Kenaikan HPP Cuma Buat Tutupi Biaya Produksi
RMOL. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dinilai gagal. Pasalnya, daya beli petani malah anjlok saat panen raya.
Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar mengatakan, pihaknya sangat miris melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan daya beli petani atau nilai tukar petani (NTP) pada Maret turun 0,64 persen dibandingkan Februari 2015.
"Berarti kebijakan pemerintah yang kemarin menaikkan HPP (Harga Pokok Pembelian) belum berpengaruh dan tidak memberikan kesejahteraan buat petani," katanya kepada Rakyat Merdeka.
Untuk diketahui, berdasarkan data BPS, NTP Maret secara nasional sebesar 101,53 atau turun 0,64 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya. NTP pada subsektor tanaman pangan turun sebesar 1,21 persen, hortikultura sebesar 0,60 persen, perkebunan rakyat sebesar 0,15 persen, peternakan dan perikanan sebesar 0,25 persen.
Hermanto menduga, anjloknya daya beli petani disebabkan lemahnya pemantauan pembeliaan gabah petani sesuai HPP oleh Bulog. Bahkan, kata dia, dalam beberapa kasus, Bulog malah beli beras petani dari tengkulak.
Seharusnya, dengan musim panen saat ini, pemerintah dan Bulog kerja keras untuk membeli gabah petani dan mengawasi pembeliannya supaya harganya tidak jatuh di bawah HPP. "Ini untuk mengawasi supaya beras petani tidak melalui tengkulak. Kalau income ternyata jelek, berarti yang beli itu pedagang, bukan Bulog," tambahnya.
Dia menambahkan, daya beli petani menurun juga disebabkan tingginya biaya produksi petani. Menurutnya, dengan semakin besar biaya yang ditanggung petani, maka pendapatannya juga harus tinggi. "Karena itu, subsidi benih dan pupuk harus tepat sasaran," jelasnya.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, turunnya rata-rata daya beli petani disebabkan naiknya harga kebutuhan sehari-hari dan biaya produksi. "Sementara harga gabah turun," katanya.
Menurutnya, berdasarkan data yang dihimpun BPS dari 1.154 transaksi penjualan gabah selama Maret, terdapat 11,20 persen kasus harga gabah kering panen di tingkat petani yang harganya berada di bawah HPP. Sedangkan, kasus harga gabah kering giling dan gabah kering panen di tingkat penggilingan berada di bawah HPP mencapai 1,73 persen.
Sasmito memperkirakan, tren penurunan ini akan bertahan hingga bulan ini. "Kalau April masih begitu-begitu saja, April belum cukup menyenangkan untuk NTP, tapi kalau sudah Mei-Juli akan membaik," katanya.
Anggota Komisi IV DPR Rofi Munawar mengatakan, anjloknya daya beli petani disebabkan naiknya harga BBM. "Bagi petani kenaikan BBM akan mempengaruhi seluruh rentang produksi dan membebani proses pasca panen secara signifikan," ujarnya.
Dengan adanya kenaikan harga BBM, dia bilang, biaya produksi melonjak karena biaya sewa traktor, pompa air, dan usaha penggilingan padi (RMU) melonjak. Kebijakan kenaikan HPP gabah akhirnya akan sia-sia karena tidak memberi untung bagi petani. "HPP hanya untuk menutup biaya produksi," sambungnya.
Karena itu, dia berharap, anggaran subsidi BBM yang sudah dikurangi itu dialihkan untuk memperbaiki sarana dan infrastruktur pertanian. Apalagi, sektor pertanian berkontribusi besar dalam pembangunan nasional, seperti penyerapan tenaga kerja dan penyediaan pangan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar