Jumat, 05 Desember 2014

BULOG SEBAGAI LOKOMOTIF KEDAULATAN PANGAN

Jumat, 5 Desember 2014

Paradigma dan Spirit Baru

Kerentanan pangan bagi masyarakat Indonesia sudah pada tahap bahaya. Kerentanan ini bukan saja karena gap antara produksi beras dan konsumsi beras, melainkan karena fundamen penyediaan pangan Indonesia memang sangat rapuh. Sementara Bulog selama ini hanya terbatas berfungsi sebagai perusahaan untuk menjaga ketersediaan dan harga komoditas beras, tetapi tidak bisa lagi mengendalikan harga pangan lain. 

Pengebirian kewenangan Bulog di bidang pangan tersebut merupakan konsekuensi dari kesepakatan dengan IMF yang melarang Bulog mengontrol ketersediaan dan harga produk pangan strategis lain seperti daging, jagung, kedelai, susu, bawang merah, hortikultura, dan lain-lain. Bersamaan dengan itu Bulog pun diharuskan mengubah statusnya dari badan pemerintah non departemen. Dengan demikian Bulog tidak bisa melakukan proteksi terhadap masuknya pangan impor yang sebenarnya semua negara maju masih melakukannya.

Koordinasi dengan Kementerian Lain

Namun pemerintah baru-baru ini berusaha mengembangkan komoditas pangan yang boleh ditangani oleh Bulog, yang tidak terbatas pada beras, melainkan juga termasuk minyak goreng, gula, kedelai, dan jagung. Namun harus diingat implementasi fungsi Bulog tersebut dikhawatirkan akan mandul. Sewaktu-waktu akan tetap terjadi kelangkaan dan harga pangan yang fluktuatif, mengingat pemerintah masih banci menyikapi kebijakan IMF dan keberadaan para kartel pangan. 

Pengembangan fungsi Bulog tersebut sebenarnya dapat terwujud jika sikap pemerintah tegas serta benar-benar ada sinergi dan koordinasi dengan kementerian lain seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Luar Negeri. Selain itu juga dengan Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Agraria, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Tenaga Kerja. Bahkan jika revitalisasi terhadap Bulog akan dilakukan, seharusnya Bulog juga diberi kewenangan untuk intervensi anggaran guna pemenuhan kebutuhan dan bahan baku.

Karena lemahnya sinergi dan koordinasi dengan kementerian lain, maka pelaksanaan tugas dan fungsi utama Bulog saja masih belum efektif. Apalagi jika Bulog ingin terlibat dalam mewujudkan pergeseran paradigma dari Ketahanan Pangan menjadi Kedaulatan Pangan sesuai dengan Nawacita yang telah dicanangkan oleh Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Padahal implementasi Kedaulatan Pangan merupakan satu kewajiban dengan telah diundangkannya UU Pangan No 18 Tahun 2012 tentang Prinsip-prinsip Kedaulatan Pangan.




Status Bulog Harus Diubah

Prinsip penting kedaulatan pangan adalah keberpihakan dan berikutnya adalah keberanian untuk melindungi atau memproteksi petani. Kepiawaian pemerintah dalam mensiasati konsensus dan konvesi internasional di bidang pangan yang selalu merugikan negara berkembang adalah kuncinya. Selama ini semua negara maju seperti Amerika, Eropa, Kanada, Jepang, Australia, dan Selandia Baru tetap masih menjalankan proteksi. Amerika sendiri pada tahun 2002 mengeluarkan subsidi (Farm Bill) tidak lebih dari 2.000 miliar dolar, sedangkan Masyarakat Ekonomi Eropa memberikan subsidi untuk pangan (gula dan daging) dengan kedok Penelitian dan Pengembangan.

Untuk mewujudkan ketahanan pangan serta tugasnya sebagai buffer stock dan stabilisasi harga yang determinatif, rentang kendali kebijakan Bulog juga harus diperluas. Banyaknya kementerian terkait dengan (penyediaan) pangan menuntut perubahan status kelembagaannya tidak lagi sebagai BUMN. Bulog harus kembali menjadi badan yang langsung di bawah Dewan Keamanan Pangan Nasional yang beranggotakan kementerian terkait pangan.  Hal ini mengingat bahwa implementasi kebijakan kedaulatan pangan yang bersifat multi-sektoral seperti pencetakan sawah baru, penyediaan lahan pertanian menetap, pengendalian konversi lahan sawah, pembatasan impor, peningkatan insentif bagi tenaga pertanian, pengaturan usaha penyediaan benih, mengefektifkan subsidi produksi pangan, pendanaan sektor pertanian, pencegahan praktek monopoli di sektor pangan, pengendalian agri-business, pemberdayaan hak-hak petani, dan lain-lain.

Fungsi Bulog karenanya akan diperkuat oleh produk-produk kebijakan kolektif yang dikeluarkan oleh Dewan Ketahanan Pangan Nasional, sehingga kebijakan-kebijakan tersebut dapat menjadi instrumen strategis untuk mendorong dan menerapkan kebijakan struktural yang meliputi perwujudan kemandirian pangan, penghargaan atas hak hidup petani (agri-culture), perlindungan terhadap petani dan pertanian, subsidi pertanian pangan, dan reformasi agraria. Selain itu Bulog harus memiliki lembaga kajian sendiri untuk menemukan besaran anggaran pangan yang proporsional dan rasional terhadap PDB, sehingga Bulog dapat mencapai sasaran dengan terukur dan terencana. Saat ini berbagai hambatan telah menempatkan Bulog sebagai badan yang menjalankan “mission imposible”.

Langkah-langkah Strategis

Ke depan, pangan sebagai satu komoditas atau benda ekonomi, yang di lain pihak merupakan benda sosial dalam kontek hajat hidup orang banyak, perlu dikelola melalui kebijakan ekonomi fiskal yang mendasar dan komprehensif. Dengan demikian dibutuhkan stok dana dalam bentuk food fund yakni satu dana abadi yang akan menjamin ketersediaan dan kemantapan harga pangan. Dana tersebut tidak dialokasikan untuk kepentingan yang tidak terkait dengan pangan, tetapi justru hanya diperuntukkan bagi kelancaran dalam penyediaan pangan dan atau pertanian. Dana abadi atau food fund harus digunakan secara efektif dan terukur untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah (PR) dalam mewujudkan kedaulatan pangan.

Pekerjaan rumah terbesar agar kedaulatan pangan dan peran Bulog dapat terwujud adalah mengubah paradigma kebijakan makro ekonomi dan pertanian. Salah satunya adalah meyakini bahwa pertanian dapat menjadi fundamen dari kemajuan negara dan bangsa. Beberapa negara maju seperti Jerman, Cina, Australia, dan Selandia Baru yakin bahwa ketersediaan pangan dan pertanian yang paripurna telah menjadi pendorong (driving force) bagi kemajuan satu bangsa.

Sebaliknya terbukti bahwa krisis dan kelangkaan pangan dapat menciptakan chaos dan kejatuhan suatu rezim. Hal ini pernah terjadi di Aljazair, ketika Presiden Abdelazis Boutefika dipaksa turun dari kekuasaannya oleh aksi-aksi massa rakyat. Langkanya roti juga berakibat pada jatuhnya Presiden Mesir, Husni Mubarak.





Pemerintah juga perlu memperkuat diplomasi dan lobi internasional untuk memperjuangkan kedaulatan pangan dalam menghadapi pasar bebas dan kelicikan dari negara maju pada forum-forum internasional. Selanjutnya adalah menggagas berbagai trick fiskal dan teknis untuk melindungi produk dan pasar pangan para petani dalam negeri. Pergeseran paradigma dari ketahanan pangan menjadi kedaulatan pangan harus dipertegas, sehingga Indonesia yang memiliki potensi besar untuk swasembada dan sebagai produsen pangan harus secara logis meninggalkan kebijakan impor pangan tanpa tarif dan sangat liberal.

Mencegah Defisit Pangan

Sikap pemerintah untuk menyerahkan pangan kepada mekanisme pasar harus dievaluasi, karena pada prakteknya tidak ada pasar sempurna yang berlangsung dengan bebas. Karena itu negara melalui pemerintah harus hadir dalam memberikan proteksi dan pengawasan terhadap impor bahan pangan dari negara lain dengan mensiasati implementasi konvensi pasar bebas. Di lain pihak, pemerintah harus menyikapi dominasi kartel perusahaan asing yang merebak, mulai dari pengadaan benih, agri-bisnis, pupuk, pestisida, dan sarana produksi lain; agar tidak menjadi importer neto.

Pada tahun 1960-an negara berkembang masih menjadi eksportir pangan dan produk petanian strategis dengan surplus perdagangan meraih angka 7 miliar dolar. Tetapi 20 tahun kemudian terjadi penurunan, sehingga 30 tahun kemudian atau tahun 1990 negara berkembang telah menjadi pengimpor murni. Diramalkan defisit pangan pada tahun 2025 akan terjadi di beberapa negara Asia dan Afrika sebesar 127 juta ton pangan, sebaliknya surplus pangan luar biasa akan terjadi di Australia, Soviet, Amerika bagian Utara, dan sebagian Amerika Latin. 

Dengan berlindung pada konvensi terkait pasar bebas pada saat terjadi krisis pangan pada tahun 2008, negara-negara tersebut dalam waktu 1 tahun meraup keuntungan 55-189 persen, pupuk 186-1200 persen, serta benih dan herbisida 21-45 persen. Paradigma ketahanan pangan pada tahun yang sama juga berhasil mempecundangi negara-negara berkembang, sehingga saat ini hanya 5 perusahaan multi nasional menguasai 90 persen perdagangan pangan, 6 perusahaan multi nasional menguasai 90 persen benih dan input pertanian termasuk nyaris 100 persen benih transgenik. Ini membuktikan bahwa paradigma dan sistem ketahanan pangan adalah bencana global yang telah menyingkirkan petani-petani kecil di negara berkembang.

HPP sebagai Instrumen Strategis

Etzioni (2006) mendefinisikan kedaulatan (pangan) sebagai tanggung jawab negara untuk melindungi rakyatnya (di bidang pangan) dari campur tangan pihak lain. Berbeda dengan paradigma ketahanan pangan, kedaulatan pangan tidak hanya mengenai ketersediaan stok pangan, tetapi adalah kesinambungannya, kemandiriannya terhadap produksi global dan harga pasar, serta kecukupan produksi nasional dan pertimbanganya atas daya beli masyarakat menengah ke bawah. Tetapi, baik ketahanan pangan maupun kedaulatan pangan, keduanya harus berangkat dari derajat kemampuan suatu negara dalam menerapkan prinsip-prinsip swasembada pangan.

Pada titik inilah Bulog dapat menggunakan kebijakannya sebagai instrumen guna merealisasikan swasembada pangan. Untuk itu sebaiknya lebih dahulu dilakukan audit terhadap sistem dan komponen pertanian pangan strategis. Komponen-komponen yang harus diaudit dan disesuaikan meliputi (1) Peraturan perundang-undangan, (2) Ketersediaan dan tingkat konversi untuk lahan pertanian pangan, (3) Sumber daya manusia yang mendukung, (4) Ketersediaan benih (lokal), (5) Proporsi subsidi pertanian terhadap PDB, (6) Ketergantungan dan kebijakan impor, (7) Kredit murah untuk petani, (8) Efektifitas reformasi agrarian, dan (9) Identifikasi terhadap sistem pertanian yang ada.


Kebijakan Bulog yang dapat menjadi instrumen strategis dan memiliki dampak mendalam terhadap swasembada pangan adalah memberikan tingkat harga pembelian pemerintah (HPP) yang layak yang menyisakan margin keuntungan yang mampu menstimulasi tumbuhnya sektor pertanian secara signifikan. Tingkat HPP harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga petani tetap bersedia menjual berasnya kepada pemerintah untuk mencukupi stok dan tidak ada alasan untuk melakukan impor pangan. Dengan margin keuntungan yang cukup, petani dapat membayar kewajiban-kewajiban domestik dan aktif dalam kelembagaan lokal yang berdampak positif terhadap pengembangan ekonomi lokal.***

Ir. S. Indro Tjahyono

Produksi Benih Turun

Jumat, 5 Desember 2014

Wapres Pertanyakan Kinerja PT Sang Hyang Seri

SUBANG, KOMPAS — Wakil Presiden Jusuf Kalla, Kamis (4/12), menegur Direktur Utama PT Sang Hyang Seri Istochri Utomo akibat kinerja yang dinilai kurang memuaskan selama memimpin BUMN tersebut. Produksi benih perusahaan ini terus menurun dan selalu merugi.
”Istilah yang tepat sebenarnya bukan menegur, melainkan kami dorong agar kinerjanya terus membaik. Sang Hyang Seri dan Balai Besar Penelitian Benih Padi Sukamandi bisa lebih bekerja sama untuk mencapai swasembada pangan. Di sini banyak doktor pertanian, masa selalu impor beras terus,” ujar Kalla menjawab Kompas seusai meninjau Balai Besar Penelitian Benih Padi dan PT Sang Hyang Seri, di Sukamandi, Subang, Jawa Barat.

Selain Istochri, hadir pula Kepala Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi Ali Djamil. Adapun Kalla didampingi Menteri Perdagangan Rahmat Gobel dan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar.

Menurut Kalla, hasil penelitian Balai Besar Penelitian Tanaman Padi seharusnya bisa meningkatkan produksi benih Sang Hyang Seri. Dengan demikian, pengadaan benih padi bagi seluruh petani di Indonesia dapat terus dilakukan.

”Bukankah Sang Hyang Seri bertanggung jawab untuk pengadaan benih tersebut di seluruh Indonesia? Pokoknya, apa pun, benih harus sampai kepada petani. Kalau 7,5 ton per hektar belum bisa dicapai dari setiap panen, ya, 5-6 ton dulu tidak apa-apa, ” ujar Kalla.

Ia berharap, kinerja BUMN tersebut segera diperbaiki sehingga bisa ikut membantu pencapaian swasembada pangan yang dicanangkan pemerintah.

Tunggu petani mendaftar
Sebelumnya, sambil berkeliling pabrik pengadaan benih padi untuk petani itu, Istochri kepada Kalla mengakui bahwa pada tahun ini perusahaan yang baru dipimpinnya selama enam bulan itu terus merugi. Akibatnya, produksinya terus menurun.

”Penurunan produksi bisa mencapai 25 persen dari kapasitasnya 30.000 ton benih. Khusus untuk benih padi hibrida, sekarang hanya mampu 700 ton saja. Selain itu, juga ada beban bunga akibat utang perusahaan Rp 800 miliar dan perusahaan belum bisa mendapat pinjaman baru dari perbankan,” ujarnya.

Menurut Istochri, permintaan petani untuk benih padi baru masuk 50 persen.

”Jadi, kami tidak berani memproduksi. Perlu ada usulan permintaan subsidi dulu dari petani, Pak Wapres. Baru kami bisa produksi benih. Dengan permintaan tersebut, berarti ada uang muka dari petani lebih dulu. Kebutuhan petani terhadap benih padi menjadi acuan terhadap jumlah produksi yang akan dilakukan Sang Hyang Seri. Karena itu, daftar usulan petani menjadi penting,” ujarnya. (HAR)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/141205kompas/#/23/

Kamis, 04 Desember 2014

Wacana Penghapusan Raskin Ditolak

Kamis, 4 Desember 2014

JAKARTA – Wacana dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno terhadap penghapusan beras bagi masyarakat miskin (raskin) dan digantikan dengan e-money (uang elektronik) menuai penolakan dari masyarakat. Pasalnya, akan menghadirkan efek domino yang berkepanjangan.

Menurut Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Indonesia (KTNAI) Winarno Tohir, tak hanya 14 juta petani saja yang akan merasakan efeknya, namun juga 15 jutaan masyarakat miskin, bahkan hingga masyarakat pada umumnya.

‘’Ya, karena harga beras pasti akan menggunakan mekanisme pasar dan bisa meningkat tajam, sementara petani sengsara lantaran hasil panen tidak terjual habis,’’ ungkap Winarno di Jakarta, Rabu (3/12).

Hal senada juga diungkapkan Ketua Umum Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PSPI) Arif Satria. Menurut dia, Raskin sudah terbukti berkonstribusi dalam menekan efek spekulasi dalam mempermainkan harga gabah.

Pada saat stok raskin meningkat, harga beras di tingkat konsumen stabil, akan tetapi pada saat stok raskin berkurang atau habis, harga beras di masyarakat cenderung meningkat.

 jaring pengaman sosial

‘’Setelah pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM-red), program raskin merupakan jaring pengaman sosial yang dapat memberikan rasa aman 15 juta lebih penduduk miskin dan tidak mampu terhadap kekurangan pangan,’’ katanya.

Direktur Perencanaan dan Pengembangan Perum Bulog, Rito Angky Wibowo mengemukakan, pihaknya mendapat tugas berdasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No.7/2003 sebagai badan usaha logistik pangan pokok yang di antaranya menyalurkan raskin bagi keluarga miskin.

Wakil Ketua Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi menambahkan, bila raskin diganti e-money,  maka yang harus dipertanyakan, siapa yang akan membeli beras petani.

Untuk itu, pembenahan dan dukungan kepada petani justru yang harus ditingkatkan, agar memperoleh swasembada beras dan meningkatkan ketahanan pangan. (bn-69)

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/wacana-penghapusan-raskin-ditolak/

Buruh Tani: Jangan Hapus Raskin

Rabu, 3 Desember 2014

Banten_Barakindo- Dibenak du’afa wal masakin, khususnya buruh tani dan petani gurem, program beras untuk masyarakat miskin (raskin) ibarat malaikat penolong bagi kelangsungan hidup mereka. Bagaimana tidak? Ditengah melambungnya harga-harga kebutuhan imbas dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), hanya beras raskin-lah yang mampu mereka beli untuk kebutuhan bahan pangan.

“Kalau ada keinginan untuk mengahapus program raskin, maka perlu dipikirkan, apakah langkah itu bisa disebut bijak? Karena sebagai buruh tani, kami membutuhkan beras dengan harga murah, sesuai dengan daya beli kami,” ujar Misna, salah seorang buruh tani, warga Taktakan, Kota Serang, Banten.

Jika program Raskin dihapus, katanya, dipastikan ia dan keluarganya dipastikan tidak akan mampu membeli beras. “Sekarang ini harga beras diwarung paling murah Rp 7.800,- per kilogram. Bagaimana saya bisa mencukupi kebutuhan pangan keluarga kalau setiap hari harus membeli beras di warung,” katanya.

Hal senada diungkapkan Wardi, warga Pontang Kabupaten Serang. Menurut dia, sebagai petani gurem, dirinya akan kesulitan mencukupi kebutuhan pangan keluarganya jika program raskin ditiadakan.

“Penghasilan kami sebagai petani gurem tidak seberapa. Habis panen langsung habis dijual untuk menutupi biaya produksi yang semakin hari kian melonjak,” imbuhnya.

Karenanya, ia meminta pemerintahan Jokowi-JK tidak menambah kesulitannya bersama keluarga dengan meniadakan program raskin. “Kalau bisa ditambah saja, jangan dihapus,” harapnya. (Redaksi)*

MK Tolak Gugatan UU Pangan

Rabu, 3 Desember 2014

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang diajukan oleh sebelas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva saat membacakan amar putusan di Jakarta, Rabu.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Anggota Majelis Hakim Aswanto, mahkamah menilai tidak dimuatnya definisi mengenai "kebutuhan dasar manusia" dalam UU Pangan tidaklah berarti akan menyulitkan pemenuhan hak atas pangan sebagai kebutuhan dasar manusia dan berimbas kepada ketidakjelasan tanggung jawab negara dalam memenuhi kewajibannya terhadap hak atas pangan warga negara.
Sedangkan terkait frasa "pelaku usaha pangan" dalam UU Pangan ini, kata Aswanto, tidak mengecualikan pelaku usaha pangan skala kecil. "Setiap jenis usaha tidak membedakan perlakuan terhadap para pelaku usahanya, demikian pula terhadap pelaku usaha di bidang pangan sehingga frasa 'pelaku usaha pangan' memang tidak mengecualikan pelaku usaha kecil, hal demikian merupakan resiko dari adanya suatu usaha," kata Aswanto.
Menurut Aswanto, jika pelaku usaha kecil tidak dikecualikan maka justru akan memberikan ketidakadilan bagi pelaku usaha lainnya, karena dapat dimungkinkan justru pelaku usaha kecil yang akan menimbun pangan pokok tersebut atau justru diperalat oleh pelaku usaha besar agar dapat menimbun.
Terkait Pasal 69 huruf c UU Pangan, MK mempertimbangkan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945.
"UU Pangan telah menyesuaikan dengan perkembangan eksternal dan internal mengenai pangan di Indonesia, seperti demokratisasi, desentralisasi, globalisasi, penegakan hukum, dan kondisi aktual masyarakat Indonesia," katanya.
Pengujian UU Pangan ini diajukan sejumlah LSM seperti Indonesian Human Rights Commitee For Social Justice (IHCS), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Perserikatan Solidaritas Perempuan (SP) dan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP).

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/12/03/ng04vy-mk-tolak-gugatan-uu-pangan

Selasa, 02 Desember 2014

Produksi Gabah Ditargetkan 540.000 Ton 2015

Senin, 1 Desember 2014

Skalanews - Produksi gabah kering pungut di Kabupaten Lebak, Banten, ditargetkan mencapai 540.000 ton pada 2015 guna mendukung program kedaulatan pangan nasional.

"Kami akan bekerja keras untuk mengoptimalkan intensifikasi tanaman pangan juga perbaikan sarana dan prasarana pertanian untuk menggenjot produksi gabah," kata Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Lebak Dede Supriatna di Lebak, Minggu.

Ia mengatakan selama ini produksi pangan di Kabupaten Lebak relatif bagus karena tahun ke tahun terus meningkat.

Mereka petani sebagian besar sudah menerapkan teknologi pertanian, seperti pemakaian pupuk yang berimbang, jejar legowo dan menggunakan benih varietas unggul.

Namun, pihaknya kini petani Kabupaten Lebak optimal karena setahun hanya dua kali musim tanam.

Pemerintah Joko Widodo dan Wakilnya Jusuf Kalla akan mengalokasikan dana cukup besar untuk program kedaulatan pangan nasional.

Karena itu, pihaknya mempriritaskan pembangunan dan perbaikan sarana irigasi sehingga petani bsia tanam setahun tiga kali tanam.

"Kami yakin jika petani musim tanam tiga kali dipastikan produksi gabah meningkat," katanya.

Menurut dia, produksi gabah kering pungut (GKP) tahun 2015 Kabupaten Lebak ditargetkan sebanyak 540.000 ton, padahal sebelumnya hanya 480.000 ton.

Meningkatnya target produksi itu guna mendukung program kedaulatan pangan sehingga diharapkan terealisasi swasembada beras.

"Kami yakin produksi gabah di Lebak bisa melebihi target jika ditunjang dengan perbaikan dan pembangunan sarana irigasi itu," ujarnya.

Dede mengaku bahwa dirinya terbantu dengan adanya bantuan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk sektor pertanian pangan.

Bantuan bidang pertanian tersebut di antaranya rehabilitasi bendung dan jaringan irigasi desa, bantuan sarana pertanian, benih unggul, dan pompanisasi.

Selain itu, rehabilitasi jaringan irigasi tingkat usaha tani (Jitut) dan jaringan irigasi pedesaan (Jides).

Penyelenggaraan sekolah lapang pengelolaan terpadu (SLPT) bagi petani untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM).

Begitu pula pengembangan penerapan teknologi pertanian, diantaranya penggunaan pupuk berimbang, penanaman jejar legowo serta peningkatan mutu intensifikasi.

Pemerintah juga menggulirkan program Pengembangan Usaha Agrobisnis Pedesaan (PUAP) untuk gabungan kelompok tani (gapoktan).

"Kami berharap bantuan itu dapat mendongkrak produktivitas pangan nasional," katanya. (ant/mar)

http://skalanews.com/berita/detail/200928/Produksi-Gabah-Ditargetkan-540000-Ton-2015

Pertanian korporasi bisa picu krisis pangan

Senin, 1 Desember 2014

JAKARTA - Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis Suroto minta pemerintah segera menyusun paket kebijakan yang komprehensif untuk petani sebagai garda terdepan program kedaulatan dan ketahanan pangan di Tanah Air.

"Pemerintah harus memberikan motivasi kepada petani dengan kebijakan yang komprehensif. Reforma agraria, penciptaan lembaga keuangan pendukung, asuransi pertanian, dan subsidi langsung untuk petani dan nelayan," kata Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto di Jakarta.

Menurut dia, Indonesia harus mengembalikan kedaulatan dan keadilan pangan sehingga petani dan nelayan sebagai penghasil pangan tidak boleh teralieniasi dari makanan.

Oleh karena itu reformasi besar harus dilakukan dalam kebijakan pangan di Tanah Air. "Reformasi agraria harus jadi kuncinya karena kepemilikan lahan petani kita sudah semakin menyusut. Petani kita hanya mempunyai lahan 0,23 hektare per keluarga. Petani gurem atau mereka yang sudah tidak punya lahan juga mendominasi hingga 73 persen dari seluruh jumlah petani," katanya.

Di sisi lain ada seorang pengusaha bisa menguasai lahan hingga 5 juta hektare atau bahkan melebihi luas negara Korea Selatan.

"Hentikan mitos besar bahwa pertanian skala korporasi atau industri itu akan mampu memberikan makanan pada kita. Faktanya justru pertanian skala rumah tanggalah yang mampu mencegah terjadinya krisis pangan," katanya.

Ia menambahkan penelitian di berbagai negara membuktikan, petani-petani rumah tangga yang berusaha secara kolektiflah yang mampu menanggulangi krisis pangan.

Pihaknya juga memantau dalam beberapa waktu terakhir terjadi alih profesi petani secara perlahan namun pasti di mana dalam satu dekade ini mencapai 5 juta petani yang sebagian besar beralih menjadi buruh serabutan dan tukang ojek.

"Kita harus membuat kebijakan yang memihak pada petani. Kita harus merombak semuanya dan mengembalikan kedaulatanserta keadilan pangan kita," katanya.

Pihaknya mendukung niat pemerintah untuk membentuk bank pertanian yang harus mulai terefleksikan dalam RUU Perbankan yang mengarah pada visi fungsi bank sebagai agen pembangunan, bukan sebagai lembaga intermediasi saja.

"Kita selama ini berada dalam ketergantungan pangan yang akut dan bahkan di berbagai daerah dalam kondisi rawan pangan. Pemerintah baru harus berdiri di depan untuk memberantas mafia impor pangan ini," katanya.

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=342800:pertanina-korporasi-bisa-picu-krisis-pangan&catid=18:bisnis&Itemid=95