Kamis, 28 Juli 2016

Pemerintah Akan Menyusun Kebijakan Pangan Komprehensif Menjawab Anomali Stok & Harga

Rabu, 27 Juli 2016

Dalam akun facebook "Ir H Joko Widodo", Presiden pernah menjelaskan perbedaan Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan. "Ketahanan pangan itu beda dengan kedaulatan pangan, ketahanan pangan itu 'hanya' sekedar bahan pangan itu 'ada' di gudang-gudang logistik dan di pasar-pasar. Tapi bahan pangan itu darimana tidak jadi soal, dari impor atau lokal tak dipilirkan, yang penting ada. Kalau 'kedaulatan pangan' itu bahan pangan ada, kita produksi sendiri dan kita kuat dalam pemasaran, bahkan  pangan yang kita hasilkan dari pertanian kita bisa menguasai pasar-pasar di luar negeri...". Dalam pemerintahan Kabinet Kerja, yang dituju adalah "Kedaulatan Pangan", memang panjang jalan menuju itu, karena kita harus melawan banyak hambatan namun sudah tekad pemerintahan Joko Widodo ke arah sana. Visi terbesar dari kedaulatan pangan adalah ketika hasil pangan dari bumi Indonesia melimpah di pasar lokal maupun pasar luar negeri, setidaknya di negara-negara ASEAN. Pentingnya persoalan pangan bagi masyarakat Indonesia tidak perlu dipertanyakan kembali. Sehingga setiap pemimpin Indonesia dituntut untul memiliki solusi yang efektif untuk menangani persoalan-persoalan pangan yang dialami Indonesia. Persoalan pangan adalah persoalan "Hidup Mati Bangsa Indonesia". Itulah pesan sekaligus peringatan yang disampaikan oleh Presiden RI pertama, Soekarno, ketika meletakkan batu pertama pembangunan kampus IPB pada 27 April 1952. Meskipun bangsa ini ketika itu baru seumur jagung, baru berusia tujuh tahun, tapi kesadaran akan pentingnya meletakkan dasar pembangunan di bidang pertanian sudah sejak awal dimunculkan. Apa yang digagas Bung Karno pada masa pemerintahannya, menunjukkan adanya visi yang jelas terkait upaya penanggulangan masalah pangan. Ini juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kerangka pemikiran pemimpin nasional.  Sebuah obsesi untuk menciptakan kemandirian penyediaan pangan bagi rakyat. Tentu saja yang utama adalah niat, dan niat itu menjadi lapis dasar dari visi dan tekad yang kemudian diterjemahkan dalam konsep kebijakan nasional. Namun, yang penting adalah bagaimana semua rencana itu bisa berjalan di tingkat praksis. Bukan sekadar diwacanakan. Meski pemerintah masa lampau belum berhasil mengangkat kesejahteraan petani hingga "berdaulat" atas diri dan usahanya sendiri, setidaknya dalam skala nasional persoalan ketersediaan pangan khususnya beras, tidak menimbulkan gejolak seperti sekarang. Tentu saja kompleksitas permasalahan hari ini dan ke depan berbeda tantangannya dibandingkan dengan masa lampau. Kenyataan itu tentu menuntut konsep dan strategi tersendiri sesuai skala persoalan dan tantangan baru yang dihadapi. Hari-hari ke depan nanti, pemerintah akan menyusun kebijakan pangan yang lebih komprehensif. Menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution, kebijakan itu dimaksudkan untuk menjaga ketersediaan dan menstabilkan harga komoditas pokok, seperti beras, daging sapi, gula, dan jagung. Presiden menargetkan, dalam tiga bulan ke depan, kebijakan pangan dapat dijalankan. Pemerintah tampaknya akan berusaha menjamin pasokan dari sentra produksi benar-benar mengalir ke konsumen secara lancar dan cukup serta wajar dari segi harga. Intinya mendekatkan konsumen ke produsen dan sebaliknya. Pemerintah berencana tidak akan mengimpor sebagia  besar bahan pangan strategis, kecuali gandum atau terigu, kedelai dan sapi bakalan. Jikapun impor dilakukan, hanya sesuai dengan kebutuhan saja. Impor adalah pilihan terakhir, dan lebih rendah dibanding sekarang. Pemerintah juga memastikan, daging sapi beku akan terua dijual di pasar tradisional. Untuk itu, pemerintah akan mencabut regulasi pembatasan daging beku ke pasar tradiaional. Dengan kebijakan ini, masyarakat akan punya lebih banyak pilihan saat hendak membeli daging di pasar. Harga daging beku dan daging segar dengan kualitas dan kandungan lemak yang sama terpaut cukup jauh. Daging beku diharapkan oleh pemerintah menjadi penyeimbang kebutuhan daging sapi. Presiden Joko Widodo menargetkan pengendalian impor pangan dengan cara meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri, pemberantasan mafia impor, dan juga mengembangkan ekspor pertanian berbasis pengolahan pertanian. Pengendalian impor pangan yang mengutamakan pengurangan impor semata juga membebankan mastarakat Indonesia karena harus mendapatkan kebutuhan pangan dengan harga yang lebih tinggi. Dalam rapat terbatas kebijakan pangan di Kantor Presiden pada Januari 2016, Presiden menyampaikan bahwa tujuan utama kebijakan di bidang pangan adalah membuat rakyat cukup pangan. Setelah itu, tujuan kebijakan kebijakan pangan adalah untuk menurunkan  kemiskinan karena masalah pangan ini memberikan kontribusi besar terhadap angka kemiskinan. Dua tujuan lainnya adalah, membuat petani lebih sejahtera, dan membuat produsen pangan dalam negeri makin besar andilnya untuk mencukupi kebutuhan pangan. Intinya adalah, kita memerlukan kebijakan yang menyeimbangkan antara produsen, pedagang dan konsumen. Presiden mengungkapkan, bahwa data menunjukkan kenaikan harga pangan mulai 2011-2015 kenaikannya sudah hampir 70%. Presiden menginginkan agar harga dapat dikembalikan pada harga-harga yang normal. Oleh sebab itu langkah-langkah komprehensif memperbaiki permintaan, suplai, memperbaiki mata rantai perfagangan, sistem data, dan informasi pertanian, harus betul-betul komprehensif dan valid. Kita sungguh berharap agar pemerintah dapat mendorong harga pangan dapat stabil dan murah. Untuk itu, sinkronisasi kebijakan antar kementerian menjadi penting, dan pemerintah harus mengambil langkah cepat dan strategis untuk mengatasi berbagai lonjakan harga pangan secara komprehensif.

www.berdikaricenter.id

http://www.kompasiana.com/lingkaran_muda/pemerintah-akan-menyusun-kebijakan-pangan-komprehensif-menjawab-anomali-stok-harga_57980ab74023bd6c0af43125

Rabu, 20 Juli 2016

Musim Panen, Petani Diarahkan Berinvestasi

Rabu, 20 Juli 2016

MALANG, KOMPAS — Saat musim panen, petani diarahkan untuk bisa menyisihkan keuntungan untuk investasi. Investasi tersebut bisa dimanfaatkan saat petani kembali membutuhkan modal pada masa tanam berikutnya atau untuk kepentingan jangka panjang.

Petani Desa Gondowangi, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, diajak menabung emas oleh PT Pegadaian (Persero) Kantor Wilayah Pegadaian XII Surabaya, Selasa (19/7). Pegadaian menyasar petani menjadi nasabah karena menilai potensi petani cukup besar. Saat itu adalah masa panen padi bagi petani Gondowangi.

"Potensi petani, terutama pada musim panen, sebenarnya sangat besar. Jika mereka bisa menyisihkan sedikit penghasilannya untuk tabungan, investasi itu bisa digunakan untuk kegiatan produktif lainnya," kata Kepala Kantor Wilayah Pegadaian XII Surabaya Ngadenan.

Petani diajak menabung Rp 50.000 per orang sebagai tabungan awal dengan hadiah gula 1 kilogram (kg). Mereka akan langsung memperoleh tabungan emas 0,01 gram. Berikutnya, mereka bisa menabung hanya dengan Rp 5.000 sekali menabung. Hari itu, setidaknya 60 petani Gondowangi mendaftar menjadi nasabah Pegadaian.

Tambahan nasabah petani tersebut diharapkan bisa memenuhi target 1 juta nasabah Pegadaian di Jatim pada tahun ini. Saat ini nasabah Pegadaian Jatim 950.000 orang.

Kepala Desa Gondowangi Danis Setya Budi Nugraha mengatakan, "Biasanya saat panen, petani bisa membeli aneka barang yang mungkin tidak dibutuhkan. Hasil kerja keras selama ini bisa habis sesaat untuk kepentingan konsumtif. Dengan diajari menabung seperti ini, petani dan orang-orang desa bisa belajar untuk menabung."

Kerja sama antara Pemerintah Desa Gondowangi dan Pegadaian ini, menurut Danis, hanya langkah awal. Kedua belah pihak sedang menggarap badan usaha milik desa (bumdes) bidang pertanian atau semacam Perum Bulog di desa itu. Bumdes ini akan membeli padi milik petani dengan harga cukup tinggi jika dibandingkan dengan harga beli di pasar dan akan menjualnya kembali untuk memenuhi kebutuhan warga setempat dengan harga lebih murah.

"Bumdes masih akan mendapat untung dari nilai yang didapat dari hasil memangkas peran tengkulak. Hasil memangkas peran tengkulak ini sudah bisa menghidupi bumdes," katanya.

Warga Desa Gondowangi 8.200 jiwa. Sebanyak 380 jiwa di antaranya adalah petani pemilik lahan. Sebanyak 200-an jiwa merupakan petani penggarap sawah. Pertanian di desa tersebut sebagian besar adalah pertanian padi.

Di Jawa Tengah, Bank Jateng menggandeng tenaga penyuluh di sektor pertanian, perikanan dan perkebunan. Tujuannya agar tenaga penyuluh mampu melakukan pendampingan terhadap program penyaluran kredit program Mitra 02 di sejumlah daerah di Jateng. Dengan demikian, target kredit program Mitra 02 sebanyak 10.000 pelaku usaha kecil dapat tercapai.

Direktur Utama Bank Jateng, Supriyatno di Semarang mengatakan, tujuan program kredit dengan bunga 2 persen per tahun ini untuk mengentaskan keluarga miskin. (DIA/WHO)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160720kompas/#/21/

Alokasi Lahan Jangan Hanya Angin Surga

Selasa, 19 Juli 2016

Selasa pekan lalu, Presiden Joko Widodo memanggil tiga menteri ke Istana. Mereka adalah Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Ferry Mursyidan Baldan.

Dalam pertemuan itu, Presiden mengevaluasi proses penyediaan lahan untuk investasi pangan, yang diprioritaskan untuk sektor peternakan sapi, jagung, dan tebu untuk memasok bahan baku gula.

Presiden sadar, tanpa menggenjot investasi, akan sulit meningkatkan produksi ketiga komoditas itu.

Dalam pertemuan Senin (18/7) pagi, Kementerian Pertanian, KLHK, Kementerian ATR, merumus kan komitmen baru. Mereka menyebut pemerintah akan menyediakan 2 juta hektare lahan untuk dapat digarap sebagai lahan pangan.

Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyampaikan penyediaan lahan tersebut diprioritaskan untuk investasi lahan tebu, jagung, dan peternakan sapi. Amran mencontohkan sejumlah perusahaan pabrik gula kekurangan lahan sehingga produksinya tidak optimal. Untuk dapat swasembada gula dibutuhkan tambahan lahan seluas 500.000 ha.

“Khusus gula misalnya ada 380.000 hektare dan 30 perusahaan siap operasi, ada 15 perusahaan sudah investasi bangun pabrik. Potensi ini mesti dimaksimalkan karena mereka sudah investasi,” jelas Amran dalam konferensi pers, Senin (18/7).

Mentan menyebut kurangnya ketersediaan lahan menyebabkan pabrik-pabrik gula tersebut tidak dapat memaksimalkan kapasitas secara penuh.

Dia menyebut pemerintah ingin menekan impor gula seperti impor jagung yang sepanang tahun ini sudah turun hingga 47%

“Potensi ini harus kita optimalkan. Mereka sudah investasi hingga Rp2 triliun—Rp4 triliun. Kapasitasnya 10.000 tcd , tapi bahan baku yang tersedia hanya mampu mencukupi 5.000 tcd, jadi idle capacity,” kata Amran.

Bukan kali ini pemerintah bergerak mencari lahan. Bisnis mencatat setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir pemerintah tertatih-tatih mencari lahan untuk merealisasikan investasi. Tanpa lahan, sulit untuk melepaskan ketergantungan pada impor pangan.

Hal tersebut berujung pada stagnasi pembangunan pabrik gula kristal putih (GKP) atau gula konsumsi. Kita masih tergantung dengan PG BUMN yang berumur sangat tua dan tidak lagi efisien. Pabrik gula baru yang dibangun dalam 10 tahun terakhir bisa dihitung jari.

Sulitnya mendapatkan lahan pun berujung pada pembangunan sebelas pabrik gula rafinasi tanpa kebun. Meski UU Perkebunan mewajibkan kepemilikan kebun 2 tahun setelah memiliki izin usaha, hingga saat ini PG rafinasi masih menggantungkan bahan baku pada 3 juta ton gula mentah (raw sugar) impor per tahun sebagai bahan baku.

Hal yang sama terjadi pada lahan untuk peternakan sapi. Lahan untuk mengembangkan peternakan terbatas, sehingga investor pembibitan ternak dapat dihitung jari. Padahal, Indonesia mengimpor rata-rata 80.000 ton daging dan 600.000 ekor sapi bakalan setiap tahun.

SENTIMEN NEGATIF

Secara tidak langsung, kebijakan impor komoditas pangan menjadi sentimen negatif bagi investor yang hendak masuk ke sektor tersebut. Apalagi, biaya produksi pangan tertentu seperti gula, kedelai, dan daging sapi di dalam negeri masih lebih tinggi dibandingkan dengan impor.

Beruntung, belakangan ada Tim Percepatan Investasi yang dibentuk Kementan. Sejumlah investor baik lokal maupun asing dihimpun, difasilitasi kelancaran perizinannya, dan terus didampingi proses pengurusan lahan. Pemerintah sebelumnya menyerahkan urusan pencarian lahan bulat-bulat pada investor.

Tim tersebut yang saat ini giat menarik investor. Dalam perjalanan, segera aturan soal lahan yang dinilai menghambat investasi pangan disisir. Tercatat sedikitnya tiga beleid terkait lahan sedang diajukan revisi, sehingga proses penjajakan lahan lebih mudah dilakukan.

Pertengahan tahun lalu, Dirjen Perkebunan Kementan Gamal Nasir sempat memiliki target penambahan luas tanam tebu sebanyak 300.000 ha untuk mengejar swasembada gula. Saat itu pemerintah berencana membangun hingga sepuluh pabrik gula baru.

Pada pekan kedua Mei 2015, Gamal menyebut pihaknya telah berulang kali mengadakan rapat intensif dengan KLHK dan Kementerian ATR untuk memetakan lahan-lahan potensial.

“Kami sudah lima kali menggelar rapat intensif dengan BPN dan KLHK,” kata Gamal saat dihubungi Bisnis.

Belum tuntas soal pembahasan lahan tersebut, Desember 2015, pemerintah lalu membentuk Tim Pencadangan Lahan Investasi yang beranggotakan perwakilan dari KLHK, Kementerian Pertanian, dan Kementerian ATR.

Jumat, 18 Desember 2015, Menteri LHK Siti Nurbaya menyebut lahan yang diperlukan untuk investasi tebu, jagung, dan peternakan sapi tersebut yaitu masing-masing 1 juta ha, 600.000 ha, dan 350.000 ha. Total lahan 2 juta ha ini akan menjadi target khusus tim teknis.

“Saya maunya ini berjalan cepat. Setelah ini kami akan komunikasikan ke pemerintah daerah, karena lahan ada di daerah. Kami akam dorong kepala daerahnya karena investasi ini untuk kemajuan ekonomi daerah mereka juga,” kata Siti kala itu.

Konon, selain sejumlah regulasi yang saat ini tengah diajukan revisi, birokrasi di daerah pun menjadi momok utama bagi investor yang ingin menjajaki investasi pangan. Tidak sedikit realisasi investasi stagnan akibat proses di daerah yang rumit.

Pemanggilan yang dilakukan Presiden Joko Widodo pada tiga menteri pekan lalu seharusnya menjadi warning call bagi para menteri teknis. Sudah sangat lama angin surga penyediaan lahan untuk investasi pangan berhembus.

Realisasi investasi pangan pun harus menyentuh segala sisi, mulai dari pendampingan penjajakan lahan bersama investor, penyederhanaan birokrasi, hingga mengajak pemerintah daerah ikut berkomitmen menekan impor komoditas pangan.

Ketercukupan pangan di dalam negeri akan sulit terlepas dari ketergantungan impor selama tidak ada investasi dalam skala besar. Selain ketersediaan lahan bagi para investor, faktor lain seperti pengaturan impor pangan pun ikut mempengaruhi minat investor untuk masuk ke sektor pangan.

http://koran.bisnis.com/read/20160719/244/567098/alokasi-lahan-jangan-hanya-angin-surga

Jumat, 15 Juli 2016

Target Pengadaan Gabah Bulog

Jumat, 15 Juli 2016

Dalam tahun ini, pemerintah menugaskan Perum Bulog menyerap gabah kering panen alias GKP sebanyak 4 juta ton-setara 2 juta ton beras-dengan membeli langsung dari petani. Bulog menargetkan pengadaan untuk public service obligation sebesar 3,2 juta ton setara beras atau 63 persen adalah GKP.

Mampukah Bulog memenuhi target tersebut? Padahal, instrumen kebijakannya tidak berubah, masih bertumpu pada harga pembelian pemerintah, serta infrastruktur Bulog yang minim.

Sampai akhir Juni, Bulog baru mampu menyerap gabah/beras 1,8 juta ton setara beras, mengimpor beras 0,7 juta ton. Pengadaan Bulog dominan berlangsung dalam periode Maret-Juni, yang mengambil pangsa sekitar 70 persen dari total pengadaan tahunan. Pengadaan dalam negeri Bulog bertumpu pada harga pembelian pemerintah (HPP), terakhir ditetapkan pada pertengahan Maret 2015.

Badan Pusat Statistik melaporkan, pada akhir Juni harga gabah/beras di penggilingan padi masing-masing Rp 5.600/kg gabah kering giling (GKG), Rp 8.300/kg (beras medium), dan harga beras eceran termurah mencapai Rp 10.400/kg. Harga gabah tidak turun secara berarti walau pada musim panen raya (Maret-Mei). Sementara HPP sudah sangat rendah: Rp 4.600/kg (GKG), dan Rp 7.300/kg (beras medium).

Saat ini hingga September mendatang tanaman padi sedang memasuki musim panen gadu pertama. Harga gabah akan bergerak naik, seiring berkurangnya produksi serta membaiknya kualitas gabah. Kalau pada musim gadu ini beriklim basah, kemungkinan produksi gabah bisa meningkat, tetapi kualitas gabah dan rendemennya relatif rendah, sehingga harga GKP tertekan, sebaliknya harga beras menjadi lebih tinggi.

Dalam situasi itu, Bulog hampir tidak mungkin mampu menambah sisa target pengadaan mencapai 1,4 juta ton, dan diperkirakan paling realistis hanya bertambah 0,5 juta ton. Kalau itu terjadi, pengadaan Bulog hanya mencapai 2,3 juta ton setara beras, dan tidak cukup untuk kebutuhan program beras untuk rakyat sejahtera (rastra)/beras untuk rakyat miskin (raskin) sebesar 2,8 juta ton.

Artinya, kelebihan penyaluran program rastra 22 persen di atas kemampuan pengadaan dalam negeri, sehingga kekurangan itu harus ditutupi dengan beras impor. Bulog berencana untuk memperbanyak dan memperluas intervensi pasar guna meredam kenaikan harga, terutama pada musim paceklik mulai November mendatang. Itu juga akan menggunakan beras impor.

Daya serap gabah

Salah satu infrastruktur penting yang dimiliki Bulog adalah gudang tempat penyimpanan beras, berkapasitas mendekati 4 juta ton, investasi 1970-an dan 1980-an. Itu terdiri dari gudang Bulog baru (69 persen), gudang Bulog modern (10 persen), sisanya gudang semipermanen, gudang daerah terpencil, dan gudang lama.

Pada awal 2000-an, pemerintah mendanai pembangunan dryers, penggilingan padi (PP), dan silo. Tujuannya agar Bulog tidak terkendala untuk menyerap gabah petani. Maka, dibangunlah 132 unit PP, berskala menengah dengan kapasitas produksi 1,5-3 ton beras per jam, total kapasitas giling 0,5 juta ton GKG per tahun. Namun, PP itu tidak terintegrasi dengan silo yang kapasitasnya 12.000 ton. Pada saat yang sama dibangun pula 123 unit dryers, dengan kapasitas pengeringan 0,25 juta ton GKG per tahun.

Infrastruktur pasca panen yang dibangun tersebut sangat lemah: studi kelayakannya kurang matang, dan kentalnya "intervensi Senayan", terutama dalam pemilihan tempat maupun merek alat/mesin PP atau dryers. Mesin PP digerakkan dengan bahan bakar solar bersubsidi tanpa analisis sensitivitas. Demikian juga penggunaan bahan bakar solar untuk menggerakan dryers, tidak dirancang menggunakan sekam yang berlimpah ketersediaannya. Alhasil, banyak infrastruktur yang telah dibangun tersebut terbengkalai, rusak/tua, tidak ekonomis, atau yang belum optimal pemanfaatannya.

Pada situasi demikian, Bulog "tidak berdaya" menyerap GKP langsung dari petani atau pengadaan GKG. Sekiranya Bulog mampu menyewa dryers untuk mengejar target pengadaan 4 juta ton GKP, Bulog harus menyimpannya dalam bentuk GKG. Gudang Bulog tidak cocok untuk itu, apalagi kalau disimpan bersama beras. Kalau GKG disimpan dalam karung, gabah cepat rusak, paling lama bertahan tiga bulan. Bulog memerlukan beras untuk berbagai keperluan. GKG dari gudang Bulog dibawa dan digiling di PP swasta, kemudian beras diangkut kembali ke gudang, sehingga Bulog harus menanggung empat kali biaya angkut, dan susut tinggi.

Pemerintah seharusnya mempertimbangkan hal-hal seperti berikut. Pertama, pada saat Bulog belum memiliki infrastruktur yang kuat dan memadai jumlahnya (seperti dryers dan silo yang terintegrasi dengan PP modern dalam satu kompleks), dan Bulog sebaiknya "jangan diharuskan" banyak menyerap GKP/ GKG. Kalau dipaksakan, jumlah pengadaan Bulog pasti menurun, kerusakan/pemeliharaan GKG akan tinggi, juga biayanya. Seharusnya pemerintah sudah merealisasikan APBN untuk penguatan infrastruktur pasca panen modern untuk Bulog. Tidak ada jalan pintas lainnya.

Kedua, pemerintah perlu mencari instrumen lain untuk memperbesar pengadaan gabah/beras dalam negeri, tidak hanya mengandalkan instrumen HPP. Salah satu di antaranya adalah menetapkan kewajiban PP besar (melalui peraturan) untuk menyetor 5-10 persen dari total volume giling beras premium ke pemerintah/Bulog untuk memperkuat cadangan beras pemerintah.

Ketiga, rancang agar jumlah penyaluran rastra disesuaikan dengan kemampuan pengadaan dalam negeri Bulog, yaitu tidak lebih dari 2 juta ton per tahun.

M HUSEIN SAWIT

SENIOR POLICY ANALYST PADA CENTER FOR AGRICULTURE AND PEOPLE SUPPORT (CAPS); SALAH SEORANG PENDIRI HOUSE OF RICE

http://print.kompas.com/baca/2016/07/15/Target-Pengadaan-Gabah-Bulog

Kamis, 14 Juli 2016

Ahmad Zakaria, Giat Memproduksi Beras Sigemar

Petani yang membudidayakan padi organik di Indonesia dapat dihitung dengan jari. Berbagai alasan dikemukakan, dari biaya yang lebih mahal hingga hasil panennya yang tidak langsung tinggi.

Lain lagi kisah dari Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Silih Asih, Ahmad Zakaria yang mengembangkan padi organik di lahan pertaniannya di Desa Ciburuy, Kec. Cigombong, Kab. Bogor, Jawa Barat. Produk beras organiknya dinamai Beras Sigemar.

Zakaria mengembangkan padi organik bukan semata-mata berorientasi pada uang melainkan dari segi kesehatan. “Sebagai media kehidupan. Kalau dicemarkan menggunakan bahan kimia, tentu tanah akan menjadi rusak. Ketika berasnya dimakan, tentu akan mengganggu kesehatan. Kalau organik, tidak. Yang ada kita makin sehat,” jelasnya saat ditemui di Bandung.

Keunggulan lain dari padi organik, menurut Zakaria adalah rasanya yang enak. Mengapa demikian? Dia menjelaskan bahwa rasa yang enak ini didapat dari pupuk kandang. “Pupuk kandang itu unsur mikrobanya lengkap. Dapat dikatakan itu sebagai bumbu. Ketika diserap oleh tanaman, beras yang dihasilkan pun menjadi lebih nikmat rasanya. Dan hebatnya lagi, tidak cepat basi ketika sudah ditanak menjadi nasi,” papar Zakaria yang akrab disapa Pak Haji.

Tanah yang tadinya rusak otomatis menjadi sehat kembali karena unsur haranya menjadi tinggi. Mikroorganisme yang membantu pertumbuhan pun berkembang dengan baik. “Saya rasa sekarang yang perlu diterapkan adalah kedaulatan pangan berbasis pertanian organik. Dengan demikian bukan dari segi kuantitasnya yang meningkat, kualitasnya pun turut naik,” tegasnya.

http://tabloidsinartani.com/read-detail/read/ahmad-zakaria-giat-memproduksi-beras-sigemar/

Desa Buker Tak Tersentuh Bantuan Dinas Pertanian Sampang


Wartaagro.com - Menyebut Desa Buker, sebagian besar orang akan bertanya-tanya dimana letak desa tersebut. Namun, jika Adan berkunjung kesana, pasti akan menemukan kedamaian yang tak terhingga.
Desa Buker merupakan salah satu Desa yang terletak di wilayah Kecamatan Jrengik, Kabupaten Sampang, Madura. Jumlah penduduk desa ini kurang lebih 4.395 jiwa. Namun, sebagian penduduk tersebut tercatat merantau ke luar wilayah, bahkan sampai ke luar negeri.
Desa Buker saat ini dipimpin oleh Abdus Sodik, kepala desa yang menjabat sebanyak 2 periode. Wilayah Desa Buker mencakup sejumlah dusun, antara lain Dusun Kapasan, Dusun Palongan, Dusun Buker, Dusun Ratah, Dusun Masaran, Dusun Branjang, Dusun Tarogan, Dusun Galisan. Dusun Bangui, Dusun Bakandang dan Dusun Tanamera.
Potensi yang dimiliki desa ini ialah pertanian. Padi, jagung, ketela, kedelai, kacang tanah, ialah komoditi yang sering ditanam petani di Desa Buker. Irigasi yang kurang memadai, terkadang membuat petani mengeluh karena tidak bisa mengairi sawahnya. Tak pelak, gagal panen seringkali dialami.
Bantuan dari Dinas Pertanian Kabupaten Sampang juga jarang ditujukan ke Desa Buker. Padahal, desa lain di Kabupaten Sampang terus digerojok berbagai macam bantuan, seperti benih, alat mesin pertanian (alsintan), dan bantuan lainnya.
Faktor inilah yang menjadi salah satu kendala pertanian di Desa Buker kurang berkembang. Tenaga ahli di bidang penyuluhan juga jarang menjamah desa ini. Petani masih melakukan sistem tanam secara tradisional, yang mereka dapat dari kebiasaan yang diajarkan orangtuanya dulu.
Petani di Desa Buker ingin protes ke Dinas Pertanian setempat, namun upaya itu dirasa tidak cukup. Karena bagaimanapun, oknum Dinas Pertanian Kabupaten Sampang lebih memilih menyalurkan bantuan kepada wilayah yang memiliki kekerabatan dengan pejabat di Dinas Pertanian.
“Kami berharap bantuan ada di desa kami. Di desa lain sering dapat bantuan, kenapa Desa Buker tidak pernah dapat. Petani disini sangat butuh bantuan teknologi dan juga peralatan,” kata Brodin, salah satu petani di Dusun Tarogan, Desa Buker. (Did)

http://wartaagro.com/berita-desa-buker-tak-tersentuh-bantuan-dinas-pertanian-sampang.html

SWASEMBADA PANGAN: Kurangi Impor, Pemerintah Siapkan Lahan Pertanian

Rabu, 13 Juli 2016

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah tengah berupaya untuk mengurangi impor pangan melalui penyiapan lahan bagi masyarakat untuk sejumlah komoditas.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo membahas masalah pertanian, khususnya ketersediaan lahan untuk kesejahteraan masyarakat.

"Di samping itu, untuk mengurangi impor gula, jagung dan sapi," katanya di Kompleks Istana Negara, Rabu (13/7/2016).

Upaya penyiapan lahan itu, lanjutnya, disebabkan keinginan pemerintah untuk pemenuhan swasembada dalam negeri. Hanya saja memang ada persoalan terkait lahan. Lahan tersebut nantinya dikelola oleh rakyat.

"Kita udah siapin lahannya untuk rakyat dan udah ada skemanya dengan janji bapak Presiden untuk memakmurkan rakyat," katanya.

http://industri.bisnis.com/read/20160713/99/565379/swasembada-pangan-kurangi-impor-pemerintah-siapkan-lahan-pertanian