, selain mencerdaskan masyarakat sebagai konsumen beras juga akan mendorong produsen beras untuk benar-benar menjaga kualitas beras produksinya.

Namun di sisi lain, pemerintah juga harus konsisten dengan kesungguhan untuk menjamin beras yang dimakan masyarakat benar-benar sehat dan berkualitas. Tidak boleh terjadi lagi beras murah untuk rakyat miskin (raskin) justru beras kualitas terjelek bahkan tidak layak dimakan. Pemerintah harus menjamin, beras yang dimakan rakyat adalah beras yang memang layak dan pantas dimakan rakyat. Sebaliknya, rakyat juga harus berani protes dan menggugat bila menerima beras tidak layak makan, karena hal itu sesungguhnya juga menjadi hak rakyat. Jangan biarkan distribusi raskin menjadi praktek ‘pembuangan’ stok beras rusak dan kadaluarsa.

Kita semua berharap negeri ini bangkit dari keterpurukan dengan membuang jauh semua yang bersifat manipulasi dan imitasi. Bukan hanya manipulasi amanah di kalangan pejabat dan politisi, tetapi juga di kalangan pedagang dan pengusaha.

Nasionalisme dan Ekonomi

Senin, 25 Mei 2015

Nasionalisme dan ekonomi seolah-olah tidak berhubungan. Rasa berbangsa dan bertanah air satu membangun sebuah kesadaran bahwa tanah dijajah untuk memakmurkan penjajah. Penjajahan Barat (Portugal, Spanyol, dan Belanda) di Nusantara berawal dari keunggulan Barat dalam berdagang.

Ketika nasionalisme menemukan bentuknya dalam negara-bangsa, kedaulatan republik tidak mudah melepaskan diri dari kepentingan ekonomi Barat. Heroisme bambu runcing mampu mengusir penjajah, tetapi tidak cukup untuk mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur. Kedaulatan republik baru diakui Belanda dalam Konferensi Meja Bundar di Belanda (1949).

Itu pun Indonesia harus berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Uni Indonesia-Belanda dibentuk dengan Ratu Belanda sebagai ketua uni itu. Semua utang Hindia Belanda sampai batas penyerahan Jepang, sebesar 4,3 miliar gulden (sekitar Rp 14 triliun sekarang), ditanggung oleh RIS. Semua aset asing dikembalikan. Negara boleh mengambilnya dengan kompensasi yang adil. Secara ekonomi, republik tersandera.

Kedaulatan ekonomi

Para bapak bangsa dengan sadar menjadikan sosialisme sebagai ideologi tandingan bagi kapitalisme. Visi ekonomi negara dirumuskan sederhana dalam tiga ayat konstitusi. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Bumi, air, kekayaan alam di dalamnya, dan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.

Nasionalisme sumber daya alam dan cabang-cabang produksi bertentangan dengan spirit individualistis kapitalisme, tetapi juga bukan etatisme (rakyat untuk negara). Meski tidak eksplisit, UUD 1945 dijiwai sosialisme religius. Spirit sosialistis terasa semasa rezim Orde Lama yang tidak mau tersandera utang luar negeri dan modal asing. Ketergantungan pada bantuan luar negeri (baca: utang) dalam praktiknya menggerogoti kedaulatan ekonomi nasional.

Rezim Orde Baru menegaskan ideologi ekonomi Indonesia bukan kapitalisme, juga bukan sosialisme. Namun, dalam praktiknya, akumulasi modal dan kekayaan terpusat di luar negara. Yang bertambah kaya bukan negara, melainkan elite penguasa dan kroninya. Nasionalisme dilepaskan dari kedaulatan ekonomi. Sampai sekarang, dominasi ekonomi negara lain dan eksploitasi sumber daya alam untuk kemakmuran para kapitalis dilindungi undang-undang.

Kapitalisme global memaksa negara menyerahkan sebagian kedaulatannya. Negara berkembang biasanya lebih tunduk pada tuntutan korporasi global daripada sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Negara tidak berdaya atas kekayaan bumi tanah Papua, meski investasi asing di sana tidak berkorelasi langsung dengan kesejahteraan rakyat.

Selama puluhan tahun negara hanya dalam posisi penerima royalti dari hasil eksploitasi yang dilakukan PT Freeport Indonesia. Setelah ada tekanan publik, barulah besaran royalti itu sedikit meningkat jadi 3,75 persen (emas), 4 persen (tembaga), dan 3,25 persen (perak). Penerimaan sesungguhnya perusahaan itu tidak bisa diaudit dan, konsekuensinya, lolos dari skema perpajakan.

Kebijakan negara menyangkut tenaga buruh didikte kepentingan kapitalisme global yang bermarkas di luar Indonesia. Regulasi tenaga kerja alih daya yang menjadikan buruh seperti sekrup mesin produksi tak kunjung dibatalkan.

Kekuatan ekonomi sebuah perusahaan multinasional melampaui kekuatan ekonomi suatu negara. Angka penjualan korporasi multinasional General Motors, Wal-Mart, Exxon Mobil, Ford Motor, ataupun Daimler Chrysler di atas produk domestik bruto Indonesia. Sedikit di bawah Indonesia adalah Mitsui, Mitsubishi, Toyota Motor, dan General Electric. Peta kekuatan ekonomi kini mengalami pergeseran dengan masuknya korporasi global dari kapitalis negara, terutama Tiongkok.

Kebangkitan ekonomi

Sebuah laporan dari Institute for Policy Studies (2000) memperlihatkan kebangkitan spektakuler korporasi global. Pada tahun 1999, seratus kekuatan ekonomi terbesar di dunia terdiri dari 51 korporasi dan 49 negara. Peta jalan ekonomi nasional masih belum memperlihatkan situasi darurat dalam kepungan kapitalisme pasar bebas dan kapitalisme negara.

Nasionalisme Indonesia seharusnya menjadi spirit kebangkitan ekonomi. Selama ini kita masih banyak hidup dengan slogan nasionalisme: cintailah produk Indonesia, (dalam praktiknya) belilah produk luar negeri. Swasembada pangan pun terancam gagal apabila negara membiarkan usaha rakyat bersaing sendiri melawan kekuatan kapitalis pasar bebas dan kapitalis negara.

Konsumen di Pulau Jawa lebih memilih jeruk mandarin ketimbang jeruk medan yang lebih murah. Itu berarti aktivitas ekonomi kita menghidupi petani di Tiongkok dan dalam jangka panjang secara tak langsung mematikan usaha petani jeruk di Sumatera Utara. Jeruk yang hanya menyeberangi selat kalah bersaing dengan jeruk yang melintas samudra. Mustahil petani jeruk kita mampu bersaing dengan petani jeruk Tiongkok yang ditopang (kapitalisme) negara.

Untuk menghindari tafsir keliru atas pasal ekonomi yang begitu singkat dalam UUD 1945, amandemen konstitusi menambahkan, "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional".

Namun, praktik ekonomi dalam banyak contoh lebih liberal daripada negara kapitalis. Di negara-negara Uni Eropa, transaksi sehari-hari harus dalam mata uang euro. Di Indonesia, dollar Amerika Serikat menjadi primadona. Pejabat yang disuap pun memilih mata uang asing. Lalu lintas devisa terlalu bebas. Negara hanya mencatat devisa hasil ekspor, tetapi uangnya sendiri tersimpan di luar negeri dan menguatkan cadangan devisa negeri asing.

Koperasi di negara kapitalis Barat memiliki posisi tawar yang tinggi terhadap perusahaan dan pemodal besar. Cerita sukses koperasi seperti itu jarang terdengar di Indonesia. Badan-badan usaha milik negara (BUMN/BUMD) harus layak bisnis dan mengamankan kepentingan nasional. Era BUMN/BUMD sebagai sapi perah atau tempat penampungan loyalis penguasa harus berakhir.

Di era globalisasi, negara-negara seperti tidak berbatas. Negara-bangsa seperti sebuah ilusi. Namun, Amerika dan Tiongkok masih berbicara tentang kepentingan nasional. Nasionalisme berarti memihak kepentingan nasional, bukan membela identitas bangsa. Untuk itu, politik harus melepaskan diri dari personalisasi kekuasaan. Kepentingan bangsa di atas segala-galanya untuk kebangkitan ekonomi.

YONKY KARMAN PENGAJAR DI SEKOLAH TINGGI TEOLOGI JAKARTA

http://print.kompas.com/baca/2015/05/25/Nasionalisme-dan-Ekonomi

Senin, 25 Mei 2015

Inpres Beras Selalu Bermasalah

Senin, 25 Mei 2015

JAKARTA, suaramerdeka.com - Badan Urusan Logistik (Bulog) dinilai selalu kesulitan dalam memenuhi target pengadaan beras pemerintah. Penyebabnya, harga beras di pasaran selalu lebih tinggi ketimbang patokan pemerintah seperti tercantum dalam instruksi Presiden (Inpres).

“Inpres perberasan memang selalu problematik mulai dari pemerintahan SBY, sampai pemerintah Jokowi,” ujar Peneliti Senior Pusat Studi dan Kawasan Universitas Gadjah Mada Mochammad Maksum, baru-baru ini.

Jika Bulog tidak boleh membeli beras di atas HPP, hampir dipastikan cadangan beras nasional, 1,5 juta hingga 1,8 juta ton, sulit tercapai. “Bedanya, zaman SBY mudah ditambal importasi, jamannya Jokowi dibatasi janji tak akan impor dan kedaulatan pangan,” ungkapnya.

Tahun ini, lanjut  Mochammad Maksum, Presiden Jokowi lewat Inpres No.5/2015 menetapkan HPP Gabah Kering Panen (GKP) dalam negeri dengan kadar air maksimum 25 persen dan kadar hampa maksimum 10 persen adalah Rp 3.700 per kilogram (kg) di petani atau Rp3.750 per kg di penggilingan.

Sementara itu, HPP Gabah Kering Giling (GKG) dengan kualitas kadar air minum 14 persen dan kotoran maksimum 3 persen adalah Rp 4.600 per kg di penggilingan atau Rp 4.650 per kg di gudang Bulog.

Adapun HPP beras kualitas kadar air maksimum 14 persen, butir patah maksimum 20 persen, kadar menir maksimum 2 persen dan derajat sosoh minimum 95 persen adalah Rp 7.300 per kg di gudang Bulog.

“Inpres 5/2015 proporsi harga antara beras Rp 7.300 per kg dan GKP Rp 7.300 per kg, dengan biaya penggilingan Rp 300-Rp 500 per kg, secara teknis hanya bisa terwujud ketika rendemennya penggilingannya 66 persen-67 persen, ini menjadi krisis akademik karena angka rendemen ini tidak pernah ada, di laboratium sekalipun,” kata Maksum.

(A Adib / CN26 / SM Network)

http://berita.suaramerdeka.com/inpres-beras-selalu-bermasalah/

Ada Data Statistik Pangan yang Akurat, Polemik Impor Beras Tak Perlu Terjadi

Senin, 25 Mei 2015

JAKARTA, suaramerdeka.com - Polemik tentang rencana pemerintah mengimpor beras tidak perlu terjadi jika negara ini memiliki data statistik pangan yang akurat.

Menurut Koordinator Nasional LSM Protanikita, Bonang, polemik ini mengemuka setelah Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data angka sementara produksi padi nasional 2014 pada awal Maret 2015.

Menurut data tersebut, lanjut Bonang, produksi padi nasional 2014 mencapai 70,83 juta ton GKG (setara dengan 41 juta ton beras).

Jika diasumsikan jumlah penduduk sekitar 250 juta orang dan angka konsumsi beras mengacu pada standar BPS sebesar 113,48 kilogram per kapita per tahun, kebutuhan beras nasional mencapai 28,37 juta ton. Jika semua data tersebut benar, pada awal 2015 terdapat surplus produksi beras di atas 10 juta ton.

“Pertanyaannya, mengapa pemerintah mewacanakan mengimpor beras.  Mengapa harga beras tetap stabil tinggi hingga kini,” ujar Bonang.

Data yang kurang akurat menyangkut produksi dan konsumsi beras dituduh sebagai biang kesemrawutan manajemen beras selama ini. Karena itu, banyak kalangan yang menyuarakan agar pemerintah segera membenahi database beras.

(A Adib / CN26 / SM Network)

http://berita.suaramerdeka.com/ada-data-statistik-pangan-yang-akurat-polemik-impor-beras-tak-perlu-terjadi/

Beras Sintetis Tak Masuk Akal

Senin, 25 Mei 2015

Perum Bulog Terus Tingkatkan Serapan Gabah

SOLO, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menegaskan, peredaran beras yang mengandung bahan sintetis berbahaya di pasaran adalah tidak masuk akal. Pasalnya, harga bahan baku plastik yang tercampur di dalam beras itu lebih mahal daripada harga beras yang dikonsumsi masyarakat.

Pemerintah masih mendalami motivasi mereka yang mengedarkan beras bermasalah itu. Pemerintah juga sedang memastikan apakah peredaran beras itu hanya ada di satu lokasi atau di banyak tempat.

"Yang penting, akar masalahnya perlu dipastikan dulu, apakah benar ada peredaran beras di banyak tempat. Lalu motivasinya apa menjual beras itu, apakah mencari keuntungan? Menurut saya tidak untuk itu karena kalau begitu tidak logis. Bahan plastik itu lebih mahal daripada beras," kata Presiden Jokowi saat ditemui di acara hari tanpa kendaraan bermotor di Kota Solo, Jawa Tengah, Minggu (24/5).

Presiden berharap kasus beras ini tidak terlalu dibesar-besarkan sebelum ada hasil penelitian. Saat ini pemerintah sedang menguji sampel beras di laboratorium Institut Pertanian Bogor (IPB), Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan PT Sucofindo. "Jika sudah selesai diteliti sejumlah laboratorium, baru kami dapat bicara. Jangan semua orang ikut bicara dan malah membesarkan masalah," kata Jokowi.

Menurut Presiden, penggunaan bahan plastik sebagai campuran beras sulit diterima akal sehat. Saat ditanya, apakah ada kemungkinan beras itu dari luar negeri, Presiden mengatakan, "Saya belum tahu. Kasus ini perlu didalami terlebih dahulu."

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menduga ada motif politik dalam munculnya kasus ini. Pasalnya, Menteri Perdagangan dan Perusahaan Umum Bulog sudah menyatakan tak ada impor beras sejak Januari 2015. Artinya, beras sintetis yang ditengarai dari luar negeri itu ilegal. "Harus diusut tuntas dan pasti ketemu siapa otak pelaku ini semua," ujarnya.

Sejak awal, pemerintah pimpinan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menaruh perhatian serius pada persoalan beras. Pemerintah bertekad menciptakan swasembada beras dengan menggenjot produksi beras nasional. Karena itu, pemerintah menargetkan dapat menyerap beras petani 3 juta-4,5 juta ton hingga akhir tahun ini.

Kepala Perum Bulog Subdivisi Regional Cirebon Miftahul Ulum mengatakan, belum ada kasus beras sintetis di wilayah tugasnya. Dari 10 gudang penyimpanan di wilayahnya, semua beras aman dari bahan sintetis.

Di luar persoalan beras sintetis yang sedang ramai dibicarakan, Bulog terus berusaha meningkatkan serapan gabah petani. Tantangan Bulog saat ini adalah harus bersaing dengan harga pasar yang sudah telanjur tinggi.

Bulog Cirebon, sementara ini, berhasil menyerap beras sebanyak 52.000 ton dari target 95.000 ton dalam satu tahun. Penyerapan itu sementara aman untuk kebutuhan enam bulan ke depan. Adapun stok beras Bulog secara nasional saat ini sekitar 1,2 juta ton. (RWN/NDY)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150525kompas/#/15/

Kasus Beras Plastik Dinilai Untungkan Beras Lokal

Senin, 25 Mei 2015

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beredarnya beras plastik yang diduga berasal dari beras impor, memiliki nilai positif.
Sisi positifnya, beras plastik menambah nilai beras dalam negeri. Sebab, konsumen kian percaya atas produk pangan aman asli lokal.
Beras plastik yang diduga berasal dari beras Tiongkok memicu dampak psikologis masyarakat untuk mengkonsumsi beras lokal. Meskipun sampai saat ini beras plastik belum bisa dibuktikan kebenarannya berasal dari Tiongkok.
Namun, temuan Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) di penggilingan beras kecil (petani) tidak ditemukan beras plastik.
Artinya, dugaan sementara beras plastik bukan dihasilkan dari produksi lokal. Winarno Tohir, Ketua KTNA menjelaskan, hikmah yang bisa didapat dari beredarnya beras plastik di pasar adalah kepercayaan masyarakat akan produksi beras lokal akan semakin tinggi.
"Beras plastik yang dicampur adalah beras jenis medium yang harganya diatas Rp 8.000 per kg. Sementara beras dengan kualitas yang tidak bisa diserap Bulog karena kadar airnya tinggi akan dipilih. Sebab, meski kualitasnya dibawah rata-rata namun beras tersebut aman dan bukan dari plastik," papar Winarno pada Minggu (24/5/2015).
Ia menjelaskan, masyarakat akan lebih memilih beras dengan kualitas rendah ketimbang beras medium. Beras medium bewarna putih dan terlihat bagus membuat kekhwatiran masyarakat untuk mengkonsumsinya. Karena kekhawatiran beras tersebut adalah beras palsu.
Sebagaimana dilansir, temuan beras plastik yang telah diteliti Pengujian laboratorium Sucofindo menyimpulkan, beras itu mengandung bahan pelentur plastik (plastiser) agar mudah dibentuk seperti Benzyl Butyl Phtalate (BBT), Bis 2-ethylhexyl Phtalate (DEHP) dan Diisononyl Phtalate (DNIP). Ketiga senyawa telah dilarang di dunia internasional untuk dicampur ke produk makanan.

Penulis: Mona Tobing

http://www.tribunnews.com/bisnis/2015/05/25/kasus-beras-plastik-dinilai-untungkan-beras-lokal

Minggu, 24 Mei 2015

Beredarnya Beras Plastik Dinilai Sabotase Terhadap Pemerintah

Sabtu, 23 Mei 2015

JAKARTA, suaramerdeka.com - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menilai peredaran beras sintetis adalah masalah serius. Diduga ada upaya sabotase terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Tjahjo menginstruksikan seluruh gubernur, bupati dan wali kota seluruh Indonesia untuk turun langsung ke lapangan guna melacak beras sintetis. “Menurut saya ini masalah serius. Apalagi beras itu dikonsumsi mayoritas masyakat kita,” tegas Mendagri dihubungi di Jakarta, Sabtu (23/5).

Menteri menilai peredaran beras sintetis berbahan plastik tidak semata bertujuan mencari keuntungan saja dari hasil jual beras yang dioplos beras sintetis, tapi sudah bermotif politik. “Ada usaha makar terhadap negara dan sabotase kepada pemerintah. Maka harus diusut tuntas dan pasti ketemu siapa pelaku otak ini semua,” ujar Tjahjo.

Pihaknya percaya kepada Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kepolisian pasti bisa mengusut tuntas. Apalagi, menurut Tjahjo, Mendag dan Bulog sudah membuat pernyataan sejak Januari 2015 tidak ada import beras. “Berarti ada penyelundupan masuknya beras ke Indonesia secara ilegal. Sudah saatnya tata kelola perberasan nasional dan tatakelola import ditata ulang dan adanya pembersihan terkait oknum yang bermain masalah pangan yang berakibat pada sengsaranya petani dan masyarakat luas yang mengkonsumsi beras,” ujarnya. (A Adib/CN38/SM Network)

http://berita.suaramerdeka.com/beredarnya-beras-plastik-dinilai-sabotase-terhadap-pemerintah/

Titiek Soeharto Tolak Kebijakan Impor Beras

Sabtu, 23 Mei 2015

Wakil Ketua Komisi IV itu minta pemerintah maksimalkan Bulog.
 
VIVA.co.id - Bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri tahun 2015 akan segera tiba. Oleh karena itu, permintaan terhadap beras diperkirakan akan mengalami peningkatan.
Salah satu kebijakan yang disiapkan pemerintah apabila stok beras menipis adalah impor beras dari negara asing. Langkah ini ditolak oleh Wakil Ketua Komisi IV yang membidangi pertanian, Siti Hediati Hariyadi atau akrab disapa Titiek Soeharto.

"Jelas akan kita tolak kebijakan tersebut. Pemerintah dan Bulog (Badan Urusan Logistik) menyatakan stok beras cukup dan aman untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kenapa harus impor," kata Titiek saat berkunjung ke Bantul, Yogyakarta, Jumat 22 Mei 2015.

Menurut Titiek, pemerintah sebaiknya mengoptimalkan peran Bulog dalam menyerap beras yang ada di petani. Sehingga, ketika ada kekurangan pasokan beras di pasaran maka Bulog bisa memasoknya ke pasaran.

"Masalahanya di beberapa daerah tertentu HPP (harga pembelian pemerintah) beras lebih rendah dari harga yang dibeli oleh pengepul beras sehingga bisa saja untuk daerah tertentu ada kebijakan HPP beras yang berbeda agar Bulog juga berani membeli beras dari petani," ujarnya.

Titiek mengungkapkan, anggaran untuk pertanian dalam APBN tahun 2015 mencapai sekitar Rp32 triliun. Dia berharap anggaran sebesar itu dapat digunakan pemerintah untuk meningkatkan produktifitas padi para petani.

"Ada stimulan dari pemerintah agar mendorong adanya peningkatan produkstivitas padi secara nasional," terangnya.

http://politik.news.viva.co.id/news/read/629196-titiek-soeharto-tolak-kebijakan-impor-beras

Sabtu, 23 Mei 2015

Swasembada Beras Plastik

Sabtu, 23 Mei 2015

BEBERAPA waktu lalu bangsa ini dihentakkan oleh susu campur melamin. Dan hari ini dihebohkan oleh beras plastik sudah beredar di Tanah Air, sejak beberapa hari lalu. Sama-sama merupakan unsur kebutuhan pangan primer, heboh pangan seperti ini tentu sangat memprihatinkan. Proteksi konsumen dan urusan food-safety, sungguh sudah waktunya ditegakkan oleh negara berdaulat Indonesia.
Sebagai pangan pokok dengan pilihan produk substitusi yang masih terbatas, sudah barang tentu beras plastik lebih hiruk-pikuk. Selama ini beras memang selalu hangat beritanya, menghentak-hentak, dan menyibukkan Kabinet Kerja (KK). Mulai masalah eskalasi harga beras 30% Maret lalu, mandulnya pengadaan Bulog sampai pro-kontra importasi. Seperti pendahulunya, KK pun senantiasa meneriakkan: Ganyang Mafia! Tangkap Mafia!
Hiruk-pikuk perberasan ini bisa dimaklumi karena nilai uang menggiurkan. Kalau data pemerintah benar adanya, konsumsi tahunan mencapai 31 juta ton beras. Nilai uang konsumsi tahunan, berdasarkan harga menurut Inpres 5/2015 sejak 17 Maret lalu, dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Beras sebesar Rp 7.300/kg, bisa mencapai jumlah Rp 226,3 triliun. Dengan aneka turunannya, nilai ekonomi-politiknya bisa mencapai Rp 500 triliun.
Bukan main besaran nilai ini dan semakin menggiurkan bagi pemburu rente. Itu pun masih ditopang dengan fanatisme kultural pada tingkat masyarakat yang melihat beras sebagai pangan primadona. Apapun kondisinya, masyarakat konsumen senantiasa berupaya sekeras-kerasnya untuk memenuhi konsumsi keluarganya terhadap beras sebagai makanan pokok primadona. Realitas demikian itulah yang menggiurkan bagi aneka permainan beras.
Meski demikian posisi sakral sebagai pangan primadona, proteksi terhadap konsumen adalah sesuatu hal yang tidak bisa ditawar sebagai bagian dari unsur pelayanan pada sisi pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan dasar, dengan segala keamanan pangannya. Maraknya isu beras plastik, berikut lolosnya produk tersebut sampai menembus Tanah Air dan menyentuh perut konsumen Indonesia sungguh merupakan indikasi lemahnya proteksi ini.
Dari sisi konsumen, sudah tentu proteksi yang diperlukan tidak sekadar proteksi terhadap keamanan pangan secara teknis dan food safety. Akan tetapi sudah harus menyentuh pula kenyamanan konsumsi untuk tidak memungkinkan publik melakukan konsumsi terhadap barang yang tidak mengetahui karakter produk pangannya, yang harus aman secara teknis, kimiawi, sosial-kultural, ekonomi dan politik pangan.
Secara khusus, beras plastik ini telah mengganggu semua karakter dimaksud. Terlebih faktanya, tidak ada toleransi sekecil apapun bahwa bahan plastik ini dijadikan bahan makanan. Sebagai pembungkus makanan pun, plastik sudah teramat kontroversial bagi mereka yang sangat peduli terhadap keamanan pangan.  Kualitas plastik yang sembarangan, memungkinkannya mengeluarkan komponen yang tidak aman bagi kesehatan manusia. Konsumsinya sudah barang tentu tidak memenuhi kaidah makanan sehat.
Para ahli pangan Fakultas Teknologi Pertanian selalu mengingatkan bahwa pemakaian plastik untuk pembungkus bahan pangan, dan khususnya sebagai antisipasi terhadap pemanasan, harus memakai plastik yang food grade untuk menghindari bahaya panas dan pelepasan komponen saat panas. Sementara itu pemakaian plastik sebagai bahan pangan, seperti dipakainya plastik dalam campuran beras plastik, yang masuk perut sungguh tidak pernah bisa ditolerir. Zero tolerance! Catatan itu pun dilontarkan para ahli ketika ada kasus susu melamin.
Dalam urusan tataniaga dan perlindungan konsumen, beras plastik sudah harus masuk sebagai kejahatan luar biasa, extraordinary crime, sebagaimana narkoba dan korupsi. Karena dampaknya yang sistemik, massal dan membahayakan kehidupan masyarakat serta kehidupan bangsa. Beras plastik tidak hanya kejahatan yang terkait dengan bisnis, keamanan pangan, ketahanan pangan, kedaulatan, dan sejenisnya. Akan tetapi dia adalah ulah kejahatan yang melanggar bio-ethics, dan sekaligus menyebarkan bio-terorrism. Detik ini juga terorisme sejenis ini harus dihentikan.
Tanpa bersegeranya negara memberangus terorisme seperti ini, maka sangat dikhawatirkan kejahatan beras plastik akan mewarnai program swasembada beras yang berpotensi menjadi swasembada beras plastik. Karena sebagian akan dipenuhi melalui beras jenis biadab ini.

Prof Dr M Maksum Machfoedz (Penulis adalah Guru Besar UGM, Ketua PBNU dan Anggota Pokja Ahli DKP Pusat)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/4021/swasembada-beras-plastik.kr

Petani Keluhkan Pupuk Bersubsidi Sulit Didapat

Sabtu. 23 Mei 2015

MALANG, KOMPAS — Petani di sebagian Kabupaten Malang, Jawa Timur, beberapa pekan ini sulit mencari pupuk urea bersubsidi. Mereka tidak tahu pasti penyebab kelangkaan ini.

Yanto, salah satu petani sayur di Desa Pandanajeng, Kecamatan Tumpang, Jumat (22/5), mengatakan, ia harus mencari cukup jauh untuk mendapatkan pupuk urea hingga ke ibu kota Kecamatan Tumpang. Namun, ia hanya mendapatkan pupuk yang dijual eceran, bukan kemasan zak seperti sebelum-sebelumnya.

"Saya membeli pupuk terakhir sekitar satu bulan lalu. Setelah itu belum membeli lagi karena sulit. Itu pun saya hanya mendapatkan eceran ukuran 10 kilogram sebanyak tiga kantong, jadi total hanya dapat 30 kilogram. Padahal saya butuh sekitar 50 kilogram," ujar Yanto.

Selain sulit diperoleh, menurut Yanto, harga pupuk juga mahal. Jika biasanya ia biasa mendapatkan pupuk sejenis dengan harga Rp 105.000 per zak ukuran 50 kilogram, saat terakhir membeli harganya naik menjadi Rp 120.000 per zak.

"Berapa pun harganya, petani tetap beli karena butuh," katanya. Ia menambahkan, pupuk di kelompok tani juga kosong.

Hal serupa dialami Santoso, salah satu petani sayur di Desa Wonorejo, Kecamatan Poncokusumo. Namun, menurut dia, banyak petani telah panen dan baru menyiapkan lahan. Santoso sendiri mendapatkan pupuk terakhir sekitar satu bulan lalu sebanyak satu zak jenis urea.

"Meskipun baru panen dan tengah menyiapkan lahan, saya gamang juga. Jangan-jangan setelah tanam nanti, pupuk sulit dicari," ujarnya.

Harianto, pemilik kios pupuk di Desa Banjarsari, Kecamatan Pakis, membenarkan bahwa lebih dari satu bulan terakhir pupuk bersubsidi kosong. Kekosongan terjadi pada semua jenis pupuk. Alasan dari distributor, barang kosong. Saat ini stok pupuk di Kios Harianto tinggal beberapa kuintal, itu pun pupuk nonsubsidi dan bukan urea.

"Stok pupuk bersubsidi habis dan yang masih ada pupuk nonsubsidi. Harga pupuk urea bersubsidi Rp 105.000 per zak, sedangkan urea nonsubsidi Rp 200.000 per zak," ucapnya.

Tunggu hujan

Dari Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, dilaporkan, sebelum memulai aktivitas menanam palawija, sebagian petani pemilik sawah tadah hujan masih menunggu turunnya hujan.

"Jika di awal musim kemarau ini tidak turun hujan, areal sawah terpaksa kami biarkan menganggur," ujar Yanto, petani di Desa Caruban, Kecamatan Kandanggan, Kamis (21/5).

Yanto memiliki areal sawah seluas 2.000 meter persegi. Setelah memanen padi 10 hari lalu, saat ini dia sudah mulai mengolah tanah, mempersiapkan lahan untuk ditanami palawija.

Tahun lalu, karena kemarau panjang, sawah milik Udin akhirnya dibiarkan menganggur selama lebih dari empat bulan.

Sebaliknya, sebagian petani di Kabupaten Magelang mulai cemas tanaman padi mereka akan kekurangan air. Tentrem, petani di Desa Deyangan, Kecamatan Mertoyudan, mengatakan, karena melihat intensitas hujan masih terbilang tinggi, dia kembali memulai menanam padi pada awal Mei lalu.

"Saat ini saya cemas tanaman padi akan kekurangan air. Agar pertumbuhan optimal, tanaman padi harus mendapat suplai banyak air hingga usia dua bulan," ujarnya. (WER/EGI)

http://print.kompas.com/baca/KOMPAS_ART0000000000000000014048201.aspx

Jumat, 22 Mei 2015

Jokowi Naikkan HPP Gula, Petani Tebu Bergembira

Kamis, 21 Mei 2015

Metrotvnews.com, Mojokerto: Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan kabar gembira bagi petani tebu di Indonesia. Saat berdialog dengan petani tebu di Mojokerto, Jawa Timur, Jokowi menetapkan harga baru patokan petani (HPP).

Kabar gembira itu adalah Jokowi membacakan surat keputusan yang menetapkan HPP gula Rp8.900 per Kg, naik Rp400 dari harga semula. Jokowi membacakan surat keputusan itu saat bertemu dengan para petani tebu di Pabrik Gula Gempol Kerep, Mojokerto.

"Sesuai dengan peraturan Menteri Perdagangan maka saya umumkan harga patokan penjualan gula kristal putih sebesar Rp8.900 setiap kilogramnya," katanya dalam acara buka giling di Pabrik Gula Gempol Kerep, Kamis (21/5/2015).

Tepuk tangan pun membahana di aula PG Gempol Kerep. Para petani bersuka cita. Mereka tersenyum puas setelah Jokowi membacakan Surat Keputusan Menteri Perdagangan itu.

"Walau dibaca panjang lebar yang peting kan harganya itu tadi toh. Suratnya enggak penting kan," canda Jokowi yang disambut riuh tawa para petani.

Setelah itu, Jokowi melanjutkan agenda kunjungannya. Ia berpindah posisi untuk membunyikan sirine sebagai tanda awal proses penggilingan tebu di PG Gempol Kerep dimulai. Sekali lagi, tepuk tangan memeriahkan acara itu.

RRN

http://jatim.metrotvnews.com/read/2015/05/21/398364/jokowi-naikkan-hpp-gula-petani-tebu-bergembira

Kamis, 21 Mei 2015

Ini Kritik Tajam Sekjen PDIP Terhadap Kinerja Pembantu Jokowi

Kamis, 21 Mei 2015

JAKARTA - Usia ‎pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) sudah berjalan lebih dari tujuh bulan.

Banyak pihak menilai, pemerintahan dengan Kabinet Kerjanya dinilai belum memenuhi janji kampanyenya untuk mewujudkan keberpihakan terhadap rakyat.
   
Belum adanya kemajuan dalam sektor ekonomi dari pemerintahan Presiden Jokowi ini ternyata diakui oleh Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto. Ia pun tak sungkan mengatakan, kalau selama pemerintahan Jokowi ini kondisi perekonomian semakin terpuruk. Beberapa menteri yang ada di bidang ekonomi tidak mampu mengangkat kondisi ekonomi nasional.
   
Untuk itu dia meminta agar Presiden Jokowi lebih fokus mengevaluasi kinerja menteri di bidang ekonomi. "Karena ini adalah hak prerogatif presiden maka Jokowi lebih baik fokus pada pembangunan ekonomi," ucap Hasto, di Jakarta, kemarin (20/5).
   
Menurutnya, saat ini Indonesia masih bergantung pada impor. Selain itu kinerja ekspor juga tidak terlalu bagus. Karena itu lebih baik Jokowi memperkuat kerja kolektif.
   
"Persoalan ekonomi semakin pelik belum lagi celah fiskal sempit, impor pangan masih tinggi. Sekarang tinggal mempercepat program padat karya, gotong-royong. Menteri juga lakukan evaluasi dan mengubah kinerja untuk harapan publik," aku Hasto.
   
Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah agar Presiden Jokowi turut memperkuat peran Bulog sebagai penyeimbang kebutuhan pangan nasional. "Evaluasi harus terus menerus, PDIP mendengarkan langsung, banyak bidang ekonomi yang perlu diperbaiki," tandas Hasto. (dil/sam/jpnn)

http://www.jpnn.com/read/2015/05/21/305231/Ini-Kritik-Tajam-Sekjen-PDIP-Terhadap-Kinerja-Pembantu-Jokowi

Impor Pangan RI Sembrono

Kamis, 21 Mei 2015

Beras Impor Plastik Bukti Terbukanya Jalur Impor Gelap

JAKARTA - Manajemen impor pangan pemerintah dinilai sangat sembrono antara lain ditandai dengan kualitas komunikasi politik terkait impor yang sangat minim, dan ketidaksesuaian kebijakan yang dikeluarkan antarkementerian terkait impor pangan.

Selain itu, menteri terkait pangan semestinya memahami bahwa melanggengkan impor pangan, meski dengan harga lebih murah ketimbang harga petani nasional, akan menimbulkan dampak sosial berbeda.

Pasalnya, impor pangan hanya akan menimbulkan efek berantai di negara eksportir. Sebaliknya, membeli beras petani sendiri walaupun lebih mahal, akan menciptakan multiplier effect di dalam negeri. Efek berantai itu dalam bentuk konsumsi, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja.

Pemerhati Politik Pangan, Andi Sinulingga, menilai pengelolaan impor pangan pemerintah hingga kini terlihat sembrono karena tidak sinkronnya data kebutuhan pangan nasional. Setiap lembaga terkait pangan memiliki data produksi dan kebutuhan pangan yang berbeda.

“Untuk itu, yang perlu dilakukan adalah kesesuaian data lebih dahulu, bukan langsung impor,” jelas dia di Jakarta, Rabu (20/5).

Andi juga menyatakan pemerintah tidak mampu mengatasi persoalan impor pangan dengan hati-hati akibat komunikasi politiknya yang tidak jelas dan tidak memikirkan dampak negatif dari pernyataan yang dikeluarkannya.

Misalnya, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel dengan tegas mengatakan tak akan mengimpor beras. Akibatnya, pengusaha maupun spekulan menahan beras di gudang, sehingga terkesan terjadi kelangkaan di pasar yang mengakibatkan harga melonjak.

Dari Yogyakarta, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), Edy Suandi Hamid, berpendapat para menteri terkait impor pangan begitu banyak mengobral slogan manis demi pencitraan atau public relation terkait kedaulatan pangan. Namun, faktanya impor pangan terus membesar dan bahkan tak terkendali dalam arti tidak jelas alasan dan sampai kapan akan mengimpor.

Bahkan, masing-masing menteri jalan sendiri-sendiri dan saling bertentangan. Mentan bilang ingin meningkatkan produktivitas pertanian, namun mendag terus membuka keran impor dan tidak terlihat niat untuk membereskan ruwetnya masalah impor pangan.

“Hari ini kita membaca ditemukan beras plastik yang diduga impor dari Tiongkok. Padahal secara resmi impor belum dibuka. Ini artinya impor jalur gelap jalan terus, lalu apa kerjaan menuju swasembada itu makin tidak jelas,” kata Edy.

Sebelumnya, ekonom dari Universitas Brawijaya Malang, Chandra Fajri Ananda, meminta pemerintah segera menghentikan kebijakan impor pangan yang cenderung dilakukan tanpa kendali, dan tanpa batasan waktu. Kebijakan impor yang kemudian justru membuka peluang permainan perburuan rente atau rent seeking izin impor itu, pada akhirnya mematikan petani nasional sehingga dinilai sebagai kejahatan kepada petani.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, juga mengingatkan agar menteri terkait impor pangan berhenti mengeluarkan slogan kosong demi pencitraan untuk menyelamatkan jabatan. Para menteri itu semestinya mengambil tindakan tegas untuk menghentikan izin impor pangan yang lebih kental aroma permainan rent seeking, ketimbang motivasi membangun pertanian nasional.

"Menteri yang hanya pencitraan tidak akan menyelesaikan masalah. Begitu juga menteri yang memberikan rekomendasi dan izin impor tanpa kendali. Tindakan menteri seperti itu sangat menyakitkan rakyat," ujar Henry.

Penyerapan Beras

Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Khudori, menilai fenomena impor beras Indonesia bukan saja ironis, melainkan juga absurd. Impor beras dilakukan bukan karena produksi beras domestik gagal, melainkan karena pengadaan beras Bulog tidak mencapai target.

Produksi padi 2014 mencapai 70,83 juta ton gabah kering giling (GKG), setara 41,789 beras (rendemen 59 persn). Dengan angka konsumsi beras per kapita tertinggi, 139 kg per tahun, konsumsi 250 juta warga Indonesia hanya 34,75 juta ton.

"Jika data ini benar, tentu masih ada surplus yang besar. Surplus semakin besar bila perkiraan produksi padi 2015 oleh Kementerian Pertanian tercapai 73 juta ton padi," ungkap Khudori.

Penyerapan gabah petani oleh Bulog rendah karena sampai saat ini, harga gabah/beras masih di atas harga pembelian pemerintah (HPP). "Memanen beras di pasar alias impor dan bukan panen di lahan, selalu jadi jurus pamungkas. Kita tidak pernah memperhitungkan efek berantai impor beras," imbuh Khudori.

Ia mencontohkan pemerintah Jepang begitu protektif pada beras produk petaninya karena lebih memperhitungkan efisiensi sosial sehingga membeli beras petani sendiri dengan harga lebih mahal demi menjaga efek berantai di dalam negerinya.

Untuk itu, Khudori menyarakan agar pemerintah memerintahkan Bulog membeli gabah petani berapapun harganya untuk memupuk cadangan pangan pemerintah. Ini penting demi efisiensi sosial dan menutup peluang impor yang sama saja menyubsidi petani negara lain. YK/ers/WP

http://www.koran-jakarta.com/?31205-impor%20pangan%20ri%20sembrono