Jumat, 20 Mei 2016

Bulog Belum Bisa Serap Gabah Milik Petani

Kamis, 19 Mei 2016

MAJALENGKA,(PR).- Bulog Cirebon belum bisa menyerap gabah milik petani dengan alasan harga masih di atas Harga Pokok Penjualan (HPP) pemerintah yang hanya Rp 3.700 per kg untuk Gabah Kering Simpan (GKS), sementara di tingkat petani sudah di atas Rp 4.000 per kg.

Sementara itu sejumlah petani di Majalengka kini mengeluhkan rendahnya harga gabah yang hanya Rp 400.000 hingga Rp 440.000 per kuintal, kondisi tersebut sudah cukup lama setelah panen MT satu selesai. Malah kini petani pun sulit menjual gabah karena bandar yang biasa berkeliling justru banyak yang menolak membeli gabah petani.

Pulung, dari Bulog Cirebon mengatakan pihak Bulog akan menyerap gabah petani bilamana harga di bawah HPP atau sama dengan HPP, serta kadar air 14 persen dengan kadar hampa 3 persen. Namun demikian, menurutnya, petugas dari Bulog akan terus melakukan survei ke lapangan untuk melakukan pengecekan harga di tingkat petani guna memastikan harga gabah di pasaran.

“Kami juga sudah melakukan kerja sama dengan Babinsa dan Kepolisian untuk memantau harga gabah di pasaran di masing-masing daerah, bila harga gabah di tingkat petani jatuh dibawah HPP maka Bulog akan langsung melakukan penyerapan gabah petani,” ungkap Pulung.

Menurutnya, harga gabah kering simpan berdasarkan HPP senilai Rp 3.700 per kg, sehingga bila harga diatas itu maka Bulog tidak mungkin melakukan pembelian gabah petani.

Sementara itu sejumlah petani di Kecamatan Jatitujuh, Majalengka dan Cigasong mengeluhkan anjloknya harga gabah, bahkan menurut mereka cukongpun belakangan ini seolah enggan membeli gabah petani.

Cokong yang biasanya berkeliaran mencari gabah ke petani kini justru jarang terlihat, kalaupun ada yang datang mereka menawarkan harga gabah sangat murah. Cukong baisanya menawarkan gabah barter dengan pupuk disaat petani butuh pupuk untuk tanam ke dua kini enggan melakukan barter gabah.

“Teu payu ayeuna mah gabah teh, nyao pedah goreng meureun parena (Sekarang gabah tidak laku entah mungkin karena gabahnya jelek akibat hama),” ungkap Rohim petani asal Desa Panyingkiran, Kecamatan Jatitujuh.

Diakui Rohim, kadar hampa hasil panen pertama cukup tinggi sehingga banyak cukong yang menolak penjualan gabah petani. 1 kuintal gabah yang biasanya setelah digiling diperoleh beras hingga 60 kg, kini paling hanya diperoleh 45 kg hingga 50 kg.

Tak heran bila banyak cukong yang menolak gabah petani untuk musim tanam pertama, kalaupun bersedia membeli harganya sangat jatuh.

Hal yang sama diungkapkan Sudinta bandar gabah di Desa Tarikolot, Kecamatan Majalengka. Dia emngaku emmbeli gabah dari petani paling tinggi hanya Rp 440.000 per kuintal. Alasannya harga pasaran selama ini masih sangat rendah.

Para petani dan bandar gabah memprediksi harga gabah baru akan naik lagi usai panen kedua, yang kondisi gabahnya relatif bagus dibanding hasil panen pertama. Selain itu panen kedua mendekati musim kemarau yang baisanya hargapun naik. “Panen kadua biasanya rada mahal mah (panen kedua biasanya agak mahal),” ungkap Sudinta.***

http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2016/05/19/bulog-belum-bisa-serap-gabah-milik-petani-369506

Jumat, 13 Mei 2016

Komisi IV Peringatkan Bulog Hati-hati Serap Gabah

Kamis, 12 Mei 2016

Serapan gabah yang asal-asalan akan menghasilkan beras yang kurang berkualitas.

Suara.com - Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Herman Khaeron meminta agar Bulog tidak sembarangan dalam melakukan serapan gabah.

"Saya adalah orang yang sangat menentang Bulog asal menyerap gabah. Saya minta Bulog hati-hati terkait serapan gabah," kata Herman Khaeron saat kunjungan kerja di Sorong Provinsi Papua Barat, Kamis (12/4/2016).

Dia mengatakan, serapan gabah yang asal-asalan akan menghasilkan beras yang kurang berkualitas, dan dipastikan Bulog akan menjadi cacian siapa pun.

VIDEO: Komisi IV Harapkan Bulog Lebih Inovatif
Karena itu, menurut dia, Bulog harus menyerap gabah yang berkualitas sehingga kualitas beras yang disediakan oleh Bulog terjaga dengan baik.

"Syukur di Papua dan Papua Barat hari ini masih mendapatkan pasokan beras dari Vietnam yang berkualitas karena kadar air dan kadar pecahnya bagus," ujar dia lagi.

Tetapi nanti kalau pengadaannya jelek, gabah asal serap, gabah kadar airnya di atas 20 persen, kemudian kadar pecahnya di atas 14 persen, apa jadinya nanti beras untuk masyarakat sejahtera (rastra) bagi masyarakat Papua dan Papua Barat.

Herman mengingatkan, Bulog ditetapkan oleh DPR sebagai BUMN mitra kerja Komisi IV yang mempunyai fungsi menjaga ketahanan pangan nasional.

Menurutnya, Bulog dibentuk bukan untuk menyalurkan rastra semata, tetapi Bulog adalah lembaga negara yang menjaga ketahanan pangan nasional minimal 10 persen.

Selain menjaga ketahanan pangan, lanjut dia, Bulog juga sebagai lembaga negara yang mempunyai fungsi untuk menjaga stabilitas harga.

Ia berharap pula kepada Bulog agar menjaga distribusi, kualitas dan kuantitas dalam menyalurkan beras kepada masyarakat di Papua dan Papua Barat. (Antara)

http://www.suara.com/bisnis/2016/05/12/073517/komisi-iv-peringatkan-bulog-hati-hati-serap-gabah

Kamis, 12 Mei 2016

Nasib Petani, Beli Pupuk Diintai Polisi

Wartaagro.com – Harapan petani untuk sejahtara jauh api dari panggang. Kondisi ini tampak ketika petani di Desa Petiken, Kecamatan Driyorejo, Kabupaten Gresik, Jawa Timur kekurangan pupuk untuk tanaman mereka.

Banyak dari mereka merasa kebingungan, saat musim tanam sementara jatah pupuk di desa mereka habis. Untuk mendapatkan itu, mereka harus beli di luar desanya. Tetapi permasalahan timbul, saat mereka diintai oleh polisi berpakaian preman atau disebut intelijen.

Tak jarang petani yang beli pupuk di luar wilayah desa dibawa ke kantor polisi untuk diinterograsi. “Kalau beli pupuk di kios kami akan ditangkap polisi. Kami tidak bisa berbuat banyak disaat jatah pupuk di desa kami habis,” kata Eko, salah satu petani Desa Petiken saat berbincang dengan Wartaagro.com di Balai Desa belum lama ini.

Dari pengetahuannya, Eko menerangkan bahwa jatah pupuk untuk desanya sebanyak 10 ton, dari luasan sawah dan tegal kurang lebih 24 hektar. Jumlah terbilang sedikit, mengingat kebutuhan petani  tiap hektar lebih dari 6 kuintal pupuk.

Dia pun tak jarang mendapatkan cerita dari sesama petani akan banyaknya polisi yang mengintai dari kejauhan saat beliu pupuk. Tentunya Eko dan petani lainnya merasa ketakutan digelandang ke kantor polisi, seolah-olah mereka mencuri.

“Padahal kami beli, tidak mencuri. Beli pupuk di tetangga desa tidak boleh. Kami petani sudah susah ditambah susah lagi kalau begini terus,” terangnya.
Kondisi yang disampaikan Eko berbanding terbalik dengan keterangan Bupati Gresik, Sambari Halim. Pria yang menjabat bupati 2 periode ini bilang, alokasi pupuk bersubsidi di wilayah Kabupaten Gresik selama 2016 mencapai 62. 890 ton. Jumlah tersebut sesuai dengan rencana definitif kebutuhan khusus (RDKK).

Dari total 62. 890 ton pupuk bersubsidi. Rinciannya, pupuk urea mencapai 27. 282 ton. Selanjutnya, SP3 6. 947 ton, pupuk ZA 3. 117 ton, Phonska 14. 301 ton, dan pupuk organik 11. 243 ton.
"Selama musim tanam 2016 Gresik tidak akan kekurangan pupuk, " ujar Sambari Halim Radianto, Kamis (28/4/2016).

Berdasarkan catatan Dinas Pertanian (Distan) Gresik, luas lahan pertanian di Gresik mencapai 28 ribu hektar, sedangkan luas tanaman padi 67 ribu hektar.
"Dari total lahan tanaman padi 67 ribu hektar. Kabupaten Gresik mampu menghasilkan 420 ribu tob gabah kering giling, " tutur Sambari.

Sambari menambahkan, petani di Kabupaten Gresik tidak perlu kuatir terkait dengan alokasi kebutuhan pupuk selama musim tanam 2016. "Saya jamin petani tidak akan kekurangan pupuk, " pungkasnya.

Polisi tangkap penjual pupuk
Lain halnya di Gresik. Di Tegal, Jawa Barat, salah seorang pedagang pupuk subsidi, yakni Khaeruri (49), warga Desa Semingkir RT 6 RW 4 Kecamatan Randudongkal Kabupaten Pemalang harus berurusan dengan polisi. Dia diketahui menjualbelikan pupuk bersubsidi tanpa izin, dengan harga yang sangat mahal.

Terungkapnya aksi itu berawal saat petani di Kecamatan Randudongkal kelimpungan. Mereka kebingungan mencari pupuk untuk tanaman padinya, lantaran di beberapa agen resmi pupuk bersubsidi habis.

Salah seorang petani di antaranya adalah Kholisatun (40), warga Desa Karangmoncol RT 11 RW 3. Dia kebingungan memupuk tanaman padinya, yang sudah harus mulai diberi pupuk.

Dia lalu mendapat informasi, jika di toko sembako milik Khaeruri menjual pupuk bersubsidi. Tanpa pikir panjang, Kholisatun langsung menuju toko dan membeli 1 kwintal pupuk urea N46% seharga Rp240 ribu.

Padahal biasanya, dia membeli hanya Rp180 ribu di agen. Namun, karena dia sangat membutuhkan, dia tak mempersoalkannya. Dari situlah kemudian kasus jual beli pupuk bersubsidi ilegal itu terungkap.

Dari hasil pemeriksaan penyidik Polsek Randudongkal, Khaeruri mengakui, mendapatkan pasokan pupuk Urea N46 % bersubsidi dari agen pupuk resmi pemerintah milik Irfanudin. Pupuk-pupuk itu didapatnya antara September-Oktober 2015 sebanyak 5 ton seharga Rp 10.700.000.

Oleh Khaeruri, pupuk kemudian dijual eceran Rp 245 ribu per kwintalnya. Sehingga dia menangguk keuntungan Rp31 ribu per kwintal. Naas, baru terjual sebanyak 44 karung dia keburu ditangkap polisi.

Pupuk yang setiap karungnya berisi 50 kg dan sisanya 66 karung yang belum terjual, langsung disita polisi untuk barang bukti. Kapolres Pemalang AKBP Kingkin Winisuda melalui Kapolsek Randudongkal AKP Hartono menegaskan, Khaeruri sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Dia diduga telah melakukan perbuatan pidana memiliki, menjual, atau memperdagangkan barang dalam pengawasan pemerintah tanpa izin, sebagaimana diatur dalam bunyi pasal 6 ayat (1) huruf b jo pasal 1 ke-3e UU RI Nomor 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Karenanya, dia diancam hukuman pidana penjara selama-lamanya dua tahun.

“Berkas perkara tersangka telah dilimpahkan dan menunggu hasil penelitian dari JPU Kejari Pemalang,” terang Hartono. (dbs)

http://wartaagro.com/berita-nasib-petani-beli-pupuk-diintai-polisi.html

Ketahanan Pangan Jadi Ujian

Rabu, 11 Mei 2016

Indonesia yang kini berpenduduk 240 juta jiwa, memiliki beban penduduk non-produktif sekitar 120 juta jiwa (setelah di kurangi dengan jumlah angkatan kerja 110 juta orang). Dengan penduduk sebesar itu tentu berimbas dengan kewajiban negara menyediakan stok pangan yang besar dan cukup.

Stok pangan yang besar tentu berhubungan langsung dengan lahan, karena lahan di perlukan untuk proses penanaman sehingga menghasilkan pangan. Nah, apabila negara berhaluan ke sektor industry, lalu lahan apa yang akan digunakan untuk area menanam pangan? Dan siapa yang menanam jika semua menjadi buruh industri? Andaikata berhaluan industri pun tanpa lahan untuk memperoleh bahan baku, toh bahan baku tetap saja harus di impor dari luar negeri.

Karena itu sejumlah pengamat menilai perubahan haluan pondasi ekonomi negara dari sektor pertanian ke industri, dianggap sebagai jalan terbaik menuju predikat Negara G-7 pada tahun 2030.

Hanya persoalannya, supaya Indonesia sejajar dengan kumpulan negara maju di bidang ekonomi pada 2030 patut kita kritisi kapasitasnya secara cermat. Pasalnya, negara ekonomi maju seperti Jepang, Korea Selatan atau China sudah mengambil langkah tersebut sejak dua dekade lebih awal dari Indonesia. Pertanyaannya sudah siapkah kita dengan segala risiko dengan berubah haluan tersebut?

Masalahnya kita melihat kondisi saat ini masih jauh dari harapan tersebut. Misalnya ketika harga bawang tidak stabil, pemerintah dengan seenaknya membuka kran impor. Lalu kebutuhan daging sapi nasional sekitar 2-3 juta ton per tahun hanya mampu di sanggupi negara sebesar satu juta ton, selebihnya juga impor. Belum lagi persoalan impor dituntaskan, sekarang ramai soal impor beras Vietnam.

Kesimpulannya, persoalan ini muncul karena pemerintah melupakan sektor pertanian. Padahal pertumbuhan ekonomi negara importir pangan ke Indonesia seperti Vietnam dan Thailand, memang tidak sebesar pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir berada di kisaran 5%. Besarnya pertumbuhan ekonomi dan besarnyamiddle class kita yang mencapi 100 juta membuat negara kita menjadi sasaran empuk investasi asing, sehingga investasi asing berimplikasi dengan tingginya pertumbuhan industri.

Indonesia yang pernah sukses swasembada pangan pada tahun 1980-an tampaknya akan terus dipermainkan oleh tengkulak pangan terkait kelangkaan barang. Sektor migas tidak akan menjadi penentu tunggal defisitnya neraca perdagangan karena akan ditemani oleh impor pangan yang besar, beras saja sudah masuk lima besar. Migas terutama tetap menjadi barang paling diimpor negara karena dalam dua periode pemilu ke depan, jika negara belum mampu menemukan lahan migas baru, 100% kebutuhan migas nasional akan tergantung impor.

Kita membayangkan ketika Thailand dan Vietnam sebagai negara pengekspor beras ke Indonesia dengan taktik menaikan harga mahal semaunya sendiri, Indonesia akhirnya terpaksa bisa menyetujui, karena lahan pertanian sudah menjadi pabrik-pabrik dan ada 230 juta penduduk yang siap mengkonsumsi beras.

Karena itu, perlu ada keseimbangan sebagai langkah tepat untuk visi 2030, dimana negara ini harus berkembang dengan sektor industri tanpa harus meninggalkan sektor pertanian. Ingat, penduduk Indonesia tidak akan kenyang dengan gadget murah atau mobillow cost, green emissionyang bangga di produksi oleh industri dalam negeri. Kita masih tetap butuh stok beras yang cukup pada 2030, selain butuh cabai untuk membuat sambal dan daging sapi untuk protein.

Rabu, 11 Mei 2016

CSIS: Impor Pangan Rawan Praktik Rente

Jakarta - Lembaga riset Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menilai kebijakan pemerintah dengan menerapkan sistem pembatasan melalui kuota impor terhadap produk jagung dan kedelai pakan ternak sangat rawan dengan terbentuknya praktik rente ekonomi. Sementara analis Bank Dunia mempertanyakan validitas data surplus beras yang dibuat oleh Kementerian Pertanian.

NERACA

"Jika disparitas harga dalam negeri dan di internasional makin lebar, peluang terjadi kartel makin kuat," kata Ketua Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri melalui keterangan tertulis yang diterima pers di Jakarta, belum lama ini.

Menurut Yose, pemerintah Indonesia kerap kali mengatur urusan kebijakan pangan dengan pendekatan kebijakan perdagangan, salah satunya tercermin melalui pembatasan impor. Padahal, dengan sistem pembatasan, menurut dia, sering kali memunculkan terjadinya perbedaan harga yang tinggi.

"Kita perlu melihat lagi kebijakan pembatasan tersebut, apalagi dengan adanya evaluasi enambulan. Rasanya itu tidak responsif terhadap keadaan," katanya seperti dikutip Antara.

Akibatnya, muncullah disparitas harga antara dalam dan luar negeri. "Justru inilah yang membuat menjadi tidak efektif dan rawan terhadap rente ekonomi. Di sini bisa saja muncul konsesi-konsesi dan ini pernah terjadi pada kasus sapi 2014," ujarnya.

Yose juga menilai pembatasan melalui sistem kuota seperti yang dilakukan terhadap beras telah membuat harga beras berisiko naik hingga 25% pada tahun 2020. Apabila pembatasan impor dihilangkan, harga beras pada saat itu berpotensi turun 14,47%. .

Tidak hanya itu, Yose menilai sentimen pemerintah pada impor juga tidak baik bagi keadaan ekonomi Indonesia. Pasalnya, pembatasan impor dalam perjanjian perdagangan internasional juga dilarang.

"Dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau perjanjian lain pembatasan atau pengaturan impor memang tidak diizinkan," katanya.

Pembatasan atau pengaturan oleh pemerintah, dia anggap tidak holistis dilakukan lantaran dilakukan hanya pada waktu-waktu tertentu dan tidak stabil. "Jadi, pengaturannya ini saya lihat bermasalah," katanya.

Sementara itu, analis kemiskinan Bank Dunia Kantor Jakarta (Poverty Specialist World Bank Office Jakarta) Maria Monica Wihardja mengatakan, bahwa impor bukanlah hal yang haram untuk dilakukan oleh Indonesia.

Menurut Maria, meski selama ini 95% kebutuhan pokok beras sudah bisa dipenuhi, sebanyak 5% dari kebutuhan nasional harus tetap diperhatikan. Lambannya keputusan impor yang dilakukan oleh pemerintah selama ini, menurut dia, telah mengakibatkan naiknya harga beras seperti yang terjadi awal tahun. Pemerintah bahkan sempat mencari pasokan beras sampai ke India dan Pakistan untuk memenuhi kebutuhan.

"Ini sangat terasa pada beberapa waktu yang lalu. Akibatnya, di awal tahun meski data menunjukkan surplus, harga merangkak naik. Ini dinilai menjadi penyebab signifikan tingginya harga komoditas pangan utama dalam negeri," ujarnya.

Maria menjelaskan bahwa volume beras di pasar global terbilang kecil sekitar 7%-8% dari total produksi dari lima negara produsen utama yang menguasai hingga 80 % pasar internasional.

Pertanyakan Data Beras

Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 Maret 2016 merilis angka sementara produksi padi 2015 sebesar 75,36 juta ton gabah kering giling (GKG), naik 6,37% dibandingkan 2014, atau surplus dari target.

Namun, surplus beras ini dipertanyakan oleh analis kemiskinan Bank Dunia,Maria Monica Wihardja. Menurut dia, apabila produksi beras surplus, harga beras seharusnya bisa stabil.

Dia mengungkapkan, ada beberapa kebijakan yang dinilai tak manjur dalam mengendalikan harga dan menjaga stok beras di dalam negeri. "Ada dampak psikologis, apalagi di bulan Januari perlu ada stok (Bulog) yang cukup tinggi. Ditambah stok tipis dan pemerintah mengeluarkan sentimen anti impor, maka pedagang sudah tahu bahwa harga akan naik, makanya ditimbun," kata Maria.

Maria mengungkapkan, persoalan lainnya yakni terlambatnya keputusan impor beras. Menurutnya, selama bisa diatur dengan perencanaan yang baik, beras impor tidak akan merusak harga di tingkat petani. Bahkan, beras bisa disimpan di negara eksportir dan bisa didatangkan kapan saja sesuai kesepakatan.

Sementara itu, Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian, Suwandi mengatakan, validitas data produksi dapat dicek dari survei Sucofindo dan survei Badan Pusat Statistik (BPS).

Yakni stok beras sebanyak 8 hingga 10 juta ton tersebar di Bulog dan masyarakat. Rincian hasil survei tersebut yaitu stok di produsen sebanyak 64% hingga 81%, di pengilingan dan pedagang sebesar 9%-24%, dan di konsumen 9%-11%.

"Stok beras berfluktuasi antar-ruang dan waktu, terutama saat musim panen dan paceklik, serta antar wilayah 16 provinsi sentra dan non sentra padi," kata Suwandi. Stok beras di Bulog pada Februari 2016 sebanyak 1,4 juta ton dan April 2016 mendekati 2 juta ton.

Suwandi menambahkan, keberadaan stok di produsen pun terkonfirmasi dengan data Sensus Pertanian BPS 2013 yang menyebutkan dari 14,3 juta rumah tangga petani padi, terdapat 37,6% petani yang tidak menjual gabah/beras hasil padinya.

Gabah maupun beras tersebut biasanya untuk disimpan dan konsumsi sendiri. Adapun 54,9% menjual sebagian hasilnya, dan sisanya 7,6% menjual seluruh hasil usahanya.

Untuk itu, Suwandi menilai pernyataan Bank Dunia membuat publik menduga-duga, di antaranya kemungkinan itu pendapat pribadi dan bukan rilis resmi Bank Dunia, karena terlihat analisis dan argumentasinya kurang tepat.

Selain itu, tidak mungkin Bank Dunia menyarankan Indonesia impor beras di saat beras mencukupi. "Impor beras hanya akan menguras devisa dan menyengsarakan petani," tegas Suwandi.

Di tempat terpisah, Menurut beberapa pengamat yang hadir dalam forum diskusi di CSIS di Washington, AS, kondisi ketidakpastian itu juga terjadi di Indonesia. Namun, penasihat "Sumitro Chair for Southeast Asia Studies," Ernest Z. Bower, tetap optimis dengan kepemimpinan Joko Widodo.

Bower mengatakan, "Jokowi berhasil melakukan reformasi tahun lalu, meskipun memang lebih banyak merupakan reformasi ke dalam negeri. Dia sudah mengeluarkan sejumlah paket kebijakan ekonomi. Tetapi belum menyentuh isu-isu ekonomi besar yang ditunggu-tunggu para investor di luar negeri.”

Dijelaskan, awal Januari tahun ini geliat ekonomi di Tiongkok menimbulkan dampak luar biasa ke seluruh dunia. Keputusan China Securities Regulatory Commission menangguhkan sistem "circuit breaker", empat hari setelah diperkenalkan kepada publik, membuat pasar-pasar keuangan di Asia, Amerika dan Eropa terjun bebas lebih dari 2%.

Sistem circuit breaker adalah sistem baru yang dibuat otorita berwenang di Tiongkok yang sedianya untuk menstabilkan pasar. Tetapi sistem ini justru sudah dua kali menangguhkan perdagangan di lantai bursa pekan ini dan dikecam karena justru semakin membuat pasar menjadi rentan, bukan stabil.

Belum lagi pasar-pasar keuangan pulih, Tiongkok kembali mengambil kebijakan besar dengan memangkas nilai mata uang yuan, yang terbesar sejak Agustus 2015 lalu. Pemangkasan ini sebenarnya diprediksi tidak akan menimbulkan gejolak luar biasa, tetapi anjloknya harga minyak dunia hingga di bawah US$30 per barel kembali membuat pasar-pasar keuangan dunia terjun bebas.

Krisis keuangan Asia dinilai sebagai “black swan” atau hal-hal di luar dugaan yang dinilai memiliki konsekuensi sangat besar. Direktur CSIS Bidang Ekonomi-Politik dan Bisnis China, Scott Kennedy, mengatakan ketidakpastian ekonomi di Tiongkok dikhawatirkan akan memicu krisis keuangan babak kedua di Asia, dan berimbas ke seluruh dunia.

"Kebijakan ekonomi di Tiongkok sama tidak jelasnya dengan udara di Beijing saat ini," ujar Scott Kennedy.

"Ada dua kebijakan ekonomi Tiongkok yang masih akan menimbulkan dampak pada Amerika yaitu pertama, ketidakjelasan arah kebijakan. Kita benar-benar tidak tahu kemana tujuan arah kebijakan itu jika memang Tiongkok berniat melakukan reformasi ekonomi.”

Adalah Tiongkok, India, Jepang, Korea Selatan dan Indonesia adalah beberapa negara yang dinilai menjadi indikator ekonomi, keamanan dan reformasi yang dilakukan tidak saja di Asia, tetapi juga dunia. Amerika mencermati perubahan kebijakan yang terjadi di negara-negara itu karena kerap menimbulkan riak pada kondisi di negara ini.bari/mohar/fba


http://www.neraca.co.id/article/69224/csis-impor-pangan-rawan-praktik-rente

JK: Indonesia Tak Butuh Beras Impor Selama Lebaran

Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla (JK) mengungkapkan, persediaan beras pemerintah jelang perayaan Idul Fitri 1437 Hijriah masih aman. Menurut dia, saat ini Indonesia belum perlu melakukan impor beras.

"Tidak perlu (impor) karena kalau pangan, maksudnya beras, tak ada masalah," ujar JK di Perum Bulog, Selasa (10/5).

JK menuturkan, persediaan beras menjelang lebaran di Indonesia justru melimpah, karena konsumsi beras di bulan puasa cenderung menurun. Lagipula, dalam sejarahnya, Indonesia tidak pernah kesulitan beras saat mendekati lebaran.

"Sebelumnya kan puasa satu bulan dan makan beras lebih sedikit kan. Jadi, tidak ada kejadian kesulitan beras di Lebaran," terang dia.

Namun demikian, JK menilai, persediaan pangan selain beras justru akan menipis jelang lebaran. Misalnya saja, ayam, telur, ikan dan cabai, serta beberapa bahan pangan yang umumnya dikonsumsi masyarakat jelang lebaran.

Khusus untuk daging ayam, tradisi di Indonesia memang saat Lebaran masyarakat menjadikan opor ayam sebagai santapan khas. Tak heran, konsumsi ayam pasti akan melebihi biasanya.

Di sisi lain, kondisi ini akan menjadi momentum bagi petani mendapatkan harga baik untuk bahan pangan yang mereka jual.

"Jadi, biarlah ini menjadi kesempatan bagi petani mendapatkan hadiah lebaran dengan harga yang baik," imbuh JK.

Sebelumnya Bulog mengklaim, siap menghadapi bulan Ramadhan dan perayaan Idul Fitri tahun 2016 dengan persediaan sembilan bahan pokok (sembako). Kesiapan ini terlihat dari kecukupan suplai beras dan persiapan menghadapi permasalahan distribusi pengiriman bahan sembako.

Saat ini, suplai beras mencapai 1,9 juta ton. Padahal, kebutuhan konsumsi beras rata-rata 300ribu ton dalam satu bulan. Itu berarti, kebutuhan stok beras sampai hari raya Idul Fitri masih terpenuhi.

(gen)

Bulog Jadi Simpul Kepentingan

Rabu, 11 Mei 2016

Persediaan Beras untuk Puasa dan Lebaran Dijamin Aman

JAKARTA, KOMPAS — Perum Bulog merupakan simpul kepentingan konsumen dan produsen yang tak ingin dirugikan dalam mata rantai produksi dan distribusi bahan pangan, terutama beras. Pemerintah, melalui Bulog, berupaya menyeimbangkan kepentingan semua pihak terkait bahan pangan itu.

”Oleh karena itu, pemerintah harus tepat mengambil langkah menjaga keseimbangan harga pangan. Satu hal baik untuk konsumen, tetapi di lain hal juga menarik bagi produsen. Ini tidak mudah. Apalagi jika konsumen yang harus diperhatikan dari kelompok masyarakat tidak mampu,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla saat memberikan kuliah umum pada HUT Ke-49 Perum Bulog, di Jakarta, Selasa (10/5).

Agar tidak terjadi gejolak, pemerintah perlu menetapkan harga batas bawah dan atas untuk komoditas beras. Kebijakan yang salah terkait bahan pangan, terutama beras, kata Jusuf Kalla, bisa berdampak serius. Masyarakat akan kesulitan. Adapun bagi pemerintah, kebijakan soal pangan yang tidak tepat dapat memunculkan gejolak politik.

Mengambil kebijakan yang tepat terkait dengan bahan pangan, khususnya beras, bukan hal yang mudah. Langkah ini mengandung kompleksitas persoalan karena harus dapat menjaga stabilitas ketersediaan dan harga pangan. Bulog mengemban tugas itu, dengan instrumen fasilitas dan modal yang dimiliki.

Jusuf Kalla menyebutkan, pihak yang bertugas di Bulog seperti duduk di kursi panas sebab banyak pejabat di lembaga ini yang tersangkut masalah hukum. Namun, Jusuf Kalla berharap Bulog tidak lagi menjadi lembaga yang dipakai sebagai sapi perah penggunaan dana operasional.

Tantangan Bulog saat ini, selain menyerap produksi beras petani sebanyak mungkin, juga mendistribusikan ke konsumen dengan efisien. Selama ini, Bulog rata-rata menyerap 7-8 persen dari produksi beras petani. Artinya, sekitar 92-93 persen beras lain ada di tangan pedagang beras. Konsumen umumnya mengonsumsi beras dari pedagang, bukan dari Bulog. Pedagang berperan penting dalam rantai distribusi beras ke konsumen.

Menjamin

Perum Bulog menjamin persediaan beras untuk memenuhi kebutuhan puasa dan Lebaran aman. Bulog berupaya menstabilkan harga pangan melalui penyediaan pasar-pasar alternatif.

Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti mengatakan, stok Bulog saat ini sebanyak 2 juta ton. Separuh dari stok itu berupa beras dan separuhnya berupa gabah kering panen. ”Saat ini kami masih menyerap gabah dan beras. Kami berharap stok bisa sebanyak 2,5 juta ton,” ujarnya.

Menurut Djarot, kebutuhan beras selama puasa tidak terlalu besar karena selama puasa masyarakat mengurangi konsumsi beras. Yang perlu dilakukan adalah menjaga harga pangan agar tetap wajar. Bulog menyediakan pasar alternatif dan menjalin sinergi dengan sejumlah pihak.

”Kami meluncurkan Rumah Pangan Kita serta bekerja sama dengan PT Berdikari menyediakan daging sapi dan PT Bhanda Ghara Reksa menyediakan bawang merah,” ujarnya.

RPK Mendekatkan Bahan Pangan ke Masyarakat secara Langsung

Harapan dan kekhawatiran terkait persoalan pangan masih muncul.Sebagian kalangan yakin dengan masa depan karena kemampuan teknologi membantu manusia mengembangkan sektor pertanian. Namun, sebagian pihak pesimistiskarena iklim global yang terus berubah.

”Tidak ada orang yang bisa menjamin tahun depan tidak ada El Nino atau perubahan iklim panas luar biasa,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla saat memberikan kuliah umum pada perayaan ulang tahun ke-49 Perum Bulog di Jakarta, Selasa (10/5).

Terkait bahan pangan, komoditas beras dinilai sebagai komoditas yang paling sensitif terhadap harga. Sebab, kenaikan dan penurunan harga berimplikasi langsung terhadap petani dan konsumen, terutama dari masyarakat berpenghasilan rendah.

Kondisi ini berbeda dengan fluktuasi harga komoditas bahan pangan lain, seperti sawit, jagung, cokelat, dan kopi. Banyak orang yang justru senang jika harga komoditas itu naik.

Mengenai konsumsi bahan pangan, kata Kalla, ada kenyataan yang patut diperhatikan. Sejauh ini Indonesia mengimpor 70 juta ton gandum per tahun, yang sebagian diolah menjadi mi instan dan roti. Meskipun nyaris tidak terdengar ada protes,kenyataan ini menyimpan kekhawatiran.

Jika gandum menggantikan bahan makanan utama warga Indonesia, hal itu secara ekonomi tidak menguntungkan. Sebab, gandum sulit dikembangkan dalam jumlah besar di wilayah Indonesia. Angka impor gandum itu, kata Kalla, cukup mengkhawatirkan.

Di acara yang sama, Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti menyebutkan, saat ini harga daging sapi dan bawang merah masih tinggi. Harga daging sapi masih di atas Rp 100.000 per kilogram (kg), sedangkan harga bawang merah Rp 45.000 per kg. Harga bawang merah diharapkan turun menjadi Rp 25.000 per kg.

Direktur Komersial Perum Bulog Fadzri Sentosa mengemukakan, Rumah Pangan Kita (RPK) merupakan outlet pangan kecil yang dikelola perorangan dan komunitas. RPK bertujuan mendekatkan bahan pangan kepada masyarakat secara langsungsehingga bisa memotong jalur distribusi pangan yang panjang.

”Kami telah memiliki 349 RPK yang tersebar di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Ke depan akan dikembangkan lebih lanjut di daerah-daerah yang harga pangannya kerap bergejolak,” ujarnya.

(NDY/HEN)

http://print.kompas.com/baca/2016/05/11/Bulog-Jadi-Simpul-Kepentingan