Selasa, 27 September 2016

Bulog Jateng Surplus Beras

Senin, 26 September 2016


JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Perum Bulog Divre Jateng berhasil mengalami surplus beras di wilayahnya yang relatif tinggi. Bahkan, dari sisi ketahanan stok masih sampai pertengahan tahun 2017 mendatang.

Kepala Perum Bulog Divre Jateng, Usep Karyana mengatakan, saat bulan September ini tingkat penyerapan beras sudah mencapai 97% dari target yang dipatok hingga akhir tahun 2016 ini. Jumlah tersebut dipastikan akan terus bertambah seiring terjadinya panen raya di sejumlah daerah yang masih berlangsung.

“Daerah-daerah yang saat ini masih terjadi panen raya diantaranya Cilacap (9.500 ha), Kebumen (14.350 ha), Purworejo (6.200 ha), Pekalongan (9.500 ha), Kabupaten Tegal (7.300 ha). Sedangkan daerah lainnya hanya di bawah 4.000 ha dengan masing-masing serapan per hektarnya mencapai 6 ton,” katanya, kemarin.

Diakuinya, tidak semua hasil panen dari para petani bisa terserap secara keseluruhan oleh Bulog. Namun demikian, pihaknya berharap, penyerapan sampai dengan akhir September 2016 bisa sampai 100%, atau sekitar 505.000 ton beras atau setara dengan 1 juta ton gabah kering.

“Meski saat ini Jateng surplus beras, kami tetap mewaspadi terjadinya cuaca ekstrem yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini, dengan adanya hujan deras disertai angin yang bisa mengakibatkan gagal panen lantaran lahan pertanian kebanjiran,” ujarnya.

Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, lanjutnya, Bulog Jateng pun masih terus melakukan serapan di beberapa daerah yang terjadi panen raya, sekaligus untuk mengamankan stok beras. Adapun dengan stok beras yang saat ini melimpah di Jateng, pihaknya juga akan terus melakukan pengiriman beras ke beberapa daerah di luar Jateng.

“Saat ini kami sudah kirim beras ke Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Riau, Aceh dan Sumatra Utara hingga 20.000 ton lebih. Target kami bisa kirim hingga 80.000 ton ke luar daerah,” terangnya.

Menurutnya, dengan pengiriman beras ke luar Jateng tersebut diharapkan bisa memberikan kontribusi terhadap upaya stabilisasi harga dan juga stok beras di daerah lain. Oleh karena itu, Bulog Jateng juga terus berupaya untuk menggenjot pengadaan agar Bulog Jateng bisa terus membantu daerah lain yang kekurangan.

“Untuk Jateng sendiri stok dipastikan aman sampai Mei 2017,” ungkapnya. (aln/ebe)

http://jatengpos.co.id/bulog-jateng-surplus-beras/

LUTHFI NASDEM: PROGRAM SERGAP BULOG BIKIN PETANI TAMBAH SUSAH

Senin, 26 September 2016

RMOL. Program Serap Gabah (Sergap) Petani yang dijalankan oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) setahun belakangan ini ternyata tidak seperti yang diharapkan. Alih-alih membuat sejahtera, program tersebut malah membuat para petani pusing.
Hal ini seperti yang dituturkan oleh Anggota Komisi II DPR RI, Luthfi A Mutty saat kunjungan kerjanya di daerah pemilihannya di Sulawesi Selatan beberapa waktu yang lalu. Menurutnya petani kelabakan menjual gabah basah dan kering karena harga yang ditentukan oleh Bulog sangat murah.

Pemerintah sendiri saat ini mematok harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani Rp 3.700/kg, dan GKP di tingkat penggilingan di harga Rp 3.750/kg. Sedang Gabah Kering Giling (GKG) di tingkat penggilingan dihargai Rp 4.600/kg. Harga tersebut, menurut aduan yang Luthfi dapat, masih terlalu rendah dari harga yang ditawarkan oleh penggiling lain dari luar kota. Hal itu membuat pabrik giling lebih memilih menutup pabriknya dan berhenti berproduksi.

"Pabrik giling kebingungan terutama di wilayah-wilayah penghasil beras seperti Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Sidrap dan Pinrang," terang Luthfi.

Program Sergap dibuat untuk mengendalikan harga beras di pasaran. Petani dan pabrik giling diwajibkan untuk menjual gabah mereka kepada otoritas yang mengurusi arus stok pangan Bulog. Program ini serentak dilaksanakan di seluruh wilayah dengan pendampingan ketat dari Kodim, Koramil, dan Babinsa setempat. Entah apa tujuannya, namun menurut mantan Staf Khusus Wakil Presiden itu, keterlibatan komponen TNI di desa itu terkesan represif.

"Gabah diawasi kegiatannya oleh petugas berseragam, apakah para petani kita sudah hidup seperti zaman kolonial Belanda lagi Opu?" begitu politisi Nasdem itu menirukan aduan masyarakat.

Sejak diluncurkan awal tahun ini, Sergap kerap menimbulkan gejolak antara petani dan pabrik penggilingan gabah dengan Bulog. Harga gabah yang anjlok membuat petani tidak bisa menikmati harga yang bagus.

Di awal peluncurannya, program itu sudah banyak mendapatkan penentangan. Di bulan April misalnya, petani dan para pemilik berdemo ke DPRD Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan karena disparitas harga gabah yang begitu jauh.

"Bahwa pemeritah perlu mengamankan stok pangan nasional, memang iya. Tapi kalau terus-terusan seperti ini, maka yang kasian petani. Mereka tidak pernah bisa menikmati harga yang bagus," tukas Luthfi dalam rilis Fraksi Nasdem. [rus]

Senin, 26 September 2016

Dirut Bulog Terancam Tersangka Gula Impor

Minggu, 25 September 2016

JAKARTA (HN) - Dirut Bulog dianggap bisa menjadi tersangka kasus suap penambahan kuota gula impor di Sumatera Barat yang menjerat mantan Ketua DPD Irman Gusman. KPK memiiki percakapan antara Irman dan Dirut Bulog lewat saluran telepon.

"Tersangka ditetapkan kalau ada bukti yang cukup untuk menunjukkan keterkaitan dan peran seseorang pada kasus itu," kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati kepada HARIAN NASIONAL di Jakarta, Minggu (25/9).

Dia menerangkan, sampai saat ini belum ada jadwal pemeriksaan KPK terhadap pimpinan Bulog. "Belum ada info jadwal riksanya," ujar Yuyuk.

Hingga kini, KPK telah menetapkan tiga orang tersangka kasus dugaan suap rekomendasi penambahan kuota impor gula wilayah Sumatera Barat tahun 2016 yang diberikan Bulog kepada CV Semesta Berjaya. Ketiga tersangka itu Irman Gusman, Direktur Utama CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto, dan istrinya Memi‎.

Irman diduga menerima suap Rp 100 juta dari Xaveriandy dan Memi sebagai hadiah atas rekomendasi penambahan kuota impor gula untuk CV Semesta Berjaya tersebut.

Irman dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b dan atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sementara Xaveriandy dan Memi sebagai pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarief juga mengatakan, sampai saat ini belum ada perkembangan terkait kasus Irman Gusman. "Belum ada perkembangan, soalnya penyelidik, penyidik, dan penuntut kami ada internal training di Bogor dan Bandung," ujarnya.

Rabu, 07 September 2016

Petani Tolak Rencana Impor Gula Mentah

Rabu,7 September 2016

MALANG, KOMPAS — Rencana Perum Bulog mengimpor 260.000 ton gula mentah (raw sugar) untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mulai September ini ditentang Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia. Impor itu dinilai akan mematikan petani tebu dalam negeri.

"Kami menolak apa pun bentuk impor gula karena saat ini petani tebu di Indonesia sedang panen. Untuk apa Perum Bulog impor gula 260.000 ton? Jika tujuannya untuk konsumen, pemerintah harus adil. Kelangsungan usaha petani juga harus dijaga," ujar Ketua Dewan Pembina APTRI Arum Sabil, Selasa (6/9).

Menurut Arum, rencana impor gula mentah tidak beralasan karena kebutuhan rumah tangga di Tanah Air telah mencukupi. Saat ini luas area tanam tebu di Indonesia mencapai 475.000 hektar dengan produksi 2,5 juta ton gula per tahun. Adapun kebutuhan gula 4,8-5 juta ton per tahun. Separuh di antaranya merupakan kebutuhan rumah tangga, sedangkan lainnya untuk industri makanan dan minuman.

"Dengan angka hitungan kebutuhan gula per kapita mencapai 19 kilogram kali jumlah penduduk Indonesia 255 juta jiwa, maka kebutuhan gula rumah tangga hanya 2,5 juta. Ini sebenarnya tercukupi oleh produksi dalam negeri," katanya.

Untuk industri makanan dan minuman, menurut Arum, ada kebijakan pemerintah mengenai pengolahan gula rafinasi oleh 11 pabrik gula dengan kapasitas terpasang 5 juta ton. Mengacu pada tahun 2015, ada impor 3,5 juta ton gula rafinasi. Sebanyak 2,5 juta ton di antaranya masuk ke pabrik dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan industri makanan dan minuman.

Di sisi lain, kegiatan impor gula tidak beralasan karena saat ini konsumen rumah tangga bisa mendapatkan gula dengan harga wajar. Bahkan, ada kecenderungan harga gula terus turun di bawah Rp 11.000 per kilogram. Selisihnya kecil sekali dengan biaya produksi yang harus ditanggung petani. "Biaya produksi saat ini ada yang di atas Rp 10.000 per kilogram. Selisihnya tidak banyak," katanya.

content


Saat ini, berdasarkan catatan APTRI, ada 1,3 juta petani tebu di Indonesia. Kondisi mereka kurang menguntungkan akibat frekuensi hujan tinggi. Kualitas tebu berkurang sehingga kandungan gula di dalamnya pun rendah. Rendemen gula sulit mencapai 7 persen. Di sisi lain, biaya produksi tinggi.

Pengaruh cuaca dirasakan oleh para petani tebu di Kabupaten Malang. Sudarsono, petani tebu di Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, mengatakan, curah hujan yang tinggi tahun ini berpengaruh terhadap rendemen. Meski begitu, pihaknya berharap rendemen tebu yang ada di pegunungan wilayah selatan Malang bisa lebih bagus dibandingkan dengan daerah lain yang posisinya lebih rendah.

"Saya belum tahu berapa rendemen tebu di sini. Namun, dari dua lahan milik saya yang lokasinya berbeda, biasanya rendemennya juga berbeda. Tahun lalu ada yang mencapai 10-11 persen. Untuk tahun ini saya belum tahu," ujar Sudarsono yang memiliki lahan tebu seluas 10 hektar. (WER)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160907kompas/#/20/

Petani Tak Menikmati Harga

Rabu,7 September 2016

Harga Bawang Mahal karena Panjangnya Mata Rantai Distribusi

BREBES, KOMPAS — Karut-marut masalah bawang merah yang berimbas pada melonjaknya harga jual di tingkat konsumen semata-mata bukan karena persoalan produksi. Itu karena tidak ada perlindungan serius sejak proses produksi hingga mata rantai distribusi.

Akibatnya, petani tidak pernah menikmati kenaikan harga. Seluruh keuntungan itu justru dirasakan oleh para pelaku di rantai pasok distribusi.

Ibarat jatuh tertimpa tangga. Para petani, selain terganjal oleh kemarau basah, juga mahalnya bibit bawang merah. Hal ini mengakibatkan luasan tanam menurun. Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Kabupaten Brebes Budiharso, Selasa (6/9), mengungkapkan, ada penurunan luasan lahan tanaman bawang merah, tetapi hanya sekitar 5 persen.

Menurut data, ada penurunan sekitar 100 hektar dari total luas tanam bawang merah yang mencapai 25.000 hektar per tahun. Penurunan tak terlalu berpengaruh karena masih ada panen di wilayah Brebes, yakni di Kecamatan Brebes, Jatibarang, Songgom, dan Wanasari.

Jadi, tingginya harga bawang merah bukan karena faktor produksi, kata Budiharso, melainkan ada masalah di rantai distribusi. Faktanya, sejak awal tahun hingga sekarang, harga bawang merah tidak pernah rendah. Padahal, produksi bawang merah jalan terus dan tidak ada yang puso.

Mata rantai

Persoalan pada sistem distribusi juga diakui oleh Ketua Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI) Juwari. Saat ini, harga bawang merah di tingkat petani di Brebes Rp 25.000 per kilogram (kg). Namun, harga di tingkat pengecer mencapai Rp 40.000 per kg.

Hal ini karena rantai perdagangan bawang merah berlapis-lapis. Mata rantai itu mulai dari calo penebas, pedagang penebas (pedagang yang membeli bawang merah dengan sistem borongan di sawah), pedagang pengirim ke pasar induk, pedagang pemilik gudang di pasar induk, pedagang grosir, hingga pedagang eceran.

Keuntungan terbesar biasanya dinikmati oleh pedagang eceran yang langsung menjual ke konsumen. Bahkan, ABMI pernah menemukan pedagang eceran mengambil untung hingga Rp 10.000 per kg. "Kulakan di Pasar Cibitung di Bekasi Rp 31.000 per kg dan menjualnya secara eceran Rp 48.000 per kg," kata Juwari.

Sayangnya, hingga saat ini, belum ada aturan dari pemerintah yang membatasi besaran keuntungan yang boleh diambil oleh pedagang. Terlebih bawang merah merupakan komoditas yang bebas dijual di pasar.

Persoalan tata niaga bawang merah juga dikeluhkan petani di Kabupaten Demak. Penelusuran Kompas di sentra bawang merah di Desa Pasir, Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak, harga bawang merah di tingkat petani Rp 15.000-Rp 17.000 per kg. Namun, ketika sampai di sejumlah pasar tradisional di Semarang menjadi Rp 35.000 per kg.

Empat lapis

Menurut Sekretaris Kelompok Tani Sido Maju Desa Pasir, Demak, Abdul Wakhid, rantai perdagangan bawang merah mulai dari petani hingga pasar bisa mencapai empat lapis. Kebanyakan petani menjual bawang merah ke tengkulak. Setelah itu dijual lagi ke agen besar. Petani sulit menjual hasil panen langsung ke pasar karena banyak yang terjebak utang kepada tengkulak.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Demak Wibowo mengungkapkan, produksi bawang merah di Demak rata-rata 23.000 ton per tahun. Ia mengungkapkan, tata niaga bawang merah terlalu panjang karena dikuasai mekanisme pasar.

Namun, Juwari buru-buru mengatakan, harga bawang merah di tingkat petani saat ini masih wajar. Sebab, titik impas produksi Rp 16.000-17.000 per kg. Dengan harga Rp 20.000-Rp 25.000 di tingkat petani, petani masih bisa menikmati untung.

Juwari memperkirakan harga bawang masih tinggi seiring dengan tingginya permintaan bawang merah jelang Idul Adha. Diperkirakan sampai September ini harga bawang merah sekitar Rp 28.000 per kg di tingkat petani. Sementara di tingkat pedagang bisa mencapai Rp 45.000 per kg.

Panen buruk

Ketua Asosiasi Petani Bawang Merah Jawa Timur Akad menilai wajar jika saat ini harga bawang merah mahal. Panen yang buruk mengakibatkan produksi bawang merah berkurang sehingga pengadaan benih juga berkurang. Kondisi ini memicu kenaikan harga benih yang terbatas.

Penurunan produktivitas juga dikeluhkan oleh petani di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Produktivitas mereka turun hingga 50 persen. Menurut Dodo (54), petani di Desa Panembong, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, penurunan produktivitas tanaman bawang merah karena cuaca.

Dari lahan seluas 1.400 meter persegi, produksi yang dipanen hanya 1,5 ton. Padahal jika kondisi cuaca normal, bisa mencapai 4 ton bawang merah.

Di tengah penurunan produktivitas, petani harus memikul beban mahalnya biaya sarana produksi pertanian. Harga pupuk, pestisida, dan upah tenaga kerja naik. Kenaikan harga bawang merah di tingkat petani mencapai Rp 22.000-Rp 24.000 per kg, tetapi tetap saja petani tidak pernah menikmatinya.

Kondisi cuaca yang tidak mendukung juga dirasakan petani bawang merah di Nganjuk, Jawa Timur. Faktor cuaca menyebabkan produktivitas turun hingga 50 persen. Harga benih juga mencapai Rp 70.000 per kg.

Mulyono (35), petani di Dusun Bagor Wetan, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk mengatakan, dari lahan 0,25 hektar, hanya mendapatkan hasil panen 2 ton. Biasanya ia bisa memanen hingga 4 ton. Petani tidak menikmati harga meski di tingkat konsumen harganya mencapai Rp 27.000 per kg.

(WIE/GRE/TAM/DEN)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160907kompas/#/20/