Sabtu, 03 Oktober 2015

Pro-Kontra Impor Beras

Sabtu, 03 Oktober 2015

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Dalam beberapa minggu terakhir, sejumlah media menyodorkan pertanyaan seragam kepada saya: Perlukah Indonesia impor beras? Pertanyaan ini muncul bukan saja didasari atas kekhawatiran stok atau cadangan beras tidak aman pada akhir tahun karena dampak El Nino.

Lebih dari itu, ada kondisi logis yang membuat media--sebagai wakil dari khalayak umum-- mempertanyakan perlu-tidaknya impor beras; sikap berbeda dua pucuk pimpinan Republik, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. JK membuka peluang impor beras tahun ini. Besarnya, sekitar 1,5 juta ton. Sebaliknya, Jokowi menegaskan, Indonesia tidak gegabah memutuskan impor beras. Dampak El Nino terhadap produksi beras masih dihitung. Jokowi bahkan memastikan stok pangan aman.

Bagaimana menjelaskan dua sikap yang bertolak belakang itu? Sikap Wapres JK mesti dimaknai sebagai sikap objektif atas realitas penyerapan gabah/beras oleh Bulog sekaligus cerminan kondisi mutakhir cadangan beras pemerintah. Menurut Direktur Pengadaan Perum Bulog Wahyu, stok beras Bulog saat ini 1,8 juta ton, terdiri atas beras sejahtera (du lu raskin) 1,1 juta ton dan 0,7 juta ton beras premium. Menurut Wahyu, stok itu cukup hingga enam bulan mendatang (Kompas, 29/9). Stok itu tidak aman. Karena itu, setiap saat rentan digoyang oleh aksi spekulasi.

Sebaliknya, sikap Presiden Jokowi harus dibaca dalam konteks keberpihakan terhadap petani dalam negeri. Sebagai pucuk pimpinan negeri ini, tentu Presiden harus berpihak kepada petani domestik. Sikap sebaliknya hanya akan berbuah kecaman. Nawacita yang menjadi fondasi filosofis program pembangun an Jokowi-JK akan mudah menuai cibiran. Sikap tidak gegabah membuka impor, dalam konteks politik, harus dimaknai sebagai bentuk "menjaga perasaan" publik pemilih Jokowi-JK agar tidak merasa diteli - kung dan dikhianati. Kendati, sikap itu tidak menjejak kukuh pada kondisi riil.

Realitas objektif menunjukkan, cadangan beras pemerintah yang dikelola Bulog saat ini jauh dari aman. Berkaca dari pengalaman sebelumnya, dalam setahun, Bulog memerlukan beras sekitar tiga juta ton untuk memenuhi pagu beras sejahtera (rasta), operasi pasar dan bantuan bencana. Karena tahun ini ada rasta 13 dan 14, berarti perlu tambahan 0,464 ton beras.

Agar kondisinya aman, di akhir tahun, cadangan Bulog minimal harus dua juta ton. Cadangan ini akan di-carry over ke stok pada awal tahun berikutnya. Jadi, dalam setahun stok awal ditambah pengadaan Bulog paling tidak harus mencapai 5,464 juta ton beras. Sampai akhir Agustus lalu, penyerapan beras oleh Bulog mencapai 2,1 juta ton. Karena, stok awal Januari 2015 lalu 1,4 juta ton, artinya hingga akhir tahun Bulog harus menambah pengadaan (dari manapun sumbernya) sebesar 1,964 juta ton.

Apakah penambahan pengadaan beras sebesar itu bisa dilakukan hingga akhir tahun nanti? Menurut Wahyu, Bulog kesulitan menyerap gabah/beras petani domestik lewat skema public service obligation(PSO), seperti diatur dalam Inpres Perberasan No 15/2015.

Harga gabah/beras petani saat ini selalu di atas harga pembelian pemerintah (HPP), seperti diatur dalam Inpres Perberasan. Harga gabah kering panen di Inpres Rp 3.700 per kg, sementara di pasar mencapai Rp 4.200 ? Rp 4.700 per kg. Di Inpres yang sama, harga beras medium di gudang Bulog ditetapkan Rp 7.300 per kg, sementara harga di pasar Rp 9.000 ? Rp 9.500 per kg. Bulog, kata Wahyu, masih mungkin menambah serapan beras melalui jalur komersial.

Namun, hingga akhir tahun tambahannya maksimal hanya 50 ribu ton beras. Karena, September ini merupakan akhir panen gadu. Oktober mulai musim paceklik.

Dengan kondisi seperti itu, satu-satunya jalan keluar yang tersedia adalah menambah pengadaan beras dari sumber luar negeri alias impor. Masalahnya, impor akan selalu memantik kontroversi. Impor juga selalu menimbulkan resistensi. Apalagi, Kementerian Pertanian--dengan mengacu pada Angka Ramalan I BPS--yakin, produksi padi tahun ini mencapai lebih 75,55 juta ton gabah kering panen atau naik 6,6 persen dari produksi tahun lalu.

Produksi sebesar itu bukan hanya cukup memenuhi kebutuhan domestik, Indonesia juga akan surplus beras. Angka surplusnya juga besar. Jika benar surplus, mengapa impor beras? Jika benar surplus, di manakah surplus beras itu saat ini?

Tidak mudah menjawab pertanyaan ini karena ujung-ujungnya mempertanyakan kesahihan data beras. Kalaupun data pro duksi beras benar adanya, antara produksi beras dan penyerapan oleh Bulog merupakan dua hal berbeda. Produksi beras yang baik tidak selalu linier atau diikuti penyerapan beras yang baik pula oleh Bulog. Demikian pula sebaliknya.

Di luar produksi, ada variabel lain yang menentukan besar kecilnya penyerapan beras oleh Bulog, yaitu situasi pasar. Jika harga gabah/beras di pasar di atas HPP, Bulog akan kesulitan mendapatkan gabah/beras. Situasi ini sudah berlangsung beberapa tahun. Masalahnya, pemerintah belum menyedia kan jalan keluar dari situasi sulit ini.

Jalan keluar, sepenuhnya diserahkan ke Bulog. Salah satunya membeli lewat skema komersial. Padahal, skema ini bukan hanya tidak menyediakan jalan keluar, direksi Bulog juga bisa terkena getahnya. Pembelian lewat jalur komersial potensial membuat Bulog merugi. Jika merugi, direksi Bulog akan dinilai tidak perform. Setiap saat, direksi bisa diganti karena dianggap tidak becus.

Salah satu jalan yang tersedia agar bisa keluar dari situasi sulit ini adalah memastikan Bulog hanya mengurus penugasan PSO. Direksi sepenuhnya dibebaskan dari keharusan menyetorkan keuntungan kepada negara yang didapat dari kegiatan komersial. Posisi seperti itu akan membuat direksi bekerja sepenuh hati mengurus penugasan PSO.

Mereka tidak akan memikul beban ganda yang saling menegasikan seperti saat ini, harus untung dan penugasan PSO berjalan baik. Hampir bisa dipastikan, dengan membebaskan direksi dari keharusan untung dan bisa menyetorkan keuntungan pada negara penyerapan beras oleh Bulog akan membaik. Impor benar-benar menjadi jalan terakhir, seperti diatur dalam UU Pangan No 18/2012. Agar tidak terjadi moral hazard, pemerintah harus memastikan Bulog dalam pengawasan ketat. Pemerintah bisa mengganti direksi bila mereka korupsi dan tidak mampu melakukan tugas PSO dengan baik.

Kembali ke pertanyaan awal: Perlukah impor beras saat ini? Jika memang pemerin tah tidak menyediakan instrumen tambahan yang memungkinkan, Bulog bisa menambah pengadaan beras dari dalam negeri, satu-satunya solusi adalah impor.

Kepastian sikap peme rintah ini penting untuk mengirimkan sinyal yang jelas ke pasar; pemerintah memastikan cadangan beras aman. Cadangan ini setiap saat bisa digerakkan bila terjadi kegagalan pasar dalam bentuk harga yang melejit.

Keputusan ini penting untuk memberikan sinyal yang jelas kepada pedagang agar mereka tidak main-main mempermainkan harga beras di pasar dengan cara melakukan spekulasi. Beda lagi bila pemerintah sendiri bingung bersikap dan bahkan tidak satu suara. Ini akan menjadi makanan empuk para spekulan mempermainkan pasar.

Jika itu terjadi, harga dan inflasi akan melejit tinggi. Ujung-ujungnya, warga miskin terganggu akses daya belinya. Bukan tidak mungkin, angka kemiskinan yang sudah naik akan kembali naik jika sinyal pemerintah tak kunjung pasti.

KHUDORI
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat

http://www.rol.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/10/03/nvmx7w1-prokontra-impor-beras

Penyelundup Beras Ditangkap

Sabtu, 3 Oktober 2015

Diduga Membawa Muatan dari Malaysia atau Singapura

BATAM, KOMPAS — Petugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menangkap kapal motor Surya Pratama dan kapal motor Citra di perairan Batam, Kepulauan Riau. Penangkapan itu disertai upaya penyerangan terhadap petugas.

Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Batam Noegroho Wahyu, Jumat (2/10), di Batam, mengatakan, kapal itu telah dibawa ke Karimun.

Karena salah satu kapal masih dalam pelayaran, Noegroho menyatakan belum dapat memberikan keterangan lebih lanjut. Keterangan akan disampaikan setelah kapal tiba di dermaga Kantor Wilayah Bea dan Cukai khusus Kepulauan Riau (Kepri) di Karimun. "Kami hanya menjalankan perintah Presiden. Kami diminta menghentikan penyelundupan bahan pangan yang marak di perbatasan," katanya.

Informasi yang dihimpun menyebutkan, kapal ditangkap terpisah di utara Batam. KM Surya Pratama membawa 250 ton beras saat ditangkap pada Kamis (1/10). Selain beras, kapal membawa muatan lain yang tengah didata petugas. Pada Jumat pagi, kapal sudah berada di Karimun dan dalam proses pendataan.

Sementara KM Citra ditangkap pada Jumat (2/10) saat membawa sedikitnya 150 ton beras. KM Surya dan KM Citra tidak dilengkapi dokumen apa pun untuk membawa muatan tersebut. Seperti KM Surya, KM Citra juga dikawal ke dermaga Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Khusus Kepri.

Penangkapan tersebut diikuti dengan isu penyerangan terhadap petugas Bea dan Cukai. Pada Kamis malam, Kantor Kanwil DJBC Kepri dikawal sejumlah polisi dan tentara. Mereka siaga hingga Jumat dini hari setelah ada kabar kantor itu akan diserang. Namun, tidak ada insiden hingga Jumat pagi.

Massa dengan perahu tidak dikenal justru mengejar kapal patroli yang mengawal KM Citra pada Jumat sore. Kanwil DJBC mengerahkan sembilan perahu dan kapal patroli untuk membantu pengawalan KM Citra. Setelah ada tambahan bantuan, kapal pengejar tidak terlihat lagi.

Kapal pengejar diketahui berangkat dari pesisir Batam. Sejak Kamis malam, sekelompok orang sudah berkumpul di beberapa titik di Batam. Namun, akhirnya mereka bubar sendiri pada Jumat dini hari.

KM Citra dan KM Surya diduga berangkat bersama. Namun, belum diketahui mereka bertolak dari Singapura atau Malaysia. Hal yang jelas, kapal-kapal itu memuat beras dari negara lain.

Penyelundupan beras dan aneka bahan pangan di Kepri tidak hanya oleh dua kapal itu.

Sebelumnya, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perdagangan Batam Rudi Satyakirti mengatakan, paling tidak 90 persen bahan pangan Batam berasal dari impor secara ilegal atau penyelundupan. Seperti kabupaten dan kota lain di Kepri, Batam tidak bisa menghasilkan bahan pangan sendiri.

"Masalahnya, hingga sekarang, belum pernah ada kuota impor bahan pangan untuk Batam. Sementara pengadaan dari dalam negeri lebih mahal," ujarnya.

Beras, kata Rudi, diimpor 14.000 ton per bulan dari sejumlah negara. "Kuota impor tidak pernah ada, tetapi impor masuk terus. Tidak hanya beras, aneka bahan pangan lain juga seperti itu," ujarnya.

Pintu penyelundupan

Kepri menjadi salah satu pintu penyelundupan aneka komoditas ke Indonesia. Sejumlah lokasi pesisir provinsi itu bisa dijadikan titik pendaratan ilegal. Komoditas yang diselundupkan beragam, mulai dari produk konsumsi hingga yang dilarang beredar. "Di Batam saja beroperasi sedikitnya 43 pelabuhan tidak resmi," ujar Noegroho.

Kementerian Keuangan pernah meminta Kementerian Perhubungan mengendalikan pelabuhan ilegal. Kementerian Keuangan salah satu lembaga yang mengatasi penyelundupan. Kementerian itu membawahi DJBC yang salah satu tugasnya mengatasi penyelundupan.

Penjabat Gubernur Kepri Agung Mulyana menyatakan sudah meminta kuota impor ke Kementerian Perdagangan. Sebab, Kepri sulit mengandalkan pasokan dari provinsi lain di Indonesia. Selama ini, tidak ada kepastian waktu kedatangan dan jumlah pasokan bahan pangan dari dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan warga Kepri. Pengiriman bahan pangan di provinsi tersebut juga tidak bisa dilakukan sepanjang tahun.

"Ini bukan Pulau Jawa yang antar-kecamatan bisa naik angkot. Kalau habis di kecamatan sini, bisa naik angkutan umum ke kecamatan lain dan membeli bahan pangan di sana. Kalau musim utara dan ombak bisa 5 meter lebih, kapal tidak bisa berlayar di Kepri. Rakyat Kepri mau makan apa?" kata Agung.

Agung mengatakan, petugas DJBC hanya pelaksana aturan. Jika pemerintah pusat memutuskan bahan pangan impor boleh masuk, mereka tak akan melarang. "Kalau dari pusat mengizinkan, tak ada penangkapan di laut. Saya akan segera menemui Kementerian Perdagangan, minta tidak ada larangan impor bahan pangan di Kepri," ucapnya.

Dia menyatakan siap adu argumentasi dengan Kementerian Perdagangan soal impor bahan pangan di Kepri. Pegangannya antara peraturan soal kawasan pelabuhan dan perdagangan bebas di Kepri. "Peraturan tak melarang impor pangan. Kalau tidak dilarang undang-undang, kenapa harus dilarang?" ujarnya. (RAZ)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/151003kompas/#/22/

Soal Impor Beras 1,5 Juta Ton

Sabtu, 3 Oktober 2015

Rencana impor beras 1,5 juta ton yang disampaikan Wakil Presiden M Jusuf Kalla di Dubai, saat transit dalam perjalanan ke Amerika Serikat (Kompas, 25 September 2015), sebenarnya tidak terlalu mengejutkan.

Para analis dan ekonom pertanian telah memperkirakannya jauh-jauh hari, terutama setelah kualitas data produksi semakin sulit diverifikasi. Dampak dari buruknya akurasi data tentu tidak hanya pada kredibilitas kebijakan, tetapi jauh sampai pada kesejahteraan petani dan masyarakat umum. Tulisan ini menjelaskan tafsir kebijakan rencana impor beras tersebut, setidaknya meliputi akurasi data estimasi produksi, asimetri informasi harga dan struktur pasar beras dalam negeri, serta inkonsistensi kebijakan perberasan secara umum.

Akurasi data

Pertama, data produksi memerlukan kalibrasi dan rekalibrasi, setidaknya dengan data konsumsi. Pada awal Juli 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan secara resmi bahwa angka ramalan pertama produksi padi 2015 mencapai 75,55 juta juta ton gabah kering giling atau mengalami peningkatan 6,65 persen dibandingkan produksi pada 2014 yang mencapai 70,8 juta ton. Angka tersebut setara dengan 41 juta ton beras. Jika angka konsumsi beras 114,12 kilogram (kg) per kapita per tahun, total konsumsi beras untuk 253 juta penduduk sekitar 30 juta ton. Artinya, Indonesia seharusnya telah mencapai target surplus beras lebih dari 10 juta ton, overestimasi yang sulit diverifikasi.

Dengan metodologi estimasi yang sama-sama fragile, tahun 2014 pun Indonesia mengalami surplus 8,8 juta ton, tahun 2013 surplus 9,5 juta ton, dan seterusnya ke belakang. Seandainya surplus beras itu benar adanya, stok beras yang dikuasai Perum Bulog, yang beredar di tengah masyarakat, dan yang dijadikan stok tahun berjalan (carry-over stock) seharusnya amat besar.

Fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan adalah bahwa estimasi data produksi padi, jagung, dan kedelai dilakukan bersama oleh BPS dan Kementerian Pertanian. Angka produksi adalah perkalian data produktivitas (ton/hektar) dengan luas panen (hektar). Data produktivitas adalah aproksimasi sampel lahan petani 2,5 meter x 2,5 meter (ubinan) yang dilakukan petugas lapangan BPS bekerja sama dengan kantor cabang dinas pertanian tanaman pangan atau dengan penyuluh pertanian lapang.

Data luas panen diperoleh bukan dari pengukuran, melainkan dengan metode kira-kira sejauh mata memandang (eye estimate) menggunakan sistem blok pengairan dan lain-lain. Bias data dapat terjadi pada metode ubinan yang tidak bebas dari sampling error dan non-sampling error ataupun pada metode eye estimate yang tidak lepas dari kepentingan politik dan birokrasi. Apalagi sistem pelaporan data dari lapangan akhir-akhir ini telah melibatkan petugas yang tidak memiliki kompetensi khusus melakukan pengukuran variabel produksi pangan.

Solusi yang dapat ditempuh adalah bahwa data produksi perlu dikalibrasi dengan data konsumsi beras yang menunjukkan penurunan secara perlahan, tetapi pasti. Hasil survei sosial ekonomi nasional menunjukkan, konsumsi beras langsung tahun 2014 menurun menjadi 85,04 kg/kapita dari 90,10 kg/kapita pada 2011. Konsumsi beras oleh rumah makan dan industri makanan-minuman menurun menjadi 19,32 kg/kapita pada 2014 dari 20,51 kg/kapita pada 2011.

Ditambah konsumsi beras di hotel, restoran, dan lain-lain, tingkat konsumsi beras pada 2014 tercatat 114,13 kg/kapita, angka yang cukup realistis dibandingkan dengan angka 139,15 kg/kapita yang selama ini digunakan. Langkah rekalibrasi boleh juga dilakukan dengan data hasil audit lahan sawah dan hasil pendataan industri penggilingan padi walau survei tidak dilakukan setiap tahun.

Asimetri informasi harga dan struktur pasar

Kedua, pasar beras di dalam negeri masih diliputi asimetri informasi harga dan struktur pasar yang jauh dari prinsip-prinsip persaingan sempurna. Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa harga eceran beras premium di pasar dalam negeri per 25 September masih cukup mahal, Rp 10.280 per kg. Harga itu hampir dua kali lipat dari harga beras internasional untuk kualitas sejenis (Thailand 25 persen broken) yang tercatat 362 dollar AS/ton atau Rp 5.430 per kg atau bahkan kualitas lebih baik (Vietnam 5 persen broken) yang tercatat 340.1 dollar AS per ton atau Rp 5.100 per kg.

Sementara itu, harga jual gabah petani masih cukup "murah", Rp 4.100 per kg, walau lebih mahal dibandingkan harga referensi pembelian pemerintah Rp 3.700 per kg gabah kering panen dengan kadar air 25 persen dan kadar hampa/kotoran 25 persen maksimum. Perbedaan harga yang begitu besar antara harga internasional dan harga dalam negeri serta antara harga tingkat konsumen dan harga tingkat produsen adalah persoalan asimetri informasi yang perlu mendapat perhatian memadai.

Pada saat musim paceklik atau pada saat petani sedang menjadi konsumen beras, harga eceran beras di dalam negeri terlalu mahal sehingga sulit dijangkau oleh petani, terutama mereka yang berada pada kelompok miskin. Pemerintah merasa perlu untuk membantu kelompok prasejahtera melalui paket kebijakan ekonomi tanggal 9 September 2015 untuk menambah penyaluran beras untuk keluarga prasejahtera (sekarang bernama rastra, perubahan dari raskin) sampai bulan ke-13 dan ke-14. Jumlah stok beras yang dikuasai Bulog saat ini 1,5 juta ton-1,7 juta ton, jumlah yang tidak terlalu aman jika untuk mengantisipasi lonjakan harga eceran beras pada November, Desember dan Januari 2016 karena dampak kekeringan El Nino. Indeks El Nino yang saat ini telah mencapai 1,8 derajat celsius (kategori moderat) masih mungkin naik jika sampai akhir Oktober belum turun hujan secara normal.

Solusi yang dapat ditempuh adalah mempertegas penugasan negara kepada Perum Bulog untuk melakukan pengadaan gabah dan beras dalam negeri, tidak secara ad hoc, tetapi lebih permanen. Kewajiban pelayanan publik (PSO) bagi Bulog tidak hanya sebatas penambahan anggaran untuk rastra, tetapi juga pada fleksibilitas pembelian gabah petani.

Bulog tidak boleh kalah gesit dari para tengkulak yang telah menjalankan fungsi door to door mencari gabah petani sampai ke pelosok, terkadang menunggu di pinggir pematang sawah. Pemerintah juga perlu lebih tegas untuk segera mendirikan kelembagaan Badan Pangan Nasional sebagaimana amanat Pasal 126-129 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Inkonsistensi kebijakan

Ketiga, rencana impor beras 1,5 juta ton dari Thailand, Vietnam, dan Myanmar pada akhir tahun ini adalah satu lagi bukti inkonsistensi kebijakan perberasan nasional. Apa pun alasannya, kredibilitas kebijakan pemerintah telah dipertaruhkan walaupun anggaran Kementerian Pertanian pada 2015 telah ditambah dua kali lipat menjadi Rp 32,7 triliun.

Tambahan anggaran sebanyak itu untuk rehabilitasi jaringan irigasi tersier 1,1 juta hektar lahan (Rp 1,32 triliun), pengadaan benih untuk 12.000 hektar lahan tebu (Rp 1,18 triliun), bantuan pupuk untuk 3,6 juta hektar padi dan jagung (Rp 2,33 triliun), dan lain-lain. Rehabilitasi jaringan irigasi serta pencetakan sawah baru dan ekspansi areal panen di luar Jawa seharusnya mendapat prioritas apabila aspek resiliensi, mitigasi risiko, dan pemerataan pembangunan dijadikan pertimbangan. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa pada keadaan normal, tambahan anggaran untuk investasi di infrastruktur dan proyek fisik lain baru akan memperlihatkan hasil pada tahun ketiga.

Rencana impor beras perlu dilihat sebagai alternatif terakhir dan bukan sebagai rutinitas kebijakan, apalagi sampai terjadi adiksi. Fenomena ketergantungan impor kedelai seharusnya dijadikan pelajaran amat berharga bahwa suatu sistem produksi yang mapan pun dapat roboh dan rusak hanya karena godaan harga murah kedelai impor dari Amerika Serikat. Kesejahteraan petani Indonesia dan masyarakat umum tidak dapat sepenuhnya diserahkan pada pasar pangan global, apalagi pasar yang terdistorsi.

BUSTANUL ARIFIN

Guru Besar Universitas Lampung; Ekonom Senior Indef; Ketua Forum Masyarakat Statistik

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/151003kompas/#/7/

Jumat, 02 Oktober 2015

Ilmuwan Topang Pertanian

Jumat, 2 Oktober 2015

75 Tahun Pendidikan Tinggi Pertanian

BOGOR, KOMPAS — Pendidikan tinggi pertanian Indonesia memasuki 75 tahun sejak dimulai pertama kali di masa Hindia Belanda pada 1940. Peran penting pendidikan tinggi pertanian diakui, tetapi juga sarat beragam tantangan yang butuh keberpihakan dan kebijakan politik dari pemerintah untuk memperkuatnya.

Pendidikan tinggi pertanian diharapkan bukan sekadar melahirkan ilmuwan pertanian. Kemampuan untuk mengaplikasikan ilmu dan teknologi pertanian yang diajarkan di bangku kuliah guna menopang kinerja pertanian dalam artian luas juga diharapkan dari lulusan pendidikan pertanian.

Persoalan itu mengemuka dalam sarasehan bertema "75 Tahun Pendidikan Tinggi Pertanian Indonesia" yang digelar Ikatan Alumni Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Career Development and Alumni Affairs IPB, Kamis (1/10), di Bogor. Kegiatan yang juga rangkaian Dies Natalis Ke-52 IPB itu merupakan upaya mendapatkan masukan untuk membuat buku putih pendidikan tinggi pertanian.

Ketua Ikatan Alumni Fakultas Pertanian IPB Bayu Krisnamurthi mengatakan, peringatan 75 tahun pendidikan tinggi pertanian itu sebagai refleksi bahwa pengembangan pendidikan tinggi pertanian tidak bisa lagi sendiri, tetapi mesti multidisplin.

Rektor IPB Herry Suhardiyanto berpendapat, pendidikan tinggi pertanian dari masa ke masa punya orientasi yang berbeda sesuai zamannya. Pada masa awal, pendidikan tinggi pertanian diarahkan untuk mendukung perkebunan (rempah-rempah). Pada masa Presiden Soekarno, pertanian menyangkut persoalan makanan rakyat yang berarti hidup matinya masyarakat. Pada zaman Soeharto, pertanian dikembangkan dalam kelompo ktani sehingga Indonesia mencapai swasembada beras.

Ernan Rustiadi, pengajar di IPB, menyatakan, seiring perkembangan teknologi, pertanian bukan lagi semata soal pangan meski tetap penting. Bidang pertanian pun berkembang disinergikan dengan aspek kehidupan lain, mulai dari energi, kesehatan, perubahan iklim, hingga perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Tantangan

Di tengah pengakuan pentingnya peran pertanian, pendidikan tinggi pertanian di Indonesia menghadapi tantangan menurunnya minat generasi muda meneruskan pendidikan ke bidang pertanian. Selain itu, yang memilih pendidikan tinggi pertanian bukan yang terbaik dan setelah pendidikan tidak bekerja pada sektor pertanian.

Guru Besar IPB Syafrida Manuwoto mengatakan, tren dunia menunjukkan kecenderungan menurunnya minat ke pertanian. Karena itu, disiplin pertanian dikawinkan dengan ilmu lain, seperti teknologi, molekuler, termasuk ilmu nano, sehingga terkesan "seksi" agar diminati kembali. Pengembangan pendidikan tinggi pertanian perlu dibuat dalam buku putih yang memiliki dampak politik dan kekuatan politik sehingga terus menjadi komitmen semua pihak, terutama pemerintah untuk memajukannya.

Herry Suhardiyanto juga menyoroti ketidakselarasan antara jumlah lulusan, kompetensi, dan kebutuhan di bidang pertanian. Indonesia tidak punya skenario rancangan kebutuhan tenaga kerja dalam periode tertentu.

Dekan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, sekaligus Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian Se-Indonesia Jamhari berpendapat, perkembangan pendidikan tinggi pertanian belum bisa dikonversikan dengan kemajuan sektor pertanian di Indonesia. Standar pendidikan tinggi pertanian dengan industri belum terkoneksi. Terlebih lagi, tantangan untuk menyinergikan standar kompetensi di tingkat ASEAN.

Dari 1.389 program studi pertanian, sebanyak 69 persen di level S-1. Ada tuntutan agar pendidikan tinggi pertanian juga menyeimbangkan teori dan praktik.

Menurut Musliar Kasim, dosen Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang, mahasiswa pendidikan tinggi pertanian umumnya memilih bidang itu sebagai pilihan terakhir. Mereka perlu diajak mengenali pertanian dengan terjun langsung sejak awal kuliah.

Ninuk Mardiana Pambudy, alumnus Fakultas Pertanian IPB yang juga Wakil Pemimpin Redaksi Kompas berpendapat, fakultas yang diminati di perguruan tinggi justru ekonomi dan bisnis. Daya tarik bekerja di pertanian, perikanan, dan peternakan kalah jauh dibandingkan dengan industri media dan hospitality. Apalagi, imbalan finansial di sektor pertanian kalah kompetitif. (ELN/DNE)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/151002kompas/#/11/

Kamis, 01 Oktober 2015

Mentan Amran Sulaiman Blak-blakan Soal Wacana Impor Beras

Kamis, 01 Oktober 2015

Blitar -Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman termasuk yang ngotot agar Indonesia tak impor beras tahun ini. Tak impor beras merupakan simbol target swasembada beras yang diembannya, saat diangkat Presiden Joko Widodo (Jokowi) Oktober 2014 lalu.

Ia berkeyakinan, produksi beras nasional cukup bahkan berlebih, meski ada ancaman El Nino. Wacana impor beras muncul saat Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyampaikan soal kemungkinan impor beras. Amran dan Jokowi sempat panen padi di Karawang, seolah memberi pesan produksi padi masih berjalan meski bukan masuk periode panen raya.

Saat ditemui usai kunjungan kerja ke Desa Siraman, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Selasa (29/9/2015), Amran Sulaiman bersedia diwawancarai detikFinance saat berada di sebuah rumah makan.

Ia menyampaikan sikapnya soal kemungkinan adanya impor beras, termasuk soal mulai adanya kenaikan harga beras di dalam negeri. Apa sikap Amran bila nanti ada impor beras? Apa yang akan dilakukannya? Apa kebijakannya soal impor sapi hingga jagung?

Berikut wawancara lengkap detikFinance dengan Amran.

Bisa diceritakan pertemuan antara Presiden Jokowi dengan para pedagang beras di Istana hari Senin kemarin?
Pertama, kemarin pedagang mengatakan bahwa beras cukup, pedagang ya yang bilang. Ada juga yang mengeluhkan operasi pasar Bulog sehingga stok beras menumpuk di mereka. Dengan kenaikan (harga beras) 2-3 persen sederhana saja, Bapak Presiden minta Bulog lepas 300.000 ton untuk operasi pasar.

Kemarin kesepakatannya adalah, mereka (pedagang beras) membantu pemerintah menurunkan harga beras. Kemudian menjaga stabilitas harga. Mereka mengatakan stok cukup di gudang mereka masing-masing, dan sepakat menurunkan harga.

Operasi pasar sudah jalan?
Sudah mulai Jumat kemarin, kan dijalankan terus sampai harga stabil. Antara 100.000-300.000 ton yang dilepas. Tapi mungkin cukup 50.000 ton saja (harga beras) sudah turun. Arahan Bapak Presiden, kalau perlu lepas 300.000 ton.

Stok komersial Bulog banyak kok, tidak pernah terjadi sebelumnya ada stok komersial sampai 700.000 ton. Tahun-tahum sebelumnya hanya 100.000-200.000 ton, yang penting ada beras lah.

Menurut pedagang stok cukup, lalu apa yang membuat harga beras naik 3%?
Mungkin psikologis pasar saja karena ada El Nino, kekeringan. Suplai ke Pasar Induk Cipinang masih normal, itu kata mereka (pedagang beras). Aku turun langsung ke lapangan juga untuk cek apakah ada panen.

Bisa dijelaskan apa tujuan utama kunjungan Anda keliling ke sejumlah daerah pekan ini?
Tujuan besarnya adalah sekarang ini untuk menentukan Desember-Januari itu sekarang, harus pacu tanam padi sekarang, karena tanam sekarang nanti panennya di Desember-Januari, itu strateginya, jangan sekarang santai-santai saja.

Kedua, ingin melihat langsung seperti apa panen saat ini di lapangan. Kondisinya seperti yang kita lihat langsung, ada panen dan langsung tanam lagi. Jadi kalau kita menduga, melihat data, mengambil sampel dari Jakarta saja itu tidak cukup. Anda kan kemarin lihat juga di Karawang, sekarang di Blitar, besok di Tuban, masih banyak panen. Kemudian kita pacu Kalimantan Selatan, selesai panen langsung tanam, tidak boleh putus.

Pantauan Anda ke lapangan ini akan menentukan apakah kita perlu impor beras atau tidak?
Tidak usah diperdebatkan. Tahu tidak? Kita ini berupaya sekarang menekan dampak dari El Nino. Sekarang stok (Bulog) masih ada 1,7 juta ton. Perbandingannya tahun lalu juga sama posisinya di 1,7 juta ton. Persoalan impor tidak impor itu dua-duanya baik.

Kenapa menurut Anda dua-duanya baik?
Karena itu keduanya untuk menjaga Merah Putih. ‎Kalau impor menjaga-jaga supaya jangan sampai El Nino ini kebablasan, menjaga stok. Sedangkan kalau tidak impor ingin menjaga petani. Jangan dilihat secara parsial, harus holistik.

Kalau posisi stok Bulog sama dengan tahun lalu, berarti stok tidak aman? Mungkin ini kekhawatiran Wapres JK?
Stok 1,7 juta ton tahun lalu itu kan sudah termasuk dari impor. Tahun lalu Bulog impor sekitar 400.000 ton, hampir 500.000 ton. Sekarang tanpa impor kita ada 1,7 juta ton juga. Justru Anda harus berpikir bahwa kekuatan sekarang lebih besar daripada tahun lalu.

Bandingkan juga dengan 1998. Kita impor 7,1 juta ton beras saat penduduk masih 200 juta orang. Sekarang penduduk sudah 250 juta tapi belum impor. Jadi angkat dari sisi positifnya bahwa ada hasil yang signifikan dari upaya khusus kita. Benar kan?

Bagaimana tindak lanjut dari permintaan Wapres JK untuk memperbaiki data produksi beras?
Itu bagus. Memang BPS (Badan Pusat Statistik) sekarang sudah menghitung ulang, mungkin setahun selesai.

Apakah memang ada kelemahan dalam perhitungan data produksi beras kita?
Kalau bercerita tentang data, makanya ada statistik, karena ada ketidaksempurnaan itu. Tingkat kepercayaan 95 persen, ada sisa 5 persen error-nya. Arahan Pak Wapres itu bagus supaya data betul-betul akurat.

Soal perbedaan data, kalau kita ambil sampel hari ini dan besok sudah bisa berbeda. Misalnya kita hitung berapa butir nasi yang dimakan setiap orang, 2 jam lagi saja sudah beda.

Data BPS tetap jadi acuan untuk pengambilan kebijakan soal beras?
Iya dong, harus dipercaya.

Kemarin di Istana, Presiden Jokowi juga menyatakan ingin Indonesia punya cadangan beras sampai 10 juta ton seperti China, bagaimana rencana untuk mencapai itu?
Itu bagus supaya stok kita aman, itu memotivasi kita. Kita bekerja keras. Yang jelas, kalau semua infrastuktur pertanian sudah baik pasti stok beras tercukupi. Target kita Bulog bisa punya stok 5-10 juta ton. Sekarang ini kan kita kecolongan di El Nino. Kalau tidak ada El Nino kita bisa ekspor beras.

Soal jagung, Anda ada rencana menyetop impor jagung tahun depan?
Bukan disetop, tapi dikendalikan, dibatasi sesuai kebutuhan.

Rencana pengendaliannya seperti apa?
Kita harus memperkuat produksi dalam negeri. Tapi bukan kita batasi lalu kita diam, itu keliru. Kami anggarkan kurang lebih Rp 2 triliun untuk perluasan lahan jagung 1 juta hektar.

Kemudian pengusaha pakan ternak kita suruh buka lahan jagung. Impornya misalnya 1 juta ton, sekarang butuh lahan berapa? Kita akan siapkan, kita sudah laporkan ke Bapak Presiden. Jadi nggak menekan tanpa memberi solusi.‎

Sudah ada pengusaha pakan yang mau buka lahan jagung?
Oh ada, sudah dong. Mereka buka sesuai kebutuhannya, kami siapkan lahan di Kalimantan. Ada juga kerjasama dengan Perhutani, pakai lahan Perhutani 80.000 hektar di Jawa Timur. Jadi bukan dikencangkan tapi tidak memberi ruang gerak, itu keliru, kita memberi solusi.

Penyediaan lahannya sudah dibicarakan dengan BPN?
Sudah, aku sudah bicara ke Menteri LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dahulu.

Bukankah di Kalimantan lahan yang tersedia kebanyakan adalah tanah ulayat atau sudah ada pemilik HGU-nya?
Ya kalau kita tidak mau menghadapi problem seperti itu, kita diam. Kalau mau maju, pasti tantangan-tantangan itu ada. Di situlah terlihat kepiawaian kita menyelesaikan suatu persoalan. Saya yakin saya bisa menyelesaikannya.

Sejauh ini, bagaimana dampak pengetatan impor jagung terhadap harga di petani?
Tahu sekarang berapa harga jagung di petani? Sudah Rp 3.500/kg di petani, senang tidak petani? Katakanlah sekarang produksi jagung nasional sudah 10 juta ton, berarti keuntungan yang dinikmati petani kita Rp 10 triliun. Itu dampak pengendalian impor jagung. Sekarang petani bersemangat, bergairah menanam jagung.

Awalnya harga jagung, misalnya di NTB itu cuma Rp 1.500/kg. Sekarang sudah naik, minimal Rp 2.700/kg di NTB sana. Malah sudah Rp 3.000/kg di sana.

Jadi pengendalian impor itu strategi kami untuk memacu produksi. Kami memperbaiki infrastruktur, faktor-faktor kunci seperti benih pupuk kami perbaiki, sekarang pengendalian impor. Setelah pengendalian impor, tata niaganya kita perbaiki. Pasti bergairah petani kami.

Mungkin pengusaha awalnya sakit hati kok ini menteri tiba-tiba menahan impor. Saya tahan kepentingan mereka. Tapi kalau tidak saya tahan, mereka berjaya hari ini, 20 tahun lagi runtuh, dijajah oleh begal. Jadi kita visioner.

Tadi petani di Blitar mengeluhkan HPP beras untuk Bulog terlalu rendah, Bulog pun kesulitan melakukan pengadaan dengan HPP sekarang. Apa ada rencana menaikkan HPP beras?
Ah itu kata mereka (petani). Kalau jual Rp 9.000/kg mereka diam-diam saja. HPP itu penyangga saja. Yang penting faktor produksi kita perbaiki sehingga biaya produksi turun.

Terkait impor sapi, mengapa dibuka lebar lagi di kuartal IV setelah Bapak memperketat di kuartal III?
Tahu tidak kamu kebutuhan kuartal IV mintanya berapa? 300.000 ekor, itu (200.000 ekor) sudah saya kurangi hampir separuh. Jadi dalam setahun ini sudah kami kurangi. Jatah impor di kuartal IV ini untuk kebutuhan awal tahun depan.‎

Kemarin kuartal III kami kendalikan, masih makan daging sapi kan sampai hari ini? ‎Kemarin BPS mengatakan impor pangan baru separuh dari tahun lalu, jadi terkendali. Yang kita hemat adalah devisa kurang lebih Rp 50 triliun.

Bukan karena tekanan dari Australia dan feedloter lalu impor sapi dilonggarkan lagi?
Ah tidak ada, tidak boleh kita cerita tekanan-tekanan. Kalau cerita tekanan, tidak selesai ini persoalan. Kalau memang masih cukup pasti tidak dibuka, percaya sama saya.

Lalu bagaimana rencana pengendalian impor sapi tahun depan?
Itu nanti kita hitung baik-baik, tentu mengacu pada jatah di 2015.

Naik atau turun dibanding jatah impor sapi 2015?
Kami upayakan turun dibanding 2015. Mau (penetapan kuota) per tahun atau per kuartal sama saja.

Mengapa penetapan kuota impor sapi dibuah dari per kuartal menjadi per tahun?
Itu tidak soal, mau per kuartal atau per tahun yang penting kami mengendalikan.

Bagaimana perbaikan internal yang Bapak lakukan di internal Kementan?
Sekarang (Kementerian) Pertanian sudah berubah. Sudah dengar nggak? Ada yang berani mempersulit? Kalau ada yang mempersulit orang, kucopot! Ada yang melanggar, kucopot! Kalau saya ikut jadi pelaku (pelanggaran) susah saya melakukan itu. Ada yang main sembunyi-sembunyi, aku tahu kok. Kami bangun sistem, tidak pilih kasih. ‎Sistem penerimaan internal eselon I, eselon II, kita bangun sistem.

Usai makan siang dan wawancara, hujan tiba-tiba turun. Amran segera keluar dari Restoran Dua-Dua untuk menyaksikan hujan.

"Ini berkah, saya datang ada hujan, padahal katanya El Nino," ujar Amran sambil tersenyum. Lalu tak lama kemudian Amran masuk ke mobilnya dan perjalanan pun berlanjut menuju Kediri.

(hen/dnl)

http://finance.detik.com/read/2015/10/01/073207/3032487/459/mentan-amran-sulaiman-blak-blakan-soal-wacana-impor-beras

Impor Pangan Sama dengan Bunuh Diri Massal Petani

Rabu, 30 September 2015

Beberapa waktu yang lalu diadakan pertemuan antara wakil Presiden, Menteri Negara BUMN, Menteri Pertanian, dan Direktur Utama BULOG yang diperkirakan membahas persediaan beras dan dampak iklim ekstrim El Nino. Seusai pertemuan, Wapres Jusuf Kalla memberi isyarat bahwa impor beras dapat dilakukan jika pasokan dan stok beras tidak mencukupi. Namun selang sehari, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pemerintah belum memutuskan untuk impor beras. Terakhir Ketua MPR menimpali, kalau kurang beras sebenarnya memang lakukan saja impor beras.

Sikap banci pemerintah di bidang pangan dan pertanian untuk impor atau tidak impor beras di atas hendaknya segera diubah. Hal ini mengingat bahwa pertanian pangan melibatkan banyak faktor dan pada prakteknya membutuhkan kepastian. Selain itu sebagai komoditas yang sensitif dari segi harga dan stok, bidang pangan mengharuskan kesiapan, kecermatan, dan keandalan dalam mengendalikan berbagai variabel makro politik, sosial, ekonomi, dan budaya.

MENGALAMI MALAPETAKA

Akan tetapi setelah Bung Karno menyatakan bahwa pangan adalah soal hidup-matinya bangsa, rezim-rezim berikutnya tidak secara konsisten dan konsekuen melaksanakan amanat tersebut. Rezim Suharto menaruh minat terhadap swasembada pangan, tetapi di lain pihak membiarkan potensi pertanian tergerus oleh pembangunan sektor lainnya. Setelah reformasi sejak era Gus Dur sampai rezim sekarang, dalam urusan pangan, pemerintah masih terbatas meneriakkan slogan dan bertindak plin-plan.

Pada tahun 1952 saat peletakan batu pertama Institut Pertanian Bogor (IPB) Bung Karno berpidato: “Rakyat Indonesia akan mengalami celaka, bencana, malapetaka dalam waktu dekat, kalau soal makanan rakyat tidak segera dipecahkan. Sedangkan soal persediaan makanan rakyat ini bagi kita adalah soal hidup atau mati. Camkan, sekali lagi camkan, kalau kita tidak camkan soal makanan rakyat ini secara besar-besaran, secara radikal, dan revolusioner; kita akan mengalami malapetaka”.

Mengatasi pangan dengan cara menerjemahkan pidato Bung Karno tersebut, itulah tantangan kita saat ini. Namun celaka, bencana, dan malapetaka yang disebut-sebut Bung Karno itu sayangnya sudah terjadi saat ini. Antara tahun 2000 – 2010 laju impor komoditas tanaman pangan utama mengalami laju perkembangan nilai yang fantastis; beras (25,35%), jagung (34,13%), kedelai (3,81%), kacang tanah (15,33%), ubi jalar (27,57%), dan ubi kayu (29,19%). Padahal semua komoditas ini sebenarnya merupakan tanaman pangan tradisional yang sudah sejak dahulu kita tanam sendiri di negeri ini.

Indonesia akhirnya sekarang telah menjadi negara importir pangan terbesar dengan nilai impor mencapai 12 miliar dolar AS setahun. Impor pangan Indonesia dengan jumlah penduduk peringkat keempat ini bahkan mengungguli India dan Cina. Di Indonesia anehnya nilai impor komoditas pangan selalu meningkat menjelang diselenggarakannya Pemilu/Pilpres di tanah air.

MENTALITAS CALO HAMBAT PERTANIAN PANGAN

Ketergantungan terhadap impor pangan tampaknya sulit diretas mengingat keuntungan dari impor pangan sangat menggiurkan. Alpanya pemerintah dalam pengendalian harga pangan telah menciptakan disparitas harga yang cukup besar antara di luar dan dalam negeri yang menyisakan profit margin yang luar biasa bagi perusahaan yang memegang ijin impor. Arus deras impor produk pangan luar negeri inilah yang membuat collaps pertanian dalam negeri

Apalagi jika ada kaitan erat antara kebijakan impor pangan dengan kekuasaan politik, maka impor pangan akan menjadi perilaku elit yang edicted (nagih). Belum hilang ingatan kita bagaimana Bulog berpuluh tahun menjadi ATM dari partai-partai berkuasa. Selain itu muncul pula skandal perijinan daging dan sapi impor oleh oknum petinggi partai tertentu. Semua ini membuktikan masih suburnya mentalitas calo di kalangan pejabat dan para kroninya.

Jika saat ini pemerintah mencanangkan UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B), maka program ini tentu akan kandas. Apa artinya petani Indonesia berdaulat di bidang pangan dengan menguasai seluruh rantai produksi pangan, jika keran impor pangan terus dibiarkan mengocor. Ibaratnya pembukaan keran impor pangan tanpa kendali tersebut akan menggembosi UU Nomor 41 Tahun 2009 yang sebenarnya sudah pula ditindak-lanjuti dengan macam-macam peraturan pemerintah (PP) yang dikeluarkan antara tahun 2011 – 2012.

Apalagi UU Nomor 41 Tahun 2009 tersebut tidak memiliki insentif yang handal dalam mempengaruhi petani untuk mempertahankan tanahnya agar tetap digunakan bagi pertanian pangan. Pasalnya, nilai tukar petani (NTP) tanaman pangan sangat rendah, sedangkan peraturan perundangan bidang pangan tidak pernah lebih jauh menyentuh faktor-faktor produksi mendasar dan indek harga (IT/IB) petani tanaman pangan. Pada bulan Agustus 2015, NTP di beberapa provinsi menurun. Hal ini tentu akan menurunkan ekspektasi bagi mereka yang hidup dari pertanian pangan.

DAMPAK RENTE YANG BRUTAL

Semua ini kalau dirunut akan sampai pada pertanyaan, sejauh mana pemerintah benar-benar memiliki keberpihakan atas pertanian pangan? Negara-negara maju, seperti Jepang, Korea, Amerika, Australia, Selandia Baru, dan negara-negara Eropa; berhasil karena mendahulukan pangan sebagai modalitas untuk mendongkrak kemajuan di sektor-sektor lain. Beberapa negara maju lain yang kaya akan sumber daya alam, walau tidak mengawali dengan pembangunan pertanian pangan, tetapi mereka sadar membutuhkan modal yang bisa diakumulasikan untuk pembangunan ekonominya.

Tetapi Indonesia yang berada di katulistiwa, yang memiliki potensi pertanian sangat besar, ternyata menyia-nyiakannya sampai saat ini. Sedangkan sumber daya alam pun menjadi korban perburuan rente yang brutal, tanpa mampu mengakumulasikan nilai tambah apapun. Sangat menyedihkan jika saat ini kita malahan menjadi negara yang terus bergantung pada negara pemberi hutang pada peringkat 8 di dunia dengan jumlah hutang 30 triliun rupiah.

Penghargaan yang rendah terhadap potensi pertanian dan sumber daya alam bersamaan dengan mental korup yang melanda elit kekuasaan dan birokrasi menyebabkan hasil pembangunan tidak terakumulasi sebagai devisa yang solid untuk membiayai pembangunan. Tingkat kebocoran akibat korupsi dalam pembelanjaan serta pemasukan devisa dan pajak, menurut ICW adalah sebesar 10% dari APBN. Kalau nilai APBN 1.800 triliun rupiah, maka kebocoran dalam 1 tahun adalah 180 triliun rupiah.

POSISI INDONESIA DI BAWAH TITIK NADIR

Setelah tujuh puluh tahun, Indonesia juga masih dikategorikan sebagai negara gagal (peringkat ke 63 dari 178 negara gagal). Dalam hal ini Indonesia masih kalah dari Thailand (84), Vietnam (96), Malaysia (110), Brunei Darussalam (123), dan Singapura (157). Dalam hal korupsi, walau skor indeks korupsi Indonesia naik dari 32 menjadi 34, tetapi Indonesia masih jauh di bawah Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Sedangkan di antara negara-negara ASEAN, peringkat daya saing sumber daya manusia masih berada di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina.***


Ir. S. Indro Tjahyono, Koordinator Relawan Jokowi – JK

http://www.kompasiana.com/sindrotj/impor-pangan-sama-dengan-bunuh-diri-massal-petani_560b4825d593733f048b4567

Peneliti: BPN Terbentuk, Kedaulatan Pangan Bisa Terwujud

Rabu, 30 September 2015
Dok: Ketua LSM Protanikita, Sukmadji Indro Tjahyono
Rimanews - Pemerintah harus segera membentuk Badan Pangan Nasional (BPN) agar kedaulatan pangan segera terwujud. Apalagi BPN sudah diatur dalam Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Kelembagaan Pangan sebagai amanat UU Nomor 18 Tahun 2012. Dalam undang-undang tersebut diamanatkan bahwa lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan harus telah terbentuk paling lambat 3 (tiga) tahun sejak diundangkannya, atau berarti tanggal 16 November 2015.

Ketua LSM Protanikita, Sukmadji Indro Tjahyono, untuk mempercepat terwujudnya kedaulatan pangan, maka harus ada beberapa kementerian terkait yang disinerjikan dengan BPN. Selain itu, sambung Indro, Bulog juga tidak lagi dibawah Kementerian BUMN, tapi langsung dibawah koordinasi BPN.  

"Kementerian terkait harus disinerjikan dengan BPN, hal ini menuntut perubahan status kelembagaan Bulog tidak lagi sebagai BUMN. Bulog juga harus kembali menjadi badan yang langsung di bawah BPN yang didukung kementerian dan BUMN terkait pangan," ujar Indro, dalam keterangan pers, Rabu (30/09/2015).

Menurut Indro, dengan banyaknya kementerian yang terlibat dalam BPN, beberapa program yang mendukung kedaulatan pangan bisa dijalankan serempak. Hal itu antara lain pembukaan 1 juta lahan sawah baru dan reformasi agraria seluas 9 juta ha, perbaikan dan pembangunan jaringan irigasi, bendungan, pasar, dan sarana prasarana transportasi, penghentian konversi lahan produktif, serta pemulihan kualitas kesuburan lahan.

"BPN juga diharapkan mampu membangun 1000 desa mandiri benih, gudang fasilitas pengolahan pasca panen di sentra produksi, pendirian bank pertanian dan UMKM, peningkatan kemampuan petani, pembangunan agribisnis kerakyatan, serta pengendalian impor pangan," tutur Koordinator relawan Jokowi ini.

Indro kemudian menguraikan berbagai tugas kementerian sebagai stakeholder BPN sebagai berikut:

Kementerian Pertanian: Memproduksi benih unggul, teknologi budidaya, dan pasca panen.
Kementerian PU dan Perumahan Rakyat: Menyelenggarakan infrastruktur irigasi dan jalan akses produk pertanian.
Kementerian Perindustrian: Mengembangkan teknologi industri hilir dan mesin tepat guna.
Kementerian Perdagangan: Memperkuat akses pasar untuk para petani dan proteksi produk pertanian lokal.
Kementerian Dikdasmen: Menyelenggarakan pendidikan kejuruan pertanian pangan dan kewirausahaan untuk keluarga petani.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang: Melindungi lahan pertanian dan pengaturan pembatasan kepemilikan lahan.
Kementerian Keuangan: Mengembangkan bank petani, asuransi pertanian, insentif bunga pinjaman, dan aturan pajak bumi yang berkeadilan.
Kementerian Tenaga Kerja: Menyediakan lapangan kerja bagi keluarga petani.

http://ekonomi.rimanews.com/read/20150930/237138/Peneliti-BPN-Terbentuk-Kedaulatan-Pangan-Bisa-Terwujud