Rabu, 13 Agustus 2014
Pendapatan Rp 12,41 Juta/Tahun
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pusat Statistik mencatat, usaha petani di sektor pertanian secara nasional rata-rata hanya menyumbang pendapatan rumah tangga petani 46,74 persen. Sumber pendapatan petani yang lebih besar secara akumulasi berasal dari usaha di luar pertanian.
Kepala BPS Suryamin, Selasa (12/8), di Jakarta, mengungkapkan, tingkat kesejahteraan petani di Indonesia masih rendah. Padahal, sekitar 38 juta angkatan kerja Indonesia bekerja di sektor pertanian.
Statistik menunjukkan, mayoritas tenaga kerja di sektor pertanian rata-rata berusia 49-50 tahun. Mereka sebagian tamat sekolah dasar (SD) dan tidak tamat SD. Umumnya satu kepala keluarga petani menanggung lima anggota keluarga.
Menurut Suryamin, salah satu penyebab sulitnya menekan angka kemiskinan di Indonesia adalah karena petani sudah berusia lanjut dan berpendidikan rendah. Mereka sulit beradaptasi dan bekerja di sektor lain karena kemampuannya hanya bercocok tanam. Kalaupun ada peluang bekerja di sektor industri, belum tentu tenaga mereka bisa terserap.
Pendapatan Rp 12,41 juta
Direktur Bidang Statistik Produksi BPS Adi Lumaksono mengatakan, pendapatan petani dari sektor pertanian per tahun hanya Rp 12,41 juta per rumah tangga petani (RTP). Apabila dihitung rata-rata pendapatan bulanan, jumlah itu lebih rendah daripada UMP terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang sebesar Rp 1,2 juta per bulan.
Sumber pendapatan petani dari usaha di luar sektor pertanian sebesar 13,46 persen. Pendapatan dari sumber lain, termasuk transfer, sebesar 12,31 persen.
Begitu pula pendapatan dari menjadi buruh tani menyumbang 6,85 persen. Adapun yang bersumber dari buruh di luar sektor pertanian menyumbang 20,56 persen.
Usaha di sektor pertanian yang memberikan kontribusi pendapatan terbesar bagi RTP adalah subsektor tanaman perkebunan yang memberikan kontribusi 33,49 persen. Tanaman padi memberikan kontribusi 25,31 persen. Ternak unggas memberikan kontribusi 12 persen, sedangkan usaha hortikultura 9,93 persen.
Suryamin menjelaskan, berdasarkan sensus BPS 2013, jumlah RTP dalam sepuluh tahun terakhir (2003-2013) berkurang 5,1 juta RTP, dari 31,23 juta pada 2003 menjadi 26,14 juta pada 2013.
Rinciannya adalah jumlah petani yang menguasai lahan kurang dari 1.000 meter persegi berkurang 5,04 juta RTP. Petani yang menguasai lahan 1.000- 1.999 meter persegi berkurang 52.168 RTP.
Petani dengan lahan 2.000- 4.999 meter persegi berkurang 83.581 RTP. Petani dengan lahan 5.000-9.999 meter persegi berkurang 227.739 RTP.
Petani dengan lahan 2-3 hektar berkurang 54.928 RTP. Jumlah petani dengan penguasaan lahan 1-2 hektar bertambah 64.320 RTP.
Jumlah petani dengan penguasaan lahan 3 hektar ke atas bertambah 298.832 RTP. (MAS)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140813kompas/#/18/
Rabu, 13 Agustus 2014
Senin, 11 Agustus 2014
Pemerintah Enggan Beli Gabah Petani Lokal
Senin, 11 Agustus 2014
Anggaran Bulog Dipakai Impor Beras Asing 500.000 Ton
Jakarta_Barakindo- Menjelang berakhirnya masa pemerintahan kabinet Indonesia Bersatu II (dua), kinerja pemerintah SBY-Budiono kembali tercoreng ulah “begundal” petani asing yang mengimpor beras petani dari luar negeri disaat rakyat tani dalam negeri segera memasuki masa panen ke-dua (Gadu).
Impor itu dilakukan pemerintah melalui Perum Bulog, tepat setelah memasuki masa libur lebaran 1 Syawal 1435 H (2014) ini. Imbasnya, pengadaan gabah petani lokal di Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Barat (Jabar) tersendat.
“Kami heran, kenapa pemerintah lebih memilih mengimpor beras petani asing dibanding membeli gabah/beras petani lokal. Kami melakukan penelusuran dibeberapa tempat terkait, kuat dugaan Letter of Credit (LC) untuk pembelian gabah petani lokal tidak tersedia (dibatasi-red) dengan alasan tidak ada anggaran,” ujar Koordinator Barisan Rakyat Anti Korupsi (Barak), Danil’s, Senin (11/8/2014).
Karenanya Danil’s mempertanyakan, jika memang dana untuk membeli gabah/beras petani lokal tidak ada, lalu dari mana sumber dana untuk membeli beras petani asing sebanyak 500.000 ton tersebut.
“Kalau dana untuk membeli gabah petani lokal tidak ada, lalu dari mana sumber dana untuk membeli beras petani asing (impor) sebanyak 500.000 ton atau setara Rp.1,4 triliun (setara harga Rp.4.700,- per Kilogram). Atau jangan-jangan uang ini bersumber dari begundal petani asing ??? Ini harus diusut oleh aparat penegak hukum untuk melindungi kepentingan rakyat tani NKRI,” tegasnya.
Selain meminta aparat hukum menelusuri sumber dana importasi tersebut, Danil’s juga mendesak pemerintahan yang baru nanti (transisi November 2014-red) merombak total Direksi Perum Bulog, yang pro petani asing (senang impor-red) diganti dengan figur yang berkomitmen melindungi rakyat tani dalam negeri.
“Sebab kalau direksi yang “senang” impor dibiarkan terus berkuasa, maka selamanya hak-hak dasar rakyat tani NKRI akan “diperkosa”. Setelah transisi pemerintahan nanti, kami akan berdjoang mendesak pemerintahan yang baru untuk merealisasikan perombakan “kabinet” di Perum Bulog,” pungkas Danil’s menegaskan.
Seperti diketahui, Kementerian Perdagangan (Kemendag) merilis, bahwa Perum Bulog mendapatkan alokasi impor beras sebanyak 500.000 ton yang terdiri dari beras medium dan beras premium. Impor beras medium atau beras dengan tingkat pecah (broken) 25 persen sebanyak 300.000 ton, sisanya 200.000 ton adalah beras dengan tingkat pecah (broken) 5 persen atau beras premium.
Hal itu ditegaskan Mendag, Muhammad Lutfi, Jumat (8/8/2014). Katanya, Bulog baru merealisasikan impor sebanyak 50.000 ton. "Bahkan 50.000 ton itu sudah sampai di Indonesia untuk mengantisipasi kekurangan stok dan tingginya permintaan," kata Lutfi. (Redaksi)*
http://barakpost.blogspot.com/2014/08/pemerintah-enggan-beli-gabah-petani.html
Anggaran Bulog Dipakai Impor Beras Asing 500.000 Ton
Jakarta_Barakindo- Menjelang berakhirnya masa pemerintahan kabinet Indonesia Bersatu II (dua), kinerja pemerintah SBY-Budiono kembali tercoreng ulah “begundal” petani asing yang mengimpor beras petani dari luar negeri disaat rakyat tani dalam negeri segera memasuki masa panen ke-dua (Gadu).
Impor itu dilakukan pemerintah melalui Perum Bulog, tepat setelah memasuki masa libur lebaran 1 Syawal 1435 H (2014) ini. Imbasnya, pengadaan gabah petani lokal di Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Barat (Jabar) tersendat.
“Kami heran, kenapa pemerintah lebih memilih mengimpor beras petani asing dibanding membeli gabah/beras petani lokal. Kami melakukan penelusuran dibeberapa tempat terkait, kuat dugaan Letter of Credit (LC) untuk pembelian gabah petani lokal tidak tersedia (dibatasi-red) dengan alasan tidak ada anggaran,” ujar Koordinator Barisan Rakyat Anti Korupsi (Barak), Danil’s, Senin (11/8/2014).
Karenanya Danil’s mempertanyakan, jika memang dana untuk membeli gabah/beras petani lokal tidak ada, lalu dari mana sumber dana untuk membeli beras petani asing sebanyak 500.000 ton tersebut.
“Kalau dana untuk membeli gabah petani lokal tidak ada, lalu dari mana sumber dana untuk membeli beras petani asing (impor) sebanyak 500.000 ton atau setara Rp.1,4 triliun (setara harga Rp.4.700,- per Kilogram). Atau jangan-jangan uang ini bersumber dari begundal petani asing ??? Ini harus diusut oleh aparat penegak hukum untuk melindungi kepentingan rakyat tani NKRI,” tegasnya.
Selain meminta aparat hukum menelusuri sumber dana importasi tersebut, Danil’s juga mendesak pemerintahan yang baru nanti (transisi November 2014-red) merombak total Direksi Perum Bulog, yang pro petani asing (senang impor-red) diganti dengan figur yang berkomitmen melindungi rakyat tani dalam negeri.
“Sebab kalau direksi yang “senang” impor dibiarkan terus berkuasa, maka selamanya hak-hak dasar rakyat tani NKRI akan “diperkosa”. Setelah transisi pemerintahan nanti, kami akan berdjoang mendesak pemerintahan yang baru untuk merealisasikan perombakan “kabinet” di Perum Bulog,” pungkas Danil’s menegaskan.
Seperti diketahui, Kementerian Perdagangan (Kemendag) merilis, bahwa Perum Bulog mendapatkan alokasi impor beras sebanyak 500.000 ton yang terdiri dari beras medium dan beras premium. Impor beras medium atau beras dengan tingkat pecah (broken) 25 persen sebanyak 300.000 ton, sisanya 200.000 ton adalah beras dengan tingkat pecah (broken) 5 persen atau beras premium.
Hal itu ditegaskan Mendag, Muhammad Lutfi, Jumat (8/8/2014). Katanya, Bulog baru merealisasikan impor sebanyak 50.000 ton. "Bahkan 50.000 ton itu sudah sampai di Indonesia untuk mengantisipasi kekurangan stok dan tingginya permintaan," kata Lutfi. (Redaksi)*
http://barakpost.blogspot.com/2014/08/pemerintah-enggan-beli-gabah-petani.html
Minggu, 10 Agustus 2014
Petani Dieng Terpapar
Sabtu, 9 Agustus 2014
Penggunaan Pestisida Sudah Melampaui Batas
BANJARNEGARA, KOMPAS — Sekitar 90 persen petani sayuran di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, terpapar racun pestisida. Dampak paparan racun pembasmi hama itu sangat serius karena dapat memicu karsinogenisitas, yaitu kemampuan menghasilkan kanker, kerusakan hati, gangguan reproduksi, dan kerusakan saraf.
Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara Siti Haryati, Jumat (8/8), mengatakan, hasil pemeriksaan terhadap petani sayur di Kecamatan Batur, Dataran Tinggi Dieng, beberapa waktu lalu, menyebutkan, dari 217 petani sayur, hanya 15 orang (6,9 persen) dinyatakan normal. Selebihnya menderita keracunan berat 5 orang (2,3 persen), keracunan sedang 120 orang (55,3 persen), dan keracunan ringan 77 orang (35,5 persen).
Keadaan ini diyakini mencerminkan kondisi petani Dieng keseluruhannya, sekitar 1.500 orang. ”Ini memprihatinkan. Penggunaan pestisida sudah kelewat batas dan membahayakan petani pengguna. Efek keracunan tergantung dari formulanya dan akan muncul jika penggunaannya dalam waktu lama,” kata Siti.
Pestisida itu masuk ke tubuh petani dengan berbagai cara, seperti pernapasan, kulit, hidung, dan mulut. Jika di lambung masih bisa dikeluarkan, tetapi kalau masuk ke darah akan membentuk ikatan di dalamnya.
Sulthoni (38), petani kentang di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, menuturkan, petani menyemprot pestisida secara berlebihan karena khawatir pestisida dan pupuk kimia yang diberikan melalui penyemprotan akan hilang terbawa air hujan. Dia mencontohkan, saat musim kemarau, penyemprotan bahan kimia, baik anti hama maupun obat penyubur, dilakukan seminggu sekali. Namun, ketika hujan datang, penyemprotan dilakukan 4-5 kali seminggu.
Masih diremehkan
Sulthoni mengatakan, untuk tanaman kentang seluas 3,5 hektar miliknya berusia 40 hari dibutuhkan sekitar 1.000 liter pestisida untuk sekali semprot. Padahal, pada akhir 1990-an, takarannya hanya 500-600 liter. ”Tanahnya sudah tidak mampu dengan dosis yang dulu. Hasilnya jelek. Kalau ditambah, baru produksinya lumayan,” katanya.
Berdasarkan pantauan Kompas, dalam penyemprotan, petani tidak memperhatikan bahaya bahan kimia pada tubuh jika sampai terisap. Mereka tak menggunakan pelindung hidung atau masker.
Eko Witarso (45), petani di Desa Karangtengah, Batur, mengatakan, petani kentang sebenarnya sudah tahu jika pestisida berbahaya bagi kesehatan. ”Keracunan itu hampir semua petani pernah mengalami. Mual-mual, muntah, pusing, dan mata berkunang-kunang. Tetapi bagaimana lagi. Kalau enggak begitu, enggak panen,” kata petani yang sudah menanam kentang selama 20 tahun.
Eko bahkan sempat dirawat di puskesmas setempat karena keracunan pestisida. Namun, dia tak kapok. ”Sekarang kalau ingat pakai masker. Semua petani pasti ada flek (paru-paru) atau gangguan pernapasan,” ujarnya.
Mudasir, Ketua Kelompok Tani Dieng Perkasa yang aktif menyosialisasikan pertanian organik, mengatakan, akibat pola penanaman yang tidak memperhatikan kaidah konservasi, termasuk penggunaan pestisida berlebih, produksi kentang di Dieng terus menurun. Pada akhir 1990- an masih 30 ton per hektar, tetapi kini maksimal 12-14 ton per hektar. Bibit 1 kg kentang yang dulu bisa dipanen 20 kg kini 6-7 kg.
Kini 7.758 hektar dari total 10.000 hektar lahan di Dieng kritis. Rinciannya, 4.000 hektar di Wonosobo dan sekitar 3.700 hektar di Banjarnegara. Erosi tanah seluruh kawasan pertanian di Dieng 4,5 juta ton per tahun.
Kentang dari Dieng, misalnya, kian sedikit lolos ekspor karena ditolak akibat kandungan pestisidanya terlalu tinggi.
Mengutip data Organisasi Buruh Internasional, Sekretaris Daerah Banjarnegara Fahrudin Slamet Susiadi mengatakan, 14 persen pekerja di sektor pertanian di seluruh dunia terkena bahaya pestisida dan 10 persen di antaranya terpapar bahaya yang fatal. ”Ini termasuk petani kentang di Dieng yang sangat tergantung dari pestisida kimia dalam mengolah lahannya,” ujarnya. (GRE)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140809kompas/#/22/
Penggunaan Pestisida Sudah Melampaui Batas
BANJARNEGARA, KOMPAS — Sekitar 90 persen petani sayuran di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, terpapar racun pestisida. Dampak paparan racun pembasmi hama itu sangat serius karena dapat memicu karsinogenisitas, yaitu kemampuan menghasilkan kanker, kerusakan hati, gangguan reproduksi, dan kerusakan saraf.
Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara Siti Haryati, Jumat (8/8), mengatakan, hasil pemeriksaan terhadap petani sayur di Kecamatan Batur, Dataran Tinggi Dieng, beberapa waktu lalu, menyebutkan, dari 217 petani sayur, hanya 15 orang (6,9 persen) dinyatakan normal. Selebihnya menderita keracunan berat 5 orang (2,3 persen), keracunan sedang 120 orang (55,3 persen), dan keracunan ringan 77 orang (35,5 persen).
Keadaan ini diyakini mencerminkan kondisi petani Dieng keseluruhannya, sekitar 1.500 orang. ”Ini memprihatinkan. Penggunaan pestisida sudah kelewat batas dan membahayakan petani pengguna. Efek keracunan tergantung dari formulanya dan akan muncul jika penggunaannya dalam waktu lama,” kata Siti.
Pestisida itu masuk ke tubuh petani dengan berbagai cara, seperti pernapasan, kulit, hidung, dan mulut. Jika di lambung masih bisa dikeluarkan, tetapi kalau masuk ke darah akan membentuk ikatan di dalamnya.
Sulthoni (38), petani kentang di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, menuturkan, petani menyemprot pestisida secara berlebihan karena khawatir pestisida dan pupuk kimia yang diberikan melalui penyemprotan akan hilang terbawa air hujan. Dia mencontohkan, saat musim kemarau, penyemprotan bahan kimia, baik anti hama maupun obat penyubur, dilakukan seminggu sekali. Namun, ketika hujan datang, penyemprotan dilakukan 4-5 kali seminggu.
Masih diremehkan
Sulthoni mengatakan, untuk tanaman kentang seluas 3,5 hektar miliknya berusia 40 hari dibutuhkan sekitar 1.000 liter pestisida untuk sekali semprot. Padahal, pada akhir 1990-an, takarannya hanya 500-600 liter. ”Tanahnya sudah tidak mampu dengan dosis yang dulu. Hasilnya jelek. Kalau ditambah, baru produksinya lumayan,” katanya.
Berdasarkan pantauan Kompas, dalam penyemprotan, petani tidak memperhatikan bahaya bahan kimia pada tubuh jika sampai terisap. Mereka tak menggunakan pelindung hidung atau masker.
Eko Witarso (45), petani di Desa Karangtengah, Batur, mengatakan, petani kentang sebenarnya sudah tahu jika pestisida berbahaya bagi kesehatan. ”Keracunan itu hampir semua petani pernah mengalami. Mual-mual, muntah, pusing, dan mata berkunang-kunang. Tetapi bagaimana lagi. Kalau enggak begitu, enggak panen,” kata petani yang sudah menanam kentang selama 20 tahun.
Eko bahkan sempat dirawat di puskesmas setempat karena keracunan pestisida. Namun, dia tak kapok. ”Sekarang kalau ingat pakai masker. Semua petani pasti ada flek (paru-paru) atau gangguan pernapasan,” ujarnya.
Mudasir, Ketua Kelompok Tani Dieng Perkasa yang aktif menyosialisasikan pertanian organik, mengatakan, akibat pola penanaman yang tidak memperhatikan kaidah konservasi, termasuk penggunaan pestisida berlebih, produksi kentang di Dieng terus menurun. Pada akhir 1990- an masih 30 ton per hektar, tetapi kini maksimal 12-14 ton per hektar. Bibit 1 kg kentang yang dulu bisa dipanen 20 kg kini 6-7 kg.
Kini 7.758 hektar dari total 10.000 hektar lahan di Dieng kritis. Rinciannya, 4.000 hektar di Wonosobo dan sekitar 3.700 hektar di Banjarnegara. Erosi tanah seluruh kawasan pertanian di Dieng 4,5 juta ton per tahun.
Kentang dari Dieng, misalnya, kian sedikit lolos ekspor karena ditolak akibat kandungan pestisidanya terlalu tinggi.
Mengutip data Organisasi Buruh Internasional, Sekretaris Daerah Banjarnegara Fahrudin Slamet Susiadi mengatakan, 14 persen pekerja di sektor pertanian di seluruh dunia terkena bahaya pestisida dan 10 persen di antaranya terpapar bahaya yang fatal. ”Ini termasuk petani kentang di Dieng yang sangat tergantung dari pestisida kimia dalam mengolah lahannya,” ujarnya. (GRE)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140809kompas/#/22/
Selasa, 05 Agustus 2014
Produksi Kedelai Banten Mencapai Lima Besar Nasional
Senin, 4 Agustus 2014
Bantenbox.com-Serang, Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak) Provinsi Banten terus berupaya meningkatkan produksi kedelai di wilayah Provinsi Banten setiap tahunnya. Periode Juni tahun 2014, jumlah produksi kedelai Banten sekitar 11.900 ton dan mampu menyumbang kebutuhan kedelai secara nasional.
" Dari perolehan ini, para petani kedelai di sentra produksi berada di Pandeglang mendapatkan penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu,"ujar Kepala Distanak Banten, Eneng Nurcahyati, akhir pekan lalu.
Eneng Bahkan menjamin, produksi kedelai di Banten akan terus meningkat setiap tahun dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini selain untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor dan memberikan peningkatan produksi kedelai secara nasional.
Saat ditanya perihal stabilitas harga kedelai, Eneng mengaku menjamin harga beli minimal kedelai di Banten mencapai Rp7.000 per kilogram. " Kami sudah bekerjasama dengan Bulog Divre Banten untuk membeli produksi kedelai dalam upaya menjaga stabilisasi harga. Yakni Rp 7000 per kilogram.
Itu termasuk harga wajar,"tandas Eneng seraya mengimbau agar para petani selalu meningkatkan semangat untuk terus menanam kedelai. Oleh karena itu, para petani kedelai di Banten diharapkan bisa meningkatkan area tanaman kedelai tersebut pada tahun-tahun berikutnya.(adv)
http://bantenbox.com/berita-1682-.html
Bantenbox.com-Serang, Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak) Provinsi Banten terus berupaya meningkatkan produksi kedelai di wilayah Provinsi Banten setiap tahunnya. Periode Juni tahun 2014, jumlah produksi kedelai Banten sekitar 11.900 ton dan mampu menyumbang kebutuhan kedelai secara nasional.
" Dari perolehan ini, para petani kedelai di sentra produksi berada di Pandeglang mendapatkan penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu,"ujar Kepala Distanak Banten, Eneng Nurcahyati, akhir pekan lalu.
Eneng Bahkan menjamin, produksi kedelai di Banten akan terus meningkat setiap tahun dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini selain untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor dan memberikan peningkatan produksi kedelai secara nasional.
Saat ditanya perihal stabilitas harga kedelai, Eneng mengaku menjamin harga beli minimal kedelai di Banten mencapai Rp7.000 per kilogram. " Kami sudah bekerjasama dengan Bulog Divre Banten untuk membeli produksi kedelai dalam upaya menjaga stabilisasi harga. Yakni Rp 7000 per kilogram.
Itu termasuk harga wajar,"tandas Eneng seraya mengimbau agar para petani selalu meningkatkan semangat untuk terus menanam kedelai. Oleh karena itu, para petani kedelai di Banten diharapkan bisa meningkatkan area tanaman kedelai tersebut pada tahun-tahun berikutnya.(adv)
http://bantenbox.com/berita-1682-.html
Senin, 04 Agustus 2014
Perlu Dibentuk Menko Kedaulatan Pangan dan Energi di Kabinet Jokowi-JK
Minggu, 3 Agustus 2014
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bara Jalan Perubahan optimistis Kabinet Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) akan lebih ramping dan efektif serta efisien, dengan mengorganisasi Kementerian berbasis Produksi dan Pemanfaatan SDA dengan Kelembagaan pendukungnya menjadi terpadu dalam satu atap.
Menurut Gideon Wijaya Ketaren, salah seorang presidium Bara Jalan Perubahan, pembangunan kehutanan jangan lagi berorientasi "penjualan" lahan pada korporasi. Namun lebih kepada orientasi produksi tanaman "timber dan non timber" dengan lebih memberdayakan masyarakat petani di sekitar hutan, apalagi merampas hak-hak masyarakat adat.
Artinya, sektor On Farming serahkan pada petani dan korporasi dengan kapitalnya yang besar boleh difokuskan pada sektor Off Farm (hilirisasi). Sehingga pengelolaan dimaksimalkan ke dalam direktorat jenderal kehutanan dan perkebunan (dirjen depthutbun) dibawah kementerian pertanian.
Pengelolaan kegiatan konservasi dan pelestarian ekosistem hutan dan DAS dapat dikelola dalam satu Kementerian LH dan KA (Lingkungan Hidup dan Konservasi Alam). Sedangkan Ditjen Plannologi sangat tepat dikelola dalam Kementerian Agraria dan Pertanahan.
Menurutnya, kegiatan produksi ini harus didukung oleh pengelolaan kelembagaan tani, nelayan, masyarakat sekitar hutan yang nantinya secara praktis dikelola dalam Kementerian Koperasi dan UKM serta didukung oleh Kementerian Sosial dan Pembangunan Desa yang lebih berorientasi pada partisipasi rakyat.
"Program-program sektoral yang sering overlaping saat ini akan otomatis mampu dieliminir dengan baik. Lalu kementerian ESDM yang sering konflik dalam penguasaan lahan serta Kementerian perikanan dan kelautan serta pemberdayaan pulau terluar dapat bersinergi secara maksimal didalam Kemenko Kedaulatan Pangan dan Energi ini nantinya," menurut GWK.
Jika perlu, tandas dia, dibentuk kementerian industri agraris (pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, kayu dan non kayu) yang terpisah dari kementerian industri non agraris. Hal ini bertujuan agar jelas dimata rakyat guna dan manfaat sektor pertanian dan SDA ini, bukan hanya memandang income pertanian itu dari export CPO saja.
"Tapi ada komoditi lain yang juga menarik untuk dikembangkan," tegas GWK.
Dengan Menko Kedaulatan Pangan dan Energi bisa menfokuskan diri pada koordinasi kementerian. Yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Maritim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Konservasi Alam, Kementerian Agraria dan Pertanahan, Kementerian ESDM, Kementerian Koperasi, UKM, Kementerian Sosial dan Pembangunan Desa, dan Kementerian Industri Agraris (Pupuk, Bibit dan Pasca Panen).
"Dengan konsep ini kami yakin Indonesia sebagai eksportir utama produk pangan dan pertanian secara luas nantinya, serta bukan mustahil Nusantara ini mampu menjadi Lumbung Pangan Dunia," tambah Handoko, salah satu Presidium Bara Jalan Perubahaan.(*)
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/08/03/perlu-dibentuk-menko-kedaulatan-pangan-dan-energi-di-kabinet-jokowi-jk
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bara Jalan Perubahan optimistis Kabinet Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) akan lebih ramping dan efektif serta efisien, dengan mengorganisasi Kementerian berbasis Produksi dan Pemanfaatan SDA dengan Kelembagaan pendukungnya menjadi terpadu dalam satu atap.
Menurut Gideon Wijaya Ketaren, salah seorang presidium Bara Jalan Perubahan, pembangunan kehutanan jangan lagi berorientasi "penjualan" lahan pada korporasi. Namun lebih kepada orientasi produksi tanaman "timber dan non timber" dengan lebih memberdayakan masyarakat petani di sekitar hutan, apalagi merampas hak-hak masyarakat adat.
Artinya, sektor On Farming serahkan pada petani dan korporasi dengan kapitalnya yang besar boleh difokuskan pada sektor Off Farm (hilirisasi). Sehingga pengelolaan dimaksimalkan ke dalam direktorat jenderal kehutanan dan perkebunan (dirjen depthutbun) dibawah kementerian pertanian.
Pengelolaan kegiatan konservasi dan pelestarian ekosistem hutan dan DAS dapat dikelola dalam satu Kementerian LH dan KA (Lingkungan Hidup dan Konservasi Alam). Sedangkan Ditjen Plannologi sangat tepat dikelola dalam Kementerian Agraria dan Pertanahan.
Menurutnya, kegiatan produksi ini harus didukung oleh pengelolaan kelembagaan tani, nelayan, masyarakat sekitar hutan yang nantinya secara praktis dikelola dalam Kementerian Koperasi dan UKM serta didukung oleh Kementerian Sosial dan Pembangunan Desa yang lebih berorientasi pada partisipasi rakyat.
"Program-program sektoral yang sering overlaping saat ini akan otomatis mampu dieliminir dengan baik. Lalu kementerian ESDM yang sering konflik dalam penguasaan lahan serta Kementerian perikanan dan kelautan serta pemberdayaan pulau terluar dapat bersinergi secara maksimal didalam Kemenko Kedaulatan Pangan dan Energi ini nantinya," menurut GWK.
Jika perlu, tandas dia, dibentuk kementerian industri agraris (pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, kayu dan non kayu) yang terpisah dari kementerian industri non agraris. Hal ini bertujuan agar jelas dimata rakyat guna dan manfaat sektor pertanian dan SDA ini, bukan hanya memandang income pertanian itu dari export CPO saja.
"Tapi ada komoditi lain yang juga menarik untuk dikembangkan," tegas GWK.
Dengan Menko Kedaulatan Pangan dan Energi bisa menfokuskan diri pada koordinasi kementerian. Yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Maritim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Konservasi Alam, Kementerian Agraria dan Pertanahan, Kementerian ESDM, Kementerian Koperasi, UKM, Kementerian Sosial dan Pembangunan Desa, dan Kementerian Industri Agraris (Pupuk, Bibit dan Pasca Panen).
"Dengan konsep ini kami yakin Indonesia sebagai eksportir utama produk pangan dan pertanian secara luas nantinya, serta bukan mustahil Nusantara ini mampu menjadi Lumbung Pangan Dunia," tambah Handoko, salah satu Presidium Bara Jalan Perubahaan.(*)
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/08/03/perlu-dibentuk-menko-kedaulatan-pangan-dan-energi-di-kabinet-jokowi-jk
Minggu, 03 Agustus 2014
Agar Swasembada Beras, Bangka Tengah Butuh 50 Hektar Sawah
Minggu, 3 Agustus 2014
REPUBLIKA.CO.ID, KOBA -- Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung, menyatakan daerah itu setidaknya membutuhkan sekitar 50 hektare sawah produktif di setiap desa untuk menuju swasembada pangan.
"Butuh 50 hektare lahan sawah setiap desa jika ingin swasembada pangan dan sekarang baru satu desa yang sudah membuka lahan sawah," kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Bangka Tengah Sajidin di Koba, Sabtu (2/8).
Ia menjelaskan di Bangka Tengah terdapat sekitar 60 desa yang banyak memiliki lahan kosong untuk digarap menjadi lahan persawahan. "Namun lahan tersebut belum tentu semuanya produktif dijadikan lahan persawahan karena banyak area bekas penambangan bijih timah," ujarnya.
Mengubah lahan kritis itu menjadi lahan produktif, katanya, bukan pekerjaan yang mudah karena membutuhkan keinginan atau animo yang kuat dari masyarakat setempat. "Dorongan yang kuat dari pemerintah daerah harus disertai keinginan yang kuat dari masyarakat untuk mewujudkan lahan sawah produktif," ujarnya.
Ia menjelaskan saat ini ketergantungan daerah terhadap kebutuhan pangan dari luar daerah masih tinggi karena produksi padi lokal masih relatif minim. "Boleh dikatakan hampir 90 persen kebutuhan pangan lokal dipasok dari luar daerah karena produksi lokal masih minim," ujarnya.
Ia menjelaskan produksi padi lokal hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan selama satu minggu, sedangkan sisanya untuk kebutuhan satu tahun didatangkan dari luar daerah. "Ada sebagian warga yang menggalakkan menanam padi ladang namun produksinya belum begitu bisa diharapkan, karena padi ladang masih dijadikan tanaman sela," katanya.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/08/03/n9p0ia-agar-swasembada-beras-bangka-tengah-butuh-50-hektar-sawah
REPUBLIKA.CO.ID, KOBA -- Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung, menyatakan daerah itu setidaknya membutuhkan sekitar 50 hektare sawah produktif di setiap desa untuk menuju swasembada pangan.
"Butuh 50 hektare lahan sawah setiap desa jika ingin swasembada pangan dan sekarang baru satu desa yang sudah membuka lahan sawah," kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Bangka Tengah Sajidin di Koba, Sabtu (2/8).
Ia menjelaskan di Bangka Tengah terdapat sekitar 60 desa yang banyak memiliki lahan kosong untuk digarap menjadi lahan persawahan. "Namun lahan tersebut belum tentu semuanya produktif dijadikan lahan persawahan karena banyak area bekas penambangan bijih timah," ujarnya.
Mengubah lahan kritis itu menjadi lahan produktif, katanya, bukan pekerjaan yang mudah karena membutuhkan keinginan atau animo yang kuat dari masyarakat setempat. "Dorongan yang kuat dari pemerintah daerah harus disertai keinginan yang kuat dari masyarakat untuk mewujudkan lahan sawah produktif," ujarnya.
Ia menjelaskan saat ini ketergantungan daerah terhadap kebutuhan pangan dari luar daerah masih tinggi karena produksi padi lokal masih relatif minim. "Boleh dikatakan hampir 90 persen kebutuhan pangan lokal dipasok dari luar daerah karena produksi lokal masih minim," ujarnya.
Ia menjelaskan produksi padi lokal hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan selama satu minggu, sedangkan sisanya untuk kebutuhan satu tahun didatangkan dari luar daerah. "Ada sebagian warga yang menggalakkan menanam padi ladang namun produksinya belum begitu bisa diharapkan, karena padi ladang masih dijadikan tanaman sela," katanya.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/08/03/n9p0ia-agar-swasembada-beras-bangka-tengah-butuh-50-hektar-sawah
Sabtu, 02 Agustus 2014
Distribusi Pupuk di Bali Dikurangi 50 Persen
Jumat, 1 Agustus 2014
Kelian Subak Toya Yeh Hee, Nyoman Sumendra, bahwa jatah pupuk urea kini dipotong sampai 50 persen dari jatah sebelumnya.
Jakarta, Aktual.co — Kelian Subak Toya Yeh Hee, Nyoman Sumendra, bahwa jatah pupuk urea kini dipotong sampai 50 persen dari jatah sebelumnya.
Hal itu sesuai imbauan Pemprov Bali untuk menggunakan pupuk organik. Imbauan itu tidak disertai dengan penyaluran pupuk organik yang memadai sesuai kebutuhan petani, serta tibanya sering terlambat.
Pada sisi lain penggunaan pupuk organik merugikan petani, karena hasil panen menurun dua ton per hektarenya hanya menjadi enam ton per hektare dibanding menggunakan pupuk urea yang produksinya mencapai delapan ton/hektare.
Pupuk organik yang disubsidi pemerintah Provinsi Bali cukup murah yakni Rp 100/kg ditingkat petani.
Sebelumnya, sejumlah petani di Kabupaten Klungkung, Bali menglami kelangkaan pupuk urea bersubsidi belakangan ini, padahal mereka sangat membutuhkan dalam memasuki musim tanam 2014.
(Ant)
http://www.aktual.co/ekonomibisnis/140441distribusi-pupuk-di-bali-dikurangi-50-persen
Kelian Subak Toya Yeh Hee, Nyoman Sumendra, bahwa jatah pupuk urea kini dipotong sampai 50 persen dari jatah sebelumnya.
Jakarta, Aktual.co — Kelian Subak Toya Yeh Hee, Nyoman Sumendra, bahwa jatah pupuk urea kini dipotong sampai 50 persen dari jatah sebelumnya.
Hal itu sesuai imbauan Pemprov Bali untuk menggunakan pupuk organik. Imbauan itu tidak disertai dengan penyaluran pupuk organik yang memadai sesuai kebutuhan petani, serta tibanya sering terlambat.
Pada sisi lain penggunaan pupuk organik merugikan petani, karena hasil panen menurun dua ton per hektarenya hanya menjadi enam ton per hektare dibanding menggunakan pupuk urea yang produksinya mencapai delapan ton/hektare.
Pupuk organik yang disubsidi pemerintah Provinsi Bali cukup murah yakni Rp 100/kg ditingkat petani.
Sebelumnya, sejumlah petani di Kabupaten Klungkung, Bali menglami kelangkaan pupuk urea bersubsidi belakangan ini, padahal mereka sangat membutuhkan dalam memasuki musim tanam 2014.
(Ant)
http://www.aktual.co/ekonomibisnis/140441distribusi-pupuk-di-bali-dikurangi-50-persen
Langganan:
Postingan (Atom)