Paradigma dan Spirit Baru
Kerentanan pangan bagi masyarakat Indonesia sudah pada tahap bahaya. Kerentanan ini bukan saja karena gap antara produksi beras dan konsumsi beras, melainkan karena fundamen penyediaan pangan Indonesia memang sangat rapuh. Sementara Bulog selama ini hanya terbatas berfungsi sebagai perusahaan untuk menjaga ketersediaan dan harga komoditas beras, tetapi tidak bisa lagi mengendalikan harga pangan lain.
Pengebirian kewenangan Bulog di bidang pangan tersebut merupakan konsekuensi dari kesepakatan dengan IMF yang melarang Bulog mengontrol ketersediaan dan harga produk pangan strategis lain seperti daging, jagung, kedelai, susu, bawang merah, hortikultura, dan lain-lain. Bersamaan dengan itu Bulog pun diharuskan mengubah statusnya dari badan pemerintah non departemen. Dengan demikian Bulog tidak bisa melakukan proteksi terhadap masuknya pangan impor yang sebenarnya semua negara maju masih melakukannya.
Koordinasi dengan Kementerian Lain
Namun pemerintah baru-baru ini berusaha mengembangkan komoditas pangan yang boleh ditangani oleh Bulog, yang tidak terbatas pada beras, melainkan juga termasuk minyak goreng, gula, kedelai, dan jagung. Namun harus diingat implementasi fungsi Bulog tersebut dikhawatirkan akan mandul. Sewaktu-waktu akan tetap terjadi kelangkaan dan harga pangan yang fluktuatif, mengingat pemerintah masih banci menyikapi kebijakan IMF dan keberadaan para kartel pangan.
Pengembangan fungsi Bulog tersebut sebenarnya dapat terwujud jika sikap pemerintah tegas serta benar-benar ada sinergi dan koordinasi dengan kementerian lain seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Luar Negeri. Selain itu juga dengan Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Agraria, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Tenaga Kerja. Bahkan jika revitalisasi terhadap Bulog akan dilakukan, seharusnya Bulog juga diberi kewenangan untuk intervensi anggaran guna pemenuhan kebutuhan dan bahan baku.
Karena lemahnya sinergi dan koordinasi dengan kementerian lain, maka pelaksanaan tugas dan fungsi utama Bulog saja masih belum efektif. Apalagi jika Bulog ingin terlibat dalam mewujudkan pergeseran paradigma dari Ketahanan Pangan menjadi Kedaulatan Pangan sesuai dengan Nawacita yang telah dicanangkan oleh Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Padahal implementasi Kedaulatan Pangan merupakan satu kewajiban dengan telah diundangkannya UU Pangan No 18 Tahun 2012 tentang Prinsip-prinsip Kedaulatan Pangan.
Status Bulog Harus Diubah
Prinsip penting kedaulatan pangan adalah keberpihakan dan berikutnya adalah keberanian untuk melindungi atau memproteksi petani. Kepiawaian pemerintah dalam mensiasati konsensus dan konvesi internasional di bidang pangan yang selalu merugikan negara berkembang adalah kuncinya. Selama ini semua negara maju seperti Amerika, Eropa, Kanada, Jepang, Australia, dan Selandia Baru tetap masih menjalankan proteksi. Amerika sendiri pada tahun 2002 mengeluarkan subsidi (Farm Bill) tidak lebih dari 2.000 miliar dolar, sedangkan Masyarakat Ekonomi Eropa memberikan subsidi untuk pangan (gula dan daging) dengan kedok Penelitian dan Pengembangan.
Untuk mewujudkan ketahanan pangan serta tugasnya sebagai buffer stock dan stabilisasi harga yang determinatif, rentang kendali kebijakan Bulog juga harus diperluas. Banyaknya kementerian terkait dengan (penyediaan) pangan menuntut perubahan status kelembagaannya tidak lagi sebagai BUMN. Bulog harus kembali menjadi badan yang langsung di bawah Dewan Keamanan Pangan Nasional yang beranggotakan kementerian terkait pangan. Hal ini mengingat bahwa implementasi kebijakan kedaulatan pangan yang bersifat multi-sektoral seperti pencetakan sawah baru, penyediaan lahan pertanian menetap, pengendalian konversi lahan sawah, pembatasan impor, peningkatan insentif bagi tenaga pertanian, pengaturan usaha penyediaan benih, mengefektifkan subsidi produksi pangan, pendanaan sektor pertanian, pencegahan praktek monopoli di sektor pangan, pengendalian agri-business, pemberdayaan hak-hak petani, dan lain-lain.
Fungsi Bulog karenanya akan diperkuat oleh produk-produk kebijakan kolektif yang dikeluarkan oleh Dewan Ketahanan Pangan Nasional, sehingga kebijakan-kebijakan tersebut dapat menjadi instrumen strategis untuk mendorong dan menerapkan kebijakan struktural yang meliputi perwujudan kemandirian pangan, penghargaan atas hak hidup petani (agri-culture), perlindungan terhadap petani dan pertanian, subsidi pertanian pangan, dan reformasi agraria. Selain itu Bulog harus memiliki lembaga kajian sendiri untuk menemukan besaran anggaran pangan yang proporsional dan rasional terhadap PDB, sehingga Bulog dapat mencapai sasaran dengan terukur dan terencana. Saat ini berbagai hambatan telah menempatkan Bulog sebagai badan yang menjalankan “mission imposible”.
Langkah-langkah Strategis
Ke depan, pangan sebagai satu komoditas atau benda ekonomi, yang di lain pihak merupakan benda sosial dalam kontek hajat hidup orang banyak, perlu dikelola melalui kebijakan ekonomi fiskal yang mendasar dan komprehensif. Dengan demikian dibutuhkan stok dana dalam bentuk food fund yakni satu dana abadi yang akan menjamin ketersediaan dan kemantapan harga pangan. Dana tersebut tidak dialokasikan untuk kepentingan yang tidak terkait dengan pangan, tetapi justru hanya diperuntukkan bagi kelancaran dalam penyediaan pangan dan atau pertanian. Dana abadi atau food fund harus digunakan secara efektif dan terukur untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah (PR) dalam mewujudkan kedaulatan pangan.
Pekerjaan rumah terbesar agar kedaulatan pangan dan peran Bulog dapat terwujud adalah mengubah paradigma kebijakan makro ekonomi dan pertanian. Salah satunya adalah meyakini bahwa pertanian dapat menjadi fundamen dari kemajuan negara dan bangsa. Beberapa negara maju seperti Jerman, Cina, Australia, dan Selandia Baru yakin bahwa ketersediaan pangan dan pertanian yang paripurna telah menjadi pendorong (driving force) bagi kemajuan satu bangsa.
Sebaliknya terbukti bahwa krisis dan kelangkaan pangan dapat menciptakan chaos dan kejatuhan suatu rezim. Hal ini pernah terjadi di Aljazair, ketika Presiden Abdelazis Boutefika dipaksa turun dari kekuasaannya oleh aksi-aksi massa rakyat. Langkanya roti juga berakibat pada jatuhnya Presiden Mesir, Husni Mubarak.
Pemerintah juga perlu memperkuat diplomasi dan lobi internasional untuk memperjuangkan kedaulatan pangan dalam menghadapi pasar bebas dan kelicikan dari negara maju pada forum-forum internasional. Selanjutnya adalah menggagas berbagai trick fiskal dan teknis untuk melindungi produk dan pasar pangan para petani dalam negeri. Pergeseran paradigma dari ketahanan pangan menjadi kedaulatan pangan harus dipertegas, sehingga Indonesia yang memiliki potensi besar untuk swasembada dan sebagai produsen pangan harus secara logis meninggalkan kebijakan impor pangan tanpa tarif dan sangat liberal.
Mencegah Defisit Pangan
Sikap pemerintah untuk menyerahkan pangan kepada mekanisme pasar harus dievaluasi, karena pada prakteknya tidak ada pasar sempurna yang berlangsung dengan bebas. Karena itu negara melalui pemerintah harus hadir dalam memberikan proteksi dan pengawasan terhadap impor bahan pangan dari negara lain dengan mensiasati implementasi konvensi pasar bebas. Di lain pihak, pemerintah harus menyikapi dominasi kartel perusahaan asing yang merebak, mulai dari pengadaan benih, agri-bisnis, pupuk, pestisida, dan sarana produksi lain; agar tidak menjadi importer neto.
Pada tahun 1960-an negara berkembang masih menjadi eksportir pangan dan produk petanian strategis dengan surplus perdagangan meraih angka 7 miliar dolar. Tetapi 20 tahun kemudian terjadi penurunan, sehingga 30 tahun kemudian atau tahun 1990 negara berkembang telah menjadi pengimpor murni. Diramalkan defisit pangan pada tahun 2025 akan terjadi di beberapa negara Asia dan Afrika sebesar 127 juta ton pangan, sebaliknya surplus pangan luar biasa akan terjadi di Australia, Soviet, Amerika bagian Utara, dan sebagian Amerika Latin.
Dengan berlindung pada konvensi terkait pasar bebas pada saat terjadi krisis pangan pada tahun 2008, negara-negara tersebut dalam waktu 1 tahun meraup keuntungan 55-189 persen, pupuk 186-1200 persen, serta benih dan herbisida 21-45 persen. Paradigma ketahanan pangan pada tahun yang sama juga berhasil mempecundangi negara-negara berkembang, sehingga saat ini hanya 5 perusahaan multi nasional menguasai 90 persen perdagangan pangan, 6 perusahaan multi nasional menguasai 90 persen benih dan input pertanian termasuk nyaris 100 persen benih transgenik. Ini membuktikan bahwa paradigma dan sistem ketahanan pangan adalah bencana global yang telah menyingkirkan petani-petani kecil di negara berkembang.
HPP sebagai Instrumen Strategis
Etzioni (2006) mendefinisikan kedaulatan (pangan) sebagai tanggung jawab negara untuk melindungi rakyatnya (di bidang pangan) dari campur tangan pihak lain. Berbeda dengan paradigma ketahanan pangan, kedaulatan pangan tidak hanya mengenai ketersediaan stok pangan, tetapi adalah kesinambungannya, kemandiriannya terhadap produksi global dan harga pasar, serta kecukupan produksi nasional dan pertimbanganya atas daya beli masyarakat menengah ke bawah. Tetapi, baik ketahanan pangan maupun kedaulatan pangan, keduanya harus berangkat dari derajat kemampuan suatu negara dalam menerapkan prinsip-prinsip swasembada pangan.
Pada titik inilah Bulog dapat menggunakan kebijakannya sebagai instrumen guna merealisasikan swasembada pangan. Untuk itu sebaiknya lebih dahulu dilakukan audit terhadap sistem dan komponen pertanian pangan strategis. Komponen-komponen yang harus diaudit dan disesuaikan meliputi (1) Peraturan perundang-undangan, (2) Ketersediaan dan tingkat konversi untuk lahan pertanian pangan, (3) Sumber daya manusia yang mendukung, (4) Ketersediaan benih (lokal), (5) Proporsi subsidi pertanian terhadap PDB, (6) Ketergantungan dan kebijakan impor, (7) Kredit murah untuk petani, (8) Efektifitas reformasi agrarian, dan (9) Identifikasi terhadap sistem pertanian yang ada.
Kebijakan Bulog yang dapat menjadi instrumen strategis dan memiliki dampak mendalam terhadap swasembada pangan adalah memberikan tingkat harga pembelian pemerintah (HPP) yang layak yang menyisakan margin keuntungan yang mampu menstimulasi tumbuhnya sektor pertanian secara signifikan. Tingkat HPP harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga petani tetap bersedia menjual berasnya kepada pemerintah untuk mencukupi stok dan tidak ada alasan untuk melakukan impor pangan. Dengan margin keuntungan yang cukup, petani dapat membayar kewajiban-kewajiban domestik dan aktif dalam kelembagaan lokal yang berdampak positif terhadap pengembangan ekonomi lokal.***
Ir. S.
Indro Tjahyono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar