Rabu, 30 September 2015

Bulog Kembali Turunkan Harga Tebus Beras Premium, Sejumlah Mitra Hentikan Suplai

Selasa, 29 September 2015

PURWOKERTO,(PRLM).- Sejumlah mitra Bulog menghentikan suplai beras ke Bulog setelah Bulog menurunkan lagi harga tebus beras premium dari semula Rp 9.000 per kilogram (kg) diturunkan lagi menjadi Rp 8.250 per kg. Sebab nilai tebusnya sudah di bawah harga di pasar beras lokal.

"Penurunan harga tebus beras premium oleh Bulog sudah dua kali semula Rp 9.000 per kg kemudian turun menjadi Rp 8750, Senin lalu sudah ada keputusan resmi turun menjadi Rp 8250. Saya sudah dengar kabar itu Kamis pekan lalu, sejak saat itu saya stop beli beras untuk Bulog,"kata Imam salah satu mitra asal Rawalo, Banyumas,

Hingga hari ini Selasa (29/9) Imam dan puluhan mitra Bulog lainnya sudah tidak mengisi gudang Bulog. Sebab harga tebus sudah dibawah harga beras petani di penggilingan yang sampai saat ini masih bertahan di angka Rp 8300 hingga Rp 8350 per kg.

Hal yang sama dikatakan Manajer KUD Patikraja Faturrahman, sudah menghentikan suplai ke gudang Bulog. "Kebijakan penurunan harga tebus tersebut telah menyebabkan kita banyak mengalami kerugian,"jelasnya.

'Sebab sebelum harga tebus diturunkan mereka sudah terlanjur membeli di tingkat penggilingana tau petani Rp 8300 per kg. Tetapi Bulog hanya menghargai Rp 8250 per kg, kita banyak merugi,"jelasnya.

Kepala Bulog Sub Divre IV Banyumas, Setio Wastono yang didampingi pejabat Humasnya, Priyono, mengakui penurunan harga tebus beras premium tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan agar beras petani tidak semuanya masuk ke gudang Bulog.

''Penurunan harga tebus untuk menjaga inflasi, disamping menjaga agar pasar masih ada stok beras, sehingga gejolak harga juga tidak terjadi,'' jelasnya.

Selain itu, program pengadaan beras premium yang dilakukan Bulog Sub Divre IV Banyumas, sudah melebih target. Menurutnya, ketika penyerapan beras premium ini diprogram kan, Bulog Banyumas ditargetkan hanya menyerap beras premium sebanyak 5.000 ton.

"Sampai saat ini penyerapan beras premium saat ini sudah mencapai sekitar Rp 6.800 ton. Sedangkan yang masih terikat kontrak untuk pengadaan premium ini, masih ada sekitar 500 ton lagi,'' jelasnya.

Priyono menambahkan, pihaknya masih menerima setoran beras namun dengan ketentuan yang baru seharga Rp 8.250 per kg dan sesuai kualitas yang diper syaratkan.

Dia menyebutkan, dengan penyerapan beras premium ini, maka tingkat penyerapan beras yang telah dilakukan Bulog Banyumas sepanjang tahun 2015 hingga saat ini, telah mencapai 58 ribu ton setara beras. Yakni, terdiri dari beras medium untuk kebutuhan raskin seanyak 51 ribu ton, dan beras premium sebanyak hampir 7.000 ton. (Eviyanti/A-108)***

Selasa, 29 September 2015

Pro dan Kontra Impor Beras

Selasa, 29 September 2015

Di tengah musim kemarau panjang akibat fenomena iklim El Nino, muncul perbedaan pendapat mengenai rencana pemerintah mengimpor beras.

Perbedaan tersebut muncul dari pernyataan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Saat panen padi varietas unggul IPB-3S di Karawang, Jawa Barat, Minggu (27/9), Presiden mengatakan belum akan gegabah mengimpor beras. Saat ini sedang dihitung dampak El Nino terhadap produksi beras. Jumat lalu, dalam rapat terbatas tertutup di Istana yang dipimpin Presiden, disimpulkan stok pangan aman.

Sebelumnya, Rabu pekan lalu, Wakil Presiden menyatakan, pemerintah akan mengimpor 1,5 juta ton beras. Stok beras yang dipegang Bulog 1,7 juta ton akan habis akhir tahun ini. Stok harus bertambah untuk menjamin pasokan beras bagi masyarakat miskin dan menjaga stabilitas harga karena kekeringan bisa berlangsung hingga Desember.

Perbedaan pandangan terbuka antara Presiden dan Wakil Presiden—dengan argumentasi masing-masing—menimbulkan pertanyaan di masyarakat mengenai koordinasi pada aras tertinggi pemerintahan.

Pernyataan Presiden dalam pertemuan dengan pedagang beras dan pengusaha penggilingan padi, Senin, menunjukkan keberpihakan pada petani dan konsumen tanpa meminggirkan pengusaha. Petani harus memperoleh pendapatan yang baik karena telah menanam padi untuk kepentingan nasional. Impor akan menyebabkan harga jatuh. Pedagang diminta tidak mengambil untung sepihak yang akan merugikan konsumen dan petani.

Persoalan beras tidak sepele. Beras makanan utama sebagian besar penduduk Indonesia. Bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, beras masih menjadi sumber pengeluaran penting. Kenaikan harga beras akan menurunkan daya beli keluarga.

Dalam sejarah Indonesia, beras juga komoditas politik. Peristiwa politik besar di Tanah Air, setidaknya pada 1966 dan 1998, diawali dengan masalah pangan, terutama beras. Kebetulan pada saat itu juga terjadi El Nino.

Data produksi dan konsumsi beras menjadi masalah bertahun-tahun. Ke depan, akurasi data produksi beras dan pangan keseluruhan hendaknya menjadi perhatian karena padanya diletakkan dasar perencanaan produksi pangan.

Menteri Pertanian telah menjanjikan produksi beras akan cukup. Janji tersebut harus dibuktikan di lapangan dengan memastikan semua sarana produksi tersedia tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat kualitas. Varietas IPB-3S yang memberi hasil hingga 9,4 ton gabah kering giling, misalnya, selayaknya mendapat dukungan dikembangkan.

Yang tidak kalah penting, penduduk miskin, hampir miskin, dan kelas menengah dapat mengakses beras tersebut dengan harga yang terjangkau. Kalaupun kemudian diputuskan mengimpor beras, hendaknya tidak ada pihak yang mengambil keuntungan dan impor dilaksanakan oleh lembaga pemerintah.

http://print.kompas.com/baca/2015/09/29/Pro-dan-Kontra-Impor-Beras?utm_source=bacajuga

Senin, 28 September 2015

Jenderal Gatot ngaku pernah ditawari Rp 500 M untuk rayu menteri

Merdeka.com - Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengaku pernah ditawari Rp 500 miliar untuk merayu Mentan Amran Sulaiman dan Mendag (saat itu) Rahmat Gobel agar menerima impor beras dari negara lain. Namun, Gatot menolak keras tawaran eksportir asing yang juga mengiming-imingi Rp 1 triliun untuk Amran.

"Saya coba bercanda, bilang sama Pak Mentan ada tawaran nih Rp 1 triliun biar terima impor, tapi Mentan nggak mau. Lalu sama dengan Pak Rahmat tetap menolak juga," kata Gatot tanpa menyebut asal negara eksportir.

Hal itu dikatakan Gatot saat memberi kata sambutan acara di Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu (26/8). Gatot sedianya sedang sedang berbicara soal program swasembada pangan yang sedang digalakkan pemerintah.

Soal swasembada pangan, Gatot juga punya cerita sendiri terhadap Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Dia mengisahkan, saat menjabat Kasad dulu, dia pernah mengadakan rapat di tengah hutan bersama Amran serta Babinsa TNI membahas swasembada dan ketahanan pangan.

"Waktu itu Presiden Joko Widodo datang saat kami rapat itu, Presiden Jokowi mengatakan 3 tahun kita wajib swasembada pangan. Kalau tidak Mentan akan dicopot, dan memerintahkan kepada TNI untuk membantu," ujarnya.

"Saya bilang ke Presiden, saya tidak rela menteri dicopot, kalau tidak swasembada pangan tiga tahun Kasad juga dicopot sama Mentan," imbuh dia.

Petani, kata dia, hanya dijadikan alat kepentingan oleh sekelompok tertentu. Sebab, petani yang sudah berhasil panen hanya dinikmati segelintir sekelompok tertentu karena impor beras membuat harga murah.

"Percaya sama omongan saya, antara tahun ini dengan 28 tahun lagi, usaha paling menguntungkan adalah usaha pertanian karena jumlah penduduk di dunia ini 6 tahun tambah 1 miliar," ujarnya.

"Perkebunan sawit sudah melirik ke usaha pertanian karena hanya kerja tiga bulan, empat bulan sudah panen, sedangkan sawit minimal 5 tahun panen," kata dia.

Lebih jauh, dia pun mengutip pidato Presiden Soekarno saat meletakkan batu di Universitas Pertanian Bogor pada tahun 1957 silam.

"Perlu ciptakan swasembada pangan, bahkan kalau perlu revolusi. Pak Soekarno bilang negara-negara lain akan iri dengan Indonesia dan itu sudah mulai," kata dia.

http://www.merdeka.com/peristiwa/jenderal-gatot-ngaku-pernah-ditawari-rp-500-m-untuk-rayu-menteri.html

Jokowi: Dana Desa tak Boleh Parkir di Bank

Senin, 28 September 2015

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo menegaskan dana desa menginginkan agar dana desa bisa menggerakan ekonomi desa. Apalagi besarannya meningkat untuk tahun depan dari semula Rp 20,76 triliun pada 2015 menjadi Rp 46,9 triliun pada tahun anggara 2016, atau kenaikan lebih dari 100 persen.

Ia pun menegaskan dana yang nilainya mencapai triliunan rupiah itu tidak boleh sengaja 'diparkir' di bank.

“Saya mengingatkan dana desa tidak boleh diparkir di Bank. Harus digunakan untuk membangun infrastruktur dan program padat karya,” tegas Presiden dalam fan page facebooknya, Senin (28/9).

Sementara itu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendesa PDTT) Marwan Jafar mendesak para bupati/walikota segera menyalurkan dana tersebut ke seluruh desa. Ia juga menegaskan dana desa tidak boleh mengendap di rekening Pemerintah Daerah.

“Kepada teman-teman kepala daerah untuk kesekian kalinya saya ingatkan soal dana desa ini segera lah salurkan ke desa, kalau lambat merealisasikan ingat adanya sanksi penundaan dana alokasi umum dan atau dana bagi hasil daerah” tegas Marwan, Ahad (27/9).

Marwan mengingatkan pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 (tiga) Menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri (Mendagri); Menteri Keuangan (Menkeu); dan Menteri PDTT;  yang mempermudah proses administrasi bagi Pemda untuk mempercepat penyaluran dana desa. Salah satunya, program alokasi dana oleh pemerintah desa yang menjadi syarat pencairan dibuat lebih sederhana.

“Perlu diketahui saat ini dana desa menjadi andalan kita dalam menggerakkan perekonomian desa, membangun infrastruktur desa sekaligus menciptakan sebanyak-banyaknya lapangan kerja di desa untuk mengatasi pengangguran, kemiskinan, meningkatkan daya beli masyarakat desa” ungkap Marwan.

Marawan meminta Kepala Daerah mencermati dan merespon cepat laporan Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu lalu mengenai adanya penambahan jumlah penduduk miskin di perdesaan, bahkan prosentasenya lebih besar dibanding penambahan warga miskin di perkotaan.

“Harus ada respon cepat dari para Kepala Daerah, dengan secepat-cepatnya menyalurkan dana desa agar bisa langsung digunakan untuk membangun infrastruktur desa seperti jalan desa, irigasi, sanitasi, dan sebagainya” terang Marwan.

Dari data Kementerian Keuangan RI sampai dengan tanggal bulan ini diketahui sebanyak Rp 16,57 triliun atau 80 persen dari Rp 20,7 triliun dana desa yang dialokasikan dalam APBN 2015, telah disalurkan dari Pusat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota se Indonesia.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/09/28/nvd8cs335-jokowi-dana-desa-tak-boleh-parkir-di-bank

Mau Dapat Benih Padi Varietas Unggul IPB 3S? Ini Tempatnya

Senin, 28 September 2015

Jakarta -Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyaksikan panen padi varietas unggul IPB 3S hasil pengembangan para peneliti IPB di Karawang, Jawa Barat, pada Minggu (27/9/2015). Varietas berumur 112 hari tersebut mampu menghasilkan produksi mencapai 8,5 ton/ha gabah kering giling (GKG).

Benih ini mulai banyak dicari petani. Para petani bisa mendapatkan benih ini di pusat—pusat penangkaran benih milik balai benih Kementerian Pertanian.

Para petani pun mulai tertarik menangkar benih IPB 3S ini, tidak hanya di Jawa Barat bahkan hingga Jawa Timur.Tertarik untuk menanam atau menangkar benih ini? Jangan khawatir, sebab tidak sulit mendapat benih unggul tersebut.

"Di Sukamandi ada yang sampaikan ke saya, dia punya stok benih yang ditangkarnya 16 ton. Di Jatim juga sudah banyak. Ada beberapa petani yang sudah punya penangkarannya di sana," ungkap Hajrial Aswidinnoor, pemulia varietas IPB 3S kepada detikFinance, Minggu (27/8/2015).

Di lokasi panen yang disaksikan Presiden, kata Hajrial juga ada stok benih 5 ton. "Di Cilamaya, tempat panen yang dihadiri Presiden juga ada stok benih 5 ton," tambahnya.

Seluruh hasil panen padi IPB 3S di Kabupaten Karawang memang akan khusus dipakai untuk ditangkar kembali. "Menteri Pertanian bilang, semua panen IPB 3S di Karawang akan dipakai untuk benih. Ada program pemerintah pengembangan penangkaran benih. Ada di 9 provinsi totalnya mencapai 100.000 hektar. Kalau semua pakai IPB 3S paling tidak butuh 3.000 ton benih," jelas Hajrial.

Sejak dilepas tahun 2012, Hajrial menerima tanggapan positif dari hasil penelitiannya. Kualitas yang baik mampu mendongkrak harga jual beras hasil panen padi IPB 3S di pasaran.

"Banyak yang cerita ke saya kalau harganya bagus. Kata pengusaha penggilingan padi, harganya kira—kira Rp 5.400/kg gabah kering panen (GKP). Selain faktor keunggulan kualitas gabah, kami rasakan betul dampak dari langkah pemerintah menahan untuk tidak mengimpor beras. Itu membantu harga jadi bagus," ternangnya.

Petani yang menanam IPB 3S pun senang karena rendemen yang diperoleh lebih tinggi dari padi pada umumnya. IPB 3S rendemennya bisa mencaia 67%, sementara padi pada umumnya m

Padi ini pun digemari konsumen. "Konsumen bilang lebih enak dibanding Ciherang. Artinya secara rasa bisa diterima," pungkasnya.

(ang/ang)

Pemerintah Belum Memutuskan Impor

Senin, 28 September 2015
Presiden Joko Widodo (bertopi merah) melihat hasil panen padi varietas unggul IPB-3S di Desa Cikarang, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Minggu (27/9). Varietas itu merupakan hasil riset peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) Hajrial Aswidinoor. Dalam kesempatan itu, Presiden menegaskan, pemerintah belum berniat mengimpor beras tahun ini.

Presiden Joko Widodo (bertopi merah) melihat hasil panen padi varietas unggul IPB-3S di Desa Cikarang, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Minggu (27/9). Varietas itu merupakan hasil riset peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) Hajrial Aswidinoor. Dalam kesempatan itu, Presiden menegaskan, pemerintah belum berniat mengimpor beras tahun ini. 
KOMPAS/ANDY RIZA HIDAYAT

KARAWANG, KOMPAS — Pemerintah belum memutuskan untuk mengimpor beras dari negara mana pun. Meskipun muncul desakan untuk impor, cadangan beras sampai saat ini dinilai masih cukup memenuhi kebutuhan hingga akhir tahun.

Stok beras di Bulog mencapai 1,7 juta ton yang terdiri dari 1,1 juta ton beras untuk keluarga miskin dan 600.000 ton beras premium. Stok itu diperkirakan bertambah 200.000-300.000 ton hingga akhir tahun.

Presiden Joko Widodo mengatakan, hampir semua petani akan menolak kebijakan impor beras. Oleh karena itu, pemerintah tidak akan gegabah memutuskan langkah impor.

"Akhir September ini, sudah hampir satu tahun, kebutuhan beras nasional bisa dipenuhi sendiri oleh petani, tidak ada impor. Sampai detik ini tidak ada impor," kata Presiden saat melihat panen varietas unggul di Desa Cikarang, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Minggu (27/9).

Meskipun pemerintah terus menyalurkan beras sejahtera sekitar 220.000 ton per bulan, tetapi stok masih akan tersisa pada akhir tahun. Pemerintah memprioritaskan kepastian pasokan beras ke rakyat cukup, distribusi lancar, dan harga terjangkau. Salah satu upaya pemerintah dalam jangka pendek adalah menggelar operasi pasar besar-besaran minggu ini.

Presiden mengakui, saat ini pemerintah sedang menghitung dampak El Nino. Sejalan dengan kalkulasi itu, kata Presiden, pemerintah perlu memperkuat cadangan beras agar betul-betul mencukupi kebutuhan. Presiden berharap Bulog dapat memainkan peran sebagai penyeimbang gejolak harga pasar. "Tujuannya agar harga di pasar tidak dimainkan spekulan," katanya.

Presiden menambahkan, tantangan pemerintah k?e depan adalah memberi insentif bagi petani sehingga bergairah meningkatkan produksi padi.

Kemarin, Presiden menyaksikan panen padi varietas unggul IPB-3S di lahan seluas 500 hektar. Produktivitas padi itu 13,4 ton per ha gabah kering panen, setara 9,4 ton per ha gabah kering giling. Produksi ini di atas rata-rata nasional 5,5 ton GKG per ha.

Di tempat yang sama, Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, langkah pemerintah tidak mengimpor beras saat ini merupakan fakta yang positif. "Upaya keras pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri menunjukkan hasil yang signifikan," kata Amran.

Sementara itu, Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti menyatakan, tidak ingin berdebat tentang impor beras. Menurut dia, hal terpenting saat ini adalah meningkatkan produksi beras secara nasional. Djarot mengakui, produksi beras dari petani cenderung menurun karena masa panen di musim kemarau.

Seperti diberitakan Kompas, Jumat (25/9), Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan rencana pemerintah mengimpor beras 1,5 juta ton. (NDY)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150928kompas/#/17/

Minggu, 27 September 2015

Hindari Impor, Kementan Dorong Bulog Gesit Beli Beras Petani

Minggu, 27 September 2015

Jakarta -Pihak Kementerian Pertanian (Kementan) yakin target pengadaan beras Perum Bulog sebanyak 3,2 juta ton tahun ini masih bisa dikejar tanpa perlu impor.

Caranya, Bulog harus lebih gesit dan berani membeli beras dari para petani di seluruh Indonesia, masih banyak panen padi di dalam negeri. Kementan memperkirakan di sisa musim panen periode terakhir, ada potensi 15 juta ton gabah kering giling (GKG) di 6 provinsi setara 9 juta ton beras.

"Kita sudah berusaha sekuat tenaga (meningkatkan produksi beras). Tergantung Bulog gesit atau nggak. Mereka harus berani (agar tak perlu impor beras)," kata Dirjen Tanaman Pangan Kementan Hasil Sembiring, kepada detikFinance usai acara panen raya di Desa Cikarang, Karawang, Minggu (27/9/2015).

Menurut Hasil, sampai bulan September ini panen padi masih melimpah, bulan ini saja ada panen 1,2 juta hektar, sehingga masih terbuka kesempatan Bulog menyerap beras semaksimal mungkin. Namun, panen memang menurun drastis mulai bulan Oktober nanti.

"Masih ada, sekarang September ini panen 1,2 juta hektar lagi. Mulai Oktober memang agak turun, sudah tinggal sekitar 600.000 hektar," ucapnya.

Ia mengakui rata-rata harga beras di lapangan saat ini memang sudah di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp 7.300/kg. Sehingga, sulit bagi Bulog untuk mengejar pengadaan dengan menggunakan HPP, lebih baik Bulog memaksimalkan pengadaan dengan skema komersial.

Menurutnya bila hanya mengandalkan pengadaan dari PSO (public service obligation/alokasi subsidi), Bulog sudah tertinggal jauh. Menurutnya, beras komersial tetap dapat digunakan untuk stok dan penyaluran beras sejahtera (rastra), tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian dari pemerintah.

"Saya kira bisa disesuaikan (beras komersial untuk stok). Memang kalau mengandalkan PSO, mereka (Bulog) sudah lama sekali ketinggalan," cetusnya.

Sebelumnya, Perum Bulog menyatakan bahwa impor beras perlu segera dilakukan untuk memperkuat stok mereka. Meski stok beras Bulog sekarang masih 1,7 juta ton, hanya 1,1 juta ton yang merupakan beras medium dan dapat disalurkan untuk PSO (Public Service Obligation), 600.000 ton sisanya adalah beras premium yang dibeli dengan skema komersial.

"(Kalau nggak impor) stok beras medium kita 100.000 ton saja nggak sampai, mendekati 50.000 ton sisa stok kita di akhir tahun," ujar Dirut Perum Bulog, Djarot Kusumayakti.

(hen/hen)

http://finance.detik.com/read/2015/09/27/143359/3029037/4/hindari-impor-kementan-dorong-bulog-gesit-beli-beras-petani

Sabtu, 26 September 2015

Swasembada Impor

Sabtu, 26 September 2015

LUAR biasa! Ada kado istimewa buat petani di Hari Tani Nasional kali ini. Peringatan diundangkannya UU No 5/1960 yang dikenal Undang Undang Pokok Agraria (UUPA), petani harus menerima keputusan pemerintah yang disampaikan Wakil Presiden untuk importasi 1,5 juta ton beras Thailand. Padahal peringatan diundangkannya UUPA tersebut disebut Bung Karno dalam Inpres
193/1963 sebagai Hari Kemenangan Rakyat Tani.Importasi dan eksportasi adalah perihal yang tidak istimewa. Dia adalah bagian dari praktik tataniaga yang lumrah antarnegara, terlebih pada zaman globalisasi dewasa ini. Persoalannya menjadi berbeda manakala diukur secara politis sebagai janji Pemerintah RI dan berkenaan dengan beras sebagai komoditas paling strategis dan super politis. Dengan sangat terukur, publik mempertanyakan kinerja Bulog dan Kabinet Kerja.
Pertanyaan mendasar terletak pada alasan yang memaksa keputusan importasi diambil, yaitu alasan Elnino dan keterbatasan stok Bulog untuk cadangan beras untuk rakyat miskin (Raskin).
Elnino tentu adalah kehendak Illahiyah. Akan tetapi, keterbatasan stok sepenuhnya adalah persoalan salah urus logistik. Keterlambatan pengadaan pada musim panen raya Maret-April adalah biang kegagalan pengelolaan logistik untuk pangan paling politis ini. Meski sebenarnya waktu itulah kesempatan pengadaan domestik terbesar selama ini. Berkaitan kinerja pengadaan
perberasan Indonesia memang dilanda kisruh pada awal 2015 ditandai dengan kenaikan harga sampai 30% dalam waktu mingguan.
Harga kembali normal akhir Maret ketika mulai panen raya. Akan tetapi harga pasar masih bertengger jauh di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebagaimana diamanatkan Inpres No 5/2015 tentang Perberasan. Dengan ketentuan HPP sebesar Rp 3.700/kg untuk gabah kering panen (GKP), RP 4.600/kg untuk gabah kering giling (GKG), dan Rp 7.300/kg untuk beras.
Kemampuan pengadaan Bulog harus mengingat ketentuan HPP. Sementara di lapangan, besarnya harga ketika itu senantiasa lebih besar dari HPP, nyaris di seluruh kawasan panen raya.Kecelakaan pengadaan waktu itu pun masih harus diwarnai rivalitas pengadaan, domestic procurement, dengan keberanian membeli pihak swasta pada titik-titik harga yang lebih besar dari HPP. Keterbatasan operasional Bulog telah pula mengakibatkan iktikad kolektif pihak swasta melakukan pembelian,
karena bisa diramalkan bahwa harga akan bagus kemudian hari. Kulminasi krisis pengadaan adalah terbatasnya realisasi caturwulan pertama, yang mestinya potensi pengadaan terbesar, hanya berhasil dilakukan pengadaan tidak lebih dari 500.000 ton, kurang dari 20% target pengadaan 2015 sebesar 2,75 juta ton beras. Memblenya pengadaan musim ini telah melahirkan kritik bahwa pengadaan
dalam negeri 80% selanjutnya mustahil terealisasi, 2015.
Akibatnya, cadangan Bulog pasti problematik dan kapasitas pengendalian harga melalui operasi pasar dan cadangan raskin bisa diramalkan terseok-seok.Ketika data pengadaan dicermati ulang pada akhir Agustus 2015, ternyata betul adanya bahwa kendati pengadaan sudah digenjot, realisasinya masih berada pada angka 57%. Kelambanan pengadaan semester pertama sebenarnya yang mengakibatkan rendahnya capaian ini,dan ancaman Elnino menjadi pembenar bahwa sejumlah 47% target pengadaan selanjutnya musykil terealisasi sampai pengujung 2015. Dinamika itulah dibalik importasi. Perlu hati-hati mencermati beberapa fakta yang diungkapkan.
Kelambanan pengadaan adalah biang segala importasi ini. Faktanya, harga pasar ketika panen raya sekalipun selalu berada di atas HPP. Pertanyaannya:
HPP terlalu rendah atau harga pasar terlalu tinggi? Ketika teramati bahwa fenomena tersebut adalah fenomena kebanyakan dan di masa panen raya, sangat bisa disimpulkan bahwa HPP dalam Inpres 5/2015 ternyata terlalu rendah, dan harus disesuaikan.
Persoalan kedua yang menjadi pembatas Inpres 5/2015 adalah tidak proporsionalnya HPP beras dan HPP GKG.Proporsi itu hanya benar ketika rendemen perberasannya 67- 68%. Dan angka ini tidak pernah ada dalam analisis laboratorium maupun penggilingan manapun.
Alhasil, Inpres dimaksud memang problematik karena kekuatan akademisnya pas-pasan. Akan tetapi tidak boleh lantas menjadi alasan Bulog untuk berlamban diri dan membesarbesarkan HPP. Ketika pihak swasta berani melakukan pengadaan di atas HPP, mengapa Bulog dalam fungsi komersialnya
tidak berani? Sungguh tidak ada alasan apapun untuk urusan pengadaan dalam negeri ketika harus menaati Jokowi untuk swasembada beras 2019.

Prof.Dr.M.Maksum Machfoedz
(Penulis adalah Guru Besar FTP UGM, Ketua PB NU)

http://epaper.krjogja.com/?edisi=2015-09-26

Waduk Dawuhan Mengering

Sabtu, 26 September 2015

Warga melintasi Waduk Dawuhan yang kering di Desa Sidomulyo, Kecamatan Wonoasri, Kabupaten Madiun. Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Rabu (23/9). Kemarau membuat Waduk seluas 1.273 hektar tersebut tidak bisa lagi menjadi sumber pengairan di  9 desa di 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Wonoasri, Kecamatan Balerejo, dan Madiun.

Warga melintasi Waduk Dawuhan yang kering di Desa Sidomulyo, Kecamatan Wonoasri, Kabupaten Madiun. Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Rabu (23/9). Kemarau membuat Waduk seluas 1.273 hektar tersebut tidak bisa lagi menjadi sumber pengairan di  9 desa di 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Wonoasri, Kecamatan Balerejo, dan Madiun.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150926kompas/#/17/

Jumat, 25 September 2015

UUPA Setelah 55 Tahun

Jumat, 25 September 2015

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang terbit pada 24 September 1960 pada awalnya dimaksudkan untuk menjadi lex generalis bagi semua peraturan terkait sumber daya agraria/sumber daya alam, setidaknya jika ditilik dari sepuluh pasal UUPA.

Dalam perjalanan waktu, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengalami pasang surut, bahkan cenderung menjadi dilematis. Hal ini tampak saat posisi UUPA dihadapkan pada UU sektoral lainnya dan keraguan sikap untuk mempertahankan atau meninggalkan UUPA yang dapat dicermati dalam berbagai kerancuan kebijakan/peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.

Judul ”agraria” sebagai obyek pengaturan sudah sejak semula mengundang polemik karena, dari keseluruhan pasal UUPA, hanya sepuluh pasal yang dimaksudkan untuk mengatur semua sumber daya alam (SDA), termasuk tanah. Hampir 80 persen UUPA mengatur tentang tanah. Karena mayoritas pengaturan UUPA berkenaan dengan tanah, dari situlah awal polemik bermula antara apakah UUPA itu bersifat lex generalis atau lex specialis.

Bahwa UUPA mayoritas memuat ketentuan tentang tanah itu dapat dipahami karena pada 1960-an masalah berkaitan dengan SDA selain tanah belum merupakan hal yang strategis. Prioritas ketika itu adalah bagaimana upaya mencapai keadilan dalam penguasaan/pemilikan tanah sebagai kebutuhan dasar manusia untuk pemenuhan sandang, pangan, dan papan. Masalah investasi dan potensinya memicu konflik penguasaan/pemilikan SDA belum diantisipasi.

Ketika pada 1970-an UU sektoral mulai diterbitkan untuk mengakomodasi investasi dalam rangka pertumbuhan ekonomi, UU sektoral terbit dengan semangat pragmatisme sesuai visi dan misi masing-masing sektor. Falsafah dan prinsip dasar penyusunan UU terkait SDA yang diamanatkan UUPA tak diakomodasi dalam UU sektoral. Dengan kata lain, UUPA telah terdegradasi menjadi lex specialis dihadapkan pada UU sektoral lain. Meski degradasi oleh kekuatan eksternal itu disayangkan, tetapi dapat dipahami. Dalam perkembangannya, yang lebih memprihatinkan adalah pengeroposan UUPA secara internal lewat berbagai kebijakan/peraturan perundang-undangan pertanahan.

Sejatinya, semenjak tahun 1998 sudah mulai mengemuka wacana tentang perlunya merevisi UUPA (KPA dan KRHN, ”Usulan Revisi UUPA”, Oktober 1998). Setidaknya ada empat kelompok pemikiran terhadap UUPA, yakni bahwa (1) UUPA perlu dipertahankan karena melindungi hak-hak masyarakat; sengketa pertanahan itu terjadi karena penyimpangan pejabat pelaksana; (2) UUPA melindungi hak-hak masyarakat, tetapi peraturan pelaksanaannya yang menyimpang; (3) UUPA harus diubah agar lebih pro pasar; dan (4) UUPA perlu dikritisi karena adanya penyimpangan oleh pejabat pelaksana dan adanya peraturan pelaksanaan yang menyimpang dari UUPA (Noer Fauzi, ”Sendi-sendi Pembaruan Agraria”, September1999).

Dalam rangka penyempurnaan UUPA, tercatat empat RUU tentang Pertanahan dan dua RUU yang bersifat lex generalis. Yang cukup menarik adalah bahwa dalam setiap diskusi rancangan UU itu wacana yang selalu mengemuka adalah: dengan terbitnya UU yang akan datang, bagaimana kedudukan UUPA, masih dipertahankan atau dicabut berlakunya? Perlu dipahami bahwa sesungguhnya hal itu bukan pertanyaan, melainkan permasalahan yang perlu dipikirkan jalan keluarnya, justru karena kedudukan UUPA yang unik: sebagian ketentuannya dimaksudkan sebagai lex generalis walaupun belum tuntas, tetapi mayoritas materi muatannya bersifat lex specialis.

Dilema yang berlanjut

Terbitnya berbagai RUU tentang Pertanahan dan berbagai peraturan pelaksanaan UUPA itu menimbulkan kekhawatiran terkait nasib UUPA. Sejumlah pihak khawatir, jika UUPA tidak dipertahankan, semakin terbuka kemungkinan terjadinya penyimpangan dari UUPA dalam berbagai kebijakan/peraturan perundang-undangan pertanahan. Kekhawatiran itu diredam melalui komitmen yang dicapai BPN RI dengan Komisi II DPR dalam suatu Rapat Dengar Pendapat Umum, 29 Juni 2007. Disepakati, UUPA tidak diubah, tetapi cukup disiapkan RUU tentang pertanahan. Apakah dilema ini dapat diatasi dengan komitmen tersebut? Tampaknya tidak demikian halnya.

Pertanyaannya, pertama, bagaimana daya ikat komitmen politis ini, apakah berlaku selamanya atau hanya untuk kurun tertentu? Apakah dengan tetap diberlakukannya UUPA dapat dijamin bahwa kebijakan/peraturan perundang-undangan pertanahan akan sejalan dengan falsafah dan prinsip dasar UUPA? Ternyata jawabannya: tidak selalu! Yang terjadi justru timbulnya gagasan dan sejumlah kebijakan/peraturan perundang-undangan pertanahan yang secara sadar atau tak sadar telah mengeroposi UUPA dalam rangka memenuhi kebutuhan yang cenderung pragmatis. Hal itu dapat dicermati dalam beberapa contoh berikut.

Pertama, keberadaan lembaga ”hak” pengelolaan (HPL) yang semula dimaksudkan sebagai ”fungsi” pengelolaan, tetapi karena kebutuhan pragmatis bergeser menjadi ”hak” yang lebih menonjolkan sifat keperdataan ketimbang fungsi publiknya. Ciri keperdataan HPL tampak dari kemungkinan diberikannya hak atas tanah di atas tanah HPL kepada pihak ketiga (aspek komersial HPL). Meski secara normatif HPL diupayakan dikembalikan pada fungsi publiknya melalui PP No 40/1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai atas Tanah dan secara tak langsung melalui UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara jo PP No 27/2014 tentang Pengelolaan BMN/BMD, tetapi sampai kini masih sulit mengembalikan HPL dalam fungsi publiknya terutama menyangkut hubungan hukum antara pemegang HPL dan pihak ketiga.

Cukup mengherankan HPL yang berawal dari beheersrecht yang terbit dalam suasana batin asas domein melalui PP No 8/1953 itu sampai saat ini, walaupun yang berlaku adalah asas hak menguasai dari negara, tetap tak mudah menata kembali HPL dalam fungsi publiknya.

Kedua, Pasal 18 UUPA jo UU No 20/1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda yang ada di Atasnya telah ditinggalkan oleh UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Keppres No 55/1993 dan Pepres No 36/2005 jo Perpres No 65/2006 masih memegang teguh prinsip yang membedakan antara pengadaan tanah dan pencabutan hak atas tanah. Ketika pemerintah memerlukan tanah untuk kepentingan umum dan lokasi pembangunan tak dapat dipindahkan, sedangkan musyawarah dengan pemegang hak menemui kegagalan, lembaga pencabutan hak atas tanah dibuka kemungkinannya untuk berlaku. Dalam UU No 2/2012, lembaga pencabutan hak atas tanah diganti dengan penitipan ganti kerugian di PN setempat dan penyelesaian keberatan masyarakat terhadap lokasi pembangunan dilakukan melalui PTUN dan MA; sedangkan keberatan mengenai ganti kerugian diselesaikan melalui PN dan MA. Tak diperoleh kejelasan alasan penghilangan lembaga pencabutan hak atas tanah dalam UU No 2/2012.

Ketiga, penghapusan hak ulayat yang diatur dalam Pasal 3 UUPA melalui Peraturan Menteri ATR/Ka BPN No 9 Tahun 2015 dan menggantikannya dengan hak komunal atas tanah, yang secara yuridis-normatif ataupun historis-sosiologis berbeda pengertiannya dengan hak ulayat. Akibatnya, terjadi kekosongan hukum dan ketidakpastian hukum dalam pengaturan tentang hak ulayat dengan dihapuskannya Pasal 3 UUPA dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Ka BPN No 5/1999 (Maria Sumardjono, ”Ihwal Hak Komunal atas Tanah”, Kompas, 6/7/2015 ).

Keempat, upaya menggantikan asas pemisahan horizontal yang bersumber pada hukum adat (Pasal 5 UUPA) dengan asas perlekatan/vertikal sebagaimana tampak dalam DIM nomor 103 (versi 7/1/2013) yang diusulkan pemerintah dalam pembahasan RUU Pertanahan inisiatif DPR tahun 2014. Tidak ada penjelasan konseptual tentang penggantian asas ini. Dalam kenyataannya, pemahaman tentang asas pemisahan horizontal yang diakomodasi dalam UU No 4/1996 tentang Hak Tanggungan itu dijelaskan secara komprehensif dalam Penjelasan Umum butir 6 UU No 4/1996.

Kelima, upaya memperkenalkan lembaga hukum baru, yakni Hak Guna Ruang (HGR) dalam DIM nomor 280 dan yang terkait, tanpa memberikan penjelasan komprehensif terkait alasan konseptual yang melandasinya dan penjabaran tentang isi kewenangan HGR tersebut. Sejauh mana urgensi pembentukan HGR jika terhadap Pasal 4 Ayat (2) UUPA dapat dilakukan interpretasi ekstensif sehingga terhadap penggunaan ruang di bawah tanah jika pemegang haknya berbeda dengan pemegang hak di atasnya dapat diberikan HGB/HP (bawah tanah) yang isi kewenangannya mutatis mutandis sama dengan HGB/HP menurut UUPA. Untuk penggunaan ruang bawah tanah yang berbeda adalah teknis pendaftarannya.

Keenam, pendapat otoritas pertanahan bahwa WNA dapat memiliki unit apartemen dengan hak pakai (HP) yang jangka waktunya ”seumur hidup pemegang hak” atau sepanjang pemegang hak masih mempunyai izin tinggal di Indonesia. Pendapat ini jelas bertentangan dengan Pasal 41 UUPA jo PP No 40/1996 di samping bertentangan dengan konstitusi sesuai putusan MK No 21,22/PUU-V/2007 (Maria Sumardjono, ”Properti untuk Orang Asing”, Kompas, 24 /7/2015).

Ketujuh, usulan reformasi UUPA yang disusun Tim Konsultan ADB, 2 Juli 2010 (TA 7038-INO: Enhancing the Legal and Administrative Framework for Land) yang antara lain menekankan prioritas pendaftaran tanah sebagai instrumen untuk memfasilitasi keberadaan pasar tanah (tanah sebagai komoditas!). Juga diusulkan untuk menggantikan asas pemisahan horizontal dengan asas vertikal yang jelas berbeda kerangka dasarnya (hukum adat vs hukum Barat). Demikian juga usul penyederhanaan jenis hak atas tanah menjadi hak milik (HM) dan HP berdasarkan analoginya dengan Freehold dan Leasehold dalam sistem hukum Anglo Amerika, tanpa memahami bahwa sesuai Pasal 5 UUPA dalam konsepsi pemilikan tanah menurut hukum adat dikenal adanya HM dan HP. Berbagai contoh sesat pikir itu menunjukkan pengeroposan UUPA terjadi ketika UUPA masih berlaku.

Masa depan UUPA

Mengingat posisi UUPA yang dilematis itu (Maria Sumardjono , ”Quo Vadis UUPA”, Kompas, 24/9/2010), pertanyaan ”apakah” UUPA dapat/tidak dapat diubah menjadi tak relevan. Yang lebih mendasar, ”kapan” UUPA masih diperlukan atau sudah tak diperlukan lagi keberadaannya? Jika perubahan/revisi/penyempurnaan UUPA itu dilakukan terhadap substansi yang khusus mengatur tentang pertanahan dengan cara melengkapi dan menyatukan aturan pelaksanaan UUPA yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan serta meluruskan tafsir yang menyimpang dari UUPA, selama pasal-pasal yang substansial ditujukan untuk semua SDA belum diakomodasi dalam suatu UU yang bersifat lex generalis sebagaimana intensi awal UUPA, terbitnya UU tentang Pertanahan itu tidak serta merta dapat meniadakan berlakunya UUPA.

Oleh karena itu, ke depan masih ditunggu transformasi UUPA dalam suatu UU tentang Pertanahan (lex specialis) dan suatu UU yang ditujukan untuk mengatur prinsip-prisip pemilikan/penguasaan SDA (lex generalis). Dalam merancang kedua RUU itu, di samping berlandaskan pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 perlu dilandasi dengan prinsip-prinsip Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sesuai TAP MPR No IX Tahun 2001 dan putusan MK yang relevan.

Sementara kedua UU itu belum terbit, seyogianya dihentikan pengeroposan UUPA melalui kebijakan/peraturan perundang-undangan pertanahan yang cenderung pragmatis dan abai terhadap konsepsi dasar UUPA. Di samping secara normatif merusak sistem hukum, kebijakan pertanahan ”jalan pintas” itu berpotensi memicu kesenjangan yang kian parah dalam akses terhadap perolehan dan pemanfaatan tanah serta semakin memicu terjadinya konflik/sengketa pertanahan.

MARIA SW SUMARDJONO, GURU BESAR HUKUM AGRARIA FAKULTAS HUKUM UGM, ANGGOTA AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150925kompas/#/7/

Carut-marut Pengelolaan Pangan

Jumat, 25 September 2015

Selama Mei-Agustus 2015, bahan makanan merupakan punyumbang terbesar laju inflasi, yakni rata-rata sebesar 52,2 persen.

Penyebabnya sangat terang benderang. Tidak ada lonjakan permintaan, kecuali menjelang lebaran lalu. Tak ayal, penyebab utamanya adalah pasokan yang seret. Sesumbar Menteri Pertanian bahwa produksi berbagai jenis pangan meningkat patut dipertanyakan.

Karena yakin produksi naik, Menteri Pertanian mengendalikan impor dengan ketat. Lihat: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/09/24/104534626/Mentan.Klaim.Hemat.Rp.50.Triliun.berkat.Pengendalian.Impor.Pangan.

Karena teramat yakin Indonesia surplus beras, menteri Pertanian menolak impor beras. Lihat: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/03/31/121100826/Menteri.Amran.Tolak.Tawaran.Impor.Beras.dari.Thailand

Padahal nyata-nyata Indonesia mengalami dampak sangat buruk akibat El Niño.

Ternyata harga beras merangkak naik dan dampak El Niño diperkirakan bakal panjang. Akhirnya pemerintah akan mengimpor beras 1,5 juta ton dari Thailand. Lihat: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/09/24/175509926/Elnino.Pemerintah.Kembali.Impor.Beras.1.5.Juta.Ton.dari.Thailand

Sama halnya dengan daging sapi. Mentan meyakini pasokan daging sapi cukup sehingga kuota impor tidak perlu ditambah.

Namun, beberapa waktu kemudian berubah. Lihat http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/08/18/203126326/Pemerintah.Siap.Buka.Keran.Impor.200.000.Ekor.Sapi?utm_campaign=related&utm_medium=bp&utm_source=bisniskeuangan&

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/09/24/151708926/Indonesia.Akan.Impor.11.000.Sapi.Indukan.dari.Australia

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/05/19/082727526/Kemendag.Tambah.Kuota.Impor.Sapi?utm_campaign=related&utm_medium=bp-kompas&utm_source=bisniskeuangan&

Bukan hanya beras dan daging sapi. Beberapa bahan pangan lainnya mengalami hal yang mirip.

Kita tentu amat senang kalau dapat mengurangi impor pangan. Yang penting usaha keras dan terukur, bukan hanya gembar-gembor. Akhirnya nanti masyarakat berpendapatan rendah yang paling terkena dampaknya berupa kenaikan harga-harga pangan yang mencekik daya beli mereka.

Tidak ada jalan pintas, simsalabim.

Jangan gampang menjadikan mafia sebagai kambing hitam. Yang harus dibenahi adalah manajemen pasokan, distribusi, dan tata niaga.

http://www.kompasiana.com/faisalbasri/carut-marut-pengelolaan-pangan_560434b3b57e611f0d85f76c

Swasembada Pangan (Harusnya) Bukan Angan-angan

Kamis, 24 September 2015

Pemerintahan Jokowi-JK tampaknya ingin menunjukkan keseriusan untuk mewujudkan swasembada pangan di Indonesia. Program bantuan dan pengawasan yang dilakukan pemerintah tidak tanggung-tanggung. Semua terlibat. Bahkan TNI pun diberdayakan untuk ikut memantau jalannya program pemerintah. Mahasiswa dan alumni dari berbagai perguruan tinggi dilibatkan di seluruh wilayah Indonesia lewat program pendampingan.

Bantuan apa saja yang sudah mengalir ke petani? Untuk upaya khusus swasembada pangan, pemerintah menggelontorkan begitu banyak bantuan, mulai alat mesin dan produksi tanaman (Alsintan), pengembangan jaringan irigasi tersier, benih unggul, dan pupuk. Dan semuanya sudah sampai ke petani. Apakah tepat waktu, tepat sasaran sesuai dengan yang diharapkan?

Bantuan alsintan, berupa mesin pompa air, Hand Tractor, Rice Transplanter, Mini Combine Harvester, Power Threser, Vertical Dryer, dan Rice Milling Unit (RMU). Untuk bantuan dari Kementerian Pertanian (kementan) sudah turun sejak Mei 2015. Selain dari kementan, bantuan yang bertujuan untuk menunjang Upaya Khusus juga diberikan oleh pemerintah propinxi dan pemerintah kabupaten. Untuk wilayah Madura sendiri, khususnya kabupaten Sumenep, yang saya tahu seluruh bantuan dari Kementan sudah turun, termasuk bantuan benih dan pupuk.

Tepat sasaran atau tidak…secara umum tepat sasaran meskipun ada lah..kasus tidak masuk daftar penerima bantuan tiba-tiba dapat bantuan. Ada juga bantuan berlabel ‘Aspirasi’. Bantuan berlabel aspirasi ini tidak lain adalah bantuan yang diajukan oleh anggota dewan. Apa bedanya dengan bantuan yang bukan aspirasi? Prosedur dan pengawasannya. Kalau bantuan yang bukan aspirasi biasanya diusulkan dari petani melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) di tingkat kecamatan baru ke Dinas di tingkat kabupaten dst. Kalau aspirasi tentu saja tidak perlu melalui mekanisme seperti itu. Langsung potong kompas ke Dinas tingkat kabupaten atau yang lebih tinggi. Setelah alat diterima, bantuan berlabel aspirasi cenderung tidak diusik keberadaannya.

Bantuan untuk pengembangan jaringan irigasi tersier sepenuhnya dilaksanakan oleh kelompok tani atau himpunan petani pemakai air (HIPPA). Dana 50 juta rupiah per jaringan irigasi langsung ditransfer ke rekening kelompok tani dalam 3 tahap dalam waktu kurang lebih 1-2 bulan (April-Juni 2015). Pemerintah dalam hal ini UPT Pertanian di tingkat kecamatan hanya membantu administrasi dan pengawasan pelaksanaan program. Cara seperti ini relatif lebih cepat dan minim penyelewengan (setidaknya yang ada di wilayah tempat saya bertugas).

Bantuan benih padi-jagung dan pupuk…Nah ini yang agak disayangkan…Why? Karena…bantuan yang diharapkan turun sejak Maret-April 2015 ternyata baru turun mulai akhir Juli 2015. Lahan-lahan yang sudah disediakan untuk bantuan benih padi dan jagung pada bulan Agustus tentu saja sudah ditanami komoditi musiman sesuai tradisi masyarakat Madura, tembakau. Selain itu faktor musim juga sudah tidak mendukung benih bantuan Kementan langsung ditanam.

Benih dan pupuk akhirnya harus menunggu waktu tanam tiba. Sebagian benih jagung memang sudah ditanam oleh petani yang lahannya dirasa cukup memadai pengairannya. Tapi petani tetap diwanti-wanti untuk merawatnya sampai jagung bisa dipanen. Karena menanam jagung di musim kemarau lebih sering dipanen daunnya untuk pakan ternak (sapi). Apalagi sapi-sapi di Madura umumnya sapi dengan perawatan spesial untuk sapi kerapan. Memanen daun jagung lebih menguntungkan, 1 hektar bisa laku puluhan juta dalam waktu 1,5-2 bulan saja, tidak perlu melakukan perawatan dan menunggu waktu panen. Tapi ya..semoga petani tidak melakukannya.

Demikian juga dengan bantuan pupuk. Pupuk urea dan NPK yang sudah diterima petani harus menunggu musim tanam tiba. Pupuk itu untuk menunjang penanaman benih bantuan. Kerawanannya adalah pupuk dipakai untuk keperluan diluar Upsus. Mengingat musim tanam padi dan jagung baru akan dimulai pada bulan Oktober-Desember 2015. Tapi ya lagi-lagi semua tergantung kepada petani dan petugas yang mengawal penggunaan bantuan.

Berton-ton benih dan pupuk sudah digelontorkan ke daerah…ribuan alsintan sudah disalurkan ke petani…milyaran rupiah sudah dicairkan untuk membantu petani… Kurang Apalagi? Ya..permasalahan di petani memang bukan hanya sekedar itu solusinya. Tata niaga beras dan komoditi pangan lainnya perlu dibenahi agar keberadaan persediaan pangan di tingkat bawah (setidaknya) bisa terdata dengan baik sehingga tidak mudah bagi pemerintah untuk membuka kran impor karena datanya seolah-olah persediaan pangan kita kurang.

Selamat Hari Tani Nasional 2015

http://www.kompasiana.com/grosirkeset.com/swasembada-pangan-harusnya-bukan-angan-angan_5603aeda927a615f058c4ef1

Kado Tragis Hari Tani Nasional: Impor Beras Petani Asing


Tanggal 24 September 2015 adalah Hari Tani Nasional yang ke 55. Namun sampai saat ini, setelah kandasnya Revitalisasi Pertanian yang digagas mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dunia pertanian Indonesia semakin terpuruk. Pasalnya hampir semua faktor produksi dan tata niaga produk pertanian semakin dikuasai oleh berbagai kartel dan adanya masalah pertanian lainnya.

Pada saat Bung Karno mencanangkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA 1960), masalah lahan pertanian bagi petani merupakan isu yang sangat strategis. Tetapi setelah lebih dari setengah abad, lahan pertanian juga masih menjadi isu strategis. Namun isu terakhir mencuat bukan karena masalah pemilikan lahan, tetapi masalah alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian.

Kebijakan Makro Pertanian

Pertanian sepuluh tahun terakhir memang cenderung dianak-tirikan sejalan dengan semakin gencarnya serbuan produk-produk petani asing di Negara-negara Utara. Hal itu memancing lahirnya elit komprador yang memberi ruang seluas-luasnya untuk berspekulasi dengan produk pertanian impor, mulai dari garam, beras, buah, ikan, sampai sayur impor. Para komprador bukan hanya menikmati profit margin yang sangat besar, mereka juga membangun mitos bahwa pertanian adalah masa lalu sambil menyorongkan konsep agar Indonesia menjadi negara industri.

Tetapi dalam perjalanannya, mimpi menjadi negara industri atau negara produsen pun ternyata juga kandas di tengah jalan. Indonesia ternyata sekedar didorong untuk menjadi pengekspor bahan mentah yang minim nilai tambah. Sementara itu Indonesia secara sengaja dan tidak disengaja telah menjadi negara konsumen. Akibatnya sumber daya alam ludes terkuras dan terjual, di lain pihak pemerintah mempersilahkan toko eceran asing menjual produk-produk asing dengan leluasa.

Membangun Prasarana Pertanian Bukan Solusi

Naiknya rejim Jokowi – JK memberi tanda-tanda adanya pembalikan orientasi makro ekonomi Indonesia. Trisakti tiba-tiba dijadikan haluan politik, sosial, dan ekonomi. Kedaulatan pangan atau pertanian kembali dicanangkan sekenanya dengan mendorong pembangunan banyak bendungan guna mengairi lahan-lahan yang selama ini belum tergarap.

Solusi atas kendala teknis faktor-faktor produksi pertanian seperti penyediaan lahan, pembangunan bendungan, dan irigasi pertanian di atas bisa jadi bukan pilihan yang tepat. Bahkan pemerintah telah melakukan pencetakan sawah dan irigasi melalui proyek dengan nilai triliunan rupiah. Ironisnya dana Operasi dan Pemeliharaan prasarana pengairan tidak dialokasikan secara memadai, kalau tidak bisa dikatakan nihil sama sekali.

Alhasil prasarana pertanian dibangun terus, anehnya produksi pertanian malah tidak berhasil mengejar target. Hal ini disebabkan karena para petani telah dinina-bobokan oleh para pengijon dan para tengkulak yang notabene adalah para mafia pangan. Tujuan para tengkulak adalah meraih keuntungan sebesar-besarnya walau dampaknya tidak mereka rasakan langsung.

Dibutuhkan Superbodi yang Kuat

Karena itu tantangan terbesar, dalam sistem ekonomi yang liberal, sebenarnya bukan menyelesaikan kendala pertanian berupa prasarana teknis, tetapi adalah mengendalikan peran para pedagang dan spekulan yang dapat dengan bebas memainkan stok dan harga pangan sehingga merugikan petani dan sekaligus konsumen. Untuk menghadapi tantangan ini hanya dibutuhkan peran negara yang kuat untuk “bersaing” dengan mereka melalui berbagai instrumen seperti penetapan harga pangan, pengendalian stok, dan kekuatan distribusi.

Keberadaan Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai super body sangat strategis dalam hal ini, tetapi syaratnya harus steril dari intervensi kepentingan kartel pangan. Kedua, Bulog dibebaskan dari kapitalisme birokrat yang memanfaatkan kebijakan pemerintah dengan menunggangi upaya melakukan stabilisasi harga dan stok pangan. Jika Bulog tidak kredibel, maka mustahil kedaulatan pangan dapat terwujud.

Bulog Tampaknya Sudah Masuk Angin

Namun jika menganalisis diterbitkannya Inpres Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, Bulog tampaknya sudah “masuk angin” dan sengaja mendisain satu mission imposible. Tujuannya jelas untuk menguras stock dan sebaliknya menahan pembelian gabah/beras dari petani dengan target akan dilakukan kembali impor beras dari petani asing. Salah satu indikasinya adalah lagi-lagi ditetapkannya harga tunggal untuk HPP (Harga Pembelian Pemerintah) dan bukan harga dasar dengan stratifikasi harga dan mutu beragam.

Hal ini menyebabkan penyerapan gabah hanya berkisar 13,61 persen dari target, sementara ada kesengajaan mengistirahatkan 90% dari 132 UB-PGB (Unit Bisnis Penggilingan Gabah Beras) dan melumpuhkan angkutan logistik yang diselenggarakan oleh PT Jasa Prima Logistik Bulog. Bulog juga memberikan restriksi persyaratan derajat sosoh dan butir menir yang sulit dipenuhi pengadaannya oleh pabrik-pabrik beras tradisional dan berskala kecil. Selain itu Bulog tidak membeli beras langsung ke petani, tetapi justru melalui mitra kerja-nya.

Keadaan inilah yang menggiring stok beras tinggal 50 – 60 ribu ton pada akhir tahun nanti. Padahal tahun sebelumnya, pada akhir tahun, Bulog bisa memiliki stok 1,4 juta ton. Aba-aba impor sudah diteriakkan pada pertemuan antara Kabulog, Wakil Presiden, dan Meneg BUMN beberapa hari lalu. Ini artinya peringatan Hari Tani Nasional 24 September 2015 lebih tepat jika dijadikan perayaan Hari Tani Asing.**

http://www.kompasiana.com/sindrotj/kado-tragis-hari-tani-nasional-impor-beras-petani-asing_56024a081fafbd040ec24845

Rabu, 23 September 2015

Di Atas Kertas RI Surplus Beras, Kok Mau Impor?

Selasa, 22 September 2015

Jakarta -Pemerintah mengklaim produksi beras tahun ini terbesar dalam 10 tahun terakhir bahkan produksi tahun ini diperkirakan naik 5 juta ton dibandingkan 2014. Namun, ironisnya saat ini pemerintah mempertimbangkan untuk membuka keran impor beras sebagai antisipasi banyak sawah mengalami kekeringan seperti yang disampaikan Wapres JK.

"Terus terang kami sedang mencoba me-review seluruh kualitas data. Apa yang terjadi? Jika dampak kekeringan ini betul nyata dan indikasi sudah makin kuat, masih akan dibuktikan dari angka ramalan (ARAM) II di November. Kalau ARAM II tidak seperti yang diperkirakan, mungkin bisa diambil langkah impor beras," kata Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Bustanul Arifin, ditemui di acara Hari Statistik Nasional, di Kantor BPS, Jakarta, Selasa (22/9/2015).

Bustanul menambahkan, wacana impor beras dalam waktu dekat yang direncanakan pemerintah, membuat banyak pertanyaan. Alasannya karena belum lama ini pemerintah mengklaim produksi beras tahun ini berlimpah.

"Tapi kalau impor, pasti akan muncul pertanyaan. Kan baru kita ramai-ramai katanya surplus 10 juta ton lebih, kok impor? Barangnya di mana?" katanya.

Ia mengakui, sejak awal dirinya meragukan klaim produksi beras tahun ini surplus berdasarkan hitungan BPS.

"Kalau saya pribadi meragukan klaim surplus itu dari awal, karena memang ada persoalan di metode perhitungan. Makanya kita duduk di BPS untuk memperbaiki metodologi ini," ujarnya.

Menurutnya, bila ada kesalahan perhitungan, tentu kondisi saat ini harus segera diantisipasi, salah satunya dengan impor beras. Bila lambat antisipasi tentunya bisa berdampak pada melonjaknya harga beras.

"Tapi sambil memperbaiki metodologi perhitungan, kita juga harus ambil langkah antisipasi. Bahayanya kalau memang nggak antisipasi stok yang baik, saya khawatir kita nggak siap menghapi lonjakan harga di November atau Desember pas musim paceklik," tutup Bustanul.

Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi dalam Angka Ramalan (ARAM-I) 2015, Indonesia akan meraih peningkatan produksi beras.

Menurut data BPS, produksi beras Angka Tetap (ATAP) BPS 2014 sebanyak 70,85 juta ton gabah kering giling (GKG) sementara diprediksi produksi menurut Angka Ramalan (ARAM I) BPS 2015 mencapai 75,55 juta ton GKG atau jika dikonversi ke beras menjadi 47 juta ton beras.

(rrd/hen)

http://finance.detik.com/read/2015/09/22/122146/3025384/4/di-atas-kertas-ri-surplus-beras-kok-mau-impor

Selasa, 22 September 2015

JK Putuskan Impor Beras, Ini Kata Bos Bulog

Senin, 21 September 2015

Jakarta -Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) memutuskan akan ada impor beras untuk menjaga stok dan harga beras di dalam negeri. Hal ini setelah mempertimbangkan kondisi kekeringan dan produksi beras yang masih perlu dihitung ulang.

Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti mengaku belum mengetahui informasi tersebut. Ia mengaku siap melaksanakan impor beras bila menerima penugasan langsung dari pemerintah.

"Itu saya masih bicara mungkin ya. Karena saya sendiri belum dengar langsung. ‎Kalau memang kebijakan begitu ya memang beliau (JK) yang punya kebijakan," kata Djarot ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (21/9/2015).

Djarot mengatakan faktor fenomena El Nino berdampak kondisi produksi pertanian. Namun di awal tahun depan juga ada potensi cuaca ekstrem lainnya.

"Dampak El Nino itu biasanya diikuti oleh La Nina atau hujan yang berlebihan. Mungkin juga banjir. Jadi stok harus diamankan," katanya.

Menurutnya, keputusan impor bisa memberikan ketenangan bagi masyarakat. Bahwa, ada kepastian pasokan beras meski terjadi kondisi alam yang menghambat produksi beras nasional.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) tadi pagi mengumpulkan‎ beberapa menteri terkait di kediamannya, yaitu Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Perdagangan Thomas Lembong, dan Direktur Utama Bulog Djarot Kusumayakti. Salah satu keputusannya adalah soal rencana impor beras untuk menjaga stok beras Bulog yang hanya 1,5 juta ton dari angka ideal seharusnya 2,5-3 juta ton.

"Ini kan masalahnya kekeringan. Ya kita tidak ingin mengorbankan masyarakat dengan berpegang pada perkiraan yang bisa salah. Karena itulah maka kita buka kemungkinan impor secepatnya. Kita akan melihat itu sebagai kemungkinan, harus buka," kata JK.

(dna/hen)

http://finance.detik.com/read/2015/09/21/191311/3024901/4/jk-putuskan-impor-beras-ini-kata-bos-bulog

Senin, 21 September 2015

Debit Telaga Cebong Kritis

Senin, 21 September 2015

Petani Sayur Gagal Panen

WONOSOBO- Telaga Cebong yang berada di kawasan Desa Sembungan, Kecamatan Kejajar mulai dangkal dan debit airnya kritis.

Saat ini pendangkalan merupakan titik terparah dalam sepuluh tahun terakhir, karena sisa air tinggal 3 meter dari semula kedalaman 10-15 meter. Telaga Cebong di sebelah desa berpenduduk 350 KK itu makin dangkal dan debit airnya terus menyusut 1,5 meter hingga 2 meter pada musim kemarau ini.

Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Sembungan, Ngiyudin Minggu (20/9) mengatakan, saat musim kemarau seperti sekarang, air di Telaga Cebong turun dan mengalami pendangkalan cukup parah. Menurut dia, setiap hari debit air menyusut di atas 5 meter dari permukaan.”

Kedalaman air kira-kira tinggal 3 sampai 5 meter,” katanya Telaga yang dihidupi ikan bandung, lelem, dan jaskap berkedalaman 3 hingga 15 meter dan luas 18 hektare itu, tiap tahun mengalami pendangkalan sekitar dua meter pada Agustus dan September sudah menyusut dua kali lipat lebih.

P emicunya, musim kemarau dan 40 persen kemiringan lahan perbukitan tersebut masih ditanami kentang, kubis oleh penduduk setempat. Tanaman sayur di kawasan itu sejauh ini juga tidak tertolong dan pada gagal panen.”Petani gagal panen, sehingga merugi,” katanya.

Dibatasi

Pada musim kemarau tahun 2015 ini, imbuhnya, sebanyak 200 petani kentang dan sayur mayur menyedot air telaga. Total setiap hari kebutuhan air para petani mencapai 100-120 meter kubik. Ngiyudin mengatakan, saat ini kelompok tani membatasi penyedotan air dan mulai diatur, karena kalau dibebaskan pada September air di telaga bisa habis terkuras.

“Sekarang mulai dibatasi dan diatur agar debit air tidak habis. Tapi sekarang sudah benar-benar tidak ada stok di telaga,” katanya. Dia mengemukakan, sejak terjadi penggundulan hutan besarbesaran yang mengakibatkan ratusan hektare lahan hutan milik Perhutani gundul.

Akibat dari kondisi tersebut lima mata air di sekitar desa tersebut nyaris mati yang hidup sekarang tinggal satu, yakni mata air Lempong. Dikatakan, empat mata air mati antara lain Kaligondok, Musilan, Kejen, dan Latren. Kini cuma tinggal satu mata air.

Padahal sebelum hutan gundul ratusan jenis burung masih hidup. “Kami berharap digalakkan penghijauan agar dapat ikut merawat gunung-gunung yang gundul,” katanya. Dijelaskan, upaya konservasi lahan di kawasan hutan kawasan Dieng hanya sebatas wacana dan tanpa realisasi yang jelas.

Sejumlah lembaga yang konsen di persoalan lingkungan hidup di Wonosobo yang pernah membuat program pemulihan lahan Dieng, termasuk di Desa Sembungan. Namun mereka tidak jelas apakah program pemulihan dijalankan apa tidak, karena kondisi Dieng masih kritis.

Seorang petani kentang, Jasri (40) mengatakan akibat telaga menyusut tanaman miliknya kering dan layu. Dia mengaku merugi Rp 45 juta per hektare. Sedangkan total lahan yang berada di areal telaga, menurut Jasri kurang lebih 80 hektare. “Petani di sini 80 persen gagal panen,” katanya. (H67-32)

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/debit-telaga-cebong-kritis/

DPR Dukung Pembangunan Toko Tani Indonesia

Senin, 21 September 2015

BANDUNG, (PRLM).- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendukung penuh rencana Kementerian Pertanian membangun Toko Tani Indonesia (TTI) untuk menjaga stabilitas harga komoditas. DPR pun yakin tidak akan sulit menyetujui anggaran sebesar Rp 200 miliar yang akan diajukan Menteri Pertanian Amran Sulaiman untuk pembangunan TTI tersebut.

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Herman Khaeron mengatakan, keberadaan TTI merupakan impian para petani sejak lama. Apalagi jika kepemilikan TTI tersebut nantinya diarahkan kepada para petani itu sendiri.

"Kan abgus kalau ada toko milik petani. Mereka akan bisa mengatur harga jual komoditas hasil panen mereka sendiri tanpa bergantung pada oknum tengkulak yang seringkali menekan harga serendah mungkin sehingga merugikan petani," tutur Herman saat dihubungi Senin (21/9/2015).

Menurut Herman, TTI juga bisa efektif memotong mata rantai distribusi komoditas pertanian yang selama ini masih terlalu panjang. Dengan begitu, petani bisa mendapatkan harga jual yang layak dan konsumen pun bisa mendapatkan komoditas lebih segar dengan harga yang lebih terjangkau.

Herman menegaskan, selama ini harga komoditas pertanian cenderung fluktuatif karena tidak adanya sarana pendukung yang memadai. Para petani terpaksa menjual dengan harga rendah saat panen raya namun tidak menikmati keuntungan besar saat hasil panen minim dan harga tinggi.

Keberadaan TTI, ujar Herman, diharapkan bisa menjaga kesinambungan pasokan komoditas pertanian sehingga harga bisa tetap stabil sepanjang tahun. Selain itu, para petani bisa mendapatkan harga jual yang lebih tinggi dari ongkos produksi yang mereka keluarkan. "Oleh karena itu DPR sepertinya tidak akan sulit untuk menyetujui anggaran yang diajukan kementan untuk program ini," katanya.

Sementara itu Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat Entang Sastraatmadja mengatakan, konsep TTI cukup baik mengingat Badan urusan Logistik (Bulog) yang akan bertindak sebagai penyerap komoditas dari petani. "Dari Bulog, komoditas disebar ke pedagang tradisional secara langsung, sehingga bisa menekan rantai distribusi dan menjaga kestabilan harga. Hal ini terutama diperlukan di daerah yang seringkali mengalami lonjakan harga," katanya.

Meskipun demikian, Entang menampik jika semua tengkulak selama ini menjadi penyebab kesejahteraan petani yang tak kunjung membaik. Ia menilai hanya sebagian kecil oknum tengkulak saja yang selama ini bermain dan mendominasi pasar komoditas pertanian dan menjadi penentu harga di tingkat petani maupun konsumen.

Menurut Entang, tengkulak sebenarnya membantu petani untuk mendistribusikan hasil panen mereka ke konsumen melalui pasar tradisional. "Kalau kemitraan antara petani dengan tengkulak sudah berjalan baik dan saling menguntungkan secara adil, maka TTI itu tidak diperlukan," ujarnya.

Entang mengakui, tidak jarang ada dominasi tengkulak dalam menentukan harga bagi petani. Dalam kondisi seperti itu, maka TTI menjadi sangat dibutuhkan.

Di sisi lain, Entang berharap TTI nantinya digarap secara sistemi dan dikelola oleh tenaga profesional. Selain itu sinergitas antara Bulog dan dinas terkait di daerah juga harus dijaga agar tetap solid.

Entang berharap, kinerja Bulog dalam menyerap hasil panen bisa didukung oleh peran Dinas Pertanian dalam meningkatkan hasil produksi dalam berbagai kondisi serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan juga bisa membantu petani mengolah hasil panen dengan kemasan yang baik atau menjadi produk lain yang bernilai ekonomis lebih tinggi. (Handri Handriansyah/A-147)***

http://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/2015/09/21/343205/dpr-dukung-pembangunan-toko-tani-indonesia

Petani Diharapkan Ikut Membantu Penyediaan Ketahanan Pangan Nasional

Minggu, 20 September 2015

MENGUNING : Lahan pertanian di Kaubun yang tetap menguning meski di musim kemarau, ini tiada lain karena baiknya sarana irigasi yang dibangun pemerintah.

SANGATTA,Suara Kutim.com (20/9)
Keinginan mewujudkan swasembada beras di Kutim tampaknya perlu satu sikap antara pemerintah, Perum Bulog dan petani. Pasalnya selama ini petani lebih doyan menjual gabah kering gilingnya ke swasta ketimbang ke Bulog.
Dandim 0909 Sangatta Letkol Inf Ibnu Hudaya dan Kadis Pertanian dan Peternakan Syafruddin Ginting mengakui upaya mewujudkan swasembada beras perlu kerja keras terlebih di musim kemarau. “Rendahnya nilai beli Bulog terhadap gabah kering petani menjadi salah satu penyebab program swasembada beras di Kutim dan Kaltim pada umumnya tidak bisa terwujud, dari kajian yang ada petani lebih cendrung senang menjual ke swasta karena lebih tinggi ketimbang Bulog,” ujar dandim.
Berdasarkan data yang didapat Dandim Ibnu Hudaya, pihak swasta yang beroperasi di sentra pertanian berani membeli gabah kering antara Rp8 ribu hingga Rp10 ribu perkilogram, sementara Bulog hanya bisa membeli Rp7.300 perkilogram. “Kondisi ini harus dicari jalan keluarnya karena beras yang dijual swasta akhirnya tinggi, selain itu untuk cadangan pangan memerlukan dana besar,” beber Ibnu Hudaya.
Hal senada diakui Kadis Pertanian dan Peternakan Syafruddin Ginting, saat ditemui terpisah mengakui pemerintah terus berupaya membantu petani seperti penyediaan pupuk bersubsidi, pembangunan dan penyempurnaan sarana irigasi termasuk peralatan pertanian. “Selayaknya jika ada bantuan pemerintah, petani hendaknya menjual ke Bulog demi ketahanan pangan nasional serta membantu masyarakat dalam ketersediaan pangan termasuk penyediaan benih,” ujar Syafruddin.
Untuk mewujudkan swasembada beras di Kutim, Dandim Ibnu Hudaya dan Kadistanak Syafruddin menaruh harapan petani “bersedia” menyisihkan panennya untuk dijual kepada bulog agar program swasembada beras terwujud. Keduanya memberikan analias, setiap petani atau setiap gabungan kelompok tani (Gapoktan) bisa mengalokasikan 15 kg hingga 25 kg beras di setiap kecamatan, maka Kutim bisa mengalokasikan 30 Ton beras untuk dapat diserap Bulog. “Konsep ini harus dipahami petani dan semua pihak, pasalnya tujuan pemerintah memberikan pupuks subsidi, menyediakan bibit berkualitas serta sarana pertanian yang memadai tiada lain agar nilai jual dari petani bisa menyelamatkan kepentingan bangsa secara umum,” ujar Syafrudddin.(SK-02/SK-011)

http://www.suarakutim.com/petani-diharapkan-ikut-membantu-penyediaan-ketahanan-pangan-nasional/

Jumat, 18 September 2015

Pengelolaan Pangan Mencemaskan

Jumat,18 September 2015

Menarik mencermati data harga komoditas pangan selama 20 bulan terakhir ini. Tahun 2014, harga pangan relatif stabil kecuali untuk cabai dan bawang merah. Selisih harga beras medium rata-rata nasional per kilogram antara yang terendah (Januari 2014) dan tertinggi (Desember 2014) hanya terpaut Rp 567.

Pada tahun tersebut, produksi padi Indonesia menurun 0,63 persen dan Indonesia mengimpor 1,225 juta ton beras. Harga daging sapi juga relatif stabil dengan perbedaan harga terendah (Maret 2014) dan tertinggi (Desember 2014) sebesar Rp 2.890. Hal yang sama juga terjadi pada daging ayam broiler (Kementerian Perdagangan, 2014 dan 2015).

Drama pangan dimulai pada Januari 2015. Hanya dalam tempo relatif singkat, harga beras medium melonjak menjadi Rp 10.375 pada bulan Maret 2015 dari Rp 9.645 pada bulan Januari. Bahkan, di Jakarta, harga beras mencapai Rp 11.217 per kg (Info Pangan DKI, 2015). Kenaikan harga sempat tidak terkendali hingga 30 persen baik untuk beras medium dan premium. Harga kemudian turun karena tertolong oleh panen raya. Mulai Mei, harga meningkat perlahan dan saat ini sudah mendekati puncak harga pada bulan Maret 2015. Diperkirakan harga beras pada bulan September akan melampaui bulan Maret dan terus meningkat hingga akhir tahun ini.

Gejolak harga beras ini sungguh ironis di tengah pernyataan berulang kali Menteri Pertanian bahwa Indonesia pada tahun 2015 ini akan menghentikan impor beras karena terjadi lonjakan produksi padi fantastis 6,64 persen dan surplus 4,7 juta ton gabah kering giling dibandingkan tahun sebelumnya.

Drama beras belum selesai, muncul gejolak harga bawang merah. Harga bawang merah yang turun sedikit pada bulan Februari tiba-tiba melonjak tajam dan mencapai puncaknya pada Juni 2015 sebesar Rp 32.996 per kg atau naik 52 persen. Tidak menunggu waktu lama, dalam tempo dua bulan, harga bawang merah menukik tajam ke bawah dan saat ini lebih rendah dibandingkan harga terendah bulan Februari 2015.

Petani-petani di sentra bawang merah sangat terpuruk karena harga tiba-tiba jatuh menjadi Rp 5.000, bahkan Rp 4.000 per kg, padahal ongkos produksi saat ini mencapai Rp 7.000 per kg. Selain bawang merah, petani tomat juga mengalami penderitaan akibat harga tomat yang jatuh menjadi hanya Rp 200-Rp 400 per kg di beberapa sentra produksi.

Belum selesai dengan beras dan hortikultura, harga daging sapi dan daging ayam ikut berulah. Untuk daging sapi, gejala kenaikan harga sudah tampak sejak Mei 2015, yang naik terus tiap bulan dan mencapai puncaknya pada Agustus 2015.

Di Jakarta, lonjakan tertinggi terjadi pada bulan Juli, yaitu 14,8 persen, dibandingkan bulan sebelumnya. Harga daging sapi rata-rata bulan Agustus 2015 sudah mencapai Rp 115.130 per kg, padahal dua bulan sebelumnya Rp 99.382. Drama daging sapi dilengkapi dengan mogok berjualan para penjual daging sapi di beberapa kota besar dan harga sempat menyentuh Rp 140.000 per kg.

Setali tiga uang dengan harga daging sapi adalah harga daging ayam broiler. Secara nasional, harga daging ayam broiler mulai menanjak naik dari harga terendahnya pada Maret 2015, yaitu Rp 26.817 per kg. Harga melonjak terus pada bulan-bulan berikutnya dan mencapai Rp 33.523 per kg pada Agustus. Di Jakarta, harganya bahkan mencapai Rp 35.400 dan sempat melonjak di atas Rp 40.000 per kg, yang diikuti mogok massal penjual daging ayam di sejumlah kota besar.

Spekulan dan kebijakan pemerintah

Pergerakan harga pangan yang mengkhawatirkan ini menyebabkan masyarakat umum dan petani kecil sama-sama menderita. Nilai tukar petani (NTP) yang merupakan salah satu indikator kesejahteraan petani justru turun tiga bulan berturut-turut pada puncak musim panen, yaitu Maret, April, dan Mei 2015. Ketika panen raya sudah berakhir dan gabah serta beras tidak lagi di tangan mereka, harga melonjak dan ikut mengerek NTP ke atas. Sebagaimana konsumen pada umumnya, petani merupakan net consumer pangan. Saat ini, harga hampir semua pangan pokok stabil tinggi dan cenderung terus menguat hingga akhir tahun, lampu merah bagi masyarakat pada umumnya dan pemerintah pada khususnya.

Menyikapi hal ini, para pejabat selalu menyatakan bahwa gejolak harga pangan tersebut disebabkan ulah spekulan atau mafia pangan. Dalam wacana akademis, spekulan pangan tidak mengarah pada kartel dan upaya menahan stok, tetapi lebih pada spekulasi finansial (Bar-Yam and Lindsay, 2012). Sekitar 40 persen volatilitas harga pangan dalam lima tahun terakhir jika dirunut berakhir di institusi finansial.

Jika demikian, lalu apa penyebab gejolak harga pangan yang mengkhawatirkan ini? Krisis beras pada awal tahun disebabkan stok beras nasional berada dalam posisi terendah selama tiga tahun terakhir ini yang lupa diantisipasi pemerintah. Awal Januari 2015, stok beras nasional hanya 5,5 juta metrik ton, turun dari 7,4 juta metrik ton dua tahun sebelumnya dan 6,48 juta metrik ton setahun sebelumnya (DA Santosa, "Waspada Pangan 2015", Kompas, 10/3). Harga beras yang terus meningkat selama empat bulan terakhir ini lebih disebabkan gangguan produksi dan stok yang tidak memadai, bukan ulah spekulan. Kajian Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) di banyak tempat mengarah pada hal tersebut sehingga produksi tahun ini kemungkinan sama atau bahkan lebih rendah dibandingkan tahun 2014.

Bagaimana dengan daging sapi dan daging ayam? Kenaikan harga daging sapi dan ayam sebenarnya sudah dimulai sejak April 2015. Kenaikan harga daging sapi menyiratkan kelangkaan stok. Justru pada kondisi demikian pemerintah memutuskan memotong kuota impor dari 250.000 ekor menjadi hanya 50.000 ekor pada kuartal III (Juli-September 2015). Akhirnya, harga daging sapi melonjak tidak terkendali dan bertahan tinggi hingga saat ini.

Sejak April 2015, harga jagung terus meningkat, yang menyiratkan gangguan produksi jagung nasional. Ketika produksi jagung mengalami gangguan, pemerintah justru mengambil keputusan mendadak menghentikan kekurangan impor jagung (komponen terbesar pakan ayam) sebesar 1,35 juta ton dengan asumsi seolah-olah akan terjadi peningkatan produksi jagung nasional 1,66 juta ton pada 2015.

Dengan demikian, asumsi yang dibangun pemerintah bahwa penyebab gejolak harga daging sapi dan daging ayam adalah ulah spekulan sangat spekulatif, menyederhanakan persoalan sekaligus upaya melepas tanggung jawab dan menghindar dari kesalahan yang dibuat pemerintah sendiri.

Upaya mengatasi

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam mengatasi krisis pangan yang akan terjadi. Pertama, desain dan implementasi kebijakan harus betul-betul dilandaskan pada fakta dan data yang akurat. Akurasi juga meliputi peramalan produksi, informasi pasar, dan dampak setiap kebijakan terhadap banyak pihak dan kelompok di masyarakat. Penetapan kebijakan yang sangat mendadak, apalagi tidak disertai dengan data yang akurat, akan mendistorsi pasar dan merusak sistem yang ada.

Kedua, meningkatkan tata kelola stok pangan publik. Tata kelola yang buruk di lembaga yang mengelola stok pangan nasional berkontribusi terhadap volatilitas harga pangan. Negara harus mampu membuat lembaga pangan dengan pengelolaan yang independen dan bebas dari berbagai kepentingan. Lembaga tersebut harus mampu mengelola stok pangan nasional, meliputi waktu dan kuantitas pelepasan stok ataupun pembelian untuk meningkatkan stok.

Ketiga, kerja sama antara sektor publik/pemerintah dan swasta perlu ditingkatkan. Perilaku yang menciptakan ketidakpercayaan dan konflik pemerintah versus swasta justru menyebabkan situasi semakin memburuk dan berkontribusi nyata terhadap gejolak harga pangan (Pinstrup-Andersen, 2015). Jika konflik tersebut terus-menerus terjadi sebagaimana dipertontonkan di masyarakat akhir-akhir ini, stabilisasi harga pangan hanyalah sebuah ilusi.

Keempat, peningkatan kesejahteraan petani kecil dan investasi infrastruktur di pedesaan harus menjadi sasaran besar pembangunan pertanian dan pangan. Kesejahteraan petani yang meningkat akan meningkatkan kegairahan dalam berusaha tani. Peningkatan produksi hanyalah reward dari upaya peningkatan kesejahteraan petani.

Terakhir, semoga dalam situasi pelemahan rupiah dan perekonomian seperti saat ini, pejabat pemerintah lebih bijak dalam mengeluarkan pernyataan ataupun kebijakan dan jauh dari politik pencitraan yang dikemas dalam data dan angka bermasalah. Kita sama-sama berharap bahwa gambaran suram bencana pangan yang menghadang pada akhir tahun dan berlanjut pada tahun 2016 akan berakhir menjadi ilusi belaka.

DWI ANDREAS SANTOSAGURU BESAR IPB; KETUA UMUM AB2TI; MANTAN ANGGOTA POKJA TIM TRANSISI JOKO WIDODO-JUSUF KALLA

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150918kompas/#/8/

Kamis, 17 September 2015

Bulog Ingin Punya Sawah Sendiri

Kamis, 17 September 2015

Jakarta -Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) mengaku semakin kesulitan menyerap gabah hasil panen petani. Bulog mengusulkan akan mengubah proses bisnisnya tidak hanya menyerap gabah, namun bisa menghasilkan gabah hasil budidaya sendiri. Bulog akan merambah ranah bisnis on farm, artinya berbisnis mulai dari penanaman padi di sawah.

Kondisi proses bisnis Bulog sampai saat ini hanya mengandalkan serapan gabah dari Unit Pengadaan Gabah Pemerintah (UPGB), mitra Bulog, kelompok tani, dan koperasi.

Namun saat ini, Bulog sulit menyerap gabah petani karena harga pembelian pemerintah (HPP) berada di bawah harga pasar. Hal tersebut membuat petani tidak tertarik menjual gabahnya ke Bulog.

"Selisih antara HPP dengan harga di pasar atau pihak ketiga relatif semakin besar. Jarak itu semakin membesar selama 2010-2015. Sejak 2014 harga gabah petani selalu di atas HPP. Perum Bulog kesulitan lakukan penyerapan gabah petani," ungkap Djarot Kusumayakti, Direktur Utama Perum Bulog, ditemui dalam rapat dengan Komisi IV DPR, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (17/9/2015).

Djarot menjelaskan, dari data BPS rata-rata harga gabah kering panen (GKP) Rp 4.558/kg. Lalu GKP di tingkat penggilingan 4.642/kg.

Djarot menjelaskan, lebih lanjut mengenai usulan bisnis on farm. Akan ada 3 pola di antaranya pola mandiri, kemitraan, dan sinergi. Usulan tersebut akan memungkinkan Bulog budidaya padi di lahan sawah milik sendiri atau menggandeng petani dengan memberi bantuan alat mesin pertanian (alsintan) dan sarana produksi pertanian (saprotan).

"Kami usulkan akan masuk kegiatan bisnis on farm (budidaya). Pola mandiri, yaitu kegiatan usaha tani didanai dan dikelola oleh Perum Bulog di lahan milik sendiri atau lahan yang disewa," terang Djarot.

Selanjutnya, kata Djarot, pola mitra kerja yaitu mekanismenya akan menggandeng mitra kelompok tani. Kelompok tani akan mendapat pinjaman alsintan dan saprodi. Petani wajib menjual hasil panennya ke Bulog dan petani wajib mengembalikan pinjaman saprodi.

"Kemudian ketiga pola sinergi. Petani yang menyediakan saprodi dan alsintan, namun penjualan hasil panen ke Bulog. Bulog membantu pembiayaan usaha taninya," terang Djarot.

Bulog pun akan meniru langkah Kementan menggandeng unsur TNI Angkatan Darat. "Kalau diizinkan kami minta bantuan TNI AD dari tanam hingga panen. Di kesempatan yang baik ini, kami minta dukungan perubahan proses bisnis beras dengan melibatkan kelompok tani, Kementerian Pertanian, dan BUMD untuk meningkatkan penyerapan gabah Bulog dan menjamin kualitas beras," papar Djarot.

Beberapa anggota DPR menanggapi positif usulan Bulog tersebut.

"Saya setuju dengan usulan Bulog untuk bisnis on farm. Selama ini Bulog semakin bersaing dengan pihak ketiga. Kita dorong agar bisa dialokasikan PMN (penyertaan modal negara) supaya bisa segera siapkan infrastruktur on farm," kata Ichsan Firdaus, Anggota Komisi IV.

Ichsan menyoroti langkah ini sebagai terobosan baru namun perlu dilakukan sinergi agar tidak berbenturan dengan program Kementerian Pertanian.

"Permasalahannya adalah sinergitas. Sebab di Kementan ada program terkait peningkatan produksi beras yang juga menyediakan saprodi dan alsintan," tambahnya.

(dnl/dnl)

http://finance.detik.com/read/2015/09/17/123511/3021418/4/bulog-ingin-punya-sawah-sendiri

Bidang Pertanian harus Terderegulasi

RABU, 16 SEPTEMBER 2015

Starberita - Padang - Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaeman menegaskan Toko Tani Indonesia (TTI) yang mestabilkan harga pangan bebas kendala aturan terkait Harga Pembelian Pemerintah (HPP), seperti yang Badan Urusan Logistik (Bulog) alami dalam pemenuhan stok beras miskin (Raskin). Intinya, aturan potensi menghalangi percepatan pembangunan, termasuk bidang pertanian harus terderegulasi.

Mentan di Padang, Selasa (15/09/2015) mengatakan TTI berfungsi menstabilkan harga pangan, bukan bertujuan memenuhi stok raskin, karena itu harga pembelian kepada masyarakat bisa sesuai dengan harga pasar, bukan HPP.

"Sebenarnya, sekarang Bulog sudah punya mekanisme komersil yang dipisahkan dari tugasnya untuk menjaga stok raskin. Melalui mekanisme komersil ini, Bulog diperbolehkan untuk membeli beras dengan harga pasar untuk dijual kembali agar mendapatkan untung. Pola ini yang dipakai dalam TTI," jelas dia.

Ia mengatakan Kementerian Pertanian Republik Indonesia merencanakan akan mendirikan 1000 unit TTI di seluruh daerah dindonesia mulai 2016. "Sebenarnya rencana dan desainnya sudah dimulai sekarang, hanya saja difungsikan pada tahun depan," papar dia.

"Konsep TTI ialah menstabilkan harga pangan dengan palaksana Bulog, Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan. Polanya, TTI membeli pangan di tingkat petani dengan harga pasar, kemudian dijual kembali pada konsumen dengan harga yang lebih murah dari harga pasar. Ini akan mendorong kestabilan harga dan kesejahteraan petani juga bisa meningkat," imbuh dia.

Sejah ini, pihaknya telah melaksanakan rencana TTI tersebut dengan menganggarkan dalam APBN sebesar Rp200 miliar. (inc/YEZ)

http://www.starberita.com/index.php?option=com_content&view=article&id=177864:starberita-padang-menteri-pertanian-mentan-andi-amran-sulaeman-menegaskan-toko-tani-indonesia-tti-yang-mestabilkan-harga-pangan-bebas-kendala-aturan-terkait-harga-pembelian-pemerintah-hpp-seperti-yang-badan-urusan-logistik-bulog-alami-dalam-p&catid=170:umum&Itemid=774

Rabu, 16 September 2015

Stok Beras Bulog dan El Nino

Rabu,16 September 2015

Pada Juni lalu, pemerintah mengangkat Direktur Utama dan Direktur Pengadaan Bulog yang baru, dengan harapan terwujudnya pengadaan beras 4 juta ton. Targetnya tinggi dengan ”asumsi kuat” keberhasilan peningkatan produksi beras.

Pertumbuhan produksi padi (ARAM I) pada tahun 2015 mencapai 6,65 persen atau tertinggi kedua dalam 20 tahun terakhir. Namun, risiko pertumbuhan produksi padi tetap tinggi karena ancaman El Nino hingga akhir tahun akan berdampak tidak saja pada produksi padi pada musim gadu tahun ini, tetapi juga produksi musim panen raya tahun depan.

Pemerintah sekarang menginginkan peran Bulog ”serba besar”: stok awal harus tinggi, pengadaan gabah/beras harus besar tanpa impor, harus mampubersaing dengan pedagang swasta, pengadaan gabah harus dominan dan langsung dari petani, kualitas pelayanan publik juga harus prima dengan beras berkualitas.

Pada minggu ketiga Agustus ini,Bulog baru mampu memperoleh pengadaan beras/gabah 1,78 juta ton setara beras, komersial hanya 233.000 ton. Kalau Bulog tetap mempertahankan kualitas gabah/beras standar harga pembelian pemerintah (HPP) dan tidak ada ”paksaan” terhadap petani/penggilingan padi dengan mengerahkan TNI/Polri (Kompas, 27/8), hampir tidak mungkin Bulog mampu menambah pengadaan beras PSO (public service obligation) lebih dari 300.000 ton hingga akhir tahun ini.

Harga gabah/beras di pasar telah jauh di atas HPP, cenderung naik dengan laju yang lebih cepat dalam periode puncak paceklik November-Januari.

Kuatkah Bulog/pemerintah untuk mengelola instabilitas harga beras? Stok beras Bulog kurang, hanya 1,5 juta ton dengan ketahanan stok enam bulan mendatang.Kalau tambahan pengadaan tercapai 300.000 ton, stok akhir tahun menjadi sekitar 800.000 ton (padahal seharusnya minimal 1,5 juta ton), atau terendah dalam 10 tahun terakhir.

Pada saat sekarang, posisi stok cadangan beras pemerintah (CBP) negatif, telah menguras stok operasional Bulog.Kalaupun pemerintah segera memperkuat volume CBP, posisi stok akhir tidak berubah, hanya memindahkan stok operasional Bulog ke CBP, tanpa perubahan volume dan kualitas beras CBP.

Intervensi Bulog

Awalnya, Bulog dibangun sebagai lembaga parastatal untuk mengoreksi kegagalan pasar (market failure), terutama pada musim panen raya. Dalam posisi petani yang jumlahnya banyak, daya tawar lemah. Petani cenderung segera menjual gabah hasil panen raya dengan berbagai alasan: membiayai tanaman berikutnya, bayar utang, dan biaya sekolah anak.

Di pihak lain, posisi pembeli gabah yaitu penggilingan padi (PP) ”relatif kuat”. Bulog berperan mengoreksi keadaan itu. Bulog membeli gabah/beras melalui Koperasi Unit Desa, bukan langsung dari individu petani. Koperasi dibangun untuk tujuan pemerataan dan menggerakkan ekonomi pedesaan.

Apabila pasar gabah telah berfungsi normal, harga gabah/beras telah terangkat di atas HPP, maka selesailah tugas Bulog. Bulog tidak dirancang untuk bersaing dengan PP/pedagang swasta dalam merebut gabah/beras di pasar. Kalau itu dilakukanBulog sebagai perusahaan besar dan pada musim panen gadu yang umumnya pasar gabah telah normal, harga gabah/beras pasti naik dengan laju yang lebih cepat. Maka, kegagalan pasar berpindah ke kegagalan pemerintah (government failure).

Kekeliruan respons pemerintah

Bulog kembali berperan mengoreksi pasar konsumen, khususnya pada musim puncak paceklik (November-Januari) melalui instrumen operasi pasar.Kalau Bulog menguasai jumlah CBP yang cukup dengan beras berkualitas, pasti pelaku usaha enggan berspekulasi. Hal itulah yangbelum ditata pemerintah.

Pemerintah meyakini,instabilitas harga beras sebagai ulah para spekulan. Pada saat yang sama, presiden mendeklarasikan ”tanpa impor” beras, membuang sebuah instrumen penting pengendali harga.

Oleh pelaku pasar, hal tersebut dijadikannya sebagai peluang mencari tambahan keuntungan karena ekspektasi kenaikan harga tinggi pada bulan-bulan mendatang melebihi cost of holding stock termasuk risiko lain seperti pendistribusian stok, ”mengamankannya” apabila diperiksa aparat hukum.Pada saat yang sama, mereka paham tentang situasi produksi, kekuatan stok beras Bulog/pemerintah rendah.

Oleh karena itu, masalah jangka pendek ini perlu diatasi segera oleh pemerintah. Pertama, sebelum ada perubahan kebijakan beras, pemerintah jangan ”memaksa” Bulog melakukan pengadaan besar atau menaikkan HPP pada musim gadu, seperti pernah dilakukan pemerintah pada puncak paceklik akhir 2006 atau awal 2007, diulangi pada periode April-Oktober 2011 tidak berpengaruh signifikan pada jumlah pengadaan.

Menaikkan HPP atau pengadaan di luar jumlah yang wajar pada musim gadu,atau menargetkan pengadaan beras 1,4 juta ton dalam sebulan mendatang (Kompas, 27/8) akan membuat eskalasi kenaikan harga lebih tinggi, memunculkan destabilisasi harga beras.Opsi pengerahan TNI/Polri untuk pengadaan beras perlu ditinjau ulang baik buruknya.

Kedua, segera putuskan plan B, buka pengadaan beras luar negeri untuk memperkuat jumlah dan kualitas stok Bulog dan CBP sehingga ”lebih ampuh” dalam meredam spekulasi harga. Instrumen ini paling ditakuti oleh para spekulan. Mereka hanya takut rugi.

Ketiga, intensifkan program aksi untuk menyelamatkan tanaman padi gadu ini dan program adaptasi untuk musim tanam mendatang.

M HUSEIN SAWIT, SENIOR ADVISOR PERUM BULOG 2003-2010; TIM AHLI KEPALA BULOG 1996-2002

http://print.kompas.com/baca/2015/09/16/Stok-Beras-Bulogdan-El-Nino

Senin, 14 September 2015

Momentum Bulog Lakukan Pengadaan Sudah Lewat

Senin, 14 September 2015

Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor Hermanto Siregar menilai Perum Bulog akan kesulitan mencapai target pengadaan beras pada tahun ini.

Alasannya, hingga akhir tahun diprediksi tidak akan ada lagi panen beras akibat dampak El-nino yang diperkirakan akan terus berlanjut hingga Februari 2016. Sementara itu, dua momen panen; panen raya dan panen gadu tidak dimaksimalkan dengan baik.

“Sekarang sudah tidak ada panen. Tapi jika dipaksakan melakukan pengadaan, harga pasti sudah setinggi langit. Makanya saya bilang, urusan seperti beras ini waktunya harus benar-benar tepat, semuanya tidak boleh telat, harus dipersiapkan dengan rapih,” kata Hermanto saat dihubungi Bisnis pada Jumat lalu (11/10/2015).

Sementara itu, dirinya berharap, Perum Bulog bisa benar-benar maksimal melakukan tugasnya dalam hal distribusi ke daerah-daerah. Bulog yang memiliki gudang hingga ke penjuru daerah di seluruh tanah air dinilai tidak boleh terlambat dalam penyaluran dan distribusi, khususnya ke daerah-daerah terpencil.

Sabtu, 12 September 2015

Mengapa Petani Tidak Disebut dalam Paket Ekonomi Jokowi?

Jumat,11 September 2015

Padahal petani Indonesia berjumlah 30 juta keluarga, dengan spesifik petani padi berjumlah 14 juta keluarga. Paket kebijakan ekonomi penting menyentuh kehidupan petani, karena memiliki efek ganda bagi peningkatan daya beli puluhan juta rumah tangga, peningkatan pasokan pangan kebutuhan pokok, pengurangan impor hingga berpengaruh besar ke pertumbuhan ekonomi.

Salah satu paket kebijakan yang diharapkan dapat menyentuh kehidupan petani:

1. Mereformasi Bulog. Bulog harus memiliki kemampuan digital, akses online,transparansi, dan mekanisme penyerapan beras petani yang adil bagi petani. Revitalisasi gudang-gudang Bulog sangat diperlukan, karena kualitas pangan yang disimpan sangat tergantung pada kualitas gudang. Diharapkan gudang Bulog juga semakin dekat dengan sentra pertanian.

2. Struktur harga yang adil bagi petani. Mosok petani masukkan beras ke Bulog, sudah harga ditekan, dibayar baru sebulan kemudian, terus masih dikenakan pajak? Jangan sampe Bulog menjadi lembaga penindas petani. Salah satu mekanisme lain yang menguntungkan petani adalah dengan penyerapan hasil pertanian oleh ritel modern, penjualan online, apapun yang bisa memangkas panjangnya titik titik distribusi dari petani hingga ke konsumen akhir.

3. Menekan biaya input pertanian melalui investasi untuk trial pertanian organik. Saya pernah mendengar dari dinas pertanian bahwa petani bisa menghabiskan uang milyaran rupiah hanya untuk pestisida, sementara rumah petani tersebut bergedek bambu berlantai tanah. Ngeri mafia pestisida masuk ke petani, dengan iming-iming hadiah langsung.

4. Pasca panen, kemudahan penggilingan, logistik, kemampuan pengemasan dan pelabelan untuk hasil pertanian premium.

5.  Akses permodalan, untuk memotong kekuasaan tengkulak pengijon.Sering HPP bukan dinikmati petani, tetapi pengijon.

Semoga pemerintah memperhatikan petani. Ya sudah gitu aja, Salam Kompasiana!

http://www.kompasiana.com/ilyani/mengapa-petani-tidak-disebut-dalam-paket-ekonomi-jokowi_55f23bc2e6afbdf809c8c2bf

Jumat, 11 September 2015

Arah Swasembada Pangan Masih Terseok

Kamis, 10 September 2015
Arah Swasembada Pangan Masih Terseok

Prof Dwi Andreas Santosa/Ist

Tabanan, dipabali.com – Mimpi menjadikan Indonesia sebagai negara yang berswasembada pangan tampaknya masih jauh dari harapan. Meski hal itu terus didengung-dengungkan oleh pemerintahan yang kini dikendalikan duet Jokowi-JK. Pasalnya, konsep pembangunan yang mengarah pada kedaulatan pangan masih berjalan terseok-seok.

“Arah pembangunan kita salah satunya kedaulatan pangan. Walaupun jalannya sejauh ini masih terseok-seok. Apalagi tembok birokrasi kita masih begitu luar biasa tingginya,” ujar Prof Dwi Andreas Santosa dalam Forum Curah Gagasan yang digelar Bappeda Kabupaten Tabanan di Desa Wanasari, Tabanan, Kamis (10/9). Acara itu sendiri diikuti oleh para petani dan kalangan akademisi.

Salah satu guru besar Fakultas Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) ini mengungkapkan ada beberapa program yang ternyata tidak sejalan dengan konsep yang dirancang semasa dirinya masih bertugas bersama akademisi lainnya di Pokja Tim Transisi Jokowi-JK.

Beberapa di antaranya, soal produksi pupuk organik untuk memenuhi kebutuhan para petani yang menerapkan konsep budidaya organik. Pun demikian halnya dengan kegiatan penyuluhan.

Terkait pupuk organik, sambungnya, produksinya diserahkan kepada perusahaan yang belum tentu dalam proses pembuatannya tidak menerapkan konsep organik. Sehingga baginya program untuk menyuplai pupuk organik bagi para petani tidak lebih dari pembodohan kepada para petani.

“Padahal Rp 800 M uang rakyat ada di sana. Idealnya transfer langsung uangnya ke petani. Sehingga petani bikin pupuk organik langsung. Tidak seperti sekarang. Malah ada yang dipaketkan. Beli urea dipaketkan dengan organik,” ujarnya mengkritisi.

Sedangkan soal penyuluhan, diakuinya hal itu sangat penting. Tapi ada satu hal yang membuat dirinya kecewa. Terutama saat mengetahui bahwa penyuluhan dilakukan oleh Babinsa. Padahal, dalam konsep besar sesuai dokumen yang telah dipegang Bappenas adalah penyuluhan swakarsa.

“Pendampingan itu penting. Tapi jujur saja saya kecewa ketika penyuluhan dilakukan Babinsa. Ini sama sekali tidak masuk akal karena Babinsa tidak dilatih untuk petani. Apa tidak kebalik-balik jadinya,” pungkasnya. (CA/DB)

http://dipabali.com/index.php/2015/09/10/arah-swasembada-pangan-masih-terseok/

Kamis, 10 September 2015

Tempe Makin 'Kece'

Kamis, 10 September 2015

ADAKAH kenaikan harga tahu tempe sebagai lauk mahasiswa? Jawaban "tidak pak" akan langsung terdengar. Namun mahasiswa lainnya, sembari berkelakar menyela: "tetapi makin <I>kece<P>". Karena sekarang tahu dan tempe tidak lagi <I>gembrot<P> seperti sebelumnya. Klarifikasinya, kalau sebelumnya 3-4 potong sudah kenyang, kali ini harus 5-6 potong. Kelipatan nafsu makan, atau lebih tepatnya anggaran <I>jajan<P> sampai 50%. Faktanya, tahu-tempe goreng memang makin <I>kece<P>, langsing dan ramping.

Melompat-lompatnya nilai tukar rupiah yang tak kunjung normal dan hari ini mencapai Rp 14.300 per dolar Amerika Serikat, sungguh telah berakibat sangat fatal bagi rakyat banyak. Karena keterbatasan daya beli untuk memenuhi konsumsi kebutuhan dasarnya terhadap beberapa pangan pokok yang teramat tergantung pada importasi. Sebut saja misalnya, daging sapi, daging ayam, telur, gula, bawang putih, sampai kedelai, semuanya melompat naik harganya.

Komoditas yang disebut terakhir, kedelai, dengan kisaran kebutuhan nasional sebesar 2,55 juta ton pertahun dan realisasi produksi 2014 sebesar 856.000 ton. Dengan target produksi 2015 bisa sampai 1,2 juta ton, maka derajat ketergantungannya terhadap impor masih sekitar 53%. Itu dengan catatan kalau produktivitas nasional pada 2015 terealisir dengan baik. Jikalau produktivitasnya hanya setara 2014, ketergantungannya jadi 67%.

Ironi yang terjadi adalah bergoyangnya harga kedelai di pasar. Bisa naik-turun, meski secara teoritis harusnya selalu naik, karena dominasi importasi dalam konsumsi kedelai dan keterbatasan cadangan produk dalam negeri. Goyangnya harga, baik naik maupun turun, bagi negeri agraris tergantung impor ini tentu sama-sama memerlukan kewaspadaan. Antara harga naik dan dinaikkan, turun dan diturunkan, serta antara kelangkaan dan pelangkaan, masing-masing adalah dua kata dengan implikasi ekonomi-politik yang berbeda sangat nyata.

Yang lumrah terjadi adalah rampingnya tahu-tempe karena naiknya harga kedelai akibat merosotnya rupiah. Sinyal yang membahayakan di sela-sela kemerosotan rupiah dan itu terjadi menjelang pergantian musim tanam adalah ketika harga pasar turun dan tidak mengikuti apa yang seharusnya terjadi. Dalam kondisi inilah kewaspadaan pemerintah sungguh lebih diperlukan untuk menandai apakah memang murah itu akibat mekanisme pasar atau dimurah-murahkan demi kepentingan tertentu yang telah diproyeksikan.

Dengan volume pasar tahunan sebesar 2,55 juta ton pertahun, aneka skenario bisa terjadi untuk kepentingan menggalang rente. Harga yang seharusnya mahal bisa dimurah-murahkan ketika syahwat rente dimaksud berkeinginan untuk membunuh animo produksi para petani untuk bercocoktanam kedelai. Ketika hal tersebut terjadi, maka mudah dipastikan bahwa tujuannya adalah membatasi potensi produksi dalam negeri, sekaligus jaminan kapling impor.

Abnormalitas bisa terwujud berbasis aneka ragam keadaan dan skenario. Semua itu tentu harus dimaklumi sebagai strategi mengais rezeki yang acapkali menghalalkan segala pendekatan. Akan tetapi, satu hal yang tidak bisa dimaklumi adalah ketergantungan menahun konsumsi bahan kebutuhan dasar negeri agraris RI terhadap impor. Terlebih ketika pemerintahan masa kini telah mencanangkan Nawacitanya dan dituntut memandirikan sektor pangan bangsa.

Sederhana sekali kelakar para mahasiswa di ruang kuliah. "Masak sih, urusan tempe saja negeri agraris ini harus tergantung luar negeri?". Tidak mudah juga menjawabnya. Ketika lingkungan globalnya sama, diwarnai oleh semakin merosotnya rupiah, tetapi suatu saat harga kedelai bisa murah, dan di saat sekarang harganya mahal.  Itulah pasar dengan mafiosonya.

Tidak ada pilihan sebetulnya untuk urusan pangan strategis seperti kedelai ini. Sungguh tidak pernah bisa dimaklumi adanya importasi kedelai yang menggunung. Solusinya adalah proteksi dan subsidi. Proteksi dalam hal tataniaga kedelai dari kecenderungan terombang-ambing oleh aneka konspirasi dan kartelisasi. Dan subsidi, melalui kebijakan fiskal yang progresif, diperuntukkan bagi pengembangan produktivitas secara konsisten.
Swasembada kedelai sebagai bagian dari Pajale tentu harus diapresiasi. Tetapi tuntutan konsistensi tidak pernah boleh mengendor, karena fenomena pasar kedelai yang terkadang aneh adalah bukti nyata rendahnya konsistensi. Rakyat Indonesia, konsumen dan produsen hanya menanti realisasi kapan RI tidak tergantung importasi. Semuanya menanti konsistensi itu, bukan menanti janji <I>esuk dhele sore tempe<P>.


Prof Dr M Maksoem Mahfoedz

(Penulis adalah Guru Besar GTP UGM, Ketua PB NU)