Senin, 19 Desember 2016
JOGJA - Posisi Indonesia sebagai negeri di lintasan garis khatulistiwa yang cocok untuk pertanian ternyata tak termanfaatkan secara baik. Bahkan hingga 71 tahun Merdeka, Indonesia sebagai negeri agraris justru mengimpor pangan dari negara lain.
Menurut Presiden Patriot Pangan Ir. Bugiakso, selama ini pemerintah mengimpor pangan dengan dalih efisiensi. Padahal, katanya, impor pangan justru menciptakan ketergantungan yang berbahaya bagi kedaulatan nasional.
"Atas nama efisiensi, Indonesia kemudian terjebak, lalu hancur, dan belum sanggup lagi keluar dari jebakan perdagangan dan politik pangan dunia. Ini menjadi ironi Indonesia sebagai negeri agraris," katanya dalam acara peresmian Perkumpulan Patriot Pangan di Yogyakarta, Senin (19/12).
Bugiakso menambahkan, Indonesia seharusnya mengutamakan kedaulatan pangan. “Kedaulatan pangan itulah yang belum juga terwujud setelah 70 tahun lebih Indonesia merdeka," tegasnya.
Untuk itu Bugiakso menyinggung tengang “semangat berdaulat” yang digaungkan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Dia menuturkan, Jenderal Sudirman saat menyampaikan lima pesan penting saat menghadapi agresi militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948.
Pesan pertama adalah jangan pernah menyerah. Dan demi mewujudkan kedaulatan pangan nusantara, kata dia, tidak boleh ada kata menyerah.
"Kembali bertani, kembali bercocok tanam dan memanen, bukan menjadi kuli dan membeli," ujarnya.
Pesan kedua adalah merebut dan mempertahankan sumber daya yang dikuasai lawan. Lahan-lahan yang menganggur mestinya bisa dimanfaatkan.
Sedangkan sumber daya air yang kini didikuasai korporasi dan dikomersiialkan harus direbut demi kepentingan rakyat banyak. "Karena tanah dan air adalah kunci kedaulatan pangan, tanpa keduanya jangan bermimpi kita bisa mewujudkan kedaulatan pangan," ujarnya.
Pesan ketiga adalah jangan sekali-kali menunggu dan meminta bantuan asing. Pesan keempat Jenderal Sudirman adalah agar Indonesia bisa percaya pada kekuatan sendiri untuk mewujudkan agenda kedaulatan pangan.
Sedangkan pesan terakhir harus tetap disiplin. “Tanpa disiplin, bangsa ini bakal mudah terseok dan mudah terjebak pada tujuan sesaat,” ucap Bugiakso.(jpg/ara/jpnn)
http://www.jpnn.com/read/2016/12/19/488308/Ingat-Ada-Pesan-Jenderal-Sudirman-untuk-Wujudkan-Kedaulatan-Pangan-
Selasa, 20 Desember 2016
Senin, 14 November 2016
Kekuasaan Tanpa Kuasa
Minggu, 13 November 2016
Pernahkan membayangkan tingkat inflasi satu negara mencapai 650%? Itulah yang terjadi pada waktu Pejabat Presiden Soeharto menerima estafet pemerintahan dari Presiden Soekarno, tanggal 12 Maret 1967. Sebagai gambaran betapa hancur perekonomian pada waktu itu dengan parameter inflasi sebesar itu---sekarang ini---jika inflasi mencapai dua digit (di atas 9%), seluruh indikator ekonomi meliputi sektor fiskal dan moneter mengalami defisit yang berimbas dengan kanaikkan harga barang dan jasa, dan rakyat banyak yang menanggung akibatnya. Jadi, dapat dibayangkan betapa hancur perekonomian suatu negara dengan tingkat inflasi 650%. Sebagai Pejabat Presiden yang berlatar belakang militer, Pak Harto meminta bantuan dari ekonom terbaik di Indonesia untuk memperbaiki sistem ekonomi yang sudah sangat rusak, termasuk kepada begawan ekonomi Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo yang ditetapkan sebagai Menteri Perdagangan. Hukum batu terbentuknya harga adalah equilibrium antara permintaan dan penawaran. Pemerintah tidak akan dapat mengintervensi harga jika tidak memiliki barang (penawaran). Pada waktu itu, beberapa pedagang besar non pri menguasai komoditi (barang) hingga mereka dapat menentukan harga semaunya. Bagaimana agar pemerintah dapat menguasai atau memiliki stok komoditi kebutuhan pokok untuk rakyat? Pak Harto membentuk Badan Urusan Logistik (Bulog) dengan tugas menguasai atau memiliki barang kebutuhan pokok rakyat, sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 bahwa yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Setelah Bulog memiliki stok komoditi kebutuhan rakyat, maka harga dapat dikendalikan oleh pemerintah---dapat diintervensi oleh pemerintah. Harga barang mulai turun, inflasi terkendali---dalam waktu tiga tahun inflasi dapat dijinakan pada kisaran 10%. Keberhasilan Prof. Dr. Sumitro menjinakkan inflasi di Indonesia menjadikan beliau sebagai ekonom terbaik di dunia pada waktu itu. Sebagai ekonom terbaik di dunia, sepatutnya Prof. Dr. Sumitro dianugerahi hadiah Nobel. Pada awal pembentukannya, Bulog adalah suatu badan yang pimpinannya setingkat dengan menteri---bahkan beberapa kali jabatan Kepala Bulog dirangkap oleh Menteri Koperasi. Kini Bulog hanya sebagai perusahaan umum dengan kewenangan sangat terbatas dan tunduk pada undang-undang perseroan. Karena penkerdilan itu, maka Bulog sekarang tidak lagi dapat menyanggah atau menstabilkan harga kebutuhan pokok, terlebih kini kita menganut pasar bebas---pemodal besar menggilas pedagang kecil. Di tengah gejolak harga yang memberatkan rakyat, pemerintah tidak dapat ikut campur tangan atau mengintervensi harga. Kwik Kian Gie menyebut sistem ekonomi pasar bebas sekarang ini ibarat mengadu Macan dengan Kucing dalam satu kandang. Dengan sistem ekonomi sekarang ini, jangan harap pemerintah dapat mengendalikan harga komoditi kebutuhan pokok rakyat. Gejolak kenaikan harga kebutuhan pokok tidak dapat diintervensi oleh pemerintah, seperti kenaikan harga daging, gula, beras, minyak goreng, dan lain sebagainya. Tragis, pemerintah menjadi penonton saat rakyat dibombardir oleh kenaikan harga kebutuhan pokok yang dikendalikan oleh segelintir orang---tidak bisa lakukan apa-apa, hanya bikin jargon, slogan dan janji kosong. ()
Noor Johan
http://www.kompasiana.com/noo46/kekuasaan-tanpa-kuasa_5827bf62737a61300e0ab807
Pernahkan membayangkan tingkat inflasi satu negara mencapai 650%? Itulah yang terjadi pada waktu Pejabat Presiden Soeharto menerima estafet pemerintahan dari Presiden Soekarno, tanggal 12 Maret 1967. Sebagai gambaran betapa hancur perekonomian pada waktu itu dengan parameter inflasi sebesar itu---sekarang ini---jika inflasi mencapai dua digit (di atas 9%), seluruh indikator ekonomi meliputi sektor fiskal dan moneter mengalami defisit yang berimbas dengan kanaikkan harga barang dan jasa, dan rakyat banyak yang menanggung akibatnya. Jadi, dapat dibayangkan betapa hancur perekonomian suatu negara dengan tingkat inflasi 650%. Sebagai Pejabat Presiden yang berlatar belakang militer, Pak Harto meminta bantuan dari ekonom terbaik di Indonesia untuk memperbaiki sistem ekonomi yang sudah sangat rusak, termasuk kepada begawan ekonomi Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo yang ditetapkan sebagai Menteri Perdagangan. Hukum batu terbentuknya harga adalah equilibrium antara permintaan dan penawaran. Pemerintah tidak akan dapat mengintervensi harga jika tidak memiliki barang (penawaran). Pada waktu itu, beberapa pedagang besar non pri menguasai komoditi (barang) hingga mereka dapat menentukan harga semaunya. Bagaimana agar pemerintah dapat menguasai atau memiliki stok komoditi kebutuhan pokok untuk rakyat? Pak Harto membentuk Badan Urusan Logistik (Bulog) dengan tugas menguasai atau memiliki barang kebutuhan pokok rakyat, sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 bahwa yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Setelah Bulog memiliki stok komoditi kebutuhan rakyat, maka harga dapat dikendalikan oleh pemerintah---dapat diintervensi oleh pemerintah. Harga barang mulai turun, inflasi terkendali---dalam waktu tiga tahun inflasi dapat dijinakan pada kisaran 10%. Keberhasilan Prof. Dr. Sumitro menjinakkan inflasi di Indonesia menjadikan beliau sebagai ekonom terbaik di dunia pada waktu itu. Sebagai ekonom terbaik di dunia, sepatutnya Prof. Dr. Sumitro dianugerahi hadiah Nobel. Pada awal pembentukannya, Bulog adalah suatu badan yang pimpinannya setingkat dengan menteri---bahkan beberapa kali jabatan Kepala Bulog dirangkap oleh Menteri Koperasi. Kini Bulog hanya sebagai perusahaan umum dengan kewenangan sangat terbatas dan tunduk pada undang-undang perseroan. Karena penkerdilan itu, maka Bulog sekarang tidak lagi dapat menyanggah atau menstabilkan harga kebutuhan pokok, terlebih kini kita menganut pasar bebas---pemodal besar menggilas pedagang kecil. Di tengah gejolak harga yang memberatkan rakyat, pemerintah tidak dapat ikut campur tangan atau mengintervensi harga. Kwik Kian Gie menyebut sistem ekonomi pasar bebas sekarang ini ibarat mengadu Macan dengan Kucing dalam satu kandang. Dengan sistem ekonomi sekarang ini, jangan harap pemerintah dapat mengendalikan harga komoditi kebutuhan pokok rakyat. Gejolak kenaikan harga kebutuhan pokok tidak dapat diintervensi oleh pemerintah, seperti kenaikan harga daging, gula, beras, minyak goreng, dan lain sebagainya. Tragis, pemerintah menjadi penonton saat rakyat dibombardir oleh kenaikan harga kebutuhan pokok yang dikendalikan oleh segelintir orang---tidak bisa lakukan apa-apa, hanya bikin jargon, slogan dan janji kosong. ()
Noor Johan
http://www.kompasiana.com/noo46/kekuasaan-tanpa-kuasa_5827bf62737a61300e0ab807
Kebijakan Perberasan Tanpa Raskin
Senin,14 November 2016
Pemerintah sedang menguji coba perubahan program beras untuk rakyat miskin ke voucer pangan. Dorongan perubahan raskin tidak lepas dari saran Komisi Pemberantasan Korupsi dua tahun lalu, yang menyarankan agar pemerintah menata ulang program raskin. Maksudnya agar tercegah ”potensi korupsi” dalam implementasinya.
Denni P Purbasari, Deputi III Kepala Staf Kepresidenan, menulis tentang reformasi beras untuk rakyat miskin (raskin) di Kompas (11/10). Walau program raskin dihapus, ia menyebutkan bahwa fungsi Bulog tidak hilang. Bulog tetap dipercaya untuk menjaga harga produsen, stabilisasi harga beras, danstok beras nasional. Sayangnya, iatidak mengelaborasi lebih lanjut tentang hal itu.
Kemudian, Sapuan Gafar (Kompas,4/11) menilai pemahaman Denni tentang program raskin sempit. Seharusnya program raskin dilihat dalam keterkaitannya dengan kebijakan perberasan yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Kalau Bulog hanya ditugasi melaksanakan pengadaan untuk menjaga harga produsen, tanpa penyalurannya dalam jumlah yang memadai—salah satu yang terpenting adalah raskin—Bulog akan bangkrut, implementasi kebijakan beras bisa buyar. Saya mencoba menengahi pandangan kedua ahli tersebut dengan menganalisis tugas penyaluran publik beras Bulog.
Kebijakan beras
Kebijakan beras pemerintah bertumpu pada instruksi presiden yang dirancang 15 tahun lalu, sebagai respons atas liberalisasi radikal yang dipaksakan oleh lembaga donor periode 1998-2000.Hampir semua instrumen kebijakan beras dicabut, Bulog diamputasi. Dampaknya, impor beras tidak terkendali, harga beras tertekan rendah, harga gabah menjadi tidak menarik buat petani yang berdampak serius dalam mewujudkan stabilitas harga dan meningkatkan pendapatan petani padi.
Menghadapi masalah tersebut, pada tahun 2001, Bappenas membentuk tim kajian kebijakan perberasan nasional dengan anggota dari unsur pemerintah, perguruan tinggi, lembaga riset, dan lembaga swadaya masyarakat. Tim mampu mereformulasi kebijakan beras dan memformulasi paket kebijakan beras yang terintegrasi dari hulu hingga hilir.
Konsep itulah yang dijadikan sebagai pedoman dalam penyusunan inpres tentang kebijakan perberasan nasional pada era pemerintahan reformasi, yang dimulai dengan Inpres No 9 Tahun 2002 (berlaku 1 Januari 2002), dan terakhir Inpres No 5 Tahun 2015 tentang kebijakan pengadaan gabah/beras dan penyaluran beras oleh pemerintah, sebagai bagian dari kebijakan perberasan nasional.
Cadangan beras
Walaupun kebijakan perberasan dirancang komprehensif, dalam pelaksanaannya hampir seluruh sumber daya diarahkan ke usaha tani, minim untuk memperkuat industri beras, yang telah berdampak pada lemahnya daya saing beras, dominan beras kualitas rendah, dan harga beras tinggi.
Pada tahun 2005, pemerintah memutuskan memiliki cadangan beras pemerintah (CBP), dimulai dengan besaran 350.000 ton. Bulog diminta mengelolanya untuk keperluan darurat, stabilisasi harga, dan bantuan pangan internasional. Pada rancangan awal, seperti yang disarankan oleh perancangnya tim Universitas Gadjah Mada (UGM), volume CBP bertahap diperbesar akan mencapai 1,25 juta ton pada 2008.
Namun, realisasinya jauh lebih rendah, hanya sekitar 350.000 ton per tahun, sebagian besar untuk intervensi pasar. Pada 2015, misalnya, jumlah CBP 353.000 ton yang dimanfaatkan untuk operasi pasar/pasar murah sekitar 60 persen, hanya 2 persen untuk bantuan korban bencana, selebihnya disimpan menjadi stok akhir. Pemerintah tidak pernah menggunakan CBP untuk bantuan internasional karena terhambat kualitas beras CBP rendah, sama dengan kualitas beras program raskin.
Pemerintah malahan memperbesar penyaluran raskin, sejak 2008 meningkat sangat pesat. Dalam periode 2011-2015, misalnya, rata-rata penyaluran raskin 3,3 juta ton per tahun, sedangkan pengadaan dalam negeri lebih rendah hanya 2,6 juta ton per tahun, membuat perangkap impor. Penyaluran raskin digandakan pada bulan-bulan instabilitas harga tinggi, mencapai 400-500 ton per bulan, lebih besar dari volume CBP tahunan. Tahun ini ditargetkan raskin sedikit menurun menjadi 2,8 juta ton, masih terlalu tinggi.
Manakala raskin dihapus atau dikurangi dengan signifikan, peran CBP perlu dioptimalkan. CBP haruslah ditingkatkan, baik volume maupun kualitas berasnya sehingga lebih efektif dalam mengendalikan inflasi, bisa tampil dalam bantuan pangan internasional, dan akan dapat mengatasi kebuntuan peningkatan kualitas beras serta tercipta insentif ekonomi buat penggilingan padi kecil/sederhana untuk memperbaiki alat/mesin.
Pada saat kita berhasil mencapai surplus produksi beras, maka penyerapan gabah/beras untuk CBP dapat membantu atasi harga gabah agar tidak tertekan.Oleh karena itu, peran CBP dapat juga dipakai sebagai instrumen untuk melindungi produsen.
Empat langkah
Dalam kaitan dengan itu disarankan: pertama, pemerintah perlu menata ulang kebijakan perberasan nasional yang mampu memperkuat daya saing industri beras. Kedua, volume raskin perlu dikurangi atau cukup 0,5 juta ton, diprioritaskan disalurkan pada wilayah terpencil di mana harga beras biasanya sangat tinggi.
Ketiga, volume CBP perlu ditingkatkan menjadi 1,3 juta ton setara 15 hari kebutuhan beras nasional. Kualitas beras untuk CBP haruslah beras kualitas premium agar lebih efektif dalam operasi pasar serta bantuan internasional. Pemanfaatan CBP diperluas, misalnya program food for work pada musim kemarau/paceklik, termasuk ekspor apabila stok akhir tinggi.
Keempat, dukungan harga atau harga pembelian pemerintah haruslah diubah dari satu kualitas beras (medium) menjadi dua macam kualitas medium dan premium.
M HUSEIN SAWIT, SENIOR ADVISOR PERUM BULOG 2003-2010; TIM AHLI KEPALA BULOG 1996-2002; PENDIRI HOUSE OF RICE
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/161114kompas/#/7/
Pemerintah sedang menguji coba perubahan program beras untuk rakyat miskin ke voucer pangan. Dorongan perubahan raskin tidak lepas dari saran Komisi Pemberantasan Korupsi dua tahun lalu, yang menyarankan agar pemerintah menata ulang program raskin. Maksudnya agar tercegah ”potensi korupsi” dalam implementasinya.
Denni P Purbasari, Deputi III Kepala Staf Kepresidenan, menulis tentang reformasi beras untuk rakyat miskin (raskin) di Kompas (11/10). Walau program raskin dihapus, ia menyebutkan bahwa fungsi Bulog tidak hilang. Bulog tetap dipercaya untuk menjaga harga produsen, stabilisasi harga beras, danstok beras nasional. Sayangnya, iatidak mengelaborasi lebih lanjut tentang hal itu.
Kemudian, Sapuan Gafar (Kompas,4/11) menilai pemahaman Denni tentang program raskin sempit. Seharusnya program raskin dilihat dalam keterkaitannya dengan kebijakan perberasan yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Kalau Bulog hanya ditugasi melaksanakan pengadaan untuk menjaga harga produsen, tanpa penyalurannya dalam jumlah yang memadai—salah satu yang terpenting adalah raskin—Bulog akan bangkrut, implementasi kebijakan beras bisa buyar. Saya mencoba menengahi pandangan kedua ahli tersebut dengan menganalisis tugas penyaluran publik beras Bulog.
Kebijakan beras
Kebijakan beras pemerintah bertumpu pada instruksi presiden yang dirancang 15 tahun lalu, sebagai respons atas liberalisasi radikal yang dipaksakan oleh lembaga donor periode 1998-2000.Hampir semua instrumen kebijakan beras dicabut, Bulog diamputasi. Dampaknya, impor beras tidak terkendali, harga beras tertekan rendah, harga gabah menjadi tidak menarik buat petani yang berdampak serius dalam mewujudkan stabilitas harga dan meningkatkan pendapatan petani padi.
Menghadapi masalah tersebut, pada tahun 2001, Bappenas membentuk tim kajian kebijakan perberasan nasional dengan anggota dari unsur pemerintah, perguruan tinggi, lembaga riset, dan lembaga swadaya masyarakat. Tim mampu mereformulasi kebijakan beras dan memformulasi paket kebijakan beras yang terintegrasi dari hulu hingga hilir.
Konsep itulah yang dijadikan sebagai pedoman dalam penyusunan inpres tentang kebijakan perberasan nasional pada era pemerintahan reformasi, yang dimulai dengan Inpres No 9 Tahun 2002 (berlaku 1 Januari 2002), dan terakhir Inpres No 5 Tahun 2015 tentang kebijakan pengadaan gabah/beras dan penyaluran beras oleh pemerintah, sebagai bagian dari kebijakan perberasan nasional.
Cadangan beras
Walaupun kebijakan perberasan dirancang komprehensif, dalam pelaksanaannya hampir seluruh sumber daya diarahkan ke usaha tani, minim untuk memperkuat industri beras, yang telah berdampak pada lemahnya daya saing beras, dominan beras kualitas rendah, dan harga beras tinggi.
Pada tahun 2005, pemerintah memutuskan memiliki cadangan beras pemerintah (CBP), dimulai dengan besaran 350.000 ton. Bulog diminta mengelolanya untuk keperluan darurat, stabilisasi harga, dan bantuan pangan internasional. Pada rancangan awal, seperti yang disarankan oleh perancangnya tim Universitas Gadjah Mada (UGM), volume CBP bertahap diperbesar akan mencapai 1,25 juta ton pada 2008.
Namun, realisasinya jauh lebih rendah, hanya sekitar 350.000 ton per tahun, sebagian besar untuk intervensi pasar. Pada 2015, misalnya, jumlah CBP 353.000 ton yang dimanfaatkan untuk operasi pasar/pasar murah sekitar 60 persen, hanya 2 persen untuk bantuan korban bencana, selebihnya disimpan menjadi stok akhir. Pemerintah tidak pernah menggunakan CBP untuk bantuan internasional karena terhambat kualitas beras CBP rendah, sama dengan kualitas beras program raskin.
Pemerintah malahan memperbesar penyaluran raskin, sejak 2008 meningkat sangat pesat. Dalam periode 2011-2015, misalnya, rata-rata penyaluran raskin 3,3 juta ton per tahun, sedangkan pengadaan dalam negeri lebih rendah hanya 2,6 juta ton per tahun, membuat perangkap impor. Penyaluran raskin digandakan pada bulan-bulan instabilitas harga tinggi, mencapai 400-500 ton per bulan, lebih besar dari volume CBP tahunan. Tahun ini ditargetkan raskin sedikit menurun menjadi 2,8 juta ton, masih terlalu tinggi.
Manakala raskin dihapus atau dikurangi dengan signifikan, peran CBP perlu dioptimalkan. CBP haruslah ditingkatkan, baik volume maupun kualitas berasnya sehingga lebih efektif dalam mengendalikan inflasi, bisa tampil dalam bantuan pangan internasional, dan akan dapat mengatasi kebuntuan peningkatan kualitas beras serta tercipta insentif ekonomi buat penggilingan padi kecil/sederhana untuk memperbaiki alat/mesin.
Pada saat kita berhasil mencapai surplus produksi beras, maka penyerapan gabah/beras untuk CBP dapat membantu atasi harga gabah agar tidak tertekan.Oleh karena itu, peran CBP dapat juga dipakai sebagai instrumen untuk melindungi produsen.
Empat langkah
Dalam kaitan dengan itu disarankan: pertama, pemerintah perlu menata ulang kebijakan perberasan nasional yang mampu memperkuat daya saing industri beras. Kedua, volume raskin perlu dikurangi atau cukup 0,5 juta ton, diprioritaskan disalurkan pada wilayah terpencil di mana harga beras biasanya sangat tinggi.
Ketiga, volume CBP perlu ditingkatkan menjadi 1,3 juta ton setara 15 hari kebutuhan beras nasional. Kualitas beras untuk CBP haruslah beras kualitas premium agar lebih efektif dalam operasi pasar serta bantuan internasional. Pemanfaatan CBP diperluas, misalnya program food for work pada musim kemarau/paceklik, termasuk ekspor apabila stok akhir tinggi.
Keempat, dukungan harga atau harga pembelian pemerintah haruslah diubah dari satu kualitas beras (medium) menjadi dua macam kualitas medium dan premium.
M HUSEIN SAWIT, SENIOR ADVISOR PERUM BULOG 2003-2010; TIM AHLI KEPALA BULOG 1996-2002; PENDIRI HOUSE OF RICE
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/161114kompas/#/7/
Selasa, 27 September 2016
Bulog Jateng Surplus Beras
Senin, 26 September 2016
JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Perum Bulog Divre Jateng berhasil mengalami surplus beras di wilayahnya yang relatif tinggi. Bahkan, dari sisi ketahanan stok masih sampai pertengahan tahun 2017 mendatang.
Kepala Perum Bulog Divre Jateng, Usep Karyana mengatakan, saat bulan September ini tingkat penyerapan beras sudah mencapai 97% dari target yang dipatok hingga akhir tahun 2016 ini. Jumlah tersebut dipastikan akan terus bertambah seiring terjadinya panen raya di sejumlah daerah yang masih berlangsung.
“Daerah-daerah yang saat ini masih terjadi panen raya diantaranya Cilacap (9.500 ha), Kebumen (14.350 ha), Purworejo (6.200 ha), Pekalongan (9.500 ha), Kabupaten Tegal (7.300 ha). Sedangkan daerah lainnya hanya di bawah 4.000 ha dengan masing-masing serapan per hektarnya mencapai 6 ton,” katanya, kemarin.
Diakuinya, tidak semua hasil panen dari para petani bisa terserap secara keseluruhan oleh Bulog. Namun demikian, pihaknya berharap, penyerapan sampai dengan akhir September 2016 bisa sampai 100%, atau sekitar 505.000 ton beras atau setara dengan 1 juta ton gabah kering.
“Meski saat ini Jateng surplus beras, kami tetap mewaspadi terjadinya cuaca ekstrem yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini, dengan adanya hujan deras disertai angin yang bisa mengakibatkan gagal panen lantaran lahan pertanian kebanjiran,” ujarnya.
Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, lanjutnya, Bulog Jateng pun masih terus melakukan serapan di beberapa daerah yang terjadi panen raya, sekaligus untuk mengamankan stok beras. Adapun dengan stok beras yang saat ini melimpah di Jateng, pihaknya juga akan terus melakukan pengiriman beras ke beberapa daerah di luar Jateng.
“Saat ini kami sudah kirim beras ke Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Riau, Aceh dan Sumatra Utara hingga 20.000 ton lebih. Target kami bisa kirim hingga 80.000 ton ke luar daerah,” terangnya.
Menurutnya, dengan pengiriman beras ke luar Jateng tersebut diharapkan bisa memberikan kontribusi terhadap upaya stabilisasi harga dan juga stok beras di daerah lain. Oleh karena itu, Bulog Jateng juga terus berupaya untuk menggenjot pengadaan agar Bulog Jateng bisa terus membantu daerah lain yang kekurangan.
“Untuk Jateng sendiri stok dipastikan aman sampai Mei 2017,” ungkapnya. (aln/ebe)
http://jatengpos.co.id/bulog-jateng-surplus-beras/
JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Perum Bulog Divre Jateng berhasil mengalami surplus beras di wilayahnya yang relatif tinggi. Bahkan, dari sisi ketahanan stok masih sampai pertengahan tahun 2017 mendatang.
Kepala Perum Bulog Divre Jateng, Usep Karyana mengatakan, saat bulan September ini tingkat penyerapan beras sudah mencapai 97% dari target yang dipatok hingga akhir tahun 2016 ini. Jumlah tersebut dipastikan akan terus bertambah seiring terjadinya panen raya di sejumlah daerah yang masih berlangsung.
“Daerah-daerah yang saat ini masih terjadi panen raya diantaranya Cilacap (9.500 ha), Kebumen (14.350 ha), Purworejo (6.200 ha), Pekalongan (9.500 ha), Kabupaten Tegal (7.300 ha). Sedangkan daerah lainnya hanya di bawah 4.000 ha dengan masing-masing serapan per hektarnya mencapai 6 ton,” katanya, kemarin.
Diakuinya, tidak semua hasil panen dari para petani bisa terserap secara keseluruhan oleh Bulog. Namun demikian, pihaknya berharap, penyerapan sampai dengan akhir September 2016 bisa sampai 100%, atau sekitar 505.000 ton beras atau setara dengan 1 juta ton gabah kering.
“Meski saat ini Jateng surplus beras, kami tetap mewaspadi terjadinya cuaca ekstrem yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini, dengan adanya hujan deras disertai angin yang bisa mengakibatkan gagal panen lantaran lahan pertanian kebanjiran,” ujarnya.
Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, lanjutnya, Bulog Jateng pun masih terus melakukan serapan di beberapa daerah yang terjadi panen raya, sekaligus untuk mengamankan stok beras. Adapun dengan stok beras yang saat ini melimpah di Jateng, pihaknya juga akan terus melakukan pengiriman beras ke beberapa daerah di luar Jateng.
“Saat ini kami sudah kirim beras ke Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Riau, Aceh dan Sumatra Utara hingga 20.000 ton lebih. Target kami bisa kirim hingga 80.000 ton ke luar daerah,” terangnya.
Menurutnya, dengan pengiriman beras ke luar Jateng tersebut diharapkan bisa memberikan kontribusi terhadap upaya stabilisasi harga dan juga stok beras di daerah lain. Oleh karena itu, Bulog Jateng juga terus berupaya untuk menggenjot pengadaan agar Bulog Jateng bisa terus membantu daerah lain yang kekurangan.
“Untuk Jateng sendiri stok dipastikan aman sampai Mei 2017,” ungkapnya. (aln/ebe)
http://jatengpos.co.id/bulog-jateng-surplus-beras/
LUTHFI NASDEM: PROGRAM SERGAP BULOG BIKIN PETANI TAMBAH SUSAH
Senin, 26 September 2016
RMOL. Program Serap Gabah (Sergap) Petani yang dijalankan oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) setahun belakangan ini ternyata tidak seperti yang diharapkan. Alih-alih membuat sejahtera, program tersebut malah membuat para petani pusing.
Hal ini seperti yang dituturkan oleh Anggota Komisi II DPR RI, Luthfi A Mutty saat kunjungan kerjanya di daerah pemilihannya di Sulawesi Selatan beberapa waktu yang lalu. Menurutnya petani kelabakan menjual gabah basah dan kering karena harga yang ditentukan oleh Bulog sangat murah.
Pemerintah sendiri saat ini mematok harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani Rp 3.700/kg, dan GKP di tingkat penggilingan di harga Rp 3.750/kg. Sedang Gabah Kering Giling (GKG) di tingkat penggilingan dihargai Rp 4.600/kg. Harga tersebut, menurut aduan yang Luthfi dapat, masih terlalu rendah dari harga yang ditawarkan oleh penggiling lain dari luar kota. Hal itu membuat pabrik giling lebih memilih menutup pabriknya dan berhenti berproduksi.
"Pabrik giling kebingungan terutama di wilayah-wilayah penghasil beras seperti Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Sidrap dan Pinrang," terang Luthfi.
Program Sergap dibuat untuk mengendalikan harga beras di pasaran. Petani dan pabrik giling diwajibkan untuk menjual gabah mereka kepada otoritas yang mengurusi arus stok pangan Bulog. Program ini serentak dilaksanakan di seluruh wilayah dengan pendampingan ketat dari Kodim, Koramil, dan Babinsa setempat. Entah apa tujuannya, namun menurut mantan Staf Khusus Wakil Presiden itu, keterlibatan komponen TNI di desa itu terkesan represif.
"Gabah diawasi kegiatannya oleh petugas berseragam, apakah para petani kita sudah hidup seperti zaman kolonial Belanda lagi Opu?" begitu politisi Nasdem itu menirukan aduan masyarakat.
Sejak diluncurkan awal tahun ini, Sergap kerap menimbulkan gejolak antara petani dan pabrik penggilingan gabah dengan Bulog. Harga gabah yang anjlok membuat petani tidak bisa menikmati harga yang bagus.
Di awal peluncurannya, program itu sudah banyak mendapatkan penentangan. Di bulan April misalnya, petani dan para pemilik berdemo ke DPRD Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan karena disparitas harga gabah yang begitu jauh.
"Bahwa pemeritah perlu mengamankan stok pangan nasional, memang iya. Tapi kalau terus-terusan seperti ini, maka yang kasian petani. Mereka tidak pernah bisa menikmati harga yang bagus," tukas Luthfi dalam rilis Fraksi Nasdem. [rus]
RMOL. Program Serap Gabah (Sergap) Petani yang dijalankan oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) setahun belakangan ini ternyata tidak seperti yang diharapkan. Alih-alih membuat sejahtera, program tersebut malah membuat para petani pusing.
Hal ini seperti yang dituturkan oleh Anggota Komisi II DPR RI, Luthfi A Mutty saat kunjungan kerjanya di daerah pemilihannya di Sulawesi Selatan beberapa waktu yang lalu. Menurutnya petani kelabakan menjual gabah basah dan kering karena harga yang ditentukan oleh Bulog sangat murah.
Pemerintah sendiri saat ini mematok harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani Rp 3.700/kg, dan GKP di tingkat penggilingan di harga Rp 3.750/kg. Sedang Gabah Kering Giling (GKG) di tingkat penggilingan dihargai Rp 4.600/kg. Harga tersebut, menurut aduan yang Luthfi dapat, masih terlalu rendah dari harga yang ditawarkan oleh penggiling lain dari luar kota. Hal itu membuat pabrik giling lebih memilih menutup pabriknya dan berhenti berproduksi.
"Pabrik giling kebingungan terutama di wilayah-wilayah penghasil beras seperti Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Sidrap dan Pinrang," terang Luthfi.
Program Sergap dibuat untuk mengendalikan harga beras di pasaran. Petani dan pabrik giling diwajibkan untuk menjual gabah mereka kepada otoritas yang mengurusi arus stok pangan Bulog. Program ini serentak dilaksanakan di seluruh wilayah dengan pendampingan ketat dari Kodim, Koramil, dan Babinsa setempat. Entah apa tujuannya, namun menurut mantan Staf Khusus Wakil Presiden itu, keterlibatan komponen TNI di desa itu terkesan represif.
"Gabah diawasi kegiatannya oleh petugas berseragam, apakah para petani kita sudah hidup seperti zaman kolonial Belanda lagi Opu?" begitu politisi Nasdem itu menirukan aduan masyarakat.
Sejak diluncurkan awal tahun ini, Sergap kerap menimbulkan gejolak antara petani dan pabrik penggilingan gabah dengan Bulog. Harga gabah yang anjlok membuat petani tidak bisa menikmati harga yang bagus.
Di awal peluncurannya, program itu sudah banyak mendapatkan penentangan. Di bulan April misalnya, petani dan para pemilik berdemo ke DPRD Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan karena disparitas harga gabah yang begitu jauh.
"Bahwa pemeritah perlu mengamankan stok pangan nasional, memang iya. Tapi kalau terus-terusan seperti ini, maka yang kasian petani. Mereka tidak pernah bisa menikmati harga yang bagus," tukas Luthfi dalam rilis Fraksi Nasdem. [rus]
Senin, 26 September 2016
Dirut Bulog Terancam Tersangka Gula Impor
Minggu, 25 September 2016
JAKARTA (HN) - Dirut Bulog dianggap bisa menjadi tersangka kasus suap penambahan kuota gula impor di Sumatera Barat yang menjerat mantan Ketua DPD Irman Gusman. KPK memiiki percakapan antara Irman dan Dirut Bulog lewat saluran telepon.
"Tersangka ditetapkan kalau ada bukti yang cukup untuk menunjukkan keterkaitan dan peran seseorang pada kasus itu," kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati kepada HARIAN NASIONAL di Jakarta, Minggu (25/9).
Dia menerangkan, sampai saat ini belum ada jadwal pemeriksaan KPK terhadap pimpinan Bulog. "Belum ada info jadwal riksanya," ujar Yuyuk.
Hingga kini, KPK telah menetapkan tiga orang tersangka kasus dugaan suap rekomendasi penambahan kuota impor gula wilayah Sumatera Barat tahun 2016 yang diberikan Bulog kepada CV Semesta Berjaya. Ketiga tersangka itu Irman Gusman, Direktur Utama CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto, dan istrinya Memi.
Irman diduga menerima suap Rp 100 juta dari Xaveriandy dan Memi sebagai hadiah atas rekomendasi penambahan kuota impor gula untuk CV Semesta Berjaya tersebut.
Irman dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b dan atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sementara Xaveriandy dan Memi sebagai pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarief juga mengatakan, sampai saat ini belum ada perkembangan terkait kasus Irman Gusman. "Belum ada perkembangan, soalnya penyelidik, penyidik, dan penuntut kami ada internal training di Bogor dan Bandung," ujarnya.
JAKARTA (HN) - Dirut Bulog dianggap bisa menjadi tersangka kasus suap penambahan kuota gula impor di Sumatera Barat yang menjerat mantan Ketua DPD Irman Gusman. KPK memiiki percakapan antara Irman dan Dirut Bulog lewat saluran telepon.
"Tersangka ditetapkan kalau ada bukti yang cukup untuk menunjukkan keterkaitan dan peran seseorang pada kasus itu," kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati kepada HARIAN NASIONAL di Jakarta, Minggu (25/9).
Dia menerangkan, sampai saat ini belum ada jadwal pemeriksaan KPK terhadap pimpinan Bulog. "Belum ada info jadwal riksanya," ujar Yuyuk.
Hingga kini, KPK telah menetapkan tiga orang tersangka kasus dugaan suap rekomendasi penambahan kuota impor gula wilayah Sumatera Barat tahun 2016 yang diberikan Bulog kepada CV Semesta Berjaya. Ketiga tersangka itu Irman Gusman, Direktur Utama CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto, dan istrinya Memi.
Irman diduga menerima suap Rp 100 juta dari Xaveriandy dan Memi sebagai hadiah atas rekomendasi penambahan kuota impor gula untuk CV Semesta Berjaya tersebut.
Irman dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b dan atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sementara Xaveriandy dan Memi sebagai pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarief juga mengatakan, sampai saat ini belum ada perkembangan terkait kasus Irman Gusman. "Belum ada perkembangan, soalnya penyelidik, penyidik, dan penuntut kami ada internal training di Bogor dan Bandung," ujarnya.
Rabu, 07 September 2016
Petani Tolak Rencana Impor Gula Mentah
Rabu,7 September 2016
MALANG, KOMPAS — Rencana Perum Bulog mengimpor 260.000 ton gula mentah (raw sugar) untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mulai September ini ditentang Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia. Impor itu dinilai akan mematikan petani tebu dalam negeri.
"Kami menolak apa pun bentuk impor gula karena saat ini petani tebu di Indonesia sedang panen. Untuk apa Perum Bulog impor gula 260.000 ton? Jika tujuannya untuk konsumen, pemerintah harus adil. Kelangsungan usaha petani juga harus dijaga," ujar Ketua Dewan Pembina APTRI Arum Sabil, Selasa (6/9).
Menurut Arum, rencana impor gula mentah tidak beralasan karena kebutuhan rumah tangga di Tanah Air telah mencukupi. Saat ini luas area tanam tebu di Indonesia mencapai 475.000 hektar dengan produksi 2,5 juta ton gula per tahun. Adapun kebutuhan gula 4,8-5 juta ton per tahun. Separuh di antaranya merupakan kebutuhan rumah tangga, sedangkan lainnya untuk industri makanan dan minuman.
"Dengan angka hitungan kebutuhan gula per kapita mencapai 19 kilogram kali jumlah penduduk Indonesia 255 juta jiwa, maka kebutuhan gula rumah tangga hanya 2,5 juta. Ini sebenarnya tercukupi oleh produksi dalam negeri," katanya.
Untuk industri makanan dan minuman, menurut Arum, ada kebijakan pemerintah mengenai pengolahan gula rafinasi oleh 11 pabrik gula dengan kapasitas terpasang 5 juta ton. Mengacu pada tahun 2015, ada impor 3,5 juta ton gula rafinasi. Sebanyak 2,5 juta ton di antaranya masuk ke pabrik dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan industri makanan dan minuman.
Di sisi lain, kegiatan impor gula tidak beralasan karena saat ini konsumen rumah tangga bisa mendapatkan gula dengan harga wajar. Bahkan, ada kecenderungan harga gula terus turun di bawah Rp 11.000 per kilogram. Selisihnya kecil sekali dengan biaya produksi yang harus ditanggung petani. "Biaya produksi saat ini ada yang di atas Rp 10.000 per kilogram. Selisihnya tidak banyak," katanya.
Saat ini, berdasarkan catatan APTRI, ada 1,3 juta petani tebu di Indonesia. Kondisi mereka kurang menguntungkan akibat frekuensi hujan tinggi. Kualitas tebu berkurang sehingga kandungan gula di dalamnya pun rendah. Rendemen gula sulit mencapai 7 persen. Di sisi lain, biaya produksi tinggi.
Pengaruh cuaca dirasakan oleh para petani tebu di Kabupaten Malang. Sudarsono, petani tebu di Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, mengatakan, curah hujan yang tinggi tahun ini berpengaruh terhadap rendemen. Meski begitu, pihaknya berharap rendemen tebu yang ada di pegunungan wilayah selatan Malang bisa lebih bagus dibandingkan dengan daerah lain yang posisinya lebih rendah.
"Saya belum tahu berapa rendemen tebu di sini. Namun, dari dua lahan milik saya yang lokasinya berbeda, biasanya rendemennya juga berbeda. Tahun lalu ada yang mencapai 10-11 persen. Untuk tahun ini saya belum tahu," ujar Sudarsono yang memiliki lahan tebu seluas 10 hektar. (WER)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160907kompas/#/20/
MALANG, KOMPAS — Rencana Perum Bulog mengimpor 260.000 ton gula mentah (raw sugar) untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mulai September ini ditentang Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia. Impor itu dinilai akan mematikan petani tebu dalam negeri.
"Kami menolak apa pun bentuk impor gula karena saat ini petani tebu di Indonesia sedang panen. Untuk apa Perum Bulog impor gula 260.000 ton? Jika tujuannya untuk konsumen, pemerintah harus adil. Kelangsungan usaha petani juga harus dijaga," ujar Ketua Dewan Pembina APTRI Arum Sabil, Selasa (6/9).
Menurut Arum, rencana impor gula mentah tidak beralasan karena kebutuhan rumah tangga di Tanah Air telah mencukupi. Saat ini luas area tanam tebu di Indonesia mencapai 475.000 hektar dengan produksi 2,5 juta ton gula per tahun. Adapun kebutuhan gula 4,8-5 juta ton per tahun. Separuh di antaranya merupakan kebutuhan rumah tangga, sedangkan lainnya untuk industri makanan dan minuman.
"Dengan angka hitungan kebutuhan gula per kapita mencapai 19 kilogram kali jumlah penduduk Indonesia 255 juta jiwa, maka kebutuhan gula rumah tangga hanya 2,5 juta. Ini sebenarnya tercukupi oleh produksi dalam negeri," katanya.
Untuk industri makanan dan minuman, menurut Arum, ada kebijakan pemerintah mengenai pengolahan gula rafinasi oleh 11 pabrik gula dengan kapasitas terpasang 5 juta ton. Mengacu pada tahun 2015, ada impor 3,5 juta ton gula rafinasi. Sebanyak 2,5 juta ton di antaranya masuk ke pabrik dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan industri makanan dan minuman.
Di sisi lain, kegiatan impor gula tidak beralasan karena saat ini konsumen rumah tangga bisa mendapatkan gula dengan harga wajar. Bahkan, ada kecenderungan harga gula terus turun di bawah Rp 11.000 per kilogram. Selisihnya kecil sekali dengan biaya produksi yang harus ditanggung petani. "Biaya produksi saat ini ada yang di atas Rp 10.000 per kilogram. Selisihnya tidak banyak," katanya.
Saat ini, berdasarkan catatan APTRI, ada 1,3 juta petani tebu di Indonesia. Kondisi mereka kurang menguntungkan akibat frekuensi hujan tinggi. Kualitas tebu berkurang sehingga kandungan gula di dalamnya pun rendah. Rendemen gula sulit mencapai 7 persen. Di sisi lain, biaya produksi tinggi.
Pengaruh cuaca dirasakan oleh para petani tebu di Kabupaten Malang. Sudarsono, petani tebu di Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, mengatakan, curah hujan yang tinggi tahun ini berpengaruh terhadap rendemen. Meski begitu, pihaknya berharap rendemen tebu yang ada di pegunungan wilayah selatan Malang bisa lebih bagus dibandingkan dengan daerah lain yang posisinya lebih rendah.
"Saya belum tahu berapa rendemen tebu di sini. Namun, dari dua lahan milik saya yang lokasinya berbeda, biasanya rendemennya juga berbeda. Tahun lalu ada yang mencapai 10-11 persen. Untuk tahun ini saya belum tahu," ujar Sudarsono yang memiliki lahan tebu seluas 10 hektar. (WER)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160907kompas/#/20/
Langganan:
Postingan (Atom)