Jumat, 29 Januari 2016

Perang Pangan

Jumat, 29 Januari 2016


Tahun ini, 10 negara ASEAN dipastikan akan berkompetisi memenuhi kebutuhan pangan di negara masing-masing ataupun di negara ASEAN lainnya.Negara yang tidak memiliki kedaulatan pangan tampaknya akan tergilas oleh negara yang sudah berdaulat pangannya.

Di ASEAN, kurang lebih setengah miliar perut (tepatnya 570 juta jiwa) setiap harinya membutuhkan pangan. Dari 10 negara ASEAN, Indonesia adalah negara dengan jumlah perut terbanyak (42,43 persen dari total penduduk di ASEAN) untuk dipenuhi kebutuhan pangannya.Disusul Filipina (15,41 persen), Vietnam (14,65 persen), dan Thailand (11,48 persen).

Tentang hal ini, Presiden Soekarno pernah berpesan, ”Persoalan pangan adalah persoalan hidup-matinya suatu bangsa!” Lalu, apakah pemerintah (Kementerian Pertanian) sudah melakukan persiapan? Dan, bagaimana nasib Indonesia ketika perang pangan terjadi?

Gagal paham

Presiden Joko Widodo selalu berpesan: Indonesia harus siap siaga menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Di hadapan ribuan kepala desa yang mengikuti Rakernas Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia di Boyolali, akhir 2015, Jokowi kembali menegaskan bahwa menggali potensi sumber daya dan memperkuat kapasitas masyarakat adalah kata kunci menghadapi MEA.

Tampaknya Jokowi paham betul bahwa menekankan keunggulan potensi akan sia-sia apabila kapasitas masyarakat sangat minim. Dalam konteks pertanian, relasi subyek (petani)-obyek (komoditas) adalah kekuatan utama dalam penataan pertanian. Pertanyaannya: apakah pesan Jokowi dipahami Menteri Pertanian selaku pengawal kebijakan pertanian?

Menjawab pertanyaan di atas, mari kita lacak modus operandi Mentan. Semenjak dilantik, modus operandi kebijakan Mentan lebih berorientasi pencitraan obyek. Aksi membagikan ratusan traktor, membuka sejuta hektar lahan sawah, klaim surplus beras, dan jagung adalah sebagian bukti bahwa Mentan melupakan penguatan petani. Padahal, dalam konteks MEA, membangun kesadaran dan penguatan petani sebagai produsen sekaligus konsumen merupakan agenda penting dan mendesak.

Tampaknya, Mentan gagal paham menakhodai Kementerian Pertanian dalam merespons MEA. Gagal paham yang dimaksud, pertama melupakan struktur pelaku pertanian. Lebih dari 60 persen produsen pangan di negara ini adalah petani kecil yang memiliki luas lahan di bawah 1 hektar. Minimnya upaya pengonsolidasian petani dalam kebijakan Mentan menjadi senjata makan tuan. Program pupuk bersubsidi (Rp 30,063 triliun) akan berdampak besarnya peluang penyelewengan, pengadaan alat dan mesin pertanian (Rp 360 miliar pra panen dan Rp 8,32 miliar pasca panen) berpotensi salah sasaran dan target, serta pencetakan sawah (Rp 1,76 triliun) menyebabkan kerusakan ekologis. Alhasil, Mentan kembali mengulangi kesalahan kebijakan terdahulu yang selalu menihilkan peran petani untuk menggeser pola produksi pertanian dari orientasi subsisten ke bisnis.

Kedua, melakukan homogenisasi padi-jagung-kedelai (pajale). Kampanye Mentan di setiap kunjungan kerjanya untuk memproduksi pajale merupakan kebijakan yang gagal paham. Mentan Amran Sulaiman seolah menihilkan perbedaan ekologi Indonesia yang selama ini memberikan keuntungan keanekaragaman sumber daya pangan. Obsesi membuka rice estate di tanah Papua adalah tindakan gagal paham tentang makna ekologis dan keterlibatan penduduk lokal. Seyogianya Mentan belajar dari kegagalan pembukaan jutaan hektar lahan sawah di Sumatera dan Kalimantan yang berekologi kebun (bukan sawah) ketika masifnya program transmigran di rezim Orde Baru. Padahal, perbedaan ekologi akan mendorong tampilnya spesifikasi potensi komoditas pertanian yang harus dikonsolidasikan oleh setiap daerah.

Ketiga, melupakan kebutuhan akses petani terhadap teknologi pertanian dan jejaring. Perlu dicatat, sektor pertanian adalah sektor yang sangat berkontribusi terhadap tenaga kerja padat karya di pedesaan. Realitas saat ini, minimnya pengetahuan dan keterampilan petani harus dijawab dengan membuka akses teknologi tepat guna yang inklusif dan bermanfaat bagi petani. Demikian juga halnya dengan problem pembiayaan dan pemasaran, dapat dijawab dengan memfasilitasi terbangunnya jejaring kerja sama antarpetani dengan berbagai pihak. Ketika gagal paham ini dipelihara, pembangunan pertanian dipastikan tak mampu mencegah terjadinya urbanisasi dan kemiskinan di pedesaan, apalagi memiliki daya saing terhadap negara-negara ASEAN.

Menang atau kalah

Perang pangan adalah aksi suatu negara atau aliansi negara yang berupaya mendominasi kebutuhan pangan di suatu negara. Di sini ada negara yang mengatur dan ada negara yang diatur kondisi dan situasi pangannya. Negara yang memiliki strategi kebijakan pangan yang jitu dipastikan memenangi pertarungan dan memiliki pengaruh terhadap negara-negara lainnya. Artinya, negara yang menguasai pangan akan menguasai dunia!

Jika kebijakan Mentan yang gagal paham di atas dipertahankan, dipastikan Indonesia akan kalah perang pangan. Keberadaan Charoen Pokphand asal Thailand yang saat ini menguasai lebih 50 persen pangan hewani (ayam) di Indonesia dan strategi lima negara ASEAN, (Thailand, Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Laos), yang membangun aliansi pengekspor beras adalah penetrasi penguasaan pangan di mana Indonesia sebagai pasar potensial.Sebaliknya, belum satu pun inisiatif penetrasi yang sistematis dilakukan Indonesia untuk negara-negara ASEAN.

Untuk itu, jika pilihannya ingin memenangi perang pangan, diperlukan strategi andal agar tak digilas oleh negara ASEAN lainnya. Ada tiga strategi yang harus dilakukan. Pertama, mempersenjatai petani dengan pengetahuan dan teknologi. Sudah saatnya petani kita yang mayoritas lulusan SD dibekali pengetahuan teknis dan teknologi pertanian. Sebab, rendahnya produksi pangan berhubungan dengan kondisi sumber daya manusia yang menggerakkan sektor pertanian.

Kedua, memperkuat benteng komoditas sesuai konteks ekologi. Harus disadari bahwa homogenisasi pajale berdampak negatif bagi masa depan pertanian Indonesia.Sebaliknya, pola pikir Mentan harus berubah untuk mengembangkan komoditas pangan yang memiliki nilai ekologis dan historis di setiap daerah.

Ketiga, menciptakan sekutu kedaulatan pangan. Tampaknya Indonesia harus menciptakan sekutu untuk mewujudkan kedaulatan pangan berlandaskan kesetaraan dan bermartabat. Alhasil, MEA tidak dimaknai sebagai persaingan (kompetisi), tetapi arena menciptakan jejaring poros kedaulatan pangan ASEAN. Apabila tiga strategi ini dilakukan, tidak tertutup kemungkinan Indonesia bisa memimpin negara-negara ASEAN dalam kedaulatan pangan!

SOFYAN SJAF, DOSEN PASCASARJANA SOSIOLOGI PEDESAAN IPB DAN SEKRETARIS PSP3 IPB

http://print.kompas.com/baca/2016/01/29/Perang-Pangan

Kamis, 28 Januari 2016

Kedaulatan Pangan Syarat Mutlak Jadi Negara Kuat

Kamis, 28 Januari 2016

JAKARTA – Presiden Joko Widodo mesti tegas mengevaluasi kinerja menteri terkait pangan yang masih terus melanjutkan kebijakan impor pangan tanpa kendali dan melecehkan arti penting kedaulatan pangan. Pasalnya kedaulatan pangan adalah salah satu unsur terpenting ketahanan nasional sebuah negara setelah energi dan kekuatan militer.

Terbukti, tidak ada Negara Adidaya dunia yang tidak mandiri pangan. Contohnya, Amerika Serikat (AS) adalah produsen dan eksportir gandum terbesar dunia.

“Mereka bisa maju bukan hanya karena menguasai teknologi, tapi terlebih dahulu mampu menyelesaikan masalah kebutuhan pangan. Pemerintah AS tidak segan-segan mendukung petani gandum mereka dengan aturan proteksi, riset hingga promosi, seperti sosialisasi sarapan gandum ke masyarakat,” ujar pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Suroso Imam Zadjuli, saat dihubungi, Rabu (27/1).

Dengan strategi seperti itu, lanjut dia, produk lokal terserap dan petani semakin bergairah bercocok tanam. Akibatnya, produktivitas nasional meningkat sehingga mendukung kemandirian pangan, dan mampu mengekspor untuk membantu perekonomian.

“Demikian halnya di Jepang dan Thailand. Intervensi pemerintah dalam mendukung pertaniannya sangat terasa. Hasilnya, beras Thailand paling banyak dikirim ke Indonesia,” ungkap Suroso.

Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta, Masyhuri, meminta pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak mempertahankan menteri terkait pangan bermental pedagang yang cenderung memilih cara gampang mengimpor pangan dengan alasan lebih murah ketimbang membangun kekuatan pangan nasional.

Buah Pontianak

Masyhuri mencontohkan daerah Kalimantan Barat sebagai penghasil buah-buahan tidak bisa menjual produknya dengan harga baik, padahal produksi di sana jauh lebih banyak dari konsumsi. Sementara untuk dijual ke Jakarta tidak bisa dilakukan karena tidak mendapat dukungan akses pasar dari pemerintah.

“Mereka cuma bisa jual di Pontianak. Inilah semestinya fungsi pemerintah. Kalau pergerakan hasil pertanian antardaerah bisa jalan, orang Jakarta tidak perlu menunggu buah impor yang disubsidi negara eksportir. Ini berarti para menteri tidak punya peran buat rakyatnya. Mereka tak mengerti tugas dan tanggungjawabnya,” ujar Masyhuri.

Berdasarkan pemantauan wartawan Koran Jakarta Peri Irawan di Pontianak, Kalimantan Barat, sejumlah pedagang buah mengeluhkan anjloknya harga yang mengakibatkan kerugian. “Untuk rambutan, satu ikat dihargai 1.000 rupiah saja. Buah langsat dihargai 3.000 rupiah per kilogram. Durian juga 3 buah bisa dihargai 10 ribu rupiah. Harga ini sudah sangat di bawah standar. Petani kita pasti rugi,” ujar Rony, 42 tahun, pedagang buah di kawasan Jalan Gajah Mada, Pontianak.

Rony mengungkapkan murahnya harga komoditas pertanian di Kalbar itu membuat dia harus mengatur strategi untuk mengurangi kerugian, dengan cara menjual jenis buah-buahan lain yang harganya masih menguntungkan.

“Makanya, kita jual rambutan per ikat seribu rupiah saja biar nggak terlalu rugi, minimal bisa balik modal. Buah-buahan begini tidak tahan lama, apalagi buah-buahan lokal tanpa pengawet. Kalau busuk kita buang saja,” kata Rony.

Ali, 64 tahun, pedagang buah di satu kawasan dengan Rony, memaparkan murahnya harga tersebut disebabkan pasokan yang melimpah. “Itu karena sudah banyaknya buah. Kalau lagi musimnya yakni akhir dan awal tahun, buah-buahan disini berlimpah, seperti rambutan dan langsat sampai nggak ada harganya,” tukas Ali yang mengaku telah berpuluh tahun berjualan buah itu.

Ia menilai selama ini nasib buah-buahan lokal seperti diinjak-injak oleh maraknya buah impor. Untuk itu, Ali berharap pemerintah bisa secepatnya turun tangan dan berpihak kepada petani lokal. Produksi buah-buahan yang melimpah di Pontianak itu, menurut dia, sebenarnya bisa dikirim ke Jawa atau Sumatera yang penduduknya lebih banyak, dengan harga yang lebih layak.

http://www.koran-jakarta.com/kedaulatan-pangan-syarat-mutlak-jadi-negara-kuat/

Rabu, 27 Januari 2016

Kritik Bulog Ikut Recoki Urus Sapi, Mendag Ingatkan Soal Perberasan

Selasa, 26 Januari 2016


Jakarta, Aktual.com — Badan Urusan Logistik (Bulog) disebut akan ikut mengurusi 11 komoditas strategis di luar beras. Mulai dari daging sapi, jagung, kedelai, dsn lainnya. Tapi Menteri Perdagangan, Thomas Lembong mengingatkan Bulog agar BUMN ini tidak lupa mengurusi tugas utamanya, soal perberasan.

“Saat ini, dengan adanya gejolak el nino, tugas Bulog untuk mencukupi stok beras perlu kerja keras. Makanya, jangan sampai Bulog kemana-mana tapi tugas utamanya di perberasan malah terbengkalai,” sebut Mendag di Jakarta, Selasa (26/1).

Menurutnya, untuk dapat memenuhi tugas baru dengan mencukupi stok 11 barang komoditas strategis itu, tidak bisa secepat itu. “Jadi masih butuh waktu untuk itu. Karena fokus utama Bulog tetap harus di perberasan,” sindir dia.

Bahkan saat ini, pemerintah sendiri masih merumuskan Perpres mengenai penugasan Bulog yang mengelola stok pangan terhadap 11 komodutas strategis itu.

“Namun kami sangat realistis. Untuk membangun kapasitas itu perlu waktu. Seperti kita lihat tahun lalu ditugasi mengurusi bidang sapi, apalagi mengurusi komodutas lainnya. Kita lihat sekarang (harganya) begini (tinggi),” kata dia.

Kata dia, pemerintah sudah serius menugasi Bulog untuk membantu Kemendag menjaga pasokan daging sapi. Agar harga-harga daging sapi bisa distabilkan. Tapi justru hasilnya bisa dianggap tidak maksimal.

“Pemerintah sudah menugaskan Bulog intervensi di sektor sapi. Tapi karena ini pertama kali mengurus sapi, maka hasilnya tidak akan optimal dan tidak komprehensif,” keluh dia.

(Arbie Marwan)
https://www.aktual.com/kritik-bulog-ikut-recoki-urus-sapi-mendag-ingatkan-soal-perberasan/

Selasa, 26 Januari 2016

Sulsel Genjot Panen Padi Tiga Kali Setahun

Selasa, 26 Januari 2016

Tahun Ini Luas Tanam di Sumsel Bertambah 40.000 Hektar

MAKASSAR, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menargetkan peningkatan produksi padi tahun ini di tengah kondisi anomali iklim. Salah satu cara meningkatkan produksi adalah dengan memaksimalkan sawah yang sudah dapat ditanami tiga kali dalam setahun.

"Saya bisa menjamin produksi beras Sulsel tidak turun," ujar Wakil Gubernur Sulsel Agus Arifin Nu'mang di Makassar, Sulsel, Senin (25/1).

Agus mengatakan, untuk mengantisipasi terganggunya produksi beras akibat kekeringan, pihaknya akan memaksimalkan penanaman padi pada lahan- lahan yang sudah dapat ditanami tiga kali setahun atau IP 300. "Kalau biasanya pola tanam padi- padi-palawija, sekarang tiga kali musim tanam itu kami upayakan padi semua," katanya.

Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian Sulsel Muhammad Aris mengatakan, sejumlah daerah sentra beras di Sulsel sudah memiliki lahan IP 300, seperti di Kabupaten Maros seluas 8.000 hektar dan di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) dan Pinrang masing-masing 9.000 hektar. "Lahan-lahan itulah yang akan dioptimalkan untuk meningkatkan produksi beras," ujarnya.

Aris menambahkan, tahun ini target produksi gabah kering giling (GKG) Sulsel dipatok 5,7 juta ton atau meningkat 300.000 ton dibandingkan produksi tahun 2015 sebesar 5,4 juta ton GKG. Peningkatan produksi itu akan membuat surplus produksi beras Sulsel 2,3 juta ton atau meningkat dari surplus tahun 2015 sebesar 2,2 juta ton.

Pada musim tanam Oktober- Maret ini, Aris mengatakan, realisasi tanam sudah mencapai 60 persen dari rencana tanam untuk lahan seluas 570.000 hektar. "Sisanya masih akan berjalan dua bulan ke depan," ujarnya.

Surplus

Di Sumatera Selatan, walaupun terkena fenomena El Nino, produksi GKG masih surplus. Bahkan, kelebihan itu disalurkan ke beberapa provinsi yang membutuhkan, seperti Lampung, Bengkulu, Jambi, dan Pulau Jawa.

Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumsel Erwin Noor Wibowo saat dihubungi, Senin (25/1), mengatakan, akibat fenomena El Nino, produksi GKG tidak mencapai target yang ditetapkan. Pada tahun 2015, target produksi GKG 4,6 juta ton. Namun, akibat kemarau dan serangan hama, realisasi produksi 4,2 juta ton. "Walaupun tak mencapai target, tetap surplus 1,8 juta ton," katanya.

Erwin menyebutkan, tahun 2016 pemerintah menargetkan produksi GKG 4,5 juta ton. Namun kini, petani dihadapkan pada keterlambatan masa tanam. "Seharusnya, masa tanam dilakukan pada Oktober. Nyatanya, tanam Januari," ujar Erwin.

Untuk mengejar target tersebut, pihaknya melakukan percepatan masa tanam dan memperluas lahan tanam dengan menggali potensi lahan yang belum tergarap.

Menurut Erwin, peningkatan luas tanam terus dilakukan. Tahun 2014, luas tanam sawah padi 812.000 hektar. Jumlah itu meningkat tahun 2015 dengan luas tanam 894.000 hektar. Tahun 2016, menurut rencana, dilakukan penambahan 40.000 hektar luas tanam. Beberapa kabupaten akan ditambah luas tanamnya, antara lain Banyuasin, Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, dan Ogan Komering Ulu Timur

Di Sumatera Utara, dinas pertanian provinsi itu akan dilepas varietas baru padi darat (ladang) bernama sigambir. Produktivitas varietas itu 4 ton per hektar.

Kepala Seksi Pengembangan Lahan Dinas Pertanian Sumatera Utara Lusyantini mengatakan, luas panen padi darat saat ini sekitar 45.000 ton per tahun, sedangkan padi sawah 780.000 ton per tahun. Produktivitas padi darat sekitar 3,5 ton GKG per hektar serta ditanam dan dipanen satu tahun sekali dengan usia panen 4-5 bulan. Padi darat banyak ditanam di kawasan pegunungan, seperti di Simalungun, Toba Samosir, dan Karo. Di lereng Sinabung banyak warga memanfaatkan lahan untuk menaman padi darat.

Dari Palu, Sulawesi Tengah, dilaporkan, harga beras kelas medium di provinsi itu melonjak hingga menjadi Rp 11.000 per kilogram, dari sebelumnya Rp 8.000 hingga Rp 9.000. Harga naik dipicu menipisnya persediaan di daerah produksi.

(ENG/RAM/WSI/VDL)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160126kompas/?abilitastazione=#/22/

Senin, 25 Januari 2016

Pemberantasan Kartel Pangan Jadi Fokus KPPU

Minggu, 24 Januari 2016

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU pada 2016 masih memfokuskan pada pencegahan dan pemberantasan kartel pangan khususnya komoditas beras, daging dan ayam potong.

"Pemantauan terhadap beras, daging dan ayam masih berjalan. KPPU tetap komitmen dengan program itu yang didukung penuh Presiden Joko Widodo," ujar Wakil Ketua KPU, R Kurnia Sya"ranie di Medan, Sabtu.

Kartel daging misalnya sudah ditangani dengan memperkarakan perusahaan penggemuk sapi yang diduga melakukan kartel.

Adapun terhadap dugaan kartel komoditas beras akan dilakukan pendalaman pengawasan sesuai yang diinginkan pemerintah melalui Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

KPPU misalnya sudah melakukan pengawasan di 11 provinsi termasuk Sumut yang merupakan sentra produksi beras nasional.

Ayam ras juga akan fokus diawasi karena fluktuasi harganya sering terjadi.
"KPPU sudah melaporkan upaya kartel pangan itu ke Presiden Jokowi dan presiden mendukung penuh," katanya.

Menurut Kurnia, sebenarnya langkah pemerintah untuk menekan praktik kartel sudah dilakukan mulai dari menekan impor hingga memberikan kepercayaan kepada Bulog untuk menangani barang strategis.

"KPPU akan membantu dengan pengawasan dan pencegahan hingga memperkarakan kalau persaingan usaha tidak sehat masih dilakukan," katanya.

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/01/24/o1f0ll219-pemberantasan-kartel-pangan-jadi-fokus-kppu

Kemtan klaim surplus, tapi harga beras mahal

Minggu, 24 Januari 2016


Jakarta. Kenaikan harga beras di pasaran menjadi indikator minimnya pasokan beras.

Kenaikan harga beras yang sudah berlangsung sejak akhir tahun 2015 membuat masyarakat semakin sengsara.

Klaim pemerintah yang menyatakan ada surplus beras sebesar 10,25 juta ton tak sejalan dengan fakta di lapangan.

Impor beras yang dilakukan Perum Bulog pun semakin memperjelas produksi beras yang tidak seperti di klaim di atas kertas oleh pemerintah.

Saat ini, harga beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) tercatat mulai dari Rp 8.500 per kilogram (kg) hingga Rp 13.500 per kg.

Harga beras tersebut tergolong tinggi yang selama ini memberatkan masyarakat.

Kendati begitu, Kementerian Pertanian (Kemtan) mengklaim produksi beras melimpah dan ada surplus sebesar 10,25 juta ton.

Sementara itu menurut rilis Kementerian Perdagangan (Kemdag), harga beras medium di Jakarta rata-rata Rp 10.650 per kg dan di tingkat nasional Rp 10.880 per kg.

Kendati begitu, Kementerian Pertanian (Kemtan) masih ngotot pada data-data pangan yang tidak sejalan dengan kondisi di lapangan.

Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kemtan Suwandi misalnya mengatakan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2 November 2015 lalu, tercatat Angka Ramalan-II (ARAM-II) 2015 produksi padi 74,99 juta ton gabah kering giling (GKG) atau naik 5,84% dari produksi tahun 2014.

Rinciannya, produksi gabah tersebut diperoleh beras setara 43,61 juta ton yang berarti surplus untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan sekitar 33,35 juta ton beras nasional.

"Surplus beras sebesar 10,25 juta ton saat ini berada tersebar di produsen, penggilingan, pedagang, industri, rumah makan, restoran, konsumen dan di Bulog," klaim Suwanti dalam rilis akhir pekan lalu.

Ia bilang, saat ini ada sebanyak 900.000 ton beras impor masih di Gudang Bulog.

Kondisi ini membuktikan bahwa impor beras yang dilakukan pemerintah benar-benar hanya sebagai cadangan nasional saja.

Berdasarkan perkiraan Suwandi, sampai sekarang penduduk Indonesia belum mengkonsumsi beras impor.

"Kebutuhan konsumsi beras penduduk sebesar 2,6 juta ton per bulan cukup dipenuhi dari produksi dalam negeri," bebernya.

Menurut Suwandi, ketersediaan beras Januari-Maret 2016 dipastikan aman mengingat pada bulan Februari 2016 akan dipanen 5 juta ton gabah setara 3,1 juta ton beras dan pada Maret 2016 akan dipanen 12,56 juta ton gabah setara 7,9 juta ton beras.

Sedangkan konsumsi beras penduduk hanya 2,6 juta ton per bulan.

BPS pernah mengklarifikasi kalau data-data pangan yang diperoleh dari Kemtan terkadang angka-angkanya terlalu besar sehingga tidak sesuai dengan realitas di lapangan.

Karena itu, BPS akan melakukan pendataan sendiri bekerjasama dengan Kemtan agar data pangan sesuai dengan realitas di lapangan.

Sebab kalau saat ini ketersediaan beras melimpah, maka Bulog tidak perlu melakukan impor dan harga beras di pasaran lebih murah.

Tapi faktanya, surplus beras 10,25 juta ton yang diklaim Kemtan tersebut tidak jelas keberadaannya.

Akibatnya, Bulog harus mengimpor 1,5 juta ton beras dari Thailand dan Vietnam dan saat ini.

Bulog juga tengah menjajaki peluang impor beras 1,5 juta ton lagi dari Pakistan untuk mengantisipasi kekurangan pasokan beras pada bulan Maret bila panen raya mundur akibat mundurnya masa tanam.

Terkait klaim beras impro masih di dalam gudang, Direktur Utama Bulog Djarot Kusumayakti mengatakan sebagian besar beras impor sudah dijual ke pasar untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri.

Dengan begitu, maka beras impor sudah dijual ke masyarat karena pasokan beras dalam negeri masih kekurangan.

Kamis, 21 Januari 2016

Intervensi Berjubah Pengawasan

Kamis, 21 Januari 2016


BENAR-BENAR tak gampang menjaga kekuasaan agar tetap berada di jalur yang sudah ditentukan. Ia begitu riskan untuk dibelokkan tatkala mereka yang diberi kuasa mabuk kepentingan pribadi dan golongan.

Postulat itulah yang belakangan secara terang benderang dipertontonkan di Senayan. Mereka, para wakil rakyat yang katanya terhormat, lagi-lagi menggadaikan kehormatan dalam menjalankan fungsi dan kewenangan. Fungsi dan kewenangan yang semestinya semata digunakan demi kemaslahatan rakyat malah dijalankan sembarangan.

Undang-undang menyebutkan DPR punya tiga fungsi, yakni legislasi, pengawasan, dan anggaran. Namun, nyaris tak satu pun dari ketiganya yang optimal ditunaikan. Yang terjadi justru sebaliknya, fungsi dan kewenangan itu dikelola secara serampangan. Di bidang legislasi, DPR amat minim menghasilkan undang-undang. Di bidang anggaran, masih saja terjadi patgulipat untuk mengeruk fulus. Pun dalam hal pengawasan, dewan menjalankannya sesuai dengan selera. Mereka melebar ke mana-mana dalam menggunakan kekuasaan untuk mengawasi eksekutif itu kendati undang-undang telah memberikan batasan.

Atas nama pengawasan, misalnya, pimpinan DPR sepakat untuk memanggil pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka ingin mempersoalkan penggeledahan ruangan anggota dewan pada Jumat (15/1) terkait dengan kasus korupsi yang menjerat anggota Komisi V dari Fraksi PDIP, Damayanti Wisnu Putranti.

Penggeledahan kala itu memang heboh. Situasi menjadi gaduh ketika Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dari PKS menghalangi penggeledahan karena penyidik KPK dikawal anggota Brimob bersenjata laras panjang. Padahal, pengawalan Brimob tersebut sudah sesuai dengan prosedur dan sudah pernah pula dilakukan di saat penyidik KPK menggeledah ruangan anggota DPR periode 2009-2014, Sutan Bhatoegana dan Tri Yulianto, dua tahun silam.

Namun, sekali lagi, dewan tetap menganggap perkara itu sebagai persoalan. Arogansi serta ego lembaga begitu kuat membius dan dengan mengatasnamakan pengawasan, mereka hendak menegur KPK.

Drama dengan lakon pengawasan dewan yang kebablasan juga secara telanjang diumbar Komisi III di panggung rapat dengar pendapat (RDP) dengan Jaksa Agung HM Prasetyo, dua hari terakhir ini. Amat gamblang terpampang RDP sebagai salah satu media pengawasan DPR berubah menjadi ajang penghakiman.

Sebagian besar anggota Komisi III mencecar Jaksa Agung perihal langkah kejaksaan menyelidiki kasus 'papa minta saham' yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto. Bahkan ada yang menilai kasus itu tak cukup bukti secara hukum sehingga harus dihentikan.

Substansi pengawasan juga merambah segala penjuru hingga ke kasus-kasus individu. Atas nama pengawasan, mereka menyoal pencekalan terhadap Direktur PT Mobil 8 milik Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo, Harry Jaya, terkait dengan perkara restitusi pajak. Anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra kemudian malah walk out.

Sungguh, teramat sulit bagi kita untuk menerima jalan pikiran anggota DPR tersebut. Bagaimana bisa mereka menilai sebuah kasus yang tengah diselidiki tak cukup bukti dan harus dihentikan? Bukankah itu terang-terangan merupakan intervensi terhadap hukum? Bukankah mereka seharusnya mendukung penuh kejaksaan untuk memproses tuntas megaskandal 'papa minta saham'? Juga, atas dasar apa mereka gigih mempermasalahkan pencekalan terhadap Harry Jaya? Tak salah jika ada yang beranggapan bahwa sikap anggota Komisi III kali ini sarat dengan kepentingan pribadi dan kelompok.

UU menggariskan bahwa DPR melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah. Itulah fungsi mulia yang wajib dijalankan dengan cara dan tujuan yang mulia pula. Amat tak patut menjadikan pengawasan sebagai jubah untuk menekan, menghakimi, dan mengintervensi pemerintah demi kepentingan pribadi dan golongan.

http://news.metrotvnews.com/read/2016/01/21/472568/intervensi-berjubah-pengawasan

Rabu, 20 Januari 2016

KEDAULATAN PANGAN HARUS DIAWALI PEMULIAAN PETANI

Selasa, 19 Januari 2016

JAKARTA, GERBANGSUMATRANEWS.COM – Kedaulatan pangan yang ditegaskan pemerintahan Presiden ketujuh RI, Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla lewat Nawacita, dipandang oleh beberapa pihak harus dimulai dari pemuliaan petani.

“Angin segar bagi pembangunan pertanian di tanah air berhembus ketika pemerintah dengan tegas menyatakan bahwa kita perlu berdaulat pangan, namun harus dimulai dengan pemuliaan petani,” kata inisiator Gerakan Petani Nusantara (GPN) Hermanu Triwidodo di Cikini, Jakarta, kemarin.

Kedaulatan pangan tersebut, kata Hermanu memang tertuang dalam Nawacita yang bertujuan menciptakan kedaulatan bangsa secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya.

Menurut Hermanu yang juga pengajar di Departemen proteksi Tanaman IPB tersebut, niat pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan itu, baik karena saat ini memang dibutuhkan.

“Namun niat saja tidak akan cukup jika tidak diiringi dengan cara yang baik untuk mewujudkannya. Kedaulatan pangan semestinya tidak hanya produksi meningkat dan berkelanjutan, namun juga menjadikan petani mulia dan berdaulat,” ujarnya.

Senada dengannya, petani dari Indramayu Masroni juga mengatakan kedaulatan pangan memang harus dimulai dari kedaulatan petani, karena jika dimulai dari hal tersebut maka kebijakan yang dibuat harusnya menjawab kebutuhan petani bukan hanya kebutuhan pemerintah yang ingin dianggap berhasil meningkatkan produksi.

“Program pemerintah semestinya disesuaikan dengan situasi petani, sebab kebutuhan dan potensinya berbeda tiap wilayah,” ujar Masroni.

Menurut dia, jika tidak dilakukan, akibatnya program dan kebijakan banyak yang justru menjadi penyebab masalah dan tidak efisien. Bantuan benih padi misalnya, banyak yang tidak mau menanam karena memang tidak dibutuhkan.

“Atau bantuan traktor, di desanya justru menjadi pemicu masalah diantara pelaku pertanian itu sendiri,” katanya.

Di lokasi yang sama, koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan setelah satu tahun program dan kebijakan telah dijalankan namun situasi tak jauh berubah dimana upaya khusus untuk mencapai swasembada masih jauh dari cukup.

“Impor beras kembali dilakukan, sementara impor bahan pangan Iainnya masih terus terjadi. Petani juga masih bergelut dengan kemiskinan,” katanya.

Menurut Said, kemiskinan di pedesaan jauh lebih tinggi yaitu 14.7 persen dibandingkan di perkotaan yang hanya 8,34 persen, padahal penduduk miskin di pedesaan mayoritas adalah petani.

“Tak hanya dalam hal jumlah, dari tingkat keparahan dan kedalaman kemiskinan di pedesaan juga lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Kedalaman kemiskinan di pedesaan 2,26 persen, sementara di perkotaan hanya 1,25 persen. Adapun keparahan kemiskinan di pedesaan 0,57 persen sedangkan di perkotaan 0,31 persen,” ujar dia. (Ogo/Bie)

http://gerbangsumatranews.com/kedaulatan-pangan-harus-diawali-pemuliaan-petani/

Selasa, 19 Januari 2016

Kedaulatan pangan harus menjawab kebutuhan petani

Senin, 18 Januari 2016


JAKARTA.Kedaulatan pangan yang ditegaskan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla lewat Nawacita, dipandang oleh beberapa pihak harus dimulai dari pemuliaan petani.

"Angin segar bagi pembangunan pertanian di tanah air berhembus ketika pemerintah dengan tegas menyatakan bahwa kita perlu berdaulat pangan, namun harus dimulai dengan pemuliaan petani," kata inisiator Gerakan Petani Nusantara (GPN) Hermanu Triwidodo di Cikini, Jakarta, Senin.

Kedaulatan pangan tersebut, kata Hermanu memang tertuang dalam Nawacita yang bertujuan menciptakan kedaulatan bangsa secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya.

Menurut Hermanu yang juga pengajar di Departemen proteksi Tanaman IPB tersebut, niat pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan itu, baik karena saat ini memang dibutuhkan.

"Namun niat saja tidak akan cukup jika tidak diiringi dengan cara yang baik untuk mewujudkannya. Kedaulatan pangan semestinya tidak hanya produksi meningkat dan berkelanjutan, namun juga menjadikan petani mulia dan berdaulat," ujarnya.

Senada dengannya, petani dari Indramayu Masroni juga mengatakan kedaulatan pangan memang harus dimulai dari kedaulatan petani, karena jika dimulai dari hal tersebut maka kebijakan yang dibuat harusnya menjawab kebutuhan petani bukan hanya kebutuhan pemerintah yang ingin dianggap berhasil meningkatkan produksi.

"Program pemerintah semestinya disesuaikan dengan situasi petani, sebab kebutuhan dan potensinya berbeda tiap wilayah," ujar Masroni.

Menurut dia, jika tidak dilakukan, akibatnya program dan kebijakan banyak yang justru menjadi penyebab masalah dan tidak efisien. Bantuan benih padi misalnya, banyak yang tidak mau menanam karena memang tidak dibutuhkan.

"Atau bantuan traktor, di desanya justru menjadi pemicu masalah diantara pelaku pertanian itu sendiri," katanya.

Di lokasi yang sama, koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan setelah satu tahun program dan kebijakan telah dijalankan namun situasi tak jauh berubah dimana upaya khusus untuk mencapai swasembada masih jauh dari cukup.

"Impor beras kembali dilakukan, sementara impor bahan pangan Iainnya masih terus terjadi. Petani juga masih bergelut dengan kemiskinan," katanya.

Menurut Said, kemiskinan di pedesaan jauh lebih tinggi yaitu 14.7 persen dibandingkan di perkotaan yang hanya 8,34 persen, padahal penduduk miskin di pedesaan mayoritas adalah petani.

"Tak hanya dalam hal jumlah, dari tingkat keparahan dan kedalaman kemiskinan di pedesaan juga lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Kedalaman kemiskinan di pedesaan 2,26 persen, sementara di perkotaan hanya 1,25 persen. Adapun keparahan kemiskinan di pedesaan 0,57 persen sedangkan di perkotaan 0,31 persen," ujar dia.

http://industri.kontan.co.id/news/kedaulatan-pangan-harus-menjawab-kebutuhan-petani

Senin, 18 Januari 2016

Ini Cara Bulog Permulus Penyerapan Beras Petani

Minggu, 17 Januari 2016

Jakarta - Perum Bulog menyiapkan sejumlah strategi untuk mempermulus penyerapan beras dari dalam negeri untuk tahun ini, di antaranya mengusulkan penerapan harga pembelian pemerintah (HPP) fleksibilitas. Perusahaan pelat merah tersebut menargetkan penyerapan beras dari dalam negeri minimal sebesar 3,9 juta ton tahun ini. Penyerapan itu dari pengadaan melalui jalur subsidi (public service obligation/PSO) sebanyak 3,2 juta ton dan jalur komersial 700 ribu ton.

Direktur Pengadaan Perum Bulog Wahyu mengatakan, untuk mengejar target penyerapan beras dari dalam negeri, Bulog sedikitnya melakukan empat hal yang berada dalam kendali BUMN tersebut. Pertama, melakukan pemetaan potensi panen di seluruh Indonesia. Kedua, melakukan pembinaan kepada mitra kerja yang saat ini mencapai 3.906 di seluruh Indonesia, mitra kerja tersebut memproduksi gabah menajdi beras. Ketiga, memperbanyak satuan kerja pengadaan gabah di daerah melalui kerja sama dengan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) maupun kelompok tani seluruh Indonesia. "Keempat, Bulog melakukan perbaikan infrastruktur yang ada serta memperkuat kerja sama sewa infrastruktur dengan pihak ketiga," kata dia ketika dikonfirmasi Investor Daily di Jakarta, Minggu (17/1) malam.

Upaya lain yang dilakukan Bulog namun untuk faktor yang berada di luar kendali BUMN itu, kata Wahyu, adalah mengusulkan penerapan fleksibilitas HPP sebesar 10-12% kepada pemerintah. Usulan tersebut telah disampaikan kepada Menko Perekonomian Darmin Nasution dan kini masih dalam proses pembahasan. “Faktor di luar kendali lainnya adalah cuaca, kami berharap cuaca bisa bersahabat sehingga peningkatan produksi bisa optimal,” kata dia.

http://www.beritasatu.com/ekonomi/342159-ini-cara-bulog-permulus-penyerapan-beras-petani.html

Bulog Targetkan Serap Beras Petani 3,9 Juta Ton

Minggu, 17 Januari 2016

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perum Bulog menargetkan penyerapan beras dan gabah pada 2016 sebesar 3,9 juta ton, terdiri dari pengadaan lewat jalur PSO sebesar 3,2 juta ton dan jalur komersial sebesar 700 ribu ton.

Direktur Pengadaan Perum Bulog Wahyu mengatakan target penyerapan beras dan gabah Bulog tahun ini lebih tinggi dari realisasi 2015 yang hanya sekitar 2,7 juta ton. "Ini disebabkan meningkatkan permintaan terhadap kebutuhan beras di dalam negeri dan mengantisipasi terjadinya lonjakan harga yang tidak wajar," katanya di Jakarta, Ahad (17/1).

Menurut dia, untuk merealisasikan penyerapan itu, Bulog menganggarkan dana sekitar Rp 30 triliun selain itu juga mengandeng mitra kerja dan KTNA di daerah sebagai Satgas Pengadaan Gabah. Terkait target penyerapan secara komersial, Wahyu mengatakan ini baru pertama kali ditetakan Bulog, karena tahun sebelumnya hanya menggunakan jalur PSO saja.

Jumat, 15 Januari 2016

Target Bulog Sering Gagal Karena Kakunya HPP

Kamis, 14 Januari 2016
   
INILAHCOM, Jakarta - Perum Bulog mengusulkan agar Harga Pembelian Pemerintah (HPP) 2016 ditetapkan fleksibel. Agar bisa menyesuaikan dengan harga gabah dan beras petani.

Direktur Perum Bulog, Djarot Kusumayakti mengatakan, saat ini, Bulog dihadapkan pada penetapan harga HPP yang selalu di bawah harga pasar. Sehingga mempengaruhi upaya pengadaan gabah/beras oleh BUMN tersebut.

"Sekarang yang dihadapkan, Bulog dengan satu harga HPP. Ini menyulitkan ketika terjadi gejolak harga. Kenapa? Beras itu keberadaannya fluktuatif. Harga ketika panen dan tidak panen, sangatlah berbeda," kata Djarot di Jakarta, Kamis (14/01/2016).

Menurut Djarot, saat ini, sistem pengadaan beras di tanah air, terbagi menjadi 2 macam, yakni pengadaan dalam negeri dan luar negeri. Dalam hal ini, Perum Bulog memprioritaskan pengadaan di dalam negeri saja.

"Jadi pengadaan ada dua. Apapapun pengadaan bisa dalam negeri dan luar negeri. Prioritas kita pengadaan dalam negeri. Artinya tentu Bulog akan laksanakan pengadaan luar negeri kalau pengadaan dalam negeri tidak memenuhi," papar Djarot.

Asal tahu saja, Perum Bulog acapkali kesulitan bersaing dengan swasta dalam menyerap beras dari petani. Para petani lebih memilih menjual gabah hasil panen kepada swasta karena harga lebih tinggi.

Harga yang dijadikan acuan Perum Bulog dalam membeli beras atau gabah dari petani alias HPP, dibatasi regulasi yang ketat. Karena serapan Perum Bulog minim maka berdampak kepada rendahnya cadangan beras nasional yang mengganggu ketahanan pangan nasional.

"Tentu supply beras dari sawah akan memengaruhi harga. Kalau panen raya, supply melimpah, harga turun. Sementara pas kering harganya naik," papar Djarot. [ipe]

http://ekonomi.inilah.com/read/detail/2266921/target-bulog-sering-gagal-karena-kakunya-hpp

Kamis, 07 Januari 2016

Setelah Vietnam, Pakistan dan India Jadi Target Impor Beras

RABU, 06 JANUARI 2016

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah akan kembali melakukan impor beras melalui Perusahaan Umum Bulog. Setelah tahun lalu mendatangkan beras dari Vietnam, tahun ini pemerintah menjajaki impor dari Pakistan dan India.

Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong menyatakan saat ini pemerintah telah menandatangani nota kesepahaman dengan Pakistan. Meski rincian untuk jumlah, harga, dan waktunya belum disepakati dalam kontrak.

“Kami sedang pelajari aspek legal dan teknisnya serta stok beras medium yang ada di Pakistan,” kata Thomas di sela acara silaturahmi Natal dan tahun baru di kantornya, Rabu, 6 Januari 2016.

Sementara dengan India, penjajakan masih di tahap awal, belum ada nota kesepahaman. Yang pasti, negeri Mahatma Gandhi itu memang memiliki stok beras melimpah. Setahun, India bisa ekspor beras senilai US$ 3-4 miliar.

Impor beras dari Pakistan dan India, menurut Thomas, kemungkinan diperlukan untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga di pasar. "Presiden dalam sidang kabinet kemarin menyampaikan pesan khusus ke Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian, jaga benar inflasi. Jaga benar dalam jangka pendek, harga komoditas pangan diprioritaskan," ujar Thomas.

Persiapan itu perlu dilakukan sebab ada kemungkinan masa panen tahun ini akan tertunda akibat El-Nino yang terjadi di paruh kedua tahun lalu. Selain itu, pemerintah juga mewaspadai ancaman La-Nina. "Cuaca masih mengancam. Kemarin kemarau panjang saat ini masuk musim hujan, sehingga harus kerja keras antisipasi lonjakan harga," kata Thomas.

Fokus pemerintah saat ini, menurut Thomas, adalah mempertahankan momentum rendahnya angka inflasi. "Inflasi hanya 3,3 persen itu momentum baik. Apalagi harga barang primer seperti beras premium secara regional cukup terjaga baik,” katanya.

PINGIT ARIA

http://bisnis.tempo.co/read/news/2016/01/06/090733660/setelah-vietnam-pakistan-dan-india-jadi-target-impor-beras

Senin, 04 Januari 2016

Data dan Peta Pangan Memperkuat Kebijakan

Senin, 4 Januari 2016

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu memperkuat kebijakan pangan, terutama impor pangan, dengan validitas data dan peta pangan. Tanpa hal ini, Indonesia akan terus berada dalam lingkaran ketidakstabilan harga kebutuhan pokok.

Selain itu, kebijakan pangan yang tidak tepat dapat terus terjadi.

Direktur Eksekutif Institue for Development of Economics dan Finance (Indef) Enny Sri Hartati kepada Kompas, Sabtu (2/1), di Jakarta, mengatakan, tiga persoalan krusial mengenai pangan adalah validasi data, peningkatan produktivitas, dan pemerataan distribusi. Tiga persoalan tersebut bisa dikelola dengan baik berdasarkan peta pangan, yang antara lain melingkupi daerah penghasil pangan, produksi, dan konektivitas distribusi.

Validasi data pangan merupakan hal penting sebab data yang tidak tepat dan tidak benar akan menyebabkan ketidaktepatan dalam pengambilan kebijakan pangan. Selama ini pemerintah menyatakan stok cukup, tetapi harga pangan tetap tinggi.

"Hal ini terjadi karena pendekatan statistik pemerintah masih lemah. Dalam kasus daging sapi misalnya. Tidak semua ternak di penggemukan dan peternakan rakyat bisa dipotong untuk konsumsi. Pemerintah seharusnya menyajikan data riil atau asumsi, berapa persen ternak yang bisa dipotong dan yang tidak," katanya.

Di sisi lain, kata Enny, peningkatan produktivitas dan pemerataan distribusi juga masih menjadi kendala sehingga masih bergantung pada impor. Kendati demikian, pemerintah sudah mulai memperbaiki sejumlah hal.

Kebutuhan

Untuk mengatasi kebutuhan sapi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi serta Lampung, pemerintah telah menyediakan kapal pengangkut sapi dari Nusa Tenggara Timur ke DKI Jakarta. Upaya ini perlu ditindaklanjuti dengan penyediaan kapal pengangkut sapi dari Jawa Timur, wilayah yang surplus sapi, ke DKI Jakarta.

"Terkait dengan pangan yang mudah rusak, seperti cabai, perlu ada pengaturan giliran tanam dan panen cabai serta pendistribusiannya, yang bisa dilakukan bergantian antardaerah," kata Enny.

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen juga berpendapat sama. Dia menilai, selama ini pemerintah tidak pernah menghitung data produksi, stok, dan kebutuhan konsumsi bahan pokok secara akurat.

"Gula kristal putih (GKP) misalnya. Berdasarkan penghitungan pemerintah, kebutuhan GKP nasional rata-rata 250.000 ton per bulan. Namun, rata-rata GKP yang dijual pedagang per bulan 150.000-200.000 ton. Pedagang masih mempunyai stok sisa GKP 50.000-100.000 ton per bulan," katanya.

Soemitro menambahkan, jika kebutuhan konsumsi GKP sebanyak 250.000 ton per bulan, sisa 50.000-100.000 ton per bulan tersebut justru terpenuhi dari rembesan gula rafinasi dan GKP yang masuk secara ilegal. GKP ilegal ini ditengarai banyak tersebar di wilayah-wilayah perbatasan di Kalimantan, bahkan ada yang didistribusikan sampai ke Sulawesi.

Pada 2016, pemerintah berencana mengimpor sejumlah kebutuhan pokok. Sapi bakalan akan diimpor sebanyak 600.000 ekor, daging sapi 50.000-60.000 ton, dan gula 200.000 ton.

Khusus impor kedelai, pemerintah tidak menentukan jumlahnya. Namun, pengimpor harus menyerap kedelai petani terlebih dahulu untuk mendapatkan izin impor kedelai.

Berdasarkan data nasional di laman Kementerian Perdagangan, harga daging sapi dalam satu bulan terakhir meningkat dari Rp 108.223 per kilogram menjadi Rp 110.264 per kilogram. Adapun harga cabai merah besar melonjak dari Rp 27.093 per kilogram menjadi Rp 40.126 per kilogram.

(HEN)

http://print.kompas.com/baca/2016/01/04/Data-dan-Peta-Pangan-Memperkuat-Kebijakan

Minggu, 03 Januari 2016

Darmin: Impor Pangan Masih Perlu

Sabtu, 02 Januari 2016

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Dar min Nasution menyatakan, Indonesia masih membutuhkan impor pangan pada tahun ini. Impor pangan dibutuhkan karena produksi dalam negeri belum memenuhi kebutuhan.

Menurut Darmin, kenaikan harga bahan pokok pada 2015 ter jadi karena kurangnya pasokan. Pemerintah, kata Darmin, tidak ingin mengulangi kesalahan dengan menahan impor yang pada akhirnya membuat harga bahan pokok meningkat.

"Jangan seperti kuartal IV 2014 ketika ada keinginan menahan impor. Akibatnya, pasokan kurang sehingga harga pangan, seperti telur dan daging ayam, naik," kata Darmin saat jumpa pers akhir tahun di kantornya, Kamis (31/12).

Tantangan yang harus dihadapi dengan cermat pada tahun ini, ungkap Darmin, adalah kebutuhan beras. Darmin mengungkap kan, stok beras yang ada Badan Urus an Logistik (Bulog)
hingga akhir 2015 mencapai satu juta ton. Stok ini sudah termasuk impor beras 400 ribu ton yang didatangkan pemerin tah belum lama ini. Beras impor itu tidak didistribusikan ke pasar dan hanya dijadikan sebagai stok.

Stok satu juta ton beras dinilai belum memadai. Ideal nya, kata mantan gubernur BI ini, stok beras harus 1,35 juta-1,5 juta ton. Karena itu, pemerintah akan membuka keran impor beras awal tahun ini. "Harus masuk 460 ribu ton pada akhir Januari ini," kata Darmin. Menurut prediksi Darmin, pro duksi beras akan normal pada April 2016.

Mengenai daging sapi, pemerintah akan melakukan impor sekitar 238 ribu ton. Angka itu sesuai estimasi produksi dalam negeri dan kebutuhan konsumsi.
Sapi yang akan diimpor sebanyak 600 ribu ekor.

Selain daging sapi dan beras, Indonesia juga membutuhkan impor gula kristal putih (GKP). Tahun ini, pemerintah menugaskan Bulog untuk meng impor 200 ribu ton GKP. Darmin menjelaskan, stok GKP pada awal tahun ini sekitar 840,6 ribu ton.

Stok itu hanya cukup memenuhi kebutuhan pada periode Januari-April 2016. Impor dibutuhkan karena tidak akan ada suplai dari dalam negeri lantaran musim giling tebu baru akan terjadi pada Mei-Juni. "Kita butuh 1,1 juta ton gula sampai April."

Pelaksana Tugas Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Karyanto Suprih menjelaskan, meski impor pangan tetap dilakukan, jumlahnya tidak akan banyak meningkat dibanding 2015. "Kalau tohada kenaikan (nilai impor) tidak akan banyak karena produksi da lam negeri kancukup baik," kata Suprih.

Meski begitu, Suprih mengaku belum ada angka pasti besaran impor bahan pangan yang akan dilakukan sepanjang tahun ini. Pihaknya akan berkoordinasi dengan Kemenko Perekonomian ser ta kementerian lain.

Impor, kata Suprih, bukan pilihan utama pemerintah. Impor dilakukan untuk memberikan keamanan pasokan. Meski begitu, ia mengakui harus ada angka-angka pasokan dan kebutuhan dalam negeri yang masih harus disamakan antar kementerian. "Seperti, impor beras kanbukan untuk lantas di lepas ke pasar. Itu untuk keamanan kita. Karena, kita kan melindungi petani. Petani itu di samping produsen juga konsumen. Dari sisi Kemendag ya gak enjoy, tapi ini kebutuhan," ujar Suprih.

Suprih menekankan bahwa keputusan impor pasti telah melalui perencanaan dan strategi yang matang. Tak hanya pangan, komoditas lain yang masih akan impor dan bahkan meningkat nilai impornya adalah bahan baku penolong infrastruktur.

Guru besar Pertanian IPB Dwi Andreas menilai, kebijakan pemerintah untuk mengimpor komoditas pangan adalah wajar karena kondisi dalam negeri yang tidak mencukupi. Namun, impor harus dilandasi data pangan yang akurat dan keberpihakan kepada petani lokal.

Artinya, kata Dwi, pertanian agroekologi berbasiskan pada keanekaragaman pangan dan pengolahan yang bijak akhirnya akan dapat menyediakan berbagai pangan bagi konsumen yang kini kian bergantung pada industri pangan. rep: Satria KArtika Yudha, Sapto Andika Candra c36/c33/Mursalin Yasland, ed: Nur Hasan Murtiaji

http://www.republika.co.id/berita/koran/publik/16/01/02/o0bgoi1-darmin-impor-pangan-masih-perlu