Jumat, 31 Juli 2015

Bangsa Indonesia diharap perbaiki kedaulatan pangan dan energi

Kamis, 30 Juli 2015

 "Untuk memperbaiki kedaulan pangan dan energi perlu meningkatkan produksi dan distribusi sehingga dapat dengan mudah diperoleh masyarakat,"

Palembang (ANTARA News) - Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menyatakan bangsa ini perlu memperbaiki kedaulatan pangan dan energi agar bisa lebih kuat menghadapi permasalahan ekonomi global.

"Untuk memperbaiki kedaulan pangan dan energi perlu meningkatkan produksi dan distribusi sehingga dapat dengan mudah diperoleh masyarakat," kata Agus Martowardojo pada acara Seminar Nasional dan Diseminasi Laporan Perekonomian Indonesia 2014 "Memperkuat Modal Dasar Konektivitas" di Palembang, Kamis.

Menurut dia, untuk memperbaiki kedaulatan pangan dan energi terdapat cukup banyak kendala, namun dapat diatasi dengan visi yang kuat dan aktivitas yang fokus.

Sebagai gambaran untuk memperbaiki kedaulatan pangan, pada musim kemarau 2015 ini terdapat kendala cuaca karena ada fenomena Elnino atau peningkatan temperatur permukaan laut di Samudera Pasifik.

Biasanya dampak dari fenomena Elnino yakni kurangnya curah hujan, kondisi ini dapat menimbulkan ancaman kekeringan pada lahan pertanian tanaman pangan dan mempengaruhi produksi yang pada akhirnya dapat memicu naiknya harga pangan.

Fenomena Elnino itu perlu diatasi dengan tindakan yang tepat seperti tersedianya sarana pengairan yang baik yang saat ini gencar disiapkan pemerintah sehingga dapat dihindari gagal panen karena lahan mengalami kekeringan.

Begitu pula dengan kedaulatan energi, dalam kondisi sekarang ini bisa diperbaiki dengan menyiapkan dan mengembangkan energi alternatif sehingga tidak tergantung dengan bahan bakar gas dan minyak yang merupakan sumber daya alam yang terbatas.

Sumber energi bahan bakar gas dan minyak produksinya akan menurun dan harganya akan terus mengalami peningkatan sehingga dapat mempengaruhi distribusi dan tingkat konsumsi masyarakat.

Dengan langkah memperbaiki kedaulatan energi, ketergantungan masyarakat terhadap sumber energi yang terbatas secara bertahap berkurang dan mendorong masyarakat untuk kreatif membangun energi alternatif, kata Agus.

(T.Y009/S025)

http://www.antaranews.com/berita/509735/bangsa-indonesia-diharap-perbaiki-kedaulatan-pangan-dan-energi

4126 Hektare Lahan di NTB Kekeringan

Kamis, 30 Juli 2015

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Dinas Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Barat mengungkapkan hingga 27 Juli terdapat sekitar 4126 hektare (ha) lahan pertanian yang terkena dampak kekeringan. Sekitar 2000 ha lebih lahan terkena dampak ringan, 400 ha lahan terkena sedang dan 200 Ha lahan mengalami kekeringan berat dan 153 ha lahan terkena Fuso.

Kepala Dinas Pertanian NTB, Husnul Fauzi mengatakan kondisi lahan pertanian yang terkena dampak kekeringan hingga saat ini relatif masih rendah dibandingkan tahun 2014 kemarin. Dimana, lahan yang terkena dampak mencapai 18 ribu ha dengan lahan yang terkena fuso mencapai 4300 ha diantaranya Palawija. Serta padi yang mencapai 3200 ha.

“Saya tidak mengkhawatirkan akan berdampak dan mempengaruhi kepada produksi sebab sampai saat ini produksi padi naik mencapai 6,29 persen melebihi 2014. Selain itu, dampak kekeringan belum berpengaruh signifikan,” ujarnya kepada wartawan di Kota Mataram, Kamis (30/7).

Menurutnya,  saat ini tanaman Palawija belum terkena dampak kekeringan, namun sekitar 13 ha lahan jagung terkena dampak. Selain itu, terdapat lahan yang terkena fuso sekitar 14 ha di sekitar area Bandara Internasional Lombok (BIL).

Ia menuturkan, penanggulangan terhadap dampak kekeringan yang dilakukan Dinas Pertanian adalah dengan menyebarkan 135 pompa ke semua kabupaten, mengecek jaringan irigasi yang bocor dengan memberikan bantuan melalui APBD Perubahan. Selain itu, kementerian mengusulkan agar cekungan yang berpotensi menjadi embung agar diusulkan pada anggaran tahun depan.

Husnul menambahkan Menteri Pertanian akan meninjau kawasan yang terkena dampak kekeringan di sekitar wilayah Bil, Jumat (31/7) yang mencapai 14 ha. Serta di wilayah Sumbawa. Dirinya pun mengungkapkan pihaknya bekerjasama dengan Bakorluh yang merekrut 100 lebih mahasiswa untuk antisipasi dampak kekeringan, pendamping yang berasal dari dosen dan Korem.

Dirinya mengimbau kepada masyarakat agar mengikut saran Dinas terkait lahan yang tidak direkomendasikan untuk ditempati dan ditanami padi. Dengan gejala, lahan pertanian tersebut kekurangan air. Ia mengaku bagi lahan-lahan yang mengalami fuso maka Kementerian Pertanian akan mengganti dengan cadangan nasional.

“Sekarang berapapun jumlahnya fuso akan dimintai kementerian diganti cadangan nasional,” ungkapnya.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/07/30/nsb73k349-4126-hektare-lahan-di-ntb-kekeringan

Kamis, 30 Juli 2015

El Nino, Sofyan Djalil Pastikan Stok Beras Aman November

Kamis, 30 Juli 2015

Stok pangan November sampai Februari 3,5 juta ton.

VIVA.co.id - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil memastikan bahwa cadangan beras masih aman hingga bulan oktober 2015. Hal itu, menanggapi dampak El Nino, atau musim kemarau yang diprediksi terjadi hingga akhir tahun,
Namun, diutarakannya jika cadangan beras tidak lagi mencukupi, impor pun bukan tidak mungkin akan dilakukan.

"Kami lihat sampai Agustus-September ini, berapa pengumpulan beras oleh Bulog (Badan Urusan Logistik). Kalau bisa beli beras dalam negeri, kami beli dalam negeri. Kalau perlu diimpor ya mungkin, tetapi September-Oktober ini masih aman," ujar Sofyan di Kantornya, Kamis 30 Juli 2015.

Sofyan menuturkan bahwa pihaknya telah memprediksi tidak akan terjadi musim panen pada akhir tahun ini. Karena itu, kementerian akan memastikan stok beras untuk mencukupi kebutuhan.

"Yang penting akhir tahun, karena November ke Februari tidak ada panen. Biasanya, kami stok pangan sampai 3,5 juta ton, kami lihat saja nanti," Kata Sofyan.

Sofyan mengatakan bahwa bencana memang akhir-akhir ini banyak terjadi di Indonesia. Namun, dia melihat hal itu tidak akan berpengaruh kepada persediaan pangan nasional.

"Gempa kelihatannya tidak banyak berpengaruh. Kalau erupsi hanya di beberapa daerah saja. Yang berat, ya El Nino ini. Kekeringan sudah terjadi di beberapa daerah. (Produksi) Tebu tidak ada masalah, karena musim panen. Tapi kalau padi baru ditanam sekarang memang agak sulit, tetapi sampai Oktober stok beras aman," tutur Sofyan. (asp)

http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/655331-el-nino--sofyan-djalil-pastikan-stok-beras-aman-november

Kekeringan dan Konsolidasi Kelembagaan

Kamis, 30 Juli 2015

Khudori, Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat dan pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

MENURUT Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, topan El Nino diperkirakan akan kembali terjadi tahun ini.

El Nino moderat diperkirakan berlangsung hingga November 2015.

Sejumlah daerah, seperti Sumatra Selatan, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara, berpotensi terkena dampak badai tersebut.

Meskipun itu belum mencapai puncak, sejumlah daerah sudah mengalami puso.

Tanpa antisipasi yang memadai, ritual tahunan kekeringan akibat El Nino akan selalu berulang.

Ketika musim itu tiba, waduk, bendungan, dan jaringan irigasi mengering. El Nino akan memperparah kekeringan.

Waduk-waduk besar di Jawa--Jatiluhur, Kedungombo, Gajah Mungkur, dan Bengawan Solo--yang kondisinya kritis akan semakin kritis.

Masalah makin runyam karena infrastruktur irigasi banyak rusak: sekitar 51% jaringan irigasi rusak.

Tanpa infrastruktur irigasi yang baik, petani akan kesulitan mendapatkan air.

Hal itu dikhawatirkan berdampak pada produksi pangan utama.

Di berbagai daerah, kekeringan telah menampakkan sosoknya, yang ditandai kritisnya pembangkit listrik tenaga air, sawah puso, debit air sungai menipis, dan krisis air minum.

Setelah itu, serial akan berganti dengan rentetan paceklik, rawan pangan, dan busung lapar.

Dari tahun ke tahun, serial tersebut ditandai durasi, frekuensi, dan cakupan wilayah kekeringan, serta besarnya kerugian dan jumlah korban yang kian meningkat.

Sayangnya, serial itu bukanlah sinetron melankolis yang enak dinikmati dan ditonton.

Ironisnya, perhatian dan antisipasi selama ini tidak proporsional.

Penyelesaian kekeringan selalu bersifat reaktif, temporer, ad hoc, parsial, dan berorientasi proyek.

Pendekatan penanggulangan kekeringan tidak berubah dari waktu ke waktu: pemberian air bersih, bantuan pupuk, pompa, benih, pengadaan traktor, program padat karya, dan rehabilitasi sarana irigasi, seolah-olah masalah tidak pernah berubah.

Indonesia dengan rata-rata hujan tahunan 2.779 mm termasuk negara nomor lima yang kaya air di dunia.

Namun, ketersediaan air yang besar tidak jadi berkah.

Bila musim hujan air berubah jadi banjir, sedangkan di musim kemarau air berubah jadi monster kekeringan.

Masalahnya terletak pada ketidakmerataan alokasi air sepanjang tahun.

Hal itu disebabkan 1.832 mm (66%) dari 2.779 mm air hujan berubah jadi air limpasan permukaan (run off), yang tidak termanfaatkan dan menjadi mesin penggerus tanah subur (top soil).

Bagi pertanian, tanpa penyelesaian memadai, dampak kekeringan akan berlipat ganda, mulai penurunan luas tanam, luas panen, produktivitas sampai kualitas hasil, kebakaran hutan dan lahan, hingga meningkatnya beban perempuan.

Salah satu persoalan yang menuntut penyelesaian segera ialah konsolidasi kelembagaan pengelola air.

Di Forum Air Dunia ke-2 di Den Haag, Belanda, Maret 2000, ada kesepakatan untuk mewujudkan ketahanan air dengan prinsip dasar pengelolaan sumber daya air secara terpadu.

Intinya, keberadaan air tidak saja dipengaruhi kondisi geografis, tapi juga topografi dan geologi.

Konsep itu memandang karakteristik air memiliki keterkaitan: antara daerah hulu dan hilir, kuantitas dengan kualitas, dalam aliran dan di luar aliran, antara masa sekarang dan masa mendatang.

Batas-batas hidrologis tidak sama dengan batas-batas administratif.

Pengelolaan air harus mempertimbangkan satu kesatuan hidrologis sebagai satu kesatuan wilayah pengelolaan.

Prinsipnya ialah satu sungai, satu perencanaan, dan satu pengelolaan terpadu.

Sebagai penanda tangan kesepakatan, Indonesia telah mengeluarkan Keppres No 123/2001 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air yang diketuai menko perekonomian dengan ketua harian menteri PU.

Lalu, 10 Desember 2001 dibentuk Sekretariat Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air yang mengemban tugas Kebijakan Nasional Sumber Daya Air yang ditetapkan.

Visinya mulia, 'Terwujudnya kemanfaatan sumber daya air bagi kesejahteraan seluruh rakyat'.

Dengan visi tersebut, air tidak cuma dikelola secara efisien, adil, terpadu, dan berkelanjutan, tapi juga memberdayakan warga pemakainya.

Namun, sejauh ini visi itu hanya ada di atas kertas.

Konsolidasi kelembagaan sesuai dengan prinsip ketahanan air masih jauh dari kata berhasil.

Sumber informasi air masih dipegang BMKG, penyedia, dan pengelola sarana dan prasarana ada di Kementerian PU, izin pemberian usaha yang memanfaatkan dan memengaruhi kualitas air berada di Kementerian Perindustrian, sedangkan monitoring dan evaluasi kualitas air ditangani Kementerian Lingkungan Hidup.

Kementan sebagai wakil konsumen terbesar selalu kebagian masalah air: banjir dan kekeringan.

Ketika kewenangan pengelolaan sumber daya air diserahkan ke daerah, akibat euforia otonomi daerah, terjadilah pengaplingan infrastruktur irigasi berdasarkan wilayah administrasi.

Petani dekat saluran induk (hulu) terjamin pasokan airnya, sebaliknya yang jauh dari saluran induk (hilir) akan menjerit.

Konsolidasi kelembagaan mendesak dirakit. Jika konsolidasi kelembagaan tidak kunjung berhasil, hal itu menjadi ancaman serius ketahanan pangan nasional, sebab 80% produksi padi ditumpukan di sawah beririgasi.

Konsolidasi kelembagaan dilakukan dengan memasukkan Ditjen Sumber Daya Air di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ke Kementerian Pertanian.

Argumennya: pengguna air terbesar ialah pertanian sehingga akses dan kontrol terbesar harus dilakukan pengguna utamanya (main user), seperti di negara-negara maju Eropa, Australia, dan Amerika.

Penggabungan itu memungkinkan terjadinya efisiensi sistem dan alokasi sumber daya manusia serta pendayagunaan sumber daya alam.

Tanpa konsolidasi kelembagaan, akses petani atas air akan semakin tertutup karena mereka kalah bersaing dengan korporasi/industri.

ADM

http://news.metrotvnews.com/read/2015/07/30/416799/kekeringan-dan-konsolidasi-kelembagaan

Kekeringan, Air, dan Kita

Kamis,  30 Juli 2015

Saya tengah membaca laporan World Economy Forum (WEF) 2015 yang membahas 10 tren masalah yang bakal mengemuka di dunia dalam 15 hingga 18 bulan ke depan.

Laporan itu menyebutkan dengan mengetahui apa saja masalahnya, kita bakal tahu langkah-langkah apa yang mesti disiapkan untuk mengantisipasi. Laporan WEF itu mengasyikkan, tetapi sekaligus menggetarkan. Pengantar untuk tulisan tersebut dibuat Al Gore, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat. Lalu, setiap tren juga ditulis tokoh-tokoh ternama.

Misalnya, artikel tentang terus meningkatnya jumlah pengangguran di dunia ditulis Larry Summer dari Harvard University. Untuk kali ini saya akan membahas topik yang ditulis Matt Damon, seorangaktoryangpunya perhatian besar terhadap isu-isu lingkungan hidup dan pendiri water.org, serta Gary White yang CEO water.org. Topiknya tentang increasing water stress.

Saya pilih topik ini karena kebetulan cocok dengan kondisi aktual yang terjadi di Indonesia, yakni masalah kekeringan. Bagi saya kekeringan itu adalah salah satu gambaran dari masalah besar yang dihadapi masyarakat dunia. Apa itu? Akses terhadap ketersediaan air.

Dampak Kekeringan

Saya akan mulai dengan isu kekeringan. Bagi Anda yang tinggal di perkotaan tentu merasakan betul fenomena ini. Panas kian terik menyengat. Debu-debu kian banyak yang berhamburan. Sungai-sungai kering, airnya menghitam bak jelaga. Saking keringnya bahkan di sana akhirnya kita bisa melihat sampah-sampah yang terbenam di bagian dasarnya.

Tapi kita yang tinggal di kota masih beruntung karena sampai kolom ini ditulis kita tidak sampai mengalami kekurangan pasokan air. Krankran air kita masih mengucur. Alirannya masih deras meski mutunya memprihatinkan. Kadang keruh dan kita bisa menemukan endapan kotorannya. Tapi di banyak wilayah lain, sebaliknya telah terjadi.

Di daerah tertentu kondisinya lebih memprihatinkan. Mereka tidak bisa memperoleh air. Kita bisa membacanya melalui laporan berbagai media. Setidak-tidaknya ada 12 provinsi yang terancam kekeringan. Kali ini lebih parah ketimbang kekeringan pada tahuntahun sebelumnya.

Sebagaimana dilaporkan BBC Indonesia, keluhan ini dilontarkanTatang, seorang warga Indramayu, Jawa Barat, yang sudah 25 tahun menjadi petani. Parahnya kekeringan kali ini juga dipicu fenomena El Nino. Bagi yang masih awam, saya sederhanakan saja pengertiannya. Fenomena El Nino dipicu meningkatnya suhu permukaan air laut di kawasan Pasifik.

Akibatnya massa uap air yang berada di Indonesia ditarik ke kawasan tersebut. Indonesia pun miskin uap air. Ini yang membuat hujan tak kunjung turun. Jadi kalau dalam kondisi normal mungkin Agustus atau September hujan mulai turun. Namun kali ini mungkin hujan baru mulai turun pada November 2015. Mundur tiga sampai empat bulan.

Bahkan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menilai dampak El Nino kali ini lebih buruk ketimbang yang terjadi pada 1997-1998. Bicara tahun itu, saya tibatiba bergidik. Kita semua tentu masih ingat dengan peristiwa mengerikan yang terjadi pada tahun-tahun itu.

Itulah tahun ketika bangsa kita mengalami krisis ekonomi dan krisis politik bahkan sebetulnya krisis moral ketika menyaksikan penjarahan dan kekerasan yang terjadi sekaligus yang mengakibatkan jatuhnya rezim Soeharto. Kali ini, dampak El Nino agaknya bakal lumayan serius. Di beberapa daerah saya baca berita tentang sawah yang puso atau gagal panen akibat kekeringan.

Luasannya lumayan masif. Ini membuat produksi padi bakal menurun. Kita terancam kekurangan pasokan pangan. Itu sebabnya kali ini saya bisa mengerti kalau Bulog sudah harus mengimpor beras dalam volume yang lumayan besar, mencapai 500.000 ton. Saya kira, El Nino berpotensi mengganggu produksi pangan, bukan hanya di negara kita, tetapi juga di tingkat global.

Panen yang buruk bakal terjadi di berbagai belahan dunia. Di Brasil, misalnya, kekeringan juga terjadi secara meluas. Saya baca, di sana panen kopi di sana terancam gagal. Brasil adalah produsen kopi terbesar di dunia. Mudahmudahan ini tak sampai membuat harga kopi, yang kita nikmati setiap pagi, bakal naik.

Di Australia, El Nino juga mengancam panen tebu, pisang, dan bahkan mengganggu produksi hewan ternak. Lalu di India, El Nino mengancam produksi padi dan kacangkacangan. Dengan kondisi semacam itu, tak mengherankan kalau harga-harga produk pangan bakal melonjak.

Bank Indonesia memperkirakan dampak kekeringan bakal membuat harga sejumlah komoditas pangan bakal naik 5% sampai 10%. Jadi, kali ini Bulog harus benar-benar agresif berburu beras di pasar untuk mengamankan stok. Saya berharap aksi Bulog kali ini tidak diganggu politisi atau dipolitisasi.

Kemudian dikait-kaitkan dengan pilkada serentak pada Desember nanti. Lalu, yang juga tak kalah mengeringkan adalah El Nino mengakibatkan titik-titik api di sejumlah lokasi terus meningkat. Selama beberapa tahun silam kebakaran hutan terjadi di sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan. Negara kita kemudian disebut sebagai eksportir asap.

Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya gangguan hubungan antara Indonesia dengan Malaysia dan Singapura. Kita tentu tak mau peristiwa tersebut berulang. Maka kita tak bisa lagi mengantisipasi kekeringan dengan caracara biasa. Cara-cara yang kita lakukan di masa lalu.

Salah satu isu untuk mencegah kebakaran hutan adalah pembuatan canal blocking. Kanal-kanal ini dibuat untuk mencegah api merambat dari satu lokasi ke lokasi lain. Mestinya sampai Mei 2015 kita sudah membuat 10 canal blocking . Kenyataannya itu tidak terjadi karena kalangan pemerintah daerah tak berani mengambil keputusan untuk mengeksekusi gagasan tersebut.

Waduk

Baiklah, kita kembali bicara soal kajian WEF yang bicara soal krisis air tadi. Intinya begini. Menurut kajian WEF, krisis air mencakup dua isu utama, yakni ketersediaan cadangan air dengan akses terhadap cadangan tersebut. Ada kawasan yang cadangan airnya berlimpah, tapi masyarakatnya mengalami krisis air.

Ini, misalnya, terjadi di Ethiopia. Tapi, ada daerah yang sumber airnya sangat terbatas, tetapi pasokan air bagi masyarakatnya sangat berlimpah. Ini, misalnya, terjadi di Arab Saudi. Bagaimana dengan di Asia, seperti Indonesia? Cadangan air mungkin bukan masalah serius. Tapi tingginya kepadatan penduduk di beberapa kawasan di Asia mungkin berpotensi menimbulkan masalah yang serius.

Lalu, krisis air makin juga diperparah dengan adanya kemiskinan. Di India, misalnya, sekitar 100 juta warganya yang miskin kesulitan memperoleh akses air bersih. Perubahan iklim yang berkelanjutan juga bakal menjadi masalah besar. Proyeksi water.org begini.

Jika tahun 2005 kelangkaan air dialami oleh 2,837 miliar penduduk bumi, untuk tahun 2030 bakal meningkat sekitar 38% menjadi 3,901 miliar. Mengerikan. Mudah-mudahan itu tak sampai terjadi. Solusinya, pemerintah mesti berperan aktif. Dan saya gembiramelihat pemerintahan kita kali ini rajin membangun waduk.

Jangan lupa, kita juga punya teknologi membuat air dari penguapan di udara (embun). Kalau mau, sekarang ada banyak jalan. Mudahmudahan kita tak sampai mengalami krisis air.

Rhenald Kasali
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali  

http://nasional.sindonews.com/read/1027533/18/kekeringan-air-dan-kita-1438219879/

BNPB: 12 Provinsi Alami Kekeringan Parah

Kamis, 30 Juli 2015

Wilayah Bali, Jawa dan Nusa Tenggara mengalami defisit air, artinya ketersediaan air sudah tidak mencukupi kebutuhan.

JAKARTA—
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan 12 provinsi di Indonesia mengalami kekeringan parah, dan beberapa diantaranya mengalami defisit air.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, Rabu (29/7), mengatakan bahwa wlayah-wilayah yang mengalami kekeringan tersebut meliputi 77 kabupaten kota dan 526 kecamatan di Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Lampung, Sumatra Selatan dan Sulawesi Selatan.

Selain itu, berdasarkan hasil kajian keseimbangan air, kata Sutopo, wilayah Bali, Jawa dan Nusa Tenggara sekarang ini mengalami defisit air, yang artinya ketersediaan air sudah tidak mencukupi kebutuhan.

Secara kuantitaf, tambahnya, defisit air terutama di Jawa dan Bali mencapai 18,79 milliar meter kubik.

Untuk mengatasi kekeringan tersebut, lanjut Sutopo, BNPB bersama lembaga lainnya telah menyiapkan dua langkah untuk jangka pendek dan untuk jangka panjang. Untuk jangka pendek adalah dengan memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih melalui tangki-tangki air dan perbaikan pipa bocor serta bak penampungan, sampai dengan Desember 2015

Sementara untuk jangka panjang, Kementerian Pekerjaan Umum akan membangun 49 waduk di Indonesia yang mulai tahun ini hingga 2019. Waduk-waduk tersebut akan dibangun diantaranya di Aceh, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Lampung, Banten dan Yogyakarta. Kementerian Pertanian juga akan menyiapkan lumbung padi, ujar Sutopo.

Untuk mengatasi masalah kekeringan ini, BNPB menurut Sutopo telah menyiapkan dana Rp 75 milliar .

Menurutnya, diperlukan suatu terobosan dalam mengatasi persoalan kekeringan.

"Diperlukan komentmen semua pihak untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Selama ini kecepatan perbaikan kualitas lingkungan lebih lambat dibanding degradasi lingkunganya," ujarnya.

Musim kemarau ini juga menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan ini, BNPB kata Sutopo melakukan operasi darat dan udara. Lembaga tersebut menyiapkan 10 helikopter water bombing dan juga melaksanakan hujan buatan atau modifikasi cuaca dengan tiga pesawat.

Berdasarkan data satelit, lanjutnya, di Sumatra ada 148 titik api -- 55 di Sumatera Selatan, 45 di Riau, 35 di Jambi, sembilan di Bangka dan Belitung, dan empat di Lampung.

Dia mengatakan 99 persen dari kebakaran hutan ini dilakukan secara sengaja. Untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan ini, kata Sutopo, lembaganya menyiapkan dana Rp 385 milliar.

"Karena hotspot tadi menyebabkan kualitas udara di Pekan Baru sudah tidak sehat dan jarak pandang hanya 1,5 kilometer karena tertutup oleh asap," ujarnya.

Juru kampanye hutan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Zenzi Suhadi mengatakan, tidak adanya tindakan hukum yang tegas terhadap perusahaan yang melakukan pembakaran hutan dan lahan dengan sengaja membuat bencana asap terus terjadi setiap tahunnya.

Zenzi menyatakan kebakaran hutan dan lahan mulai rutin terjadi setiap tahunnya sejak 2006 , setelah banyaknya konsesi yang dikeluarkan dalam bentuk perkebunan dan Hutan Tanaman Industri di Riau dan Provinsi lainnya.

"Selain itu metode perkebunan juga membuat kanal-kanal di kawasan gambut ini membuat kawasan gambut lebih mudah terbakar karena sangat kering. Yang kedua, kita memang menemukan titik api di kawasan konsesi," ujarnya.

http://www.voaindonesia.com/content/bnpb-12-provinsi-alami-kekeringan-parah/2882826.html

Rabu, 29 Juli 2015

El Nino dan Kearifan Kita

Beberapa hari terakhir media cetak dan elektronik telah memberitakan banyaknya daerah yang mengalami krisis air bersih.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengingatkan tahun ini Indonesia akan kembali dilanda fenomena alam El Nino dengan intensitas moderat. Tampaknya dampak yang ditimbulkan telah kita rasakan bersama.

Beberapa hari terakhir media cetak dan elektronik telah memberitakan banyaknya daerah yang mengalami krisis air bersih. Awal Juli sebuah harian yang terbit di Semarang, Jawa Tengah, memuat berita dengan judul besar “Kemarau, Lima Waduk Mengering”. Tidak lama kemudian, sebuah harian nasional juga memuat berita dengan judul “Kekeringan Ancam 200.000 Hektare Lahan”. Banyak juga media melaporkan terpantaunya titik api sebagai indikasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
   
Di bidang pangan, sedikit banyak fenomena ini pasti berdampak pada capaian produksi berbagai komoditas. Sesuai periodisasinya, awal Juli Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka ramalan I (aram I) produksi beberapa komoditas pangan utama, seperti padi, jagung, dan kedelai.
Menurut aram I BPS, produksi padi nasional 2015 akan mencapai 75,55 juta ton gabah kering giling (GKG), produksi jagung 20,67 juta ton pipilan kering, dan produksi kedelai 998.870 ton biji kering. Namun, ada satu hal yang perlu diingat, aram I BPS merupakan angka perkiraan produksi pada tahun berjalan dengan basis data luas tanaman akhir Desember tahun sebelumnya. Jadi, belum memperhitungkan dampak yang ditimbulkan fenomena El Nino ini terhadap produksi pangan.
   
Ada beberapa kondisi objektif yang berkembang beberapa hari terakhir yang mengharuskan kita mewaspadai dampak terburuk dari fenomena alam El Nino ini. Beberapa kondisi objektif tersebut di antaranya, meskipun saat ini musim kemarau belum mencapai puncaknya, di sejumlah daerah telah terjadi krisis air bersih.
Ratusan penduduk di sejumlah desa di Kabupaten Tegal merayakan Lebaran kemarin dalam kondisi keterbatasan air bersih. Padahal, tahun-tahun sebelumnya mereka ini baru minta bantuan air bersih bulan Agustus dan kini sudah menjerit kekurangan air sejak pertengahan Juni. Hal ini terjadi karena sejak awal Mei hingga sekarang ini tidak pernah turun hujan lagi.
   
Negeri ini sebenarnya sudah berkali-kali dilanda bencana kekeringan yang dipicu fenomena alam El Nino. Namun, kemampuan untuk mendeteksi secara dini dan akurat terhadap fenomena tersebut masih sangat lemah. Akurasi ramalan baru diketahui 3-4 bulan sebelum fenomena itu benar-benar terjadi. Kesulitan seperti ini menjadikan langkah antisipasi terhadap dampak yang ditimbulkan selalu saja terlambat. Ketika Indonesia dilanda bencana kekeringan tahun 1997/1998, antisipasi pemerintah waktu itu terlambat karena bersamaan waktunya dengan terjadinya gejolak sosial, politik, dan ekonomi. Pemerintah Orde Baru harus membayar mahal keterlambatan antisipasi dampak yang ditimbulkan fenomena alam tersebut. Impor beras lebih dari 5 juta ton yang ditempuh pemerintah tidak mampu menyelamatkan keadaan. Rezim yang telah berkuasa sangat powerful selama 32 tahun itu pun tumbang.

Gerak Cepat
   
Bencana alam selalu identik dengan keterbatasan dan penderitaan. Ketersediaan air bersih yang makin menipis telah memaksa sebagian masyarakat harus berjalan puluhan kilometer untuk mendapatkan akses air minum.  Menipisnya stok bahan pangan telah mengancam warga dari kekurangan pangan. Buruknya sanitasi lingkungan dan kualitas udara yang berdebu telah memicu timbulnya berbagai penyakit.
Kita harus arif menyikapi dan mengelola risiko yang ditimbulkan fenomena alam El Nino. Langkah darurat yang bersifat “memadamkan kebakaran” harus segera ditempuh. Pemerintah daerah harus bergerak cepat memobilisasi sistem serta mengerahkan seluruh sumberdaya yang ada. Seluruh armada harus dikerahkan untuk memberikan bantuan air bersih, bahan pangan, serta bantuan kesehatan dasar bagi warga yang membutuhkan. Keterlambatan dalam memberikan bantuan akan berakibat makin parahnya penderitaan warga yang menjadi korban.
   
Untuk menyelamatkan tanaman pangan yang terancam puso dilakukan dengan pengaturan irigasi secara bergilir, memanfaatkan air yang masih ada seoptimal mungkin, serta pemanfaatan sumur pantek bagi daerah yang memungkinkan untuk suplesi irigasi. Perlu dilakukan pemanfaatan ulang (reuse) air buangan untuk menyiram tanaman (gardening) atau mengguyur toilet (flushing).
Upaya jangka menengah dilakukan dalam kaitannya dengan upaya memanen hujan (rain harvest). Prinsipnya sangat sederhana, kelebihan air di musim hujan ditampung dan disimpan di dalam waduk, bendung, situ, embung, dan bangunan fisik penampung air lainnya untuk dimanfaatkan pada musim kemarau.
   
Percontohan yang dilakukan di Anne Frank and Pedro Guerra Schools di Belo Horizonte, Brasil, memfokuskan pada penyimpanan dan penggunaan air hujan untuk irigasi kebun, demplot komoditas pertanian, serta untuk menyiram halaman sekolah. Demonstrasi seperti ini merupakan ajang pendidikan bagi para siswa menyangkut berbagai isu tentang air, seperti konsumsi, pemanfaatan, penghematan, serta kualitas.
????Sektor pertanian merupakan sektor paling boros dalam menggunakan air. Oleh karena itu, kampanye untuk efisiensi penggunaan air (more crop per drop) perlu dilakukan secara berkelanjutan. Sekolah lapang iklim (SL-Iklim) perlu dimasyarakatkan kepada para petani agar mereka mampu merencanakan sendiri budi daya pertanian secara rasional. Selama ini ketika melihat air masih menggenang di sawah, yang ada di benak petani adalah menanam padi. Mereka tidak berhitung secara rasional sebulan atau dua bulan kemudian tanamannya gagal panen karena kekeringan.
   
Riset dan teknologi pertanian berperan sangat besar dalam mengantisipasi anomali iklim ini. Perlu inovasi teknik budi daya untuk melindungi tanaman dari kondisi iklim yang ekstrem. Jika sebelumnya para peneliti kita lebih fokus pada upaya menghasilkan varietas unggul dengan produktivitas tinggi, ke depan harus diciptakan varietas yang selain berproduksi tinggi juga mampu beradaptasi dengan baik pada tanah dan iklim suboptimal (kekeringan, salinitas tinggi, dan genangan tinggi).
   
Upaya jangka panjang lebih ditekankan pada perubahan paradigma dan budaya masyarakat dalam mengelola alam. Paham antroposentrisme telah menempatkan alam sebagai sumber eksploitasi, menganggap air sebagai sesuatu yang diberikan alam sehingga masyarakat sangat boros menggunakan air. Paradigma seperti ini harus segera dicerahkan karena tidak lagi sesuai dengan peradaban.
   
Alam telah memberi semuanya. Oleh karena itu, semua orang tanpa kecuali dituntut arif dalam mengelola air yang merupakan barang tidak tergantikan (non substituble good) bagi kehidupan. Fenomena El Nino kali ini harus kita sikapi dengan arif. Hanya dengan kearifan itulah peradaban ini dapat kita selamatkan.


Toto Subandriyo
Penulis adalah pengamat sosial-ekonomi, alumnus IPB dan Magister Manajemen Universitas Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah.

Sumber : Sinar Harapan

http://www.sinarharapan.co/news/read/150728273/el-nino-dan-kearifan-kita

Program Ekonomi Kerakyatan Diapresiasi

Rabu, 29 Juli 2015

Kurs Rupiah Jadi Tantangan

JAKARTA, KOMPAS — Kepuasan publik terhadap kinerja ekonomi pemerintah meningkat. Secara khusus, masyarakat memberikan apresiasi pada program-program perbaikan pasar tradisional serta pemberdayaan petani dan nelayan. Akan tetapi, mereka berharap pemerintah membuka lapangan kerja serta mengendalikan harga dan kurs rupiah.

Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi mengalami peningkatan pada sembilan bulan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Survei Litbang Kompas pada 25 Juni hingga 7 Juli memperlihatkan kepuasan publik mencapai 44,2 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan kepuasan publik pada enam bulan pemerintahan Jokowi-Kalla, yaitu 37,5 persen, tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan masa tiga bulan pemerintahan mereka, yaitu 49,6 persen.

Informasi yang dihimpun Kompas dari sejumlah kalangan sejak Minggu hingga Selasa (28/7), masyarakat mengapresiasi program kerja yang terkait dengan masyarakat kecil, seperti pedagang pasar, petani, dan nelayan.

Kepuasan masyarakat terlihat dalam pengembangan pasar tradisional. Apalagi ada program revitalisasi dan pembangunan 5.000 pasar tradisional selama lima tahun ke depan. Setiap tahun, pemerintah berkomitmen merevitalisasi dan membangun 5.000 pasar tradisional.

Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia Abdullah Mansuri di Jakarta mengatakan, masyarakat puas dengan kinerja ekonomi pemerintah karena benar-benar menggarap sektor ekonomi kerakyatan. Salah satunya, merealisasikan revitalisasi dan pembangunan pasar tradisional.

Pemerintah juga cepat menangani pasar tradisional yang terbakar. Setiap terjadi kebakaran, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan, langsung terjun ke lokasi dan segera menanganinya.

"Pencairan dana bagi pasar yang terbakar atau terdampak bencana banjir juga sangat cepat. Pembangunan pasar yang terkena bencana yang dahulu memakan waktu 1-2 tahun sekarang maksimal setahun sudah tertangani," ujarnya.

Omzet pasar yang sudah direvitalisasi, lanjut Abdullah, naik mulai dari 50 persen hingga lebih dari 100 persen. Kondisi ini harus terus dikembangkan atau setidaknya dipertahankan. Ini menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah sebagai pengelola pasar tradisional.

Tidak pilih-pilih

content

Sardiyanto (53), petani padi warga Dukuh Kemuning, Desa Tumbukan, Kecamatan Karangdowo, Klaten, Jawa Tengah, mengungkapkan, sebagai petani, dirinya merasa banyak perubahan dari pemerintah menyangkut pemberian bantuan atau subsidi. "Sekarang lebih transparan dan semua petani dibantu, tidak dipilih-pilih," katanya.

Sebagai petani dengan lahan 1.700 meter persegi, Sardiyanto mendapat bantuan benih, pupuk, obat-obatan, dan biaya tenaga kerja. Kualitas benih juga apa adanya, tidak jelek.

Petani diajarkan bertanam padi sistem jajar legowo sehingga produktivitas tanaman padinya bisa meningkat 15 persen. Bantuan bibit padi 5 kilogram juga diterima secara utuh.

Hal yang menggembirakan, petani bisa langsung mengajukan proposal bantuan, memonitor perkembangan bantuan, dan berkomunikasi secara baik dengan petugas di Pemerintah Daerah Klaten. Berbeda dengan dulu, petani merasakan tidak ada informasi transparan, termasuk besar bantuan yang akan diberikan dan kapan diberikannya.

Nelayan juga mengapresiasi kebijakan perdana Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam masa awal pemerintahan Jokowi, yakni penghentian sementara (moratorium) izin kapal-kapal ikan buatan luar negeri.

Dampaknya, gerak kapal-kapal buatan luar negeri seolah senyap bersama terhentinya kegiatan operasional kapal. Sebanyak 1.132 kapal buatan luar negeri yang dihentikan izinnya kini masih menunggu analisis dan evaluasi kelayakan perizinan kapal oleh tim Satuan Tugas Pencegahan dan Pemberantasan Perikanan Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur (IUU Fishing).

"Kebijakan moratorium semakin mempertegas apa yang sudah dilakukan masyarakat dalam memerangi pencurian ikan," ujar Robertino Hanebora, nelayan di Kampung Sima, Distrik Yaur, Nabire, Papua.

Dalam sehari, nelayan tradisional yang umumnya berangkat melaut sore hari dan pulang pagi hari kini bisa memperoleh hingga 2 ton ikan untuk kapal ukuran 5 gros ton. Sebelumnya, perolehan mereka di bawah 2 ton.

Max Binur, pengurus organisasi nelayan Belantara Papua, mengatakan, kebijakan pemberantasan penangkapan ikan ilegal semakin memperbanyak tangkapan nelayan kecil dan tradisional di perairan Sorong hingga Raja Ampat.

Akan tetapi, terkait bahan pokok, pemerintah dinilai kurang dapat mengendalikan harga karena pemerintah tidak mempunyai stok. Selama ini, perdagangan bahan pokok dikuasai pedagang besar sehingga mereka bisa berspekulasi dan mempermainkan harga.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia Ngadiran mengingatkan, harga bahan pokok di pasar tradisional masih rawan bergejolak.

Rupiah

Nilai tukar rupiah juga disoroti responden dalam survei. Rupiah berturut-turut melemah sejak 13 Juli 2015 hingga posisi Rp 13.460 per dollar AS hari Selasa. Posisi rupiah kemarin merupakan yang terlemah pada tahun ini.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemarin turun 56,529 poin atau 1,185 persen menjadi 4.714,756. Posisi kemarin lebih rendah dibandingkan dengan posisi penutupan perdagangan saham 2014 di Bursa Efek Indonesia yang mencapai 5.226,94.

Menurut pengajar Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta, A Prasetyantoko, melorotnya IHSG beberapa hari terakhir lebih banyak disebabkan rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, The Fed. Kenaikan suku bunga The Fed berisiko menyedot likuiditas global ke negara itu.

Adapun ekonom Standard Chartered Bank Indonesia, Eric Alexander Sugandi, berpendapat, IHSG turut terseret bursa Tiongkok yang anjlok lebih dari 8 persen pada Senin lalu.

(MED/MAS/CAS/HEN/LKT/LAS/IDR)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150729kompas/#/1/


Bawang Jadi "Pemicu"

Rabu, 29 Juli 2015

Keberhasilan pemerintah menstabilkan harga bawang merah tanpa perlu impor menjelang Lebaran lalu menumbuhkan keyakinan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman pentingnya pengelolaan tata niaga untuk mencapai swasembada pangan. Selama ini, ketika terjadi lonjakan harga komoditas pertanian, solusinya satu, yaitu impor. Seolah-olah tidak ada cara lain yang bisa dilakukan. Dengan impor, seakan semua persoalan sudah beres karena harga tinggi bisa ditekan saat barang impor masuk ke pasar.

Berkaca pada kasus bawang merah 2014, asumsi impor bisa menyelesaikan segala persoalan ternyata tak terbukti. Meskipun keran impor bawang merah dibuka saat itu, harga bawang merah tetap tinggi di tingkat konsumen. Dalam konteks itu, bangsa kita sudah kalah dua poin. Pertama, membuka keran impor berarti memukul harga bawang merah di tingkat petani. Kedua, impor bawang merah rupanya tidak serta-merta menurunkan harga bawang merah di tingkat konsumen. Apa yang terjadi? Petani berteriak karena harga rendah. Di sisi lain, konsumen menjerit karena harga bawang merah terlalu tinggi.

Sebagai ilustrasi, harga bawang merah tahun lalu berkisar Rp 40.000-Rp 100.000 per kilogram (kg) di tingkat konsumen. Di sisi lain, saat panen, harga bawang merah di tingkat petani terjun bebas, tembus Rp 5.000 per kg, jauh dari harga pokok produksi (HPP) yang berkisar Rp 8.000-Rp 10.000 per kg. Melihat kenyataan itu, Mentan mencurigai ada yang tidak beres dalam sistem distribusi dan pasar bawang merah. Ada upaya sistemik yang dilakukan para pedagang bawang merah untuk mengambil untung secara besar-besaran.

Produksi bawang merah nasional sekitar 1 juta ton per tahun. Dengan harga rata-rata bawang merah Rp 25.000 per kg tahun lalu, ada perputaran uang dari bisnis bawang merah mencapai Rp 25 triliun setahun. Dari total nilai perdagangan bawang merah itu, jika harga jual bawang merah di tingkat petani hanya Rp 6.000 per kg, petani hanya mendapat bagian Rp 6 triliun.

Uang Rp 6 triliun itu masih harus dipotong biaya pengolahan lahan, pembelian bibit, obat-obatan, dan tenaga kerja. Yang terjadi, 300.000 petani bawang merah bukan untung, sebaliknya merugi. Di lain sisi, 3.000 pedagang bawang merah berpesta pora dengan keuntungan Rp 19 triliun. Keuntungan itu hanya dipotong dengan biaya transportasi dan sewa kios-kios.

Mentan tidak mau hal itu terulang karena dampaknya minat masyarakat menjadi petani bawang merah turun. Jika demikian, Indonesia akan masuk perangkap sebagai negara importir bawang merah dunia. Oleh karena itu, ketika bulan Ramadhan dan menjelang Lebaran lalu, harga bawang merah di tingkat petani kembali jatuh dan harga bawang merah di konsumen tinggi-padahal panen bawang merah tengah berlangsung-Mentan langsung menerapkan strategi baru.

Mentan mengajak Perum Bulog ke sentra bawang merah di Brebes, Jawa Tengah, dan meminta Bulog membeli bawang dari petani untuk modal operasi pasar (OP) dengan harga beli yang wajar dan menguntungkan petani. Langkah sederhana itu dilakukan dengan modal pembelian bawang merah Rp 3 miliar. Hasilnya, dalam waktu singkat, harga bawang merah di petani naik sekitar Rp 10.000 per kg dan di konsumen turun hingga Rp 20.000 per kg.

Yang tak kalah penting, tahun 2015, Indonesia tak lagi mengimpor bawang merah. Keberhasilan pengelolaan tata niaga bawang menjadi pemicu dan memberi kekuatan bagi Mentan melakukan strategi sama dalam pengendalian harga dan pencapaian swasembada komoditas lain, seperti beras dan jagung.

Untuk beras, pemerintah sudah mengujinya pada Maret 2015, saat impor tidak dilakukan dan harga beras bisa kembali stabil setelah naik 30 persen. Untuk jagung, Mentan menyetop impor jagung dari target kekurangan impor jagung 1,35 juta ton tahun 2015. Mungkinkah keberhasilan swasembada bawang merah melalui pengelolaan tata niaga akan diikuti oleh beras, jagung, gula, dan daging sapi? (HERMAS E PRABOWO)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150729kompas/#/17/

Selasa, 28 Juli 2015

Angger Panduyuda, jadi lulusan terbaik Akmil

Selasa, 28 Juli 2015
akmil

Letnan Dua Angger Panduyuda, putra petani asal Gunungkidul, Yogyakarta, menjadi lulusan terbaik Akademi Militer tahun 2015.
“Orangtua saya petani,” kata Angger ketika dijumpai di Akademi Kepolisian Semarang, Senin.
Angger merupakan satu dari ratusan lulusan empat akademi di TNI-Polri yang akan dilantik kelulusannya oleh Presiden Joko Widodo.
Pendidikan militer putra pasangan Iswandi dan Dwi Supriyanti tersebut berawal ketika dirinya diterima di Sekolah Taruna Nusantara Magelang.
“Setelah ikut olimpiade nasional diterima masuk ke Taruna Nusantara. Kemudian dapat beasiswa KSAD,” ungkap Angger.
Menurut dia, kelancaran dan kesuksesan dalam menempuh pendidikannya ini tidak lepas dari dukungan kedua orangtua.
Angger merupakan satu dari empat lulusan terbaik masing-masing akademi TNI dan Polri yang akan memperoleh penghargaan Adhi Makayasa.
Selain Angger, terdapat pula lulusan terbaik Akademi Angkatan Udara Letnan Dua Dito Sigit Kuncoro, Akademi Angkatan Laut Letnan Dua Adyksa Yudistira, dan Akademi Kepolisian Inspektur Dua Fauzi Pratama.
Presiden Joko Widodo dijadwalkan melantik perwira lulusan TNI dan Polri tahun 2015 di Akademi Kepolisian Semarang, Jawa Tengah, Kamis (30/7).
Presiden akan menjadi inspektur upacara Presetya Perwira TNI-Polri yang lulus tahun ini, kata Komandan Jenderal Akademi TNI Mayor Jenderal Harry Purdianto.
Menurut dia, para taruna lulusan empat lembaga pendidikan TNI-Polri akan dilantik secara bersamaan oleh Presiden.
“Bapak Presiden akan menjadi inspektur upacara dan selanjutnya berkenan memberikan pengarahan kepada para lulusan,” tuturnya.
Pada tahun ini, ia menjelaskan telah diluluskan masing-masing Akademi Militer sebanyak 215 siswa, Akademi Angkatan Udara 89 siswa, Akademi Angkatan Laut 100 siswa, dan Akademi Kepolisian 389 siswa.

http://metropostonline.com/angger-panduyuda-jadi-lulusan-terbaik-akmil/

Pemerintah Harus Menekan Impor Pangan

Selasa, 28 Juli 2015

JAKARTA - Pengamat Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Dani Setiawan di Jakarta pada Senin (27/7) meminta pemerintah terus menekan impor pangan yang sudah melonjak hingga 360 persen dalam satu dekade terakhir. Hal itu penting agar produksi pangan nasional tidak hancur dan petani mendapat perlindungan dari ancaman kehilangan pasar.

Dani berharap agar semua program pemerintahan Jokowi harus benar-benar terealisasi di lapangan. Salah satu yang sangat diharapkan terangnya terkait dengan pembangunan pertanian.

“Produk pertanian kita tertekan oleh barang impor. Oleh karena itu perlu ada langkah penguatan pertanian dengan membangun pertanian nasional,”ungkapnya.

Ia merasa miris dengan dibukanya keran impor untuk sejumlah kebutuhan strategis baru-baru ini, apalagi karena yang terjadi hanya masalah sepele, tetapi pemerintah langsung memutuskan untuk impor. “Kami berharap itu tak terjadi lagi. Lindungi petani dalam negeri,”ungkapnya.

Dari Klaten, Jawa Tengah Menteri Pertanian Amran Sulaiman dengan tegasnya menyampaikan kalau pihaknya tidak mau sedikit-sedikit impor. “Hanya karena ada masalah sedikit seperti harga naik kita langsung impor. Itu keliru, saya tak mau lagi seperti itu,”ungkapnya.

Hindari Tengkulak

Lebih lanjut Amran mengatakan bahwa saat ini petani panen raya dan petani disarankan untuk menjual berasnya kepada pihak Badan Urusan Logistik (Bulog) bukan kepada tengkulak yang kerap memainkan harga.

Apalagi Bulog telah menyiapkan anggaran yang cukup sebanyak 3 triliun rupiah untuk menyerap beras petani.

“Jadi saya minta petani tidak perlu khawatir. Asalkan beras-beras itu tidak dijual terhadap tengkulak karena itu hanya memperpanjang rantai penjualan yang tentunya merugikan petani sendiri dan masyarakat umumnya,”terangnya.

Sebelumnya Bulog telah memastikan untuk tidak melakukan impor beras pada tahun ini. Meskipun hingga pertengahan tahun ini penyerapan Bulog terhadap beras-beras petani diakui masih kurang tetapi rencana itu akan terus ditingkatkan hingga akhir tahun. ers/E-9

http://www.koran-jakarta.com/?33662-pemerintah%20harus%20menekan%20impor%20pangan

Presiden Diminta Tunda Penggenangan

Selasa, 28 Juli 2015

SUMEDANG, KOMPAS — Rencana pemerintah untuk menggenangi Waduk Jatigede seluas lebih dari 4.100 hektar di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, mulai Agustus 2015 diminta ditunda. Hal ini karena warga di 32 desa yang bakal tergenang air waduk ada yang belum menerima ganti rugi. Relokasi 11.469 keluarga juga belum jelas.
Dinding Waduk Jatigede seperti terlihat pada Senin (27/7), mengelilingi lahan seluas 5 hektar (ha) di lima kecamatan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Waduk itu diproyeksikan untuk mengairi 90.000 ha sawah produktif di Pantura Jabar, dan mampu menampung 980 juta meter kubik air. Akan tetapi penggenangan waduk itu belum bisa dilakukan selama masih ada problem sosial yang belum tuntas

Dinding Waduk Jatigede seperti terlihat pada Senin (27/7), mengelilingi lahan seluas 5 hektar (ha) di lima kecamatan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Waduk itu diproyeksikan untuk mengairi 90.000 ha sawah produktif di Pantura Jabar, dan mampu menampung 980 juta meter kubik air. Akan tetapi penggenangan waduk itu belum bisa dilakukan selama masih ada problem sosial yang belum tuntas
KOMPAS/RINI KUSTIASIH

Waduk Jatigede, menurut rencana, akan membendung air Sungai Cimanuk yang berhulu di Kabupaten Garut. Rencana pembangunan Waduk Jatigede muncul sejak 1963 saat pemerintahan Presiden Soekarno. Pada era Presiden Soeharto, pembebasan sebagian lahan sudah dilakukan, tetapi pembangunan Waduk Jatigede tak kunjung dilakukan. Sebagian warga yang sudah menerima ganti rugi ada pula yang kemudian kembali menempati lahan di sekitar Jatigede.

Waduk yang memiliki luas daerah aliran sungai mencapai 1.462 kilometer persegi ini diharapkan bisa mengairi sawah seluas 90.000 hektar di Kabupaten Cirebon, Indramayu, dan Majalengka yang selama ini tergolong sawah tadah hujan. Lebih dari 1,1 juta petani bisa memperoleh manfaat dari keberadaan waduk ini.

"Dari pantauan kami, hingga Senin, proses penyelesaian ganti rugi baru tuntas di empat desa," ujar tokoh Jatigede, Sumedang, Pristi Muchtar.

content

Sebagian warga pasrah karena uang ganti rugi tak cukup untuk membeli tanah dan membangun rumah di tempat baru. Ali Rachmat, warga Kecamatan Jatigede yang perkampungannya bakal tergenang, menuturkan, dana ganti rugi untuk 3 hektar milik keluarga, sekitar Rp 25 juta, sudah dibagikan kepada lima anggota keluarga besarnya.

Kini, sebagian besar fisik bangunan sudah selesai. Meski demikian, penggenangan waduk sulit dilakukan pada musim kemarau karena Sungai Cimanuk mengering.

Surati Presiden

Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) telah mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo untuk memohon penggenangan Waduk Jatigede dibatalkan. Surat tertanggal 27 Juli 2015 itu ditandatangani Ketua Dewan Penasihat DPKLTS Solihin GP, Ketua DPKLTS Mubiar Purwasasmita, dan budayawan Acil Bimbo. Mereka juga menjelaskan fakta di Jatigede.

Lebih dari 10 tahun lalu, sejak Jatigede dibangun, DPKLTS sudah mengingatkan pemerintah bahwa pembangunan waduk akan menemui banyak masalah karena rawan konflik. Secara teknis, waduk dibangun di wilayah geologis yang tanahnya labil. Secara sosial ekonomi, lokasi wilayah tergenang merupakan daerah pertanian subur dan kawasan hutan negara.

Menurut Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung Trisasongko Widianto, penggenangan waduk akan diundur dari jadwal semula. "Namun, akan secepatnya jika memungkinkan," ujarnya.

(REK/DMU)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150728kompas/#/1/

Senin, 27 Juli 2015

Panen Padi di Klaten, Mentan Amran Pakai Mesin Potong Modern

Senin, 27 Juli 2015

Klaten -Hari ini, Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman melakukan kunjungan ke beberapa kabupaten, salah satunya di Klaten, Jawa Tengah. Amran melakukan panen padi hingga membagikan pompa air ke petani.

Panen raya dilakukan di Desa Tumpukan, Kecamatan Karang Dowo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Senin (27/7/2015). Amran didampingi Bupati Klaten Sunarna, Direktur Bulog Wahyu Suparyono, Kepala Drive Bulog Jawa Tengah Usep Karyana, Kepala Dinas Pertanian Provinsi Jateng Surya. Dengan menggunakan arit dia memanen padi pertama.

"Ini panen masuk ke Bulog ya, sudah siap bayar ini, truk sudah disiapkan," ujar Amran usai memanen padi.

Tak hanya dengan arit, Amran juga memanen padi dengan menggunakan combine harvester atau mesin pemanen atau pemotong padi modern.

"Baru saja kita lakukan panen perdana, harapannya Bulog serap gabah pertani, total luas panen Jateng 500.000 hektar Agustus-September. Kalau hasilnya rata-rata 6 ton/hektar, ada 3 juta ton. Minimal Bulog serap 500.000 ton. Baru saja presiden tanda tangani dana PMN untuk Bulog serap panen. Dana sudah siap. Produksi padi meningkat hampir 1 juta ton tahun 2015 ini," ungkap Amran.

Ia menambahkan, mengantisipasi kekeringan yang melanda Indonesia, salah satunya Jawa Tengah, akan dibagikan sebanyak 24.000 pompa air kepada para petani. Selain pompa, pihaknya juga memberikan dana bantuan untuk pembuatan embung (tandon air).

"Dibandingkan tahun lalu, ada serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), banjir dan kekeringan kita kehilangan area sawah 130.000 hektar. Tapi, upaya kita tahun ini sudah membuahkan hasil ada tambahan 102.000 hektar. Bila dikalikan 5 ton, maka akan ada tambahan panen 500.000 ton atau senilai Rp 2 triliun," tutup Amran.

http://finance.detik.com/read/2015/07/27/101019/2975700/4/panen-padi-di-klaten-mentan-amran-pakai-mesin-potong-modern

Waduk Mengering, Puluhan Ribu Warga Wonogiri Krisis Air

Minggu,  26 Juli 2015

Metroterkini.com - Dua bulan terakhir tujuh waduk cadangan air di tujuh kecamatan di Wonogiri mengalami penyusutan air sangat drastis bahkan beberapa diantaranya kering kerontang. Warga saat ini kesulitan mendapatkan air bersih untuk kebutuhan konsumsi maupun kebutuhan lainnya.

Kekeringan yang melanda 30 desa yang terdapat di tujuh kecamatan di Wonogiri sisi selatan. Data Pemkab setempat, 30 desa tersebut dihuni oleh 29.233 warga. Kawasaan itu meliputi Kecamatan Giritontro, Pracimantoro, Paranggupito, Manyaran, Eromoko, Nguntoronadi, dan Giriwoyo.

Di kawasan sebenarnya terdapat tujuh waduk penampung air yang berfungsi sebagai cadangan air untuk warga. Namun musim kering telah menguras isi waduk sehingga mengalami pengusutan volume air waduk. Bahkan beberapa waduk telah mengalami kekeringan total.

"Kekurangan air bersih memang sering dirasakan warga di Kecamatan Giritontro di musim kemarau. Sebagian besar warga di sini telah mengantisipasinya dengan membuat bak penampungan air hujan untuk digunakan di musim kemarau. Namun bak penampungan itu pun saat ini sudah kosong karena hujan terakhir di kawasan ini juga sudah cukup lama, pada bulan Maret lalu," ujar Camat Giritontro, Joko Waluyo, Minggu (26/7/15).

Lanjut Joko, warga yang mampu mencukupinya dengan membeli air bersih seharga antara Rp 75 ribu hingga Rp 150 ribu air untuk ukuran 6 ribu liter air. Sedangkan bagi warga yang kurang mampu biasanya mencari air dengan menggali dasar waduk yang mengering untuk mengumpulkan sisa-sisa air yang sudah sangat sulit. Mata air di dasar waduk juga sudah sangat kecil sehingga warga harus menunggu lama, itupun kadang airnya cukup keruh.

"Kami sering melakukan droping air bersih di kawasan yang mengalami kekeringan parah. Sejak awal Juni hingga saat ini tidak kurang dari 70 tangki air bersiih kapasitas 60 ribu liter telah kami kirim ke lima kecamatan yang mengalami kekeringan tersebut. Namun tentu saja belum mencukupi semua kebutuhann warga. Droping juga harus dilakukan bertahap karena kekurangan armada," tambah Kalakhar BPBD Kabupaten Wonogri, Bambang Haryanto.

Bupati Wonogiri, Danar Rahmanto, mengakui kawasan sisi selatan di daerahnya sering menjadi langganan kekeringan di setiap musim kemarau tiba. Saat ini pihaknya sedang berusaha memecahkan persoalan itu dengan mengupayakan pipanisasi sebagai solusi jangka panjang. [dtc]

http://metroterkini.com/berita-17139-waduk-mengering-puluhan-ribu-warga-wonogiri-krisis-air.html

Minggu, 26 Juli 2015

Stabilisasi Pangan Tantangan Pemerintahan Jokowi

Sabtu, 25 Juli 2015

JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pergolakan harga barang-barang pokok pra, saat, dan pasca lebaran lalu relatif stabil. Namun, Indonesia kini sedang menghadapi El-Nino yang membawa musim kemarau berkepanjangan, dikhawatirkan kestabilan harga pangan terganggu. Mampukah pemerintah tetap menyetabilkan harga? Apa saja tantangannya?

Pengamat pangan Chudori menyatakan harga pada pra, saat, dan pasca lebaran relatif stabil. Namun hal tersebut semata-mata bukanlah prestasi Kementerian Perdagangan (Kemendag) saja. Tetapi juga sumbangsih kementerian lain, terutama Kementerian Pertanian (Kementan) yang telah memberikan pasokan dan info cepat terhadap pangan yang dibutuhkan masyarakat dan Bulog.

"Misal kemarin selalu dipantau mana daerah yang kekurangan dan mana daerah yang sedang panen atau cukup pasokan, lalu di mix and balance," katanya kepada gresnews.com, Jumat (24/7).

Pola mix and balance tersebut efektif mempertemukan daerah-daerah yang kelebihan dan kekurangan pasokan pangan. Terlebih sistem itu ternyata ditangani tanpa melewati jalur distribusi yang panjang. Bulog lah yang memegang peran sentral menjalankan pola tersebut dengan menghubungkan daerah sentra produksi dengan konsumen. Tapi, tantangan prestasi kinerja Bulog yang sesungguhnya baru terlihat awal Agustus mendatang, apakah mampu meredam inflasi dan mengendalikan harga pangan.

EL NINO MENGHADANG - Apalagi, Indonesia saat ini sedang menghadapi El Nino yang menyebabkan kekeringan pada September, Oktober bahkan hingga November 2015 mendatang. Imbasnya, sebagian lahan pertanian kemungkinan akan kering dan gagal panen.

Deputi Bidang Klimatologi BMKG Widodo Sulistyo menjelaskan kekeringan di musim kemarau terasa lebih dari sebelumnya. Penyebabnya tahun ini ada penyimpangan iklim akibat adanya gangguan El Nino.

"Akibat penyimpangan ini, Indonesia dilanda kekeringan yang lebih dibandingkan beberapa tahun terakhir," kata Widodo, Jumat (24/7) malam.

Arti El Nino berarti suatu gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut di Samudera Pasifik sekitar equator (equatorial pacific) khususnya di bagian tengah dan timur (sekitar pantai Peru). Penyimpangan ini akhirnya berdampak penyimpangan kondisi laut hingga terjadi penyimpangan iklim.

Ia mengatakan kekeringan ini tak hanya dirasakan di Bogor dan pulau Jawa tapi hampir sebagian wilayah Indonesia terlebih bagian timur. Namun, Bogor menjadi sorotan karena sebagian wilayah yang kerap hujan di musim kemarau, di tahun ini curah hujannya sangat minim.

"Normalnya dalam sebulan masih ada satu atau beberapa kali hujan, namun tahun ini berbeda. Meski sempat terjadi gerimis, tapi itu pengaruhnya tidak signifikan," sambungnya.

Menurutnya, kekeringan adalah kondisi yang paling kering seperti ini akan berlangsung sepanjang musim kemarau atau hingga September bahkan bisa berkepanjangan hingga Oktober dan November. Meski beberapa kali langit terlihat mendung, tetapi beberapa faktor penunjang terjadinya hujan tidak terpenuhi seperti kondisi iklim yang lembab dan angin yang bertiup tenang.

KEBIJAKAN STABILISASI HARGA - Pengamat pangan Chudori pun mengusulkan pemerintah untuk tetap meneruskan cara penyetabilan harga yang dilakukan pada bulan Ramadhan lalu. Ditambah pengecekan ketersediaan sejumlah komoditas, apakah tetap bisa diproduksi atau kurang, jika kurang maka hendaknya segera memutuskan impor agar tidak mendadak.

"Jangka pendek ini bisa memastikan produksi dan konsumsi per bulan," ujarnya.

Jangka panjang tantangan penyetabilan harga ini harus dilakukan kebijakan untuk mningkatkan produktivitas seperti memperluas lahan, dan memastikan petani tak berisiko gagal dalam mengusahakan komoditas tertentu. Hal ini bisa dengan cara mengajarkan petani menerjemahkan iklim dan memastikan ketersediaan sumber air hulu agar saat musim kering tak kekurangan air.

"Perlu juga ada peraturan hukum di bawah UU Perdagangan dan UU Pangan untuk menstabilkan harga, Malaysia sudah punya ini sejak tahun 1950-an," katanya.

Pemerintah juga harus membentuk cadangan pangan pusat dan daerah serta menentukan harga-harganya sebelum November tahun ini. Dengan disokongnya setiap lini pangan jangka panjang ini, pemerintah tak perlu khawatir adanya fluktuasi harga pangan pada hari-hari besar keagamaan.

"Jika semua sudah dilakukan maka tinggal mengendalikan instrumen stabilisasi untuk mengelola cadangan, dan memastikan anggarannya cukup," katanya.

Ia menilai selama ini selain belum adanya Permen yang menetapkan harga pangan, pemerintah juga kurang dalam mengatur anggaran cadangan pangan.

ANDALKAN OPERASI PASAR - Operasi pasar yang dilakukan pemerintah selama dan saat lebaran ternyata juga dianggap efektif menjaga stabilitas harga dan pasokan pangan oleh DPD RI. Selama ini banyak pihak meragukan efektivitas operasi pasar yang dilakukan Kemendag karena bersifat parsial dan reaktif. Kemendag dinilai seperti pemadam kebakaran, karena menjelang lebaran baru melakukan operasi pasar. Namun, ternyata langkah tersebut efektif, harga-harga stabil dan ketersediaan atau pasokan pangan aman.

"Diharapkan prestasi baik ini tetap dipertahankan sehingga rakyat dapat merasakan betul apa yang dilakukan pemerintah saat ini," kata Wakil Ketua DPD RI, Farouk Muhammad kepada wartawan di Jakarta, Kamis (23/7).

Ia juga mengapresiasi Kemendag yang mampu memberantas mafia pangan, yang selama ini membuat harga-harga mahal karena menimbun barang kebutuhan pokok. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel dianggap bisa mengendalikan harga dan distribusi barang serta memotong rantai mafia pangan, sehingga harga relatif stabil sejak Ramadhan, lebaran dan paska lebaran.

Walaupun memang ada kenaikan harga pada beberapa daerah namun tidak terlalu signifikan. Hal terjadi karena distribusi barang belum merata ke seluruh daerah di Indonesia, yang pada akhirnya berdampak pada kenaikan harga beberapa komoditas pangan di tingkat lokal.

Sementara, Tulus Abadi Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan walaupun operasi pasar yang dilakukan Kemendag sukses menstabilkan harga-harga, namun ia khawatir operasi pasar tak bisa membuat harga-harga stabil untuk ke depannya.

"Apalagi paska lebaran ini harga pangan malah tinggi, hingga H+6 dinyatakan alasannya akibat gangguan distribusi, para pelaku pasar belum pulang ke daerah masing-masing," katanya kepada gresnews.com, Jumat (24/7).

Dalam jangka panjang, Kemendag juga perlu menfokuskan penyetabilan harga pada persoalan harga pangan hulu. Dimana terdapat banyak mafia dan kartel, pemerintah harus melihat struktur pasar yang tak sehat karena ada dominasi kelompok tertentu sementara selama ini pemerintah kurang mampu mengintervensi harga pasokan.

Harga kebutuhan pokok yang diserahkan kepada pasar secara 100 persen ini membuat persaingan oligopoli dan monopoli di pasar tak diendus pemerintah. Walaupun begitu, ia tetap mengapresiasi langkah Mendag melakukan operasi pemberantasan mafia dan kartel pangan karena masalah pokok harga pangan ada di permainan keduanya.

"Tapi operasi pasar tak bisa menyelesaikan masalah jangka panjang, persaingan tak sehat yang tak bisa diendus pemerintah ini membuat mereka sulit mengambil alih dan mengintervensi pasar," katanya.

Ia mengingatkan, dalam UU Pangan telah diamanatkaan membentuk lembaga pangan yang kuat untuk mengintervensi dari segi pasokan dan harga serta mewujudkan ketahanan pangan. Namun, mulai dari UU tersebut dibentuk, hingga saat ini, lembaga yang diamanatkan belumlah ada.

"Jika belum terbentuk, maka jangka panjangnya, saya yakin konsumen akan terus terombang-abing dalam kenaikan harga saat terjadi gonjang-ganjing apapun," ujarnya.

Sabtu, 25 Juli 2015

Impor Jagung Dihentikan

Sabtu, 25 Juli 2015

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Pertanian menghentikan impor jagung. Diharapkan, produksi jagung dalam negeri yang saat ini meningkat bisa terserap pasar, terutama oleh industri pakan.

Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan produksi pada tahun ini sebanyak 20,31 juta ton jagung pipilan kering. Target ini meningkat dibandingkan dengan realisasi produksi jagung 2014-sesuai angka sementara Badan Pusat Statistik (BPS) -yang sebanyak 19,03 juta ton.

Mengacu Angka Ramalan I BPS, produksi pada 2015 diperkirakan mencapai 20,67 juta ton jagung pipilan kering.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, Jumat (24/7), di Jakarta, mengatakan, penghentian impor jagung tersebut bukan dalam rangka menghambat industri pakan mendapat bahan baku jagung. Akan tetapi, impor diberikan sesuai kebutuhan.

"Kita tidak anti impor. Impor akan kami berikan sesuai dengan kebutuhan. Jangan sampai berlebih agar jagung produksi petani dalam negeri juga bisa dimanfaatkan," katanya.

Menurut Amran, naiknya produksi jagung di dalam negeri membuat jagung dari sejumlah daerah penghasil jagung diekspor. Daerah penghasil jagung yang produksinya diekspor itu antara lain Gorontalo dan Nusa Tenggara Barat.

Sasaran

Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Hasil Sembiring menambahkan, intervensi pemerintah untuk meningkatkan produksi jagung antara lain melalui Gerakan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GPTT) Jagung seluas 102.000 hektar.

Data GPTT Jagung Ditjen Tanaman Pangan menunjukkan, sasaran GPTT di 34 provinsi di Tanah Air seluas 102.000 hektar. Namun, dari target atau sasaran itu, yang terealisasi per 9 Juli 2015 baru sekitar 58.803 hektar atau 57,65 persen.

Adapun optimasi lahan untuk mendukung peningkatan produksi jagung ditargetkan 1 juta hektar. Dari target itu, yang terealisasi baru sekitar 19.480 hektar atau 1,95 persen.

Dari target 1 juta hektar itu, sekitar 857.320 hektar atau 85,73 persen di antaranya memasuki tahap proses penyaluran. Sisanya, yakni seluas 123.200 hektar atau 12,32 persen, belum terlaksana.

Program lainnya berupa subsidi benih untuk lahan seluas 100.000 hektar. "Untuk subsidi benih belum terlaksana karena belum ada permintaan dari daerah. Diperkirakan, pelaksanaannya dimulai pada Oktober 2015," ujar Sembiring.

Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Desianto B Utomo mengatakan, berdasarkan perhitungan GPMT, produksi jagung nasional yang bisa dimanfaatkan industri pakan sekitar 22 persen dari total produksi. Jumlahnya setara 5,4 juta ton.

"Kami tidak bicara tentang produksi, tetapi perhitungan kami setiap tahun produksi jagung nasional yang bisa dimanfaatkan industri pakan 22 persen," katanya.

Realisasi impor jagung industri pakan sampai dengan Juni 2015 sekitar 1,65 juta ton. Pada 2015, produksi pakan diproyeksikan mencapai 16,5 juta ton. Dengan proyeksi produksi itu, kebutuhan jagung sekitar 8,25 juta-8,5 juta ton.

Dengan demikian, kebutuhan jagung impor tahun ini diperkirakan setidaknya 3 juta ton.

Saat ini, harga jagung di pasar dunia naik. Harga jagung impor hingga tiba di pelabuhan Jakarta berkisar Rp 3.300-Rp 3.400 per kilogram. Mengacu pada harga gudang pabrik pakan, ada tambahan biaya transportasi Rp 200 per kg, menjadi Rp 3.500 hingga Rp 3.600 per kg.

Adapun harga jagung dalam negeri di gudang pabrik pakan berkisar Rp 3.200-Rp 3.300 per kg. (MAS)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150725kompas/#/17/

Jumat, 24 Juli 2015

Biaya Tanam Kian Melonjak

Jumat, 24 Juli 2015

Petani di Sejumlah Daerah Mulai Hentikan Menanam Padi

BANYUMAS, KOMPAS — Biaya tanam petani padi pada musim tanam ini terus melonjak akibat areal pertanian mereka dilanda kekeringan. Untuk menyelamatkan lahan dari kegagalan panen, petani harus mengeluarkan modal ekstra untuk menyewa pompa air, bahkan patungan membuat sumur bor.

Taryo (35), petani Tingarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (23/7), mengatakan, dua pekan ini menyewa pompa dan membeli selang untuk mengalirkan air ke sawah. Itu dilakukan untuk menyelamatkan padi miliknya yang masih berumur sekitar 35 hari.

Dia merinci, ongkos sewa mesin pompa Rp 100.000 per hari. Dia harus menyewa pompa selama dua hari guna mengairi seluruh sawahnya. Biaya itu belum ditambah solar sekitar 10 liter per hari dan membeli selang 150 meter Rp 700.000. Dengan biaya tambahan itu, modal tanam padi yang biasanya Rp 4,5 juta per hektar kini jadi Rp 6 juta.

Sebagian petani harus patungan untuk membuat sumur bor atau pantek. Slamet Waluyo (41), petani Desa Kawunganten, Kecamatan Kawunganten, Cilacap, menuturkan, biaya membuat sumur bor Rp 1,5 juta ditanggung bersama oleh empat petani, termasuk dirinya. Sumur itu dipakai bergantian.

Untuk menarik air dari dalam sumur pantek dengan kedalaman rata-rata 30 meter itu, petani menggunakan pompa air seharga Rp 3 juta ditambah bahan bakar. "Selama 21 jam kami memerlukan 20 liter bensin," ujarnya. Harga bensin Rp 8.500 per liter atau Rp 170.000.

Padahal, debit air yang dihasilkan dari sumur selama sehari hanya bisa mengairi 0,5 hektar sawah. "Antara air yang dapat dipompa dan modal mesin pompa air dan BBM tidak sebanding," keluhnya.

Untuk itu, petani mulai khawatir, melonjaknya biaya tanam tidak akan tertutupi hasil panen. Pasalnya, selama ini, hasil panen petani dihargai dengan sistem tebas berkisar Rp 5,5 juta-Rp 6 juta. "Jadi tengkulak sudah membayar sejak sepekan sebelum panen. Biaya panen mereka yang tanggung," kata Slamet.

Dibiarkan mati

Di Sumatera Selatan, 412 hektar padi gagal tanam karena kekurangan air. Jumlah itu meliputi 300 hektar (ha) di sawah pasang surut di Kabupaten Banyuasin dan sekitar 112 ha di sawah tadah hujan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Sungai-sungai yang menyusut selama kemarau ini juga membuat warga di beberapa daerah kesulitan air.

Padi yang ditanam untuk panen musim gadu itu hanya sempat tumbuh hingga usia sekitar dua pekan hingga sebulan dan selanjutnya tak bertambah tinggi atau mati menguning karena kekurangan air. Sawah-sawah yang sudah ditanami padi terlihat dibiarkan tanpa dirawat.

Ketua Gabungan Kelompok Tani Desa Nusantara, Kabupaten OKI, Sukirman (35) mengatakan, petani membiarkan benih-benih yang tumbuh kerdil itu karena sudah tak mungkin produktif. Sebagian benih justru tak tumbuh sama sekali karena kekurangan air. "Kalau dirawat justru beban biaya tambah besar, tapi belum tentu ada pemasukan," katanya.

Dari modal tanam total sekitar Rp 3 juta per ha, petani memperoleh bantuan dari pemerintah berupa benih dan pupuk. Namun, petani tetap rugi sekitar Rp 1 juta untuk biaya yang tak ditanggung pemerintah. Kemarau juga memicu sumber air dan sumur warga di Lahat mengering. Saat ini, warga mengandalkan Sungai Lematang untuk mandi dan cuci.

Sebagian petani di Magelang dan Temanggung mulai menghentikan penanaman padi. Dengan minimnya air, mereka baru akan kembali menanam padi saat musim hujan tiba, akhir tahun ini. "Karena tak ada air, mau tak mau lahan dibiarkan menganggur hingga musim hujan tiba," ujar Kasmudi (45), petani di Mertoyudan, Magelang.

Petani di Kabupaten Paser, Kaltim, juga resah. Mereka memompa air dari sungai dan menghabiskan banyak BBM. Tugino, Ketua Kelompok Tani Krida Taka di Longkali, Kabupaten Paser, mengatakan, dari 35 anggota kelompoknya, hanya sebagian kecil memiliki pompa air. Sisanya menyewa pompa air Rp 50.000-Rp 100.000 per hari. "Hujan sudah tak mengguyur sejak dua hari sebelum puasa. Beberapa hari masih bertahan, tetapi akhirnya harus cari air. Yang enggak kuat beli bensin menyerah," katanya.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan pun menyiapkan pompa untuk petani yang mengalami kekeringan. Namun, sejauh ini, belum diterima laporan kekeringan yang melanda lahan pertanian.

"Sejauh ini kami belum menerima laporan kekeringan di lahan sawah. Jika ada petani yang menanam padi di lahan tadah hujan, kami menyiapkan bantuan pompa di setiap kabupaten/kota," kata Kabid Produksi Pangan Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sulawesi Selatan M Aris.

(IRE/DRI/ENG/PRA/CHE/GRE/EGI)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150724kompas/#/21/

Kamis, 23 Juli 2015

Mentan Tidak Akan Keluarkan Izin Impor Beras

Kamis, 23 Juli 2015

JAKARTA (Pos Kota)-Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan pihaknya tidak akan mengeluarkan izin impor beras konsumsi tahun ini. Pasalnya, produksi beras dalam negeri dinilai sudah mencukupi target.

“Kalaupun Kementerian Perindustrian mengeluarkan rekomendasi impor beras hal itu dikarenakan ada restoran yang membutuhkan jenis beras tertentu yang memang harus diimpor. Jumlahnyapun sangat sedikit,” katanya.

Menurut Amran dari data impor beras jumlahnya sekitar 49 ribu ton yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) yang merupakan beras menir untuk industri dan beras khusus untuk penderita diabetes, serta untuk restoran. Dibandingkan dengan produksi beras nasional tahun 2015 yang 45 juta ton, maka impor beras itu hanya sebesar 0.1 persen saja.

Dengan jumlah impor beras sekecil itu maka tidak akan mempengaruhi harga beras petani dan cadangan beras pengadaan Bulog beras dalam negeri. Kemampuan Bulog menyerap beras petani 25 ribu ton per hari sehingga saat ini belum diperlukan impor beras untuk kebutuhan pangan nasional.

Menurut Mentan, beras yang diimpor pada Juni 2015 merupakan beras jenis khusus, bukan yang biasa dikonsumsi masyarakat atau beras medium. Kegiatan impor beras medium biasanya hanya dilakukan oleh Perum Bulog dengan penugasan pemerintah.

(faisal/sir)

http://poskotanews.com/2015/07/23/mentan-tidak-akan-keluarkan-izin-impor-beras/

Berkah Bencana Merangkak

Sebagai negara tropis dengan dua musim, penghujan dan kemarau, akan datang silih berganti setiap tahun. Dalam periode tertentu terjadi anomali iklim berupa La Nina atau El Nino.

Tahun ini, El-Nino moderat diperkirakan berlangsung hingga November.

Sejumlah daerah, seperti Sumatra Selatan, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara, berpotensi terkena dampak El Nino. Meskipun belum mencapai puncak, sejumlah daerah di Jatim dan Ja teng sudah mengalami puso.

Ini terjadi karena antisipasi dan mitigasi masih bersifat reaktif, temporer, ad hoc, dan berorientasi proyek. Penyelesaian bersifat businessasusual:

pompanisasi, hujan buatan, perbaikan embung, bantuan air bersih, dan pengadaan traktor. Pendekatan tak berubah dan selalu diulangulang tiap tahun.

Kompleksitas bertambah karena kekeringan merupakan bencana yang prosesnya berjalan lambat, sering disebut bencana merangkak. Tidak seperti banjir yang datangnya tiba-tiba dan nilai kerugiannya segera bisa diketahui.

Dari tiga sektor (municipal, pertanian dan industri) pengguna air, pertanian akan paling terpukul dampak kekeringan. Apalagi kalau El Nino, aktivitas pertanian amat bergantung pada alam yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan teknologi. Ketika air yang tersedia tidak memadai, apa gunanya bantuan pompa dan traktor? Ini pemborosan.

Kekeringan, banjir, dan anomali iklim selalu identik dengan keterbatasan. Itu terjadi karena ini diposisikan sebagai pembatas. Padahal, kekeringan sebenarnya peluang, bahkan berkah.Bagi tanah, periode kering merupakan masa istirahat untuk pemulihan.

Masa itu berguna untuk memperbaiki sifat fisik (struktur, aerasi, permeabilitas), kimia dan biologi tanah setelah dieksploitasi secara terus-menerus dalam kondisi anaerob.

Pada musim kemarau tanah menjadi aerobik, sirkulasi udara menjadi lebih baik dan zat-zat beracun yang mengganggu pertumbuhan tanaman terekspose. Periode bera ini memutus siklus hama sekaligus mentransformasi posfit (yang tidak tersedia bagi tanaman) jadi posfat (yang siap diserap akar). Setelah ke keringan, produksi padi pada tanah demikian harus dipacu karena dipastikan produksi lebih tinggi dari tahun normal.

Masalahnya, periode kekeringan terkadang lebih panjang dari kondisi normal. Akibatnya, tidak hanya produksi pangan menurun, petani juga akan jatuh miskin karena sawah merupakan satu-satunya harta dan sandaran hidup.

Jumlah pengangguran meningkat, arus urbanisasi tak terbendung. Ini akan mem biakkan kerawanan sosial dan masalah baru di kota. Hal yang paling mencemaskan adalah rapuhnya kedaulatan pangan, lalu kita menjadi tergantung pangan impor. Politik akan terguncang jika hal-hal di atas tak terkendalikan.

Hal ini bisa disiasati. Petani harus diyakinkan bila praktik bercocok tanam perlu diubah. Cara-cara bertani dengan mengandalkan pranata mangsadan menentang alam harus ditinggalkan. Saat ini, masih banyak petani berpikir harus menanam padi saat air menggenang di sawah tanpa berhitung sebulan atau dua bulan bakal kekeringan.

Karena itu, Sekolah Lapang Iklim perlu dimassalkan. Lewat sekolah ini, petani bisa diajari "membaca peta iklim untuk menyusun pola tanam dan memperkirakan hasil panen.

Di wilayah dengan pola tanam padi padi-padi harus diubah menjadi pola padi-padi-palawija atau padi-palawija- palawija. Padi bisa dipilih varietas genjah, berdaya hasil tinggi dan tidak rakus air, seperti Memberamo dan Way Apo Buru. Irigasi cukup macak-macak, seperti pada praktik system rice intensification.

Menanam palawija, seperti kacang hijau, juga menekan risiko kekeringan.

Di beberapa wilayah Jawa Timur, petani memanfaatkan musim kemarau untuk menanam hortikultura, seperti semangka, melon, dan sayuran. Cara-cara ini selain menekan risko juga akan menjaga pendapatan.

Di wilayah yang lebih kering dan bercuaca panas, petani perlu mengganti jenis tanaman yang lebih toleran kekeringan. Perlu dipertimbangkan kembali padi gogo dengan sistem gogo rancah seperti masa lalu. Bagi daerah yang memungkinkan irigasi suplesi bisa memanfaatkan sumur pantek.

Konsep reuse, recycling, dan reduce harus benar-benar diimplementasikan di lapangan. Pendek kata, kita bisa memetik berkah kekeringan apabila bisa me nyediakan air menurut ruang dan waktu, kapanpun dan di manapun.

KHUDORI

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat

http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/07/22/nrs7fy-berkah-bencana-merangkak

Rabu, 22 Juli 2015

Bulog Berganti Wajah Masalah Baru Mengintai

JAKARTA, GRESNEWS.COM - Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah mengamanatkan pembentukan sebuah lembaga atau badan pangan baru. Status Badan Urusan Logistik (Bulog) pun menjalani proses perubahan dari perusahaan umum (Perum) menjadi non-perum. Harapannya, Bulog menjadi lembaga yang lebih kuat untuk menangani masalah pangan Indonesia.

Namun belajar dari sejarah, perubahan ini agaknya harus diikuti perubahan tata kelola manajemen keuangan. Jika tidak, maka seperti yang sudah-sudah, Bulog hanya akan dijadikan alat pemenuhan dana bagi kelompok tertentu.

Pengamat Pangan Khudori menyatakan, dengan posisi Bulog saat ini, memang benar banyak keterbatasan. Apalagi, terdapat 9 kementerian dimana Bulog harus berkordinasi sehingga aksinya selama ini dianggap kurang lincah.
"Status Perum membuat kelamin Bulog menjadi banci, di satu sisi menjalankan fungsi publik, sisi lainnya menjalankan fungsi komersil," katanya kepada gresnews.com, belum lama ini.

Perubahan status Bulog menjadi perusahaan umum (perum), diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003. Sejauh ini Bulog belum bisa menyeimbangkan kedua fungsi tersebut dengan baik seperti yang dilakukan Pegadaian. Praktis 12 tahun setelah pembentukannya, Bulog belum cukup mampu melewati masa transisinya, dan masih bergantung pada penugasan pemerintah.

Dengan status Bulog yang diubah sehingga tak berorientasi sebagai pencari untung, membuat kelaminnya lebih jelas dan lebih fleksibel dalam bekerja, sebab hanya berkordinasi dengan satu majikan. Namun, perubahan yang bagus ini masih memiliki celah kekurangan yang berimplikasi pada terjadinya moral hazard.

Pada saat Bulog masih berbentuk lembaga pemerintah non-departemen LPND sebagai pelaksana kebijakan pemerintah dalam pelayanan publik di bidang pangan, khususnya beras. Tugas Bulog sebagai public service obligation dan tidak dituntut untuk mencari profit. Di sisi lain, meskipun bukan BUMN, Bulog melakukan aktivitas usaha, yang memungkinkan meraih untung besar.

Karena tidak ada tuntutan meraih untung itulah setiap keuntungan Bulog dimasukkan ke kas nonbudgeter. Kas nonbudgeter ini yang menjadi incaran penguasa untuk dimanfaatkan bagi kepentingannya. Dengan status semacam itu, dalam pengelolaan keuangan, standar akuntansi yang digunakan Bulog menjadi kacau dan tidak jelas acuannya.

"Tinggal pengawasannya, tiap sisi yang ada moral hazard ditutup. Masalahnya kan nanti akan dibiayai APBN, jadi tugasnya hanya menghabiskan anggaran," katanya.

DI BAWAH KENDALI PRESIDEN - Bulog yang nantinya akan berada di bawah kendali langsung presiden juga sangat rawan dari intervensi kepentingan politik. Karena pengelolaan keuangan hanya berdasarkan Keputusan Presiden, bukan berdasarkan undang-undang keuangan negara.

Pada waktu Presiden Megawati juga menggunakan dana nonbudgeter Bulog untuk membayar uang muka imbal-beli pesawat, dan Bulog tidak dapat berkutik. Apalagi, struktur Bulog langsung berada di bawah Presiden.

Contoh lain misalnya adanya rekayasa pembayaran pembatalan ruilslag antara Bulog dengan Goro Batara Sakti (GBS). Rekayasa pembayaran pengeluaran dana Rp4,6 miliar yang dilakukan empat deputi Bulog kepada bank garansi, yang dikeluarkan pada 24 Mei 2000, murni korupsi.

Dana sebesar Rp4,63 miliar yang ditujukan kepada GBS melalui rekening di BNN, sebenarnya ditujukan untuk keperluan meringankan posisi mantan Ketua Bulog Beddu Amang yang menjadi terdakwa kasus korupsi ruilslag Bulog-GBS. Tujuannya, agar tidak ditemukan adanya unsur kerugian negara, sehingga dakwaan korupsi terhadap Beddu tidak terbukti.

Empat deputi Bulog mengeluarkan dana Rp4,63 miliar dengan nota dinas tertutup. Para oknum petinggi Bulog ini juga mencoba mempersiapkan proteksi pengamanan dini untuk menghilangkan jejak pertanggungjawabannya. Kasus ini mengingatkan sejarah panjang Bulog di masa Orde Baru, yang dalam batas-batas tertentu, menjadi penentu dan penopang rezim yang berkuasa dari kejatuhan.

"Masa lalu bulog kita tak jelas pertanggungjawaban akuntansinya sehingga dananya menjadi incaran banyak pihak," ujarnya.

Mengenai mekanisme pertanggungjawaban dana non budgeter sendiri hingga kini belum diatur secara khusus di dalam peraturan perundang-undangan. Tak ada bentuk strategi penanganan oleh penegak hukum terhadap dugaaan penyalahgunaan dana non budgeter yang terjadi.

Pada era Presiden Habibie, Rahardi Ramelan selaku Kepala Bulog dinyatakan bersalah oleh Pengadilan, sedangkan Akbar Tanjung yang pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dinyatakan bersalah, akhirnya pada tingkat kasasi dinyatakan tidak bersalah. Menghadapi kasus ini akhirnya DPR membuat Panitia Khusus, dalam Laporan Panitia Khusus DPR RI Untuk Mengadakan Penyelidikan Terhadap Kasus Dana Milik Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan BULOG dan Kasus Dana Bantuan Sultan Brunei Darussalam Kepada Presiden KH Abdurrahman Wahid yang disampaikan Pada Rapat Paripurna DPR RI Tanggal 20 Januari 2001.

Pansus sampai pada kesimpulan bahwa kasus Yanatera Bulog dan dana Bantuan Sultan Brunei Darussalam patut diduga Presiden Abdurrahman wahid dinilai telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan, kebohongan terhadap masyarakat dan lahirnya KKN baru.

Sedang pada 10 Mei 2003 lalu, saat posisi Bulog berubah dari LPND menjadi Perum Bulog, acuan akuntansi keuangannya pun menjadi jelas. "Nanti, jika posisinya benar berubah menjadi Non perum, indikator kinerja dan laporan keuangannya harus jelas," katanya.

Koordinator Pokja Beras Aliansi Desa Sejahtera (ADS) Said Abdullah juga menyatakan hal yang sama, karena nantinya seluruh aktivitas Bulog dibiayai APBN maka aktivitas pembelian ke petani pun menjadi rawan. Saat Bulog berbentuk LPND dan berada di hingga tingkat kecamatan terdapat "permainan" di proses pembelian. Para petinggi Bulog banyak yang menganggarkan pembelian lebih tinggi dari realisasinya.

"Penyelewengan pembelian ini ada di gudang, bocor semua. Banyak praktek anggaran dan manipulasi," katanya kepada gresnews.com.
SEBAGAI STABILISASI HARGA - Namun, perubahan status menjadi non perum ini pun diapresiasi Ketua DPD RI, Irman Gusman, penggodogan menjadi BLU ini menjadikan fungsi utama Bulog menjaga stabilitas harga dan ketersediaan barang kebutuhan pokok, serta melakukan distribusi ke seluruh Indonesia. "Saya sudahenyarankan ini kepada pemerintah jauh hari sebelum Presiden Jokowi menjelaskannya kepada publik," ujarnya dalam pesan singkat kepada gresnews.com.

Dengan perubahan status tersebut, ia berharap Bulog bisa menjadi lembaga yang kuat seperti pada zaman Soeharto, sebelum bulog diintervensi oleh IMF. Perubahan status tersebut akan digulirkan melalui Keputusan Presiden (Kepres) yang menurut rencana akan diterbitkan pada bulan Oktober 2015. Hal itu dilakukan pemerintah agar negara memiliki kepanjangan tangan dalam menjaga stabilitas barang kebutuhan pokok dan mampu melawan para spekulan yang selama ini kerap memainkan harga kebutuhan pokok.

Berkaitan dengan jalur koordinasi, posisi Bulog berada langsung di bawah Presiden dan tidak berada di bawah kementerian BUMN lagi. Ia bertanggung jawab langsung kepada Presiden, sementara kebijakan sehari-harinya berada di bawah Kementerian Perdagangan. Bulog akan menjadi lembaga yang kuat dalam menjamin ketersediaan barang kebutuhan pokok dan mampu menjaga stabilitas harga pangan.

Karena dengan posisi Bulog berada di bawah Presiden dan pelaksana kebijakan Kementerian Perdagangan, Bulog tidak lagi menjadi pencari untung tetapi benar-benar sebagai alat negara penyangga pangan. Dengan demikian, posisi Bulog akan lebih mampu menekan inflasi. Terlebih yang ditangani Bulog nanti tidak hanya beras, tetapi juga jenis sembako yang lainnya.

Lebih jelasnya, Dirut Bulog sebagai pelaksana dari kebijakan Kemendag, katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR, Herman Khaeron mengatakan, posisi badan pangan dan Bulog ini seperti bayi kembar siam. Badan pangan nasional nantinya akan menjadi regulator dan Bulog menjadi operator.

"Bulog nanti tidak akan bertanggung jawab lagi ke berbagai kementerian seperti saat ini," ujarnya.

http://www.gresnews.com/berita/ekonomi/90237-bulog-berganti-wajah-masalah-baru-mengintai/0/

Perlu Daerah Penghasil Beras Premium

Rabu, 22 Juli 2015

JAKARTA, KOMPAS — Impor beras premium dan khusus dari waktu ke waktu terus meningkat. Hal itu terjadi karena beras itu tidak diproduksi di Indonesia. Agar Indonesia tidak bergantung pada beras premium dan khusus, perlu dikembangkan daerah penghasil beras tersebut.

Pembudidaya beras premium lokal asal Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Hery Sugiantoro, kepada Kompas, Selasa (21/7), mengatakan, selama ini, pemerintah masih berfokus pada swasembada beras medium.

Di sisi lain, seiring dengan peningkatan kelas menengah, kebutuhan beras premium juga meningkat. Pada 2014, kebutuhan beras premium sudah mencapai 30 persen dari total konsumsi beras nasional.

"Potensi pasar tersebut perlu ditangkap. Jangan sampai hanya dipenuhi dengan mengimpor beras dari negara lain," ujarnya.

Menurut Hery, sejumlah daerah yang telah memproduksi beras premium itu adalah Banyuwangi dengan produknya bernama beras genjah arum, Demak beras mlati, Magelang beras mentik wangi, Pemalang beras bawor, dan Kalimantan Utara beras adan. Produksi beras tersebut masih terbatas. Demak baru mengembangkan 40 hektar (ha) dengan rata-rata produksi 4,8 ton per ha.

"Peminatnya mayoritas perorangan dari kelas menengah ke atas. Sebagian besar dipasarkan secara mandiri, sedangkan sebagian lagi sudah masuk ke minimarket, supermarket, hotel, dan restoran," ujarnya.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Januari-Juni 2015, Indonesia mengimpor beras khusus dari lima negara, yaitu Vietnam, India, Pakistan, Myanmar, dan Thailand. Total volume impor tersebut 194.495,467 ton senilai 84,943 juta dollar AS. Angka tersebut lebih tinggi daripada periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu 176.277,496 ton senilai 76,206 juta dollar AS.

Kepala BPS Suryamin mengemukakan, beras impor itu merupakan beras khusus. Beras khusus itu antara lain beras yang digunakan untuk benih dan kebutuhan restoran Jepang, Thailand, Vietnam, dan India.

"Ada juga beras dengan patahan tinggi untuk bahan baku tepung, serta untuk penyandang penyakit tertentu, seperti diabetes," ujarnya. (HEN)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150722kompas/#/17/

Selasa, 21 Juli 2015

Impor Beras Melonjak 130%, Kementan: Itu Beras Menir dan Khusus Diabetes

Selasa, 21 JUli 2015

Jakarta -Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan data impor beras Juni 2015 yang melonjak 130% dari bulan sebelumnya. Hal ini mengundang reaksi Kementerian Pertanian (Kementan), Kementan menegaskan tak mengeluarkan rekomendasi impor beras konsumsi atau beras medium (umum).

Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi Kementan Suwandi mengatakan bahwa beras yang diimpor pada Juni 2015 tersebut merupakan beras jenis khusus, bukan yang biasa dikonsumsi masyarakat atau beras medium. Kegiatan impor beras medium biasanya hanya dilakukan oleh Perum Bulog dengan penugasan pemerintah.

"Itu beras khusus seperti menir, beras untuk penderita diabetes, dan untuk keperluan industri," katanya kepada detikFinance, Senin (20/7/2015).

Ia menjelaskan untuk beras menir atau beras pecah (broken rice) bukan beras yang dikonsumsi masyarakat. "Beras yang umum dikonsumsi itu beras premium," tambahnya.

Sementara beras untuk penderita diabetes, Indonesia belum mampu diproduksi dalam negeri maka masih perlu impor.

Kementan hingga saat ini belum mengeluarkan rekomendasi untuk impor beras premium. Suwandi menjelaskan, izin impor untuk beras khusus dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian. Beras menir sumber impornya berasal dari Kamboja dan Vietnam.

Suwandi menjelaskan, impor beras oleh importir swasta hanya bisa dilakukan untuk jenis beras premium.Terkait kenaikan jumlah impor beras sebanyak 49.000 ton, Suwandi menjelaskan angka tersebut tergolong kecil.

"Angka itu hanya setara dengan 2 hari kemampuan pengadaan Bulog yang setiap harinya mampu menyerap 25.000 ton beras. Tapi memang kita tidak bisa produksi sendiri," katanya.

Sebelumnya, BPS mencatat ada impor beras sebanyak 49.539 ton dengan nilai mencapai US$ 22,313 juta. Angka ini melonjak dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Misalnya volume impor beras bulan Mei 2015 sebesar 20.903.235 Kg atau 20.903 ton, nilainya US$ 9,623 juta atau ada kenaikan 130% secara volume.

Sedangkan impor beras pada Februari 2015 hanya 7.912 ton atau senilai US$ 3,1 juta. Pada Januari 2015, impor beras mencapai 16.600 ton atau US$ 8,3 juta.‎

http://finance.detik.com/read/2015/07/21/102947/2972045/4/1/impor-beras-melonjak-130-kementan-itu-beras-menir-dan-khusus-diabetes

Malukah Kita Mengimpor Beras? (2-Habis)

Selasa, 21 Juli 2015

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Said Abdullah (Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan/KRKP)

Sejak Orde Baru hingga kini, sesungguhnya strategi yang digunakan tak ada yang berubah. Semua pemerintahan menggunakan pendekatan “Revolusi Hijau” dalam meningkatkan produksi beras nasional. Hal ini dapat kita lihat dari pendekatan dan implementasi program yang diambil. Alih-alih menggunakan pendekatan pertanian berkelanjutan, penggunaan input luar buatan korporasi terus ditingkatkan. Subsidi benih, pupuk, pestisida dilakukan setiap tahun dengan anggaran yang terus meningkat.

Padahal candu dari Revolusi Hijau itu sudah terbukti gagal meningkatkan produksi secara berkelanjutan. Pendekatan ini juga terbukti tidak efisien, bahkan boros. Sebagai ilustrasi, dalam sepuluh tahun terakhir anggaran pertanian naik 611 persen. Tapi hal itu diiringi dengan naiknya subsidi benih menjadi Rp 7,6 trilun dan subsidi pupuk menjadi Rp 132,7 trilun. Tapi apa yang terjadi dengan produksi? Dengan anggaran sebanyak itu kenaikan produksi hanya terjadi sebesar 17,4 persen!

Persoalan mendasar lainnya adalah kegagalan pemahaman dan rendahnya komitmen pemerintah. Selama ini pembangunan pertanian diarahkan hanya pada upaya peningkatan produksi. Dengan terjadinya peningkatan produksi diasumsikan kesejahteraan petani meningkat. Pemahaman ini harus dirubah karena terbukti kenaikan produksi tidak berkolerasi positif dengan pengingkatan kesejahteraan petani.

Pembangunan pertanian semestinya ditujukan untuk mensejahterakan petani agar produksi meningkat. Dalam bahasa guyon para petani mengatakan, jika petani mendapat harga jual bagus dan sejahtera, tak perlu disuruh untuk menanam karena pasti mereka akan melakukannya secara sukarela.

Saat ini petani seakan “dipaksa” menanam tapi tanpa diberi jaminan soal harga. Tak ada insentif bagi petani, menjadi penyebab semakin meningkatnya migrasi tenaga kerja di sektor pertanian dan konversi sawah untuk peruntukan lain.

Swasembada pangan dan kedaulatan pangan adalah keniscayaan. Pemerintah haruslah bersungguh-sungguh mengupayakan dan mewujudkannya. Untuk mencapainya setidaknya ada dua hal mendasar yang patut diimplementasikan.

Pertama, jadikan petani sebagai subyek, bukan sekedar alat produksi. Tujuan pembangunan pertanian haruslah tertuju mewujudkan kemuliaan dan kesejahteraan petani, bukan sebaliknya. Untuk itu diperlukan kebijakan dan program yang utuh. Tak hanya pada sisi input atau produksi tapi juga sampai pasca panen. Jika selama ini kebijakan lebih banyak terkait dengan input pertanian, ke depan perlu diarahkan pada upaya penjaminan harga dan pasar yang berpihak pada petani.

Kedua, sudah saatnya merubah pola produksi menjadi lebih berkelanjutan. Produksi dialihkan dari pendekatan Revolusi Hijau kepada pertanian berkelanjutan. Dengan pertanian berkelanjutan maka peningkatan produksi yang terjadi bukan insidensial namun terencana dan terus menerus.

Pertanian berkelanjutan dinilai cocok dengan keberlimpahan sumberdaya di sektor pertanian yang dimiliki Indonesia. Menjadi sangat sia-sia jika sumberdaya lokal tersebut tak dioptimalkan atau malah dimanfaatkan untuk kesejahteraan pihak lain. Jika dua hal itu dilakukan, semoga saja istilah gemah ripah loh jiwani itu bisa memberi manfaat kepada negeri ini. Semoga.

Malukah Kita Mengimpor Beras? (1)

Selasa, 21 Juli 2015

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Said Abdullah (Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan/KRKP)

Masih pantaskah istilah gemah ripah loh jiwani itu dilekatkan pada Indonesia? Itulah pertanyaan sederhana di kala melihat begitu derasnya impor berbagai pangan, khususnya beras, yang masuk ke negeri ini. Mungkin, inilah tragedi bagi sebuah negeri yang memiliki kekayaan alam berlimpah.

Simaklah bagaimana Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman pada pekan lalu telah mengakui Indonesia sekarang ini sudah menjelma sebagai importir beras tertinggi di Asia. Malukah kita?

Padahal jika kita mengengok sedikit saja ke belakang, padi -- tanaman yang menghasilkan beras -- bukanlah tanaman baru di Indonesia. Sejarah sudah mencatat sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun silam, padi telah dikenal dan dibudidayakan serta produknya dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat negeri ini.

Lantas, dalam setiap periode pemerintahan, produksi padi selalu dijadikan indikator keberhasilan pembangunan pertanian. Pada periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya, target swasembada ditargetkan dicapai pada 2009 dan pada 2014. Demikian juga dengan duet Joko Widodo-Jusuf Kalla yang sesumbar menargetkan swasembada beras dalam tiga tahun mendatang.

Lalu berbagai strategi, program dan kebijakan digulirkan untuk mencapai target-target tersebut. Tak sedikit pula anggaran yang dikucurkan untuk mewujudkan swasembada. Produksi memang mengalami peningkatan, namun impor juga terus terjadi dan cenderung meningkat. Sekali lagi, inilah tragedi yang sudah menjadi parodi di negeri ini.

Untuk mengetahui impor yang terus meningkat itu, mari kita tengok data statistik yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Data menunjukkan dalam sepuluh tahun terakhir Indonesia sudah mengimpor 7,3 juta ton beras. Pada 2007, 2011 dan 2012 merupakan tahun-tahun dengan impor terbesar, yaitu masing-masing 1,2 juta ton, 2,2 juta ton dan 1,4 juta ton.

Dengan volume impor sebanyak itu tentu saja nilai ekonomi yang terbuang juga luar biasa banyak. Jika dalam hitungan sederhana selisih harga beras di pasar internasional dan dalam negeri Rp 500 per kilogram maka dalam 10 tahun tak kurang dari Rp 3,6 triliun sudah kita hamburkan ke negara lain hanya untuk sekedar membeli beras.

Kerugian yang diakibatkan dari meningkatnya impor beras ini tak hanya sebatas ekonomi saja. Lebih penting dari itu, impor beras semakin melemahkan kedaulatan pangan negara ini. Di sini, Indonesia menjadi dibuat tergantung ke negara lain dan pasar internasional. Alhasil, negara ini menjadi lemah lunglai dan tersubordinasi.

Padahal kita tahu, pasar beras internasional itu sangat tipis sehingga rawan guncangan. Jika terjadi spekulasi sedikit saja, pasar beras dunia akan bergolak. Ujungnya, timbullah krisis pangan. Kedaulatan pangan yang lemah pada akhirnya berimbas juga pada kedaulatan petani.

Impor beras yang tinggi mendorong terjadinya distorsi harga di tingkat petani. Asumsi yang muncul, harga jual gabah dan beras tertekan, pendapatan berkurang dan pada akhirnya kesejahteraan petani tak berubah. Situasi ini tergambar dari Nilai Tukar Petani (NTP) dalam sepuluh tahun terakhir yang hanya berubah 0,7.

Upaya peningkatan produksi beras nasional bukan tanpa hasil. Pada era Orde Baru sempat dicapai swasembada bahkan mengekspor beras. Lalu pada tahun 2008 dan 2009 juga terjadi swasembada beras (tak ada impor) dengan peningkatan produksi tertinggi dalam sepuluh tahun, yaitu 5,5 persen dan 6,7 persen.

Namun sayang peningkatan produksi yang terjadi sesaat karena satu tahun berselang, produksi anjlok, impor pangan melejit tajam. Hal ini terjadi sama seperti ketika era Orde Baru mencapai swasembada, namun beberapa tahun berselang impor kembali dilakukan.

Dengan memperhatikan fenomena yang ada maka dapat dikatakan terjadi kesalahan dalam strategi pembangunan pertanian, khususnya peningkatan produksi beras nasional. Di luar diskursus dampak perubahan iklim yang terjadi, kegagalan pencapaian swasembada beras menunjukan lemahnya proses belajar negeri ini.