Kamis, 29 Oktober 2015

Impor Beras Jadi Musibah

Kamis, 29 Oktober 2015

BERKAH di balik musibah. Berkah bagi Thailand dan Vietnam, tapi menjadi musibah bagi Indonesia. Ini akan terjadi andai El Nino terus berkepanjangan, dan hujan tak kunjung mengguyur wilayah kita hingga akhir Oktober ini. Konsekuensinya, Indonesia harus mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam guna mengamankan cadangan beras nasional. Badai El Nino yang berkepanjangan itu berpengaruh pada kemenurunan produksi padi sehingga menyebabkan kelangkaan di pasar dan membuat harga beras melonjak. Usai membuka Trade Expo Indonesia di Jakarta, Rabu (21/10/15), Presiden Joko Widodo mengatakan Indonesia akan mengimpor beras guna memperkuat cadangan nasional bila hujan tak kunjung turun. Namun keputusan itu akan diambil setelah pihaknya mengkaji dampak El Nino dan perkembangan iklim. Andai musim kemarau berlanjut hingga November 2015, pemerintah baru memutuskan mengimpor beras. Pada 13 Oktober 2015, Menko Perekonomian Darmin Nasution juga mengatakan pemerintah telah melakukan pembicaraan dengan Vietnam dan Thailand mengenai impor beras. Rencananya beras yang diimpor itu kurang dari 1 juta ton, atau di bawah jumlah yang kita butuhkan karena stok beras di dua negara itu telah diborong Filipina. Bila kita jadi mengimpor beras berarti kontraproduktif dengan pernyataan Jokowi dan beberapa pejabat. Apalagi Kementan dan Perum Bulog selalu mengklaim stok beras nasional aman sampai akhir 2015. Target swasembada beras pada 2017 yang berujung pada ketahanan pangan pun terancam. Agustus lalu, Kepala Bulog Djarot Kusumayakti meyakinkan stok beras nasional aman hingga akhir 2015, dengan keluar-masuk stok, diserap, dan dikeluarkan sekitar 1,5-1,6 juta ton. Jumlah ini diklaim cukup untuk memenuhi kebutuhan beras bagi warga miskin (raskin) selama empat bulan, yakni sekitar 1 juta ton. Hitungan empat bulan diambil hingga musim panen kembali terjadi pada Maret 2016. Bila stok beras Bulog masih berlebih maka akan digunakan 500 ribu ton stok beras nonmedium. Sementara daya serap Bulog sampai akhir tahun ini diperkirakan 1,5 juta-2 juta ton beras atau gabah setara beras. Mentan Amran Sulaiman juga menyatakan impor merupakan opsi terakhir mengingat stok beras mencukupi hingga akhir tahun ini. Ia mengutip angka ramalan BPS yang menyebut ada sekitar 75,5 juta ton gabah kering giling (GKG) tersedia hingga akhir tahun. Bila El Nino terus melanda diperkirakan stok itu tidak turun drastis, paling hanya menjadi 75,2 juta ton. Karena itu, dana Rp 3,5 triliun yang dicadangkan pemerintah untuk menghadapi El Nino, tidak perlu digunakan mengingat cadangan beras masih aman. Paling Tinggi Standing crop (padi baru tanam) se- Indonesia saat ini 4,1 juta hektare, belum termasuk 250.000 hektare lahan rawa dari potensi lahan rawa lebih dari 800.000 hektare. BPS menyebut produksi padi tahun 2015 tercatat paling tinggi dalam 10 tahun terakhir, diperkirakan 75,55 juta ton GKG, naik 4,7 juta ton (6,64%) dibanding 2014.

Kenaikan diperkirakan terjadi di Jawa sebesar 1,83 juta ton dan di luar Jawa 2,88 juta ton. Mentan juga sesumbar El Nino yang melanda Indonesia saat ini tidak separah El Nino 1997. Bila berkait El Nino 1997 Indonesia harus mengimpor 7,1 ton beras pada 1998 maka pada El Nino saat ini kita justru masih memiliki stok 1,7 juta ton. Mentan mengklaim devisa negara bisa dihemat sekitar Rp 52 triliun tanpa impor beras. Ini tentu menjadi berkah bagi rakyat Indonesia. Sebaliknya bila hujan tidak kunjung turun dan kita harus impor, itu akan menjadi musibah bagi Indonesia dan sebaliknya berkah bagi Thailand dan Vietnam. Dalam 10 tahun terakhir, pada 2004-2014, impor beras Indonesia fluktuatif. Impor tertinggi terjadi pada 2011 sebanyak 2,74 juta ton atau 7,18% dari produksi beras nasional. Adapun yang terendah pada 2005 sebanyak 195 juta ton atau 0,62%. Tahun 2007 dan 2012, impor beras juga cukup besar, masingmasing 1,40 juta ton atau 4,2%, dan 1,93 juta ton atau 4,80%. (43)

— Suharto Wongsosumarto, alumnus Fakultas Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/impor-beras-jadi-musibah/

Asuransi Pertanian

Kamis, 29 Oktober 2015

Keputusan cerdas Presiden Joko Widodo memberikan perlindungan kepada petani dalam bentuk asuransi pertanian usaha tanaman pangan harus diapresiasi.

Asuransi tanaman pangan diprioritaskan karena komoditas ini diusahakan oleh petani miskin, gurem, bermodal sangat terbatas, dan rentan terhadap perubahan iklim. Tanpa perlindungan, mereka dipastikan terus terpuruk dan terjerat rentenir.

Asuransi memungkinkan adanya perlindungan sosial dan ekonomi langsung bagi petani yang gagal panen akibat banjir, kekeringan, dan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Implikasinya, asuransi pertanian dapat memberdayakan dan mengangkat harkat dan martabat petani. Pertanyaannya, apa manfaat asuransi pertanian dan bagaimana implikasinya terhadap produksi, produktivitas dan daya saing pertanian Indonesia?

Proteksi atas risiko tinggi

Perubahan fundamental adanya asuransi pertanian adalah Pasal 37 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013, yakni terjadinya transformasi usaha pertanian yang berisiko tinggi dan penuh ketidakpastian menjadi terproteksi melalui kepastian penjaminan. Prasyarat kepesertaan asuransi akan mengikat petani menerapkan praktik pertanian terbaik. Tanam serempak, irigasi berselang, pemupukan berimbang, dan pengendalian OPT berkelanjutan merupakan teladannya. Implikasinya, terjadi soliditas usaha yang memicu peningkatan efisiensi, produktivitas, daya saing, serta keberlanjutan usaha pertanian.

Lebih lanjut, asuransi pertanian menjadikan pertanian sebagai profesi yang menjanjikan sehingga akan menarik minat generasi muda. Pendekatan hamparan memungkinkan pemanfaatan alat dan mesin pertanian dapat diefisienkan. Panen serentak akan memudahkan pengelolaan pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian.

Negara-negara Eropa, Amerika, dan negara maju lain telah lama melakukan proteksi dan perlindungan sektor pertanian. Bentuknya berupa subsidi: energi, input, insentif, asuransi, bahkan proteksi harga jual komoditas dan pengendalian importasi produk sejenis ataupun komplementer. Pemerintah Indonesia harus berjuang menyukseskan asuransi pertanian karena kedaulatan pangan merupakan prasyarat keberlanjutan dan kejayaan negara yang tak tergantikan.

Asuransi pertanian juga menjadi insentif perbankan dalam menyalurkan kredit karena adanya jaminan pengembalian kredit. Bagi bank, asuransi pertanian dapat mengeliminasi kredit bermasalah ketika usaha tani pangan gagal. Cepat dan pasti, kucuran kredit usaha pertanian akan semakin tumbuh dan berkembang. Saat ini, bank pemerintah dan swasta telah menyiapkan diri untuk mengucurkan kreditnya ke sektor pertanian. Sektor pertanian dipastikan tumbuh lebih tinggi dan lebih cepat sehingga pencapaian kedaulatan pangan dapat diakselerasi.

Asuransi produksi

Asuransi pertanian dapat didiversifikasi dan dikembangkan menjadi asuransi produksi dan harga komoditas pertanian. Perlindungan petani menjadi semakin komprehensif sebab tidak hanya gagal saja yang diganti, tetapi juga ketika produksi turun dan harganya anjlok, sesuai premi dan pertanggungannya.

Tentu prasyarat dan term of condition-nya lebih detail berdasarkan kesepakatan kedua pihak. Biaya subsidi preminya dapat memanfaatkan sebagian kecil dana subsidi benih dan pupuk yang tiap tahun mencapai tidak kurang Rp 35 triliun dan tidak pernah habis. Asuransi produksi dan harga akan lebih murah dan efektif sehingga menjadi komplementer dengan subsidi input.

Melalui asuransi produksi dan harga komoditas pertanian, pemerintah dapat mentransformasikan sektor pertanian konvensional menjadi pertanian modern berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi maju dari hulu sampai ke hilir. Saat itulah, produksi dan produktivitas sektor pertanian Indonesia punya daya saing tangguh menghadapi kompetitor produsen pangan regional ataupun global. Argumennya, selain pekerja keras, petani Indonesia juga mampu memproduksi komoditas apa saja, kapan saja, sepanjang tahun. Beragamnya iklim, mulai dari daratan (tropis) sampai gunung (subtropis), yang tidak dimiliki negara mana pun menjadi keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia.

Besarnya premi asuransi pertanian, menurut Peraturan Menteri Pertanian No 40/2015, adalah Rp 180.000 per hektar per musim tanam dengan pertanggungan Rp 6 juta per hektar jika mengalami puso (gagal panen). Penetapan ini dilakukan berdasarkan hasil uji coba tahun 2013 dan 2014 di Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Pemerintah menyubsidi premi Rp 144.000 (80 persen) dan premi swadaya Rp 36.000 (20 persen) per hektar. Jika rata-rata kepemilikan lahan 0,3 hektar, petani hanya membayar premi Rp 12.000.

Tahun ini, dengan biaya Rp 150 miliar, direncanakan 1 juta hektar lahan sawah (7,14 persen) diasuransikan. Jika berhasil, tahun 2016 dapat dikembangkan menjadi 3 juta hektar (21,52 persen) dan pada akhirnya kita asuransikan 14 juta hektar luas tanam (100 persen).

Eksekusi asuransi pertanian ini harus dikawal agar memberikan manfaat maksimal bagi petani sekaligus mengeliminasi penyimpangannya sehingga eksekusi komitmen pemerintah dan DPR yang sangat kuat dapat dioptimalkan.

GATOT IRIANTO

Kuasa Pengguna Anggaran Asuransi Pertanian/Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/151029kompas/#/7/

Beras Tasikmalaya Diminati di Luar Negeri

Kamis, 29 Oktober 2015

TASIKMALAYA, KOMPAS — Kualitas beras organik dari Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, diakui konsumen mancanegara. Sejak enam tahun terakhir, sebanyak 729.811 ton beras organik Tasikmalaya diekspor ke sejumlah negara.

"Beras organik Tasikmalaya adalah satu-satunya beras yang diekspor tahun ini dari Indonesia. Kerja keras para petani ini harus diapresiasi karena tidak mudah memenuhi standar ekspor banyak negara di Eropa dan Amerika," kata Direktur Jenderal Tanaman Pangan di Kementerian Pertanian Hasil Sembiring, saat melepas pengiriman 18 ton padi organik Tasikmalaya dari Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Simpatik menuju Italia, di Kampung Cidahu, Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong, Tasikmalaya, Rabu (28/10).

Produksi beras organik di Tasikmalaya merupakan yang tertinggi di Indonesia. Dari sekitar 51.000 hektar sawah, sebanyak 8.000 hektar di antaranya menerapkan pola organik. Satu hektar sawah organik bisa menghasilkan 6,5-8 ton dengan harga jual gabah kering panen saat ini Rp 6.500 per kilogram. Namun, potensi besar itu belum maksimal. Saat ini, baru 280 hektar sawah bersertifikasi internasional, sebagai syarat utama ekspor.

Berdasarkan data Gapoktan Simpatik Tasikmalaya, ekspor beras organik dimulai pada 2009 sebanyak 18 ton ke Amerika Serikat. Sukses pengiriman itu memicu pesanan selanjutnya. Pada Januari-Oktober 2015, misalnya, sebanyak 133,5 ton beras organik sudah dikirim ke Belgia, Italia, Malaysia, dan Amerika Serikat.

Hasil Sembiring mengatakan, sukses petani organik Tasikmalaya memberi banyak arti bagi masa depan pertanian di Indonesia. Selain mampu meningkatkan penghasilan, ekspor memberikan harapan dan semangat besar pengelolaan potensi besar Indonesia. Di tengah ancaman kekeringan, petani organik Tasikmalaya tetap berkarya menghasilkan produk berkualitas.

Menambah sawah

"Tahun depan, kami akan menambah 4.000 hektar sawah organik baru di sejumlah daerah di Indonesia, seperti Jawa Barat dan Jawa Timur," katanya.

Menurut Ketua Gapoktan Simpatik Uu Saeful Bahri, ekspor beras organik adalah hasil proses panjang dan kerja keras petani Tasikmalaya sejak 2003. Kemauan petani mengubah pola pikir menanam padi berkualitas hingga ketekunan pengajuan sertifikasi internasional yang rumit membuahkan hasil manis. Sejak 2009, permintaan beras organik dari beberapa negara tidak pernah berhenti.

Namun, menurut Uu, faktor yang menggembirakan bukan hanya permintaan tinggi. Penambahan jumlah petani bersertifikasi mencapai 3.000 petani hingga terbukanya pasar lokal menjadi hal yang patut disyukuri.

"Perlahan, petani dan konsumen di Indonesia semakin paham pola pertanian tanpa pestisida untuk menghasilkan produk yang sehat," katanya.

Perwakilan Biofresh, perusahaan yang bergerak di bidang pangan asal Belgia, Daem Renaat, mengatakan, Tasikmalaya adalah salah satu penghasil beras organik berkualitas di dunia. Fakta banyak petani sudah tersertifikasi internasional membuat perusahaannya tidak segan membeli beras organik Tasikmalaya untuk masyarakat Belgia.

"Pasar beras organik Tasikmalaya dan Indonesia di Eropa masih sangat besar. Sekitar setengah penduduk Eropa kini mengonsumsi pangan organik termasuk beras. Potensi itu bisa dimanfaatkan petani Tasikmalaya mempertahankan pola pertanian sehat dan ideal," katanya.

Sementara itu, Provinsi Lampung menargetkan luas tanam seluas 807.406 hektar pada masa tanam 2016. Dengan luas tanam tersebut, Lampung diharapkan dapat memproduksi 4,4 juta ton gabah kering giling. Itu bisa dicapai jika produktivitas 1 hektar sawah mencapai 5,5 ton gabah kering giling (GKG).

Hal tersebut dikatakan Kepala Dinas Pertanian Lampung Lana Rekyanti ketika ditemui Kompas di Bandar Lampung, Rabu. "Pada tanam rendeng di bulan Oktober-Maret, kami menargetkan luas tanam sebesar 470.897 hektar. Pada tanam gadu April-September, kami menargetkan luas tanam sebesar 334.509 hektar," katanya.

Upaya peningkatan luas tanam tersebut dilakukan dengan melakukan revisi pola tanam, perbaikan jaringan irigasi tersier, dan percepatan tanam.

(CHE/GER)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/151029kompas/#/22/

Rabu, 28 Oktober 2015

Tetap Mengimpor Beras

Rabu, 28 Oktober 2015

Salah satu janji kampanye yang diunggulan Jokowi-JK pada Pilpres 2014, yakni mewujudkan ambisinya untuk melakukan swasembada pangan yang dinyatakan sanggup dicapai dalam waktu empat tahun ke depan. Lantaran terikat janjinya itu, sehingga meski kerap mendapat desakan untuk membuka kebijakan impor beras untuk mengatasi kenaikan harga, Jokowi tetap saja kukuh. Kata Jokowi, impor beras merupakan suatu kebijakan yang tak diperlukan.

Tapi tak berselang lama, pasca pelantikannya, sikap kukuh yang dipertahankan Jokowi, pada akhirnya bobol juga. Tak dinyana, 17 Maret 2015, Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Inpres ini memperbolehkan impor beras pada saat kondisi tertentu, yakni bila ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi, sekaligus untuk menjaga stabilitas harga.

Dua bulan pasca Inpres itu diterbitkan, Perum Bulog mengklaim bahwa stok beras di gudang penyimpanan mereka masih cukup untuk memenuhi kebutuhan 250.000 ton tiap bulan, jadi pengadaan Bulog yang kini menginjak angka 1,1 juta ton mampu memenuhi kebutuhan lima bulan ke depannya, yaitu diramalkan sekitar 2,75 juta ton hingga akhir tahun 2015. Olehnya itu, Bulog yang memiliki kewenangan oleh inpres itu untuk mengimpor beras tak bergeming.

Sebagai gantinya, Bulog akan tetap fokus menambah stok beras dari dalam negeri. Namun sikap Bulog di bulan Mei 2015 kala itu, ditepis Guru Besar IPB, Dwi Andrea Santosa, bahwa ambisi Bulog memenuhi targetnya itu, sanatlah sulit. Fakta di lapangan pada masa itu telah terjadi penurunan produksi dalam negeri. Contohnya, pada tahun 2013 hanya 7,4 juta ton. Lalu tahun 2014 turun menjadi 6,5 juta ton. Maka tahun 2015, juga dipastikan menurun.

Meski diberi gambaran seperti itu, Bulog tetap saja percaya diri akan memenuhi ambisinya. Namun di awal Agustus 2015, KADIN mulai menyuarakan bahwa Indonesia bakal terserang krisis pangan. Indikatornya karena dampak dari El-Nino. Akibat suara keras KADIN itu, Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, menggelar rapat terbatas bersama sekian menteri ekonomi. Rapat itu menyimpulkan bahwa untuk mengantisipasi lonjakan harga, kran impor harus dibuka.

Putusan rapat yang dipimpin Jusuf Kalla itu, malah ditepis oleh Bulog. Dikatakan bahwa kran impor beras belum saatnya untuk dibuka. Dalihnya bahwa stok beras Bulog, terutama untuk raskin (Rastra), masih cukup dalam memenuhi kebutuhan hingga akhir 2015. Hal sama juga dikatakan Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, bahwa dirinya akan melaksanakan andai itu perintah Jokowi. Mungkin maksud Amran Sulaiman, bukan karena perintah dari Jusuf Kalla.

Kenapa mesti seperti itu, tak lain karena Jokowi tetap kukuh pada janjinya untuk menekan beras impor melalui swasembada pangan, sekalipun Jokowi berulangkali mengungkap rasa risihnya lantaran Indonesia memiliki areal persawahan luas, tapi tiap kali bertemu Presiden Vietnam selalu ditawari impor beras. Tapi kala Indonesia mulai berminat mengimpor beras Vietnam, Menko Perekonomian, Darmin Nasution, mengaku didahului China dan Filipina.

http://www.kompasiana.com/amt/tetap-mengimpor-beras_562fced6959773440cc072b8

Selasa, 27 Oktober 2015

47 Penggilingan Padi Kerja Sama Dengan Bulog

Senin, 26 Oktober 2015

Kami berupaya bagi penggilingan padi yang di bantu oleh pemerintah akan dikerja samakan dengan Bulog sebagai upaya mendukung swasembada pangan

Palu,  (antarasulteng.com) - Kepala Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Tengah Trie Iriani Lamakampali mengatakan sebanyak 47 unit Rice Milling Unit (RMU) atau penggilingan padi yang diberikan kepada Gabungan Kelompok Tani di wilayahnya akan bekerja sama dengan Badan Urusan Logistik (Bulog).

"Kami berupaya bagi penggilingan padi yang di bantu oleh pemerintah akan dikerja samakan dengan Bulog sebagai upaya mendukung swasembada pangan," katanya di Palu, Senin.

Ia mencontohkan jika ada gabah sebanyak 500 ton, sebanyak 10 persen atau 50 ton akan dibagi menjadi dua yakni 25 ton dijual kepada bulog sisanya dijual langsung oleh petani.

"Kami ingin petani juga bisa mengambil untung," terangnya.

Trie Iriani menerangkan bahwa bantuan RMU kepada Gapoktan merupakan kualitas yang terbaik atau double pass. kata dia, RMU yang berada dilapangan saat ini, 70 persen masih dalam kualitas one pass.

"Desain kerjasama yang dibangun adalah untuk kekuatan pangan bangsa Indonesia," tekannya.

terkait peran bulog dalam kerjasama ini untuk menyerap produksi beras petani, ia mengatakan bahwa fungsi bulog untuk mengatur dan menstabilkan harga pasar. Sementara pihaknya berfungsi untuk mendorong kelompok tani di masyarakat untuk terus berproduksi.

"Saya berharap nantinya Bulog bisa menyimpan cadangan beras dalam bentuk gabah kering, karena bentuk tersebut lebih baik dari pada penyimpanan dalam bentuk beras," harapnya.

Sementara itu Kepala Gudang Beras Bulog Sulteng Kaharuddin beberapa waktu lalu mengatakan bahwa stok beras yang ada hingga kini meski jumlahnya terbilang menipis, tetapi masih mencukupi kebutuhan penyaluran, termasuk mendukung kegiatan operasi pasar kalau memang dibutuhkan.

Persediaan beras yang ada di gudang Tondo Palu, kata Kaharuddin, semuanya merupakan beras hasil pembelian dari petani lokal. Semua stok beras di gudang saat ini hasil pengadaan lokal baik yang dibeli langsung satgas Bulog maupun dari mitra (para pengusaha penggilingan) padi. Sementara gudang beras Tondo Palu dapat menampung sebanyak 7.000 sampai 8.000 ton beras produksi petani.
http://www.antarasulteng.com/berita/21896/47-penggilingan-padi-kerja-sama-dengan-bulog

Kamis, 22 Oktober 2015

Doa Syukur untuk 12 Ton Per Hektar

Kamis, 22 Oktober 2015
Suharyono, Kepala Dusun Sumberan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, memimpin doa dalam upacara wiwit, Rabu (14/10).

Suharyono, Kepala Dusun Sumberan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, memimpin doa dalam upacara wiwit, Rabu (14/10). KOMPAS/THOMAS PUDJO WIDYANTO

Masyarakat Dusun Sumberan, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, terkesima sekaligus berbahagia. Hasil panen terakhir padi musim kemarau ini mencapai 12 ton gabah kering panen per hektar atau setara 8 ton beras. Itu sungguh angka fantastis untuk warga dusun yang tinggal di kawasan Sungai Boyong yang berhulu di Gunung Merapi tersebut.

Karena itu, terkait dengan peristiwa yang baru pertama kali terjadi ini, Rabu (14/10) petang, warga menggelar acara doa syukur berupa upacara wiwit, yakni upacara tradisi doa syukur atas kelimpahan panen padi.

"Namun, makna wiwit dalam upacara tahun ini maknanya lebih luas lagi. Wiwit, yang berarti awal atau permulaan, merupakan spirit doa sebagai permulaan kesadaran kami untuk melakukan penanaman padi yang lebih terpola," kata Indra yang menjadi motor penggerak berbagai kegiatan dusun itu.

Seluruh warga aktif ikut melaksanakan upacara wiwit. Upacara diawali dengan mengiringkan sesajen berupa ingkung ayam, bunga-bunga, nasi tumpeng dan sebakul padi, serta gunungan yang dibentuk dari sayur, buah, dan tanaman yang tumbuh di Dusun Sumberan. Sesajen ini diiringi prajurit Wirokromo, leluhur dusun itu, menuju tempat ritual di tepian sawah.

Suharyono, Kepala Dusun Sumberan, memimpin kirab mengiringi sesajen sekaligus rais yang memimpin doa. Bau dupa, yang dinyalakan rais yang bersimpuh di tengah pematang sawah, memberikan suasana mistis di persawahan. Dewi Sri, Dewi Padi, sebagaimana doa-doa rais, diharapkan hadir untuk senantiasa memberikan kesuburannya di wilayah Dusun Sumberan.

Pupuk organik

Menurut Indra, keberhasilan peningkatan produksi padi yang mengejutkan itu lebih karena gerakan dan kesadaran masyarakat dusun untuk membangun pertanian lebih baik. Totok Hedi Santosa, aktivis budaya yang juga anggota DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta, menyatakan, masyarakat telah mampu mempersatukan antara ilmu pertanian yang diperoleh dan kesadaran jiwa (local wisdom).

Kondisi itu, menurut Hedi, yang diangkat menjadi penashat untuk kegiatan budaya dan pertanian di Dusun Sumberan, memunculkan peradaban atau perangai baru dalam mengelola pertanian.

Sejak beberapa bulan lalu, menurut Indra, warga Dusun Sumberan dibina untuk membuat pupuk organik berbahan kotoran ternak, terutama sapi. "Pupuk yang kami buat itu digunakan untuk memupuk padi tanaman terakhir ini. Ternyata hasilnya luar biasa, 12 ton per hektar," kata Indra yang juga dosen Sekolah Tinggi Pertanian dan Perkebunan Yogyakarta.

Indra cukup yakin bahwa peningkatan produksi yang menggembirakan itu lebih disebabkan pengaruh pupuk organik. "Dibandingkan dengan yang dulu, sama-sama pada musim kemarau, produksi tidak sebagus ini. Bahkan, pada panen musim hujan pun belum pernah mencapai 12 ton," katanya.

Indra mengungkapkan, panen kali ini dijadikan sebagai momentum titik balik dalam dunia pertanian di Sumberan. Musim hujan mendatang, misalnya, akan dilakukan penanaman padi serentak. Ini tradisi baru karena sebelumnya petani semaunya sendiri menentukan kapan menanam padi dan jenis padi yang ditanam.

Dari luas 30 hektar sawah di Dusun Sumberan, pemilik sawah di lahan seluas 22 hektar menyatakan sepakat menanam padi dengan jenis bibit yang sama secara serentak. "Ini lebih menguntungkan hasilnya daripada yang tidak menanam serentak. Gerakan serentak di Sumberan ini memang kecil. Namun, kalau dusundusun lain menerapkan pola tanam seperti ini pasti swasembada beras benar akan terbukti," kata Suharyono.

Menurut Indra, memang harus ada pionir-pionir untuk menggerakkan kesadaran masyarakat di dusun. Dusun Sumberan bisa memperbaiki kegiatan karena ada sedikit upaya dari Romo Tan yang bermukim di dusun itu.

"Dari kebudayaan, menurut konsep Romo Tan, masyarakat bisa digerakkan. Maka, untuk pusat kegiatan dusun, Romo Tan membangun rumah Jawa berbentuk joglo sembilan tahun lalu," kata Indra.

Joglo itu lantas menjadi pusat kegiatan kesenian, seperti tari dan latihan gamelan Jawa. Rapat-rapat dusun pun diselenggarakan di joglo. Dari kegiatan di rumah joglo itulah, pelan-pelan muncul kesadaran masyarakat untuk membangun harkat hidup mereka.

Kegiatan budaya atau kesenian dapat merangkul masyarakat untuk berkumpul, bukan hanya bicara soal kesenian, melainkan juga pertanian.

"Di dusun ini ada tujuh sumber air yang tak terawat. Ini akan dihidupkan masyarakat dengan menghijaukan lingkungan. Setiap tahun akan diselenggarakan upacara penyelamatan sumber air. Dengan kegiatan budaya semacam itu, lingkungan akan terselamatkan. Lewat budaya, hati masyarakat kita ketuk kesadarannya," kata Indra. (THOMAS PUDJO WIDIJANTO)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/151022kompas/#/22/

Rabu, 21 Oktober 2015

Jika Kemarau Berlanjut, Pemerintah Akan Impor Beras dari Vietnam atau Thailand

Rabu, 21 Oktober 2015

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo mengatakan, pemerintah akan melakukan impor beras untuk menjaga pasokan dalam negeri. Kebijakan impor akan diambil jika kemarau terus berlanjut. Kemungkinan, beras akan diimpor dari Vietnam atau Thailand.

"Impor itu kita lakukan untuk memperkuat cadangan beras nasional. Bisa ditaruh di Vietnam atau Thailand, bisa ditaruh di sini," kata Jokowi, di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (21/10/2015).

Jokowi menyebutkan, kebijakan impor itu akan diputuskan pada akhir bulan ini.

"Kalau minggu ketiga, minggu keempat Oktober hujannya masih ragu-ragu, ya memang kalau perlu (berasnya) ditarik ke Indonesia," ujar Jokowi.

Sebelumnya, Jokowi mengungkapkan, hingga saat ini cadangan beras yang ada di Badan Urusan Logistik (Bulog) mencapai 1,7 juta ton. Jumlah itu akan bertambah sekitar 200.000-300.000 ton beras hasil panen pada bulan Oktober dan November.

Ada enam provinsi yang menjadi tumpuan produksi beras di seluruh Indonesia, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan.

http://nasional.kompas.com/read/2015/10/21/12022611/Jika.Kemarau.Berlanjut.Pemerintah.Akan.Impor.Beras.dari.Vietnam.atau.Thailand

Selasa, 20 Oktober 2015

KSAD Jenderal Mulyono Akan Perangi Mafia Impor Beras

SELASA, 20 OKTOBER 2015
KSAD Jenderal Mulyono Akan Perangi Mafia Impor Beras

KSAD Jenderal TNI Mulyono (kiri) berjabat tangan dengan Danjen Kopassus Mayjen TNI Muhammad Herindra (kanan) seusai upacara penyematan brevet komando di Mako Kopassus, Cijantung, Jakarta, 25 September 2015. ANTARA/M Agung Rajasa

TEMPO.CO, Subang - Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Mulyono menyatakan tak ada tempat bagi para mafia yang menginginkan impor pangan, terutama beras, di Indonesia. "Kita perangi impor. Kita harus perang dengan mafia-mafia yang ingin impor itu," ucap Jenderal Mulyono dalam acara "Gelar Teknologi Pertanian Modern, Modernisasi Pertanian untuk Swasembada Pangan" di Desa Gardu Multi, Subang, Jawa Barat, Selasa, 20 Oktober 2015.

Ia mengungkapkan, meski Indonesia saat ini sedang dilanda El Nino, berdasarkan laporan para Pangdam di daerah sentra pangan di seluruh Indonesia, sampai pertengahan Desember 2015,  masih tercatat 1,1 juta luas lahan padi yang belum dipanen. "Artinya, masih ada skitar 5,5 juta ton lagi gabah yang belum dipanen," ujarnya.

Dengan data itu, Mulyono mengaku optimistis keinginan mengimpor beras seperti banyak diinginkan para mafia bisa disetop. Nantinya, jenderal bintang empat ini bahkan optimistis swasembada pangan sebagai wujud dari cita-cita kedaulatan pangan nasional akan bisa diwujudkan.

Meski begitu, ia tetap mengingatkan agar semua pihak yang berkepentingan dengan swasembada pangan tersebut terus meningkatkan dan memperbaiki manajemen pertanian, varietas bibit unggul, dan, "Semangat!"

Agar stok beras nasional tetap terjaga, Mulyono meminta petani menjual produksi padinya kepada Perum Bulog. "Bulog siap menampung gabah dan beras petani, tentu dengan harga yang kompetitif," ujarnya.

Mulyono kembali menegaskan komitmennya untuk terus membantu petani dalam upaya mewujudkan swasembada pangan nasional. "Kami meminta agar kehadiran TNI di bidang pertanian jangan dipertanyakan lagi," ucapnya.

Adapun Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengklaim telah mampu meningkatkan terget produksi gabah kering giling secara signifikan dalam sepuluh tahun terakhir. "Produksi GKG tahun 2004 mencapai 54,1 juta ton dan meningkat menjadi 75,6 juta ton pada periode 2015," katanya.

Produksi GKG tersebut, Amran menyebutkan, berkat adanya peningkatan luas tanam yang pada 2014 hanya sekitar 11,9 juta hektare, kemudian meningkat menjadi 14,3 juta hektare pada periode 2015.

Amran menjelaskan, terus meluasnya lahan tanam juga dipicu oleh terus meningkatnya produksi gabah dalam setiap hektarenya. Pada 2004, produksi per hektare hanya 4,54 ton, sedangkan pada 2015 meningkat menjadi 5,28 ton.

Semua keberhasilan tersebut, Amran menyatakan, tak lepas dari peran serta jajaran TNI. "Berkat kerja keras para penyuluh dan Babinsa TNI. Luar biasa TNI membantu kami," katanya.

NANANG SUTISNA

http://bisnis.tempo.co/read/news/2015/10/20/090711280/ksad-jenderal-mulyono-akan-perangi-mafia-impor-beras

Ratap Tangis Petani di Hari Pangan: Lakukan Slowdown, Bulog Bisa Dituding Sabot Nawacita

Senin, 19 Oktober 2015



Satu tahun sudah umur Bulog di bawah pemerintahan Jokowi – JK dan di bawah naungan Nawacita. Pertanyaannya, sudahkah Bulog mampu mewujudkan kedaulatan pangan. Selain itu apakah Bulog berhasil mengemban amanah Presiden Jokowi untuk mewujudkan prinsip-prinsip zero importation.

Setali Tiga Uang

Rasanya merinding bulu kuduk kita menjawab pertanyaan itu. Karena Bulog sekarang masih setali tiga uang dengan Bulog sebelumnya. Beberapa indikator penting yang menunjukkan Bulog belum berubah adalah:

Pertama, status perusahaan dari Bulog sebagai badan usaha benar-benar membebani Bulog, sehingga tidak bisa meninggalkan wataknya sebagai perusahaan pencari untung. Dengan statusnya itu, Bulog mudah dikendalikan untuk kepentingan pihak ketiga dalam mewujudkan bisnisnya.

Kedua, status tersebut akan membuat Bulog tabu untuk menyatakan keberpihakannya kepada petani, apalagi melakukan “proteksi dan subsidi” kepada petani. Dengan demikian Bulog juga berada dalam posisi tidak perlu mengendalikan harga pangan menjadi murah.

Ketiga, dengan statusnya sebagai badan usaha (milik negara) dan bukan badan layanan umum (BLU), maka “bisnis kecil” di internal Bulog akan tetap marak mengikutinya. Yang dimaksudkan adalah bisnis sampingan oknum Bulog dalam melakukan manipulasi kadar air, timbangan, derajat sosoh, kandungan menir (broken), serta transaksi-transaksi lain dalam pengadaan dan distribusi.

Keempat, Bulog masih dapat menyembunyikan berbagai agenda terselubung (hidden agenda) di balik kebijakan ekonomi dan alasan-alasan bisnisnya. Misalnya memasang harga rendah dan tunggal serta memperlambat menetapkan Harga Penawaran Pemerintah (HPP), meniadakan audit rutin atas stock, menetapkan kualitas gabah/beras, serta memanfaatkan kebijakan Bulog untuk memberi peluang bisnis bagi pihak ketiga.

Kelima, dengan paradigmanya sebagai badan usaha, Bulog akan tunduk pada prinsip-prinsip neolib (neoliberalism) yakni memandang pangan sebagai benda ekonomi (komoditas) semata bukan sebagai benda sosial, yakni pangan bagian dari hajat hidup orang banyak. Bulog seharusnya mempertahankan nilai gizi beras yang didistribusikan, tetapi bukan beras raskin yang hanya layak dijadikan pakan ternak.

Kelima indikator tersebut merupakan hambatan utama, yang membuat Bulog gagal mewujudkan kedaulatan pangan dan Nawacita. Bahkan selama satu tahun di bawah pemerintahan Jokowi – JK, Bulog kurang responsif terhadap kondisi stock dan dinamika harga gabah/beras yang terjadi di lapangan. Selama satu tahun, kendati telah dua kali Direktur Utama diganti, kinerja Bulog dalam penyediaan beras dan menciptakan kesejahteraan petani masih dipertanyakan.

Mitos bahwa Bulog berusaha sekuat tenaga menampung produksi gabah/beras ternyata isapan jempol belaka. Padahal Bulog telah bekerjasama dengan TNI untuk menjaga stock. Namun pada saat Danrem di provinsi Nusa Tenggara Barat berhasil menyiapkan gabah/beras petani, dengan berbagai alasan justru Bulog menolak.

HPP sebagai Sumber Malapetaka

Kinerja Bulog yang kurang responsif dan loyo ini bisa menimbulkan tudingan bahwa Bulog sedang menjalankan skenario pelemahan institusi secara disengaja, sehingga membuka peluang untuk mengahalalkan impor beras dan berlangsungnya liberalisasi pangan. Masalahnya selama hampir 50 tahun lebih, Bulog tidak mengakumulasikan pengalamannya menjadi “ilmu pangan” yang paripurna sebagai modalitas dalam memperbaiki kebijakan-kebijakannya. Di lain pihak kinerja Bulog dalam pengawasan; seperti monitoring, supervising, controlling, auditing; dibiarkan terus mengendor.

Kelangkaan stock yang terjadi pada tahun 2015, adalah konsekuensi dari keterlambatan ditetapkan HPP. HPP yang seharusnya dikeluarkan bulan Oktober 2014 baru diumumkan pada bulan Maret 2015. Padahal bulan Maret merupakan bulan bagi petani memasuki musim tanam kedua. Akhirnya pemerintah tidak melakukan stimulasi produksi gabah dan beras yang efektif serta melakukan penyerapan yang berarti untuk peningkatan stock.

HPP yang seharusnya dapat mendorong penyerahan produk gabah dan beras petani, justru menjadi batu penghalang bagi petani. HPP yang selama ini dituntut tidak bersifat tunggal tetap diberlakukan Bulog dengan nilai yang sangat rendah yang tidak layak untuk menghargai gabah/beras petani. HPP tersebut disama-ratakan untuk semua daerah dan semua kualitas gabah/beras petani. Selain itu kualitas yang dipersyaratkan tidak mungkin dipenuhi petani, khususnya terhadap derajat sosoh yang hanya bisa dipenuhi oleh mesin penggilingan moderen.

Bulog tidak menganggap HPP sebagai instrumen penting dalam sistem pangan nasional. Sebaliknya HPP justru dimanfaatkan untuk memberi peluang liberalisasi pasar dan alat dalam mencapai kepentingan mafia pangan. Keterlambatan penetapan dan besarnya HPP justru menghasilkan output yang berlawanan dengan hakekat didirikannya Bulog, yakni kelangkaan stock dan harga beras yang tinggi.

Hasilnya akhirnya benar-benar sesuai dengan harapan para mafia pangan, yakni dikeluarkannya kebijakan Bulog untuk melakukan impor beras. Kebijakan tersebut ditetapkan tanpa data yang cukup dan analisis yang cermat, tetapi berdasarkan isu yang beredar di surat kabar. Sedangkan informasi yang ada di surat kabar, kemungkinan besar merupakan informasi pesanan dari para mafia pangan. Hal ini sepertinya sejalan dengan sikap ogah-ogahan Bulog dalam membangun dan memanfaatkan sistem monitoring stock, harga, dan iklim/musim bebasis IT.

Kiat-kiat Mempermainkan Data

Lemahnya sikap responsif dan antisipatif Bulog dibayang-bayangi pula oleh pemberitaan tentang El Nino. Kendati ada analisis yang menyatakan dampak El Nino akan memuncak pada bulan Oktober dan November 2015 bahkan ada yang menyatakan akan berpengaruh sampai bulan Mei 2016, tetapi Bulog tetap saja tidak memiliki informasi yang akurat tentang stock gabah/beras yang tersedia baik yang ada di gudang, di petani, maupun pada area persawahan. El Nino tentu kurang berdampak pada sawah-sawah beririgasi teknis dengan sumber air memadai yang ditunjang oleh waduk/bendungan yang masih memiliki cadangan air yang cukup.

Bulog terkesan ingin mengambil keuntungan dari permainan data dan informasi tentang stock pangan yang bervariasi dan membingungkan di masyarakat. Hal ini patut dipertanyakan mengingat Bulog memiliki tugas dan fungsi sebagai pengendali stock yang handal. Pada saat data-data Kementerian Pertanian mengatakan bahwa stock beras cukup sampai akhir tahun 2015, Bulog malah menggunakan data BPS yang pesimistik untuk melegitimasi dilakukannya impor beras. Sementara Bulog sendiri tidak memiliki patokan rendemen pemrosesan gabah menjadi padi yang bisa dipercaya.

Kebiasaan Bulog dalam memanipulasi data untuk menjustifikasi kebijakan-kebijakannya sudah saatnya dikoreksi. Padahal Bulog sudah mengembangkan sistem IT dibawah direksi tersendiri dengan biaya yang tidak sedikit. Bulog sebenarnya bisa memfasilitasi lembaga-lembaga lain jika memang membutuhkan data pembanding (second opinion) dengan basis teknologi yang berbeda untuk mendeteksi stock.

Jika pun stock gabah/beras memang sangat kecil untuk memenuhi kebutuhan beras yang aman, seharusnya digali permasalahannya. Isu kelangkaan stock gabah/beras boleh jadi tidak benar, karena petani justru menahan gabah/beras di lumbung-lumbung mereka karena rendahnya HPP. Informasi semacam inilah yang tidak pernah disertakan, sehingga data/informasi yang dimiliki Bulog tidak didukung oleh catatan dan kontek yang membuat suatu informasi menjadi representatif.

Pemihakan terhadap Petani yang Setengah Hati

Sikap Bulog untuk melaksanakan subdisi pangan melalui pengadaan raskin (sekarang diganti rasta) sama sekali tidak mantab. Hal ini bisa dilihat dari kualitas dan volume raskin yang didistribusikan ke masyarakat dan petani. Raskin selama ini hanya dijadikan ajang bisnis para elit untuk mendapat komisi selisih harga pada saat pengadaan dalam negeri atau luar negeri.

Latar belakang pengadaan raskin sebagai bentuk aksi afirmasi agar produksi pangan tumbuh secara bersamaan perlu dievaluasi. Saat ini beras semakin dipandang sebagai komoditas atau barang dagangan, tetapi bukan bagian dari pemerataan sosial ekonomi. Raskin sebenarnya adalah alat untuk meningkatkan NTP (Nilai Tawar Petani) mengingat mayoritas petani kita adalah petani gurem. Kecuali itu raskin merupakan wujud dari sistem keamanan pangan (food security system) dan sistem pengaman sosial (social security system) bagi mereka yang berpenghasilan rendah.

Evaluasi sikap pemerintah terhadap raskin juga menuntut evaluasi atas kebijakan pangan secara nasional. Hal ini terkait dengan subsidi yang harus diberikan kepada rakyat berpenghasilan rendah. Kebijakan subsidi pemerintah di sektor energi sudah berjalan, walaupun belum signifikan. Namun pertumbuhan ekonomi akan lebih terasa jika pemerintah mampu merumuskan kebijakan subdisi yang tepat di sektor pangan.

Negara-negara seperti Amerika, Jepang, Cina, India, Australia, dan Selandia Baru menempatkan transformasi pertanian pangan sebagai fondasi untuk melakukan lepas landas agar menjadi negara industri maju (industrialized country). Tetapi di Indonesia pertanian pangan justru dikebiri demi merengkuh cita-cita menjadi negara industri (“yang tidak pernah terwujud”). Sedangkan Bangkalan sebagai lumbung padi nomor satu di Indonesia kini tidak memiliki stock gabah/beras sama sekali.***

Ir. S. Indro Tjahyono, Koordinator Relawan Jokowi – JK

http://www.kompasiana.com/sindrotj/ratap-tangis-petani-di-hari-pangan-lakukan-slowdown-bulog-bisa-dituding-sabot-nawacita_5624c4ad117f618c09491340

Senin, 19 Oktober 2015

Bulog Siap Mengimpor Beras Meski Stok di Gudang Aman

Minggu, 18 Oktober 2015

Solopos.com, PALEMBANG - Perum Bulog menyatakan bakal mengikuti perintah yang diberikan pemerintah untuk mengimpor beras sebagai solusi dari dampak El Nino yang menyebabkan banyak sawah kekeringan.

Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti mengatakan pihaknya siap mengimpor beras jika memang sesuai tugas yang diberikan pemerintah.

“Kalau diperintah beliau [Wakil Presiden Jusuf Kalla] pasti iya, kami siap mengimpor beras,” katanya di sela peringatan HPS di Palembang, Sabtu (17/10/2015).

Menurut Djarot, sebetulnya kondisi stok di gudang Bulog masih aman dengan asumsi sampai akhir tahun.
Dia mengemukakan impor dapat dijalankan untuk keperluan menyambut tahun depan karena dampak El Nino.

Sebelumnya, Wapres  mengatakan impor merupakan salah satu opsi yang bakal diambil pemerintah manakala produksi padi tak bisa digenjot lagi karena kekeringan.

“[impor] Jadi salah satu opsi kalau memang tidak bisa lagi dan El Nino berkepanjangan,” katanya.

http://www.solopos.com/2015/10/18/impor-beras-bulog-siap-mengimpor-beras-meski-stok-di-gudang-aman-652943

Minggu, 18 Oktober 2015

Wapres Ingatkan Pangkas Impor

Minggu, 18 Oktober 2015

Lemahnya penyerapan beras oleh Perum Bulog menjadi salah satu alasan untuk memuluskan realisasi impor.

KETERGANTUNGAN Indonesia terhadap impor komoditas pangan tidak terlepas dari masalah keterbatasan lahan. Persoalan tersebut bisa diatasi dengan menerapkan teknologi yang mampu memacu produktivitas tanam-an pangan.

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengemukakan itu di sela rangkaian acara Hari Pangan Ke-35 Sedunia, di Jakabaring Sport City (JSC), Palembang, dan di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatra Selatan, kemarin.

Seluruh kelompok tani, menurut Wapres, mesti bergerak bersama-sama mengimplementasikan teknologi tersebut. Ketika produktivitas pertanian dalam negeri dapat ditingkatkan, nilai impor pangan pun bakal berkurang.

"Kita semua mengurangi impor. Oleh karena itu, diperlukan produktivitas yang baik, jangan kita tergantung dari luar baik itu beras, jagung, kedelai, dan lain-lain," tegas Wapres seusai menandatangani Sampul Peringatan 70 Tahun FAO dalam perayaan Hari Pangan Dunia.

Menurut JK, saat ini pemerintah memfokuskan kebijakan untuk menjaga keseimbangan harga dan pasokan komoditas beras. Sebagian masyarakat diakui mengurangi konsumsi beras dan beralih ke jenis pangan lainnya. Namun, sayang pangan penggantinya pun berasal dari impor.

"Memang setiap tahun konsumsi beras itu per orang menurun karena di lain pihak ada impor gandum naik sebagai peralihan-peralihan dari konsumsi beras. Indonesia mengimpor gandum tujuh juta ton per tahun," cetus Wapres yang didamping Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, serta Gubernur Sumsel Alex Noerdin.

Hingga Agustus 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor jagung sebanyak 2,385 juta ton senilai US$522,9 juta (sekitar Rp7 triliun). Adapun impor beras khusus tercatat sebanyak 225.029 ton dengan nilai US$97,8 juta (sekitar Rp1,3 triliun). Tahun ini hingga September, pemerintah belum mengimpor beras medium.

Silang pendapat

Ketua Serikat Petani Indonesia Henry Saragih mengatakan masih banyak masalah yang dihadapi Indonesia sebagai negara agraris. Petani juga masih sering dibenturkan pada kebijakan pemerintah yang tidak mendukung, seperti besarnya impor pangan yang dilakukan dalam lima tahun terakhir.

Silang pendapat yang sempat mencuat di pemerintah terkait rencana impor beras pun memberikan ketidakpastian. "Impor beras dari Vietnam menunjukkan ada yang salah dalam pengelolaan produksi beras untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Kekurangan stok Bulog dan penurunan produksi akibat El Nino menjadi alasan untuk muluskan impor," tutur Henry dalam dialog Hari Pangan, di Jakarta, Jumat (16/10).

Ketua Departemen Kajian Aliansi Petani Indonesia Slamet Nurhadi menambahkan, tata produksi beras harus dibenahi. Target penyerapan 3,2 juta ton beras oleh Bulog terlihat masih sulit tereali-sasi. "Sejauh ini yang terserap baru 1,82 juta ton. Ini juga dijadikan alasan memuluskan impor. " Meski telah menjajaki impor beras dari Vietnam, Menteri Perdagangan Thomas Lembong menolak mengonfirmasi bahwa impor bakal direalisasikan. Ia menegaskan pemerintah bekerja keras mengamankan stok sekaligus menstabilkan harga beras. (Mus/E-1)

http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/16329/Wapres-Ingatkan-Pangkas-Impor/2015/10/18

Jumat, 16 Oktober 2015

Hari Pangan Dunia, Impor Beras Menjadi Kado Pahit

Jumat, 16 Oktober 2015

Dalam rangka Hari Pangan, kebijakan yang diambil pemerintah dalam mengurusi persoalan pangan khususnya beras masih dinilai kurang tepat. Mengapa demikian?

MajalahKartini.co.id - Ketua Eksekutif Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS) Ridwan Darmawan dalam memperingati Hari Pangan Dunia, mengatakan bahwa kebijakan impor pangan khususnya beras, beberapa hari lalu yang diambil pemerintah, menjadi kado pahit bagi petani di negeri ini.

"Apalagi 16 Oktober diperingati sebagai hari pangan internasional," ujarnya ketika dihubungi majalahkartani.co.id, Jumat (16/10).

Ridwan melanjutkan bahwa, gembar-gembor pemerintahan ini di awal berkuasa, bahkan telah menjadi isu yang digadang-gadang sebagai bahan jualan kampanye oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo yakni tidak melakukan impor beras, hanya bualan belaka.

"Pemerintah di awal kampanye adanya permainan mafia beras, dalam kaitannya dengan gejolak harga beras di awal pemerintahan tak kunjung ada wujudnya, siapa itu mafia impor beras, kapan penegakkan hukum atas para mafia itu, tak jelas hingga kini," katanya.

Pengamat kebijakan pangan ini menilai lembaga pangan yang diamanatkan untuk diterbitkan oleh pemerintah sebagaimana mandat UU Pangan juga tak kunjung selesai Perpresnya, padahal batas waktu adalah dua tahun sejak UU Pangan berlaku.

"Lembaga pangan diharapkan mampu menjadi solusi kebijakan pangan secara nasional karena dibawah koordinasi langsung presiden ,sehingga punya power lebih dibanding Badan Ketahanan Pangan di bawah Kementan. Ini harusnya PR yang segera harus diselesaikan Jokowi," pungkas Ridwan. (Foto: Istimewa)

http://majalahkartini.co.id/berita/hari-pangan-dunia-impor-beras-menjadi-kado-pahit

Refleksi Hari Pangan Sedunia: Saatnya Lakukan Diversifikasi Pangan di Indonesia

Kamis, 15 Oktober 2015

KBRN, Surabaya: Merefleksi Hari Pangan Sedunia 2015 yang diperingati 16 Oktober 2015 besok, Direktur Akademi Gizi Jawa Timur, Andriyanto menegaskan bahwa berbicara masalah pangan maka ada tiga aspek yang harus dibahas. Tiga aspek itu, meliputi produksi, distribusi, dan konsumsi. Sementara indikator suksesnya ketahanan pangan suatu daerah dapat diukur dari rendahnya kasus gizi buruk yang muncul, serta tertatanya pola pangan harapan masyarakat terkait pemenuhan karbohidrat, protein, dan lemak. Sayangnya tegas Andriyanto, kasus gizi buruk justru banyak muncul di pedesaan sebagai tempat tinggal para petani.

"Bagaimana petani mampu menjadi bagian menjaga ketahanan pangan, kalau ia sendiri ketahanan pangannya belum terjaga, masih lapar. Belum lagi masih harus berhadapan dengan mahalnya pupuk, datangnya hama, dan berbagai persoalan lainnya," tegas Andriyanto pada RRI Surabaya, Kamis (15/10/2015).

Khusus untuk masalah produksi, Andriyanto berharap masyarakat sudah mulai memahami pentingnya diversifikasi pangan. "Kami berharap masyarakat sudah mulai memahami bahwa bicara pemenuhan karbohidrat misalnya, sebenarnya bukan hanya padi sebagai satu-satunya sumber. Umbi-umbian, kentang, itu juga sumber karbohidrat yang baik. Hanya saja masyarakat belum terbiasa untuk beralih dari makan nasi kemudian makan kentang rebus," ujarnya.

Dia menegaskan bahwa kunci suksesnya ketahanan pangan di Indonesia kedepan juga berasal dari semakin banyaknya inovasi pangan yang dihasilkan. Andriyanto bahkan meyakini bahwa meskipun butuh waktu yang cukup lama, namun masyarakat bisa beralih pola konsumsi karbohidrat dari padi ke tanaman yang lain. "Termasuk konsumsi lauk pauk juga bukan hanya ayam dan daging saja, tapi masyarakat juga harus mulai menggalakkan program gemar makan ikan," harapnya.

Terkait diversifikasi ini, maka dalam memperingati Hari Pangan Sedunia pemprov jatim pada tanggal 26 dan 27 Oktober menggelar Festival Menu Berbasis Non Beras.

Sementara itu Dr Setio Budi dari Dewan Pertimbangan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jatim sepakat dengan diversifikasi pangan yang harus mulai digelorakan. Menurutnya, bicara pertanian adalah bicara produk pertanian yang beragam jenis dan potensinya. Dengan adanya diversifikasi pertanian, maka peningkatan produktivitas dan pemenuhan konsumsi akan terpenuhi dan seimbang.

"Jadi kalau kita bicara pertanian, bukan hanya bicara petani padi saja, karena masih banyak bidang-bidang pertanian yang lain," tegasnya.

Hari Pangan Sedunia di Indonesia pada tahun 2015 ini mengambil tema: Pemberdayaan Petani Sebagai Penggerak Ekonomi Menuju Kedaulatan Pangan. (AP/AKS)

http://www.rri.co.id/post/berita/209409/ruang_publik/refleksi_hari_pangan_sedunia_saatnya_lakukan_diversifikasi_pangan_di_indonesia.html

Kamis, 15 Oktober 2015

Pemerintah Tak Jujur soal Impor Beras

Kamis, 15 Oktober 2015

Pengelolaan Pangan, Harga Menguntungkan, Petani Sedang Bersemangat Menanam Padi 

JAKARTA – Keputusan pemerintah mengimpor 1,5 juta ton beras dari Vietnam telah menciderai semangat petani dalam memproduksi beras nasional. Kebijakan impor ini juga mengindikasikan terjadinya kejahatan kebijakan hasil kolusi oknum importir dengan oknum pejabat demi memburu rente, yang mematikan petani nasional. Hal itu juga bertentangan dengan sikap Presiden Joko Widodo yang belum lama ini menegaskan Indonesia saat ini tidak perlu mengimpor beras karena cadangan beras masih cukup hingga akhir tahun.
Selain itu, impor beras walaupun dengan harga lebih murah ketimbang harga petani domestik, hanya akan menimbulkan efek berantai di luar negeri atau menyejahterakan petani negara eksportir. Sebaliknya, jika membeli beras petani domestik meskipun lebih mahal, akan menciptakan efek berantai di dalam negeri, dalam bentuk konsumsi, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja.
Ahli ekonomi Undip Semarang, FX Sugiyanto, mengatakan impor pangan merupakan bentuk ancaman terhadap unsur ketersediaan, apalagi dalam jangka panjang. Gejolak di pasar internasional bisa mengancam ketersediaan itu jika produksi dalam negeri tidak mencukupi.
“Produksi menjadi kata kunci dalam konsep ketahanan pangan yang sustainable. Saat ini, selain gula dan beras, kedelai, bawang, bahkan garam juga impor,” kata Sugiyanto saat dihubungi, Rabu (14/10).
Sugiyanto menegaskan saat ini diperlukan keberanian pemerintah untuk menerapkan desain kebijakan kemandirian pangan berbasis keanekaragaman pangan yang bersumber dari potensi domestik, dan dapat diterima secara kultural dan sosial. “Kalau bisa diproduksi di dalam negeri mengapa harus impor? Kalau memang peduli dengan nasib petani, pemerintah mesti fokus meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani,” ujar dia.
Seperti dikabarkan, Menko Perekonomian, Darmin Nasution, mengakui memang sudah ada pembicaraan terkait impor beras dengan Vietnam. Pembicaraan juga sudah dilakukan dengan Thailand.
“Kita memang sudah bicara dengan Vietnam dan Thailand. Tapi (stok yang tersedia) jauh di bawah harapan. Kita sudah agak terlambat, sudah didahului Filipina,” kata Darmin.
Impor beras ini, sambung dia, perlu dipersiapkan sekarang karena adanya dampak el Nino berat yang melanda Indonesia saat ini. Dengan intensitas kekeringan yang amat tinggi, lebih tinggi dari el Nino tahun 1997, dan diramalkan akan berlangsung sampai Desember, musim tanam padi tentu terganggu sehingga bisa terjadi kekurangan pasokan beras di awal 2016.
Karena itu, pemerintah tak mau berjudi mempertaruhkan stabilitas harga beras dan nasib rakyat. Jika harga beras melonjak, inflasi akan sangat terpengaruh, daya beli masyarakat tergerus, kesejahteraan masyarakat pasti turun.
Padahal, sejumlah kalangan justru menilai bahwa impor berpotensi melambungkan inflasi, apalagi di saat kurs rupiah sedang mengalami tekanan depresiasi. Kebijakan impor dengan dalih menekan inflasi dinilai sebagai kebijakan salah kaprah.
Mengaku Kaget
Sementara itu, Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, mengaku kaget terkait rencana pemerintah mengimpor satu juta ton beras dari Vietnam. “Siapa yang bilang impor? Saya justru baru tahu sekarang. Saya juga baru tahu ada kontrak terkait impor,” ungkap dia.
Amran menjelaskan kondisi iklim sebentar lagi akan masuk penghujan dan akan ada padi yang tengah ditanam di tanah seluas 4,1 juta hektare di seluruh Indonesia. “Yang jadi perhatian sekarang, kemarau yang panjang sudah mulai berkurang atau minimal ada curah hujan sekali seminggu saja. Mudah-mudahan standing crop akan terselamatkan,” kata Amran.
Dirjen Tanaman Pangan Kementan Hasil Sembiring menambahkan, saat ini petani sedang bersemangat menanam padi karena harga beras yang cukup menguntungkan di tingkat petani. “Impor bisa menjatuhkan harga petani, kasihan petani. Lihat kedelai yang impornya banyak dan tak dikendalikan, sekarang tidak ada petani yang mau tanam kedelai,” kata dia.
Akhir September lalu, Presiden Jokowi mengungkapkan cadangan beras hingga saat ini mencapai 1,7 juta ton. Jumlah ini akan bertambah dengan hasil panen pada November.
Menurut perhitungan Kementan, ada surplus beras sebanyak 10 juta ton dari panen Februari sampai Oktober tahun ini, sehingga kebutuhan beras masih bisa sepenuhnya dipenuhi dari produksi dalam negeri. Selain itu, masih ada stok beras yang dikuasai pedagang.
“Dari Februari-Oktober, sudah 9 bulan, kita selalu surplus beras. Hitungan kasar kita 10-11 juta ton. Belum lagi sisa akhir tahun lalu. Sampai sekarang masyarakat nggak ada kan yang sampai teriak-teriak cari beras,” papar Hasil.

http://www.koran-jakarta.com/?36963-pemerintah%20tak%20jujur%20soal%20impor%20beras

Lahan Kosong Tumpuan Produksi Kedelai

Kamis, 15 Oktober 2015

KEDIRI, KOMPAS — Pemanfaatan lahan telantar atau lahan kosong dan optimalisasi lahan pertanian dengan dukungan paket lengkap subsidi sangat efektif meningkatkan produksi kedelai. Meski demikian, penambahan areal baku lahan kedelai sangat mendesak direalisasikan.

Hal itu terungkap dalam acara panen kedelai sekaligus Temu Wicara dan Pencanangan Industri Hilir Berbahan Baku Kedelai Nasional, Selasa (13/10), di Desa Ploso, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

Pada musim tanam kedelai 2015, Kabupaten Kediri diharapkan menjadi sentra baru produksi kedelai. Lahan pertanaman kedelai di Kabupaten Kediri naik signifikan, dari 400 hektar menjadi 2.000 hektar.

Pada 2016, areal tanam kedelai akan ditingkatkan lagi menjadi 10.000 hektar. Pada panen kedelai di Desa Ploso, kemarin, produktivitas tanaman kedelai per hektar 1,7 ton sampai 2 ton. Jauh di atas rata-rata produktivitas kedelai nasional yang hanya 1,56 ton.

Seusai panen kedelai, Direktur Budidaya Aneka Kacang dan Umbi pada Direktorat Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Maman Suherman mengatakan, ternyata masih ada peluang meningkatkan produksi kedelai nasional dengan memanfaatkan lahan kosong di daerah-daerah.

Pada awal program Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT) dan Perluasan Areal Tanam melalui Peningkatan Peningkatan Indeks Pertanaman (PAT-PIP) disalurkan ke Kediri seluas 10.000 hektar, pemerintah daerah tidak yakin, tetapi setelah lahan kosong benar-benar dicari, ada peluang tambahan tanam 2.000 hektar. Bahkan, berani meminta 10.000 hektar.

Hal yang paling penting adalah semua pihak bekerja bersama, mencari lokasi-lokasi potensial yang masih bisa dimanfaatkan. Kedelai merupakan tanaman yang tidak begitu butuh banyak air.

Kepala Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur Wibowo Eko Putro menyatakan masih ada kesenjangan produktivitas tanaman kedelai di lahan percobaan dengan di lahan milik petani.

Budidaya kedelai tidak ditangani secara sungguh-sungguh. Begitu kedelai ditanam langsung ditinggal. Dengan pola pikir yang berubah dan pola budidaya yang baik, produktivitas akan bisa ditingkatkan.

Pelaksana Tugas Bupati Kediri M Idrus mengatakan, tahun ini merupakan tahun kebangkitan produksi kedelai di Kediri karena lahan tanam kedelai petani meningkat pesat. Dia berharap, ke depan Kediri bisa menjadi pusat produksi kedelai nasional.

Pada acara tersebut, para pelaku usaha juga didekatkan dengan petani kedelai. Juga dilakukan nota kesepakatan antara gabungan kelompok tani dan produsen tahu-tempe, kecap, serta berbagai industri olahan lain.

Pengurus Gabungan Kelompok Tani Sri Tani di Desa Ploso, Suwanto Ahmad, mengeluhkan kendala air dalam budidaya tanaman kedelai. Akibatnya, produktivitas kedelai belum optimal.

Petani juga mengeluhkan sulitnya mencari tenaga panen kedelai, mengolah lahan. Anak- anak muda di Desa Ploso sudah kurang tertarik menjadi petani.

(MAS)

http://print.kompas.com/baca/2015/10/15/Lahan-Kosong-Tumpuan-Produksi-Kedelai

Rabu, 14 Oktober 2015

Petani Kediri Harapkan Harga Kedelai Sesuai HPP

Rabu, 14 Oktober 2015

 "Saat ini, kedelai kami dibeli Rp6.600 per kilogram. Harga itu mengikuti harga di pasar, padahal HPP kedelai Rp7.700 per kilogram," 

Kediri (Antara Jatim) - Petani kedelai di Desa Ploso, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, berharap harga kedelai bisa sesuai dengan harga pembelian pemerintah (HPP) yaitu Rp7.700 per kilogram.

"Saat ini, kedelai kami dibeli Rp6.600 per kilogram. Harga itu mengikuti harga di pasar, padahal HPP kedelai Rp7.700 per kilogram," kata Suwanto Ahmad, salah seorang petani di desa itu, Selasa.

Ia mengatakan, petani kedelai di desanya merasa resah dengan harga kedelai yang jauh di bawah HPP tersebut. Padahal, untuk menanam kedelai, biaya yang dikeluarkan tidak sedikit.

Suwanto mengakui, pemerintah memang memberikan bantuan untuk bibit maupun pupuk. Namun, agar tanaman itu berkembang dengan baik, tanaman juga harus mendapatkan pengairan.

Menurut dia, pengairan di daerah ini tidak terlalu mudah. Saat penghujan, yaitu tanam gadu, untuk pengairan sudah harus menggunakan mesin diesel. Padahal, umur padi masih 50 hari.

"Kalau saat tanam kedelai, air tambah sulit didapat. Kalau tidak pakai pompa air,  tidak bisa, padahal sebelumnya kami mengandalkan air dari pengairan (irigasi)," ujarnya.

Ia juga mengatakan, tidak terlalu mudah mendapatkan sumber air di daerah ini, dimana terkadang sampai kedalaman 30 meter air juga tidak didapat. Untuk itu, ia berharap pemerintah mau membantu untuk pengeboran sumber mata air.

"Produksi kedelai tahun ini tidak terlalu bagus. Kami berharap ada bantuan pompa air, terutama pengeboran," ujarnya.

Ia juga mempertanyakan kinerja Bulog, dimana sesuai dengan janji pemerintah, Bulog untuk menangani kebutuhan pokok. Ia berharap, Bulog bisa melakukan program pembelain kedelai, sehingga nantinya harga yang diberikan juga sesuai dengan HPP.

Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Kediri Widodo Imam Santoso mengatakan saat ini untuk harga kedelai memang masih mengandalkan harga pasar, dimana harga di pasar belum sesuai dengan HPP.

Ia juga mengakui, untuk bahan pokok memang harusnya ditangani oleh Bulog, namun sampai saat ini masih terkendala dengan payung hukum. Selama ini, Bulog masih melakukan pembelian gabah petani.

"Untuk HPP Ini belum ada kawalan dari Bulog, mudah-mudahan ada regulasi yang bisa mengawal HPP untuk komoditas kedelai," ujar Widodo.

Di Desa Ploso, merupakan salah satu sentra tanaman kedelai. Luasan lahan pertanian yang ada di desa itu mencapai 150 hektare, dimana 120 hektare di antaranya ditanami kedelai.

Pemerintah memberikan subsidi untuk tanaman kedelai, dengan pemberian bibit, pupuk, serta pendampingan sampai panen. Namun, di desa itu, hanya mendapatkan bantuan untuk 50 hektare tanaman kedelai. Selain kedelai, pemerintah juga membantu mesin diesel untuk memudahkan pengairan lahan pertanian petani. Mesin itu diberikan pada kelompok tani di desa tersebut. (*)

http://www.antarajatim.com/lihat/berita/166054/petani-kediri-harapkan-harga-kedelai-sesuai-hpp

Petani Minta HPP Beras Tahun Depan Naik 16%

Rabu, 14 Oktober 2015

Jakarta -Para petani menilai, Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras sebesar Rp 7.300/kg yang ditetapkan berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2015 pada 15 Maret 2015, sudah terlalu rendah.

HPP tersebut jauh di bawah harga pasaran beras yang sudah di kisaran Rp 8.000/kg di tingkat petani.

Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menyatakan, HPP beras perlu dinaikkan tahun depan untuk menjaga daya beli dan meningkatkan kesejahteraan petani.

Dia mengusulkan, HPP tahun depan bisa dinaikkan sebesar 16% menjadi Rp 8.460/kg‎. Dengan asumsi inflasi tahun ini kira-kira 6% dan penambahan keuntungan 10% untuk petani, maka angka kenaikan 16% dianggap ideal.

"Kenaikan pada 2015 itu terlalu rendah. Untuk tahun 2016, kami dari petani inginnya naik 16% sehubungan dengan adanya inflasi dan menjaga Nilai Tukar Petani (NTP)," ujar Winarno saat dihubungi detikFinance di Jakarta, Rabu (13/10/2015).

Sebelumnya, Perum Bulog juga mengeluhkan terlalu rendahnya HPP beras yang ditetapkan pemerintah. HPP beras yang terlalu jauh di bawah harga‎ pasaran ini membuat Bulog kesulitan membeli beras dari petani karena para tengkulak berani memasang harga jauh di atas HPP.

"Pemerintah kan ada HPP, (beras lokal) beras yang ada sekarang di atas HPP, itu kesulitannya (pengadaan beras)," ‎kata Dirut Perum Bulog Djarot Kusumayakti, beberapa waktu lalu.

‎Akibat HPP yang terlalu rendah, serapan beras Bulog sejak Januari sampai Oktober ini baru 2,4 juta ton, jauh di bawah target pengadaan sebesar 3,2 juta ton selama setahun. Pengadaan beras sebesar 2,4 juta ton itu pun jika ditambah dengan serapan beras premium yang dibeli dengan menggunakan skema komersial, harganya di atas HPP. Beras premium tak bisa dipakai untuk operasi pasar dan penyaluran beras sejahtera (rastra).

Stok beras medium Bulog yang dibeli dengan harga sesuai HPP dan dapat digunakan untuk ‎penyaluran rastra sampai Oktober hanya 1,1 juta ton.

"Penyerapan beras sampai hari ini sekitar 2,4 juta ton. Kalau stok beras 1,7 juta ton. ‎ Tapi itu (beras medium) yang untuk PSO (Public Service Obligation/subsidi) hanya 1,1 juta ton. 600.000 ton sisanya stok beras premium,‎" ungkap Djarot.

(drk/drk)

http://finance.detik.com/read/2015/10/14/173320/3044034/4/petani-minta-hpp-beras-tahun-depan-naik-16

Selasa, 13 Oktober 2015

Perang Impor Ilegal Dimulai

Selasa, 13 Oktober 2015

Polri Dukung Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo menabuh genderang perang terhadap segala bentuk penyelundupan, termasuk impor ilegal. Pelaku penyelundupan, importir nakal, hingga oknum yang terlibat di dalamnya bakal ditindak tegas.

Kebijakan memberantas penyelundupan ataupun impor ilegal itu diambil pemerintah dalam rapat kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Senin (12/10), di Kantor Presiden. Kebijakan ini merupakan jawaban atas keluhan asosiasi pertekstilan tentang membanjirnya produk impor ilegal. Jika peredaran produk impor ilegal itu dibiarkan, dikhawatirkan mematikan produsen dalam negeri karena mereka tak bisa bersaing dengan produk ilegal yang masuk tanpa membayar pajak.

Saat membuka rapat, Presiden memerintahkan jajarannya memberikan perhatian terhadap sejumlah produk yang diduga diimpor secara ilegal, seperti pakaian jadi, alas kaki, kosmetik, elektronik, sprei, produk-produk makanan, dan beras.

"Produk impor ilegal itu bisa merusak industri kita, melemahkan industri kita. Kalau ini tak segera kita hilangkan, kita habisi, orang akan malas berproduksi, mengganggu pasar dalam negeri, mengganggu keuangan negara kita, dan juga akan melemahkan daya saing kita," kata Presiden.

Presiden menengarai ada banyak modus impor produk ilegal melalui pelabuhan, di antaranya melibatkan importir, pengusaha pengurusan jasa yang berkaitan dengan kepabeanan, serta oknum dari Bea dan Cukai.

Seusai rapat, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, pemerintah memberikan dukungan penuh bagi jajaran Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk melakukan penegakan hukum bagi kasus impor ilegal.

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menyatakan, sejauh ini Kementerian Keuangan melalui Dirjen Bea dan Cukai sudah melakukan koreksi atas praktik impor yang menyalahi prosedur. Sejumlah modus yang dilakukan importir nakal antara lain pelaporan jenis barang yang tidak sesuai, tarif yang diubah, serta jumlah barang yang tidak sesuai. Koreksi yang dilakukan sepanjang 2015 mampu menekan kerugian negara sampai Rp 38 miliar.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi menyatakan, penegakan hukum dilakukan terkait penyelundupan fisik melalui wilayah di luar pelabuhan, serta penegakan hukum di pelabuhan-pelabuhan resmi.

Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti, seusai mengikuti rapat, mengatakan,? kepolisian berkomitmen membantu Direktorat Bea dan Cukai. (NDY/WHY)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/151013kompas/#/18/

Keseimbangan Produksi Beras

Selasa, 13 Oktober 2015

Bulog menyatakan, Indonesia belum akan mengapalkan beras dari luar negeri ke Indonesia seraya tetap memantau pengaruh fenomena El Nino.

Impor beras menimbulkan perbedaan pendapat belakangan ini. Akhir bulan lalu Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, Indonesia akan mengimpor beras 1,5 juta ton, tetapi kemudian Presiden Joko Widodo mengatakan belum perlu impor sebab stok beras mencukupi hingga akhir tahun. Presiden berjanji mempertimbangkan sungguh dampak El Nino yang menyebabkan musim kemarau panjang dan kering terhadap produksi beras nasional.

Isu impor beras kembali mencuat karena pernyataan Pemerintah Vietnam pekan lalu bahwa Bulog sudah mengikat kontrak membeli beras dari Vietnam sebanyak 1 juta ton. Direktur Utama Bulog Djarot Kusumayakti pekan lalu merespons pernyataan tersebut. Ia mengatakan, kesepakatan dengan Vietnam hanya untuk berjaga-jaga apabila benar terjadi kekurangan beras di dalam negeri. Perintah pengapalan ke Indonesia hingga saat ini belum diberikan.

Tekad Presiden untuk konsisten berswasembada beras selain bertujuan mengurangi devisa untuk pembiayaan impor, juga demi menjaga harga padi/beras di tingkat petani sebagai produsen.

Saat ini target swasembada tersebut berhadapan dengan tantangan alam, yaitu kemungkinan musim tanam padi yang biasanya dimulai pada Oktober-November akan mundur karena terjadinya El Nino yang tergolong kuat dan menyebabkan musim kemarau kering dan berkepanjangan. Ada prediksi, El Nino akan berlangsung hingga akhir tahun 2015. Dengan demikian, musim tanam padi akan mundur, hal yang juga terjadi awal tahun ini.

Melalui kebijakan pemerintah, masyarakat pengonsumsi nonberas diubah menjadi konsumen beras. Pertambahan jumlah penduduk dan naiknya kemakmuran mendorong ke atas konsumsi nasional dan keberagaman jenis beras sesuai selera lokal. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi peningkatan produksi beras.

Beberapa waktu terakhir harga beras stabil tinggi. Dalam upaya pemerintah menjaga daya beli masyarakat sebagai penggerak roda ekonomi, harga beras perlu dijaga tetap terjangkau kelas pekerja karena beras masih menjadi salah satu sumber pengeluaran utama rumah tangga mereka.

Sebagian besar petani padi saat ini adalah konsumen neto. Jangan sampai pendapatan mereka dari harga gabah yang tinggi terhapus karena harus membeli beras yang harganya juga tinggi.

Peran pemerintah adalah menyeimbangkan antara produksi, keinginan berswasembada, dan kepentingan konsumen. Langkah tidak terburu-buru mengimpor beras, sementara cadangan impor apabila diperlukan sudah disiapkan, adalah bagian dari menjaga keseimbangan tersebut serta mencegah ulah spekulan di dalam dan luar negeri. Keseimbangan tersebut haruslah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/151013kompas/#/6/

KASAD TNI: Indonesia Tak Perlu Impor Beras

Senin, 12 Oktober 2015

Blora, Harian Jateng – Menurut  KASAD, Jendral TNI,  Mulyono, Indonesia tidak perlu impor beras. Hal itu diungkapkannya dalam  melaksanakan panen raya di Blora, seusai membuka TMMD Reguler ke-95 Kodim Blora, Kamis (8/10/2015) kemarin.

Jendral TNI Mulyono, menegaskan bahwa Indonesia tidak perlu lagi impor beras. Dijelaskan, selama 8 bulan ini TNI sudah bekerjasama engan kementrian Pertanian dalam hal swasembada pangan. Mulai dari pengelolaan sawa, tanam hingga pengawalan sampai ke Bulog.

Sampai bulan Oktober 2015 ini, menurutnya, stok beras sudah mencapai 2 juta Ton.

”Ini mengacu pada program Presiden yang harus sukses swasembada pangan dalam kurun waktu 3 tahun,” beber KASAD TNI.

KASAD TNI juga menambahkan, saat ini kita masih mempunyai 1 Ha lahan sawah dan jika dipanen bisa mencapai 5 juta ton.

”Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa saat ini kita tidak perlu lagi impor beras dari luar,” tandas Jendral TNI Mulyono. (Red-HJ33/Sejono/Pendim Blora).

http://www.harianjateng.com/2015/10/kasad-tni-indonesia-tak-perlu-impor.html

Asap, Budaya Kekerasan Masa Prasejarah

Senin, 12 Oktober 2015

Bencana asap yang terjadi berlarut-larut saat ini, pasti bukan sekedar permasalahan teknis atau teknologi. Mustahil mereka tidak tahu seluk-beluk dan dampak negatif serta kerugian material dan imaterialnya dari metode pembajaran hutan yang menjadi sumber bencana asap tersebut. Apalagi kalau selama 15 tahun terakhir secara intensif metode tersebut digunakan. Dari hirarki ruang lingkup tugas dan fungsi birokrasi, karena sudah kewalahan, urusan asap kini bukan lagi menjadi urusan direktur jenderal dan menteri. Presiden terpaksa turun langsung dan menjadikan asap sebagai tugas dan fungsi serta urusannya.

MANDULNYA PENEGAKAN HUKUM

Kalau urusan asap direduksi menjadi urusan penegakan hukum atau kejahatan korporasi, itupun rasa-rasanya tidak relevan lagi. Bukan hanya polisi yang sudah turun untuk mengatasi, tetapi TNI juga sudah memobilisasi pasukan untuk coba-coba menangani. Bahkan kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berkoordinasi dengan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk memburu para pelaku pembakaran hutan. Anehnya dalam UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pembakaran hutan masih diperbolehkan.

Apalagi tingkat sangsi terhadap pelaku pembakaran terus diperberat dari denda, hukuman kurungan, sampai sangsi administratif pencabutan ijin penguasaan lahan. Namun makin diperberat sangsi, bukannya mendatangkan efek jera yang efektif, tetapi justru terjadi demoralisasi dan pembusukan lembaga penegak hukum. Makin banyak pelaku pembakaran hutan dijadikan tersangka, makin membengkak pula “bisnis” para penegak hukum yang menggelar praktek-praktek KUHP (Kasih Uang Habis Perkara).

PERSEPSI KELIRU TENTANG KEBAKARAN HUTAN

Beratus-ratus tesis di IPB dan fakultas kehutanan perguruan tinggi yang lain sudah mengambil pokok bahasan tentang kebakaran dan pembakaran hutan. Judul skripsinya aneh-aneh dan absurd. Ada yang berjudul pembakaran hutan terkendali atau cara efektif mengatasi kebakaran hutan. Tetapi berbagai tesis itu sama sekali tidak menyentuh atau menyinggung asap yang ditimbulkannya. Selain itu ada pula skripsi yang membahas tentang manfaat dan kerugian dari pembakaran hutan sebagai metode pengolahan lahan.

Selama ini paradigma penyebab kebakaran hutan masih didasarkan pada aspek ketidak-sengajaan atau kekhilafan. Karena itu istilah yang sering digunakan adalah “kebakaran hutan” bukan “pembakaran hutan”. Hutan terbakar seolah-olah timbul oleh sebab-sebab impersonal dan bukan sebab-sebab personal atau human error. Dari tinjauan aspek manajemen, kebakaran hutan masih diposisikan sebagai force majeur tetapi bukan malpraktek.

Paradigma inilah yang terus berusaha dipertahankan oleh para pihak, khususnya pemerintah dan pemerintah daerah. Karena itu ada petugas Dinas Kehutanan yang berkolaborasi dengan pelaku pembakaran hutan untuk menghapuskan barang bukti di lapangan. Petugas dinas ini selalu melaporkan dalam laporan SPJ monitoring dan evaluasi lapangannya bahwa tidak ditemukan bukti-bukti di lapangan.

KERUGIAN DI BALIK EFISIENSI EKONOMI

Pandangan para analis ekonomi menyatakan bahwa metode pembakaran hutan adalah metode yang super-efisien dalam pengolahan lahan hutan untuk perkebunan. Dibandingkan metode pengolahan lahan melalui penebangan tegakan, perancahan, penyingkiran material tegakan, pembongkaran bonggol akar, dan pembusukan material tegakan; pembakaran hutan per hektar hanya membutuhkan biaya maksimal 1% saja. Karena itu para pengusaha perkebunan yang memilih metode pembakaran hutan ini, mengatakan telah “ikut mensejahterakan petani sekitar hutan” melalui proyek membakar hutan.

Analisis ekonomi seperti di atas adalah bentuk dari kejahatan akademis. Mengapa demikian? Karena sebenarnya pembakaran hutan lebih jahat daripada penggunaan insektisida dan herbisida yang membunuh spesies tertentu. Melalui pembakaran hutan yang terjadi adalah genocide dan hollocaust terhadap seluruh jenis plasma nutfah dalam rangkaian ekosistem. Kerugian ekologis yang ditimbulkan dari pembakaran hutan jelas tidak terhingga, kalau dikaitkan dengan plasma nutfah yang berpotensi dalam mendukung sustainable of live (keberlanjutan kehidupan).

KEGAGALAN EVOLUSI BUDAYA

Dengan menyatakan bahwa persoalan asap dan kebakaran hutan adalah hasil dari tindakan manusia bukan dalam arti orang per orang tetapi dalam arti kolektif, maka timbul pertanyaan jangan-jangan kebakaran hutan ada kaitannya dengan tingkat keberadaban (civilization) dari bangsa ini. Pertanyaannya, apakah dalam evolusi kebudayaan menurut Newel Roy Sims, kita sudah tergolong memiliki peradaban lebih tinggi (more highly civilized people) atau justru lebih rendah (less highly civilized people) dengan asumsi semua orang umumnya sudah cukup beradab (civilized people). Hal ini sangat penting, karena Huntington mengatakan peradaban inilah yang membedakan manusia dengan spesies lain (destinguish humans from other spesies).

Evolusi kebudayaan Indonesia selama ini memang seperti berlangsung secara chaostic atau berantakan, karena tidak ada pemimpin yang mau bertanggung-jawab dalam gerakan membangun peradaban bangsa. Setelah Bung Karno dikudeta, praktis program membangun karakter (character building) tersungkur. Hanya Suharto saja yang mencoba-coba membangun budaya Indonesia dan menggagas manusia Indonesia yang seutuhnya sebagai suatu mosaik kepribadian amorf minus jati diri. Pemimpin paska reformasi justru memberi angin terhadap timbulnya liberalisme atau budaya pasar.

PEMBAKARAN HUTAN ADALAH BENTUK BUDAYA KEKERASAN

Dalam pada itu tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa ditentukan oleh faktor pendidikan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta keadaban moral. Keadaban moral terdiri dari nilai-nilai kesusilaan, norma-norma, etika, dan estetika. Nilai kesusilaan adalah suatu nilai yang diterima sebagai hal yang wajar dalam satu entitas masyarakat. Norma adalah aturan, ukuran, atau pedoman dalam menetapkan benar dan salah serta baik dan buruk dari fenomena kehidupan. Etika adalah perilaku yang diatur oleh norma-norma untuk mewujudkan tata susila atau sopan santun. Sedangkan estetika adalah kepedulian untuk mewujudkan keindahan yang meliputi kesatuan (unity), keselarasan (balance), dan kebalikan (contrast).

Namun faktor yang paling crucial dari peradaban bukanlah pendidikan atau penguasaan iptek, tetapi adalah faktor keadaban moral dalam memperlakukan obyek di lingkungan sekitar. Fyodor Dostoevsky berteori, jika ingin mengukur dengan mudah tingkat keberadaban dapat dibuktikan dengan memasukkan pesakitan ke dalam penjara (the degree of civilization can be just by entering its prisons). Pemerasan, penyiksaan, sadisme, barbarisme yang terjadi di penjara dapat menjadi barometer dari peradaban. Keberadaban, dengan demikian sangat terkait dengan toleransi atas praktek-praktek budaya kekerasan yang ada di masyarakat.

KEMBALI KE MASA PRASEJARAH

Dalam tulisan ini kita pun bisa katakan keberadaban dapat diukur dari bagaimana hutan dan lingkungan hidup diperlakukan. Pembakaran hutan dan bencana asap seolah memundurkan peradaban bangsa ini ke peradaban prasejarah tatkala tulisan atau aksara belum dikenal. Praktek-praktek budaya kekerasan, yang dalam hal ini adalah pembakaran hutan, menunjukkan masih kaburnya transformasi harkat kita sebagai makhluk apakah kita masih tergolong homo erectus, atau kita sudah menjadi homo sapiens yang sesungguhnya.

Kapankah pembakaran hutan sebagai bagian dari budaya kekerasan akan berakhir? Dave Kajganich dalam penggalan dialog pada film besutannya The Invasion mengatakan where human beings ceased to be human, yakni mungkin di mana manusia sudah tidak lagi menjadi manusia.***

Oleh: Ir. S. Indro Tjahyono, Koordinator Relawan Jokowi – JK

http://www.kompasiana.com/sindrotj/asap-budaya-kekerasan-masa-prasejarah_561b5ba76523bd77048b4567

Senin, 12 Oktober 2015

Misteri Impor Beras

Senin, 12 Oktober 2015

Negeri ini memang penuh misteri. Kebijakan impor beras saja terkesan ditutup-tutupi dan tidak ada pejabat yang mau memberi keterangan secara terbuka. Silang pendapat soal perlu-tidaknya impor beras, bahkan silang pendapat di kalangan pejabat tinggi negara, sempat muncul sebelumnya.

Berawal dari sebuah keyakinan pemerintah akan terjadi surplus beras pada tahun 2015 sebesar 10,572 juta ton. Berdasarkan Angka Ramalan (Aram) I tersebut, pemerintah optimistis Indonesia tidak akan impor beras. Namun, rasa optimistis itu terkikis memasuki triwulan terakhir tahun ini akibat El Nino, stok beras yang dinilai mengkhawatirkan dan harga beras yang mulai naik. Sejak dua bulan terakhir, tren harga beras di pasar naik. Harga beras kelas rendah sudah tembus Rp 8.500 per kg atau setara harga normal beras medium. Harga beras medium yang saat ini rata-rata Rp 10.500 per kg tidak pernah turun dari Rp 10.000 per kg. Adapun harga beras premium di atas Rp 11.000 per kg.

Di sisi lain, Perum Bulog sulit menambah pasokan beras karena berbagai faktor. Perum Bulog yang pada tahun ini perannya diperkuat suli menyerap beras petani sejak awal tahun sehingga tidak bisa memengaruhi pasar. Mereka kalah bersaing dalam "perebutan" beras petani dengan para pelaku usaha penggilingan padi atau pedagang besar.

Stok beras di Perum Bulog cukup mengkhawatirkan. Pada awal Oktober, Bulog tinggal memiliki stok beras medium sebanyak 1,1 juta ton dan beras premium 700.000 ton. Stok itu akan terus menipis karena dipergunakan untuk penyaluran beras sejahtera (rastra) dan operasi pasar (OP). Pada akhir tahun nanti, stok beras di Bulog diperkirakan tinggal 50.000 ton.

Sejumlah pengamat pertanian dan pangan sudah mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dengan stok beras dan harga beras di pasar. Stok beras yang ada saat ini memang aman untuk memenuhi kebutuhan beras hingga akhir tahun.

Namun, stok itu dinilai tidak cukup memenuhi kebutuhan beras pada awal tahun 2016. Pemerintah juga tidak bisa mengandalkan sepenuhnya pada hasil panen musim tanam (MT) I karena MT I diperkirakan mundur karena pengaruh atau dampak dari kekeringan selama ini.

Tidak ada pilihan lain selain harus menambah stok beras di Bulog. Jika tidak bisa melalui mekanisme serapan beras petani, penambahan stok bisa dilakukan melalui impor. Namun, pemerintah berkeras belum mau impor. Pertimbangannya, pemerintah masih menunggu kondisi pertanian akhir tahun ini, apakah hujan segera tiba dan musim tanam dapat segera dilakukan.

Namun, diam-diam pemerintah sudah memesan beras impor dari Vietnam sebanyak 1 juta ton, seperti diberitakan Saigon Times dan Reuters.com. Vietnam siap mengirimkan beras itu secara bertahap mulai Oktober 2015 hingga Maret tahun depan.

Pemesanan atau pembelian beras dari Vietnam itu diketahui baru sebatas membuka letter of credit (LC) dan Indonesia baru memberikan uang muka. Pemerintah Indonesia belum berencana mendatangkan beras itu ke Indonesia. Langkah itu diambil untuk berjaga-jaga. Jika tidak jadi mendatangkan beras itu atau membatalkan pemesanan, Indonesia harus membayar denda. Kita tunggu saja informasi realisasi impor beras yang transparan nanti dari pemerintah.. (HENDRIYO WIDI)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/151012kompas/#/17/

Stok Beras Dititipkan di Vietnam

Minggu, 11 Oktober 2015

Pemerintah akhirnya memutuskan untuk meningkatkan persediaan beras. Bulog telah diperintahkan memesan beras sebanyak 1 juta ton kepada Vietnam. Beras yang diimpor terdiri dari 750.000 ton dengan kualitas patahan 15 dan 250.000 ton beras premium.
Beras tersebut akan dikirim selama enam bulan, yaitu mulai bulan Oktober hingga Maret 2016.

Kapan beras impor dibutuhkan?
Sejak akhir September harga beras kualitas medium semakin meninggi, indikasi stok nasional semakin menipis. Stok Bulog sebesar 1.5 juta ton praktis seluruhnya untuk diisi beras rasta.
Andaikan beras dari Vietnam segera dikapalkan, stok beras kita masih tipis sekali. Masih memberi peluang kepada Pedagang Perantara untuk “mengatur” harga beras di pasar.

Kepastian beras impor dirahasiakan
Direktur Utama Perum Bulog ketika dikonfimasi (9/10) tentang impor beras, tidak bersedia menjawab. Demikian Kementerian Perdagangan yang menerbitkan izin ekspor dan impor maupun Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag.
Pedagang Perantara tahu benar stok padi/beras di Petani, di Penggilingan Padi dan tentunya di Bulog. Pedagang Perantara juga menguasai program-program Bulog termasuk impor ini.
Stok yang dititipkan di Vietnam membatasi gerak Bulog untuk membagikan Rasta dan mengadakan Operasi Pasar.
Siapa yang mengetahui seberapa besar stok beras di Papua? Seberapa cepat Bulog dapat mengirimkan bantuan beras ke Papua? Mungkin malah Pedagang Perantara.
Pemerintah memberi peluang kepada Pedagang Perantara untuk “mengatur” harga beras di pasar.

Risiko beras dititipkan di Vietnam
Menitipkan Stok Beras kita di Vienam seperti disebut diatas, merugikan Indonesia yaitu mengurangi kecepatan pengiriman. Dalam keadaan kritis sukar membayangkan kecepatan pengiriman beras dari Vietnam- Jakarta, lalu Jakarta- Pontianak?
• Ketegangan di Laut Cina Selatan
Ketegangan di Laut Cina Selatan menambah risiko menitipkan beras di Vietnam. Apalagi dalam hal Laut Cina Selatan , Vietnam berseberangan dengan Cina.
Berita seperti ini mengkhawatirkan: Cina memperingatkan Amerika Serikat untuk tidak berlayar mendekat ke kepulauan di Laut China Selatan yang mereka klaim kedaulatannya.
Dilain pihak AS dan sekutunya, termasuk Jepang, telah menyerukan agar Beijing menghentikan pembangunan pulau buatan di Laut China Selatan. China menurut para analis perang telah membangun fasilitas militer di Kepulauan di Laut Cina Selatan.
• Ketegangan di Suriah dan Turki
Berita seperti ini oleh banyak pihak dirasakan sebagai berita yang menyangkut dunia antah berantah, tidak akan berpengaruh pada Indonesia.
Berita pertama: Suriah dikhawatirkan akan menjadi arena bertarung bagi Rusia dan NATO.
Berita kedua: Serangan Bom Guncang Ankara. Sedikitnya 86 orang tewas dan 186 warga luka-luka dalam insiden ledakan bom kembar di ibu kota Turki, Ankara, Sabtu (10/10).
Eskalasi ketegangan seperti ini tanpa kita sadari mudah menjadi Kekacauan di Halaman Rumah kita. Angkatan Laut Cina bukan tidak mungkin menguasai Laut Cina Selatan, menyukarkan pengiriman beras kita dari Vietnam.

Presiden Jokowi tentang impor dan stok beras
• Presiden Jokowi berharap stok beras nasional sebanyak 10 juta ton. 10 juta tergolong rendah jika dibandingkan dengan China dan Filipina. China memiliki stok beras sekitar 40 juta ton, dan Filipina 2,5 juta ton hanya dengan 90 juta penduduknya.

• Seminggu lalu Presiden Jokowi masih menyatakan kita belum perlu impor beras, sedangkan Wapres JK menyatakan perlu.
Sikap mendua Presiden Jokowi (diatas) menempatkan Blog dalam posisi sulit, maka Bulog terkesan menghindar dari pertanyaan dan tanggung jawab tentang stok dan impor beras.

BULOG
Bulog seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai Gudang. Bulog membeli beras dari Petani tidak hanya jika diperintahkan.
Pemerintah hanya menentukan Stok Beras Nasional misal 10 Ton, selanjutnya Bulog dapat berjalan sendiri sesuai kebijakan yang ditentukan, dengan mengeluarkan laporan berkala.
Bulog perlu ditempatkan sebagai Panglima( dan bertangung jawab) dalam pengadaan dan keamanan stok pangan kita.

http://www.kompasiana.com/robertpsiregar/stok-beras-dititipkan-di-vietnam_561a654d357b615a0a8b4568

Minggu, 11 Oktober 2015

Ini Penampakan Peternakan Sapi Yang Bikin Jokowi Geleng-geleng

Sabtu, 10 Oktober 2015
Ini Penampakan Peternakan Sapi Yang Bikin Jokowi Geleng-geleng

Jakarta -detikFinance hari ini berkesempatan menyambangi komplek peternakan milik Balai Pembibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak Padang Mengatas, Kementerian Pertanian yang terletak di Kecamatan Luhak, Kabupaten Limapuluh Kota, Padang, Sumatera Barat.

Area peternakan seluas 280 Hektare (Ha) ini lah yang pada Kamis (7/10/2015) lalu, membuat Presiden Joko Widodo terkesima hingga geleng-geleng.

Pantauan detikFinance di lokasi, tampak hamparan luas berbalut rumput hijau sejauh mata memandang. Di atasnya, terdapat ratusan bahkan ribuan ekor sapi berwarna coklat belang putih.

"Jumlahnya sekitar 1.250 ekor. 500 okor di antaranya bunting (hamil)," tutur Kepala Balai Pembibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak Padang Mangatas Sugiono yang hari ini mendampingi rombongan awak media di peternakan Padang Mengatas, Padang, Sabtu (10/10/2015).

Berfoto selfie di peternakan ini siapapun tak akan menyangka bahwa lokasinya berada di Indonesia, negara yang saat ini masih menjadi importir sapi dengan jumlah yang cukup besar setiap tahunnya.

Di lokasi ini, sapi-sapi ternak bukan hanya dibesarkan, tetapi juga dibiakkan. Ada sedikitnya 1.250 ekor sapi dengan 500 ekor diantaranaya berada dalam keadaan hamil.

Sapi-sapi tersebut dibiarkan hidup bebas berkembang biak, mencari makan, dan tumbuh besar layaknya ladang peternakan sapi di New Zealand dan Australia. Sehingga tak berlebihan kiranya tempat ini disebut sebagai New Zealand-nya Indonesia.

"Saya ingin, setelah melihat ini, siapapun akan terbuka matanya, terinspirasi, sadar. Oh ternyata Indonesia juga bisa seperti ini," pungkas dia.


(dna/rrd)

http://finance.detik.com/read/2015/10/10/161007/3041292/4/ini-penampakan-peternakan-sapi-yang-bikin-jokowi-geleng-geleng

Sabtu, 10 Oktober 2015

RI Pastikan Impor Beras

Sabtu, 10 Oktober 2015

Vietnam Menangi Kontrak dan Memasok 1 Juta Ton

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia diberitakan telah memesan beras sebanyak 1 juta ton kepada Pemerintah Vietnam melalui Perum Bulog. Meskipun begitu, hingga kemarin pemerintah belum berencana mendatangkan beras tersebut ke Indonesia.

Seperti diberitakan The Saigin Times, sebuah media di Vietnam, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Vietnam menyatakan Vietnam menang kontrak untuk memasok beras 1 juta ton ke Indonesia. Direktur Thinh Phat Co Ltd Lam Anh Tuan menyebutkan, beras untuk Indonesia terdiri dari 750.000 ton dengan kualitas patahan 15 persen dan 250.000 ton beras dengan patahan 5 persen atau beras premium.

Beras tersebut akan dikirim selama enam bulan, yaitu mulai bulan Oktober ini hingga Maret tahun depan. Menyusul informasi ini, harga beras internasional naik 10 dollar AS per ton. Untuk beras patahan 5 persen menjadi 355 per ton dan untuk patahan 15 persen menjadi 340 dollar AS per ton.

Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti ketika dikonfimasi Kompas, Jumat (9/10), Djarot tidak bersedia menjawab.

"Maaf, untuk masalah ini mohon menghubungi kementerian saja," kata Djarot melalui pesan singkat.

Saat hal ini ditanyakan kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang menerbitkan izin ekspor dan impor, tidak ada jawaban mengenai hal ini. Menteri Perdagangan Thomas Lembong dan Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Karyanto Suprih, tidak menjawab pertanyaan terkait hal itu.

Rencana pemerintah untuk mengimpor atau belum perlu mengimpor beras telah disampaikan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia beberapa waktu lalu. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan Indonesia akan mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton untuk stabilitas pasokan dan harga. Beberapa hari setelah pernyataan Jusuf Kalla, Presiden Joko Widodo menyatakan Indonesia belum perlu mengimpor beras karena stok masih aman.

Berdasarkan data Perum Bulog, stok beras sebanyak 1,7 juta ton, terdiri dari 1,1 juta ton beras medium yang merupakan beras sejahtera (rastra) dan 700.000 ton beras premium. Stok itu akan berkurang karena Bulog akan membagikan rastra ke-13 dan ke-14 masing-masing sebanyak 230.000 ton. Bulog juga tengah menggelar operasi pasar beras premium sebanyak 300.000 ton.

Penjelasan kepada publik

Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa mengemukakan, pemerintah perlu memberikan penjelasan kepada publik terkait tender impor beras 1 juta ton, sekalipun hal itu bertentangan dengan yang disampaikan Kementerian Pertanian terkait surplus produksi. Kejujuran pemerintah bahwa terjadi masalah produksi serta penjelasan perlunya impor beras akan berdampak positif meredam gejolak harga pangan yang dimungkinkan terjadi pada akhir 2015 dan awal 2016. "Jika impor beras dilakukan diam-diam, akan mendeligitimasi pemerintah dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan program yang dijalankannya selama ini," ujarnya.

Sementara itu, Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok Kemendag mencatat, rata-rata nasional harga beras medium pada Jumat Rp 10.428 per kilogram (kg). Harga tersebut lebih tinggi ketimbang sepekan sebelumnya, yaitu Rp 10.361 per kg. Sepanjang periode 8 September-9 Oktober 2015, harga beras medium masih di atas Rp 10.000 per kg atau belum kembali ke harga normal Rp 8.500 per kg.

Di tempat terpisah, Ketua Umum Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan, realisasi pertanaman padi September dan Oktober 2015 bakal menjadi salah satu tolok ukur evaluasi kebijakan impor beras karena pertanaman pada dua bulan tersebut menjadi dasar penghitungan produksi padi awal 2016, puncak paceklik. (HEN/MAS/MAR)

http://print.kompas.com/baca/2015/10/10/RI-Pastikan-Impor-Beras

Cukup Bayar Rp 30 Ribu, Petani Dapat Asuransi Rp 6 Juta

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah meluncurkan asuransi pertanian dalam paket kebijakan jilid III. Dengan asuransi pertanian ini, petani tinggal membayar Rp 30 ribu, dan mendapatkan asuransi hingga Rp 6 juta.

‎Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non-Bank Dumoly F Pardede mengungkapkan, meski asuransi pertanian ini baru dikenalkan dalam paket kebijakan jilid III, programnya sudah berjalan sejak minggu lalu. Adanya asuransi ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan para petani.

Asuransi yang dinamakan Asuransi Usaha Tani Padi ini telah disubsidi oleh pemerintah sebesar Rp 150 miliar yang dialokasikan untuk pembayaran premi. Dengan besaran itu, diperkirakan mampu menangguhkan luas lahan mencapai 1 juta hektare.

"Jadi preminya sebesar Rp 180 ribu di mana Rp 150 ribu dibayar pemerintah dan Rp 30 ribu dibayar oleh petani. Dengan premi itu, petani sudah dapat pertanggungan sebesar Rp 6 juta," terangnya di kantor OJK, Jakarta, Kamis (8/10/2015).

Jumlah pertanggungan tersebut bukan tanpa alasan. Dumoly menjelaskan nilai Rp 6 juta adalah rata-rata nilai tanam yang dilakukan para petani di Indonesia.

Hanya saja ‎asuransi petani ini tidak dapat didapatkan secara individu oleh para petani, dalam mengajukannya harus melalui Kelompok Tani (Poktan). Sedangkan objek pertanggungan adalah lahan sawah yang digarap para petani anggota Poktan.

Nantinya setiap Poktan mendapatkan satu polis asuransi dan ikhtisar polis yang memuat data penutupan. Adapun jangka waktu asuransi, yaitu satu musim tanam atau empat bulan, dimulai sejak tanam hingga panen.

"Dengan pengambilalihan risiko itu maka petani akan punya kemampuan mengembangkan kegiatan pertaniannya melalui kesempatan pembiayaan sektor keuangan," terangnya. (Yas/Zul)*

http://m.liputan6.com/bisnis/read/2335935/cukup-bayar-rp-30-ribu-petani-dapat-asuransi-rp-6-juta?utm_campaign=FBbisnis&utm_medium=Post&utm_source=FB

Kamis, 08 Oktober 2015

Kinerja Bulog Lemah, Gubernur NTB Kecewa

Kamis, 08 Oktober 2015


Serapan Gabah Lokal Rendah, Awas Masuk Beras Impor

NTB_Barakindo- Lemahnya kinerja penyerapan gabah/beras lokal oleh Perum Bulog Divisi Regional (Divre) Nusa Tenggara Barat (NTB), mendapat perhatian serius dari Gubernur NTB, TGB HM Zainul Majdi. Orang nomor satu di NTB itu tegas menyatakan kekecewaannya. “Bulog belum maksimal,” kata Gubernur.

Diketahui, hingga kini Bulog NTB belum juga mampu memenuhi target pengadaan beras petani laokal. Dari target sebanyak 100 ribu ton, Bulog NTB hanya mampu merealisasikan sebanyak 41 ribu ton saja.

Berbagai alasan yang dikemukakan Perum Bulog pun disangsikan Gubernur. Alasan harga beras yang tinggi dan kualitas yang tak sesuai, menurut Gubernur, tidak bisa dijadikan tameng atas kegagalan dalam penyerapan.

Meski demikian, Gubernur meyakini jika masih ada ruang bagi Bulog untuk memenuhi target serapannya tepat waktu. Hanya saja, selama ini perusahaan pelat merah itu dianggap belum berupaya maksimal.

Gubernur pun menuding Bulog tidak punya semangat untuk mendukung program upaya khusus (upsus) yang digalakkan pemerintah untuk mendukung swasembada pangan.

“Sebenarnya ada ruang bagi Bulog yang belum dipakai. Hanya memang semangat untuk upsus itu masih lemah,” kata Gubernur layaknya dilansir lombokpost, kemarin.

Karenanya, Gubernur meminta semua pihak mengawal hasil gabah/beras produksi di NTB. Terlebih dengan adanya informasi dari Angkatan Darat mencurigai adanya mafia atau oknum tertentu yang sengaja ingin mengganjal serapan beras tahun ini, sehingga membuka ruang masuknya beras impor.

“Pak Danrem juga mencurigai hal tersebut pasti ada sebabnya. Ada indikasi-indikasinya. Kita harap, ini terus dikawal dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum,” tandasnya. (Red)*

4,8 Triliun, Inilah Nilai Deal Impor Beras Indonesia Dari Vietnam

Kamis, 08 Oktober 2015
4,8 Triliun, Inilah Nilai Deal Impor Beras Indonesia Dari Vietnam

Kapanlagi.com - Julukan Indonesia sebagai negara agraris tampaknya sudah memudar termakan zaman. Bagaimana tidak, Indonesia yang tanahnya begini lapang dan subur ini nyatanya sekarang malah ketergantungan beras dari negara tetangga.
Miris, di mana kita seharusnya menjadi negara yang mengekspor beras. Eh, malah kondisinya berbalik. Awalnya sih, dulu kita mengira kondisi ini hanya sebentar saja tapi apa daya kondisi yang cukup memalukan ini sudah jadi kebiasaan sekarang.

Rasa-rasanya nih, Indonesia tidak akan afdol kalau tidak mengimpor beras. Kenyataan ini, malah lebih diperparah ketika tahun ini pemerintah negara kita baru saja tanda tangan kontrak dengan Vietnam soal impor beras setelah batal dengan Thailand tersebut, seperti yang dilansir dari Asiaone.

Tak tanggung-tanggung, tender ini mencapai nilai yang cukup fantastis. Di mana pemerintah meminta salah satu pihak pemenang tender untuk mengirim 1 juta ton beras dengan nilai 350 dolar hingga 355 dolar (sekitar Rp 4,8 juta) per ton.

Bisa bayangkan nilai tender sekali impor ini berapa yang haru dibayar negara kita? Yap, 355 juta dolar (sekitar Rp 4,8 triliun) per 1 juta ton beras impor tersebut. Itupun, harga beras impor Vietnam tersebut malah baru saja dinaikkan sekitar 3% dari harga awal yang ditawarkan.

Entah kapan situasi negara kita ini tidak lagi ketergantungan beras dengan negara lain. Di mana, harusnya negara kita-lah yang bisa mengekspor beras seperti mereka dan bukan sebaliknya. Coba saja kalau nilai tender itu dialihkan untuk modal buat pak tani. Gimana hasilnya ya? Menurutmu sendiri bagaimana? (sia/vit)

http://plus.kapanlagi.com/48-triliun-inilah-nilai-deal-impor-beras-indonesia-dari-vietnam-a0fffd.html