Jumat, 10 Januari 2014
JAKARTA, KOMPAS — Alokasi pupuk bersubsidi pada 2014 turun 830.000 ton dibandingkan dengan alokasi 2013 dan turun 1,47 juta ton dibandingkan 2012. Kelangkaan pupuk baru akan terjadi setelah Oktober 2014 karena pada Januari-Oktober 2014 masih dimungkinkan realokasi penyaluran.
Menurut General Manager Niaga PT Pupuk Indonesia Subhan, Kamis (9/1), di Jakarta, dengan adanya kebijakan realokasi penyaluran pupuk bersubsidi yang ditarik dari bulan di depannya.
”Misalnya, realisasi penyaluran pupuk bersubsidi pada Januari 2014 sudah habis mengacu alokasi, tetapi permintaan pupuk oleh petani tetap bisa dilakukan karena alokasi pupuk Februari 2014 bisa digeser ke Januari 2014 untuk menutup kekurangan bulan Januari,” kata Subhan.
Sepanjang petani punya rencana definitif kebutuhan kelompok, permintaan pupuk oleh petani wajib dilayani. ”Kurangnya alokasi pupuk tidak menjadi masalah pada saat ini sampai Oktober 2014 karena bisa direalokasi,” ujarnya.
Dengan cara ini, tidak akan ada lagi kekurangan pupuk bersubsidi sekalipun alokasi pupuk bersubsidi 2014 dipangkas. Kalaupun ada masalah, hal itu akan terjadi nanti setelah Oktober 2014 karena alokasinya habis.
”Itu pun produsen pupuk mendapat jaminan dari Kementerian Pertanian selaku kuasa pengguna anggaran pupuk bersubsidi untuk memberi tambahan volume pupuk bersubsidi,” ujar Subhan.
Mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian No 122/2013 tentang Rencana Kebutuhan Pupuk Bersubsidi 2014 yang diterbitkan pada 26 November 2013, alokasi pupuk bersubsidi untuk tahun 2014 bagi petani sebanyak 7,78 juta ton. Ini lebih rendah 830.000 ton (10 persen) dibandingkan dengan alokasi 2013 dan lebih rendah 1,47 juta ton dibandingkan dengan alokasi 2012 atau turun 16 persen.
Besaran alokasi pupuk bersubsidi 2014 hanya 63,45 persen dari total produksi pupuk nasional sebanyak 12,26 juta ton. Rinciannya, alokasi pupuk jenis urea 3,42 juta ton, SP-36 sebanyak 760.000 ton, ZA 800.000 ton, NPK 2 juta ton, dan pupuk organik 800.000 ton.
Khusus pupuk urea, dibandingkan alokasi 2013, alokasi 2014 turun 447.000 ton. Ini setara dengan pertanaman padi 1,12 juta hektar. Subhan menggarisbawahi, pada 2013 realisasi penyaluran pupuk bersubsidi mencapai 102 persen dari total alokasi sepanjang 2013. Realisasi pupuk bersubsidi itu, antara lain, untuk subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan budidaya.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir mengatakan, secara teori, realokasi memang bisa dilakukan. Kenyataannya, di daerah informasi sering tidak sampai.
Meski pusat membolehkan realokasi pupuk dari bulan setelahnya, hal itu tidak dilakukan. Ini akibat informasi dan pemahaman yang berbeda-beda dari petugas di daerah.
Petani tidak akan ribut kalau kebutuhan pupuk dipenuhi. Faktanya, di kios-kios pupuk tidak ada. Kalaupun ada, pembelian pupuk sangat dibatasi. Winarno mengatakan, masalah pupuk terjadi akibat tidak adanya tambahan subsidi. Sementara biaya produksi naik, akibatnya volume yang ditekan.
Jika memang hitungan pemerintah biaya pokok produksi pupuk naik, tak masalah bagi petani kalau harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi juga dinaikkan. (MAS/GRE/BAY/DKA/SIR/WER/NIT/NIK)
http://epaper.kompas.com/kompas/books/140110kompas/index.html#/21/
Jumat, 10 Januari 2014
Petani Minta Perlindungan Harga
Jumat, 10 Januari 2014
GROBOGAN, KOMPAS — Petani kedelai di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, meminta pemerintah melindungi harga kedelai pada panen raya awal tahun ini. Mereka khawatir para pembeli mempermainkan harga dan membeli kedelai di bawah harga pembelian pemerintah.
Mereka juga berharap pemerintah menyediakan benih kedelai yang melimpah. Keterbatasan benih kedelai menyebabkan benih melambung tinggi dari Rp 7.000 per kg menjadi Rp 12.000-Rp 17.000 per kg.
Hal itu mengemuka saat panen raya kedelai varietas Grobogan di Desa Tuko, Kecamatan Pulokulon, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Kamis (9/1). Kegiatan itu dihadiri Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso.
Sumarjo (54), petani Desa Banjarsari, Kecamatan Kradenan, Grobogan, mengatakan, saat ini, harga kedelai petani Rp 7.500-Rp 7.800 per kg. Harga tersebut di atas harga pembelian pemerintah (HPP), yaitu Rp 7.400 per kg.
Para petani khawatir harga kedelai akan turun di bawah HPP karena produksi kedelai tahun ini berlimpah. Namun, karena musim hujan, kadar air kedelai 20 persen atau lebih tinggi daripada kadar normal, yaitu 14 persen.
”Kondisi itu bisa menjadi alasan para pembeli untuk menurunkan harga kedelai. Kami berharap pemerintah menjamin harga kedelai tetap di atas HPP dan mengawasi. Selama ini tidak ada pengawasan dari pemerintah sehingga harganya dipermainkan para pembeli,” ujarnya.
Suwartono (45), petani Desa Pulokulon, menambahkan, selain soal harga, petani juga terkendala mendapat benih kedelai yang murah. Harga benih kedelai varietas grobogan saat ini Rp 12.000-Rp 17.000 per kilogram.
”Harga itu sangat tinggi sehingga bisa mengurangi keuntungan petani. Kami berharap pemerintah juga mengendalikan harga benih kedelai dan menyediakan benih kedelai yang melimpah,” kata Suwartono.
Menanggapi persoalan-persoalan itu, Ganjar Pranowo berkomitmen untuk mengawasi naik turunnya harga kedelai. Dia juga meminta para petani membentuk kelompok-kelompok petani yang anggotanya tetap sehingga bisa mendapatkan bantuan benih dan kartu petani.
Sutarto Alimoeso menyatakan, Perum Bulog siap membeli kedelai petani sesuai HPP. Namun, petani harus menjualnya secara berkelompok dan kadar air kedelai harus sesuai dengan syarat, yaitu 14 persen. (HEN/WHO)
http://epaper.kompas.com/kompas/books/140110kompas/index.html#/21/
GROBOGAN, KOMPAS — Petani kedelai di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, meminta pemerintah melindungi harga kedelai pada panen raya awal tahun ini. Mereka khawatir para pembeli mempermainkan harga dan membeli kedelai di bawah harga pembelian pemerintah.
Mereka juga berharap pemerintah menyediakan benih kedelai yang melimpah. Keterbatasan benih kedelai menyebabkan benih melambung tinggi dari Rp 7.000 per kg menjadi Rp 12.000-Rp 17.000 per kg.
Hal itu mengemuka saat panen raya kedelai varietas Grobogan di Desa Tuko, Kecamatan Pulokulon, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Kamis (9/1). Kegiatan itu dihadiri Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso.
Sumarjo (54), petani Desa Banjarsari, Kecamatan Kradenan, Grobogan, mengatakan, saat ini, harga kedelai petani Rp 7.500-Rp 7.800 per kg. Harga tersebut di atas harga pembelian pemerintah (HPP), yaitu Rp 7.400 per kg.
Para petani khawatir harga kedelai akan turun di bawah HPP karena produksi kedelai tahun ini berlimpah. Namun, karena musim hujan, kadar air kedelai 20 persen atau lebih tinggi daripada kadar normal, yaitu 14 persen.
”Kondisi itu bisa menjadi alasan para pembeli untuk menurunkan harga kedelai. Kami berharap pemerintah menjamin harga kedelai tetap di atas HPP dan mengawasi. Selama ini tidak ada pengawasan dari pemerintah sehingga harganya dipermainkan para pembeli,” ujarnya.
Suwartono (45), petani Desa Pulokulon, menambahkan, selain soal harga, petani juga terkendala mendapat benih kedelai yang murah. Harga benih kedelai varietas grobogan saat ini Rp 12.000-Rp 17.000 per kilogram.
”Harga itu sangat tinggi sehingga bisa mengurangi keuntungan petani. Kami berharap pemerintah juga mengendalikan harga benih kedelai dan menyediakan benih kedelai yang melimpah,” kata Suwartono.
Menanggapi persoalan-persoalan itu, Ganjar Pranowo berkomitmen untuk mengawasi naik turunnya harga kedelai. Dia juga meminta para petani membentuk kelompok-kelompok petani yang anggotanya tetap sehingga bisa mendapatkan bantuan benih dan kartu petani.
Sutarto Alimoeso menyatakan, Perum Bulog siap membeli kedelai petani sesuai HPP. Namun, petani harus menjualnya secara berkelompok dan kadar air kedelai harus sesuai dengan syarat, yaitu 14 persen. (HEN/WHO)
http://epaper.kompas.com/kompas/books/140110kompas/index.html#/21/
Pupuk Langka Harga Melambung
Jumat, 10 Januari 2014
BANYUMAS- Kelangkaan pasokan dan kenaikan harga pupuk kimia organik hingga melebihi harga eceran tertinggi (HET), masih mendera petani di Banyumas dalam sepekan ini.
Pemerintah diminta secepatnya mengatasi permasalahan ini, karena ketersedian pupuk sangat mempengaruhi kesuksesan panen petani. Toko-toko pengecer pupuk di Ajibarang, bahkan menjadi sasaran petani dari sejumlah kecamatan sekitarnya.
Padahal pasokan atau distribusi pupuk kimia bersubsidi kepada toko pertanian, beberapa hari ini juga terlambat dibanding hari biasa. Akibatnya petani harus berburu pupuk meski harganya lebih mahal.
‘’Karena kami butuh, di manapun dan berapapun harganya akan kami beli. Kelangkaan pupuk ini karena awal tahun. Harga pupuk bisa mencapai lebih dari Rp 100 ribu. Padahal harga eceran tertingginya hanya Rp 90 ribu untuk urea,’’ kata Sasar, warga Desa Tlaga, Kecamatan Gumelar yang membeli pupuk ke Ajibarang.
Kesulitan serupa juga dialami petani asal Kecamatan Jatilawang. Mereka harus beradu cepat mendapatkan pupuk yang terbatas. Kelangkaan pasokan seperti ini, pernah terjadi pada akhir 2012. ‘’Jika masalah ini bersumber pada pasokan, maka distribusi harus diperlancar.
Tetapi jika ada permainan harga dari pedagang, maka kami berharap pemerintah dapat tegas,’’ jelas Unwanuss Sidik asal Tinggarjaya Jatilawang. Kepala Gudang Penyangga Pupuk Petrokimia Gresik yang berada di Wangon, Jimmy Rinty mengatakan pasokan pupuk bersubsidi untuk wilayah Banyumas- Cilacap masih cukup.
Tetapi untuk mendapatkan pasokan, distributor harus mengurus dulu kuota dan waktu pengiriman. Proses administrasi ini memerlukan waktu tunggu, dan berimbas pada distribusi pupuk ke petani. ‘’Dengan kapasitas gudang 2.500 ton, kami sekarang masih mempunyai stok pupuk 1.200 ton. Hari ini (kemarin-Red) juga dikirim lagi 500 ton,’’kata dia.
Efisiensi
Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan (Dinpertanbunhut) Banyumas, Tjutjun Sunarti Rochidie mengakui bahwa kelangkaan pupuk urea bersubsidi sedang terjadi di Banyumas.
Kondisi itu akibat adanya pengurangan kuota pupuk dari pemerintah pusat. ‘’Memang ada pengurangan kuota pupuk bersubsidi dari pemerintah pusat. Meski demikian, jumlah pengurangan kuota tersebut belum ditetapkan,’’ kata dia Suara Merdeka, kemarin. Menurutnya, Bupati Banyumas Achmad Husein juga seadng mengikuti rapat mengenai distribusi pupuk bersama Gubernur Ganjar Pranowo di Semarang.
Hasil rapat itu, akan memastikan jumlah kuota untuk Kabupaten Banyumas. Berkaitan dengan hal itu, Pemkab sudah menyiapkan langkah antisipasi, yakni dengan menyosialisasikan penggunaan pupuk secara berimbang. Selain pupuk kimia, petani diminta menggunakan pupuk organik. Bupati Banyumas Achmad Husein, usai rapat dengan pihak PT Pusri di Semarang, mengatakan perlu dilakukan efisiensi dalam distribusi. Hal i
tu untuk mengatasi pengurangan kuota dari pemerintah pusat, sekitar 5 ton. ‘’Saat distribusi awal tahun ini tetap menggunakan kartu kendali.
Namun petani kami minta melakukan efisiensi. Kebutuhan mereka tetap akan dipenuhi,’’ kata Bupati melalui telepon, ketika dalam perjalanan kembali ke Purwokerto, kemarin sore. Hasil kesepakatan dengan PT Pusri, distribusi pupuk bersubsidi ini untuk cadangan akhir tahun tetap disediakan.
Jika di lapangan ternyata kurang tetap bisa mengusulkan tambahan kuota. “Untuk mengetahui kondisi riil di lapangan, dalam waktu dekat saya akan sidak berdialog dengan petani dan pengecer,” jelasnya. Menurutnya, jatah kuota tahun lalu sebanyak 26.200 ton.
Tahun ini hanya mendapat kuota 21 ribu ton sehingga berkurang 5 ton lebih. ‘’Kalau ini langsung dibagikan, pasti geger. Karena itu kami berkoordinasi dulu dengan PT Pusri, mengenai antisipasi ketika ada kekurangan,’’ tandasnya. (K37, K17, G22-63,15)
http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/01/10/248891
BANYUMAS- Kelangkaan pasokan dan kenaikan harga pupuk kimia organik hingga melebihi harga eceran tertinggi (HET), masih mendera petani di Banyumas dalam sepekan ini.
Pemerintah diminta secepatnya mengatasi permasalahan ini, karena ketersedian pupuk sangat mempengaruhi kesuksesan panen petani. Toko-toko pengecer pupuk di Ajibarang, bahkan menjadi sasaran petani dari sejumlah kecamatan sekitarnya.
Padahal pasokan atau distribusi pupuk kimia bersubsidi kepada toko pertanian, beberapa hari ini juga terlambat dibanding hari biasa. Akibatnya petani harus berburu pupuk meski harganya lebih mahal.
‘’Karena kami butuh, di manapun dan berapapun harganya akan kami beli. Kelangkaan pupuk ini karena awal tahun. Harga pupuk bisa mencapai lebih dari Rp 100 ribu. Padahal harga eceran tertingginya hanya Rp 90 ribu untuk urea,’’ kata Sasar, warga Desa Tlaga, Kecamatan Gumelar yang membeli pupuk ke Ajibarang.
Kesulitan serupa juga dialami petani asal Kecamatan Jatilawang. Mereka harus beradu cepat mendapatkan pupuk yang terbatas. Kelangkaan pasokan seperti ini, pernah terjadi pada akhir 2012. ‘’Jika masalah ini bersumber pada pasokan, maka distribusi harus diperlancar.
Tetapi jika ada permainan harga dari pedagang, maka kami berharap pemerintah dapat tegas,’’ jelas Unwanuss Sidik asal Tinggarjaya Jatilawang. Kepala Gudang Penyangga Pupuk Petrokimia Gresik yang berada di Wangon, Jimmy Rinty mengatakan pasokan pupuk bersubsidi untuk wilayah Banyumas- Cilacap masih cukup.
Tetapi untuk mendapatkan pasokan, distributor harus mengurus dulu kuota dan waktu pengiriman. Proses administrasi ini memerlukan waktu tunggu, dan berimbas pada distribusi pupuk ke petani. ‘’Dengan kapasitas gudang 2.500 ton, kami sekarang masih mempunyai stok pupuk 1.200 ton. Hari ini (kemarin-Red) juga dikirim lagi 500 ton,’’kata dia.
Efisiensi
Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan (Dinpertanbunhut) Banyumas, Tjutjun Sunarti Rochidie mengakui bahwa kelangkaan pupuk urea bersubsidi sedang terjadi di Banyumas.
Kondisi itu akibat adanya pengurangan kuota pupuk dari pemerintah pusat. ‘’Memang ada pengurangan kuota pupuk bersubsidi dari pemerintah pusat. Meski demikian, jumlah pengurangan kuota tersebut belum ditetapkan,’’ kata dia Suara Merdeka, kemarin. Menurutnya, Bupati Banyumas Achmad Husein juga seadng mengikuti rapat mengenai distribusi pupuk bersama Gubernur Ganjar Pranowo di Semarang.
Hasil rapat itu, akan memastikan jumlah kuota untuk Kabupaten Banyumas. Berkaitan dengan hal itu, Pemkab sudah menyiapkan langkah antisipasi, yakni dengan menyosialisasikan penggunaan pupuk secara berimbang. Selain pupuk kimia, petani diminta menggunakan pupuk organik. Bupati Banyumas Achmad Husein, usai rapat dengan pihak PT Pusri di Semarang, mengatakan perlu dilakukan efisiensi dalam distribusi. Hal i
tu untuk mengatasi pengurangan kuota dari pemerintah pusat, sekitar 5 ton. ‘’Saat distribusi awal tahun ini tetap menggunakan kartu kendali.
Namun petani kami minta melakukan efisiensi. Kebutuhan mereka tetap akan dipenuhi,’’ kata Bupati melalui telepon, ketika dalam perjalanan kembali ke Purwokerto, kemarin sore. Hasil kesepakatan dengan PT Pusri, distribusi pupuk bersubsidi ini untuk cadangan akhir tahun tetap disediakan.
Jika di lapangan ternyata kurang tetap bisa mengusulkan tambahan kuota. “Untuk mengetahui kondisi riil di lapangan, dalam waktu dekat saya akan sidak berdialog dengan petani dan pengecer,” jelasnya. Menurutnya, jatah kuota tahun lalu sebanyak 26.200 ton.
Tahun ini hanya mendapat kuota 21 ribu ton sehingga berkurang 5 ton lebih. ‘’Kalau ini langsung dibagikan, pasti geger. Karena itu kami berkoordinasi dulu dengan PT Pusri, mengenai antisipasi ketika ada kekurangan,’’ tandasnya. (K37, K17, G22-63,15)
http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/01/10/248891
Pupuk Langka di Banyumas, Harga Melambung
Kamis, 9 Januari 2014
Metrotvnews.com, Banyumas: Petani di Banyumas, Jawa Tengah (Jateng), kesulitan memperoleh pupuk urea.
Mereka terpaksa harus pergi ke luar kecamatan untuk mendapatkan pupuk bersubsidi tersebut.
Bahkan, harga eceran mencapai Rp110 ribu per kantong isi 50 kilogram (kg). Padahal harga eceran tertinggi (HET) resmi hanya Rp90 ribu per kg.
Salah seorang petani asal Desa Tlaga, Kecamatan Gumelar, Kasan,45, mengungkapkan dalam beberapa pekan terakhir, petani sulit menemukan pupuk.
"Saya terpaksa harus pergi ke Ajibarang atau ke Wangon untuk mencari pupuk. Harga juga sudah meningkat. Kalau biasanya per kantung isi 50 kg harganya hanya Rp90 ribu, kini telah menjadi Rp110 ribu," jelas Kasan, Kamis (9/1).
Sementara petugas penyuluh lapangan (PPL) Kecamatan Gumelar Saprapto mengakui etani memang mulai kesulitan pupuk urea.
"Padahal, pupuk tersebut saat sekarang sangat dibutuhkan oleh petani. Kabarnya memang ada pengurangan jatah pupuk, tetapi informasi resminya belum jelas," kata Saprapto.
Dengan sulitnya memperoleh pupuk, para petani Gumelar mencari ke Ajibarang dan Wangon.
"Meski harganya cukup tinggi yakni mencapai Rp110 ribu per kantung, tetapi mereka tetap membeli, karena memang butuh," tambahnya.
Secara terpisah, Kepala Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Banyumas Tjutjun Sunarti mengatakan belum mengetahui persis jatah pupuk di kabupaten setempat.
"Hari ini tengah ada rapat alokasi pupuk di Semarang. Kalau tahun lalu, alokasi pupuk urea di Banyumas selama setahun sebanyak 26,2 ribu ton. Tahun ini pengurangannya berapa, kami belum tahu," ujar Tjutjun.
Sementara di Cilacap, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Cilacap Gunawan menyatakan alokasi pupuk tahun 2014 dikurangi.
"Kalau tahun lalu, alokasi pupuk urea selama setahun 33 ribu ton, tetapi jatah tahun 2014 menjadi 27 ribu ton atau ada pengurangan 6 ribu ton. Kami belum tahu apakah nanti cukup atau tidak," jelasnya.
Dijelaskan oleh Gunawan, ada dua langkah yang akan dilakukan dengan adanya pengurangan pupuk urea.
"Jika memang nanti kurang, maka akan ajukan penambahan. Langkah lainnya adalah meminta petani untuk beralih memakai pupuk organik," ujar Gunawan. (Lieliek Dharmawan)
Editor: Asnawi Khaddaf
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2014/01/09/6/206446/Pupuk-Langka-di-Banyumas-Harga-Melambung-
Metrotvnews.com, Banyumas: Petani di Banyumas, Jawa Tengah (Jateng), kesulitan memperoleh pupuk urea.
Mereka terpaksa harus pergi ke luar kecamatan untuk mendapatkan pupuk bersubsidi tersebut.
Bahkan, harga eceran mencapai Rp110 ribu per kantong isi 50 kilogram (kg). Padahal harga eceran tertinggi (HET) resmi hanya Rp90 ribu per kg.
Salah seorang petani asal Desa Tlaga, Kecamatan Gumelar, Kasan,45, mengungkapkan dalam beberapa pekan terakhir, petani sulit menemukan pupuk.
"Saya terpaksa harus pergi ke Ajibarang atau ke Wangon untuk mencari pupuk. Harga juga sudah meningkat. Kalau biasanya per kantung isi 50 kg harganya hanya Rp90 ribu, kini telah menjadi Rp110 ribu," jelas Kasan, Kamis (9/1).
Sementara petugas penyuluh lapangan (PPL) Kecamatan Gumelar Saprapto mengakui etani memang mulai kesulitan pupuk urea.
"Padahal, pupuk tersebut saat sekarang sangat dibutuhkan oleh petani. Kabarnya memang ada pengurangan jatah pupuk, tetapi informasi resminya belum jelas," kata Saprapto.
Dengan sulitnya memperoleh pupuk, para petani Gumelar mencari ke Ajibarang dan Wangon.
"Meski harganya cukup tinggi yakni mencapai Rp110 ribu per kantung, tetapi mereka tetap membeli, karena memang butuh," tambahnya.
Secara terpisah, Kepala Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Banyumas Tjutjun Sunarti mengatakan belum mengetahui persis jatah pupuk di kabupaten setempat.
"Hari ini tengah ada rapat alokasi pupuk di Semarang. Kalau tahun lalu, alokasi pupuk urea di Banyumas selama setahun sebanyak 26,2 ribu ton. Tahun ini pengurangannya berapa, kami belum tahu," ujar Tjutjun.
Sementara di Cilacap, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Cilacap Gunawan menyatakan alokasi pupuk tahun 2014 dikurangi.
"Kalau tahun lalu, alokasi pupuk urea selama setahun 33 ribu ton, tetapi jatah tahun 2014 menjadi 27 ribu ton atau ada pengurangan 6 ribu ton. Kami belum tahu apakah nanti cukup atau tidak," jelasnya.
Dijelaskan oleh Gunawan, ada dua langkah yang akan dilakukan dengan adanya pengurangan pupuk urea.
"Jika memang nanti kurang, maka akan ajukan penambahan. Langkah lainnya adalah meminta petani untuk beralih memakai pupuk organik," ujar Gunawan. (Lieliek Dharmawan)
Editor: Asnawi Khaddaf
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2014/01/09/6/206446/Pupuk-Langka-di-Banyumas-Harga-Melambung-
Kamis, 09 Januari 2014
Jumlah RT Petani di Kabupaten Serang Berkurang 62,9 Ribu
Kamis, 9 Januari 2014
RTRW Tidak Memihak Pertanian, 19.000 Ha Jadi Lahan Industri
Serang_Barakindo- Selama 10 tahun terakhir, terhitung sejak 2003 hingga 2013, jumlah petani di Kabupaten Serang berkurang hingga 30 persen. Hal itu terungkap dari hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Serang.
Kepala BPS Kab.Serang, Syarif Hidayat mengungkapkan, selama 10 tahun terakhir pihaknya telah melakukan survei dibidang pertanian. Dari hasil survei tersebut, terungkap jumlah Rumah Tangga (RT) Petani mengalami penurunan drastis, yakni sebanyak 30 persen.
“Dari data survei, dulu Kabupaten Serang didominasi oleh masyarakat yang berprofesi sebagai petani. Namun dalam 10 tahun terakhir, Rumah Tangga Petani terus mengalami penyusutan rata-rata 3 persen per tahun,” ujar Syarif.
Dari data yang ada, lanjutnya, jumlah Rumah Tangga (RT) Petani pada tahun 2013 hanya tersisa 127.483 RT Petani, dari sebelumnya pada tahun 2003 sebanyak 190.349 RT Petani, atau berkurang sebanyak 62.911 RT Petani.
Menurutnya, ada tiga Kecamatan yang mengalami penurunan RT Petani secara drastis, yakni di Kecamatan Kibin dari 8.649 pada 2003 menjadi 2.452 pada 2013, Kecamatan Bojonegara dari 6.455 pada 2003 menjadi 3.690 pada 2013, dan di Kecamatan Puloampel dari 5.131 pada 2003 menjadi 2.997 pada 2013.
“Penyusutan jumlah RT Petani pada tiga kecamatan tersebut adalah, Kecamatan Kibin sebanyak 71 persen, Bojonegara 42,75 persen, dan Puloampel sebanyak 41,59 persen,” jelas Syarif.
Katanya, ada beberapa faktor yang menyebabkan jumlah RT Petani terus menyusut dari tahun ke tahun, yakni banyaknya lahan yang telah beralih fungsi menjadi lahan industri (alih fungsi lahan-red) dan profesi petani tidak lagi menarik bagi generasi muda. “Sekarang banyak lahan pertanian yang telah beralih fungsi menjadi lahan industri, seperti di Kecamatan Kibin,” tegas Syarif layaknya dilansir Banten Pos, Rabu (8/1/2014) kemarin.
Hal itu pun dibenarkan oleh Kasie Bina Produksi pada Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Serang, Zaldy Dhuhana. Menurutnya, selama 10 tahun terakhir, jumlah RT Petani terus berkurang. Hal itu terjadi lantaran banyaknya lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan industri berdasarkan RTRW Perubahan fungsi lahan. Lahan pertanian yang sebelumnya seluas 49.000 Ha, kini telah berkurang menjadi 30 Ha.
“Saat ini 19.000 Ha lahan pertanian sudah tidak ada, karena fungsinya telah di ubah menjadi lahan industri. Contohnya di Kecamatan Kramatwatu seluas 2.400 Ha,” jelasnya. (Redaksi)*
http://beritabarak.blogspot.com/2014/01/jumlah-rt-petani-di-kabupaten-serang.html#more
![]() |
RTRW Tidak Memihak Pertanian, 19.000 Ha Jadi Lahan Industri
Serang_Barakindo- Selama 10 tahun terakhir, terhitung sejak 2003 hingga 2013, jumlah petani di Kabupaten Serang berkurang hingga 30 persen. Hal itu terungkap dari hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Serang.
Kepala BPS Kab.Serang, Syarif Hidayat mengungkapkan, selama 10 tahun terakhir pihaknya telah melakukan survei dibidang pertanian. Dari hasil survei tersebut, terungkap jumlah Rumah Tangga (RT) Petani mengalami penurunan drastis, yakni sebanyak 30 persen.
“Dari data survei, dulu Kabupaten Serang didominasi oleh masyarakat yang berprofesi sebagai petani. Namun dalam 10 tahun terakhir, Rumah Tangga Petani terus mengalami penyusutan rata-rata 3 persen per tahun,” ujar Syarif.
Dari data yang ada, lanjutnya, jumlah Rumah Tangga (RT) Petani pada tahun 2013 hanya tersisa 127.483 RT Petani, dari sebelumnya pada tahun 2003 sebanyak 190.349 RT Petani, atau berkurang sebanyak 62.911 RT Petani.
Menurutnya, ada tiga Kecamatan yang mengalami penurunan RT Petani secara drastis, yakni di Kecamatan Kibin dari 8.649 pada 2003 menjadi 2.452 pada 2013, Kecamatan Bojonegara dari 6.455 pada 2003 menjadi 3.690 pada 2013, dan di Kecamatan Puloampel dari 5.131 pada 2003 menjadi 2.997 pada 2013.
“Penyusutan jumlah RT Petani pada tiga kecamatan tersebut adalah, Kecamatan Kibin sebanyak 71 persen, Bojonegara 42,75 persen, dan Puloampel sebanyak 41,59 persen,” jelas Syarif.
Katanya, ada beberapa faktor yang menyebabkan jumlah RT Petani terus menyusut dari tahun ke tahun, yakni banyaknya lahan yang telah beralih fungsi menjadi lahan industri (alih fungsi lahan-red) dan profesi petani tidak lagi menarik bagi generasi muda. “Sekarang banyak lahan pertanian yang telah beralih fungsi menjadi lahan industri, seperti di Kecamatan Kibin,” tegas Syarif layaknya dilansir Banten Pos, Rabu (8/1/2014) kemarin.
Hal itu pun dibenarkan oleh Kasie Bina Produksi pada Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Serang, Zaldy Dhuhana. Menurutnya, selama 10 tahun terakhir, jumlah RT Petani terus berkurang. Hal itu terjadi lantaran banyaknya lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan industri berdasarkan RTRW Perubahan fungsi lahan. Lahan pertanian yang sebelumnya seluas 49.000 Ha, kini telah berkurang menjadi 30 Ha.
“Saat ini 19.000 Ha lahan pertanian sudah tidak ada, karena fungsinya telah di ubah menjadi lahan industri. Contohnya di Kecamatan Kramatwatu seluas 2.400 Ha,” jelasnya. (Redaksi)*
http://beritabarak.blogspot.com/2014/01/jumlah-rt-petani-di-kabupaten-serang.html#more
Rabu, 08 Januari 2014
Pupuk Subsidi di Lamteng Langka
Rabu, 8 Januari 2014
Kupastuntas.co.id - Sejumlah petani di Kabupaten Lampung Tengah mengeluhkan langkanya pupuk bersubsidi (NPK, Poska, dan SP-36). Dampaknya, musim tanam tahun ini menjadi terganggu.
"Sekarang ini pupuk susah. Padahal ini sudah memasuki musim tanam. Pupuk yang bersubsidi ya. Kalau yang tidak bersubsidi banyak. Cuma harganya kan beda," ujar Misban, salah satu petani Kampung Bumi Kencana, Rabu (8/1/14).
Menurutnya, kelangkaan pupuk bersubsidi sudah terjadi sejak dua hingga tiga pekan terakhir. Akibatnya, sebagian petani di Kampung Bumi Kencana terpaksa mengeluarkan kocek ekstra untuk membeli pupuk non subsidi.
"Mau enggak mau kita beli yang non subsidi. Kalau enggak kan gimana. Masa kita mau tunda. Ada juga sih yang masih nunggu pupuk. Kalau kita enggak. Tanam padi ini kan kejar waktu," katanya lagi. (Towo)
http://www.kupastuntas.co.id/?page=berita&&no=10311
"Sekarang ini pupuk susah. Padahal ini sudah memasuki musim tanam. Pupuk yang bersubsidi ya. Kalau yang tidak bersubsidi banyak. Cuma harganya kan beda," ujar Misban, salah satu petani Kampung Bumi Kencana, Rabu (8/1/14).
Menurutnya, kelangkaan pupuk bersubsidi sudah terjadi sejak dua hingga tiga pekan terakhir. Akibatnya, sebagian petani di Kampung Bumi Kencana terpaksa mengeluarkan kocek ekstra untuk membeli pupuk non subsidi.
"Mau enggak mau kita beli yang non subsidi. Kalau enggak kan gimana. Masa kita mau tunda. Ada juga sih yang masih nunggu pupuk. Kalau kita enggak. Tanam padi ini kan kejar waktu," katanya lagi. (Towo)
http://www.kupastuntas.co.id/?page=berita&&no=10311
Pupuk Urea Langka dan Mahal, Petani Blora Kelabakan
Rabu, 8 Januari 2014
BLORA. Petani di Kabupaten Blora didera kelangkaan pupuk di pasaran. Jika pun ada, harga pupuk urea misalnya mencapai Rp 120.000 hingga Rp 127.000 per zak. Akibatnya tidak hanya petani yang pusing, kalangan dewan juga meradang.
Bahkan anggota anggota DPRD setempat sewot, karena menemukan pengecer pupuk tidak resmi justru memiliki stok pupuk namun dijual dengan harga mahal. Semantara pengecer resmi (berizin) justru stoknya kosong.
"Banyak petani di Kecamatan Banjarejo, Ngawen dan Tunjungan kelabakan mencari pupuk, sebab tanaman padinya butuh segera ditaburi pupuk," kata H Suhada Hassan anggota Komisi B, Senin (6/1).
Guna membuktikan kelangkaan dan mahalnya harga, aktivis muda Nadhlatul Ulama (NU) Blora ini turun ke lapangan berusaha membeli pupuk di agen-agen atau pengecer resmi, dan selalu dijawab pupuk kosong. Tapi di pengecer tidak resmi, kata dia, justru memiliki stok pupuk bersubsidi dijual tinggi.
Tidak hanya di Kecamatan Banjarejo, Ngawen dan Tunjungan, kelangkaan pupuk juga melilit petani di Kecamatan Todanan, Kunduran dan kecamatan lainnya di Blora. Hal itu diungkap anggota Komisi B dari Fraksi PDI Perjuangan, Subroto.
■ Panggil Distributor
Dikatakan Subroto, harga pupuk di pengecer tidak resmi antara Rp 120.000 - Rp 127.000 per zak, padahal biasanya hanya Rp 95.000. Melihat kondisi tersebut, Komisi B DPRD Blora kemudian memanggil distributor pupuk dan lembaga terkait.
"Kami dapat masukan dari warga, saat mereka mencari pupuk pengecer bilang kosong, mereka akhirnya dapat pupuk yang dari pengecer tidak resmi dengan harga mahal," kata Ketua Komisi B DPRD Blora, Dwi Astuniningsih saat memimpin rapat, Senin (6/1).
Ketua Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3), H Bondan Sukarno, menyatakan sudah menerima banyak keluhan soal kelangkaan pupuk. Asisten II dan Pelaksana Harian (Plh) Dinas Pekerjaan Umum itu sudah memerintahkan stafnya untuk mengecek kondisi di lapangan.
"Kami sudah perintahkan cek lapangan, dan benar sudah ada laporan masuk pupuk langka sehingga menyulitkan petani," ujarnya.
Diperoleh keterangan, kesulitan mendapatkan pupuk itu mulai menjadi beban para petani. Paling sulit adalah jenis SP 36 dan Phonska. Selain itu, jenis pupuk lainnya juga langka. Petani sudah berusaha mencari pupuk ke daerah lain, namun juga sulit mendapatkan, kalaupun ada harganya juga mahal. ■ K-9/Ct (Ms-infoblora | Wawasan 07/01)
http://www.infoblora.com/2014/01/pupuk-urea-langka-dan-mahal-petani.html?showComment=1389146481703
![]() |
Bahkan anggota anggota DPRD setempat sewot, karena menemukan pengecer pupuk tidak resmi justru memiliki stok pupuk namun dijual dengan harga mahal. Semantara pengecer resmi (berizin) justru stoknya kosong.
"Banyak petani di Kecamatan Banjarejo, Ngawen dan Tunjungan kelabakan mencari pupuk, sebab tanaman padinya butuh segera ditaburi pupuk," kata H Suhada Hassan anggota Komisi B, Senin (6/1).
Guna membuktikan kelangkaan dan mahalnya harga, aktivis muda Nadhlatul Ulama (NU) Blora ini turun ke lapangan berusaha membeli pupuk di agen-agen atau pengecer resmi, dan selalu dijawab pupuk kosong. Tapi di pengecer tidak resmi, kata dia, justru memiliki stok pupuk bersubsidi dijual tinggi.
Tidak hanya di Kecamatan Banjarejo, Ngawen dan Tunjungan, kelangkaan pupuk juga melilit petani di Kecamatan Todanan, Kunduran dan kecamatan lainnya di Blora. Hal itu diungkap anggota Komisi B dari Fraksi PDI Perjuangan, Subroto.
■ Panggil Distributor
Dikatakan Subroto, harga pupuk di pengecer tidak resmi antara Rp 120.000 - Rp 127.000 per zak, padahal biasanya hanya Rp 95.000. Melihat kondisi tersebut, Komisi B DPRD Blora kemudian memanggil distributor pupuk dan lembaga terkait.
"Kami dapat masukan dari warga, saat mereka mencari pupuk pengecer bilang kosong, mereka akhirnya dapat pupuk yang dari pengecer tidak resmi dengan harga mahal," kata Ketua Komisi B DPRD Blora, Dwi Astuniningsih saat memimpin rapat, Senin (6/1).
Ketua Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3), H Bondan Sukarno, menyatakan sudah menerima banyak keluhan soal kelangkaan pupuk. Asisten II dan Pelaksana Harian (Plh) Dinas Pekerjaan Umum itu sudah memerintahkan stafnya untuk mengecek kondisi di lapangan.
"Kami sudah perintahkan cek lapangan, dan benar sudah ada laporan masuk pupuk langka sehingga menyulitkan petani," ujarnya.
Diperoleh keterangan, kesulitan mendapatkan pupuk itu mulai menjadi beban para petani. Paling sulit adalah jenis SP 36 dan Phonska. Selain itu, jenis pupuk lainnya juga langka. Petani sudah berusaha mencari pupuk ke daerah lain, namun juga sulit mendapatkan, kalaupun ada harganya juga mahal. ■ K-9/Ct (Ms-infoblora | Wawasan 07/01)
http://www.infoblora.com/2014/01/pupuk-urea-langka-dan-mahal-petani.html?showComment=1389146481703
Langganan:
Postingan (Atom)