Kamis, 23 April 2015
Nasib petani padi di negeri ini tidak pernah enak. Mereka ibarat roti tumpuk yang ditekan dari kanan-kiri. Ibaratnya nasib mereka maju babak belur, mundur pun hancur.
Mereka tidak pernah menikmati manisnya harga gabah menjelang panen, dan gurihnya harga saat terjadi lonjakan harga beras hingga Rp 11.000 per kilogram. Mereka tetap menjadi bagian dari masalah, dan cerita sedih petani gurem maupun menengah di sektor tanaman pangan negeri ini.
Simak saja berita yang dilansir oleh berbagai media cetak maupun elektronik pada Maret 2015 mengenai keresahan pemerintah yang tak mampu mengendalikan lonjakan harga beras di pasaran. Bahkan tersirat upaya keras Presiden Joko Widodo untuk menurunkan lonjakan harga beras yang menembus Rp 10.000 per kilogram, dengan melakukan operasi pasar.
Namun sayangnya saat momentum harga beras begitu 'gurih', petani tidak menikmatinya. Mereka tak lagi memiliki gabah untuk digiling menjadi beras. Komoditas itu sudah lepas dari tangan petani dan dikuasai oleh para tengkulak, pengusaha penggilingan padi, pedagang beras, para cukong di pasar induk beras, atau malah Badan Urusan Logistik (Bulog).
Begitu akhir Maret hingga pertengahan April memasuki masa panen raya, harga gabah kering sawah (GKS) atau panen (GKP) melorot dibawah harga pembelian pemerintah (HPP). Hasil panen petani seperti sudah menjadi bagian pelik masalah di republik ini. Harga GKP tak pernah mendekati patokan HPP. Harga GKP hanya berkisar Rp 3.400-Rp 3.500 per kilogram, masih dibawah HPP GKP sebesar Rp 3.700 per kilogram.
Kini pasca panen, mereka mulai memasuki musim tanam April-September. Namun mereka kembali dihantui soal kekurangan pupuk bersubsidi. Padahal harapan mereka adalah mendapatkan kemudahan sarana produksi pangan agar bisa menekan mahalnya biaya produksi. Petani tetap saja dirundung malang dan hidup dalam kepasrahan menerima nasib.
Cerita para petani
Simak saja cerita para petani di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang ditemui awal April lalu, mengeluhkan kekurangan pupuk bersubsidi. Kosongnya stok pupuk di tingkat pengecer mengganggu aktivitas persiapan musim tanam selanjutnya. Hal ini jika tidak ditangani segera bisa mengakibatkan keterlambatan pemupukan pada sebagian tanaman yang masih ada di sawah.
Suratman (52), petani di Desa Tirto, Kecamatan Salam, mengatakan, kelangkaan pupuk, terutama urea, sudah berlangsung selama dua minggu terakhir. "Banyak pengecer pupuk di Kecamatan Salam dan Ngluwar mengatakan, saat ini mereka sedang kehabisan stok urea," ujarnya, Jumat (10/4).
Saat ini, Suratman membutuhkan setidaknya 195 kilogram urea. Sebanyak 75 kilogram untuk 1.000 meter persegi tanaman jagung miliknya yang berusia 1,5 bulan, dan 120 kilogram untuk stok persiapan musim tanam padi yang akan dimulainya sekitar satu bulan mendatang.
Untuk kebutuhan menanam padi sengaja disiapkan sejak jauh-jauh hari. Ia mencoba membeli pupuk dari sekarang dengan harapan bisa mendapatkan pupuk secara bebas dari pengecer di mana pun, dan dalam jumlah berapa pun. "Di puncak musim tanam, biasanya volume pembelian pupuk per orang akan dibatasi. Petani hanya diperbolehkan membeli di toko di lingkup sekitar desa tempat tinggalnya saja," ujarnya.
Musim tanam diperkirakan dimulai pada awal Mei mendatang. Ketika banyak orang mulai menanam padi maka volume pembelian urea akan dibatasi 25 kilogram per petani. Padahal, untuk satu kali musim tanam kebutuhan urea per 1.000 meter persegi sawah mencapai 50-60 kilogram urea. Suratman memiliki sawah seluas 2.000 meter persegi.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Sugeng (50), petani di Desa Mangunsuko, Kecamatan Dukun, yang memiliki 2.000 meter persegi lahan tanaman padi yang kini berumur 1,5 bulan. Kelangkaan urea, menurut Sugeng, sudah terjadi selama satu bulan terakhir. "Setiap kali datang kepada pengecer dan ingin membeli urea, saya diminta untuk memesan terlebih dahulu dan menunggu sekitar dua minggu," ujarnya.
Hal senada disampaikan Suyud (57), petani sayur. Saat ini dirinya kesulitan mencukupi kebutuhan urea untuk 2.000 meter persegi tanaman cabai miliknya. "Terkadang, jika lebih dari dua minggu menunggu dan tidak mendapatkan apa-apa, penggunaan urea saya ganti dengan KCl atau ZA."
Mulai tanam
Sementara itu, di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, kini mulai memasuki musim tanam gadu. Selain kondisi cuaca yang kondusif, para petani berharap kebutuhan pupuk bersubsidi bisa tercukupi pada musim tanam kali ini. Pantauan Kompas, pada pekan pertama bulan April, petani di wilayah Kecamatan Purwoasri, Kunjang, Plemahan, hingga Pare, mulai melakukan tanam. Sebagian petani tengah menanam benih, sebagian lainnya telah memulai tanam sejak sekitar satu pekan lalu. Sebagian petani lainnya masih menjelang panen.
Saimun (50), salah satu petani di Desa Sidomulyo, Kecamatan Purwoasri, mengatakan, pihaknya berharap semua kebutuhan petani bisa tercukupi. Pengalaman selama bertahun-tahun, saat musim tanam seperti ini pupuk menjadi barang langka di lapangan. "Saat ini sebenarnya juga cukup sulit mencari pupuk. Di toko-toko sarana pertanian sudah tidak lagi menjual pupuk. Pupuk dikirim langsung ke kelompok tani. Namun saya sendiri belum ngecek apakah di kelompok tani saya sudah tersedia pupuk," ujarnya.
Saimun memiliki lahan sekitar satu hektar. Dari luasan tersebut, ia membutuhkan sekitar 1,5 kuintal pupuk urea. Pupuk itu menurut rencana ditaburkan pekan depan, saat umur tanaman padi telah mencapai satu minggu pasca tanam. Senin pagi, Saimun tengah menanam padi jenis IR 64 dibantu beberapa perempuan buruh tani.
Kelangkaan pupuk saat musim tanam memang kerap dialami petani setempat. Ketersediaan pupuk tidak selalu selaras dengan kebutuhan petani. Saimun mencontohkan, biasanya petani membutuhkan pupuk jenis urea, tetapi pasokan yang tersedia jenis pupuk lain, seperti ZA. Begitu pula sebaliknya.
"Harga terakhir pupuk urea Rp 90.000 per zak ukuran 50 kilogram. Harga terbaru saya kurang tahu karena harga bahan bakar minyak baru saja naik. Kalaupun harga pupuk naik di atas Rp 100.000, petani tetap beli, karena tidak ada pilihan. Yang penting barang ada," katanya.
Hermanto, salah satu petani dari Balongjeruk, Kecamatan Kunjang, mengatakan, petani begitu bergantung pada pupuk industri. Mereka jarang menggunakan pupuk organik. Akibatnya, saat distribusi pupuk tidak lancar, petani mengalami kesulitan. "Ya bagaimana lagi, tanpa pupuk kimia produksi padi juga tidak bisa bagus. Pupuk kandang terkadang saja dipakai untuk tanaman tertentu, seperti palawija," ujarnya.
Kondisi luar Jawa
Sementara itu, Ketua Kelompok Tani Sumber Makmur Djarkasi, Senin (6/4), di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, mengatakan, sejumlah kios menjual pupuk dengan harga mahal biasanya terjadi saat bulan Juni atau Juli. Petani tidak bisa membeli sekaligus semua jatah pupuk bersubsidi yang disalurkan kios karena keterbatasan dana.
"Dari jatah satu ton misalnya, kami baru bisa membeli separuhnya di awal musim tanam. Sisa jatah kami itulah yang kadang dijual ke tempat lain atau dijual eceran dengan harga lebih mahal oleh kios pengecer," papar Djarkasi yang memimpin 35 anggota petani dalam kelompok taninya.
Dalam satu tahun musim tanam, kelompok tani Sumber Makmur telah mengajukan permohonan kebutuhan pupuk seperti phonska, urea, KCL, dan SP-36 sebanyak 54 ton dalam RDKK. Harga normal yang dibayarkan petani, lanjut Djarkasi, untuk satu zak phonska (per zak 50 kilogram) Rp 125.000, urea Rp 95.000 per zak, KCL 350.000 per zak, dan SP-36 Rp 140.000 per zak.
Hal serupa disampaikan Rudi Kuswanto, petani cabai di Jalan Tjilik Riwut Km 16, Palangkaraya. Rudi lebih memilih menggunakan pupuk non-subsidi karena persediaannya selalu ada dan tidak harus berebutan dengan petani yang lain.
Sementara itu dari Nusa Tenggara Timur juga dilaporkan hal yang sama. Hambatan pengolahan persawahan Mbay di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, tidak hanya karena keterbatasan traktor tangan.
Kendala lainnya dari ketersediaan pupuk bersubsidi yang terbatas, yakni hanya 1.874 ton atau sekitar 25 persen dari total kebutuhan sebanyak 7.507 ton sebagaimana tertera dalam RDKK. Pupuk bersubsidi kurang sebanyak 5.632.832 kilogram.
Padahal, persawahan di Mbay dengan areal fungsional seluas 3.200 hektar adalah sentra utama beras bagi Nagekeo bahkan NTT. Kawasan Mbay yang juga merukan ibu kota kabupaten, terletak di pesisir utara Nagekeo.
(REGINA RUMORINI/DEFRI WERDIAONO/FRANS SARONG)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150423kompas/#/24/
Kamis, 23 April 2015
Audit Distribusi Pupuk
Kamis, 23 April 2015
Senjangnya kebutuhan riil dan ketersediaan pupuk bersubsidi tanaman pangan kembali terjadi di tengah upaya pemerintah menggenjot produksi pangan.
Kabinet Kerja memprioritaskan swasembada beras, jagung, kedelai, dan gula pada tahun 2019. Untuk mendukung pencapaian target tersebut, anggaran sektor pertanian dinaikkan, termasuk untuk pengadaan pupuk bersubsidi.
Persoalan ketersediaan pupuk bersubsidi sejak berlaku otonomi daerah terutama disebabkan tidak akuratnya data luasan tanaman pangan dan jumlah petani. Padahal, data menjadi dasar penyusunan kebutuhan pupuk yang dituangkan menjadi rencana definitif kerja kelompok tani.
Ketersediaan pupuk buatan menentukan produksi tanaman pangan meskipun petani didorong juga memakai pupuk organik untuk memperbaiki kondisi tanah. Jika pupuk tidak tersedia dalam jumlah cukup pada waktu yang tepat, dapat dipastikan hasil panen akan turun karena sebagian besar varietas tanaman pangan sudah dimuliakan dan menuntut penggunaan pupuk buatan.
Karena persoalan yang sama terus berulang, sudah saatnya pemerintah mengaudit menyeluruh rantai produksi, distribusi, dan konsumsi pupuk.
Kebijakan subsidi pupuk adalah instrumen nonharga untuk mendukung ketahanan dan kedaulatan pangan. Instrumen ini diperkenalkan sejak awal program Bimbingan Massal pada awal tahun 1970-an. Hasilnya nyata, Indonesia berhasil swasembada beras pada tahun 1984.
Kebijakan subsidi pupuk untuk meningkatkan produktivitas hasil tanaman pangan juga berhasil meningkatkan pendapatan petani dan menurunkan jumlah orang miskin di perdesaan.
Audit menyeluruh perlu karena kondisi kini telah berubah. Luas lahan pertanian terus bertambah, begitu juga jenis tanaman pertanian. Karena itu, terjadi peningkatan kebutuhan pupuk. Pupuk bersubsidi untuk tanaman pangan dapat bocor digunakan untuk tanaman lain. Pupuk bersubsidi juga dapat bocor ke luar negeri apabila harga di luar lebih tinggi daripada di dalam negeri.
Audit dilakukan pada luas lahan, jumlah petani, produksi oleh pabrik pupuk, dan manfaat pupuk. Urea, misalnya, masih digunakan petani secara berlebihan.
Perlu juga ada sistem dan teknologi penjejakan distribusi pupuk dengan pengawas kompeten. Terakhir, perlu ada sanksi bagi petugas atau pejabat yang tidak dapat mengawasi distribusi dan penggunaan pupuk bersubsidi.
Distribusi pupuk bersubsidi wajib diawasi ketat. Pupuk bersubsidi tidak boleh diperdagangkan justru karena merupakan barang subsidi. Distribusi harus melalui badan usaha milik negara dan koperasi hingga sampai ke tangan petani.
Dengan berbagai persoalan di atas, penyelesaiannya bukan jalan pintas dengan menghapus subsidi pupuk bagi petani tanaman pangan. Persoalan ada pada sistem dan pengawasan distribusi, bukan pada subsidi.
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150423kompas/#/6/
Senjangnya kebutuhan riil dan ketersediaan pupuk bersubsidi tanaman pangan kembali terjadi di tengah upaya pemerintah menggenjot produksi pangan.
Kabinet Kerja memprioritaskan swasembada beras, jagung, kedelai, dan gula pada tahun 2019. Untuk mendukung pencapaian target tersebut, anggaran sektor pertanian dinaikkan, termasuk untuk pengadaan pupuk bersubsidi.
Persoalan ketersediaan pupuk bersubsidi sejak berlaku otonomi daerah terutama disebabkan tidak akuratnya data luasan tanaman pangan dan jumlah petani. Padahal, data menjadi dasar penyusunan kebutuhan pupuk yang dituangkan menjadi rencana definitif kerja kelompok tani.
Ketersediaan pupuk buatan menentukan produksi tanaman pangan meskipun petani didorong juga memakai pupuk organik untuk memperbaiki kondisi tanah. Jika pupuk tidak tersedia dalam jumlah cukup pada waktu yang tepat, dapat dipastikan hasil panen akan turun karena sebagian besar varietas tanaman pangan sudah dimuliakan dan menuntut penggunaan pupuk buatan.
Karena persoalan yang sama terus berulang, sudah saatnya pemerintah mengaudit menyeluruh rantai produksi, distribusi, dan konsumsi pupuk.
Kebijakan subsidi pupuk adalah instrumen nonharga untuk mendukung ketahanan dan kedaulatan pangan. Instrumen ini diperkenalkan sejak awal program Bimbingan Massal pada awal tahun 1970-an. Hasilnya nyata, Indonesia berhasil swasembada beras pada tahun 1984.
Kebijakan subsidi pupuk untuk meningkatkan produktivitas hasil tanaman pangan juga berhasil meningkatkan pendapatan petani dan menurunkan jumlah orang miskin di perdesaan.
Audit menyeluruh perlu karena kondisi kini telah berubah. Luas lahan pertanian terus bertambah, begitu juga jenis tanaman pertanian. Karena itu, terjadi peningkatan kebutuhan pupuk. Pupuk bersubsidi untuk tanaman pangan dapat bocor digunakan untuk tanaman lain. Pupuk bersubsidi juga dapat bocor ke luar negeri apabila harga di luar lebih tinggi daripada di dalam negeri.
Audit dilakukan pada luas lahan, jumlah petani, produksi oleh pabrik pupuk, dan manfaat pupuk. Urea, misalnya, masih digunakan petani secara berlebihan.
Perlu juga ada sistem dan teknologi penjejakan distribusi pupuk dengan pengawas kompeten. Terakhir, perlu ada sanksi bagi petugas atau pejabat yang tidak dapat mengawasi distribusi dan penggunaan pupuk bersubsidi.
Distribusi pupuk bersubsidi wajib diawasi ketat. Pupuk bersubsidi tidak boleh diperdagangkan justru karena merupakan barang subsidi. Distribusi harus melalui badan usaha milik negara dan koperasi hingga sampai ke tangan petani.
Dengan berbagai persoalan di atas, penyelesaiannya bukan jalan pintas dengan menghapus subsidi pupuk bagi petani tanaman pangan. Persoalan ada pada sistem dan pengawasan distribusi, bukan pada subsidi.
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150423kompas/#/6/
Rabu, 22 April 2015
Gubernur Berharap Bulog Segera Beli Gabah Petani
Rabu, 22 April 2015
SEMARANG, KOMPAS — Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berharap Perum Bulog segera bergerak cepat membeli gabah dan beras untuk memperkuat stok pengadaan pangan. Harga gabah di sejumlah daerah memang cenderung naik, tetapi di sejumlah daerah yang panen, harga gabah kering panen ada yang di bawah Rp 4.000 per kilogram. Dengan begitu, apabila Bulog hendak membeli gabah kering panen, akan terpenuhi seharga Rp 3.750 per kilogram.
"Lima daerah lumbung pangan di Jawa Tengah, yaitu Sragen, Brebes, Demak, Cilacap, dan Grobogan, terbanyak penghasil padi. Produksi di daerah lumbung ini rata-rata 600.000 ton lebih, saat ini belum banyak tanaman padi yang panen," kata Ganjar di Semarang, Selasa (21/4).
Menurut Ganjar, Perum Bulog dalam pengadaan gabah dan beras harus berpatokan pada Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015. Namun untuk mendukung percepatan stok pangan, Bulog dapat menggunakan anggaran nonpemerintah dengan melakukan pembelian gabah dan beras dengan menggunakan dana komersial.
Dana komersial yang dipakai Bulog memberi keleluasaan untuk pembelian gabah dan beras dengan kualitas lebih rendah dari syarat harga pembelian pemerintah. Melalui dana komersial pun, Bulog bisa mempercepat pengadaan melalui pembelian ke petani.
Secara terpisah, Kepala Perum Bulog Divisi Regional Jateng Damin Hartono mengatakan, pengadaan gabah dan beras masih mengacu Inpres Nomor 5 Tahun 2015. Hal ini menyangkut anggaran pembelian untuk pengadaan menggunakan anggaran APBN.
Syarat ketat gabah yang siap dibeli antara lain kadar air maksimal 14 persen, tingkat menir atau pecahan beras maksimal 2 persen, tingkat kepatahan maksimal 20 persen, dan derajat sosoh minimal 95 persen. Karena beras itu nanti akan disimpan di gudang lebih dari tiga bulan, syarat kadar air maksimal 14 persen tidak bisa ditawar lagi.
Untuk dana komersial, Bulog sudah menyiapkan. Hanya saja, Kata Damin, dana komersial yang berasal dari pinjaman bank ini bunganya tinggi, yakni 18 persen. (WHO)
http://print.kompas.com/baca/2015/04/22/Gubernur-Berharap-Bulog-Segera-Beli-Gabah-Petani
SEMARANG, KOMPAS — Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berharap Perum Bulog segera bergerak cepat membeli gabah dan beras untuk memperkuat stok pengadaan pangan. Harga gabah di sejumlah daerah memang cenderung naik, tetapi di sejumlah daerah yang panen, harga gabah kering panen ada yang di bawah Rp 4.000 per kilogram. Dengan begitu, apabila Bulog hendak membeli gabah kering panen, akan terpenuhi seharga Rp 3.750 per kilogram.
"Lima daerah lumbung pangan di Jawa Tengah, yaitu Sragen, Brebes, Demak, Cilacap, dan Grobogan, terbanyak penghasil padi. Produksi di daerah lumbung ini rata-rata 600.000 ton lebih, saat ini belum banyak tanaman padi yang panen," kata Ganjar di Semarang, Selasa (21/4).
Menurut Ganjar, Perum Bulog dalam pengadaan gabah dan beras harus berpatokan pada Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015. Namun untuk mendukung percepatan stok pangan, Bulog dapat menggunakan anggaran nonpemerintah dengan melakukan pembelian gabah dan beras dengan menggunakan dana komersial.
Dana komersial yang dipakai Bulog memberi keleluasaan untuk pembelian gabah dan beras dengan kualitas lebih rendah dari syarat harga pembelian pemerintah. Melalui dana komersial pun, Bulog bisa mempercepat pengadaan melalui pembelian ke petani.
Secara terpisah, Kepala Perum Bulog Divisi Regional Jateng Damin Hartono mengatakan, pengadaan gabah dan beras masih mengacu Inpres Nomor 5 Tahun 2015. Hal ini menyangkut anggaran pembelian untuk pengadaan menggunakan anggaran APBN.
Syarat ketat gabah yang siap dibeli antara lain kadar air maksimal 14 persen, tingkat menir atau pecahan beras maksimal 2 persen, tingkat kepatahan maksimal 20 persen, dan derajat sosoh minimal 95 persen. Karena beras itu nanti akan disimpan di gudang lebih dari tiga bulan, syarat kadar air maksimal 14 persen tidak bisa ditawar lagi.
Untuk dana komersial, Bulog sudah menyiapkan. Hanya saja, Kata Damin, dana komersial yang berasal dari pinjaman bank ini bunganya tinggi, yakni 18 persen. (WHO)
http://print.kompas.com/baca/2015/04/22/Gubernur-Berharap-Bulog-Segera-Beli-Gabah-Petani
Selasa, 21 April 2015
Misteri Data Stok Beras
Senin, 20 April 2015
Gejolak harga beras yang terjadi pada Februari lalu masih menyisakan misteri ihwal panyebabnya. Banyak analisa mengemuka, tapi tak satupun dari analisa-analisa tersebut yang mampu menjelaskan dengan gamblang penyebab gejolak harga yang terjadi.
Mengapa penyebab gejolak harga beras acap kali begitu sulit dipahami? Tidak tersedianya data produksi dan konsumsi beras yang akurat adalah salah satu pangkal masalahnya. Kondisi ini telah mereduksi kemampuan pemerintah dan para peneliti dalam memahami suplai dan permintaan beras.
Lemahnya kualitas data tercermin dari inkonsistensi antara data produksi dan konsumsi beras. Pada 2014, produksi padi ditaksir mencapai 70,8 juta ton gabah kering giling (GKG). Dengan menggunakan laju konversi sebesar 57 persen, ada sebanyak 40,4 juta ton beras yang siap dikonsumsi untuk pangan penduduk. Pada saat yang sama, dengan tingkat konsumsi beras per kapita sebesar 139,15 kilogram per tahun, kebutuhan beras nasional untuk mencukupi pangan 252 juta jiwa penduduk negeri ini diperkirakan mencapai 35 juta ton. Itu artinya, secara hitung-hitungan, surplus beras pada tahun lalu mencapai 5 juta ton.
Belakangan, hasil demo memasak nasi di Kantor Wakil Presiden beberapa waktu lalu menyimpulkan bahwa angka konsumsi beras per kapita yang paling mewakili tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah sebesar 114,8 kilogram per tahun. Itu artinya, kebutuhan beras nasional pada 2014 hanya sebanyak 29 juta ton. Dengan demikian, surplus beras pada tahun lalu lebih besar lagi, bisa mencapai 11 juta ton.
Seandainya pada 2014 memang terdapat surplus beras sebanyak 5-11 juta ton, gejolak harga beras pada Februari lalu, yang katanya dipicu menipisnya stok, galibnya tak bakal terjadi. Lalu ke mana perginya berjuta-juta ton beras itu? Ini adalah sebuah pertanyaan yang tak pernah bisa dijawab dengan tuntas.
Salah satu informasi penting yang dibutuhkan untuk menjawab inkonsistensi antara data produksi dan konsumsi beras adalah data cadangan atau stok beras nasional. Sayangnya, hingga kini, informasi berapa jumlah stok beras yang ada di masyarakat secara real time tetap misterius, terutama stok beras yang dikuasai oleh pedagang dan penggilingan padi. Akibatnya, pemerintah dan peneliti sering kali gagal memahami penyebab gejolak kenaikan harga beras di pasar. Apakah hal tersebut murni disebabkan oleh stok yang menipis atau penyebab lain, seperti praktek kartel atau mafia beras karena struktur pasar beras yang tidak sehat dan cenderung oligopolistik.
Kabar baiknya, saat ini BPS sedang melaksanakan survei untuk mengestimasi stok beras yang dikuasai oleh masyarakat pada tiga titik waktu, yakni musim panen raya, paceklik, dan gaduh. Meski cukup menjanjikan, survei tersebut bakal dihadapkan pada tantangan yang cukup berat, yakni sulitnya mendapatkan informasi stok yang dikuasai oleh para pedagang dan penggilingan padi. Maklum, informasi tersebut adalah infromasi kelas satu bahkan alat spekulasi yang tidak mungkin dengan mudah dibagikan kepada pihak lain.
Akurasi data produksi
Ihwah inkonsistensi antara data produksi dan konsumsi beras, selama ini, yang acap kali disorot oleh banyak kalangan adalah soal akurasi data produksi padi/beras. Data tersebut ditengarai menderita overestimate atau lebih tinggi dari kenyataan di lapangan. Musababnya, penaksiran luas panen yang masih menggunakan metode estimasi pandangan mata (eye estimate), bukan metode statistik (objective measurement).
Dalam prakteknya, petugas mengunjungi lahan sawah yang tanaman padinya siap dipanen kemudian memperkirakan luas panen padi secara visual. Akurasinya tentu sangat lemah dan cenderung subyektif. Itupun masih untung petugas datang ke sawah, bagaimana bila penaksiran luas panen dilakukan di atas meja?
Sebetulnya, eye estimate bukanlah satu-satunya metode yang digunakan oleh petugas dalam menaksir luas panen. Faktanya, petugas juga menggunakan metode-metode lain, seperti pendekatan blok pengairan, penggunaan pupuk dan benih, dan informasi dari aparat desa. Namun tetap saja metode-metode tersebut sulit dievaluasi akurasinya, karena pada dasarnya bukan pengukuran yang dilakukan secara obyektif atau hasil dari metode statistik.
Sekedar diketahui, selama ini, produksi padi dihitung dengan mengalikan data luas panen dan data produksi per hektar (produktivitas). Data luas panen dikumpulkan melalui kegiatan pendataan yang dilakukan oleh petugas Dinas Pertanian (KCD), sementara data produktivitas dikumpulkan oleh KCD dan petugas BPS melalui Survei Ubinan. Mekanisme pengumpulan data ini sudah berlangsung lebih dari seperempat abad.
Meski kontribusi BPS terhadap data produksi padi, boleh dibilang, hanya sekitar 25 persen, yang dipahami oleh publik selama ini adalah data tersebut merupakan—sepenuhnya—data BPS. Walhasil, BPS acap kali menjadi sasaran tembak dan bulan-bulanan para kritikus data yang tidak puas dengan akurasi data produksi padi/beras.
Untuk mengakhiri inkonsistensi antara data produksi dan konsumsi beras, perbaikan akurasi data adalah sebuah keniscayaan. Kabar baiknya, upaya ke arah itu sedang dilakukan. Pada tahun ini, misalnya, BPS melaksanakan dua kegiatan sekaligus untuk memperbaiki akurasi data luas panen.
Kegiatan pertama adalah uji coba metode kerangka sampel area untuk mengestimasi luas panen padi dengan memanfaatkan data citra satelit. Uji coba tersebut dilakukan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Serangkaian uji coba akan dilakukan hingga metode KSA dipastikan bisa diterapkan secara nasional pada 2019.
Kegiatan kedua adalah Survei Luas Panen dan Luas Lahan Tanaman Pangan yang dilakukan di 7 provinsi sentra produksi padi nasional, yakni semua provinsi di Pulau Jawa kecuali DKI Jakarta serta Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Selatan. Survei tersebut bertujuan untuk menguji validitas dan keterandalan pendekatan rumah tangga dalam mengestimasi luas panen. Outputnya adalah apakah metode wawancara bisa digunakan untuk menggantikan metode eye estimate dan metode-metode lain yang tidak jelas asal muasalnya dalam mengestimasi luas panen.
Selain itu, dari hasil survei juga dapat diperoleh informasi seberapa besar sebetulnya overestimate yang terjadi pada data luas panen padi, yang menurut sejumlah kalangan sudah mencapai 20 persen. Dengan demikian, koreksi terhadap data luas panen dan produksi padi/beras, yang selama ini ditengarai tidak akurat, dapat dilakukan.(*)
http://indonesiana.tempo.co/read/39912/2015/04/19/kadirsst/misteri-data-stok-beras#.VTV6GNK8PGc
Gejolak harga beras yang terjadi pada Februari lalu masih menyisakan misteri ihwal panyebabnya. Banyak analisa mengemuka, tapi tak satupun dari analisa-analisa tersebut yang mampu menjelaskan dengan gamblang penyebab gejolak harga yang terjadi.
Mengapa penyebab gejolak harga beras acap kali begitu sulit dipahami? Tidak tersedianya data produksi dan konsumsi beras yang akurat adalah salah satu pangkal masalahnya. Kondisi ini telah mereduksi kemampuan pemerintah dan para peneliti dalam memahami suplai dan permintaan beras.
Lemahnya kualitas data tercermin dari inkonsistensi antara data produksi dan konsumsi beras. Pada 2014, produksi padi ditaksir mencapai 70,8 juta ton gabah kering giling (GKG). Dengan menggunakan laju konversi sebesar 57 persen, ada sebanyak 40,4 juta ton beras yang siap dikonsumsi untuk pangan penduduk. Pada saat yang sama, dengan tingkat konsumsi beras per kapita sebesar 139,15 kilogram per tahun, kebutuhan beras nasional untuk mencukupi pangan 252 juta jiwa penduduk negeri ini diperkirakan mencapai 35 juta ton. Itu artinya, secara hitung-hitungan, surplus beras pada tahun lalu mencapai 5 juta ton.
Belakangan, hasil demo memasak nasi di Kantor Wakil Presiden beberapa waktu lalu menyimpulkan bahwa angka konsumsi beras per kapita yang paling mewakili tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah sebesar 114,8 kilogram per tahun. Itu artinya, kebutuhan beras nasional pada 2014 hanya sebanyak 29 juta ton. Dengan demikian, surplus beras pada tahun lalu lebih besar lagi, bisa mencapai 11 juta ton.
Seandainya pada 2014 memang terdapat surplus beras sebanyak 5-11 juta ton, gejolak harga beras pada Februari lalu, yang katanya dipicu menipisnya stok, galibnya tak bakal terjadi. Lalu ke mana perginya berjuta-juta ton beras itu? Ini adalah sebuah pertanyaan yang tak pernah bisa dijawab dengan tuntas.
Salah satu informasi penting yang dibutuhkan untuk menjawab inkonsistensi antara data produksi dan konsumsi beras adalah data cadangan atau stok beras nasional. Sayangnya, hingga kini, informasi berapa jumlah stok beras yang ada di masyarakat secara real time tetap misterius, terutama stok beras yang dikuasai oleh pedagang dan penggilingan padi. Akibatnya, pemerintah dan peneliti sering kali gagal memahami penyebab gejolak kenaikan harga beras di pasar. Apakah hal tersebut murni disebabkan oleh stok yang menipis atau penyebab lain, seperti praktek kartel atau mafia beras karena struktur pasar beras yang tidak sehat dan cenderung oligopolistik.
Kabar baiknya, saat ini BPS sedang melaksanakan survei untuk mengestimasi stok beras yang dikuasai oleh masyarakat pada tiga titik waktu, yakni musim panen raya, paceklik, dan gaduh. Meski cukup menjanjikan, survei tersebut bakal dihadapkan pada tantangan yang cukup berat, yakni sulitnya mendapatkan informasi stok yang dikuasai oleh para pedagang dan penggilingan padi. Maklum, informasi tersebut adalah infromasi kelas satu bahkan alat spekulasi yang tidak mungkin dengan mudah dibagikan kepada pihak lain.
Akurasi data produksi
Ihwah inkonsistensi antara data produksi dan konsumsi beras, selama ini, yang acap kali disorot oleh banyak kalangan adalah soal akurasi data produksi padi/beras. Data tersebut ditengarai menderita overestimate atau lebih tinggi dari kenyataan di lapangan. Musababnya, penaksiran luas panen yang masih menggunakan metode estimasi pandangan mata (eye estimate), bukan metode statistik (objective measurement).
Dalam prakteknya, petugas mengunjungi lahan sawah yang tanaman padinya siap dipanen kemudian memperkirakan luas panen padi secara visual. Akurasinya tentu sangat lemah dan cenderung subyektif. Itupun masih untung petugas datang ke sawah, bagaimana bila penaksiran luas panen dilakukan di atas meja?
Sebetulnya, eye estimate bukanlah satu-satunya metode yang digunakan oleh petugas dalam menaksir luas panen. Faktanya, petugas juga menggunakan metode-metode lain, seperti pendekatan blok pengairan, penggunaan pupuk dan benih, dan informasi dari aparat desa. Namun tetap saja metode-metode tersebut sulit dievaluasi akurasinya, karena pada dasarnya bukan pengukuran yang dilakukan secara obyektif atau hasil dari metode statistik.
Sekedar diketahui, selama ini, produksi padi dihitung dengan mengalikan data luas panen dan data produksi per hektar (produktivitas). Data luas panen dikumpulkan melalui kegiatan pendataan yang dilakukan oleh petugas Dinas Pertanian (KCD), sementara data produktivitas dikumpulkan oleh KCD dan petugas BPS melalui Survei Ubinan. Mekanisme pengumpulan data ini sudah berlangsung lebih dari seperempat abad.
Meski kontribusi BPS terhadap data produksi padi, boleh dibilang, hanya sekitar 25 persen, yang dipahami oleh publik selama ini adalah data tersebut merupakan—sepenuhnya—data BPS. Walhasil, BPS acap kali menjadi sasaran tembak dan bulan-bulanan para kritikus data yang tidak puas dengan akurasi data produksi padi/beras.
Untuk mengakhiri inkonsistensi antara data produksi dan konsumsi beras, perbaikan akurasi data adalah sebuah keniscayaan. Kabar baiknya, upaya ke arah itu sedang dilakukan. Pada tahun ini, misalnya, BPS melaksanakan dua kegiatan sekaligus untuk memperbaiki akurasi data luas panen.
Kegiatan pertama adalah uji coba metode kerangka sampel area untuk mengestimasi luas panen padi dengan memanfaatkan data citra satelit. Uji coba tersebut dilakukan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Serangkaian uji coba akan dilakukan hingga metode KSA dipastikan bisa diterapkan secara nasional pada 2019.
Kegiatan kedua adalah Survei Luas Panen dan Luas Lahan Tanaman Pangan yang dilakukan di 7 provinsi sentra produksi padi nasional, yakni semua provinsi di Pulau Jawa kecuali DKI Jakarta serta Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Selatan. Survei tersebut bertujuan untuk menguji validitas dan keterandalan pendekatan rumah tangga dalam mengestimasi luas panen. Outputnya adalah apakah metode wawancara bisa digunakan untuk menggantikan metode eye estimate dan metode-metode lain yang tidak jelas asal muasalnya dalam mengestimasi luas panen.
Selain itu, dari hasil survei juga dapat diperoleh informasi seberapa besar sebetulnya overestimate yang terjadi pada data luas panen padi, yang menurut sejumlah kalangan sudah mencapai 20 persen. Dengan demikian, koreksi terhadap data luas panen dan produksi padi/beras, yang selama ini ditengarai tidak akurat, dapat dilakukan.(*)
http://indonesiana.tempo.co/read/39912/2015/04/19/kadirsst/misteri-data-stok-beras#.VTV6GNK8PGc
Senin, 20 April 2015
Perhoti: Hentikan Impor Pangan
Senin, 20 April 2015
YOGYAKARTA (SK) – Perhimpunan Holtikultura Indonesia (Perhoti) menganggap impor pangan bukan solusi ketahanan pangan Indonesia. Pasalnya, impor pangan tidak akan bisa bertahan lama dalam menyejahterakan rakyat Indonesia.
Menurutnya, masih ada solusi lain selain melakukan impor, yakni menurunkan kebutuhan konsumsi beras dan menggantinya dengan bahan makanan lokal yang diolah secara modern.
”Kenapa Indonesia masih mengimpor beras? Karena kita yang makan nasi terlalu banyak. Di Indonesia, saat ini satu orang menghabiskan 125 kg beras/tahun. Padahal di Malaysia, satu orang hanya menghabiskan 80 kg/tahun. Itulah kenapa kita masih kekurangan dalam hal pangan, terutama ketersediaan beras,” kata Dewan Pembina Perhoti Prof Dr Roedhy Poerwanto pada seminar nasional ”Kemandirian Pangan Indonesia Menyongsong ASEAN Economic Community (AEC) 2015” di Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Sabtu (18/4).
Roedhy menyebutkan, dari segi luas tanam padi, Indonesia merupakan negara terluas ketiga di dunia setelah India dan China. Tetapi produktivitas (daya produksi) padinya berada di nomor lima dunia. Posisi Indonesia ini di tingkat ASEAN masih kalah dengan Vietnam. Sedangkan dari segi produksi, Indonesia menempati posisi ketiga di dunia.
Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menyatakan kurang sepakat jika Indonesia harus mengikuti saran Organisasi Untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD – Organisation for Economic Co-operation and Development) yang mengarahkan Indonesia untuk melakukan impor pangan.
Alasannya, Indonesia tidak selamanya akan bisa bertahan dengan impor. Ini mengingat perubahan iklim dan populasi penduduk dunia akan terus meningkat.
”Jadi, lebih baik Indonesia tetap melakukan swasembada pangan. Selain itu, menurunkan konsumsi nasi dan menggantinya dengan bahan pangan lokal lainnya. Yang sudah diolah secara modern dan lebih bergengsi dari beras,” ujarnya.
Sementara pengamat Ichsanuddin Noorsy menyebut, memenuhi kebutuhan pangan dengan jalur impor adalah salah satu jalur paling rapuh dan rentan untuk melahirkan inflasi di Indonesia. (K4)
http://www.suarakarya.id/2015/04/20/perhoti-hentikan-impor-pangan.html
YOGYAKARTA (SK) – Perhimpunan Holtikultura Indonesia (Perhoti) menganggap impor pangan bukan solusi ketahanan pangan Indonesia. Pasalnya, impor pangan tidak akan bisa bertahan lama dalam menyejahterakan rakyat Indonesia.
Menurutnya, masih ada solusi lain selain melakukan impor, yakni menurunkan kebutuhan konsumsi beras dan menggantinya dengan bahan makanan lokal yang diolah secara modern.
”Kenapa Indonesia masih mengimpor beras? Karena kita yang makan nasi terlalu banyak. Di Indonesia, saat ini satu orang menghabiskan 125 kg beras/tahun. Padahal di Malaysia, satu orang hanya menghabiskan 80 kg/tahun. Itulah kenapa kita masih kekurangan dalam hal pangan, terutama ketersediaan beras,” kata Dewan Pembina Perhoti Prof Dr Roedhy Poerwanto pada seminar nasional ”Kemandirian Pangan Indonesia Menyongsong ASEAN Economic Community (AEC) 2015” di Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Sabtu (18/4).
Roedhy menyebutkan, dari segi luas tanam padi, Indonesia merupakan negara terluas ketiga di dunia setelah India dan China. Tetapi produktivitas (daya produksi) padinya berada di nomor lima dunia. Posisi Indonesia ini di tingkat ASEAN masih kalah dengan Vietnam. Sedangkan dari segi produksi, Indonesia menempati posisi ketiga di dunia.
Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menyatakan kurang sepakat jika Indonesia harus mengikuti saran Organisasi Untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD – Organisation for Economic Co-operation and Development) yang mengarahkan Indonesia untuk melakukan impor pangan.
Alasannya, Indonesia tidak selamanya akan bisa bertahan dengan impor. Ini mengingat perubahan iklim dan populasi penduduk dunia akan terus meningkat.
”Jadi, lebih baik Indonesia tetap melakukan swasembada pangan. Selain itu, menurunkan konsumsi nasi dan menggantinya dengan bahan pangan lokal lainnya. Yang sudah diolah secara modern dan lebih bergengsi dari beras,” ujarnya.
Sementara pengamat Ichsanuddin Noorsy menyebut, memenuhi kebutuhan pangan dengan jalur impor adalah salah satu jalur paling rapuh dan rentan untuk melahirkan inflasi di Indonesia. (K4)
http://www.suarakarya.id/2015/04/20/perhoti-hentikan-impor-pangan.html
KAA, Indonesia Didesak Satukan Suara Deklarasi Hak Petani
Minggu, 19 April 2015
KAA, Indonesia Didesak Satukan Suara Deklarasi Hak PetaniPekerja menyelesaikan tata panggung untuk acara KAA di di Jakarta Convention Center (JCC), Sabtu (18/4). Sebanyak 109 kepala negara direncanakan hadir dalam Peringatan ke-60 Konferensi Asia Afrika yang akan berlangsung di Jakarta dan Bandung pada 19-24 April 2015. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Indonesia didesak menjadi aktor penggalang suara untuk mendukung Deklarasi Hak Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Perdesaan dalam gelaran peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA). Peneliti Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, berharap seluruh negara mendukung ditekennya deklarasi tersebut.
"Sekarang sedang diupayakan. Dewan HAM PBB tahun 2008 menyelenggarakan sesi khusus dan menghasilkan resolusi HAM untuk meneliti apa penyebab krisis pangan dunia," kata Gunawan ketika diwawancarai seusai Konferensi Rakyat Asia Afrika di Galeri Nasional, Jakarta, Sabtu (18/4).
Dalam temuan kajian Studi Final Komite Penasehat Dewan HAM PBB tentang Kemajuan Hak Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Pedesaan tahun 2012, menunjukkan 80 persen kelaparan terjadi di pedesaan. Masyarakat pedesaan, buruh tani, petani kecil, dan masyarakat yang hidup dari perikanan tradisional dan penggembala, kerap menjadi korban. Sementara pelakunya yakni negara-negara besar dan perusahaan transnasional.
"Instrumen deklarasi sudah disepakati. Isinya seperti apa, itu yang sedang diupayakan," ucapnya.
Suara negara-negara di Asia dan Afrika apabila bersatu, diharapkan dapat mengubah pandangan negara-negara di Amerika dan Eropa yang selama ini menentang deklarasi tersebut dalam meja perundingan. "Untuk melindungi kemakmuran rakyat, harus ada peran negara dan pemerintah," katanya.
Urgensi payung hukum tersebut, Gunawan menjelaskan, untuk melindungi para petani dari tindak kriminalisasi. Selama ini terdapat sedikitnya tiga modus kriminalisasi yakni perampasan tanah, perampasan benih, dan kriminalisasi para aktivis pembela petani.
"Mereka para pemulia dan pemroduksi benih justru dikriminalkan. Aktivis yang membela petani, justru mengalami tindak kekerasan, baik terbunuh, dipenjara, dan dikriminalkan," katanya.
Merujuk data yang dihimpun IHCS, sedikitnya 15 petani di Indonesia dilaporkan kepada polisi dan dibawa ke pengadilan selama tahun 2000 hingga 2013. "Mereka yang ditangkap karena benih banyak terjadi di Jawa Timur. Kriminalisasi dilakukan polisi atas dasar pelaporan perusahaan benih," katanya.
Perusahaan benih diduga merasa terancam dengan penjualan produksi benih para petani yang harganya jauh lebih murah. Untuk mematikan pasar, perusahaan menggunakan UU Sistem Budidaya Tanaman yang mengharuskan produksi benih memiliki izin. Lantaran dianggap melakukan tindak pidana, petani tersebut dilaporkan ke polisi.
Gunawan menjelaskan, pada pasal 12 undang-undang tersebut menyebutkan barang siapa yang mengedarkan benih tanpa sertifikat benih maka bisa dipenjarakan. Namun persoalan itu sudah digugat dua tahun lalu dan dikabulkan. “Peraturan tersebut tidak boleh diperlakukan ke petani. Mengedarkan benih melalui izin diberlakukan untuk perusahaan," ujarnya.
Persoalan ini menjadi salah satu rekomendasi Konferensi Rakyat Asia Afrika yang diberikan kepada Presiden Joko Widodo. Dalam deklarasinya, Rakyat Asia Afrika menitikberatkan salah satunya pada krisis pangan dan penyelesaiannya.
Menanggapi desakan tersebut, Ketua Panitia Penyelenggaran KAA sekaligus Kepala Staf Kepresidenan Luhut Binsar Panjaitan menuturkan pihaknya akan menyampaikan hasil rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo. "Pikiran Anda sejalan dengan pikiran kami, ini baik sekali. Tinggal apa yang bisa kita lakukan nanti. Ini adalah koreksi dan barometer untuk pemerintah," katanya.
Luhut mengharapkan peringatan ke-60 KAA dapat menghasilkan solusi penyelesaian sejumlah persoalan baik di Indonesia maupun negara lain di Asia dan Afrika. "Saya berharap apa yang dihasilkan akan membawa manfaat bagi bangsa dan negara dan juga bagi kemanusiaan," tuturnya.
KAA digelar di Jakarta dan Bandung pada 19-24 April ini. Segmen pertama KAA berlangsung di Jakarta tanggal 19-23 April. Di ibu kota, konferensi akan diisi beberapa pertemuan mulai dari pertemuan tingkat pejabat tinggi, pertemuan tingkat menteri, hingga pertemuan kepala pemerintahan. Setelah rangkaian acara di Jakarta selesai, pada 24 April seluruh delegasi negara peserta KAA akan bertolak ke Bandung untuk melakukan prosesi napak tilas KAA pertama pada tahun 1955. (obs)
KAA, Indonesia Didesak Satukan Suara Deklarasi Hak PetaniPekerja menyelesaikan tata panggung untuk acara KAA di di Jakarta Convention Center (JCC), Sabtu (18/4). Sebanyak 109 kepala negara direncanakan hadir dalam Peringatan ke-60 Konferensi Asia Afrika yang akan berlangsung di Jakarta dan Bandung pada 19-24 April 2015. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Indonesia didesak menjadi aktor penggalang suara untuk mendukung Deklarasi Hak Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Perdesaan dalam gelaran peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA). Peneliti Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, berharap seluruh negara mendukung ditekennya deklarasi tersebut.
"Sekarang sedang diupayakan. Dewan HAM PBB tahun 2008 menyelenggarakan sesi khusus dan menghasilkan resolusi HAM untuk meneliti apa penyebab krisis pangan dunia," kata Gunawan ketika diwawancarai seusai Konferensi Rakyat Asia Afrika di Galeri Nasional, Jakarta, Sabtu (18/4).
Dalam temuan kajian Studi Final Komite Penasehat Dewan HAM PBB tentang Kemajuan Hak Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Pedesaan tahun 2012, menunjukkan 80 persen kelaparan terjadi di pedesaan. Masyarakat pedesaan, buruh tani, petani kecil, dan masyarakat yang hidup dari perikanan tradisional dan penggembala, kerap menjadi korban. Sementara pelakunya yakni negara-negara besar dan perusahaan transnasional.
"Instrumen deklarasi sudah disepakati. Isinya seperti apa, itu yang sedang diupayakan," ucapnya.
Suara negara-negara di Asia dan Afrika apabila bersatu, diharapkan dapat mengubah pandangan negara-negara di Amerika dan Eropa yang selama ini menentang deklarasi tersebut dalam meja perundingan. "Untuk melindungi kemakmuran rakyat, harus ada peran negara dan pemerintah," katanya.
Urgensi payung hukum tersebut, Gunawan menjelaskan, untuk melindungi para petani dari tindak kriminalisasi. Selama ini terdapat sedikitnya tiga modus kriminalisasi yakni perampasan tanah, perampasan benih, dan kriminalisasi para aktivis pembela petani.
"Mereka para pemulia dan pemroduksi benih justru dikriminalkan. Aktivis yang membela petani, justru mengalami tindak kekerasan, baik terbunuh, dipenjara, dan dikriminalkan," katanya.
Merujuk data yang dihimpun IHCS, sedikitnya 15 petani di Indonesia dilaporkan kepada polisi dan dibawa ke pengadilan selama tahun 2000 hingga 2013. "Mereka yang ditangkap karena benih banyak terjadi di Jawa Timur. Kriminalisasi dilakukan polisi atas dasar pelaporan perusahaan benih," katanya.
Perusahaan benih diduga merasa terancam dengan penjualan produksi benih para petani yang harganya jauh lebih murah. Untuk mematikan pasar, perusahaan menggunakan UU Sistem Budidaya Tanaman yang mengharuskan produksi benih memiliki izin. Lantaran dianggap melakukan tindak pidana, petani tersebut dilaporkan ke polisi.
Gunawan menjelaskan, pada pasal 12 undang-undang tersebut menyebutkan barang siapa yang mengedarkan benih tanpa sertifikat benih maka bisa dipenjarakan. Namun persoalan itu sudah digugat dua tahun lalu dan dikabulkan. “Peraturan tersebut tidak boleh diperlakukan ke petani. Mengedarkan benih melalui izin diberlakukan untuk perusahaan," ujarnya.
Persoalan ini menjadi salah satu rekomendasi Konferensi Rakyat Asia Afrika yang diberikan kepada Presiden Joko Widodo. Dalam deklarasinya, Rakyat Asia Afrika menitikberatkan salah satunya pada krisis pangan dan penyelesaiannya.
Menanggapi desakan tersebut, Ketua Panitia Penyelenggaran KAA sekaligus Kepala Staf Kepresidenan Luhut Binsar Panjaitan menuturkan pihaknya akan menyampaikan hasil rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo. "Pikiran Anda sejalan dengan pikiran kami, ini baik sekali. Tinggal apa yang bisa kita lakukan nanti. Ini adalah koreksi dan barometer untuk pemerintah," katanya.
Luhut mengharapkan peringatan ke-60 KAA dapat menghasilkan solusi penyelesaian sejumlah persoalan baik di Indonesia maupun negara lain di Asia dan Afrika. "Saya berharap apa yang dihasilkan akan membawa manfaat bagi bangsa dan negara dan juga bagi kemanusiaan," tuturnya.
KAA digelar di Jakarta dan Bandung pada 19-24 April ini. Segmen pertama KAA berlangsung di Jakarta tanggal 19-23 April. Di ibu kota, konferensi akan diisi beberapa pertemuan mulai dari pertemuan tingkat pejabat tinggi, pertemuan tingkat menteri, hingga pertemuan kepala pemerintahan. Setelah rangkaian acara di Jakarta selesai, pada 24 April seluruh delegasi negara peserta KAA akan bertolak ke Bandung untuk melakukan prosesi napak tilas KAA pertama pada tahun 1955. (obs)
Matematika Beras
Minggu, 19 April 2015
Berdasarkan data BPS, produksi padi tahun 2014 sebanyak 70,83 juta ton gabah kering giling (GKG), turun sebesar 0,45 juta ton (0,63%) dibandingkan tahun 2013. Program pemerintah untuk membangun bendungan, pencetakan 1 juta hektar sawah baru, dan saluran irigasi barumembutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga akan berdampak pada peningkatan produksi beras paling cepat tiga tahun ke depan. Sementara itu konsumsi beras terus mengalami peningkatan. Sejak tahun 2000 hingga 2013 Indonesia selalu mengimpor beras. Dengan rincian sebagaiman terlihat pada peraga berikut.
Berdasarkan informasi di atas, tampaknya mustahil jika impor tiba-tiba dihentikan. Jika dihentikan otomatis harga beras naik, dengan asumsi stok beras Bulog tak mengalami perubahan. Kalau memang dibutuhkan impor untuk menjaga stabilisasi harga beras, sebaiknya perencanaan impor lebih baik. Jangan mengimpor saat pasar mengetahui kita kekurangan pasokan (shortage) sehingga terjadi lonjakan harga di pasar internasional. Impor bisa dilakukan secara bertahap sehingga tidak terjadi lonjakan harga. Bulog perlu mengefektifkan pengadaan (pembelian) beras di masa panen untuk menjaga harga gabah kering giling (GKK) tidak anjlok. Masalahnya, petani bias menjual gabah dengan harga di atas harga patokan yang ditetapkan pemerintah, sehingga Bulog terkendala membeli gabah kering langsung dari petani. Muncul pertanyaan: apakah harga yang ditetapkan pemerintah terlalu rendah? Agaknya mendesak untuk melakukan pembenahan secara menyeluruh. Salah satu kuncinya adalah pemutakhiran data secara berkala sehingga perencanaan operasi pasar lebih baik/lebih efektif. Kenaikan harga beras di tingkat konsumen dalam empat tahun terakhir sekitar 70%, jauh lebih tinggi ketimbang kenaikan harga gabah kering yang hanya naik sekitar 30%. Kenyataan ini menunjukkan kenaikan harga beras lebih banyak dinikmati pedagang ketimbang petani. Oleh karena itu perlu membenahi mata rantai perdagangan beras.
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2015/04/20/matematika-beras-719394.html
Berdasarkan data BPS, produksi padi tahun 2014 sebanyak 70,83 juta ton gabah kering giling (GKG), turun sebesar 0,45 juta ton (0,63%) dibandingkan tahun 2013. Program pemerintah untuk membangun bendungan, pencetakan 1 juta hektar sawah baru, dan saluran irigasi barumembutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga akan berdampak pada peningkatan produksi beras paling cepat tiga tahun ke depan. Sementara itu konsumsi beras terus mengalami peningkatan. Sejak tahun 2000 hingga 2013 Indonesia selalu mengimpor beras. Dengan rincian sebagaiman terlihat pada peraga berikut.
![]() |
Berdasarkan informasi di atas, tampaknya mustahil jika impor tiba-tiba dihentikan. Jika dihentikan otomatis harga beras naik, dengan asumsi stok beras Bulog tak mengalami perubahan. Kalau memang dibutuhkan impor untuk menjaga stabilisasi harga beras, sebaiknya perencanaan impor lebih baik. Jangan mengimpor saat pasar mengetahui kita kekurangan pasokan (shortage) sehingga terjadi lonjakan harga di pasar internasional. Impor bisa dilakukan secara bertahap sehingga tidak terjadi lonjakan harga. Bulog perlu mengefektifkan pengadaan (pembelian) beras di masa panen untuk menjaga harga gabah kering giling (GKK) tidak anjlok. Masalahnya, petani bias menjual gabah dengan harga di atas harga patokan yang ditetapkan pemerintah, sehingga Bulog terkendala membeli gabah kering langsung dari petani. Muncul pertanyaan: apakah harga yang ditetapkan pemerintah terlalu rendah? Agaknya mendesak untuk melakukan pembenahan secara menyeluruh. Salah satu kuncinya adalah pemutakhiran data secara berkala sehingga perencanaan operasi pasar lebih baik/lebih efektif. Kenaikan harga beras di tingkat konsumen dalam empat tahun terakhir sekitar 70%, jauh lebih tinggi ketimbang kenaikan harga gabah kering yang hanya naik sekitar 30%. Kenyataan ini menunjukkan kenaikan harga beras lebih banyak dinikmati pedagang ketimbang petani. Oleh karena itu perlu membenahi mata rantai perdagangan beras.
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2015/04/20/matematika-beras-719394.html
Langganan:
Postingan (Atom)