Selasa, 30 Juni 2015

Besok, Rakyat Miskin Minta THR Ke DPR

Selasa, 30 Juni 2015

[JAKARTA] Sebanyak 1.500 massa dari Pusat Perlawanan Rakyat Indonesia (PRRI) rencananya akan mendatangi kantor Menteri Sosial RI dan DPR Rabu (1/7).

Massa PPRI ini datang untuk menuntut Tunjangan Hari Raya (THR) bagi rakyat miskin.

Aksi ini akan digelar mulai pukul 10.00 WIB dengan rute mulai dari kantor Kemsos dan terus ke DPR RI.

PPRI merupakan gabungan dari sejumlah elemen masyarakat, seperti Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), AMP-HK, SEBUMI, PEMBEBASAN, KPA, Solidaritas.net dan PPR.

“Besok, kami kaum miskin Indonesia yang sadar akan hak-haknya datang ke Kantor Menteri Sosial RI dan DPR RI untuk mendesak pemerintah agar mengalokasikan dana APBN untuk THR Rakyat Miskin,” ujar Ketua Umum SPRI Marlo Sitompul, saat konferensi pers persiapan aksi “THR Rakyat Miskin Tanggung Jawab Negara” di Kantor LBH Jakarta, Selasa (30/6).

Marlo menilai kehidupan rakyat miskin semakin hari semakin terasa berat. Pasalnya, harga barang-barang kebutuhan pokok terus melambung tinggi, bantuan Raskin dan KKS tidak merata, upah tidak bisa menutupi kebutuhan hidup.

“Padahal dalam waktu dekat, seluruh rakyat Indonesia khususnya umat Islam akan merayakan lebaran dengan membeli kuat, daging untuk ketupat, pakaian baru dan kunjungan tentangga dan keluarga. Namun, orang miskin tentunya tidak mudah menikmati lebaran seperti biasanya karena keterbatasan uang,” ungkap Marlo.

Lebih lanjut Marlo menuturkan, bahwa kita tidak perlu heran jika menjelang lebaran banyak orang nekad mencuri atau tindakan kriminalitas lain demi membiaya hidup dan merayakan lebaran bersama keluarga. Negara, katanya mempunyai kewajiban untuk memelihara rakyat miskin dan anak-anak terlantar.

“Pemerintah melihat tindakan kejahatan hanya soal kriminalitas, padahal itu adalah tanggung jawab pemerintah agar membuat kebijakan ekonomi dan politik untuk mengatasi masalah kemiskinan,” tegasnya.

Sementara Surya Anta dari PRR mengatakan rakyat miskin seharusnya mendapatkan THR dari pemerintah karena mereka adalah warga pembayar pajak.  Kebutuhan hari raya, seperti makanan, pakaian, kue, ongkos pulang kampong atau berkunjung ke rumah saudara dan rekreasi sudah seharusnya dibiayai oleh Pemerintah dan APBN.

“Seluruh pengeluaran pemerintah yang tidak perlu seperti THR untuk para menteri, Staf Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, pejabat Pemda, Kepala Dinas, Pejabat BUMN, camat dan luruh haruslah untuk kepentingan THR rakyat miskin. Agar di saat menjelang lebaran tidak perlu ada lagi orang miskin yang harus bertindak criminal atau kehilangan nyawa saat antri rebutan Zakat atau sumbangan,” terang Surya.

Sebagai Presiden yang mengaku diri pro-rakyat, Surya meminta Presiden Jokowi untuk membuktikan sikapnya yang pro-rakyat dengan membuat kebijakan THR bagi rakyat miskin yang ditanggung Negara.

“Oleh karena itu, PRRI menuntut pemerintah segera berikan THR untuk rakyat miskin dengan alokasi dari APBN dan APBD, pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan peraturan yang menyatakan THR untuk rakyat miskin dan stop THR untuk para pejabat Negara,” tandas Surya. [YUS/L-8]

http://sp.beritasatu.com/home/besok-rakyat-miskin-minta-thr-ke-dpr/90941

Pemerintah Diminta Mulai Seriusi Agenda Diversifikasi Pangan

Senin, 29 Juni 2015

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Diversifikasi pangan perlu segera dimulai dan diagendakan langkah-langkahnya secara strategis oleh pemerintah. Sebab, masyarakat tak bisa terus-menerus menggantungkan pangan pada beras di tengah pesatnya pertumbuhan penduduk di tengah lahan sawah yang sempit.

"Diversifikasi itu mutlak, karena dengan penduduk yang terus naik, kalau menggantungkan pada padi, itu bahaya," kata Direktur Studi Pertanian Universitas Padjajaran (Unpad) Ronnie S. Natawidjaja dihubungi pada Senin (26/6).

Namun, kata dia, di dalam pelaksanaannya memerlukan kebijakan yang konsisiten. Jika pemerintah mengagendakan diversifikasi, maka pangan untuk masyarakat miskin di Irian itu bukanlah beras, tapi ubi. Begitu pun di Maluku. Jika ada bantuan pangan maka yang diberikan adalah sagu. Artinya, langkah yang dilakukan menyesuaikan dengan makanan pokok lokal dan tidak menerjemahkan pangan melulu beras.

Hal tersebut senada dengan bunyi undang-undang 18/2012 yang secara eksplisit telah menjelaskan soal esensi dari kedaulatan pangan. "Di sana disebutkan, esensi kedaulatan pangan itu adalah ketidaktergantungan pada satu jenis pangan tapi lebih menggantungkan pada pangan pangan lokal setempat," ujarnya. Maka dalam implementasinya, ia meminta pemerintah segera mengubah pola pikir "beras oriented" yang masih jadi tolak ukur keberhasilan pangan.

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/06/29/nqp55n-pemerintah-diminta-mulai-seriusi-agenda-diversifikasi-pangan

Senin, 29 Juni 2015

Panen Raya Grobogan Lesu

Senin, 29 Juni 2015

Tiap daerah memiliki budaya yang bergam dalam menyambut panen raya, seperti di Dayak ada budaya Yangahatan, Cembeng di Tegal, Arak pengantin di Cirebon, Mappadendang di Bugis, Wiwit di Sleman, tapi di Grobogan lebih tepatnya Budaya Gigit Jari saat panen raya. Sebagai rujukan harga beras di Jawa Tengah, panen raya Grobogan selalu berakhir lesu, bahkan tidak sedikit petani yang gulung tikar akhirnya harus merantau ke Ibu Kota untuk kerja sebagai buruh bangunan. Kejadian ini serupa dengan masyarakat Blora, Sragen, dan Klaten yang mayoritas penduduknya bertani.

Presiden Jokowi tahun ini akan mengeluarkan kebijakan untuk memberikan wewenang Bulog dalam memerankan dan mengendalikan harga beras maupun gabah di pasaran (Tempo edisi 22-28/6/15). Artinya petani tidak akan dipermainkan lagi oleh cukong-cukong yang bergentayangan.

Sistem tanam di Kabupaten Grobogan menggunakan irigasi dan tadah hujan. Untuk irigasi, petani memanfaatkan air dari Bendungan Kedung Ombo. Sedangkan wilayah yang tidak bisa menikmati air waduk, menggunakan sistem tadah hujan, wilayah ini berada di perbatasan Kabupaten Blora. Pemerintah pernah membangun waduk di Kabupaten Blora tapi sayangya tidak berfungsi maksimal karena tanah jenis kapur tidak mendukung keberadaan waduk.

Petani Grobogan dapat menanam tanamannya sebanyak 3 kali dalam setahun, yakni musim ketigo (kemarau) pada bulan Juni-Agustus. Pada musim ini, petani akan memanfaatkan lahannya dengan menanam kacang hijau, kedelai, dan jagung. Musim rendengan (peghujan) Oktober-Januari musim ini petani akan mengolah tanahnya dengan membajak menggunakan traktor. Limpasan air dari Waduk Kedong Ombo mulai turun ditambah air hujan akan menggemburkan lahan. Dalam musim ini, setelah empat bulan petani akan memanen padinya hingga tiba saatnya musim walikan (sisa musim penghujan) bulan Maret-Juni. Pada musim ini, hasil panen tidak sebanyak musim rendengan karena unsur hara dalam tanah sudah berkurang sehingga perlu diversifikasi lahan pada musim ketigo.

Rata-rata hasil panen petani Grobogan per satu hektar mencapai 3-4 ton. Jika terkena hama atau puso, petani hanya mendapatkan satu ton. Namun, sayang selama ini banyak petani dirugikan oleh para cukong yang gentayangan, dengan memainkan peran untuk menaik-turunkan harga sendiri. Kebutuhan petani untuk satu kali musim tanam sangat besar. Untuk lahan satu hektar, petani harus menyediakan benih sebanyak 25 kg seharga Rp 250.000, pengolahan lahan menggunakan traktor Rp 500.000, tamping galeng (merapikan pematang) Rp 400.000/musim, tandur/tanam: Rp 600.000, kebutuhan pupuk KCL/ZA: Rp 244.000/kwintal, pupuk Urea: Rp 184.000/kwintal, matun (membersihkan ilalang) Rp 300.000/musim, ngedos (panen) Rp 40.000/kwintal, bagi hasil utuk pengelola irigasi 70 kg gabah. Jika ditotal pengeluaran per hektar mencapai RP 4.000.000.

Kebanyakan petani mendapatkan modal dari bank, BPR, atau hutang tetangga. Panen musim ini harga gabah basah oleh pemerintah Rp Rp 4.500/kg. Di masyarakat dibeli Rp 4.200/kg. Jika panennya tiga ton, petani akan mendapatkan uang sebesar Rp 12.600.000, kecuali petani yang menyewa lahan, mereka masih memiliki beban untuk membayar uang sewa.

Era Orde Baru saat jayanya swasembada pangan, saat panen tiba petani lebih senang dengan memanen dan menimbunnya sendiri hingga setinggi atap karena mereka tidak ada tanggungan untuk bayar hutang di bank. Saat ini berbalik, petani sesegera menjual hasil panennya, agar cepat mendapatkan uang. Setelah mendapatkan uang tersebut, lantas petani harus menutup hutang-hutangnya.

Melihat data kebutuhan petani, pemerintah harus berani mengambil sikap, seperti memberikan jaminan atas harga gabah atau beras di pasaran. Dalam hal ini Bulog harus mendapatkan otoritas dalam pengendalian harga, termasuk mengendalikan harga dan ketersediaan pupuk.

Panen yang bersamaan membuat cukong leluasa untuk membeli atau tidak membeli hasil panen petani sehingga dengan mudah harga bisa berubah-ubah. Sedangkan Bulog berdalih persediaan beras masih tersedia, maka tidak perlu membeli beras dari petani. Desakan keuangan petani harus mengorbankan gabahnya meskipun harga turun drastis tidak sesuai ketetapan pemerintah. Jika saja Bulog mampu membeli semua hasil panen, tidak ada petani yang dirugikan.

Peranan Bulog

Sistem kapitalisme dalam dunia pertanian telah mencekik kehidupan petani. Beras sebagai bahan pokok warga negara Indonesia belum dapat menyejahterakan nasib para petani. Bahkan tidak sedikit petani yang merugi akhirnya mereka harus menjual lahannya. Yang paling  diuntungkan adalah bank. Fenomena sekarang, aset bank daerah lebih banyak pada lahan pertanian.

Pemerintah daerah harus memberikan sosialisasi kepada masyarakat perihal pengaduan. Nomor pengaduan dipegang langsung oleh kepala dinas, seperti apa yang dilakukan Gubernur Jateng. Hal ini untuk mendapatkan informasi adanya permainan harga dan pemerintah dapat segera melakukan sidak serta mencabut ijin usaha pengusaha pengelolaan gabah yang ketahuan mempermainkan harga di masyarakat.

Beras yang keluar dari Pulau Jawa harus mendapatkan ijin resmi dari pemerintah, dalam hal ini Bulog. Langkah ini betujuan agar tidak ada cukong yang menimbun beras di luar pulau hingga mengakibatkan ketidakstabilan kebutuhan.

Seperti yang dikisahkan masyarakat Sambas Kalimantan Barat, karena melambungnya harga beras dan kebutuhan lainnya yang tinggi, akhirnya mereka memutuskan untuk membeli beras dan barang lainnya dari Malaysia yang lebih murah melalui jalur darat menerobos hutan belantara dengan waktu tempuh delapan jam. Hal ini jangan sampai terjadi lagi karena sudah melanggar sistem perdagangan di Indonesia.

Setiawan Widiyoko

Putra daerah Grobogan

http://www.kompasiana.com/setiawan_wd/panen-raya-grobogan-lesu_55901beef392738518e25ef0

Badan Pangan Nasional

Senin, 29 Juni 2015

Gonjang-ganjing harga beras, perlu tidaknya impor, sampai dengan penilaian kinerja Bulog dalam penyerapan beras terus terjadi dan seolah tiada akhir.

Begitu juga fluktuasi harga pangan lainnya, seperti daging sapi, cabai, bawang merah, dan kedelai. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, mulai dari operasi pasar, imbauan, hingga pembenahan manajemen pemantauan seperti dilakukan Kementerian Perdagangan melalui monitor harga pangan pokok harian.

Kompleksitas masalah pangan perlu dibenahi secara terpadu. Kata kuncinya adalah "kewenangan dalam mengoordinasikan kebijakan serta implementasinya" agar kompleksitas masalah itu bisa diatasi.

Sebenarnya UU Pangan-UU No 18/2012 Pasal 126-129-telah mengamanatkan pembentukan lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Lembaga ini bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan. Dengan tugas dan kewenangannya yang jelas, lembaga ini diharapkan bisa menjadi komandan dalam koordinasi masalah pangan dari hulu ke hilir, pusat-daerah, sehingga gonjang- ganjing pangan tidak terjadi lagi.

Saat ini pemerintah sedang menyelesaikan peraturan presiden (perpres) terkait pembentukan lembaga dimaksud, yakni Badan Pangan Nasional (BPN). Sebagai turunan dari UU Pangan, BPN dirancang punya fungsi koordinasi, pengkajian, perumusan kebijakan, pembinaan, supervisi dan evaluasi di bidang ketersediaan dan kerawanan pangan, distribusi dan pelembagaan pangan, serta konsumsi dan pengawasan keamanan pangan. BPN juga bisa mengusulkan kepada Presiden agar memberikan penugasan khusus kepada badan usaha milik negara di bidang pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi pangan pokok dan pangan lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah.

Rekomendasi

Di tengah perbincangan hangat tentang BPN, baik mendukung maupun pesimistis, peran dan fungsi BPN perlu dirumuskan dengan baik. Pertama, pemerintah segera mengesahkan Perpres BPN sesuai amanat UU Pangan. Kedua, untuk melengkapi Perpres BPN, dengan segera diterbitkan perpres tentang penetapan dan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan barang penting agar lebih fokus dan menghindari area abu-abu dalam pengawasan di masyarakat dan pasar.

Ketiga, menata kembali hubungan kerja pemerintah pusat-daerah di bidang pangan, disesuaikan dengan UU Pangan, khususnya pangan pokok, seperti penetapan pangan lokal, sentra produksi pangan lokal, cadangan pangan lokal dan nasional, harga tingkat produsen dan konsumen, pasokan pangan, pajak, serta kewenangan ekspor-impor.

Keempat, merampingkan dan menata kembali/melebur lembaga yang selama ini menangani pangan dan segala aspeknya, seperti Dewan Ketahanan Pangan dan Badan Ketahanan Pangan.

Kelima, menata lembaga bidang pengawasan keamanan pangan, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Badan Karantina Pertanian, dinas kesehatan di daerah, dan pengawasan barang beredar. Saat ini pengawasan terkotak-kotak sesuai kewenangannya, seperti pangan segar oleh Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, pangan olahan UMKM dan jasa boga melalui dinas kesehatan daerah, sedangkan pangan olahan industri menengah besar oleh BPOM.

BPN perlu mengkaji dan menetapkan satu lembaga terpadu pengawasan keamanan pangan, mengingat penetapan dan pengawasan keamanan pangan jadi tugas pemerintah serta jaminan keamanan pangan sulit dibedakan apakah pangan segar atau olahan. Apalagi, dengan perkembangan teknologi, akan kian sulit dibedakan mana yang pangan olahan, mana pangan segar.

Keenam, BPN segera mengevaluasi basis data pangan dan merekonsiliasikan agar kebijakan yang dikeluarkan tepat sasaran. Ketujuh, revitalisasi kebijakan/ regulasi pangan dari hulu ke hilir berbasis data rekonsiliasi.

Kedelapan, bagaimana BPN membangun kepercayaan masyarakat, melalui kebijakan dengan memperhatikan kearifan dan budaya lokal sehingga menjadi lembaga yang kredibel dan bermanfaat. Misalnya, tidak memaksakan pangan pokok beras untuk semua daerah, tetapi disesuaikan dengan potensi dan kebiasaan setempat, seperti Papua/ Maluku dengan sagunya, Madura dengan beras jagungnya.

Akhirnya, semua gonjang-ganjing pangan akan sirna dengan adanya BPN yang kredibel.

ADHI S LUKMAN ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN INDONESIA

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150629kompas/#/6/

Sabtu, 27 Juni 2015

Kisruh Angka Surplus Beras

Sabtu, 27 Juni 2015


Pemerintah berkeyakinan terjadi surplus beras walau pasar memperlihatkan hal yang sebaliknya.

Keyakinan itu telah menimbulkan kekisruhan antarkementerian/lembaga sehingga  memperlambat keputusan intervensi pasar, ketidakpastian  jumlah pengadaan beras dalam negeri dan penumpukan beras untuk cadangan beras pemerintah (CBP), pernyataan petinggi yang mengharamkan impor beras. Hal itu mendorong spekulasi dan ekspektasi kenaikan harga beras.

Untuk mengurangi rasa "malu" atas surplus yang terlalu besar, digunakanlah angka konsumsi beras 139,15 kilogram/kapita/tahun. Pada 2005, dibuatlah "kesepakatan" antarlembaga untuk menggunakan angka rata-rata Neraca Bahan Makanan (NBM) periode 2001-2004.  Padahal, NBM tidak bebas dari jumlah produksi. Walaupun produksi beras turun menjadi 44,4 juta ton pada 2014, total konsumsi beras hanya 35,1 juta ton, sehingga surplus mencapai 9,3 juta ton.

Selama tiga tahun terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian telah meneliti dengan metodologi cukup bagus dan data lengkap,  mencakup konsumsi beras dalam dan luar rumah tangga.  Diperoleh angka konsumsi beras per kapita/tahun relatif stabil: 113,72 kg (2012); 114,80 kg (2013); dan 114,13 kg (2014).  Kalau angka itu dikalikan jumlah penduduk pada tahun yang sama, terungkap surplus beras 15,4 juta ton (2012); 16,2 juta ton (2013); dan 15,6 juta ton (2014). Dengan surplus sebesar itu, Indonesia seharusnya telah menjadi negara eksportir neto beras. Kalau tidak diekspor, harga beras dalam negeri akan rendah. Namun, yang terjadi sebaliknya, harga beras terus naik, Perum Bulog mengimpor beras 1,4 juta ton (2012) dan 0,4 juta ton (2014).

Estimasi berlebih

Banyak bukti angka produksi beras Indonesia overestimate.  Pada 1998, BPS membandingkan hasil survei rumah tangga tentang luas areal panen disandingkan dengan taksiran luas areal panen dengan metode estimasi pandangan mata (eyes estimation), terungkap luas areal panen overestimate 17,1 persen.

Pada 2000-2001, Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) melakukan survei pada tingkat petani untuk proyek Agriculture Statistic Technology Improvement and Training menemukan overestimate produksi gabah di Jawa 13 persen. Sekarang, angka overestimate luas areal panen akan lebih tinggi lagi, karena pesatnya konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa.

Pendekatan lain adalah membandingkan angka produksi gabah kering giling (GKG) dengan jumlah GKG yang digiling oleh penggilingan padi (PP) hasil sensus penggilingan padi 2012 (PIPA BPS) dalam periode yang sama. Jumlah produksi  GKG (67,3 juta ton) sedangkan jumlah GKG yang diolah oleh 182.000 unit PP 32,9 juta ton GKG. Padahal, jumlah PP dan total kapasitas giling terpasang tinggi, terus bertambah, serta kapasitas telantar tinggi, khususnya penggilingan padi kecil/sederhana (PPK/S) yang hanya beroperasi 3-4 bulan per tahun.

Pada saat yang sama, PP menyatakan bahwa kesulitan utama mereka adalah bahan baku gabah, dikeluhkan oleh 40 persen PP dari total 156.000 unit PP. Kelebihan produksi GKG perlu dikoreksi dengan jumlah stok akhir GKG yang disimpan petani/PP/perdagangan gabah/Bulog sebesar 10 juta ton GKG. Namun, produksi gabah masih tersisa 24,4 juta ton GKG atau overestimate  produksi GKG 36 persen.

Mengapa pemerintah membiarkan penggunaan "data kesepakatan" terus berlanjut dan belum mengoreksi angka produksi beras? Pada Rapat Koordinasi Terbatas, 14 April 2015, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga meminta agar dibentuk tim pemantauan panen, harga, dan penyerapan gabah/beras untuk mengatasi perbedaan yang sangat besar data harga gabah/beras yang disampaikan Kementan dan Bulog. Ini mengingatkan kita kepada pemerintahan Orde Baru, data produksi padi yang dilaporkan BPS jauh berbeda dengan laporan Kementan. Maka, pada 1973, Widjojo Nitisastro sebagai Menko Ekuin/Ketua Bappenas meminta agar digabungkan dua sistem pengumpulan data.

Perhitungan produktivitas padi dilaksanakan sebagian oleh mantri statistik, sisanya oleh mantri pertanian dengan menggunakan metodologi yang sama. Hasil estimasinya dianggap akurat. Urusan taksiran total luas areal panen dilaksanakan sepenuhnya oleh mantri pertanian, dengan metode pandangan mata. Pendekatan ini juga digunakan pada tingkat internasional, namun yang ditaksir adalah perubahan luas areal panen, bukan total luas area panen.

Sebaiknya pemerintah menghentikan kekisruhan ini agar tidak berlanjut? Pertama, kaji ulang metodologi dalam estimasi produksi padi, khususnya taksiran luas areal panen.  Kedua, sejumlah angka konversi telah usang perlu diperbarui, antara lain: angka-angka konversi gabah kering panen (GKP) ke GKG, rendemen giling GKG, galengan, seperti saran Iswadi (Opini, Kompas, 20/3/2014).

Ketiga, percayakan semua data resmi taksiran produksi gabah/beras pada BPS, bukan oleh kementerian/lembaga teknis. BPS di samping sebagai lembaga independen, tak bias kepentingan, serta hasil estimasinya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Janganlah ada lagi "angka kesepakatan" yang dapat membuat gaduh berkepanjangan.

M HUSEIN SAWIT
Mantan Ketua Forum Komunikasi Profesor Riset, Kementerian Pertanian

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150627kompas/#/7/

Meredam Spekulan Pangan

Sabtu, 27 Juni 2015

Menjelang hari besar keagamaan, harga pangan selalu melambung diikuti kelangkaan (shortage) pasokannya sehingga daya beli masyarakat semakin melemah.

Fenomena ini dipastikan bukan karena mekanisme demand and supply (kebutuhan dan pasokan) semata. Argumennya, kejadiannya terus berulang dengan besaran intensitas, frekuensi, dan durasi yang terus meningkat. Mengapa pemerintah "tidak berdaya" menyelesaikan masalah tersebut sehingga spekulan pangan merajalela dan rakyat merana?

Berapa kenaikan harga yang wajar pada momen tersebut? Wajarkah harga beras di pasar pada akhir Januari 2015 melampaui Rp 12.000 per kilogram, sementara Februari 2015 panen raya? Benarkah turbulensi harga beras saat itu untuk menekan pemerintah agar melakukan impor, karena stok beras di Vietnam dan Thailand melimpah tanpa pembeli?

Wajarkah harga bawang merah yang biaya produksinya Rp 15.000 per kg harganya menyentuh Rp 40.000 per kg? Mengapa harga daging ayam melonjak dua kali lipat? Benarkah auktor intelektualis dan penikmat utama gejolak harga bahan pangan ini adalah spekulan pangan? Benarkah harga padi, jagung, kedelai, daging sapi, gula, daging ayam, cabai, dan bawang merah juga dikendalikan mereka, dan didukung pembentukan opini publik di media? Bagaimana penyelesaian menyeluruhnya?

Upaya khusus

Solusi fundamentalnya adalah memenuhi pasokan pangan secara kuantitas, kualitas, dan kontinuitas melalui: (i) upaya khusus (upsus) percepatan swasembada pangan dan (ii) peraturan presiden tentang perdagangan bahan pangan pokok yang mengatur  tentang: harga, volume, dan waktu penyimpanan bahan pangan merupakan solusi fundamentalnya.

 Pilihan pemerintah membentuk upsus pajale (padi, jagung, dan kedelai), dan upsus pangan lainnya, seperti daging sapi, gula, cabai, dan bawang merah patut diapresiasi. Gerakan upsus yang masif dan terstruktur dari pemerintah pusat, sampai tingkat operasional lapangan (penyuluh, pengairan, dan koordinator statistik kecamatan serta badan pembina desa) menyebabkan akselerasi pencapaian swasembada bahan pangan pokok dapat dimaksimalkan kinerjanya.

Hasilnya sangat signifikan antara lain: luas tanam padi periode Oktober 2014- Maret 2015 meningkat lebih dari 500.0000 hektar dibandingkan periode sama 2013/2014. Terjadi peningkatan luas panen, produktivitas, produksi tertinggi dalam sejarah. Jika konsisten, produksi padi nasional diprediksi melampaui 76 juta ton gabah kering giling (GKG) dan Indonesia berdaulat atas beras tahun 2015.

Pada 2016 dan 2017 pemerintah membidik swasembada jagung dan kedelai. Penyelewengan pupuk dapat direduksi secara signifikan. Untuk memaksimalkan serapan gabah oleh Perum Bulog dan PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC), TNI telah memfasilitasi petani untuk menjual gabah langsung ke Bulog dan PIHC agar pemerintah kuat cadangan pangannya untuk stabilisasi harga dan pasokan dan petani tidak menjadi obyek eksploitasi rentenir.

Perpres perdagangan pangan pokok

Pemerintah harus segera melaksanakan perintah amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Pasal 25 Ayat (3) dan Pasal 29 Ayat (3) yang menyatakan "barang kebutuhan pokok dan barang penting ditetapkan dengan Peraturan Presiden" dan "ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting diatur dengan atau berdasarkan peraturan presiden".

Melambungnya harga cabai, telur, dan ayam potong menjelang Ramadhan dan hari raya apa pun argumennya tak bisa ditoleransi. Pemerintah harus hadir melindungi rakyat dari eksploitasi spekulan pangan, bukan membiarkan dengan menganggap melonjaknya harga dan pasokan bahan pangan sebagai hal wajar.

Paling tidak ada tiga hal yang perlu diatur, yaitu volume maksimum bahan pangan pokok yang dapat disimpan, harga maksimum yang diizinkan, serta waktu penyimpanan maksimum. Besaran volume bahan pangan maksimum dapat ditetapkan jika pemerintah provinsi, kabupaten/kota memiliki data time series penjualan bahan pangan pokok oleh kios dan distributor bulanan. Harga maksimum dapat dihitung lebih sederhana dari biaya produksi plus keuntungan ditambah batas toleransi yang diizinkan dalam perayaan hari besar keagamaan.

Sementara, untuk waktu penyimpanan, harus dicari kombinasi yang ideal agar stok tidak bergeser menjadi penimbunan. Tentu jenis komoditas juga harus diperhitungkan. Untuk beras sekitar dua bulan adalah periode yang optimal. Tim pengendali inflasi daerah (TPID) harus mengambil peran signifikan dalam mengelola pasokan dan harga bahan pangan pokok. Mekanisme pengawasan mutlak diintensifkan dan sinergi pemerintah bersama masyarakat menjadi kuncinya.

Pengalaman penangkapan penyimpangan pupuk bersubsidi oleh aparat TNI dan Polri sebagian besar bersumber dari informasi atau laporan masyarakat. Pemerintah harus melakukan audit stok gudang dengan memanfaatkan informasi masyarakat.

Transparansi publik dan perluasan peran Bulog

 Kewajaran atas harga bahan pangan pokok di setiap strata (distributor dan kios) pada setiap hari besar keagamaan perlu ditetapkan pemerintah secara transparan, sehingga masyarakat dapat membantu melakukan pengawasan di lapangan. Penegakan aturan harga maksimum, volume maksimum, dan waktu maksimum dalam distribusi bahan pangan pokok menjadi indikator keseriusan pemerintah dalam mematahkan dominasi spekulan pangan.

Sertifikasi gudang pangan dengan memberikan "atribut gudang" berupa koordinat lokasi, kapasitas gudang, kontak pengelola, dengan mewajibkan pemiliknya memberikan laporan ke pemerintah secara periodik harus segera dilakukan. Selain memudahkan pemantauan, hal ini juga akan mempersempit ruang gerak spekulan pangan dalam "menggoreng" harga dan pasokan bahan pangan. Pemerintah kabupaten/kota harus bisa memastikan hanya gudang resmi yang diizinkan menyimpan bahan pangan pokok.

Selanjutnya, data real time pasokan dan harga pangan dapat diakses pengambil kebijakan dengan cepat sehingga para pengambil keputusan dapat segera melakukan pengendalian harga dan pasokan sebelum terjadi gejolak. Importasi pangan dapat dilakukan dalam hal terpaksa, namun harus dilakukan institusi pemerintah, misalnya Bulog. Argumennya, margin keuntungan harus kembali ke pemerintah sehingga Bulog bisa dimintai pertanggungjawabannya jika terjadi turbulensi harga dan pasokan pangan.

Pengembalian peran Bulog ke fungsi awal sebagai penyangga, stabilisator harga, dan pasokan pangan harus segera dilakukan agar rakyat tidak dijadikan sapi perah dan eksploitasi para spekulan pangan. Percepatan pembangunan tol laut perlu disegerakan agar masyarakat memperoleh suplai dan harga pangan yang wajar sehingga mampu meredam spekulan. Kebutuhan lainnya juga dapat diberikan sehingga masyarakat yang bermukim nun jauh di sana mendapatkan pelayanan atau perlakuan sama tanpa diskriminasi.

GATOT IRIANTO
Ketua Upsus Padi, Jagung, dan Kedelai Nasional


http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150627kompas/#/7/

Jangan Sampai Nawa Cita Jadi Duka Cita

Sabtu, 27 Juni 2015

Mengembalikan Bulog seperti era Pak Harto (2)

IndonesianReview.com -- Ada beberapa skenario dalam merevitalisasi Bulog menjadi Badan Otoritas Pangan. Namun mesti bersepakat terlebih dulu, bahwa otoritas yang dimaksud adalah mengembalikan Bulog sebagai ujung tombak pengendali pangan.

Dengan menjadi pengendali, Bulog dapat memonopoli kebutuhan pangan dengan pemikiran bahwa kebutuhan pokok yang menjadi hajat hidup rakyat dikuasai oleh negara. Hak monopoli ini tak lain amanat Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan ekonomi Indonesia. Pada ayat 2 pasal tersebut secara gamblang disebutkan, bahwa cabang-cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak adalah dikuasai oleh negara.

Selama ini, sejak perubahan status Bulog dari Lembaga Non Departemen (LND) menjadi Perusahaan Umum (Perum) BUMN, keberadaan Bulog begitu ambigu.  Akibat perubahan itu, Bulog kini memiliki dua fungsi, yaitu fungsi publik dan fungsi komersial.

Di satu sisi, pada fungsi komersil, kalau Bulog tidak maksimal menjalankan fungsi komersialnya, maka para direksi akan dianggap tidak berprestasi. Sebab Bulog secara organisasi bertanggungjawab kepada Menteri BUMN. Di sisi lainnya, Bulog harus menjalankan fungsi sosialnya dalam rangka menjamin keamanan dan ketersediaan pangan nasional.

Pelaksanaan fungsi sosialnya selama ini dilakukan setengah hati. Maklum, Perum Bulog saat ini adalah bentukan IMF melalui program liberalisasi pangan hingga membunuh Bulog sebagai lembaga buffer stock negara. Maka tak mengherankan bila kini Bulog lebih berorientasi kepada profit dan menyerahkan urusan pangan kepada mekanisme pasar. Ia telah melenceng dari tujuan awalnya yang menyejahterakan petani dan memenuhi kebutuhan pangan rakyat.

Dalam menyejahterakan petani, Perum Bulog sekarang ini selalu kalah gesit dan kalah modal dengan para tengkulak lokal. Para tengkulak itu lebih dianggap sebagai dewa penolong bagi para petani. Mereka bukan saja memberikan modal yang akan dibayar petani saat panen, tapi juga membeli hasil panennya dengan kualitas apa saja. Harga pembeliannya pun selalu di atas Bulog.

Sedangkan Bulog selalu memilah-milih dalam membeli hasil panen. Pada komoditas beras, Bulog inginnya selalu berkualitas premium. Kalau kualitas gurem alias kadar airnya tinggi mana mau. Padahal kendala petani gurem sangat kompleks sejak masa awal tanam. Saat panen pun mereka tak berdaya menjemur gabahnya karena mengandalkan alam di hari cerah. Kalau hujan dan tidak ada mesin pengering, kualitasnya menurun sampai menjadi beras miskin (raskin).

Dalam mengendalikan harga, Bulog juga selalu kalah cepat dengan para penimbun yang sudah begitu hafal dengan siklus yang kerap dimainkan. Terlebih lagi saat pemerintah melakukan impor dimana informasinya bergayung sambut sudah seperti pengumuman kondangan. Akibatnya, sentimen harga sudah muncul terlebih dulu.

Mata rantai tata niaga pangan panjangnya juga sudah seperti kereta dan dikuasai oleh praktik kartel, monopoli dan oligopoli. Akibatnya, harga di tingkat produsen dan konsumen perbedaannya cukup lebar. Kendala memenuhi pangan rakyat belum dihitung dari distribusi antar daerah atau antar pulau. Sarana dan prasarana distribusinya terkadang lebih mahal daripada distribusi dari luar negeri. Bulog pernah mengeluhkan hal ini dalam kasus pengiriman beras dari Surabaya ke Medan. Biaya pengirimannya lebih mahal ketimbang dari Vietnam ke Jakarta.

Dengan memonopoli pangan, Bulog yang akan berubah menjadi Badan Otoritas Pangan leluasa menjamin tiga pilar ketahanan pangan. Yaitu ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility) dan stabilitas (stability).  Dalam monopoli ini, di antara skenarionya adalah badan tersebut menjadi ujung tombak data pangan. Ini untuk mengakhiri perbedaan data dengan Kementerian Pertanian. Padahal, akurasi data sangat penting untuk menetapkan aneka kebijakan dan inovasi pangan. Kelak, data badan ini bisa menjadi pembanding data BPS.

Skenario lainnya tak lain tertuju pada ketersediaan pangan itu sendiri, terutama beras sebagai konsumsi pokok rakyat. Ini merupakan pilar paling awal sebelum melangkah ke pilar selanjutnya. Akan tidak efektif mengejar keterjangkauan dan stabilitas pangan jika produksinya melorot. Sebab dari produksi dapat menentukan kuantitas dan kualitas produk yang menjadi proyeksi hilirisasinya pada pilar keterjangkauan dan stabilitas.

Melaksanakan skenario paling hulu ini, Bulog tidak perlu membuka lahan persawahan khusus untuk menjaga pasokan berupa Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Bulog merasa perlu membuka on farm  sendiri dengan alasan agar pemerintah tidak pusing menaikkan HPP beras tiap tahun. Padahal andai terlaksana akan kontraproduktif dengan petani karena otomatis terjadi persaingan. Pihak petani dipastikan kalah dengan pemerintah yang memiliki sumber daya besar untuk melakukan sesuatu.

Dengan kembali ke fungsi awalnya yang memonopoli pilar ketersediaan pangan, Badan Otoritas Pangan cukup memaksimalkan sumber daya yang ada. Dalam hal ini, badan tersebut dapat bertindak sebagai ‘tengkulak’ yang ramah sekaligus pendamping inovasi dalam program intensifikasi untuk menggenjot hasil produksi.

Sebagai ‘tengkulak’, kalaupun badan ini menalangi modal, akan dilunasi petani pasca panen, atau dengan sistem bagi hasil. Sebagai pendamping intensifikasi, badan tersebut dapat bertindak sebagai pembina dalam penerapan berbagai teknologi yang murah-meriah. Ini juga untuk mengapresiasi temuan para insinyur dan memacu mereka agar terus produktif dalam berinovasi.

Dari sekian inovasi yang sudah ada adalah teknologi yang dapat melipatgandakan hasil panen, memulihkan dan meningkatkan kesuburan lahan, hemat bibit dan air, mengefisiensi masa tanam dan sebagainya. Di Indonesia, teknologi semacam ini sudah ada, yaitu Intensifikasi Pertanian Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO).

Teknologi tersebut murah-meriah karena bertopang pada kekuatan biologis tanah dan sinar matahari yang gratis. Ini telah diterapkan oleh Tim Fakultas Pertanian Universitas Unpad sejak 2006 dan telah diuji coba di berbagai provinsi. Di Sulawesi Selatan misalnya, penerapan IPAT-BO mampu menghasilkan antara 8-12 ton gabah kering panen (GKP) per haktare.

Pelaksanaan teknisnya, Badan Otoritas Pangan bisa mengoptimalkan gabungan kelompok tani (Gapoktan) yang sudah ada dengan merangsang kesadaran masyarakat membentuk Gapoktan baru. Gapoktan inilah yang dioptimalkan menjadi Koperasi Unit Desa (KUD). Jangkauan operasinya juga dapat dimaksimalkan pada kegiatan hilirisasi pertanian (spin off industry).

Cara tersebut mengingatkan pada peran Bulog masa Pak Harto. Unsur edukasi pemerintah tetap hadir dan mendekatkan diri ke tengah masyarakat, tidak sekedar blusukan. Salah satu instrumennnya melalui  Bulog yang memberdayakan KUD dalam mengoptimalkan alat produksi petani sekaligus mempertahankan swasembada pangan yang pernah tercapai.

Pertanian dan segala program membangun Indonesia dari pinggirian dengan memperkuat peran desa bukankah menjadi nafas Nawa Cita Presiden Jokowi hari ini. Menggerakan Badan Otoritas Pangan seperti Bulog era Pak Harto sebagai mesin pembangunan desa melalui peningkatan produktivitas pertanian adalah salah satu bentuk kongkritnya.

Presiden Jokowi pasti sangat sadar bahwa pertanian adalah kunci pamungkas dari konsesus politik yang dia bangun, mirip seperti Pak Harto. Namun Pak Harto lebih spesifik lagi dimana mesin politik pertanian yang ia bangun terletak pada Bulog. Kalau menoleh ke belakang sejenak, setelah tensi peristiwa Malari 1974 sudah agak tenang, Pak Harto pernah mengatakan Bustanil Arifin, Kepala Bulog terlama sepanjang sejarah.

“Apapun yang terjadi, masalah-masalah non ekonomi boleh jebol. Tetapi pangan, terutama beras, harus tersedia kapan saja dengan harga yang terjangkau oleh rakyat. Bulog adalah pertahanan saya yang terakhir, pertahanan ekonomi”.

Bustanil Arifin dapat memaklumi curhatan Pak Harto kala itu. Sebab stabilisasi bahan pangan merupakan penjamin untuk dapat menstabilkan bidang-bidang lainnya. Sedikit saja harga beras naik, harga-harga barang lainnya ikut terkerek naik. Bahkan sampai hari ini, pengaruh harga beras merupakan penyumbang besar terhadap laju inflasi. Ini mengingat pengeluaran terbesar rumah tangga terletak pada kebutuhan pangan. Saat Bustanil Arifin menjabat Kepala Bulog, besarnya di atas 30 % dari pengeluaran. Pasca 1998, Bulog menyatakan sudah di atas 50 %.

Tentu saja Presiden Jokowi ogah kalau Nawa Cita-nya akan merubah jadi ‘duka cita’ kalau terus membiarkan Bulog terkatung-katung seperti sekarang. Bulog hari ini sangat sadar akan keterbatasannya yang tidak memiliki otoritas kuat dalam mengendalikan ketersediaan, keterjangkauan dan stabilitas pangan. Bersaing dengan tengkulak lokal saja Bulog keok.***

http://indonesianreview.com/viva-yoga-mauladi/jangan-sampai-nawa-cita-jadi-duka-cita

Revitalisasi Komando Logistik

Sabtu, 27 Juni 2015

Mengembalikan Bulog seperti era Pak Harto (1)

IndonesianReview.com -- Di antara penyakit akut biokrasi dalam mencapai swasembada pangan pasca 1998 adalah lemahnya koordinasi. Seringkali Kementerian Pertanian menyatakan beras surplus, namun tidak bagi Bulog. Ini juga terjadi pada 2015. Saat Presiden Soeharto berkuasa, hal itu sulit terjadi.

Di masa Pak Harto, dualisme data produksi, kebutuhan dan harga beras juga dapat ditekan. Semuanya terintegrasi melalui peran Bulog sebagai ujung tombak otoritas pangan. Konon, data sembilan kebutuhan pokok (sembako), terutama beras sebagai konsumsi pokok rakyat, menjadi ‘sarapan pagi’ Pak Harto saat memulai kerja. Sedikit saja harganya naik, Kepala Bulog langsung dipanggil ke Istana.

Tonggak Pak Harto mengendalikan pangan tak lain terletak pada aspek kepemimpinan. Segala tata laksana hulu-hilir pertanian ia tangani langsung secara komando, bahkan sampai urusan teknis. Tanpa menutup berbagai masukan dari kabinet, ketika kebijakan telah ditetapkan, perintah Pak Harto kepada Kepala Bulog, Bustanil Arifin, dan diteruskan kepada menteri terkait mesti segara dilaksanakan. Tidak ada kamus membangkang.

Hal itu sangat efektif dalam mengkoordinasi para pejabat lintas sektoral tersebut. Ini sebangun dengan persoalan pangan yang memang begitu kompleks dan multi-dimensi. Di masa Pak Harto, tidak sulit bagi Bulog mengkoordinasi internal lembaganya dan kementerian terkait. Maklum, Kepala Bulog sampai Dolog dijabat oleh kalangan militer dimana garis komando sudah mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Bustanil Arifin sendiri adalah seorang Letjen TNI. Saking percayanya Pak Harto, ia menjabat sebagai Kepala Bulog terlama sepanjang sejarah, yaitu 15 tahun (1978-1993). Bisa dibayang, meskipun status Bulog kala itu berupa Lembaga Non-Departemen, tapi menteri-menteri terkait sami’na wa atho’na (seiya-sekata) dengan Kepala Bulog.

Pak Harto mengendalikan permasalahan pangan melalui peran Bulog dengan tiga pilar yang saling terkait. Yaitu ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility) dan stabilitas (stability) pangan, terutama komoditas beras. Pak Harto sangat ketat menjaga ketahanan pilar ini hingga kebutuhan pangan masyarakat selalu terjamin dengan harganya terjangkau.

Dari tiga pilar tersebut, salah satu yang menonjol dari peran Bulog pada masa Pak Harto adalah integrasi Bulog dengan Koperasi Unit Desa (KUD). Vitalnya peran KUD dalam menopang pangan sampai-sampai kursi Kepala Bulog yang dijabat Bustanil Arifin merangkap sebagai Menteri Muda Koperasi.

Pada pilar ketersediaan sebagai hulu kebijakan pangan, Bulog menjamin kaum petani yang tergabung dalam KUD dalam meningkatkan produktivitas. Paling penting adalah menyalurkan aneka kebutuhan program intensifikasi khusus. Baik benih unggul, pupuk, pestisida hingga alat dan mesin pertanian (alsintan). Ini sudah termasuk alat pemanen, perontok dan pengering gabah.

Tak hanya itu, Bulog melalui Dolog di tiap daerah juga menjamin pasca produksi secara double. Bukan hanya menjamin pemasaran  dengan membeli hasil panen, tapi juga menjamin harga dasar gabah dan beras. Dengan cara ini, kerugian petani dapat ditekan meskipun harga gabah turun karena adanya subsidi melalui KUD.

Betapa vitalnya fungsi KUD itulah Pak Harto menghimbau keras kaum pengusaha besar agar menjual sebagian sahamnya kepada koperasi demi ketahanan kelompok usaha tani tersebut. Ini berarti, para korporasi terjun memberikan modal dan bantuan kepada petani.

Pada pilar keterjangkauan pangan, Bulog mengendalikan lalu lintas distribusi, stok dan harga dengan terjun ke lapangan secara langsung ke konsumen. Bahkan sejak meletusnya peristiwa Malari pada 1974, Bulog bertindak sebagai penjual, bukan hanya di pasar, tapi juga di jalanan.

Sejak 1980 sampai 1998, selain terjun ke lapangan, Bulog menggunakan koperasi-koperasi kecil yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) dalam meredam gejolak harga pangan di pasar. Di bawah kendali ‘militer’ Bulog, mana berani para pedagang dan koperasi kecil itu nakal menaikan harga. Tahu sendiri akibatnya.  

Kisah sukses Bulog masa Pak Harto itulah yang memanggil sejumlah kalangan untuk merevitalisasi peran Bulog masa kini. Terlebih bila dihadapkan dengan kenyataan betapa peliknya mengatasi persoalan pangan yang makin beranak-pinak. Di persoalan lahan sebagai media tanamnya saja, tingkat kesuburan lahan teknis sawah dan lahan pertanian lainnya sudah semakin menurun; luas lahan makin menyempit karena terjadi alih-fungsi dan sebagainya.  

Tapi tentu saja revitalisasi Bulog yang dimaksud bukanlah mem-foto copy seluruh dari masa silamnya. Pada jabatan pimpinan Bulog dan Dolog di daerah misalnya, tidak harus lagi dari kalangan militer yang justeru bakal merusak profesionalitas TNI yang sudah baik sekarang ini. Tapi ketegasan dan kepatuhan dalam memimpin dan dipimpin itu yang perlu ditiru.

Begitu pula penyalahgunaan KUD sebagai mesin politik partai penguasa, sudah pasti menjadi tabu jika di-copy paste. Lagi pula, tantangan pertanian di masa kini juga ada yang diakibatkan oleh masa lalu, khususnya banyaknya lahan sawah yang kelelahan dan sakit (fatigue and sick soils). Ini akibat program intensifikasi masa lalu yang menggenjot produksi tanpa henti.

Akibatnya , penggunaan pupuk tidak lagi berimbang. Pestisida pun digunakan secara berlebihan. Tingkat kesuburan lahan atau unsur haranya akhirnya menipis, bahkan habis sama sekali. Wal-hasil, organisme penganggu tanaman (OPT) kebal terhadap pestisida atau indektisida. Kalau lahannya sakit, otomatis hasilnya tidak akan maksimal, selengkap apapun infrastruktur pertanian yang dibangun seperti jaringan irigasi, waduk dan sebagainya.

Mengingat tantangan kepemimpinan yang kompatibel dengan alam demokrasi dan problem pertanian kian kompleks, maka keinginan mengembalikan Bulog seperti era Pak Harto mesti disambut dengan cetak biru (blue print) yang lebih matang. Perencanaan inipun mesti didesain secara aplikatif di lapangan nyata, dan bukan sekedar kertas kerja karya ilmiah.

Perencanaan revitalisasi Bulog tidak hanya merefleksikan persoalan pangan yang sudah bergenarasi ini, tapi juga tertuntut sanggup meringkas kompleksnya urusan pangan sebagai jalan keluar. Kalau hanya refleksi, itu namanya meratapi dan hanya sekedar ingin atau basa basi.

Kalaupun cetak biru revitalisasi Bulog sudah beres, tantangan paling berat adalah pelaksanaan proteksi pangan, terutama pengendalian pengelolaan tata niaganya. Tidak hanya beras, tapi juga gula, kedelai dan jagung yang tak lepas dari praktik kartel, monopoli dan oligopoli.

Tentu Bulog tertuntut untuk membiasakan kelincahan dan ketegasannya seperti sedia. Untuk bisa memproteksi pangan sedemikian rupa itu, Bulog yang pada masa awalnya dikenal sebagai ‘Komando Logistik’ memang mesti dioperasikan dalam satu komando dimana secara hirarkis ketata-negaraan Kepala Bulog bertanggung jawab di bawah presiden. Hirarkis ini kembali ke Bulog era Pak Harto. Kalau tidak begitu, pengalaman biokrasi pasca 1998 berulang kali selalu membuktikan bahwa ego sektoral menyumbang besar terhadap lemahnya koordinasi antar bidang.

Bila ditangani dengan satu komando Bulog, konsekuensinya: birokrasi terkait lainnya di kementerian, lembaga negara atau BUMN lain seperti PT Pupuk Indonesia Holding Company dan bank plat merah, dalam ungkapan politik, tertuntut sinergis dengan Bulog. Namun dalam istilah hukum, mesti tunduk kepada Bulog, sang pemegang otoritas pangan.

Lagi pula, sesuai amanat UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, pemerintah harus membentuk Badan Otoritas Pangan pada 2015 ini. Badan inilah yang bisa menggabungkan badan ketahanan pangan dan Bulog menjadi satu. Klop! ***

Jumat, 26 Juni 2015

Kekuasaan dan Swasembada Pangan

Jumat,26 Juni 2015

Relasi kekuasaan dan pangan sudah menjadi diskusi panjang dalam sejarah manusia. Pemikiran paling sederhana adalah pasokan pangan yang melimpah akan menopang kekuasaan. Dengan berbagai variasi strategi, pemimpin-pemimpin dunia selalu memastikan pasokan pangan bangsanya aman sehingga kekuasaan tidak mudah jatuh.

Menilik latar belakang Soeharto yang menjadi presiden selama 32 tahun, alam pikiran Jawa melekat pada dirinya. Kisah-kisah yang terjadi di Jawa pada masa lalu setidaknya pernah diceritakan oleh orang dekatnya, termasuk kisah kepemimpinan di Jawa. Ciri kepemimpinan di Jawa yang selalu menyebut kebahagiaan raja apabila rakyatnya cukup mendapat beras adalah termasuk yang diceritakan kepada Soeharto. Sebaliknya raja akan cemas apabila rakyat tak tercukupi pangannya.

Saat Soeharto mulai menjabat sebagai presiden, dirinya menerima keadaan berupa kondisi pangan di Indonesia juga masih morat-marit. Soeharto pasti merasakan kecemasan itu hingga memilih peningkatan produksi beras sebagai fokus kerjanya. Dibantu para teknokrat, ia membangun ketahanan pangan berbasis pada padi. Ia menerima konsep Revolusi Hijau sebagai cara untuk meningkatkan produksi padi. Soeharto mempersilakan investasi pestisida, membangun industri benih, industri pupuk, dan berbagai sarana pertanian lainnya hingga membangun organisasi tani. Soeharto dinilai berhasil memajukan usaha pertanian Indonesia hingga mendapatkan penghargaan dari FAO tahun 1985.

Akan tetapi, langkah-langkah Soeharto dalam membangun ketahanan pangan ternyata tidak bisa dipertahankan. Fokus swasembada pangan pada padi menjadikan areal-areal yang sebenarnya tidak layak untuk tanaman padi dipaksa menjadi lahan padi. Di satu sisi program sawah sejuta hektar merupakan program terobosan, tetapi program ini membutuhkan biaya yang mahal untuk menjadikan gambut sebagai lahan sawah. Rekayasa lahan sangat dibutuhkan. Risiko lainnya adalah perusakan lingkungan.

Kesan untuk menyatukan seluruh Indonesia dengan padi sebagai sumber pangan utama juga sangat kuat. Banyak daerah yang sebenarnya tidak cocok untuk ditanami padi serta penduduk setempat sudah lama mempunyai sumber karbohidrat lain seperti dipaksa untuk makan padi. Apalagi, kesan makanan padi dipromosikan secara tidak langsung menjadi lebih modern dibandingkan makanan lain sangat kuat. Akibatnya banyak daerah yang kemudian bergantung pada padi meski daerah itu tak menghasilkan banyak padi.

Swasembada itu kemudian tak langgeng. Apalagi, belakangan rezim impor sangat berkuasa. Pencari rente hidup berdampingan dengan pengambil kebijakan impor beras. Kebergantungan pada impor beras bukan lagi karena memang butuh untuk mendapatkan beras, tetapi lebih banyak disertai keinginan untuk mendapatkan uang dari aktivitas itu.

Kerusakan paling parah adalah kehilangan sumber pangan lokal karena lama tidak mendapat perhatian. Kerusakan pola makanan juga terjadi akibat keluarga-keluarga modern sudah tidak lagi mengenal dan menyukai sumber pangan lokal. Mereka lebih menyukai beras dibandingkan pangan setempat, seperti jagung, sagu, dan ubi.

Jika pada 2003 dan 2008 serta 2014 pemerintah tidak mengimpor beras atau setidaknya mengimpor beras dalam jumlah kecil, hal ini bukan karena sukses program swasembada. Kondisi ini terjadi karena cuaca saat itu mendukung untuk pertanaman padi sehingga hasil sangat melimpah.

ANDREAS MARYOTO

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150626kompas/#/59/

Kamis, 25 Juni 2015

10.000 Hektar Padi Harus Diselamatkan

Kamis, 25 Juni 2015

BOJONEGORO, KOMPAS — Jumlah air yang tersedia saat ini dikhawatirkan tidak mencukupi untuk mengairi areal sawah yang ditanami padi. Dalam kunjungannya di Bojonegoro, Rabu (24/6), Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan, 10.000 hektar areal tanaman padi di Bojonegoro yang berpotensi dilanda kekeringan harus diselamatkan.

Dalam waktu seminggu ini, pihaknya akan memberikan bantuan 300 pompa air di Bojonegoro, dari rencana awal hanya 27 unit. Di Desa Simorejo, Kecamatan Kanor, saja dilaporkan 1.741 hektar tanaman padi terancam kekeringan.

Ia menjelaskan, fokus saat ini adalah menyelamatkan areal tanaman pangan jangan sampai mati ataupun gagal panen. Di seluruh Indonesia, areal rawan kekeringan mencapai 198.000 hektar per tahun. Pihaknya mengalokasikan anggaran sekitar Rp 880 miliar untuk pengadaan pompa di seluruh Tanah Air.

Amran menyatakan, penyelamatan pertanian itu mutlak dilakukan karena alam. Dampak kekeringan harus segera ditangani dan tidak bisa ditunda-tunda, apalagi menunggu pengadaan melalui proses tender. "Pangan tidak bisa disamakan dengan pembangunan gedung. Tanaman pangan tidak bisa dihitung jam ataupun hari harus segera dilakukan," katanya.

Apabila bantuan 300 pompa air di Bojonegoro dirasa kurang, pihaknya siap memberikan penambahan. Bojonegoro juga mendapat alokasi pembangunan jaringan irigasi untuk memenuhi kebutuhan lahan 4.000 hektar.

Menurut Amran, daerah yang mampu meningkatkan produksi pertanian dijamin akan mendapatkan peningkatan anggaran dari APBN. Sebaliknya, ada 25 kabupaten yang nol anggaran karena produksi pertaniannya sama sekali tidak ada perbaikan.

Bupati Bojonegoro Suyoto mengemukakan, 10.000 hektar dari 32.000 hektar tanaman padi di Bojonegoro masuk titik kritis. Tanaman padi itu harus diselamatkan karena jauh dari aliran sungai Bengawan Solo. Petani telanjur mempertaruhkan hidup untuk bercocok tanam karena semula musim hujan diprediksi berlangsung hingga Juni. Kenyataannya, Mei sudah kemarau.

Di Nganjuk, Jawa Timur, sehari sebelumnya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman meyakini, kombinasi mekanisasi dengan melibatkan tenaga kerja sebagai sarana produksi dapat diterapkan dalam upaya mencapai produktivitas untuk cita-cita swasembada pangan. Itu antara lain yang membuatnya sejak mulai musim tanam Januari 2015 hingga akhir musim hujan Juni ini bisa bertahan memutuskan tidak perlu mengimpor beras.

Ia menyatakan, Nganjuk merupakan kabupaten dengan produktivitas nomor enam tertinggi se-Indonesia.

Mentan menyatakan, saat ini dengan kebijakan Presiden Joko Widodo, pihaknya mendapat alokasi anggaran 100 persen lebih banyak dibandingkan dengan tahun sebelumnya. (ACI/ODY)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150625kompas/#/24/

Rabu, 24 Juni 2015

Jangan Buang, Inilah Khasiat Luar Biasa Biji Kurma

biji-kurmaSaat Ramadhan kurma pasti mudah sekali ditemukan. Mulai dari kurma yang harganya bersahabat dengan saku, hingga yang rasanya dahsyat sesuai dengan harganya yang harus merogoh saku cukup dalam.

Kurma disunnahkan untuk dimakan saat berbuka puasa, kenapa ya? Daging buah kurma berisi gizi yang mudah dicerna dan cepat mengisi ulang energi tubuh.

Karena karakteristik tersebut, kurma sangat cocok untuk mengawali berbuka puasa. Berikut ini khasiat buah kurma:

1. Kaum Arab Badui, yang makan kurma secara teratur, menunjukkan tingkat kejadian yang sangat rendah dari kanker dan penyakit jantung.

2. Buah kurma kaya serat yang mencegah penyerapan kolesterol LDL dalam usus. Kandungan serat kurma juga membantu melindungi selaput lendir usus dengan mengurangi paparan dan mengikat bahan kimia yang menyebabkan kanker usus besar.

3. Sebagai makanan laksatif (laxative food), kurma bermanfaat melancarkan buang air besar dan mencegah konstipasi.

4. Kurma mengandung antioksidan yang dikenal sebagai tanin. Tanin diketahui bersifat anti-infeksi, anti-inflamasi dan anti-hemoragik.

5. Kurma adalah sumber vitamin A, yang dikenal memiliki sifat antioksidan dan sangat penting untuk kesehatan mata. Vitamin A juga diperlukanmenjaga kulit tetap sehat. Konsumsi buah-buahan alami yang kaya akan vitamin A diketahui membantu melindungi dari kanker paru-paru dan rongga mulut.

6. Kurma merupakan sumber zat besi yang sangat baik. Besi adalah komponen dari hemoglobin di dalam sel darah merah yang menentukan daya dukung oksigen darah.

7. Kalium dalam kurma adalah komponen penting dari sel dan cairan tubuh yang membantu mengendalikan denyut jantung dan tekanan darah, sehingga memberikan perlindungan terhadappenyakit jantung koroner dan stroke.

8. Kalsium merupakan mineral penting dalam pembentukan tulang dan gigi, dan dibutuhkan oleh tubuh untuk kontraksi otot, penggumpalan darah dan konduksi impuls saraf.

9. Mangan digunakan oleh tubuh sebagai unsur pendukung untuk enzim antioksidan superoksida dismutase.

10. Tembaga diperlukan dalam produksi sel darah merah.

11. Magnesium sangat penting bagi pertumbuhan tulang.

12. Kurma kaya akan vitamin K dan vitamin B-kompleks, yaitu piridoksin (vitamin B-6), niacin, asam pantotenat dan riboflavin. Vitamin ini membantu tubuh dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Vitamin K sangat penting dalam pembekuan darah dan metabolisme tulang.

Bagaimana hendak memakan biji kurma ini untuk mendapatkan khasiatnya?
khasiat-biji-kurma

khasiat-biji-kurmaPasti anda pernah dengar kopi biji kurma? tidak susah kerana kopi biji kurma ini ada boleh lakukan sendiri di rumah kerana prosesnya begitu mudah. ikuti cara-cara ini:

1. Basuh biji kurma tersebut dan toskan.
2. Ratakan di dalam dulang kemudian jemur seharian di bawah cahaya matahari.
3. Kemudian bila sudah kering, goreng biji kurma tersebut dalam kuali tanpa minyak. Goreng sehingga hangus dan mengeluarkan aroma seperti kopi.
4. Tumbuk atau blender biji kurma berkenaan dan terhasillah serbuk kopi yang sedia dibancuh untuk di minum.

Antara kebaikan dan khasiat kopi biji kurma:

Kopi Biji Kurma

Kopi Biji Kurma
1. Memberi tenaga segera
2. Memulihkan tenaga Syahwat
3. Menyembuhkan kencing manis
4. memberi tenaga kepada lelaki dan wanita
5. Menghilangkan letih dan lesu
6. Menghangatkan badan
7. Mengendorkan saraf yang tegang
8. Menyembuhkan kanser, keputihan, gatal-gatal dan masuk angin
9. Menyembuhkan sakit perut
10. menyegarkan badan/tidak mengantuk
11. Menyembuhkan darah tinggi, kolesterol, strok dan goutt
12. Menyembuhkan sakit kepala/ migrain
13. Melancarkan peredaran darah

Berikut adalah komposisi kimia dan nutrisi dalam biji kurma:
Kelembaban
7.17 – 9 %

Protein
1.82 – 5.2 %

Lemak
6.8 – 9.32 %

Karbohdrat
65.5%

Serat
6.4 – 13.6 %

Abu, Sterol & Estrone
0.89 -1.57 %

Polisakarida Larut Alkali
0.89 – 1.57 %

Minyak Kuning-hijau
6 – 8%

Kandungan Asid Lemak Minyak Kuning-hijau
Lauric, 8%; myrictic, 4%; palmitic, 25%;
Stearic, 10%;oleic, 45%;

Linoleic, 10%; juga terdapat kandungan asid kaprilik & kaprik.
Asid Oksalat
Julat sehingga 56%

Selain itu kopi biji kurma ini bukan sahaja untuk diminum, serbuk biji kurma ini boleh dijadikan scrub untuk melembutkan kulit. Campurkan serbuk kopi biji kurma ini dengan madu sebelum sapukan.

Jika mengalami masalah kulit kepala yang teruk atau rambut gugur, ambil serbuk kopi biji kurma ini campurkan dengan minyak zaitun, amalkan setiap hari sebelum tidur. InsyaAllah hasil yang menakjubkan akan anda perolehi.

Kalau begitu, betul sekali anjuran Nabi Muhammad untuk mengawali berbuka puasa dengan tiga butir kurma! Silahkan sebarkan artikel ini kepada semua temanmu. [HP – Sebarkanlah.com /Islampos, siakapkeli]

http://www.sebarkanlah.com/ramadhan/jangan-buang-inilah-khasiat-luar-biasa-biji-kurma/

Haramnya Raskin 'TMS'

Rabu, 24 Juni 2015

SUNGGUH sebuah pertanyaan mendasar, ketika beras untuk orang miskin (Raskin) yang selama bertahun-tahun dikeluhkan karena tidak memenuhi syarat (TMS) menurut Inpres-inpres tentang Perberasan, ternyata baru kali ini mengundang perhatian Presiden. Dalam rapat terbatas di Istana Negara, Senin sore, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang mengingatkan dengan keras perlunya pembenahan raskin karena kelewat TMS. Dalam arahannya, beliau menyatakan pernah menemukan raskin di lapangan yang sudah menghitam dan berkutu.

Itulah raskin yang lebih sering penyebutannya diplesetkan menjadi beras <I>penguk<P>, beras remuk, beras berkutu (rasnguk, rasmuk, rastu) atau kombinasi dari ketiganya. Sebagian penerima, oleh karena rasa syukurnya menyebut bahwa masih lumayan dapat jatah rasmuk, bukan remukan beras.
Bersyukurnya rumah tangga miskin (RTM) itu telah terwujud dalam nyaris tiadanya <I>claim<P>, protes dan tuntutan dari pihak RTM. Boleh jadi karena harga tebusnya yang hanya Rp 1.600/kg. Atau dalam kultur masyarakat, penerima yang <I>wong cilik<P> cenderung diam dan <I>narima ing pandum<P>, daripada namanya dicoret dari daftar. Bersyukurnya RTM ternyata adalah senjata empuk para pengelola raskin. Dan TMS-nya raskin tetap saja berkepanjangan.

Sementara itu, karena TMS, tidak sedikit yang ditukar dengan beras yang memenuhi syarat (MS), layak pangan dengan harga jual raskin TMS yang bisa mencapai lebih kecil dari separohnya, 50% dari harga beras yang memenuhi syarat minimal sebagai pangan. Dan pasti lebih kecil lagi dari <I>book value<P> raskin sebagaimana teranggarkan dan tercatat dalam angka anggaran Kementerian Sosial sebagai Kuasa Pengguna Anggaran.
Benar bahwa tebusannya hanya Rp 1.600/kg. Tetapi, hak RTM adalah raskin yang harus memenuhi syarat: mutu, catu, waktu, target, harga dan administratif, yang dalam penyelenggaraannya disebut sebagai Enam Tepat (6T). Sebagian dari 6T ini berkenaan dengan sifat beras dengan <I>mutu-catu-waktu<P> yang memenuhi syarat sebagai hak RTM. Sementara secara keseluruhan 6T dimaksud sangat berkenaan dengan sistem keuangan negara.

Lantas apakah makna penyimpangan terhadap hak RTM selama sekian lama? Mudah sekali dihitung, bahwa selama ini hak RTM disunat, terutama dalam hal mutu raskin TMS. Keluhannya ada di mana-mana, sampai dikeluhkan Jokowi. Penyunatan kualitas ini pun luar biasa besarannya ketika diukur dari harga jualnya yang bisa mencapai 50%. Tanpa menyebut siapa yang bertanggung jawab, implikasi dari penyimpangan tersebut tentu manipulatif dan koruptif.

Misteriusnya adalah tiada mencuatnya kasus korupsi dan/atau manipulasi raskin yang bisa mencapai sebesar itu, serta terkesan aman-aman saja. Lebih aneh,  bahkan mencitrakan kebesaran pemerintah sebagai dewa penyelamat yang mencintai rakyat fakir-miskin.
Ternyata penuh manipulasi. Besaran itu pun berdampak sampai ke segala arah. Tidak hanya merampas hak RTM. TMS-nya raskin sekaligus tidak efektif sebagai cara pengendalian stabilitas pasar beras. Cadangan raskin adalah hasil pengadaan beras besar-besaran waktu panen. Ketika raskin tidak dikonsumsi karena TMS, maka akan muncul permintaan tambahan pada tingkat individu dan membuat pasar beras setempat membengkak. Karena semuanya butuh pangan, bukan pakan. Harga beras pun berpotensi meroket gara-gara ada permintaan ganda, <I>doubling demand<P>. Pada gilirannya, inflasi dan instabilitas perekonomian nasional akan menjadi-jadi. Untuk diketahui, rerata kontribusi beras terhadap inflasi pangan selama ini bisa mencapai 20%.

Raskin dengan demikian punya potensi pemenuhan konsumsi, pengendalian inflasi sampai stabilitas perekonomian. Ketika raskin memenuhi syarat, maka tidak butuh impor, tidak sibuk urusan inflasi, dan terjaminlah stabilitas Indonesia. Karenanya, kegusaran Jokowi harus diterjemahkan secara operasional dengan: mengharamkan peredaran raskin TMS. Insya Allah, stabilitas perekonomian akan terjaga.

M Maksum Machfoedz
(Penulis adalah Ketua PBNU, Guru Besar UGM, dan Anggota Pokja Ahli DKP Pusat)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/4066/haramnya-raskin-tms.kr?r=1&width=1366&Height=768

Bulog Pede Punya 4 Juta Ton Beras Tanpa Impor

Selasa, 23 Juni 2015

JAKARTA - ‎Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) optimistis mampu mencapai target beras sebanyak 4 juta ton hingga akhir 2015. Perseroan pelat merah itu bahkan berani menggaransi mampu melakukannya tanpa impor.

Pasalnya, Bulog mendapatkan tambahan stok sebanyak dua juta ton sepanjang Juni hingga Juli. Stok beras tersebut didapat dari serapan sentra beras yang ada di seluruh tanah air.

"Jadi saya yakin sampai akhir tahun bisa dapat stok empat juta ton beras karena petani kita bisa menyediakan beras itu. Jadi enggak perlu impor demi ketahanan pangan kita," ujar Direktur Pelayanan Publik Perum Bulog, Wahyu Suparyono di Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (23/6).

Wahyu juga memastikan stok beras selama enam bulan ke depan tetap aman. Saat ini, Bulog masih memiliki cadangan beras sebanyak 1,4 juta ton. "Itu cukup hingga enam bulan ke depan dengan syarat pengadaan terus berjalan," kata Wahyu. (chi/jpnn)

Selasa, 23 Juni 2015

Stabilisasi Harga Pangan

Selasa, 23 Juni 2015

New England Complex Systems Institute, Cambridge, Amerika Serikat, melakukan studi menarik berkaitan dengan krisis pangan dengan ketidakstabilan politik di Afrika Utara dan Timur Tengah. Secara teori, kerusuhan sosial merupakan refleksi dari berbagai faktor utama, di antaranya kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan sosial.

Ketiga faktor tersebut merupakan buah dari kegagalan sistem politik pemerintah dalam jangka panjang. Berbeda dengan teori tersebut, New England Complex Systems Institute (NECSI) menemukan bahwa kerusuhan sosial terjadi karena kegagalan pemerintah dalam jangka pendek untuk memberikan jaminan keamanan bagi penduduknya, yang dapat berupa proteksi terhadap ancaman dari luar hingga jaminan kecukupan pangan.

Pada tahun 2008 dunia mengalami krisis pangan yang ditandai dengan kenaikan harga jagung, kedelai, beras, dan gandum. Harga pangan meningkat rata-rata 75 persen dibandingkan dengan tahun 2000, beberapa bahkan 200-300 persen. Krisis pangan 2008 menimpa 37 negara berkembang di dunia, termasuk Indonesia. Indonesia kemudian dikeluarkan dari daftar itu karena iklim kemarau basah yang menyelamatkan produksi padi tahun tersebut. Tercatat 60 kerusuhan sosial terjadi di 30 negara di dunia dan 84 orang meninggal.

Pada tahun 2009 kondisi stok pangan dunia pulih dan indeks harga pangan turun drastis dari 220 menjadi 140. Masa bulan madu tersebut tidak berlangsung lama, pada tahun 2010 indeks harga pangan sudah berada di posisi ke-170. Pada tahun tersebut NESCI membuat laporan tentang bahaya krisis pangan dan keterkaitan erat antara harga pangan, kerusuhan sosial, dan instabilitas politik (Lagi dan Bar-Yam, 2010). Dunia membiarkan harga tetap liar dan indeks harga pangan tahun 2011 menorehkan rekor tertinggi sepanjang sejarah, yaitu 230, melampaui titik kritis sebesar 210.

Indeks harga pangan yang tinggi tersebut dengan segera melibas banyak negara berkembang terutama yang sangat tergantung pada impor pangan di Afrika Utara dan Timur Tengah. Banyak rezim dan pemerintahan di wilayah tersebut runtuh. Kejadian itu dikenal dengan istilah Arab Spring (Musim Semi Arab) yang dalam perjalanannya tidak lagi berupa "musim semi", tetapi musim kehancuran politik, ekonomi, kohesi sosial, infrastruktur, dan bahkan hancurnya berbagai peninggalan peradaban manusia yang agung.

Di tahun tersebut dalam tempo yang sangat singkat belasan ribu orang meninggal di Libya dan di negara-negara lain. Pada tahun-tahun berikutnya kekacauan tereskalasi yang menyebabkan ratusan ribu orang meninggal dan jutaan terpaksa meninggalkan negaranya. Kondisi tersebut semakin memburuk dan tidak tersembuhkan sampai saat ini.

Stabilisasi harga

Berkaitan dengan uraian di atas, sangat tepat apa yang disampaikan Presiden Jokowi yang menaruh perhatian khusus terhadap potensi krisis/rawan pangan dan upaya stabilisasi harga pangan. Dua peraturan presiden (perpres) disusun, yaitu Perpres tentang Penetapan Harga dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting serta Perpres tentang Badan Pangan Nasional.

Pada perpres pertama yang telah ditandatangani Presiden Jokowi, pemerintah akan melakukan pengawasan dari produksi, distribusi, hingga di tangan konsumen jenis barang kebutuhan pokok dan barang penting. Jenis barang kebutuhan pokok yang akan diatur adalah beras, kedelai bahan baku tahu dan tempe, cabai, bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, ikan bandeng, ikan kembung, dan ikan tongkol/tuna/cakalang (Setkab, 18/6/2015).

Perpres kedua tentang Badan Pangan Nasional merupakan turunan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pangan yang mengamanatkan pembentukan lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Lembaga tersebut memiliki enam fungsi utama, yaitu fungsi perumusan kebijakan, pelaksanaan dan supervisi, pemantauan dan evaluasi, pengelolaan data dan informasi pangan, serta pembinaan dan pengawasan. Badan Pangan Nasional akan mengoordinasikan aktivitas badan usaha milik pemerintah dari produksi, pengadaan, penyimpanan, distribusi, hingga stabilisasi harga pangan pokok.

Sulit diharapkan bahwa kedua perpres tersebut akan efektif dalam jangka pendek untuk meredam gejala kenaikan harga yang terjadi saat ini ataupun menjelang Lebaran nanti. Dalam jangka panjang, kedua perpres tersebut berpotensi bertabrakan satu sama lain karena mengurus hal yang hampir sama sehingga memicu masalah dalam koordinasi dan tumpang tindih kebijakan antar-kementerian dan lembaga terkait.

Intervensi sektor pangan

Selama 30 tahun terakhir ini, rekomendasi lembaga-lembaga internasional berkaitan dengan kebijakan stabilisasi harga pangan hampir selalu mengacu pada tiga hal: 1) hindari intervensi langsung terhadap pasar melalui integrasi sistem pangan nasional ke sistem pangan global dan liberalisasi pasar, 2) bantu masyarakat kurang mampu melalui jaring pengaman sosial, dan 3) promosikan instrumen manajemen risiko berbasis pasar (Gouel, 2015).

Tiga kaidah tersebut secara masif telah diadopsi pemerintah selama 15 tahun terakhir ini. Melalui adopsi tersebut, dengan cepat peran pemerintah dalam mengatur dan mengendalikan pangan diambil alih oleh kalangan swasta. Semakin lama swasta yang bergerak di sektor pangan semakin besar dan kuat. Importir juga memainkan peran yang semakin lama semakin besar. Hal itu yang menyebabkan terpuruknya sektor pertanian pangan di Indonesia, terjadi fluktuasi harga pangan yang cukup tinggi, dan peningkatan impor pangan sebesar 346 persen selama 10 tahun terakhir ini.

Berbeda dengan saran dan rekomendasi analis kebijakan dan lembaga pangan dunia, negara-negara yang terbukti mampu menjaga stabilitas harga pangan dan pejal terhadap krisis pangan justru yang melakukan intervensi sangat kuat terhadap sektor pangan, stok dan perdagangan pangan, misalnya India dan Tiongkok.

Manmohan Singh awal tahun 2009 berhasil terpilih lagi menjadi perdana menteri India karena kesuksesannya melindungi India dari krisis pangan tahun 2007/2008. Ketika harga beras dunia meningkat 160 persen, harga beras di India hanya meningkat 7,9 persen (Gouel, 2013).

Sejarah kebijakan stabilisasi harga pangan antara India dan Tiongkok dengan Indonesia sangat berbeda. Kedua negara tersebut menjalankan kebijakan stabilisasi harga sudah sangat lama dan secara konsisten dijalankan. India mengawali sejak tahun 1955 dengan mengeluarkan The Essential Commodities Act yang praktis tidak berubah kecuali amandemen kecil terkait dengan jenis dan jumlah barang yang dilindungi. Undang-undang tersebut memberikan dasar hukum yang kuat bagi pemerintah dan sanksi yang tegas bagi yang melanggarnya.

Di Tiongkok pada awalnya pangan pokok hanya boleh dibeli dan dijual oleh pemerintah. Meskipun telah berubah, sektor pangan tetap menjadi salah satu sektor yang secara ketat dikendalikan oleh pemerintah. Dengan demikian, dari sisi legislasi pengendalian harga melalui perpres tidak cukup kuat, apalagi terjadi disharmoni antara satu peraturan dan peraturan lain. Pembentukan kelembagaan pangan yang kuat dengan kewenangan besar jauh lebih penting dari sekadar penerbitan perpres pengendalian harga.

Hal lain yang sangat penting, setiap kebijakan terkait pengendalian harga pangan tidak akan pernah berjalan apabila sisi produksi tidak dibenahi. India mampu melakukan pengendalian harga beras melalui pelarangan ekspor beras non-Basmati sehingga terjadi peningkatan stok domestik. Di Indonesia, stok beras justru terus menurun selama tiga tahun terakhir ini, dari 7,4 juta ton (awal tahun 2013), 6,45 juta ton (2014), menjadi 5,5 juta ton (2015), dan diperkirakan akan menurun lagi sebesar 15 persen pada akhir tahun 2015 (DA Santosa, "Waspada Pangan 2015", Kompas, 10/3/2015).

Selama ini pembenahan sisi produksi selalu top-down dan bersifat charity melalui bagi-bagi pupuk, benih, traktor, pompa air, serta alat dan mesin pertanian (alsintan) lainnya. Kebijakan tersebut terbukti tidak efektif, yang dicirikan dengan stagnasi produksi dan impor yang membesar. Kebijakan perlu fokus ke peningkatan kesejahteraan dan kedaulatan petani. Ketika kesejahteraan petani meningkat, kegairahan bertani dan ketertarikan di dunia pertanian meningkat sehingga produksi secara otomatis meningkat.

Apabila sisi produksi tidak berhasil dibenahi, upaya stabilisasi harga pangan akan jadi "isapan jempol belaka".

DWI ANDREAS SANTOSA GURU BESAR IPB; KETUA UMUM ASOSIASI BANK BENIH DAN TEKNOLOGI TANI INDONESIA (AB2TI)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150623kompas/#/6/

Senin, 22 Juni 2015

Atasi Degradasi Lahan Wujudkan Kedaulatan Pangan

Senin, 22 Juni 2015
   
INILAHCOM, Jakarta - Fenomena degradasi lahan atau berkurangnya luas tanah yang dapat untuk produksi hasil pangan, baik itu dari pertanian maupun perkebunan, tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga telah menjadi sorotan di tingkat global.

Hal itu terindikasi, antara lain dari Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon yang meminta dunia untuk mengatasi permasalahan degradasi lahan dan desertifikasi serta segera menumbuhkan lahan yang subur untuk mengamankan pangan pada masa mendatang.

"Degradasi lahan dan desertifikasi melemahkan hak asasi manusia, dimulai dengan hak atas pangan," kata Sekjen PBB dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (20/6).

Ban Ki-moon mengingatkan bahwa hampir satu miliar orang di seluruh dunia kini kekurangan nutrisi yang cukup. Mereka yang tinggal di daerah yang terdegradasi yang menerima dampak terparah.

Situasi itu, kata dia, bisa diperparah bila degradasi lahan sebagaimana diproyeksikan akan mengurangi 12 persen produksi pangan global pada tahun 2035, serta berdampak pada penurunan sumber air baku. "Dalam jangka waktu 10 tahun, dua dari tiga orang di dunia dapat hidup dalam keadaan yang kekurangan air," katanya.

Sekjen PBB juga mengemukakan bahwa degradasi lahan dan penggunaan tanah yang tidak semestinya juga mengakibatkan pengeluaran seperempat gas rumah kaca di bumi.

Sebagaimana diketahui, perubahan iklim dan penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan, khususunya dalam pertanian, berkontribusi pada menurunnya sumber air baku segar di semua kawasan di dunia sehingga produksi pangan global diproyeksikan menurun 2 persen setiap dekade.

Untuk itu, lanjut dia, dunia juga mesti mengubah haluannya dan mulai mengamankan setiap hektare lahan yang dapat untuk menyediakan makanan dan air baku segar. "Kita mesti menghindari mendegradasi lebih banyak lahan dan pada saat yang bersamaan, merehabilitasi semua lahan yang terdegradasi semampu kita," kata Ban Ki-moon.

Dengan demikian, barulah dunia dinilai dapat membuat langkah cepat untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang merupakan tantangan bagi pembangunan berkelanjutan.

Sebelumnya, Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Putera Parthama mengatakan bahwa penerapan ilmu dan teknologi menjadi solusi untuk pembangunan infrastruktur yang mengedepankan prinsip kelestarian dan ramah lingkungan di sektor kehutanan.

"Tidak ada cara selain penggunaan teknologi untuk tujuan tersebut," kata Putera Parthama melalui keterangan tertulis.

Ia mencontohkan pembangunan terowongan bawah tanah untuk membangun jalan yang menembus kawasan taman nasional bisa dilakukan dengan membangun jalan layang.

Pembangan infrastruktur jalan dengan pola seperti itu, kata dia, bisa melindungi kawasan konservasi dari akses terbuka yang berpotensi memicu perambahan.

Putera mengakui bahwa pembangunan infrastruktur sangat dibutuhkan demi mendukung pembangunan Indonesia. Oleh karena itu, kalaupun pembangunan infrastruktur dengan terpaksa membuka hutan, pembukaan hutan harus seminimal mungkin.

Selain itu, kata dia, investasi kehutanan pada umumnya sudah memenuhi asas kelestarian dalam membangun infrastrukturnya. Industri bubur kayu dan kertas, misalnya, memanfaatkan hutan tanaman dan ikut menjaga keanekaragaman hayati yang ada di konsesinya.

Kritik Pembukaan Lahan Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dalam sejumlah kesempatan juga mengkritik program pembukaan lahan pertanian dalam skala besar seperti yang akan dijalankan pemerintah di kawasan Merauke, Papua, dan daerah lainnya di Republik Indonesia.

"Walhi sangat mengkhawatirkan dinamika yang berkembang dalam agenda pengelolaan sumber daya alam yang akan dijalankan oleh pemerintahan Jokowi-JK, antara lain pembukaan lahan pertanian dalam skala besar, seperti yang akan dijalankan di Merauke Papua dan propinsi lain di Indonesia," kata Direktur Walhi Abetnego Tarigan.

Sebagaimana diketahui, proyek di Merauke yang disebut MIFEE direncanakan seluas 2,5 juta hektare hingga 2030 pada masa Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, dan pada masa Presiden Joko Widodo proyek tersebut dinilai semakin ambisius dengan target pembukaan 1,2 juta hektare hanya dalam jangka waktu tiga tahun.

Walhi menilai bahwa proyek atas nama krisis pangan dan energi global ini, justru membuat rakyat semakin tidak berdaulat memenuhi pangan.

"Selain tidak menjawab problem pangan di Indonesia, kami menilai proyek pangan dan energi besar-besaran di Merauke akan semakin menghancurkan hutan di Papua," katanya.

Ia mengemukakan bahwa perubahan luasan area moratorium di Papua terus terjadi hingga mencapai 101.478 hektar dan penurunan terbesar terjadi pada wilayah hutan primer seluas 407.426 hektar.

Walhi berpandangan proyek tersebut tidak lebih hanya akal-akalan bagi korporasi untuk mendapatkan tanah secara murah melalui modus "Land Banking" (bank tanah).

Kepala Pusat Studi Bencana Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Euis Sunarti menyebutkan alih fungsi lahan pertanian, baik itu kawasan hutan maupun pertanian padi, memicu terjadinya bencana alam yang berdampak pada kerugian masyarakat.

"Alih fungsi lahan pertanian ada kaitannya dengan bencana. Terjadinya penyerobotan lahan pertanian, itu sudah menjadi bencana," katanya di Bogor, Jumat (5/6).

Profesor Euis menyebutkan contoh kasus bencana asap di Provinsi Riau yang disebabkan alih fungsi lahan pertanian (hutan) secara ilegal. Praktik membeli tanah di bawah tangan, membuka lahan dengan cara membakar untuk mengurangi biaya, telah berdampak luas pada masyarakat yang terkena risiko bencana kabut asap.

Ketangguhan Bangsa Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan mengatakan bahwa kedaulatan pangan sebuah negara, baik itu berasal dari darat maupun lautan, merupakan hal yang penting guna menunjang ketangguhan dari bangsa bersangkutan.

"Ketangguhan suatu negara dapat dilihat apakah negara itu mampu berdaulat dalam hal pangan," kata Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (28/5).

Untuk itu, dia menyatakan sedih bila Indonesia hanya menjadi pengimpor beras yang menjadi makanan pokoknya, padahal bangsa ini mampu untuk mewujudkan kedaulatan pangan.

Ia mengemukakan bahwa pihaknya bakal mengeluarkan kebijakan yang mengutamakan terbentuknya ruang-ruang untuk publik, antara lain guna mendukung kedaulatan pangan tersebut.

Kebijakan itu, antara lain dengan menyiapkan regulasi guna melakukan tindakan preventif dalam menanggulangi pembakaran lahan dan menindak perusahaan pembakar lahan.

"Apabila ada perusahaan yang memiliki 40.000 hektare lahan dan mereka membakar 15.000 hektare di antaranya, lahan yang dibakar tersebut akan kami ambil," kata Ferry Mursyidan Baldan saat menghadiri pembahasan mengenai El-Nino serta kebakaran hutan di Gedung Manggala Wanabakti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Rabu (17/6).

Dalam kesempatan tersebut, dia juga meminta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk memberi data curah hujan di Pulau Jawa bagian selatan.

Hal itu, kata dia, untuk mengantisipasi daerah-daerah yang rawan longsor sehingga dapat disiapkan lahan untuk relokasi masyarakat.

Ferry juga meminta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) untuk melakukan "overlay" peta dengan kementerian yang dipimpinnya. "'Overlay' peta tersebut nantinya mencakup tiga hal, yaitu asap, titik api, dan lahan yang bekas terbakar," katanya.

Dengan demikian, diharapkan dapat terwujud upaya mencari penyebab terjadinya kebakaran lahan, dan sekaligus dapat dilanjutkan dengan menata kembali lahan di berbagai daerah guna benar-benar mewujudkan kedaulatan pangan di Tanah Air. [tar]

Sabtu, 20 Juni 2015

Sempat 'Dipreteli' IMF, Bulog Akan Kembali Kendalikan Harga Sembako

Jumat, 19 Juni 2015

Jakarta -Pasca krisis 1998, peran Perum Bulog sebagai stabilisator harga sembilan bahan pokok (sembako) dipreteli oleh International Monetary Fund (IMF), sebagai kreditur utang Indonesia. Sekarang pemerintah Joko Widodo (Jokowi) akan mengembalikan peran Bulog, tak hanya mengendalikan harga beras.

Kepala Staf Kantor Kepresidenan, Luhut Panjaitan mengatakan, fungsi Bulog sebagai stabilisator harga beras saat ini sudah cukup. Saatnya Bulog diberi peran lebih luas lagi untuk menstabilkan harga gula, kedelai, dan bahan pokok lainnya. Rencana ini akan direalisasikan tahun ini.

"Sebenarnya itu instrumen yang bagus yang hanya IMF dulu suruh bubarin. Nah sekarang untuk kembali ke situ lagi membutuhkan proses pengaturan lagi. Butuh waktu," jelas Luhut di kantor Presiden, Jakarta, Jumat (19/6/2015).

Luhut mengatakan pemerintah Jokowi akan memperkuat peran Bulog. Tujuannya, menghindari spekulasi kenaikan harga sembako yang seringkali terjadi di dalam negeri.

"Kamu misalnya mau bikin 200 ribu ton beras, buat saya bunuh saja kamu. Saya sudah kasih harga yang lebih murah ya harga akan habis. Nah Bulog nanti akan melakukan itu, langsung di bawah presiden," tegas Luhut.

Seperti diketahui pada era Orde Baru, Bulog sebagai state trading enterprise (STE) yang dinotifikasi di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Bulog memiliki hak istimewa dengan menjadi pemegang monopoli atas kebutuhan pokok (sembako) di dalam negeri.

Namun semenjak IMF menjadi kreditur utang Indonesia, kewenangan Bulog terpangkas, setelah Letter of Intent (LoI) antara IMF dengan Pemerintah Indonesia 1998 ditandatangani status STE Bulog dihapus. Kewenangan Bulog hanya sebatas beras saja, dalam LoI yang ditandatangani 20 Januari 2000.

(dnl/hen)

http://finance.detik.com/read/2015/06/19/190140/2947389/4/sempat-dipreteli-imf-bulog-akan-kembali-kendalikan-harga-sembako

Kamis, 18 Juni 2015

Reshuffle Fungsi Perum Bulog Dalam Stabilkan Harga

Kamis, 18 Juni 2015

Pada tahun 2003, Presiden Megawati merombak bentuk Bulog dari yang sebelumnya lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) menjadi perum. Presiden Megawati melihat Bulog harus diselamatkan. Apabila tetap sebagai LPND, Bulog hanya menjadi lembaga di tingkat pusat, sedangkan cabangnya di provinsi dan kabupaten diserahkan kepada pemerintah daerah, seperti Badan Koordinasi Keluarga Bencana Nasional (BKKBN). Perum Bulog diberi waktu lima tahun untuk menyiapkan diri menjadi perusahaan yang kegiatannya tidak tergantung dari tugas pemerintah. Namun, sampai detik ini, Perum Bulog kegiatannya masih menggantungkan diri pada tugas-tugas pemerintah. Di lain pihak, kompetitor Bulog bergerak dengan cepat berkembang dan sekarang sudah mulai ”mendikte” pasar. Buktinya, ketika Presiden Jokowi mengeluarkan Inpres No 5 Tahun 2015 dengan menetapkan harga pokok pembelian (HPP) untuk gabah kering panen Rp 3.700 per kilogram, mereka memasang harga di atas Rp 4.000. Ketika pengadaan seret, pemerintah panik dan akhirnya berujung pada penggantian direksi Perum Bulog yang baru bekerja tiga bulan setelah Inpres Perberasan terlambat diteken.

Pada dasarnya fungsi Bulog ada empat macam, yaitu (1) awalnya sebagai penyedia pangan/beras bagi pegawai pemerintah, TNI/Polri, dan buruh perkebunan sejak zaman Belanda sampai tahun 1999; (2) sebagai stabilisator harga sejak 1969 sampai kini; (3) ditambah lagi sebagai stok penyangga yang secara resmi diumumkan mulai tahun 1973 jumlahnya minimal tiga bulan kebutuhan dan lebih diperjelas penganggarannya tahun 1985; (4) sebagai penyedia beras untuk keluarga miskin mulai tahun 1998 sampai sekarang. Keinginan Presiden Jokowi untuk merombak fungsi Bulog mungkin dilatari juga oleh ”aspek lain” setelah melihat Bulog mendapat kesulitan untuk membeli beras dalam negeri dan ”dipermainkan” oleh pasar beras pada Februari 2015. Dengan semakin kompetitifnya pasar gabah/beras di dalam negeri, sebenarnya persoalan jaminan harga untuk petani produsen sudah selesai. Falsafah dasar kerja Bulog the buyer of the last resort atau pembeli terakhir apabila sudah tidak ada pembeli lagi, maka tugas pemerintah selesai. Namun, karena Bulog perlu menjaga stok cadangan minimum dan pemerintah telanjur mengeluarkan pendapat tidak ada impor beras, akhirnya pemerintah bingung sendiri. Bulog pun akhirnya dipaksa membeli 4 juta ton beras walaupun harganya sudah tak cocok lagi. Sebenarnya keadaan Bulog yang sulit membeli gabah/beras sudah dirasakan sejak tahun 2005. Ketika itu harga beras mulai terus-menerus bergerak naik. Karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kurun 2004-2009 menaikkan HPP rata-rata 15 persen per tahun. Saat ini harga beras di Indonesia sudah dua kali harga beras di Bangkok dan 2,5 kali harga beras di Vietnam, sedangkan subsidi sektor pertanian per hektar juga sudah melebihi negara maju. Tragisnya lagi, semua itu tidak dirasakan oleh petani.

Bagaimana keluar dari karut-marut keadaan ini? Pertama, fungsi Bulog untuk menjaga harga di tingkat petani sudah tidak relevan lagi, dan juga harga berasnya sendiri di dalam negeri sudah demikian tinggi. Daripada membatasi gerak Perum Bulog untuk membeli gabah/beras, maka mulai sekarang diumumkan tidak ada inpres perberasan lagi. Bulog dibiarkan bertarung di pasar sehingga akan diketahui harga pokok secara riil. Misalnya nanti harga pokok Bulog Rp 10.000 per kilogram dan kemampuan pemerintah memberikan subsidi untuk raskin dan operasi pasar hanya Rp 5.000, maka harga jual Bulog adalah selisihnya. Oleh karena Bulog merupakan pembeli terbesar, agar tak terjadi eskalasi kenaikan harga, maka diberikan panduan kapan Bulog berhenti membeli gabah/beras, misalnya kenaikan harga eceran tidak boleh lebih dari 20 persen dari rata-rata harga yang lalu.

Kedua, Bulog diberi otoritas penuh untuk menentukan besaran impor dan kapan harus impor, di mana ini sudah barang tentu atas keputusan presiden. Penentuan kebutuhan impor tidak perlu melibatkan kementerian pertanian yang sudah pasti pendapatnya bias. Termasuk penentuan impor beras kualitas khusus hanya melalui Bulog, walaupun nanti izinnya dari menteri perdagangan. Yang diperbolehkan berbicara soal impor beras hanya Presiden. Masalah seperti ini pasti banyak yang tidak sepakat, tetapi jika mau efektif mengendalikan beras, sistemnya harus seperti itu. Ketiga, Bulog diberi kewenangan penuh untuk melakukan operasi pasar beras, tidak harus melibatkan kementerian perdagangan dan pemerintah daerah. Sistem seperti yang ada selama ini tidak efektif menekan harga, terlalu banyak birokrasi dan wacana. Cara ini pun pasti tidak disenangi oleh kementerian perdagangan dan pemerintah daerah. Sekali lagi yang dihadapi adalah pasar dengan perilaku yang selalu mengambil keuntungan di antara keruwetan. Untuk itu pemerintah harus mempunyai kriteria yang jelas kapan Bulog harus melakukan operasi pasar, misalnya kalau harga sudah naik 20 persen.

Keempat, agar tugas Perum Bulog efektif dan tidak terlalu menabrak kesepakatan antara regulator dan operator, jabatan direktur Perum Bulog dirangkap badan yang mengurus cadangan pangan. Sebenarnya, sesuai dengan UU Pangan No 18 Tahun 2102, belum terdapat lembaga yang menangani masalah cadangan pangan, diversifikasi pangan, dan pembinaan pola kebiasaan makan. Oleh karena itu, agar lebih fokus, disarankan dibentuk Badan Koordinasi Cadangan Pangan yang tugasnya mengoordinasikan cadangan pangan pemerintah dan membina cadangan pangan masyarakat, termasuk memantau cadangan pangan masyarakat. Apabila Kepala Badan Koordinasi Cadangan Pangan merangkap jabatan sebagai Dirut Perum Bulog (dua tangan satu kepala), maka fungsinya mirip Bulog pada zaman Soeharto yang kuat dan dapat bertindak cepat. Sesuai dengan UU Pangan yang baru, diamanatkan untuk membentuk lembaga pangan. Namun, berdasarkan pengalaman, badan baru pangan selalu menimbulkan friksi dengan Bulog, belum lagi friksi dengan kementerian yang lain. Sesuatu yang ideal belum tentu dapat berjalan dengan baik. Fungsi ”baru” Bulog yang kelima adalah sebagai ”penyeimbang” swasta, seperti dilakukan Conasupo (Bulog-nya Meksiko) tahun 1980-an, yaitu sebagai countervailing agent menghadapi kuatnya swasta. Kalau hanya menambah komoditas atau mengganti direksi tanpa otoritas, dipastikan tidak akan efektif. Fungsi baru Perum Bulog memerlukan penguasaan stok yang lebih besar, dan mendapat prioritas dalam impor. Semoga perombakan perum Bulog dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan membantu pemerintah meringankan tugasnya dalam memajukan perekonomian di tanah air.

http://www.kompasiana.com/agusbagoes/reshuffle-fungsi-perum-bulog-dalam-stabilkan-harga_55821a0fb77a617e12a3f787

Revitalisasi Bulog

Rabu, 17 Juni 2015

Apabila kita mengingat petuah Mahatma Gandhi, “Bagi yang sangat kelaparan, kadang makanan itu adalah Tuhan. Maka Negara harus memastikan tak ada warganya yang sampai men-Tuhan-kan makanan karena saking laparnya.” Jelas, petuah Gandhi itu mengingatkan kita tentang hak asasi rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara, yakni terbebasnya rakyat dari ancaman kelaparan. Deklarasi Roma 2009 dan konstitusi negara kita, pun memuat substansi yang sama.

Namun menjamin pemenuhan hak dasar tersebut bukan perkara mudah. Ketersediaan maupun aksesibilitas rakyat dalam menjangkau kebutuhan pangannya, masih menjadi tantangan besar untuk memenuhinya. Apalagi FAO, organisasi pangan dunia, belum lama mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa masih ada 19,4 juta penduduk Indonesia yang kelaparan setiap hari.

Baca juga:

Persoalan di sisi produksi kian terasa dengan berlakunya kebijakan yang semakin liberal. Hampir semua komoditas impor marak menghiasi pasar di seantero negeri. Liberalisasi membuat produsen atau petani lokal yang skala usaha taninya kecil tidak berdaya menahan gempuran komoditas impor.

Daya saing komoditas pangan kita sangat rendah, karena skala usaha petani kita sangat kecil dimana kepemilikan lahan berkisar 0,3 ha per petani. Bandingkan dengan negara-negara maju yang kepemilikan lahannya sampai 50 ha per kapita. Semakin besar hamparan lahan semakin efisien dan ekonomis usaha tani yang dilakukan, karena biaya satuan produksinya lebih kecil.

Baca juga:

Persoalan pada sisi konsumsi, ditandai dengan daya beli masyarakat yang masih sangat rendah, sehingga sangat sensitif dan rentan terhadap fluktuasi harga. Skala pasar yang luas dan kondisi yang belum sempurna, sangat memungkin banyak pihak ‘bermain” dalam spekulasi harga. Kartel-kartel pada komoditas pangan yang bermodal besar dan akses yang kuat sangat mampu mengatur harga.

Bulog harusnya dapat berperan dengan menjaga harga di tingkat petani pada tingkat harga yang wajar, sehingga memberikan jaminan harga dan pasar bagi petani, Serapan Bulog terhadap produksi dalam negeri merangsang petani untuk memproduksi pangan pokok dengan produktifitas yang lebih tinggi, sehingga dapat mengurangi ketergantungan supply beras dari luar negeri.

Baca juga:

Efektivitas Bulog menghimpun produksi para petani tersebut juga memberikan jaminan ketersediaan pangan dan stabilisasi harga di tingkat konsumen. Penguasaan stok pangan yang cukup akan sangat berpengaruh dalam pencegahan gejolak harga dan permainan para spekulan. Berbagai program proteksi seperti Operasi Pasar dan Raskin, sangat efektif sebagai alat stabilisasi harga beras di tingkat konsumen Sehingga kelompok masyarakat miskin dapat terlindungi dari tekanan harga yang semakin mengurangi daya beli mereka.

Baca juga:

Seringkali terjadi, manakala Pemerintah menargetkan kepada Perum Bulog untuk mencapai angka volume pengadaan dari dalam negeri agar tidak perlu ada tambahan impor, maka berbagai filter yang menjaga standar kualitas beras pengadaan akan mengendor karena adanya tekanan sedemikian kuat. Bilamana hal itu terjadi, maka Perum Bulog akan menanggung akibat dalam kualitas berasnya ketika dilakukan penyaluran kepada target konsumen.

Karena itu, kebijakan pengadaan selayaknya diberikan kelenturan-kelenturan yang dapat mengakomodir aspek kuantitas yang menjadi target pemerintah, tapi juga sekaligus memuat aspek kualitas yang dibutuhkan oleh konsumen yang akan dilayani oleh Perum Bulog. Karena sejak pengebirian peran Bulog dalam mengelola beberapa komoditas pangan oleh IMF (1998), belum ada kebijakan yang signifikan mengembalikan peran tersebut. Kini saatnya manajemen Bulog direvitalisasi untuk mengamankan harga pangan di negeri ini.

http://www.neraca.co.id/article/55104/revitalisasi-bulog

Rabu, 17 Juni 2015

Kinerja Bulog Dipertanyakan

Rabu,17 Juni 2015

Beras Miskin Kian Ditolak

PURWOREJO – Maraknya penolakan raskin oleh masyarakat akhir-akhir ini menandakan rendahnya kinerja Perum Bulog dalam mengemban tugas yang diamanatkan pemerintah. Penolakan beras untuk warga miskin (raskin) tidak hanya terjadi di Purworejo, tapi di banyak kabupaten lain.

Jeleknya kualitas raskin yang diterima masyarakat menjadi cerita berseri yang terjadi setiap tahun. Beras apek, warnanya kuning, banyak butir patah, beratnya tidak sesuai dan berkutu akrab terdengar ketika pembagian raskin ke masyarakat.

Demikian ditegaskan Wakil Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Purworejo, Ngadianto melalui siaran persnya, kemarin. Dikatakan, persoalan itu kerap ditanggapi secara klise oleh Perum Bulog. Yakni, buruk kualitas raskin itu disebabkan lamanya beras disimpan, sehingga terjadi penurunan kualitas, dan terjadi penyusutan terhadap berat beras dalam kemasan.

Padahal, lanjut dia, sesuai dengan Inpres Nomor 5 Tahun 2015 jelas tersurat dan tersirat tentang kualitas beras untuk masyarakat berpenghasilan rendah, yaitu kadar air (KA) maksimum 14 persen, butir patah maksimum 20 persen, kadar menir maksimum 2 persen, dan derajat sosoh minimal 95 persen.

Jika beras hasil penyerapan Bulog sesuai persyaratan itu, dapat dipastikan penurunan kualitas dapat diminimalisasi. Dengan memenuhi persyaratan itu, maka umur simpan dan kualitas beras dapat bertahan lebih lama. “Ketika terjadi penurunan kualitas, beras masih sangat layak dikonsumsi,” katanya, Selasa (16/6).

Tindak Pidana

Dia menjelaskan, beras berbau apek, bahkan berkutu patut diduga adanya ketidakakuratan dalam proses pengadaan atau penyerapan beras, dan dicurigai banyak beras yang tidak memenuhi syarat (TMS).

Padahal ketika proses pengadaan beras, Bulog sudah melakukan uji kualitas terhadap beras atau gabah yang akan dibeli dari mitra atau Satgas yang telah ditunjuk. “Bahkan, di beberapa gudang Bulog, sudah ada Unit Pengolahan Gabah/Beras (UPGB). Beras atau gabah yang tidak memenuhi syarat (TMS) dapat diolah, sehingga kualitasnya dapat memenuhi persyaratan,” jelasnya.

Dia mencontohkan, kasus raskin berkualitas rendah di Bojonegoro, Jawa Timur menunjukkan rendahnya kinerja Perum Bulog dalam mengemban amanah yang dibebankan pemerintah. Bahkan, di Bojonegoro rendahnya kualitas raskin kini sudah ditangani pihak berwajib masuk dalam kasus tindak pidana korupsi.

Dampak dari rendahnya kinerja Bulog Subdivre V Kedu, khususnya di gudang 505, dapat dilihat dari jumlah penyerapan yang dilakukan ketika musim panen tiba. Rendahnya penyerapan mengakibatkan tipisnya stok beras atau gabah di gudang Bulog 505 Butuh, sehingga terjadi moving atau pemindahan stok dari subdivre lain di luar Subdivre V Kedu. Beras yang dipindah ternyata kualitas di bawah standar.(K42-32)

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/kinerja-bulog-dipertanyakan/



Selasa, 16 Juni 2015

Merombak Bulog

Selasa,  16 Juni 2015



Negeri ini pernah memiliki sejarah gemilang dalam stabilisasi harga kebutuhan pokok. Kegemilangan itu dicapai melalui pergulatan ekonomi-politik panjang.

Catatan penting dari prestasi itu adalah adanya sejumlah instrumen penting yang memungkinkan stabilisasi dilakukan. Berbekal berbagai instrumen, termasuk pendanaan berbunga rendah yang seolah-olah tidak terbatas melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia, monopoli komoditas strategis (beras, gula, kedelai, minyak goreng, dan terigu) dan captive market (PNS+TNI), Bulog sebagai pengembang stabilisasi benarbenar berfungsi powerfull.

Posisinya yang langsung di bawah presiden menggunting birokrasi panjang dan berbelit. Dua mandat penting Bulog dari pemerintah adalah pengamanan harga dasar gabah (HDG) dan pengelolaan cadangan pangan pemerintah. Menurut penelitian David Dev (1999), selama 20 tahun (1973-1997) hanya 10 kali dalam 240 bulan (4%) harga gabah jatuh di bawah HDG. Sementara di Filipina, jumlahnya mencapai 72 kali dalam 279 bulan (26%).

Keberhasilan fungsi stabilisasi harga dan menjagastokpenyanggapangan tidak cuma ditentukan oleh ketepatan waktu pembelian, penguasaan stok, dan pelepasan stok pada saat yang tepat, tapi juga bergantung pada ketersediaan dana di Bulog (KLBI). Namun, karena bersifat birokratis dan disorganized, segala aktivitas Bulog lebih banyak pertimbangan politis (ketimbang bisnis).

Posisinya yang banci ketika berstatus lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) menjadi sumber dari segala sumber terjadinya kasus nonbujeter Bulog yang sering menjadi pemicu keguncangan politik di Indonesia seperti pemakzulan Presiden Gus Dur, diseretnya Akbar Tandjung ke meja hijau, dan dikirimnya Beddu Amang, Rahardi Ramelan, dan Sapuan ke penjara. Sampailah Indonesia jadi pasien IMF, setelah krisis menerjang negeri ini. Lewat letter of intent (LoI), September 1998, telah terjadi penggerusan habis-habisan terhadap bisnis dan berbagai privilese Bulog.

Sejak itu pasar Indonesia diserbu beras impor sampai 7,1 juta ton. Pasar domestik juga dibanjiri gula dan buah-buahan Thailand, paha ayam dan kedelai transgenik AS, dan daging sapi Australia. Puncaknya, Mei 2003 Bulog harus berubah status dari LPND menjadi perum yang harus untung. Merasa bersalah, berbagai koreksi dilakukan pemerintah. Salah satunya setelah status Bulog sebagai state trading enterprise (STE) di WTO dicabut pada 1998, pada 2002 dinotifikasi kembali.

Pemerintah memberi hak khusus ke Bulog yakni “undertakes the government mandate to import and distribute rice, and maintain national rice reserve stock for price stabilization and for emergency purposes.” Ini terkait pengadaan beras dalam negeri untuk mengamankan harga pembelian pemerintah (HPP), penyaluran Raskin, cadangan beras nasional dari kredit komersial yang dijamin pemerintah, dan mengelola impor beras G to G, counter trade,danfood aid. Ada perbedaan mendasar antara STE saat ini dan dulu.

Perbedaan itu menyangkut dua hal: dulu banyak komoditas dan monopoli impor, kini hanya pada beras dan tak monopoli. Monopoli impor beras diberikan Agustus 2007. Meskipun status STE sudah kembali, kinerja Bulog masih mengecewakan. Misalnya, pada 2014 pengadaan Bulog hanya tercapai 2,4 dari target 3 juta ton setara beras. Padahal, untuk Raskin bantuan bencana dan operasi pasar dibutuhkan 3 juta ton beras. Karena cadangan tipis, ketika spekulan bermain, Bulog tak berdaya. Inilah yang membuat harga beras naik gilagilaan akhir 2014 dan awal 2015.

Ini terjadi karena Bulog tidak didukung pendanaan memadai. Saat ini Bulog beroperasi menggunakan kredit komersial. Padahal, merujuk UU No 18/2012 tentang Pangan, tugas-tugas sosial yang diemban Bulog saat ini adalah tugas pemerintah. Ketika tugas itu diserahkan ke Bulog, segala konsekuensi yang timbul dari tugas sosial harus ditanggung pemerintah, termasuk dana.


*** Kini gejolak harga kebutuhan pokok jadi rutinitas. Masalah itu telah menggerus sumber daya yang besar. Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya yang cukup besar untuk mengatasi masalah-masalah rutin yang sebetulnya bisa diselesaikan. Tidak ingin itu berulang, Presiden Jokowi berniat merombak Bulog. Ini dilakukan dengan mengganti direksi Bulog yang baru menjabat 4-5 bulan.

Dua kebijakan diambil mengiringi langkah itu. Pertama, menugasi Bulog menangani sejumlah komoditas kebutuhan pokok, tidak hanya beras. Kedua, membebaskan Bulog dari misi mencari keuntungan (profit oriented). Harus diakui, selama ini pemerintah tak berdaya mengendalikan harga kebutuhan pokok, apakah itu beras, kedelai, gula, minyak goreng, dan komoditas hortikultura. Itu terjadi karena kita tidak memiliki instrumen pengendali harga. Akibatnya, kenaikan harga selalu berulang.

Penyebab instabilitas harga pokok, terutama pangan, bersifat struktural. Pertama, dominasi orientasi pasar kebijakan pangan. Hampir semua komoditas pangan, kecuali beras, diserahkan pada mekanisme pasar. Kedua, konsentrasi distribusi sejumlah komoditas pangan penting di tangan segelintir pelaku. Orientasi pasar membuat swasta leluasa mengambil alih kendali tata niaga.

Jalur distribusi yang konsentris dan oligopolis ini terjadi pada dua sumber pasokan pangan: produksi domestik dan impor. Ketiga, instrumen stabilisasi terbatas. Sejak Bulog menjadi perum, praktis kita tak memiliki badan penyangga yang berkekuatan besar menstabilkan pasokan dan harga pangan.

Kini Bulog hanya mengurus beras. Itu pun dengan kapasitas terbatas. Keempat, absennya kelembagaan pangan. Sejak menteri negara urusan pangan dibubarkan pada 1999, tidak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan, dan mengarahkan pembangunan pangan. Pasal 126-129 UU No 18/2012 tentang Pangan yang mewajibkan pembentukan lembaga pangan sampai saat ini belum ditunaikan.

*** Langkah memberi kewenangan Bulog mengelola kebutuhan pokok di luar beras bisa dimaknai sebagai upaya pemerintah untuk mengembalikan fungsi negara sebagai pelindung rakyat dari instabilitas harga agar hak atas pangan terpenuhi. Agar efektif, penugasan itu harus dibarengi instrumen yang komplet: penetapan harga, cadangan, pengaturan ekspor- impor.

Perpres yang akan mengatur stabilisasi harga kebutuhan pokok yang diinisiasi Kementerian Perdagangan merupakan bagian penting dari langkah ini. Membebaskan Bulog dari misi profit oriented merupakan langkah penting untuk membebaskan perbenturan kepentingan klasik antara tugas sosial dan komersial. Sebagai perum, salah satu tugas direksi Bulog adalah mencari laba sehingga bisa menyetorkan keuntungan pada negara. Jika merugi, direksi bisa dipecat setiap saat karena dianggap tidak perform.

Padahal, saat melaksanakan tugastugas sosial seperti menyerap gabah/beras domestik, mengelola cadangan beras pemerintah, dan mengelola Raskin, Bulog potensial merugi. Perubahan misi ini sekaligus memperjelas kelamin Bulog.


Khudori
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Penulis Buku “Ironi Negeri Beras”, Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)


(ars)
http://nasional.sindonews.com/read/1013042/18/merombak-bulog-1434420474/