Senin, 30 November 2015

Harga Beras di Pasar Mulai Naik

Senin, 30 November 2015

JAKARTA, KOMPAS — Memasuki awal musim hujan atau musim paceklik 2015, harga beras terus bergerak naik. Penggilingan padi mulai kesulitan bahan baku dan sebagian lain tidak lagi beroperasi. Di tingkat konsumen, harga beras sangat tinggi.

Menurut Bambang Fajar, pengusaha penggilingan padi di Lebak, Banten, saat ini harga gabah di tingkat petani sangat tinggi. "Panen masih ada, tetapi sedikit. Banyak penggilingan padi yang kesulitan gabah untuk digiling," ujar Bambang, Minggu (29/11), di Lebak.

Kalaupun sekarang masih ada yang dipanen, gabahnya sangat basah. Jika dijemur menjadi gabah kering giling (GKG), susutnya mencapai 30 persen. Selain itu, tidak ada matahari.

Untuk kualitas gabah basah, harganya yang berkisar Rp 4.800-Rp 5.000 per kilogram (kg) tergolong tinggi karena jika gabah basah dikonversi ke GKG, harga jualnya di atas Rp 6.000 per kg. Untuk gabah simpan petani, harganya sudah mencapai Rp 5.500 per kg.

Menurut Syafei, pengusaha penggilingan padi di Lampung, kalaupun ada yang murah, itu hanya beras varietas Muncul. "Beras varietas Muncul lama masih Rp 8.000 per kg, tetapi kualitasya berkurang," ujarnya.

Di Lampung, penggilingan padi tidak kesulitan bahan baku karena petani di sana umumnya petani pemilik lahan. Setelah panen, mereka menyimpan gabah di rumah, lalu menjualnya saat musim hujan, karena tidak terlalu dikejar kebutuhan.

"Petani yang kaya bisa menyimpan gabah sampai 20 ton, yang biasa saja bisa 10 ton," lanjutnya.

Penginderaan jauh

Terkait dengan data pangan, penginderaan jauh lahan persawahan di Indonesia menggunakan satelit telah dirintis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). "Dari data citra satelit kemudian dikembangkan model fase pertumbuhan padi dan disusun indeks vegetasi," kata Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lapan M Rokhis Komarudin.

Pada masa awal, Lapan menggunakan citra satelit Landsat milik Badan Riset Kelautan dan Atmosfer Amerika Serikat (NOAA) untuk mengetahui fase pertumbuhan padi. (MAS/YUN)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/151130kompas/#/18/

Jumat, 27 November 2015

Data Tidak Akurat, Anggaran Membengkak

Jumat, 27 November 2015

JAKARTA, KOMPAS — Data produksi pangan yang tidak akurat berdampak luas terhadap dunia usaha, pelambatan pertumbuhan ekonomi, lonjakan harga pangan, dan pembengkakan anggaran. Akibatnya, program kemandirian pangan menjadi salah sasaran.

Menurut pengamat pertanian Husein Sawit, Kamis (26/11), di Jakarta, basis program bantuan dan subsidi pertanian, mulai dari pupuk, benih, obat-obatan, alat dan mesin pertanian, hingga pembangunan infrastruktur pertanian, adalah luas tanam atau luas panen. ”Ketika data luas panen dilebihkan, anggaran juga mengikuti,” katanya.

Menurut Husein, kondisi itu menciptakan penggelembungan anggaran. Lebih lanjut ia mengatakan, data pangan yang tidak akurat memiliki implikasi lain yang sangat luas. Dalam hal ketersediaan pangan, misalnya, karena produksi dianggap berlebih, kebijakan impor terlambat dilakukan. Akibatnya, harga beras naik tinggi seperti sekarang.

Sutarto Alimoeso, Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia yang juga mantan Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan), menyatakan, ketidakakuratan data produksi padi berdampak pada ketidakefisienan produksi beras.

Sutarto mengungkapkan, ketidakakuratan data produksi pangan, seperti padi, sudah berlangsung lama. Bahkan, saat dia menjabat Direktur Jenderal Tanaman Pangan (2006-2009), penghitungan data luas panen yang berlebih sudah terjadi.

Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia Singgih Januratmoko mengatakan, data produksi pangan yang tidak akurat, seperti data jagung, mengakibatkan kebijakan tata niaga terganggu. Pasokan jagung yang kurang di tengah ketatnya kebijakan impor memicu kenaikan harga jagung.

Kepala Bidang Pakan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk Harwanto menambahkan, data produksi pangan yang tidak akurat mengacaukan perencanaan usaha pakan ternak. Perusahaan pakan ternak tidak mendapat kepastian pasokan bahan baku pakan. Jagung sulit didapat sehingga menjadi rebutan dan harga melambung.

Sutarto mengusulkan, saatnya perbaikan data itu dilakukan, apalagi sebelumnya ada survei independen dari Jepang. Kendala saat itu, Badan Pusat Statistik (BPS) tidak punya anggaran cukup untuk memperbaiki data itu.

Memang surplus

Menanggapi ketidakakuratan data produksi pangan, Dirjen Tanaman Pangan Kementan Hasil Sembiring mengatakan, produksi padi Oktober 2014-Oktober 2015 memang surplus. Indikasinya, stok beras Perum Bulog pada Oktober 2014 sebesar 1,7 juta ton beras dicapai melalui tambahan impor 800.000 ton. Sementara Oktober 2015, tanpa penyerapan optimal puncak panen raya Januari-Mei, stok Perum Bulog mencapai 1,7 juta ton beras tanpa impor beras.

Padahal, pada 2015 terjadi pertambahan jumlah penduduk yang mengonsumsi beras sebanyak 3,7 juta jiwa (setara 460.000 ton). Hal ini membuktikan, dalam kondisi El Nino sangat kuat, kinerja produksi 2015 meningkat signifikan paling tidak 1,26 juta ton beras dibandingkan 2014.

Saat ini, stok beras Perum Bulog masih mencapai 1,3 juta ton dan pasokan di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, masih normal.

”Kami heran, kalau produksi naik, data dipersoalkan, tetapi jika data produksi turun, tidak dipersoalkan,” katanya.

Tanggung jawab BPS

Hasil Sembiring mengatakan, BPS harus bertanggung jawab terhadap data produksi pangan yang diterbitkan karena BPS mengumpulkan data mulai dari kantor cabang kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga pusat.

Selanjutnya, Kementan mendapatkan data dari BPS pusat sehingga sebenarnya tidak ada data yang diterbitkan Kementan.

Kementan mempunyai mandat produksi, sedangkan data statistik mandat BPS.

”Pertanyaannya, mengapa akurasi data produksi pangan yang dikumpulkan secara berjenjang dari level bawah, selanjutnya dikirim ke BPS kabupaten, BPS provinsi, dan BPS pusat secara daring masih diragukan,” ucapnya.

Beberapa tokoh petani di wilayah Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat, yang ditemui kemarin menyarankan, validasi data pangan oleh pemerintah perlu dilakukan dengan melibatkan petani atau gabungan kelompok tani di daerah-daerah penghasil beras. Kelompok tani itulah yang memiliki data paling riil karena mengetahui langsung dari petani. (REK/MAS)

Rabu, 25 November 2015

Indonesia Nyaris Mendekati Keadaan di Era Nabi Luth atau Nabi Nuh

Selasa, 24 November 2015



RMOL. Melalui Pilkada langsung yang akan digelar Desember 2015, epidemi kerusakan moral yang ditularkan para bandit politik masuk menjangkit banyak pihak. Mulai yang ada di dalam kampus,  masjid, gereja dan dan berbagai tempat ibadah lainnya.

"Padahal, tempat-tempat itu seharusnya steril dari politik uang," kata Haris Rusly, aktivis Petisi 28 dalam keterangan pers yang diterima RMOLJakarta, Selasa (24/11).

Epidimi kemunafikan dan kerusakan moral  juga ditularkan oleh para bandit politik yang tidak teguh dalam memegang janji politik.

"Sebagai contoh adalah ketika Presiden Joko mengatakan tidak akan meng-impor beras, namun di saat yang sama kapal yang mengangkut beras impor dari Vietnam dan Thailand bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok," kata dia.

Demikian juga ketika Presiden Joko menyerukan revolusi mental, namun di saat yang sama merusak mental masyarakat melalui memberi teladan sebagai pemimpin yang ingkar janji dan bergantung pada modal dan industri asing.

"Hal lain, ketika di saat kampanye. Saat itu Partai Nasdem melalui Ketua Umum-nya Surya Paloh mengatakan mendukung Resolusi Jihad NU yang menyerukan mengoreksi sistem Pilkada langsung yang telah merusak tatanan moral, sosial dan politik, yaitu dengan mengembalikan Pilkada melalui DPRD. Namun ketika sidang paripurna DPR-RI yang mengesahkan UU Pilkada melalui DPRD, justru Partai Nasdem yang pertama kali mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan UU yang sesuai program Partai Nasdem tersebut," papar Haris.

Dalam kasus yang lainnya, ketika di saat kampanye, Prabowo Subianto sebagai Capres pidato berapi-api tentang bocornya kekayaan negara karena dirampok oleh para bandit politik yang bersekutu dengan kekuatan asing, namun saat ini Prabowo juga tidak bersikap tegas ketika berhadapan dengan terungkapnya konspirasi melalui  percakapan antara Ketua DPR Setya Novanto dan Riza Chalid dengan Maroef Sjamsoeddin dari pihak Freeport.

"Meluasnya epidemi kerusakan moral, kerakusan dan kemunafikan tersebut membawa kita pada kesimpulan tentang keadaan bangsa Indonesia saat ini yang nyaris mendekati keadaan di era Nabi Luth atau Nabi Nuh tentang sebuah bangsa yang dimusnahkan oleh Tuhan karena mayoritas masyarakatnya terjangkit epidemi yang merusak dan tidak terselamatkan lagi dengan cara-cara politik," kata dia was-was.

Agar bangsa Indonesia selamat dari hukuman Tuhan yang Maha Kuasa, maka kita membutuhkan bangkitnya generasi baru dan lahirnya kekuatan baru yang berpegang teguh pada Pancasila sebagai nilai-nilai (nilai Ketuhanan, Kemanusian, nilai-nilai Persatuan dan Kebersamaan, nilai-nilai Musyawarah-Mufakat dan Keadilan Sosial).

Bukan Pancasila sebagai 'kepentingan' dan 'tameng' yang digunakan oleh sekelompok orang  untuk merampok dan menjual negara sebagaimana yang dicontohkan oleh sejuamlah elite politik tua juga politisi muda Parpol yang telah membusuk secara moral. [arp]

Selasa, 24 November 2015

Mendag Kejar MoU Impor Beras Pakistan, Upaya Kementan dan Bulog?

Senin, 23 November 2015

Upaya yang dilakukan instansi yang terkait dengan pasokan beras kerap bertentangan

MANILA, JITUNEWS.COM- Digadang memiliki kualitas beras yang sama dengan Vietnam dan Thailand, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag), tengah mengejar MoU impor beras asal Pakistan. Bahkan, beras asal Pakistan ini diperkirakan bakal masuk ke dalam negeri pada tahun 2016.
"Kita masih kejar MoU dengan Pakistan supaya ada payung G to G. Setelah itu, baru Perum Bulog bisa mengirim tim inspeksi dan melakukan verifikasi serta negosiasi," kata Menteri Perdagangan (Mendag), Thomas Lembong, dikutip antaranews, Senin (23/11).
Berdasarkan informasi yang diterima dari Duta Besar Pakistan, kata Thomas, Pakistan diperkirakan sanggup memasok beras sebanyak 500.000 ton. Namun, beras impor tersebut kemungkinan tidak bisa masuk ke Indonesia pada tahun ini (2015) dikarenakan waktu hingga akhir tahun, sudah terbilang sempit.
Jika impor menjadi langkah pihak Kemendag, seperti apa upaya Kementerian Pertanian (Kementan) dan Bulog untuk menjaga pasokan beras dalam negeri? Dari pihak Kementan, Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman berkali-kali menyayangkan keputusan pemerintah yang membuka kran impor. Padahal pihaknya telah berupaya keras meningkatkan produktivitas padi dalam negeri.
Salah satunya adalah dengan memprioritaskan pemanfaatan varietas padi hibrida, serta menambah anggaran pertanian untuk beberapa sentra penghasil padi di Indonesia. "Kita tidak bisa bertahan dengan hanya menanam varietas yang hasilnya standar 7-8 ton. Karena itu, kita harus prioritaskan pada benih varietas unggul yang hasilnya memuaskan, 11 ton atau lebih. Kita akan prioritaskan pada panen yang akan datang," ujar Menteri Amran, ketika mengikuti panen padi varietas Hibrida Bernas Prima 3 dan Super 3, di Kabupaten subang, Jawa Barat.
Sementara itu untuk Bulog, dikatakan Deputi Bidang Infrastruktur Bisnis Kementerian BUMN, Wahyu Kuncoro, untuk meningkatkan kuota cadangan beras dalam negeri, Bulog memiliki lima strategi yang bakal diterapkan. Pertama adalah menggarap pertanian dengan mengusulkan pemerintah agar membuka lahan baru.
Kedua, modernisasi penambahan sarana penyimpanan. Yang mana kapasitas penyimpanan yang dimiliki Bulog hanya 3,9 juta ton atau setara 6-7 persen. "Ini yang mau kita tambah menjadi 15 persen." ujar Wahyu, dikutip tempo, Senin (23/11).
Yang ketiga, Bulog akan menyerap hasil panen petani secara maksimal. Keempat, pengembangan jalur distribusi pangan. "Yang terakhir adalah penguatan fungsi Bulog. Di mana Bulog juga akan berkoordinasi dengan BUMN yang punya fungsi logistik dan distribusi," ucap Wahyu.

http://www.jitunews.com/read/25789/mendag-kejar-mou-impor-beras-pakistan-upaya-kementan-dan-bulog

Senin, 23 November 2015

DPR: Jokowi Belum Bertindak Sebagai Jenderal Pangan

Minggu, 22 November 2015

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS Akmal Pasluddin menilai hingga saat ini komitmen pemerintah menuju kedaulatan pangan masih lemah. Hal tersebut tercermin dari belum terpenuhinya amanat UU Nomor 18/2012 tentang Pangan untuk membentuk Badan Pangan Nasional Nasional (BPN).

Padahal, sesuai Pasal 129, lembaga tersebut sudah harus terbentuk paling lambat 3 (tiga) tahun sejak UU tersebut disahkan. Undang-Undang pangan ini diundangkan 17 Nopember 2012, artinya lembaga Badan Pangan Nasional sudah harus terbentuk maksimal 17 Nopember 2015.

"Dengan tidak dijalankan amanat undang-undang ini, maka pemerintah telah menurunkan kewibawaan undang-undang," kata Akmal, Ahad, (22/11).

Ia juga menilai koordinasi kelembagaan untuk mengatasi masalah pangan belum maksimal. Persoalan pangan saat ini dikelola oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP) di Kementerian Pertanian, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Badan Urusan Logistik (Bulog).

Selain itu, juga terdapat Dewan Ketahanan Pangan (DKP), yang berfungsi untuk mengkoordinasikan 16 Kementerian dan 2  Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK) dengan diketuai langsung oleh presiden dengan Ketua Harian Menteri Pertanian dan ex-officio adalah Kepala BKP.

"Presiden saat ini belum berlaku sebagai Jenderal Pangan. Pimpinan tertinggi negara yang seharusnya mampu menjadi ikon untuk mengatasi permasalahan pangan, tidak mampu memerankan diri secara optimal," jelasnya.

Sampai saat ini permasalahan pangan masih sangat rentan terutama terjadi gangguan alam maupun serangan impor dari luar negeri. Makanya  pemerintah harus menjalankan segera amanat UU untuk membentuk Badan Pangan Nasional sebagai bagian dari komitmen mewujudkan kedaulatan pangan.

“Pemerintah harus menunjukkan kekuatan komitmen untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Komitmen ini menjadi harapan agar dapat memberi solusi untuk menyatukan semua tugas dan fungsi yang ada di kementerian/lembaga sehingga, tumpang tindih tugas dan fungsi selama ini dapat dihilangkan," ujarnya.

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/11/22/ny76sb330-dpr-jokowi-belum-bertindak-sebagai-jenderal-pangan

Jumat, 20 November 2015

Banyumas Tolak Impor Beras

Kamis, 19 November 2015
     
Warga Banyumas tidak perlu khawatir terhadap kemungkinan harga beras semakin melonjak.


BANYUMAS-Bupati Banyumas Achmad Husein menolak beras impor masuk ke wilayahnya. Ia menegaskan, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, surplus beras.

"Saya kan bawahan, kalau Gubernur Jateng bilang seperti itu (menolak beras impor), saya juga ikut. Kalau atasanya bilang A, bawahannya 'ngomong' Z, ya tidak seirama," katanya di Desa Pegalongan, Kecamatan Patikraja, Banyumas, Kamis (19/11).

Ia mengatakan bahwa warga Banyumas tidak perlu khawatir terhadap kemungkinan harga beras semakin melonjak maupun terjadinya kelangkaan bahan pangan itu.

Disinggung mengenai stok beras di gudang Bulog Subdivisi Regional Banyumas yang menipis, dia mengatakan bahwa ketersediaan beras di kabupaten itu tetap aman karena pada bulan Februari sudah ada petani yang panen.

Bahkan dalam kesempatan tersebut, dia memanggil Kepala Bulog Subdivre Banyumas Setio Wastono yang juga sedang berada di tempat itu.

Setelah mendapat penjelasan dari Setio Wastono terkait stok beras di gudang Bulog Banyumas, Bupati menegaskan persediaan beras untuk Kabupaten Banyumas dalam posisi aman.

"Tetap aman, karena bulan Februari sudah ada petani yang mulai panen, jadi aman. Kabupaten Kebumen kemarin malah dipasok dari Banyumas, berarti petaninya makmur," katanya.

Selain itu, kata dia, beras untuk keluarga sejahtera (rasta) yang sebelumnya hanya 13 kali dalam satu tahun akan ditambah menjadi 14 kali.

Keterangan sama ditegaskan Kepala Bulog Subdivre Banyumas Setio Wastono. Ia mengatakan bahwa stok beras "public service obligation (PSO)" maupun beras premium di gudang Bulog masih mencukupi kebutuhan hingga bulan Februari 2016.

Sebelumnya, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga menolak beras impor mengkhawatirkan pun karena dikhawatirkan akan merugikan petani lokal.

http://www.sinarharapan.co/news/read/151119054/banyumas-tolak-impor-beras

Kamis, 19 November 2015

Ganjar tolak beras impor masuk ke Jateng

Rabu, 18 November 2015

Klaten (ANTARA News) - Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menolak beras impor dari negara lain masuk ke Provinsi Jateng dengan alasan apapun karena dikhawatirkan akan merugikan petani lokal.

"Impor beras jangan sampai masuk ke Jateng, terus terang saya tidak setuju tapi kalau pemerintah pusat punya alasan lain, saya menghormati," kata Ganjar di sela kunjungan kerja di Kabupaten Klaten, Rabu.

Ganjar mengungkapkan bahwa masuknya beras impor ke Jateng akan merusak harga beras yang ada di pasaran sehingga merugikan para petani.

Menurut Ganjar, berdasarkan hasil penghitungan yang dilakukan pihaknya, stok beras di Jateng aman hingga April 2016.

"Surplus beras di Jateng itu sekitar 3 juta ton lebih, masih cukup hingga April tahun depan," ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Ganjar mengaku sudah menginstruksikan Badan Ketahanan Pangan untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak guna mencegah masuknya beras impor ke Jateng.

Sebelumnya, Kepala Badan Ketahanan Pangan Jawa Tengah Whitono mengatakan bahwa stok beras di provinsi setempat mencukupi hingga akhir 2015 karena produksi beras mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya.

"Produksi beras di Jateng pada 2015 diperkirakan mencapai 10,6 juta ton atau mengalami peningkatan mencapai 10,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya sehingga mencukupi dan tidak butuh beras impor, sedangkan cadangan beras di Jateng saat ini masih mencapai sekitar 1 juta ton.

Menurut dia, cadangan beras sebanyak itu terdapat di rumah tangga petani, konsumen, penggilingan, maupun pedagang.

"Kebutuhan besar di Jateng sekitar 250 ribu ton per bulan, artinya selama empat bulan ke depan masih aman," katanya.

http://www.antaranews.com/berita/530175/ganjar-tolak-beras-impor-masuk-ke-jateng

Selasa, 17 November 2015

Mendag Lembong Dituding Dikendalikan Mafia Beras

Senin, 16 November 2015

JAKARTA – Pemerintah yang akhirnya mendatangkan beras dari Vietnam mendapat reaksi keras. Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Subagyo menuding Menteri Perdagangan Thomas Lembong tunduk pada tekanan mafia beras.

Karena itu, dia mendesak Thomas Lembong mundur atau Kementerian Perdagangan dibubarkan. ”Sikap pemerintah tidak konsisten. Jangan-jangan Menteri Perdagangan terlibat mafia impor beras,” ujar politikus Partai Golkar ini, Minggu (15/11). Hal itu diungkapkan Firman menanggapi pemerintah yang bersikeras mengimpor beras.

Setelah Vietnam dan Thailand, pemerintah tengah mengambil opsi impor beras lagi dari Pakistan dan Brasil. Keputusan itu diambil untuk memenuhi kuota 1,5 juta ton. Dari rencana pemerintah mengimpor beras 1,5 juta ton hingga akhir tahun tersebut, baru satu juta ton yang bisa dipenuhi dari Thailand dan Vietnam.

Target 1,5 juta ton akan sulit tercapai, mengingat Myanmar dan Kamboja juga tidak memiliki stok ekspor. Karena itu, opsinya impor dari Pakistan dan Brasil. Masalah beras impor itu, menurut Firman, hendaknya pemerintah jangan saling silat lidah.

”Harus tegas kalau memang cadangan masih cukup buat apa impor,” ujarnya. Menteri Pertanian, lanjut Firman, saat dirinya menanyakan stok beras nasional, menjawab bahwa pengadaan beras masih bisa dari dalam negeri.

Terlebih, wilayah Lampung panen raya. Presiden Jokowi juga sudah menegaskan, tidak akan dan tidak ada impor beras. ”Tetapi kenapa antarpejabat pemerintah, baik Wapres Jusuf Kalla maupun Presiden Jokowi berbeda pendapat,” tanya Firman. Namun kenyataannya masih memaksakan impor beras.

Intervensi

”Ada apa gerangan? Jangan sampai ada intervensi dari mafia beras, karena impor sangat menjanjikan keuntungan.” Hendaknya para pejabat pemerintah tidak membuat kebijakan yang menyakitkan rakyat, khususnya petani. Karena itu, Menteri Perdagangan juga harus tegas.

”Ganti Menteri Perdagangan sama saja selalu memihak kapada kepentingan mafia beras, bukan petani. Kalau selalu seperti itu sebaiknya mundur atau kementerian dibubarkan saja,” ujarnya. Lebih khusus, dia meminta Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menolak beras impor masuk Jateng.

Pasalnya, daerah ini masih surplus beras. Pendapat berbeda diungkapkan para pedagang beras di Pasar Induk Cipinang. Ujang Daruri, salah satunya. Bahkan menurut pemilik Toko UD Beras Cianjur ini, langkah pemerintah mengimpor beras Vietnam itu sebenarnya sedikit terlambat.

Sebab, jika hanya mengandalkan pasokan beras petani lokal yang terkena dampak kemarau panjang, harga beras diprediksi bakal melonjak. ”Beras kebutuhan pokok, mau mahal yang namanya makan buat harus dibeli. Sementara ada El Nino kan belum jelas parahnya sampai mana. Kalau tidak ada stok, bukan hanya naik, pasti sudah ganti harga namanya,” ungkapnya.

Kedatangan beras impor Vietnam ke gudang Perum Bulog itu juga membuat para pedagang tidak berani lagi menimbun dagangan untuk mempermainkan harga. Sebab, ada cadangan stok sehingga harga beras diprediksi stabil hingga puncak panen gabah tahun depan. (di,dtc – 61)

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/mendag-lembong-dituding-dikendalikan-mafia-beras/

Impor Beras, Pukul Produksi Petani!

Senin, 16 November 2015

Jakarta – Pemerintah telah memastikan untuk melakukan impor beras dari Vietnam pada akhir tahun 2015, kebijakan tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan kerugian bagi petani. Sementara pihak Bulog beralasan bahwa beras impor dari Vietnam digunakan hanya untuk menghadapi kondisi El Nino seperti yang terjadi saat ini.

NERACA

“Pemerintah harus berhati-hati dalam memutuskan untuk melakukan kebijakan impor beras, mengingat banyak pengaruh yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut. Pemerintah hendaknya berpihak kepada kepentingan ekonomi nasional, terutama para petani yang sekarang sedang menikmati harga yang relatif stabil, sehingga daya beli petani bisa terus membaik,” ujar Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD)-RI Farouk Muhammad di Jakarta, akhir pekan lalu (14/11).

Pemerintah beralasan, kebijakan impor tahun 2015, hanya sebagai cadangan Badan Urusan Logistik (Bulog), diantaranya untuk mengantisipasi dampak El-Nino dan bencana asap yang menimpa beberapa sentra produksi pangan di Sumatra dan Kalimantan yang diprediksi mempengaruhi hasil panen petani.

Farouk menjelaskan, keresahan petani terhadap kebijakan impor beras sangat beralasan, dengan tingkat produksi beras hingga akhir tahun 2015 akan mencapai 75.5 juta ton, pasokan beras ke Pasar Induk Cipinang seabagai barometer pasokan beras di seluruh pasar di Indonesia juga masih relatif lancar, bahkan pada bulan oktober pasokan mencapai 80 ribu ton. Jadi, secara produksi dan pasokan hingga akhir tahun 2015, masih relatif aman.

“Pemerintah menjamin beras impor tidak masuk pasar, tetapi tentu saja kebijakan ini akan menjadi tekanan psikologis tersendiri bagi petani dan pedagang. Sudah bisa dipastikan bahwa pembelian gabah petani oleh Bulog akan menurun, yang pada akhirnya berujung pada kerugian bagi petani,” tegas Farouk dalam keterangan tertulisnya yang diterima Neraca.

Mantan Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) itu mengingatkan, pemerintah harus segera memperbaiki sistem pengadaan beras nasional dengan mengubah aturan-aturan yang membelenggu seperti harga pokok petani (HPP) yang hanya satu harga, mengingat pasar beras berjalan mekanistik dan dinamis. Selain itu, kebijakan impor beras harus selalu berpedoman pada UU N0 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Pasal 36 ayat 1 bahwa “Impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri”, ujarnya.

Ancaman El Nino

Sebelumnya Dirut Perum Bulog Djarot Kusumayakti mengatakan, beras impor dari Vietnam digunakan hanya untuk menghadapi kondisi El Nino seperti yang terjadi saat ini.

“Artinya kalau negeri ini punya cadangan yang memadai, menghadapi kondisi yang seperti ini, El Nino dan lain-lain. Saya kira sesuatu yang aman,” ujarnya di kantor Kemenko bidang Perekonomian, Jakarta, belum lama ini.

Menurut Djarot, beras impor Vietnam yang sudah masuk ke Indonesia merupakan tahap awal dari total beras impor sekira satu juta ton. Sehingga, akan ada beras impor yang akan kembali masuk pada tahun depan. “Bertahap. Satu kapal ini isi berapa, yang kecil itu isi paling 4-5 ribu ton. Kalau yang besar paling 20-30 ribu ton. Kan tahapan. Ini tahap awal. Wong tahapannya banyak,” ujarnya.

Djarot menambahkan, beras impor Vietnam yang masuk merupakan jenis beras medium. Namun, untuk kepastian jumlah beras impor yang sudah masuk merupakan wewenang pemerintah. Dia berdalih tidak mengetahui, karena Bulog hanya menunggu pemerintah.

Selain itu, Kementerian Pertanian tak memungkiri adanya impor beras. Namun, Kementan menjamin beras impor tidak akan merugikan para petani. Pasalnya, pemerintah telah membuat regulasi supaya beras impor tidak membuat harga beras di petani jatuh.

“Sudah diatur oleh pemerintah supaya jangan sampai memukul harga di petani lokal, pemerintah memperhatikan itu,” kata Dirjen Tanaman Pangan Kementan Hasil Sembiring, di sela-sela rapat kerja dengan Komisi IV DPR, belum lama ini.

Setelah pemerintah mengakui telah mengimpor beras dari Vietnam, harga beras di dalam negeri memang menurun. Tetapi menurut Hasil, penurunan tersebut hanya terjadi di pedagang, tidak sa‎mpai ke petani.

Namun, upaya pemerintah mengimpor beras secara bertahap dari Vietnam ternyata belum mampu menurunkan harga beras di pasaran. Secara umum pasokan beras di pasaran masih mengalami kelangkaan.

Ketua Umum Persatuan Pedagang Pasar Hasan Basri mengatakan, stok beras di Pasar Induk Cipinang saat ini hanya terdiri dari beras kualitas medium dan premium. Sementara, stok beras kualitas rendah sudah hilang di pasaran sejak dua bulan terakhir.

”Harga beras kelas medium ke atas ini seharusnya Rp8.000/kg tapi karena stok yang ada sekarang di lapangan hanya beras kelas medium ke atas saja, maka harganya naik menjadi Rp9.000/kg,” ujarnya, pekan lalu.

Hasan menjelaskan, karena beras merupakan barang inelastis, maka konsumen yang biasa membeli beras kualitas rendah, seperti warung makan, terpaksa harus membeli beras kualitas medium ke atas.

Namun, mereka mendapatkan beras dengan jumlah yang lebih sedikit dari biasanya. Hasan menambahkan, impor yang dilakukan pemerintah masih kurang karena pemerintah terlambat melakukan impor dari Vietnam sehingga tidak mendapatkan pasokan yang dikabarkan hingga mencapai satu juta ton.

Artinya, kelangkaan masih tetap terjadi. ”Kekurangan inilah yang bisa dimanfaatkan oleh para spekulan. Dan, kita berharap jangan sampai pemain beras ini dilepas pemerintah karena 92% beras dikuasai oleh pasar,” ujarnya. Dia meminta agar pemerintah memiliki data pangan yang akurat sehingga peristiwa seperti ini tidak terus menerus terjadi.

Dia pun menilai, pemerintah harus memahami kondisi di lapangan secara riil. Dalam hal ini Indonesia bisa disebut sedang mengalami darurat pangan. ”Dibilang stok pangan kita cukup. Di lapangan yang terjadi justru sebaliknya,” ujarnya. Pihak Perum Bulog sendiri memastikan bahwa beras impor asal Vietnam sudah mulai masuk ke sejumlah pelabuhan di Indonesia.

Secara terpisah, pengamat politik pangan Andi Sinulingga mengatakan, sesuai amanat UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Ketahanan dan Kedaulatan Pangan, perlu komando langsung dari presiden. Dia menilai, masing-masing kementerian selama ini masih bertindak dengan berlandaskan ego sektoral. ”Persoalan ini harus diambil langsung oleh presiden. Tapi karena presiden tugasnya sudah banyak, bisa dialihkan ke Wapres,” ujarnya. bari/mohar/fba

http://www.neraca.co.id/article/61553/impor-beras-pukul-produksi-petani




Impor Bukti Pemerintah Gagal Serap Beras Petani

Senin, 16 November 2015
   
INILAHCOM, Jakarta Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memandang kebijakan impor beras yang barus saja dilakukan oleh Pemerintah bukti kegagalan Badan Urusan Logitisk (Bulog) dalam menyerap produksi beras nasional.

Anggota Komisi IV DPR RI Rofi Munawar mengatakan, jika mekanisme kinerja ini terus berlanjut, sebesar apapun produksi beras nasional maka pada akhirnya hanya akan membebani petani dan menguntungkan tengkulak.

"Faktor eksternal seperti El-nino, kekeringan, besarnya alokasi beras ke bencana alam, dan operasi pasr seakan menjadi rasionalisasi efektif terkait kebijakan importasi beras yang dilakukan pemerintah. Padahal sejatinya, ini merupakan karena lemahnya faktor internal yaitu kegagalan Bulog dalam menyerap produksi petani sehingga menyebabkan cadangan beras nasional menipis, jalan paling singkat tentu saja dengan melegalisasi impor," ujar dia di Jakarta, Senin (16/11/2015).

Menurut dia, setelah bantahan dari berbagai pejabat soal impor beras, akhirnya pemerintah benar-benar memasukkan beras impor ke Indonesia. Beras asal Vietnam itu bahkan sudah mulai masuk ke Jakarta dan daerah-daerah lainnya.

Pada hari Rabu (4/11/2015), sebanyak 4.800 ton beras asal Vietnam tiba di Manado, Provinsi Sulawesi Utara. Kemudian Minggu (8/11/2015), Bulog Merauke berencana mendatangkan beras impor dari Vietnam karena persediaan menipis akibat petani yang tidak mampu memenuhi kebutuhan.

Pemerintah dengan kebijakan impor beras seakan-akan sedang menyalahkan petani Indonesia yang tidak mampu memenuhi kebutuhan beras nasional, padahal kelemahan tersebut diakibatkan dari rendahnya serapan dan lemahnya redistribusi beras lokal oleh perum Bulog.

Selain itu manajemen produksi dan stok beras nasional juga lemah, seharusnya daerah yang surplus beras kelebihan produksinya didistribusikan ke daerah yang kurang. Kebijakan impor ini menunjukan pemerintah malas untuk menghimpun, menseleksi dan mendistribusi beras nasional, karena lebih mudah dan murah melakukan impor beras dari Vietnam.

"Jika pemerintah mau berpikir jernih dan berpihak kepada petani, sebenarnya mereka pasti memiliki peta sentra produksi beras nasional dan bagaimana produksinya. Dari situ dipetakan bagaimana kondisi kebutuhan di daerah tersebut, sekiranya berlebih segera lakuan redistribusi kepada daerah yang gagal panen atau kurang baik hasilnya. Usaha jangka pendek itu bisa dilakukan, sembari dalam jangka panjang mengembalikan pola konsumsi dengan program diversifikasi pangan nasional," kata Rofi.


Prediksi el-nino sudah diketahui jauh-jauh hari, pun demikian dengan potensi kekeringan. Seharusnya ada alternative solusi yang sudah disiapakan oleh pemerintah untuk menjaga produksi beras nasional.

Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan antara lain peningkatan produktivitas padi sawah dan padi gogo, peningkatan intensitas tanam, baik pada sawah irigasi maupun tadah hujan, peningkatan pemanfaatan lahan yang tidak produktif, peremajaan sumber daya pertanian (petani dll) dan penanganan pascapanen secara tepat guna menekan kehilangan hasil serta meningkatkan rendemen beras.

"Untuk itu diperlukan peningkatan koordinasi dan interaksi dari para pemangku kepentingan mulai dari tingkat pusat sampai kecamatan, utamanya antara lembaga teknis, litbang, dan penyuluhan pertanian dalam mendukung penerapan teknologi maju," jelas Rofi. [jin]

http://ekonomi.inilah.com/read/detail/2252861/impor-bukti-pemerintah-gagal-serap-beras-petani

Senin, 16 November 2015

Menteri Perdagangan Langgar UU Pangan

Senin,16 November 2015

JAKARTA, suaramerdeka.com – Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI)Henri Saragih menyatakan, Menteri Perdagangan Thomas Lembong diduga telah melanggar undang-undang. Dia pun mendukung tuntutan agar Lembong mundur dari Kabinet Kerja, karena mengimpor beras.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Subagyo menuding Menteri Perdagangan Thomas Lembong tunduk pada tekanan mafia beras. Karena itu, dia mendesak Thomas Lembong mundur atau Kementerian Perdagangan dibubarkan.

Secara prosedural, menurut Henri Saragih, merujuk Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, tindakan impor pangan merupakan perbuatan yang melanggar. Pasalnya impor pangan hanya boleh dilakukan apabila persediaan pangan dalam negeri sudah tidak mencukupi.

Saat ini, menurut Henri, Menteri Pertanian menyatakan Indonesia masih cukup beras. “Karena itu Mendag sudah melanggar UU Pangan,” ujar Henri Saragih dihubungi suaramerdeka.com di Jakarta, Senin (16/11).

Mendag dinilai mengimpor beras tanpa perserujuan Kementan. Padahal posisi Kementan dalam urusan pangan adalah pelaksana harian Dewan Pangan Nasional (DKP) yang diketuai langsung oleh Presiden.

Terpisah, Ketua LSM Protanikita Bonang mengingatkan, dalam UU tentang Pangan, Presiden telah diperintahkan membentuk Lembaga Pangan paling lambat tiga tahun setelah UU tersebut diundangkan.

“Tiga tahun setelah diundangkan berarti Presiden mempunyai waktu beberapa minggu lagi untuk mengumumkan terbentuknya lembaga pangan,” ujar Bonang.

Masalahnya, hingga saat ini perdebatan di internal pemerintahan tentang lembaga bidang pangan ini tidak kunjung selesai. “Waktu tiga tahun saja tidak cukup bagi pemerintah untuk menyepakati nama institusinya,” tegas dia.

Mengingat batas waktu yang diamanatkan dalam UU Pangan untuk membentuk institusi pangan, Presiden Joko Widodo diminta segera menerbitkan Peraturan Presiden terkait kelembagaan dimaksud. “Sebab, kalau pada akhir November 2015 Presiden tidak juga memenuhi perintah UU Pangan, berarti Presiden Jokowi tidak menjalankan perintah UU tentang Pangan,” tandasnya.
(A Adib/CN41/SMNetwork)

http://berita.suaramerdeka.com/menteri-perdagangan-langgar-uu-pangan/

Impor Beras, Mendag Didesak Mundur

Minggu, 15 November 2015

JAKARTA, suaramerdeka.com - Sikap pemerintah yang ngotot mengimpor beras dinilai tidak konsisten. Bahkan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Firman Subagyo menuding Menteri Perdagangan Thomas Lembong ditekan oleh mafia impor ini. Oleh karena itu dia dituntut mundur atau Kementerian Perdagangan dibubarkan.

“Sikap pemerintah mencla-mencle. Jangan-jangan Menteri Perdagangan terlibat mafia impor beras ini,” ujar politikus Partai Golkar ini dihubungi Suaramerdeka.com di Grobogan, Minggu (15/11).

Hal itu diungkapkan Firman menanggapi kebijakan pemerintah  yang bersikeras mengimpor beras. Setelah Vietnam dan Thailand, pemerintah tengah mengambil opsi untuk impor beras lagi dari Pakistan dan Brasil. Keputusan itu diambil guna  memenuhi kuota 1,5 juta ton.

Dari rencana pemerintah untuk mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton hingga akhir tahun tersebut, baru sebanyak satu juta ton yang bisa dipenuhi dari Thailand dan  Vietnam.

Untuk memenuhi target 1,5 juta ton akan sulit tercapai, mengingat Myanmardan Kamboja juga tidak memiliki stok untuk ekspor. Karena itu opsinya impor dari Pakistan dan Brasil.

Karena masalah beras impor itu, Firman mengatakan pemerintah hendaknya jangan saling silat lidah. ” Harus tegas kalau memang cadangan masih cukup buat apa impor,” ujarnya.

Menteri Pertanaian, lanjut Firman,  berdasarkan konfirmasi saat dirinya menanyakan stok beras nasional,  dikatakan masih cukup; apalagi di wilayah Lampung sedang panen.

Presiden Jokowi juga sudah menegaskan, tidak akan dan tidak ada impor beras. ” Tetapi kenapa antarpejabat penerintah baik Wapres Jusuf Kalla, maupun Presiden Jokowi  berbeda pendapat,” tanya Firman.

Namun kenyataannya masih memaksakan impor beras.  “Ada apa gerangan? Jangan sampai ini ada tekanan dari para mafia impor beras yang mengintervensi karena impor beras memang sangat menjanjikan dari keuntungan yang akan di raih.”

(A Adib/ CN33/ SM Network)

http://berita.suaramerdeka.com/impor-beras-mendag-didesak-mundur/

Daerah Perketat Perdagangan Beras

Senin, 16 November 2015

DALAM merespons temuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tentang adanya praktik kartel beras di daerah sentra produksi beras, pemerintah daerah pun memperketat pengawasan perdagangan komoditas pangan utama itu di wilayah masing-masing.

Para kepala daerah juga menggandeng aparat kepolisian untuk menelusuri dugaan praktik persekongkolan sekelompok pengusaha beras yang memainkn harga.

Bupati Temanggung, Jateng, Bambang Sukarno mengaku tidak menyadari bahwa gejolak harga beras di daerahnya akibat praktik kartel.

"Kami akan mengecek dulu apakah memang ada yang memainkan beras. Jika ada, pasti akan ditindak tegas," tegasnya saat ditemui kemarin.

Kepala Kepolisian Resor Temanggung Ajun Komisaris Besar Wahyu Wim Harjanto pun menimpali pihaknya akan membantu mengawasi potensi permainan beras oleh pihak-pihak yang hanya ingin meraup keuntungan dengan cara tidak sehat.

Wakil Bupati Lembata, NTT, Viktor Mado Watun juga sudah mencium adanya kartel beras di Lembata lantaran fluktuasi harga beras di wilayahnya tidak wajar.

"Melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lembata, saya minta segera mendata penjual beras dengan harga Rp12 ribu hingga Rp15 ribu per kilogram agar bisa dikonfirmasikan," ujarnya.

Begitu pula Wali Kota Batam Ahmad Dahlan yang juga meminta polisi, dinas perdagangan, dan Bulog mengawasi distribusi beras di masyarakat, termasuk menyeret pengusaha nakal yang melakukan persekongkolan harga beras ke ranah hukum.

Untuk memutus rantai kartel beras di Sulawesi Selatan, Kepala Divre Bulog Sulsel Abdul Muis Ali mengungkapkan pihaknya selalu terjun langsung untuk membeli gabah kepada petani.

Harga yang bisa diterima petani pun menjadi cara Bulog mengatasi manipulasi kartel dalam memainkan gabah di petani.

"Jika Bulog memegang kendali pasar, sudah dipastikan kartel-kartel ini akan kewalahan dalam memainkan peredaran beras," tegasnya.

Pengamat pertanian IPB Hermanto Siregar menilai struktur pasar untuk beberapa komoditas pertanian termasuk beras ialah oligopoli, atau dikuasai hanya oleh segelintir pelaku usaha.

"Selama ini, menurut pantauan saya, belum ada tindakan yang mengarah ke upaya kartel beras. Tapi kalau memang terbukti ada yang bekerja sama menahan stok agar harga tinggi, harus segera ditindak," ujarnya ketika dihubungi, kemarin.

Jangan coba-coba
Ketua KPPU Syarkawi Ra'uf menegaskan agar para pengusaha beras tidak coba-coba memanfaatkan situasi yang serbatidak pasti terkait dengan beras.

Saat ini KPPU sedang dalam tahap pemantauan dan akan masuk ke tahap penyelidikan. Kalau ada dua alat bukti, baru diproses ke persidangan.

"Kita akan memperkarakan mereka, memberikan denda, dan mencabut perizinan usaha. Presiden Jokowi mendukung KPPU untuk mencabut izin usaha mereka," tegasnya, kemarin. (PT/HK/LN/Mus/X-10)

http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/17110/Daerah-Perketat-Perdagangan-Beras/2015/11/16

Sabtu, 14 November 2015

Pemerintah JKW Berbohong Soal Impor Beras

Jumat, 13 November 2015

Belum kering bibir Presiden Jokowi yang mengucapkan bahwa Indonesia tidak akan impor beras, ternyata hari ini 12 November 2015 di beberapa media TV disiarkan adanya impor beras dari Thailand atau Vietnam sebanyak kumulatif 1,5 juta Ton beras. Karung beras yang didatangkan dari Thailand atau Vietnam itu, sudah bermerek karung berlambang Bulog, artinya sudah ada perencanaan yang cukup panjang dalam pengimporan beras tersebut. Tentu jauh hari sebelum Presiden Jokowi meyakinkan bangsa Indonesia bahwa Pemerintah tidak akan mengimpor beras lagi karena persediaan didalam negeri cukup. Masih ingatkah anda semua ketika Jokowi ditanya para wartawan tentang dia mau dicalonkan menjadi RI-1 ada ucapan Jokowi yang sangat mendasar yaitu "nggak mikir 3x tentang Presiden RI". Nyatanya seperti apa ? Sementara itu dalam memperkuat pernyataan Presiden Jokowi, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menegaskan, pemerintah tidak akan melakukan impor beras pada 2015 sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan para petani. "Pemerintah tidak akan mengimpor beras”, tegasnya saat memberikan pidato sambutan pada musyawarah perencanaan pembangunan wilayah Keresidenan Surakarta di pendopo Kabupaten Karanganyar, Selasa (31/3/2015). Andi Amran Sulaiman mengaku berulang kali ditawari impor beras dari Thailand sebanyak 1,5 juta ton dengan harga Rp 4.000 per kilogram, sedangkan harga beras di dalam negeri mencapai Rp.8.000-Rp.12.000/kg. "Kalau impor 1,5 juta ton beras itu untungnya Rp 6 triliun, kami katakan maaf tidak akan impor beras”, ujarnya. Ia mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo selalu mengontrol terkait dengan stok beras di dalam negeri. Dari keterangan Mentan RI sendiri, ternyata harga beras di Thailand jauh lebih murah dari harga di Indonesia, artinya tingkat efisiensi dari manajemen perberasan di Thailand sudah sangat tinggi. Mengapa harga beras bisa sangat mahal di Indonesia ? Ini semua menunjukkan amburadulnya manajemen pertanian dan peternakan kita serta amburadulnya informasi data yang disediakan BPS, sehingga perencanaan juga melenceng amburadul. Mengenai jumlah beras yang diimpor, ternyata jumlahnya ada yang mengatakan 1 juta Ton, ada 1,5 juta Ton ada pula yang menyatakan total lebih kurang 4 juta ton yang akan masuk ke Indonesia. Begitu juga dari berbagai pejabat berwenang ada yang mengatakan beras diimpor dari Thailand dan ada pula yang mengatakan dari Vietnam. Semua informasi masih simpang siur yang bisa didapat dari para pejabat terkait. Inilah lambang kesemerawutan manajemen Pemerintahan Jokowi-JK yang kita saksikan didalam era keterbukaan informasi. Beras impor yang didatang dari Vietnam ini ternyata dikatakan oleh Pemerintah sendiri sebagai importasi illegal yang masuk ke Indonesia, karena perlakuan importasinya tidak dilakukan secara resmi atas persetujuan Menteri Pertanian oleh Perum Bulog serta tidak tercatat juga di Badan Pusat Statistik (BPS). Sementara kita mengetahui bahwa data yang berasal dari BPS datanya tidak akurat dan data inilah yang menjadi acuan Pemerintah untuk tidak mengimpor beras untuk tahun 2015 ini. Pada sisi lain semua masyarakat mewanti wanti panjangnya kemarau akibat ElNino sehingga bisa berdampak kepada semakin menipisnya persediaan beras Nasional. Atas wawancara awak media TV 12/11/2015, Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden, mengatakan keputusan untuk mengimpor beras adalah untuk menjaga stabilitas harga beras di pasaran. Adanya kepastian pemerintah untuk mengimpor beras dari Vietnam adalah terungkap dari media mainstream Vietnam sendiri yaitu The Saigon Time yang menyatakan telah ada kesepakatan antara Kementerian Perindustrian RI dengan Kementerian Perdagangan Vietnam dimana Vietnam telah memenangkan kontrak untuk memasok beras sebanyak 1 juta Ton ke Indonesia dan akan dikirim bertahap ke berbagai pelabuhan di Indonesia selama enam bulan mulai Oktober 2015 sampai Maret 2016. Bagaimana sebenarnya manajemen Pemerintahan Jokowi ini, Presiden Jokowi memastikan tidak akan ada impor beras dan diperkuat oleh Menteri Pertanian RI Andi Amran Sulaiman dengan mengatakan “Pemerintah Tidak Akan Mengimpor Beras”, lalu Wapres JK menyetujui adanya importasi beras. Melalui informasi yang ditayangkan The Saigon Time, bahwa Menteri Perindustrian RI telah melakukan kesepakatan untuk pembelian importasi beras dari Vietnam. Kita sebagai rakyat sekarang ini, melihat perilaku hampir semua para aparat pejabat tinggi Pemerintahan Jkw sudah tidak bisa dipercaya lagi dan mereka sangat gemar berbohong dan melakukan tontonan kemunafikan kepada rakyatnya sendiri. Masihkah ada harapan kepada perubahan yang lebih baik dari Negara Indonesia kedepan ? (Abah Pitung)

http://www.kompasiana.com/abahpitung/pemerintah-jkw-berbohong-soal-impor-beras_564520c4147b61020748c960

KPPU Ragukan Efektivitas Impor Beras untuk Meredam Harga

Jumat, 13 November 2015

Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengkritisi izin impor beras sebanyak 1,5 juta ton yang diberikan pemerintah kepada Perusahaan Umum (Perum) Bulog di penghujung tahun dengan tujuan menjaga stok beras pemerintah. Bagi KPPU, pelaksanaan impor beras tanpa memperbaiki sistem distribusi ke masyarakat tidak akan mampu meredam potensi gejolak harga.

Ketua KPPU M. Syarkawi Rauf menyebut hampir setiap tahun, pemerintah berhadapan dengan masalah di sektor hulu dan hilir pangan yang selalu berujung pada minimnya pasokan mengakibatkan harga melambung tinggi di masyarakat.

Oleh karena itu, KPPU menjadikan sektor pangan menjadi salah satu dari lima sektor prioritas yang secara spesifik diawasi ada tidaknya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Syarkawi menilai meski pemerintah meyakini hingga akhir 2015 stok beras untuk kepentingan komersil dan beras miskin (Raskin) masih mencukupi, namun kekhawatiran naiknya harga beras pada awal 2016 pun tak terhindarkan.

“Terlepas dari berbagai analisa teknis seperti El Nino yang membuat harga menjadi tinggi, KPPU mencatat bahwa terdapat permasalahan mendasar yang selama ini belum ditangani secara optimal dan komprehensif,” kata Syarkawi dalam keterangan pers, dikutip Kamis (12/11).

Dalam perspektif persaingan usaha yang sehat, Syarkawi melihat bahwa struktur industri beras relatif kompetitif. Di mana interaksi di pasar cukup dinamis, sehingga kekosongan pasokan di wilayah tertentu akan segera diisi oleh wilayah lainnya.

“Namun, bila jauh dicermati business process dari produksi sampai di konsumen, maka terlihat kondisi yang oligopoli,” katanya.

KPPU menduga ada upaya pelaku usaha besar untuk mulai masuk ke dalam industri beras dengan mengembangkan industri berskala besar.

“Pelaku usaha industri besar diduga telah menguasai pembelian dari petani, mengolahnya dan mendistribusikan ke konsumen dengan brand tertentu. Kondisi ini pelan tapi pasti berpotensi mengubah struktur yang tadinya kompetitif dan dinamis menjadi lebih rigid karena pasar menjadi oligopoli,” kata Syarkawi.

Ia menyebut penyalahgunaan struktur oligopoli dalam bisnis beras telah membentuk kelangkaan dan harga tinggi.

“Guna mengantisipasi hal tersebut KPPU telah menyiapkan langkah-langkah strategis berupa kebijakan, tindakan dan menurunkan tim yang akan terjun langsung ke lapangan untuk mencegah terjadinya kartel dan potensi permainan harga,” tegasnya. (gen)

http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20151112153737-92-91251/kppu-ragukan-efektivitas-impor-beras-untuk-meredam-harga/

Kamis, 12 November 2015

Petani Jateng Kecewa Pemerintah Impor Beras

Kamis, 12 November 2015

Semarang- Petani Jawa Tengah kecewa atas kebijakan pemerintah yang tetap akan melakukan impor beras dari Thailand dan Vietnam.

"Yang semakin mengecewakan masyarakat khususnya petani Jawa Tengah karena pemerintah tidak konsisten terhadap pernyataannya bahwa Indonesia tidak akan impor beras," ungkap anggota Komisi IV DPR Firman Soebagyo usai pertemuan dengan kepala dinas kab/kota se-Jateng dalam rangka reses di Kantor Gubernur Jateng, Kamis (12/11).

Firman menegaskan, tak ada alasan pemerintah untuk impor beras, karena fakta menunjukan bahwa stok beras nasional masih mencukupi sebesar 1,4 juta ton.

"Data itu sesuai jawaban Kemtan per telepon yang saya konfirmasi tadi malam," ujar Firman.

Data BPS juga menyebutkan bahwa beras nasional masih cukup dapat dipertanggungjawabkan.

"Kalau ada pihak yang mengatakan bahwa data BPS tidak dapat dipertanggungjawabkan, lantas kita mau percaya siapa? Karena BPS itu lembaga negara. Mau percaya data siapa? Apakah kita harus percaya pada data mafia impor beras?," ujarnya.

Dia mendesak Mendag untuk membuat kebijakan yang propetani. Jangan berpihak kepada mafia impor beras. Dia menuding, ada pihak-pihak yang ngotot impor adalah bagian dari mafia impor beras.

Di samping keluhan terhadap impor beras, juga disampaikan berbagai persoalan kebijakan pusat khususnya UU Nomor 23 tentang Pemerintahan Daerah yang dinilai juga semakin mempersulit pelaksanaan progam di tingkat kab/kota se- Jawa Tengah.

Oleh sebab itu, dia mendesak segera dilakukan revisi UU tersebut.

Adapun kebijakan terkait sektor perikanaan, menurut Firman, hendaknya pemerintah pusat melihat fakta dan realita di lapangan bahwa kebijakan Kementerian KKP semakin mempersulit nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

"Para kepala dinas mendesak DPR meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan dan regulasi yang membumi hanguskan hak hidup rakyat," tegasnya.

http://www.beritasatu.com/ekonomi/321589-petani-jateng-kecewa-pemerintah-impor-beras.html

Resistensi Mafia Impor Beras

Kamis, 12 November 2015

(KOMPAS/PRIYOMBODO) Pemerintah akhirnya melanggar komitmen untuk tidak impor beras tahun ini. Oktober lalu (21/10/2015) Presiden Jokowi menyatakan impor beras dari Thailand dan Vietnam untuk menutup perkiraan defisit cadangan Bulog. Wapres Jusuf Kalla kemudian (26/10/2015) kemudian menegaskan kuota impor itu berkisar 1.0-1.5 juta ton dan dilakukan secara bertahap mulai November 2015. Impor tahap pertama sebanyak 27,065 ton sudah tiba di Tanjung Priok tangal 7 November lalu. Dengan keputusan impor itu pemerintah telah mengingkari sendiri komitmen kedaulatan pangan nasional yang sedang ditegakkannya. Timbul pertanyaan, ada kekuatan apa sebenarnya di belakang keputusan itu. Lalu, ke depan, adakah langkah dapat diambil untuk terbebas dari impor beras? Motif Easy Money Data status perberasan nasional 2015 sebenarnya mengindikasikan surplus sehingga tak perlu impor. Kendati diterpa kemarau panjang akibat El-Nino, berdasar angka ramalan BPS, produksi padi 2015 diperkirakan masih bisa mencapai angka 75.2 juta ton GKP atau setara 40.58 ton beras. Karena konsumsi beras nasional ditaksir 35.45 juta ton, maka terdapat surplus 5.13 juta ton. Dengan asumsi data BPS valid, maka keputusan impor itu tampaknya bukanlah rentetan dampak El-Nino. Kuat dugaan bahwa kekuatan di balik keputusan itu adalah resistensi jaringan “Mafia Impor Beras” (MIB). Motif utamanya adalah perolehan big easy money berupa fee impor. Bayangkan, jika besaran fee impor Rp 1.0 milyar per 1,000 ton, maka dari impor beras 1.0 juta ton akan diperoleh total fee Rp 1 triliun. Demi fee maha-besar itu jaringan MIB akan melakukan siasat apapun untuk memaksakan impor beras. Siasat yang yang lazim dilakukan, pertama, menciptakan defisit fiktif dalam neraca perberasan nasional melalui manipulasi data status perberasan dan/atau rekayasa kelangkaan beras di pasaran. Atau, kedua, menciptakan defisit riil melalui rekayasa kendala produksi, misalnya kelambatan pasokan benih/pupuk/pestisida, yang menyebabkan penurunan produktivitas secara signifikan. Resistensi jaringan MIB itu sangat liat, sulit dipatahkan. Sebabnya, di dalam jaringan itu berperan juga birokrat dan politisi lapis-atas, demi kepentingan ekonomi-politik masing-masing. Sedikitnya ada dua indikasi peran birokrat/politisi, langsung atau tidak langsung, dalam jaringan MIB itu. Pertama, kontradiksi data status beras nasional antar institusi pemerintah khususnya Bulog/BUMN dan Kementan yang kerap terjadi. Tahun 2015 misalnya, data Kementan mengindikasikan surplus beras sehingga tak perlu impor. Sebaliknya data Bulog mengindikasikan defisit sehingga harus impor beras. Kedua, penetapan harga pembelian gabah/beras oleh pemerintah/Bulog (HPP) yang jauh di bawah harga pasaran. Inpres Perberasan No. 5/2015 misalnya menetapkan HPP beras Rp 7,300/kg, padahal harga pasaran berkisar Rp 8,000-10,000/kg. Akibatnya Bulog tak mampu menyerap beras petani, sehingga target cadangan beras pemerintah tak tercapai. Solusinya, impor beras murah dari negara tetangga. Meredam Resistensi Titik kekuatan resistensi jaringan MIB sebenarnya adalah fasilitasi impor beras, langsung atau tidak langsung, dari UU Pangan No. 18/2012 dan Inpres Perberasan No. 5/2015. Jadi, langkah paling efektif untuk meredam resistensi jaringan itu adalah revisi mendasar untuk menjadikan UU dan Inpres tersebut berwatak kedaulatan pangan atau anti-impor beras khususnya. Kongkritnya, pertama, syarat kondisional impor beras pada Pasal 36 UU Pangan No. 18/2012 harus direvisi karena sangat berorientasi ketahanan pangan. Berdasar pasal itu, impor beras otomatis terbuka bagi jaringan MIB hanya dengan pengumuman angka defisit neraca beras nasional oleh menteri/ lembaga yang berwewenang. Untuk menangkal impor, UU Pangan itu harus direorientasikan pada kedaulatan pangan, dengan mensubordinasikan Bagian Kelima (ketentuan impor pangan) kepada Bagian Ketujuh (ketentuan krisis pangan). Dengan begitu keputusan impor beras tidak didasarkan pada syarat kondisional angka defisit neraca pangan, melainkan pada syarat kondisional krisis pangan nasional, yang penetapannya langsung di tangan presiden. Syarat kondisional krisis pangan akan mengunci langkah jaringan MIB dan pemerintah sekaligus. Di satu pihak jaringan MIB mustahil merekayasa kondisi krisis pangan untuk justifikasi impor. Di lain pihak, demi stabilitas ekonomi dan politik, pemerintah akan melakukan apapun untuk mencegah krisis pangan. Kedua, penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) dalam Inpres Perberasan No. 5/2015 sebagai batas atas harga pembelian gabah/beras oleh Bulog juga berorientasi ketahanan pangan. Ketentuan itu menyebabkan Bulog terkendala membeli gabah/beras apabila harganya di atas HPP, mengingat anggaran komersilnya terbatas. Fakta inilah yang selalu menjadi dasar bagi Bulog berikut jaringannya untuk impor beras. Agar berorientasi kedaulatan pangan, maka HPP pada Inpres itu harus ditetapkan sebagai harga dasar pembelian Bulog. Dengan begitu, acuan kerja Bulog bukan lagi HPP melainkan target cadangan beras pemerintah. Berapapun targetnya, Bulog harus memenuhinya melalui pembelian gabah/beras petani sesuai harga pasar. Selisih kemahalan atas pembelian itu adalah biaya kedaulatan pangan nasional yang harus ditanggung pemerintah. Ketiga, mengikuti revisi UU Pangan dan Inpres Perberasan itu, Bulog sebaiknya ditetapkan sebagai badan penyangga kedaulatan pangan nasional. Untuk menjalankan fungsi itu Bulog lalu diserahi tanggungjawab pengelolaan “kebun padi nasional” dengan pendekatan kemitraan. Luas tanamnya ditargetkan 1.0 juta ha/ tahun, untuk menghasilkan pasokan cadangan beras pemerintah sedikitnya 4.0 juta ton. Dengan menempuh tiga langkah tersebut, diharapkan bangsa ini akan terbebas dari permainan jaringan MIB dan perangkap impor beras.(*)

Felix Tani

http://www.kompasiana.com/mtf3lix5tr/resistensi-mafia-impor-beras_5643eca1a8afbd8f100dcd81

DPR Desak Pemerintah dan Bulog Usut Beras Ilegal dari Vietnam

Kamis, 12 November 2015

Jakarta, GATRAnews - Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS Rofi Munawar meminta pemerintah serius melakukan investigasi terhadap beredarnya beras impor asal Vietnam yang masuk dan beredar secara ilegal di Sumatera. Jika tidak ada respon yang baik dari pemerintah, dipastikan beras ilegal ini akan membanjiri sentra-sentra beras utama di Sumatera.

“Sejatinya temuan beras Vietnam ilegal ini sudah diketahui pemerintah dan bulog sejak lama, namun mereka seakan enggan melakukan investigasi terhadap masalah ini. Jika saja ada keseriusan pemerintah, tentu saja masalah tata niaga beras tidak akan berlarut–larut,” kata Rofi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (11/11).

Sebelumnya, Kepala Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) Divisi Regional Jambi Laode Amijaya Kamaludin menyebutkan beras Vietnam ilegal yang masuk ke Indonesia mencapai 4 juta ton per tahun. Beras Vietnam ini ilegal karena importasinya tidak dilakukan oleh Perum Bulog dan tidak tercatat di Badan Pusat Statistik (BPS).

Situasi ini ditegaskan oleh peneliti beras dari Universitas Cantho Vietnam yang menyebutkan produksi beras Vietnam mengalami surplus 6-7 juta ton per tahun. Kelebihan produksi tersebut diserap oleh Cina sebanyak 2 juta ton, Indonesia 1-1,5 juta ton, dan Filipina 0,5-1 juta ton.

“Pemerintah menegaskan tidak akan melakukan importasi beras di Tahun 2015, namun dalam perkembangannya wacana impor datang silih berganti dari pihak pemerintah sendiri. Sejalan dengan itu, proses audit kebutuhan data beras nasional tidak kunjung sinkron antara kementerian teknis, otoritas data, dan konsumen,” imbuh Rofi.

Politisi PKS ini menyatakan keberadaan beras impor ilegal telah meresahkan petani lokal karena komoditas ini harganya lebih murah, mudah disamarkan, dan sulit dideteksi perbedaannya dengan beras lokal. Melihat kondisi tersebut, ia menyarankan pemerintah untuk melakukan hal-hal berikut.

Pertama, secara teknis melakukan verifikasi dan identifikasi pintu-pintu masuk tidak resmi yang seringkali dijadikan tempat masuk beras impor ilegal. Kedua, penguatan regulasi dengan membangun sistem koordinasi yang efisien antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, Bulog dan aparat penegak hukum berbasis real time dan terintegrasi. Ketiga, penegakan hukum yang serius terhadap pelaku penyeludupan beras ilegal baik secara administratif maupun hukum positif agar mampu memberikan efek jera.

“Keberadaan beras impor ilegal dikhawatirkan menjadi salah satu basis data pemerintah terkait kesediaan cadangan beras nasional. Apa yang kita anggap beras lokal ternyata campuran beras impor ilegal, hal ini perlu diversifikasi secara serius,” kata legislator dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur VII ini.

http://www.gatra.com/ekonomi/industri/173672-dpr-desak-pemerintah-dan-bulog-usut-beras-ilegal-vietnam

BULOG BENGKULU CUMA 37 PERSEN SERAP BERAS LOKAL

Rabu, 11 November 2015

RMOL. Kepala Badan Urusan Logistik Divisi Regional (Bulog Divre) Bengkulu, Sugeng Rahayu melalui bagian TU Bulog Divre Bengkulu, Alfonso Roy mengungkapkan bahwa hingga November 2015, serapan beras lokal di Provinsi Bengkulu hanya 37 persen dari target di tahun 2015.

"Serapan baru tercapai 2700 ton, dari target kita di tahun 2015 sebanyak 6000 ton, jauh lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya," katanya, Rabu (11/11/2015).

Ia mengatakan, pada tahun 2014, Bulog Divre Bengkulu, bahkan bisa menyerap beras lokal hingga 125 persen dari target 6000 ton, atau mencapai 8000 ton beras. "Kondisinya memang beda dibanding tahun lalu, sehingga penyerapan beras tahun ini rendah," imbuhnya.

Daerah yang menjadi sumber beras yang diserap oleh Bulog Divre Bengkulu adalah Kepahiang sebanyak 1075 ton, Rejang Lebong 950 ton, Bengkulu Selatan 300 Ton, dan sisanya merupakan beras asal Bengkulu Utara, Mukomuko dan Kota Bengkulu.

Ia menjelaskan, pada tahun lalu, produksi beras di Provinsi Bengkulu sangat tinggi, sehingga harga beras di pasaran menjadi rendah dan bulog melakukan penyerapan beras lokal untuk menyeimbangkan harga.

Sementara, tahun ini, lanjutnya, produksi beras lokal di Provinsi Bengkulu jauh menurun dari tahun sebelumnya, dan harga beras di pasaran jauh lebih tinggi dari harga yang ditetapkan bulog. "Kemarau panjang pada tahun ini mempengaruhi produksi beras lokal, sehingga produksi beras jauh lebih sedikit dibanding tahun lalu. Sedikitnya ketersediaan beras di pasaran, membuat harga jauh lebih tinggi dari harga bulog, sehingga petani lebih memilih menjual beras di pasar," jelasnya.

Saat ini, katanya, harga beras di pasar untuk kualitas Manggis yakni Rp 11.900 per kg, beras kualitas seginim Rp 10.000 per kg dan beras asalan seharga Rp 9400 per kg. "Penyerapan beras oleh bulog untuk beras lokal ada untuk menjadi penyeimbang harga beras di pasar, agar tidak merugikan petani, kalau seperti saat ini, harganya dipasar tinggi, sehingga buloh sedikit melakukan penyerapan beras," tukasnya. [Q19]

http://www.rmolbengkulu.com/index.php/rmol-nusantara/item/3985-bulog-bengkulu-cuma-37-persen-serap-beras-lokal

Selasa, 10 November 2015

Mentan Klaim Mampu Tekan Potensi Impor 8 Juta Ton Beras

SENIN, 09 NOVEMBER 2015

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman meminta masyarakat untuk tidak memperdebatkan mengenai rencana impor beras yang akan dijalankan oleh Perum Bulog. Menurutnya, impor beras tersebut dilakukan hanya sebagai langkah antisipasi jika terjadi kekurangan beras akibat dampak dari anomali cuaca El Nino.

Amran menjelaskan, sejak awal tahun, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi beras nasional. Salah satunya yaitu dengan pemberian pupuk, bibit unggul hingga alat mesin pertanian (alsintan) kepada para petani secara cuma-cuma. Hasilnya, pemerintah bisa menekan potensi impor beras Indonesia sebesar 8 juta ton pada tahun ini.

"Kami pangkas impor 7 juta hingga 8 juta ton, itu upaya keras pemerintah dalam setahun," ujarnya di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (9/11/2015).

Menurut Amran, dengan kondisi kemarau panjang di hampir seluruh wilayah dalam beberapa bulan terakhir, Indonesia punya potensi untuk melakukan impor jika produksi beras di dalam negeri mengalami penurunan.

Sebagai perbandingan, saat kemarau panjang akibat El Nino pada 1998 lalu, impor beras Indonesia di angka 7,1 juta ton. "Pada 1998 Indonesia impor 7,1 juta ton. Itu dengan jumlah penduduk 200 juta jiwa. Sekarang penduduknya 222 juta jiwa dan dampak El Nino lebih kuat. Kami harus impor 9 juta ton kalau memang tidak ada upaya khusus," lanjutnya.

Dia menerangkan, El Nino yang terjadi pada tahun ini memang menjadi salah satu yang terparah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dengan kondisi tersebut, lanjut Amran, harusnya masyarakat bersyukur bahwa kebutuhan akan beras masih bisa dipenuhi dari dalam negeri.

"Bisa kita bayangkan sekarang El Nino sangat kuat tapi masih bisa bertahan, setahun pemerintahan tidak impor beras. Pengalaman kita di 1998 El Nino lebih rendah yaitu 1,9 (intensitas), sekarang 2,35, tapi kita mengimpor beras 7,1 juta ton pada 1998. Kalau kita interpolasi, pada 2015 impor 9 juta ton, kalau tidak ada upaya khusus. Tapi karena ada upaya khusus dari teman-teman, bergerak cepat sehingga 2015 tidak ada impor," jelasnya.

Sedangkan terkait impor beras yang dilakukan oleh Bulog, Amran memastikan bahwa beras tersebut tidak akan dikeluarkan jika produksi beras dalam negeri masih mencukupi untuk konsumsi nasional.

"Yang di proses Bulog itu cadangan beras nasional. Kalau di sepakbola, yang namanya cadangan kalau pemain inti tidak cedera pemain cadangan tidak akan turun. Stok kita masih bagus, hujan sudah turun, jadi kita minta melakukan akselerasi penanaman untuk tahun 2016. Sekarang ada standing crop padi 4,1 juta hektar," tandasnya. (Dny/Gdn)

http://bisnis.liputan6.com/read/2361074/mentan-klaim-mampu-tekan-potensi-impor-8-juta-ton-beras

Menteri Pertanian: Impor Beras Belum Perlu

SENIN, 09 NOVEMBER 2015

TEMPO.CO, Jakarta - Pernah  melakukan swasembada, bahkan ekspor pada 1984, kini Indonesia justru dirundung persoalan beras. Urusan komoditas pangan ini tak pernah beres.

Dari ongkos produksi yang dinilai terlalu mahal, perbedaan angka panen, hingga penentuan perlu-tidaknya impor, yang menimbulkan kegaduhan.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman, misalnya, selalu berkeras bahwa pasokan beras dalam negeri aman. ”Belum perlu impor,” katanya saat ditemui dalam dua kesempatan berbeda di Kulon Progo dan Hotel Aston Yogyakarta kepada Pribadi Wicaksono, pekan lalu. (Baca selengkapnya di Majalah Tempo, edisi Senin 9 November 2015).

Benarkah pemerintah meminta Bulog mengimpor 1 juta ton beras dari Vietnam?
Itu kan katanya, dan beras itu (untuk) cadangan. Cadangan tidak akan diturunkan jika pemain inti tidak cedera atau bermasalah.

Cadangan impor beras dari Vietnam memang ada, tapi belum dikirim. Toh, di beberapa daerah sekarang sudah turun hujan. Harga beras di Cipinang juga turun, terakhir Rp 8.700 per kilogram untuk jenis medium. Pasokan ke Cipinang juga bertambah. Biasanya 2,500 - 3,000 ton, Senin lalu hingga 5.000 ton.

Kenapa kita kalah bersaing dengan Thailand dan Vietnam?
Persoalan utamanya masih seputar cara swasembada. Ada beberapa hal yang mempengaruhi, seperti infrastruktur, biaya produksi, indeks pertanaman, rantai pasokan, dan kebijakan pengendalian impor itu sendiri. Itu sebabnya kami melakukan efisiensi untuk mempercepat swasembada.

Hasil swasembada pangan terlihat dari beberapa indikator. Misalnya, tahun ini El Nino cukup dahsyat, tapi kita tak sampai mengimpor karena produktivitas petani tak terganggu. Tidak seperti 1998, yang harus mengimpor hingga 7,1 juta ton. Padahal indeks saat itu El Nino 1,9, sekarang mencapai 2,3.

Dengan populasi 252 juta jiwa, Indonesia seharusnya sudah mengimpor 9 juta ton beras. Tapi buat apa dilakukan karena memang belum perlu impor.

Senin, 09 November 2015

Pengusaha Giling Padi Ingatkan Pemerintah Soal Stok Beras di Awal 2016

Senin, 9 November 2015

MedanBisnis - Jakarta. Penyediaan kebutuhan beras untuk periode Januari-Maret 2016 yang bersumber dari produksi dalam negeri perlu dihitung cermat oleh Pemerintah. Harapan untuk tidak impor beras jangan sampai salah langkah dan berakibat kurangnya pasokan beras untuk konsumsi dalam negeri di awal tahun depan.
Sesuai musim di Indonesia, padi akan mengalami siklus turun produksi di tengah musim kemarau, khususnya pada periode Oktober-Maret jelang berakhirnya musim kemarau. Seperti saat ini, hanya tinggal beberapa daerah yang bisa panen.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso ditemui di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (9/11).

"Produksi kita memang berfkultuasi. Kita harus tahu pola panen yang sebenarnya. Teman - teman saya di Perpadi melihatnya pergerakan suplai dan harga. Posisi sekarang memang bukan panen raya kan. Sejak zaman dulu Oktober-Maret memang produksi selalu di bawa rata-rata kebutuhan," ungkap Sutarto.

Sutarto melihat, bila produksi padi tercapai sesuai Angka Ramalan (ARAM) II BPS yaitu ada kenaikan 5,6% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2014 maka stok sampai akhir tahun aman.

"Kalau realisasi produksi sesuai, naik 5,6% maka sampai akhir tahun stok beras aman. Stok saat ini ada 1,7 juta ton di Bulog, itu juga aman aman, masih di atas cadangan minimum 1,5 juta ton," ujar Mantan Dirut Bulog tersebut.

Meski demikin, Soetarto mewanti-wanti agar pemerintah menghitung produksi secara cermat. Cadangan beras pemerintah di Bulog perlu diamankan termasuk jika diperlukan untuk penyaluran rastra atau raskin bulan ke-13 dan ke-14.

"Kalau ada rastra ke-13 dan ke-14 dengan cadangan yang nggak naik, ya bisa jadi rentan. Terutama Januari-Maret betul-betul harus dihitung. Gejolak biasanya ada di situ," katanya.

Soetarto mengatakan, stok beras di pengilingan di daerah-daerah masih ada, namun harganya tinggi.

"Saya tanya di Sulsel harga beras sudah sampai Rp 5.300-5.800/kg gabah kering giling (GKG) sehingga tidak lagi bisa dikirim ke Jawa karena harga tinggi. Hukum selama ini seperti itu kalau akhir tahun, posisi harga bergerak naik meski sedikit tapi memang harga harus direm (kenaikan harga)," ucapnya.

Sutarto mengatakan salah satu solusinya yaitu ada di tangan Bulog sebagai badan yang ditugaskan menyerap gabah petani. Ia mengatakan, Bulog harus mampu melakukan diversifikasi kualitas gabah yang diserap.

"Sejak beberapa tahun lalu, Bulog sudah memulai berpikir jangan hanya menyerap satu kualitas tetapi beberapa kualitas. Bulog diharapkan punya stok medium dan premium. Sebab keduanya saling bergandengan, salah satu harganya naik, lainnya ikut naik," tuturnya.

Bulog pada era kepemimpinannya pernah membangun Bulog Mart yang menjadi pusat distribusi dan perdagangan pangan. "Bulog Mart ini direncanakan dilengkapi gudang, cold storage dan penyimpanan untuk menyimpan cabai dan lainnya. Kalau kita punya instrumen tersebut, kita bisa menekan laju harga naik atau turun. Ini tersebar di seluruh Indonesia. Harapan saya ini bisa dilanjutkan," jelasnya.

Secara aset, Soetarto menjelaskan, Bulog sudah punya gudang, lahan untuk membangun cold storage hingga modal untuk membangun pusat-pusat distribusi pangan seperti Bulog Mart.

"Mau tidak mau Bulog harus direvitalisasi, diberi kewenangan lebih. Bulog harus siap membangun pusat-pusat distribusi pangan," imbuhnya. (dtf)

Rabu, 04 November 2015

DPR: Tata Kelola Perusahaan BUMN Perlu Dibenahi

Selasa, 3 November 2015

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR, Agus Hermanto menilai masih banyak hal yang harus dibenahi dalam badan usaha milik negara (BUMN), terutama tata kelola perusahaan. Menurut dia, tata kelola perusahaan BUMN belum menunjukkan ke arah yang baik seperti penunjukan direksi maupun komisaris.
"Kementerian BUMN kurang perhatikan tata kelola perusahaan. Jadi BUMN lebih buruk good corporate governance-nya. Menteri BUMN kurang dalam kaidah tata kelola perusahaan," kata Agus kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (3/11).
Politikus Partai Demokrat itu mencontohkan bagaimana pergantian pucuk pimpinan di badan urusan logistik (Bulog) yang menurut dia tidak sesuai. Padahal, Bulog harus menjadi perusahaan yang sukses untuk menjaga stabilitas pangan di Indonesia. "Kaya (pejabat) Bulog diganti dengan orang yang nggak punya track record bagus. Di Angkasa Pura bedol desa direksinya semua diganti," kata dia.
Agus juga menyindir perusahaan BUMN yang meminta dana penyertaan modal negara (PMN) yang akhirnya diputuskan ditahan saat sidang paripurna. Ia berpandangan, lebih baik dana PMN untuk perusahaan BUMN disalurkan langsung untuk masyarakat.
"Daya beli masyarakat menengah ke bawah masih sulit. PHK juga masih terjadi. Jadi PMN harus dipikirkan kembali," ujar Agus.
Sementara itu hasil survei yang dilakukan Lembaga Klimatologi Politik (LKP) terkait satu tahun pemerintahan Jokowi-JK menyebutkan, Rini Soemarno masuk dalam tujuh nama menteri yang berkinerja buruk.
"Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nachrawi menempati peringat pertama sebagai menteri berkinerja buruk dengan perolehan persentase 49,7 persen," kata CEO Lembaga Klimatologi Politik, Usman Rachman, di Restoran Pulau Dua, Kawasan Senayan, Selasa (3/11).
Hasil survei nasional yang dilaksanakan pada 24 Oktober-29 Oktober 2015 di 34 provinsi, mengambil sampel sebanyak 784 responden. Nama Menteri Negara BUMN Rini Soemarno menjadi menteri berkinerja terburuk kedua.
"Sebesar 40,6 persen nama Rini Soemarno yang diikuti oleh nama Bambang Brodjonegoro sebesar 33,8 persen sebagai menteri keuangan" kata Usman. Setelah itu, menyusul Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya sebesar 32,7 persen, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly 31,9 persen. Dalam survei itu Rini dipersepsikan berkinerja kurang baik.

Gubernur Jatim Dukung Konsep Toko Tani

Selasa, 3 November 2015

Jatim Newsroom-Rencana pemerintah pusat merealisasikan Toko Tani guna menjaga stabilitas harga di pasar mendapatkan dukungan dari Gubernur Jatim, Soekarwo. Ia menilai Tako Tani bisa mengakomodasi fungsi pemasaran dan stabilisasi harga dan bisa meningkatkan gairah petani dalam meningkatkan produksi pangan pokok.

“Informasinya Jatim ada 36 Toko Tani yang dikelola Perum Bulog. Dengan toko tani ini harga lebih murah dan stabiliasi harga bisa tetap berjalan seiring program pemprov seperti bantuan ongkos angkut yang sudah berjalan,” kata Soekarwo.

Menurutnya, pemerintah tetap berupaya memperkuat kerjasama dan membangun koordinasi fungsional. Hal itu dilakukan dengan melibatkan seluruh komponen pemerintahan dan masyarakat dalam rangka mempertahankan ketahanan pangan nasional.

Di samping itu, lanjutnya, dengan Toko Tani juga memberikan jaminan harga pembelian dengan mempertimbangkan keuntungan petani yang wajar dan harga eceran di masyarakat yang terjangkau. “Tadi ada Toko Tani yang dibangun. Yang terpenting pembelinya terlindungi, produsennya juga terlindungi,” ujarnya.

Seperti diketahui, pemerintah menugasi Perum Bulog menjadi pemasok kebutuhan pokok untuk program Toko Tani sebagai upaya mengendalikan gejolak harga di pasaran. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman sempat menjelaskan, pemerintah meluncurkan program Toko Tani Indonesia yang akan ditempatkan di kota-kota strategis yang rentan mengalami gejolak harga.

Secara nasional, Toko tani tahun 2016 ditagetkan sebanyak 1.000 toko bisa dibuka. Tujuannya memang untuk memutus rantai pasokan, sehingga harga lebih terkendali. Amran menilai kehadiran Toko Tani yang menjual kebutuhan pokok penyebab inflasi bisa menekan gejolak harga di pasaran. Sekaligus, meningkatkan daya tawar produk pertanian yang berujung kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk program itu berkisar Rp 200 miliar melalui APBN 2016. Adapun, dalam praktiknya Perum Bulog ditunjuk sebagai pemasok untuk membeli komoditas petani, serta menjualnya melalui Toko Tani.

Kepala Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Sri Sulihanti menyebut  pengelolaan Toko tani dilakukan pemerintah dan Bulog. Peran monitoring dan fasilitasi ada di pemerintah. Bulog diprioritaskan sebagai pemasok kebutuhan strategis yang rentan bergejolak.

Selain dari Bulog, menurutnya, masyarakat petani juga diberi ruang untuk mengisi Toko Tani dengan menjual hasil produksi pertaniannya melalui mekanisme yang diatur Badan Ketahanan Pangan Daerah. Meski belum matang dalam skema pengelolaan, ia mengaku pemerintah tetap menjalankan program itu. Bahkan, saat ini sejumlah Toko Tani sudah beroperasi di beberapa daerah. (afr)


http://kominfo.jatimprov.go.id/read/umum/gubernur-jatim-dukung-konsep-toko-tani


Senin, 02 November 2015

Harga Gabah Sudah di Atas HPP

Senin, 2 November 2015

JAKARTA, KOMPAS.com – Harga gabah kering panen (GKP) di level petani dan penggilingan pada bulan Oktober 2015 sudah di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP).

Di level petani, harga rata-rata GKP sebesar Rp 4.904,51 per kilogram. Sedangkan di tingkat penggilingan, harga rata-rata GKP sebesar Rp 4.984,06 per kilogram.

“Harga ini jauh di atas HPP,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, dalam paparan, di Jakarta, Senin (2/11/2015).

Suryamin menjelaskan, HPP untuk GKP di tingkat petani dipatok Rp 3.700 per kilogram.

Sementara itu, realitas di lapangan, harga GKP di tingkat petani sudah mencapai rata-rata Rp 4.904,51 per kilogram.

Adapun HPP untuk GKP di tingkat penggilingan ditetapkan sebesar Rp 3.750 per kilogram. Sedangkan realitas di lapangan, harga GKP di tingkat penggilingan sudah menyentuh rata-rata Rp 4.984,06 per kilogram.

Begitu pula dengan harga Gabah Kering Giling (GKG) di level penggilingan yang rata-ratanya mencapai Rp 5.456,54 per kilogram. Harga GKG di tingkat penggilingan itu sudah lebih tinggi dibanding HPP yang ditetapkan sebesar Rp 4.600 per kilogram.

Suryamin menuturkan, realitas harga gabah di lapangan ini sangat berpengaruh terhadap penyerapan oleh Perum Bulog. Sebabnya, Perum Bulog terbiasa menyerap gabah dari petani dan penggilingan sesuai HPP.

“Kalau HPP itu dikaitkan penyerapan Bulog, di lapangan (harga gabah) jauh di atas HPP. Berarti penyerapan ini (bisa) dilakukan oleh selain Bulog,” terang Suryamin.

Dia mengatakan, GKP tingkat petani yang rata-ratanya Rp 4.904,51 per kilogram tersebut sudah mengalami kenaikan 2,93 persen dibanding bulan September 2015 (month to month/mtm). Sedangkan GKP di tingkat penggilingan yang rata-ratanya Rp 4984,06 per kilogram itu mengalami kenaikan 2,73 persen (mtm).

Adapun harga rata-rata GKG di tingkat petani sebesar Rp 5.355,76 per kilogram, telah mengalami kenaikan 0,48 persen (mtm). Dan, GKG di tingkat penggilingan yang sebesar Rp 5.456,54 per kilogram telah mengalami kenaikan 0,12 persen (mtm).

Sebagai informasi, dalam Inpres Nomor 5 tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, disebutkan untuk harga pembelian GKP dalam negeri dengan kadar air maksimum 25 persen dan kadar hampa maksimum 10 persen adalah Rp 3.700 per kilogram (kg) di petani, atau Rp 3.750 per kg di penggilingan.

Harga Pembelian Pemerintah untuk gabah dan beras tersebut mengalami peningkatan dibandingkan HPP yang diterapkan dalam Inpres Nomor 3 tahun 2012.

Harga pembelian GKP dalam negeri dengan kadar air maksimum 25 persen dan kadar hampa maksimum 10 persen adalah Rp 3.300 per kilogram (kg) di petani, atau Rp 3.350 per kg di penggilingan. (Baca: Presiden Jokowi Naikkan HPP Gabah dan Beras)

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/11/02/140856726/Harga.Gabah.Sudah.di.Atas.HPP

Mentan Klaim Produksi Beras Meningkat Belakangan Ini

Minggu, 1 November 2015
 

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengklaim adanya peningkatan produksi beras dalam pekan ini. Ia juga menyampaikan bahwa pemerintah akan memaksimalkan stok beras sehingga cukup sampai akhir tahun.

"Di Cipinang hari Senin, baru-baru ini yang masuk 5.000 ton, yang biasa masuk 3.000 ton tahun sebelumnya. Artinya tanda-tanda kalau produksi beras meningkat 5.000 ton hari Senin," kata Amran di Masjid Istiqlal Jakarta, Minggu (1/11/2015) seusai mengikuti shalat istisqa atau shalat minta hujan.

Ia juga membenarkan adanya beras impor yang akan masuk pasaran dalam waktu dekat. Kendati demikian, menurut Amran, beras impor tersebut akan disimpan sebagai cadangan.

"Itu kan cadangan kalau masih ada stok. Itu cadangan. Cadangan itu bisa ke luar, bisa tidak kan," ujar Amran.

Wakil Presiden Jusuf Kalla sebelumnya mengakui rencana pemerintah pemerintah mengimpor beras dari Vietnam. Menurut Kalla, impor beras Vietnam diperlukan sebagai langkah antisipasi. Pemerintah perlu berhati-hati dalam menghadapi El Nino sehingga perlu berkonsentrasi dalam menjaga cadangan beras.

Pemerintah Indonesia sebelumnya diberitakan telah memesan beras sebanyak 1 juta ton kepada Vietnam melalui Perum Bulog. Meskipun begitu, hingga kemarin pemerintah belum berencana mendatangkan beras tersebut ke Indonesia.

Seperti diberitakan The Saigon Times, sebuah media di Vietnam, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Vietnam menyatakan menang kontrak untuk memasok beras 1 juta ton ke Indonesia. Direktur Thinh Phat Co Ltd Lam Anh Tuan menyebutkan, beras untuk Indonesia terdiri dari 750.000 ton dengan kualitas patahan 15 persen dan 250.000 ton beras dengan patahan 5 persen atau beras premium. Beras tersebut akan dikirim selama enam bulan, yaitu mulai Oktober ini hingga Maret tahun depan.

http://nasional.kompas.com/read/2015/11/01/11224621/Mentan.Klaim.Produksi.Beras.Meningkat.Belakangan.Ini

Minggu, 01 November 2015

Gubernur Jatim Surati Presiden Tolak Kirim Beras ke Provinsi Lain

Jumat, 30 Oktober 2015

FORUM KEADILAN, Surabaya – Kemarau panjang berdampak pada penurunan produksi padi di Jawa Timur. Bahkan, stok beras Jatim yang dikelola Perum Bulog Divre Jatim kini hanya cukup untuk ketersediaan lima bulan ke depan.

Dengan keterbatasan stok tersebut, Gubernur Jatim Soekarwo mengambil langkah kebijakan menghentikan pengiriman beras kualitas medium ke provinsi lain. “Saya sudah kirim surat ke Presiden untuk meminta izin Jatim tidak mengirim beras ke provinsi lain,” kata Soekarwo, Jumat (30/10).

“Ini karena stok kita hanya cukup untuk lima bulan, sementara musim tanam awal tahun akan mundur karena musim hujannya juga diperkirakan mundur,” lanjutnya.

Ketersediaan stok beras Jatim untuk kebutuhan raskin (beras untuk masyarakat miskin) masih cukup sampai Desember dan jatah bulan ke-13 dan 14.

“Jumlah stok beras medium Bulog Jatim dari hasil pembelian sebanyak 246 ribu ton. Beras Bulog Jatim ini jangan dikirim ke luar provinsi,” tegas Soekarwo.

Diperkirakannya, stok tersebut cukup untuk alokasi raskin sampai Maret 2016 dengan asumsi kebutuhan beras medium sebanyak 45 ribu ton per bulan. Sementara prediksi panen dari tanam akhir tahun ini baru dimulai awal Februari dan Maret mendatang.

Sedangkan untuk stok beras medium yang biasa digunakan untuk operasi pasar, kata dia, masih sangat cukup. “Kalau beras premium, stok Bulog banyak. Ini yang terbatas kualitas medium untuk jatah raskin yang biasa dikirim ke provinsi lain,” ujarnya.

Direktur Utama Perum Bulog, Djarot Kusumayakti menjelaskan, stok beras medium secara nasional saat ini sekitar 1,1 juta ton. Stok itu bakal keluar sekitar 500.000 ton pada Oktober dan November untuk raskin.

Pada Desember 2015, penyaluran akan menjadi dobel seiring dengan rencana pemerintah menambah beras raskin. Alhasil, di pada Desember, Bulog harus mengeluarkan beras hingga 500 ribu ton.

“Sampai akhir Desember stok beras masih cukup, tapi hampir habis, karena hanya memiliki sisa stok 100 ribu ton beras medium,” ujar Djarot.

Menurutnya, stok yang ada saat ini tak akan cukup mengamankan pasokan hingga menunggu panen pada Maret dan April 2016.

Ia mengaku pada musim panen padi yang hampir berakhir seperti sekarang, Bulog memang masih bisa membeli beras petani. Hanya saja, lanjutnya, Bulog mengaku kesulitan mencari beras sesuai dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk dikemas menjadi beras medium.

Pasalnya, banyak beras yang beredar di petani adalah beras premium yang harganya di atas HPP sebesar Rp 7.260 per kilogram (kg). Jika opsi impor beras tak dibuka pemerintah, Bulog harus siap mengeluarkan stok beras premiumnya untuk menyalurkan raskin Januari 2016.

Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir mengatakan, sulit jika Bulog berharap menyerap beras medium ketika musim panen padi petani sudah berakhir.
Menurutnya, pada tahun ini petani mulai beralih untuk memproduksi beras premium karena selisih harga dan keuntungan yang bisa dikantongi petani lebih besar.

Mengenai impor, kata dia, nampaknya juga sulit karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku tak akan tergesa-gesa mengambil keputusan impor. Bahkan, kini pemerintah masih menghitung dengan teliti ketersediaan beras.

MOCHAMAD TOHA

http://forumkeadilan.co/nusantara/gubernur-jatim-surati-presiden-tolak-kirim-beras-ke-provinsi-lain/

Penyerapan Beras Bulog Meleset

Jumat, 30 Oktober 2015

TEMANGGUNG (KRjogja.com) -  Target penyerapan beras tahun 2015 sebesar 60.000 ton oleh Perum Bulog Sub Divre Wilayah V Kedu diperkirakan tidak akan tercapai karena minimnya penyerapan beras yang rendah di musim kemarau.

Kepala Perum Bulog Sub Divre Wilayah V Kedu, Imron Rosidi, Jumat (30/10/2015) mengatakan sejak  Januari hingga akhir Oktober ini, beras yang terserap ke gudang Bulog berkisar  43.000 ton. Serapan beras itu terdiri dari beras medium dan premium.  "Penyerapan beras terus mengalami penurunan, kini kemampuan penyerapan  hanya kisaran 0-50 ton per hari, dari sebelumnya 500-700 ton beras per hari, " katanya.

Menurut Imron di Oktober ini terkadang beberapa hari tidak ada penyerapan beras sama sekali, karena sulit mendapatkan beras ditingkat petani. Sedangkan tidak tercapainya target penyerapan beras selama satu tahun ini karena beberapa faktor, diantaranya di awal tahun, Perum Bulog masih belum banyak melakukan penyerapan lantaran Harga Pokok Pembelian (HPP) baru ditetapkan pada Bulan Maret.

"HPP lama masih jauh di bawah harga beras di pasaran. Kondisi ini membuat aktivitas penyerapan terganggu."

Lalu, terusnya setelah musim panen habis, datang musim kemarau, dan dimusim ini hampir tidak ada panen dan tidak ada pula kegiatan tanam oleh petani karena ketersediaan air tidak cukup. Kondisi ini kemungkinan akan berlangsung hingga Januari 2016. " Kemungkinan penyerapan beras kembali lancar pada tahun depan, 2016 setelah panen, sehingga penyerapan beras kita memang tidak bisa sesuai target " katanya. (Osy)


http://krjogja.com/read/279445/penyerapan-beras-bulog-meleset.kr