19 Oktober 2013
Bisnis.com, JAKARTA - Institute for Development of Economics dan Finance (INDEF) menilai pemerintah harus mengembalikan fungsi Badan Urusan Logistik (Bulog) seperti semula guna menanggulangi kartel bahan pangan.
Direktur INDEF Enny Sri Hartati mengatakan saat ini pasar tidak memiliki penengah antara produsen dengan konsumen dalam kebijakan penentuan harga.
"Kita butuh yang netral. Kalau pemain yang jadi wasit yang ada jadi kartel," katanya dalam Diskusi Tinjauan Historis dan Prilaku Kartel Pangan Strategis, Sabtu (19/10/2013). Hal tersebut, hanya dimungkinkan dilakukan oleh pemerintah karena merupakan regulator.
Menurutnya, Bulog seharusnya memiliki dua fungsi strategis yakni penyangga stok kebutuhan dalam negeri dan stabilisasi harga. "Kalau hanya memikirkan harga tanpa ada stok juga timpang," jelasnya.
Sejak berubahnya Bulog menjadi perusahaan umum, kata Enny, aktivitas Bulog tidak sejalan dengan namanya sehingga patut untuk dibubarkan.
Sementara itu, Direktur Centre for Agricultural Policy Studies Tito Pranolo mengatakan fungsi Bulog saat ini sudah berubah jauh.
"Harusnya Bulog itu merupakan badan negara yang menjadi eksekutor bukan business oriented," paparnya.
Dimas Novita Sari
Editor : Fatkhul Maskur
http://m.bisnis.com/industri/read/20131019/99/181835/minimalkan-kartel-pangan-indef-kembalikan-fungsi-bulog
Minggu, 20 Oktober 2013
Jumat, 18 Oktober 2013
Politisasi Swasembada
18 Oktober 2013
16 OKTOBER lalu kita kembali memperingati, Hari Pangan Sedunia (HPS). Kegiatan ini telah 33 kali diperingati, sejak ditetapkannya World Food Day melalui Resolusi PBB No 1/1979 di Roma. Aneka tema selalu dirumuskan FAO sebagai arahan peringatan HPS setiap tahunnya. Untuk 2013 temanya: "Sustainable Food Systems for Food Security and Nutrition", Sistem Pangan Berkelanjutan untuk Ketahanan Pangan dan Gizi.
Berdasarkan tema tersebut dan mengingat beberapa pertimbangan lokal, peringatan Nasional HPS mengambil tema: "Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan". Tentu sebuah tema yang relevan pada tingkat nasional, terlebih ketika mengingat keberadaan dua undang-undang paling relevan, yaitu UU 18/2012 tentang Pangan. Juga UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, yang memandatkan kemandirian pangan dan petani, mendampingi mandat kedaulatan.
Perihal lain yang mendukung adalah niscayanya potensi sumberdaya lokal Nusantara yang tidak bisa dibantah keunggulannya dalam mendukung keswasembadaan dan kemandirian pangan, KKP, khususnya untuk beberapa komoditas strategis. Luasnya daratan dan lautan, panjang pantai dari Sabang sampai Merauke, kekayaan plasma nuthfah, serta segala potensi alamiah yang dimilikinya, sesungguhnya adalah jaminan keunggulan komparatif yang hanya memerlukan pengelolaan sekedarnya untuk tidak menjadi salah urus.
Salah urus sistem pangan nasional sudah terlalu sering dilontarkan banyak pihak. Akibat salah urus, keunggulan komparatif yang dimiliki gagal dikelola sebagai penyangga pangan nasional, yang pada gilirannya semakin menjauhkan potensinya dalam mendukung keunggulan kompetitif. Bermain dalam pasar dalam negeri pun terseok, apalagi pasar dunia. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa biang salah urus itu adalah politisasi pangan.
Politisasi ini bisa kita saksikan dalam peringatan HPS setiap tahunnya di tanah air. Tema global dan tema nasional HPS boleh 33 kali berganti. Tetapi, apapun temanya, beberapa tahun mutakhir selalu saja dimanfaatkan sebagai ajang unjuk janji politis tentang KKP. Apapun temanya dalam HPS, politisasi swasembada adalah agenda utamanya.
Langkah pembijakan atau politisasi semakin nampak dalam beberapa tahun terakhir yang senantiasa diwarnai janji dan target palsu swasembada, 2014, untuk kedele, gula, daging sapi, jagung dan garam, sementara untuk beras ditargetkan surplus 10 juta ton. Disebut politisasi dan target palsu, karena semakin tegasnya salah urus dan inkonsistensi menuju KKP.
Untuk mengukur betapa politisnya target-target yang disebutkan beberapa fakta bisa disebutkan, antara lain: tidak jelasnya kegiatan produktif untuk mengambil alih pangsa pasar import; swasembada semata ditargetkan sebagai turunnya import sampai menjadi maksimal 10 persen; dukungan APBN yang minimal untuk KKP; kontroversi pura-pura sejumlah keputusan import yang selalu dimenangkan pro-import; semakin mahalnya sapi tiada kendali; dan tidak seorangpun pejabat teknis tahu dari mana angka target dirumuskan. Seperti angka 10 juta ton surplus beras misalnya, tak seorangpun pejabat teknis tahu dari mana berasal.
Kulminasi dari semuanya, pada hari ini, ketika 2014 sudah di depan mata dan target KKP enam komoditas strategis sudah pasti tidak tercapai, sebetulnya sudah tiada lagi ruang untuk politisasi KKP dalam peringatan nasional HPS 2013. Akan tetapi masih juga ditegaskan tema super politis: Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan. Tema ini terasa politis, tetapi powerless, semakin hambar dan terasa tidak berisi. Tanpa Greget.
Akankah politisasi tanpa greget dan bahkan telah menyentuh prosesi puncak yang disakralkan pada tingkat global, Peringatan HPS, di Republik Agraris Indonesia hanya menjadi sebuah ritual formalistik dengan aneka pemeran produksi yang tidak jelas, serta menghabiskan sejumlah anggaran penyelenggaraan hura-hura tidak berarti?
Seharusnya HPS bukan dimaknai sebagai Hari Politisasi Swasembada, tetapi dimaknai sebagai ajang perenungan untuk bersegera meluruskan langkah, menuju kiblat pembangunan yang dicita-citakan: KKP Indonesia.
(Penulis adalah Staf Pengajar TIP FTP-UGM, dan Ketua PBNU)
http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/2277/politisasi-swasembada.kr
16 OKTOBER lalu kita kembali memperingati, Hari Pangan Sedunia (HPS). Kegiatan ini telah 33 kali diperingati, sejak ditetapkannya World Food Day melalui Resolusi PBB No 1/1979 di Roma. Aneka tema selalu dirumuskan FAO sebagai arahan peringatan HPS setiap tahunnya. Untuk 2013 temanya: "Sustainable Food Systems for Food Security and Nutrition", Sistem Pangan Berkelanjutan untuk Ketahanan Pangan dan Gizi.
Berdasarkan tema tersebut dan mengingat beberapa pertimbangan lokal, peringatan Nasional HPS mengambil tema: "Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan". Tentu sebuah tema yang relevan pada tingkat nasional, terlebih ketika mengingat keberadaan dua undang-undang paling relevan, yaitu UU 18/2012 tentang Pangan. Juga UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, yang memandatkan kemandirian pangan dan petani, mendampingi mandat kedaulatan.
Perihal lain yang mendukung adalah niscayanya potensi sumberdaya lokal Nusantara yang tidak bisa dibantah keunggulannya dalam mendukung keswasembadaan dan kemandirian pangan, KKP, khususnya untuk beberapa komoditas strategis. Luasnya daratan dan lautan, panjang pantai dari Sabang sampai Merauke, kekayaan plasma nuthfah, serta segala potensi alamiah yang dimilikinya, sesungguhnya adalah jaminan keunggulan komparatif yang hanya memerlukan pengelolaan sekedarnya untuk tidak menjadi salah urus.
Salah urus sistem pangan nasional sudah terlalu sering dilontarkan banyak pihak. Akibat salah urus, keunggulan komparatif yang dimiliki gagal dikelola sebagai penyangga pangan nasional, yang pada gilirannya semakin menjauhkan potensinya dalam mendukung keunggulan kompetitif. Bermain dalam pasar dalam negeri pun terseok, apalagi pasar dunia. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa biang salah urus itu adalah politisasi pangan.
Politisasi ini bisa kita saksikan dalam peringatan HPS setiap tahunnya di tanah air. Tema global dan tema nasional HPS boleh 33 kali berganti. Tetapi, apapun temanya, beberapa tahun mutakhir selalu saja dimanfaatkan sebagai ajang unjuk janji politis tentang KKP. Apapun temanya dalam HPS, politisasi swasembada adalah agenda utamanya.
Langkah pembijakan atau politisasi semakin nampak dalam beberapa tahun terakhir yang senantiasa diwarnai janji dan target palsu swasembada, 2014, untuk kedele, gula, daging sapi, jagung dan garam, sementara untuk beras ditargetkan surplus 10 juta ton. Disebut politisasi dan target palsu, karena semakin tegasnya salah urus dan inkonsistensi menuju KKP.
Untuk mengukur betapa politisnya target-target yang disebutkan beberapa fakta bisa disebutkan, antara lain: tidak jelasnya kegiatan produktif untuk mengambil alih pangsa pasar import; swasembada semata ditargetkan sebagai turunnya import sampai menjadi maksimal 10 persen; dukungan APBN yang minimal untuk KKP; kontroversi pura-pura sejumlah keputusan import yang selalu dimenangkan pro-import; semakin mahalnya sapi tiada kendali; dan tidak seorangpun pejabat teknis tahu dari mana angka target dirumuskan. Seperti angka 10 juta ton surplus beras misalnya, tak seorangpun pejabat teknis tahu dari mana berasal.
Kulminasi dari semuanya, pada hari ini, ketika 2014 sudah di depan mata dan target KKP enam komoditas strategis sudah pasti tidak tercapai, sebetulnya sudah tiada lagi ruang untuk politisasi KKP dalam peringatan nasional HPS 2013. Akan tetapi masih juga ditegaskan tema super politis: Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan. Tema ini terasa politis, tetapi powerless, semakin hambar dan terasa tidak berisi. Tanpa Greget.
Akankah politisasi tanpa greget dan bahkan telah menyentuh prosesi puncak yang disakralkan pada tingkat global, Peringatan HPS, di Republik Agraris Indonesia hanya menjadi sebuah ritual formalistik dengan aneka pemeran produksi yang tidak jelas, serta menghabiskan sejumlah anggaran penyelenggaraan hura-hura tidak berarti?
Seharusnya HPS bukan dimaknai sebagai Hari Politisasi Swasembada, tetapi dimaknai sebagai ajang perenungan untuk bersegera meluruskan langkah, menuju kiblat pembangunan yang dicita-citakan: KKP Indonesia.
(Penulis adalah Staf Pengajar TIP FTP-UGM, dan Ketua PBNU)
http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/2277/politisasi-swasembada.kr
Optimalkan Pangan Tradisional
17 Oktober 2013
Harjoko Sangganagara; Dosen STIA Bagasasi, Doktor Administrasi UPI, Bandung
KORAN JAKARTA, 17 Oktober 2013
Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober sebaiknya dijadikan momentum untuk menata produksi pangan nasional dengan berbagai terobosan. Peringatan itu dimulai sejak Food and Agriculture Organization (FAO) menetapkan World Food Day melalui Resolusi PBB No 1/1979 di Roma, Italia. Sejak 1981, disepakati seluruh negara anggota FAO untuk memperingati HPS dengan berbagai aksi nyata terkait dengan masalah pangan.
Peringatan HPS di Indonesia tahun ini menekankan pentingnya kepedulian masyarakat terhadap penyediaan pangan yang cukup dan bergizi. Di samping itu, juga perlunya membentuk ketahanan pangan nasional yang berbasis sumber daya lokal.
Keanekaragaman pangan bisa menjadi katup pengaman krisis pangan dunia dengan substitusi pengganti gandum dari tanaman umbi-umbian yang jenisnya sangat banyak. Jika sukses, Indonesia tidak perlu terus-menerus tersandera masalah produk pangan impor. Pada saat ini, pangan tradisional menemukan momentum emas untuk unjuk gigi. Banyak orang merindukan pangan atau makanan tradisional. Kondisi tersebut mestinya dimanfaatkan untuk memperbaiki mutu dan kemasan makanan tradisional sehingga lebih adaptif dengan selera pasar.
Selama ini, industri makanan tradisional secara nyata telah memperkuat ketahanan pangan nasional serta berkontribusi yang berarti bagi ekonomi kerakyatan. Makanan tradisional juga mewarnai wisata kuliner yang menjadi pesona berbagai daerah. Sayangnya, produsen makanan tradisional masih sarat masalah, di antaranya kurangnya insentif dan pembinaan agar konsumen terlindungi.
Perhatian pemerintah daerah terhadap produsen makanan tradisional masih sebatas seremonial dan belum ada insentif yang berkelanjutan. Secara harfiah, pengertian tradisional adalah makanan, minuman, dan bahan campuran yang digunakan dan telah lama berkembang secara spesifik di daerah. Biasanya, makanan tradisional diolah dari resep yang sudah dikenal masyarakat lokal dengan bahan-bahan yang juga diperoleh dari sumber setempat.
Selama ini, usaha untuk menerapkan manajemen mutu bagi usaha makanan tradisional belum optimal sehingga kerap ditolak hanya karena alasan kotor. Penting membangkitkan kesadaran mutu dimulai dengan identifikasi selera konsumen, gagasan konsep produk, bahkan setelah pengiriman pada pembeli. Kesadaran membangun mutu termasuk pula mendengarkan harapan konsumen sehingga terciptanya interaksi dalam sistem manajemen mutu.
Dunia mulai diadang masalah pangan. Meski begitu, belum ada kebijakan luar biasa untuk mengantisipasi krisis pangan. Harusnya ada terobosan esensial, yakni membagikan berbagai macam benih tanaman pangan secara gratis kepada seluruh lapisan rakyat dalam jumlah yang cukup.
Terobosan ini juga untuk mengatasi kesenjangan produktivitas sebab produktivitas pertanian di negara maju dan negara berkembang sangat timpang. Pola pertanian di negara-negara maju memiliki efisiensi tinggi. Kapasitas produksi dan rasio output per tenaga kerja juga tinggi, sedangkan di negara-negara berkembang tidak efisien. Tingkat produktivitasnya sangat rendah sehingga hasil yang diperoleh acap kali tidak dapat memenuhi kebutuhan para petaninya sendiri. Maka, antara negara maju dan berkembang muncul kesenjangan produktivitas. Sejak tahun 2000, kesenjangan produktivitas tersebut berkisar 50 banding 1.
Program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K) yang selama ini dilakukan pemerintah mestinya menyangkut kebijakan untuk membagikan benih secara gratis kepada masyarakat. Apalagi, dana yang terkumpul dari Program GP3K cukup besar. Dari pihak BUMN saja, pada 2011/2012 bersedia mengucurkan hingga 1,5 triliun rupiah. Sebagian dana tersebut mestinya bisa dipakai untuk membangun infrastruktur memproduksi benih bermutu.
Farming
Untuk mengatasi krisis pangan, negeri ini jangan terlalu menggantungkan diri kepada megaproyek yang membutuhkan dana sangat besar, seperti rencana mendirikan BUMN pangan dan membuat food estate. Pembangunan megaproyek tersebut perlu waktu cukup lama dan belum tentu sukses. Sementara itu, kebutuhan rakyat tidak bisa menunggu. Apalagi pembangunan megaproyek bila tanpa penataan corporate farming yang baik justru akan gagal.
Bangsa hendaknya belajar berbagai aspek corporate farming dari negara Brasil yang telah sukses menjadi pengekspor produk pangan terkemuka. Brasil mengekspor kedelai sekitar 40 juta ton setiap tahun ke China. Teknologi pertanian di Brasil juga masih menjunjung tinggi kearifan organik dan lepas dari kebergantungan pada pupuk kimia serta obat-obatan pertanian sejenis insektisida. Brasil berhasil melintasi krisis kapitalisme global karena mampu mewujudkan tata kelola corporate farming sebaik-baiknya. Antara lain menjadikan lembaga koperasi pertanian berperan besar. Pemerintah Brasil juga telah membangun infrastruktur pertanian, pengairan, perhubungan, dan lain-lain guna menunjang kebutuhan corporate farming.
Dalam mengantisipasi krisis pangan, ada faktor penting yang tidak boleh diabaikan seperti budaya dan usaha pemuliaan benih tanaman. Sayang, budaya dan usaha itu kini semakin tergilas kebijakan impor benih tanaman pangan dari luar negeri. Usaha pemuliaan dan produksi benih mestinya digenjot, mengingat banyak lahan kritis dan terbengkalai. Pekarangan rakyat mestinya bisa menjadi lumbung pangan jika ada cukup benih. Hanya, maukah pemerintah menyediakan benih unggul.
Sebagai negara agraris, Indonesia seharusnya maju dalam rekayasa perbenihan sehingga pemerintah mampu menyediakan benih unggul secara gratis kepada rakyat luas, setidaknya dengan harga murah. Dengan langkah itu, program ketahanan pangan keluarga akan terwujud. Sayangnya, hingga kini, benih belum menjadi prioritas utama. Buktinya, hingga kini, Indonesia masih sangat bergantung pada impor seperti padi hibrida dari China.
Sudah waktunya pemerintah daerah menggalakkan program optimalisasi atau pemanfaatan lahan pekarangan untuk meningkatkan gizi serta memperkuat ketahanan pangan keluarga. Masih banyak pekarangan rumah rakyat yang dibiarkan kosong karena kesulitan benih tanaman pangan. Dengan tersedianya aneka benih yang dibagikan secara gratis kepada rakyat maka setiap jengkal pekarangan akan produktif.
Pentingnya menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa perkara benih sebenarnya bukan hanya urusan lembaga riset pemerintah atau perguruan tinggi, masyarakat harus pula dilibatkan secara aktif. Tata kelola dan program pemuliaan benih masih memprihatinkan. Akibatnya, ketersediaan benih unggul secara nasional sering kedodoran pada musim tanam.
Kondisinya semakin runyam karena kini banyak balai benih milik pemerintah tidak berfungsi secara normal karena salah urus. Mestinya beberapa balai benih yang tersebar di daerah, seperti Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, bisa menjadi solusi pengadaan benih unggul. Hasilnya disebarkan kepada masyarakat.
Namun kenyataannya, balai semacam itu kurang produktif. Mestinya ada insentif dan injeksi permodalan untuk investasi di industri perbenihan. Seperti di Brasil, dari hulu hingga hilir industri benih diberi insentif besar secara kontinu. Apalagi kemajuan teknologi benih transgenik berkembang pesat. Sementara itu, usaha benih secara konvensional berjalan lambat karena biaya produksi tinggi. ●
http://budisansblog.blogspot.com/2013/10/optimalkan-pangan-tradisional.html
Harjoko Sangganagara; Dosen STIA Bagasasi, Doktor Administrasi UPI, Bandung
KORAN JAKARTA, 17 Oktober 2013
Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober sebaiknya dijadikan momentum untuk menata produksi pangan nasional dengan berbagai terobosan. Peringatan itu dimulai sejak Food and Agriculture Organization (FAO) menetapkan World Food Day melalui Resolusi PBB No 1/1979 di Roma, Italia. Sejak 1981, disepakati seluruh negara anggota FAO untuk memperingati HPS dengan berbagai aksi nyata terkait dengan masalah pangan.
Peringatan HPS di Indonesia tahun ini menekankan pentingnya kepedulian masyarakat terhadap penyediaan pangan yang cukup dan bergizi. Di samping itu, juga perlunya membentuk ketahanan pangan nasional yang berbasis sumber daya lokal.
Keanekaragaman pangan bisa menjadi katup pengaman krisis pangan dunia dengan substitusi pengganti gandum dari tanaman umbi-umbian yang jenisnya sangat banyak. Jika sukses, Indonesia tidak perlu terus-menerus tersandera masalah produk pangan impor. Pada saat ini, pangan tradisional menemukan momentum emas untuk unjuk gigi. Banyak orang merindukan pangan atau makanan tradisional. Kondisi tersebut mestinya dimanfaatkan untuk memperbaiki mutu dan kemasan makanan tradisional sehingga lebih adaptif dengan selera pasar.
Selama ini, industri makanan tradisional secara nyata telah memperkuat ketahanan pangan nasional serta berkontribusi yang berarti bagi ekonomi kerakyatan. Makanan tradisional juga mewarnai wisata kuliner yang menjadi pesona berbagai daerah. Sayangnya, produsen makanan tradisional masih sarat masalah, di antaranya kurangnya insentif dan pembinaan agar konsumen terlindungi.
Perhatian pemerintah daerah terhadap produsen makanan tradisional masih sebatas seremonial dan belum ada insentif yang berkelanjutan. Secara harfiah, pengertian tradisional adalah makanan, minuman, dan bahan campuran yang digunakan dan telah lama berkembang secara spesifik di daerah. Biasanya, makanan tradisional diolah dari resep yang sudah dikenal masyarakat lokal dengan bahan-bahan yang juga diperoleh dari sumber setempat.
Selama ini, usaha untuk menerapkan manajemen mutu bagi usaha makanan tradisional belum optimal sehingga kerap ditolak hanya karena alasan kotor. Penting membangkitkan kesadaran mutu dimulai dengan identifikasi selera konsumen, gagasan konsep produk, bahkan setelah pengiriman pada pembeli. Kesadaran membangun mutu termasuk pula mendengarkan harapan konsumen sehingga terciptanya interaksi dalam sistem manajemen mutu.
Dunia mulai diadang masalah pangan. Meski begitu, belum ada kebijakan luar biasa untuk mengantisipasi krisis pangan. Harusnya ada terobosan esensial, yakni membagikan berbagai macam benih tanaman pangan secara gratis kepada seluruh lapisan rakyat dalam jumlah yang cukup.
Terobosan ini juga untuk mengatasi kesenjangan produktivitas sebab produktivitas pertanian di negara maju dan negara berkembang sangat timpang. Pola pertanian di negara-negara maju memiliki efisiensi tinggi. Kapasitas produksi dan rasio output per tenaga kerja juga tinggi, sedangkan di negara-negara berkembang tidak efisien. Tingkat produktivitasnya sangat rendah sehingga hasil yang diperoleh acap kali tidak dapat memenuhi kebutuhan para petaninya sendiri. Maka, antara negara maju dan berkembang muncul kesenjangan produktivitas. Sejak tahun 2000, kesenjangan produktivitas tersebut berkisar 50 banding 1.
Program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K) yang selama ini dilakukan pemerintah mestinya menyangkut kebijakan untuk membagikan benih secara gratis kepada masyarakat. Apalagi, dana yang terkumpul dari Program GP3K cukup besar. Dari pihak BUMN saja, pada 2011/2012 bersedia mengucurkan hingga 1,5 triliun rupiah. Sebagian dana tersebut mestinya bisa dipakai untuk membangun infrastruktur memproduksi benih bermutu.
Farming
Untuk mengatasi krisis pangan, negeri ini jangan terlalu menggantungkan diri kepada megaproyek yang membutuhkan dana sangat besar, seperti rencana mendirikan BUMN pangan dan membuat food estate. Pembangunan megaproyek tersebut perlu waktu cukup lama dan belum tentu sukses. Sementara itu, kebutuhan rakyat tidak bisa menunggu. Apalagi pembangunan megaproyek bila tanpa penataan corporate farming yang baik justru akan gagal.
Bangsa hendaknya belajar berbagai aspek corporate farming dari negara Brasil yang telah sukses menjadi pengekspor produk pangan terkemuka. Brasil mengekspor kedelai sekitar 40 juta ton setiap tahun ke China. Teknologi pertanian di Brasil juga masih menjunjung tinggi kearifan organik dan lepas dari kebergantungan pada pupuk kimia serta obat-obatan pertanian sejenis insektisida. Brasil berhasil melintasi krisis kapitalisme global karena mampu mewujudkan tata kelola corporate farming sebaik-baiknya. Antara lain menjadikan lembaga koperasi pertanian berperan besar. Pemerintah Brasil juga telah membangun infrastruktur pertanian, pengairan, perhubungan, dan lain-lain guna menunjang kebutuhan corporate farming.
Dalam mengantisipasi krisis pangan, ada faktor penting yang tidak boleh diabaikan seperti budaya dan usaha pemuliaan benih tanaman. Sayang, budaya dan usaha itu kini semakin tergilas kebijakan impor benih tanaman pangan dari luar negeri. Usaha pemuliaan dan produksi benih mestinya digenjot, mengingat banyak lahan kritis dan terbengkalai. Pekarangan rakyat mestinya bisa menjadi lumbung pangan jika ada cukup benih. Hanya, maukah pemerintah menyediakan benih unggul.
Sebagai negara agraris, Indonesia seharusnya maju dalam rekayasa perbenihan sehingga pemerintah mampu menyediakan benih unggul secara gratis kepada rakyat luas, setidaknya dengan harga murah. Dengan langkah itu, program ketahanan pangan keluarga akan terwujud. Sayangnya, hingga kini, benih belum menjadi prioritas utama. Buktinya, hingga kini, Indonesia masih sangat bergantung pada impor seperti padi hibrida dari China.
Sudah waktunya pemerintah daerah menggalakkan program optimalisasi atau pemanfaatan lahan pekarangan untuk meningkatkan gizi serta memperkuat ketahanan pangan keluarga. Masih banyak pekarangan rumah rakyat yang dibiarkan kosong karena kesulitan benih tanaman pangan. Dengan tersedianya aneka benih yang dibagikan secara gratis kepada rakyat maka setiap jengkal pekarangan akan produktif.
Pentingnya menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa perkara benih sebenarnya bukan hanya urusan lembaga riset pemerintah atau perguruan tinggi, masyarakat harus pula dilibatkan secara aktif. Tata kelola dan program pemuliaan benih masih memprihatinkan. Akibatnya, ketersediaan benih unggul secara nasional sering kedodoran pada musim tanam.
Kondisinya semakin runyam karena kini banyak balai benih milik pemerintah tidak berfungsi secara normal karena salah urus. Mestinya beberapa balai benih yang tersebar di daerah, seperti Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, bisa menjadi solusi pengadaan benih unggul. Hasilnya disebarkan kepada masyarakat.
Namun kenyataannya, balai semacam itu kurang produktif. Mestinya ada insentif dan injeksi permodalan untuk investasi di industri perbenihan. Seperti di Brasil, dari hulu hingga hilir industri benih diberi insentif besar secara kontinu. Apalagi kemajuan teknologi benih transgenik berkembang pesat. Sementara itu, usaha benih secara konvensional berjalan lambat karena biaya produksi tinggi. ●
http://budisansblog.blogspot.com/2013/10/optimalkan-pangan-tradisional.html
Kamis, 17 Oktober 2013
Pemuda Taktakan Kembangkan Pertanian Berbasis Masyarakat
17 Oktober 2013
Kabar Taktakan_BANTEN- Istilah pertanian tidak lagi menarik bagi generasi muda, nampaknya tidak lagi berlaku bagi para pemuda di Kelurahan Cilowong, Kecamatan Taktakan, Kota Serang, Banten. Pasalnya, generasi muda Taktakan berhasil mempelopori pembangunan pertanian yang berbasis masyarakat.
“Kami terus mencoba menumbuhkan kembali semangat bertani bagi kaum muda, agar mereka tidak berbondong-bondong menjadi kaum urban di perkotaan,” ujar Koordinator Umum Petani Muda Taktakan, Muhdi, kepada kabartaktakan.blogspot.com, Rabu (16/10/2013). 8809
Sekarang ini, lanjutnya, tinggal bagaimana komitmen politik pemerintah saja. Sebab, animo generasi muda untuk kembali ke pedesaan dan membangun pertanian yang berbasis masyarakat sudah mulai tumbuh. “Terlebih hari ini Rabu 16 Oktober 2013 adalah Hari Pangan Sedunia. Ini saat yang tepat untuk merubah paradigma pangan Indonesia, agar tidak selalu menyandarkan ketahanan pangan pada pangan impor,” tegasnya.
Hal senada juga diungkapkan Koordinator Lapangan Petani Muda Taktakan, Iwan. “Fenomena urbanisasi harus dipangkas sejak dini. Untuk apa generasi muda memperebutkan lapangan pekerjaan yang terbatas di perkotaan, sementara lapangan pekerjaan pada sektor pertanian dipinggiran kota dan perdesaan masih terbuka lebar,” tegasnya.
Sementara Penyuluh Pertanian Kecamatan Taktakan, Nasrudin,Sp mengaku bangga melihat aksi nyata generasi muda Taktakan. “Generasi-generasi muda seperti inilah yang menjadi fokus perhatian kami untuk terus dirangsang. Tentunya dengan dibekali ilmu dan tekhnologi pertanian yang memadai,” tandasnya. (Redaksi)*
http://kabartaktakan.blogspot.com/2013/10/pemuda-taktakan-kembangkan-pertanian_17.html
Kabar Taktakan_BANTEN- Istilah pertanian tidak lagi menarik bagi generasi muda, nampaknya tidak lagi berlaku bagi para pemuda di Kelurahan Cilowong, Kecamatan Taktakan, Kota Serang, Banten. Pasalnya, generasi muda Taktakan berhasil mempelopori pembangunan pertanian yang berbasis masyarakat.
“Kami terus mencoba menumbuhkan kembali semangat bertani bagi kaum muda, agar mereka tidak berbondong-bondong menjadi kaum urban di perkotaan,” ujar Koordinator Umum Petani Muda Taktakan, Muhdi, kepada kabartaktakan.blogspot.com, Rabu (16/10/2013). 8809
Sekarang ini, lanjutnya, tinggal bagaimana komitmen politik pemerintah saja. Sebab, animo generasi muda untuk kembali ke pedesaan dan membangun pertanian yang berbasis masyarakat sudah mulai tumbuh. “Terlebih hari ini Rabu 16 Oktober 2013 adalah Hari Pangan Sedunia. Ini saat yang tepat untuk merubah paradigma pangan Indonesia, agar tidak selalu menyandarkan ketahanan pangan pada pangan impor,” tegasnya.
Hal senada juga diungkapkan Koordinator Lapangan Petani Muda Taktakan, Iwan. “Fenomena urbanisasi harus dipangkas sejak dini. Untuk apa generasi muda memperebutkan lapangan pekerjaan yang terbatas di perkotaan, sementara lapangan pekerjaan pada sektor pertanian dipinggiran kota dan perdesaan masih terbuka lebar,” tegasnya.
Sementara Penyuluh Pertanian Kecamatan Taktakan, Nasrudin,Sp mengaku bangga melihat aksi nyata generasi muda Taktakan. “Generasi-generasi muda seperti inilah yang menjadi fokus perhatian kami untuk terus dirangsang. Tentunya dengan dibekali ilmu dan tekhnologi pertanian yang memadai,” tandasnya. (Redaksi)*
http://kabartaktakan.blogspot.com/2013/10/pemuda-taktakan-kembangkan-pertanian_17.html
Rabu, 16 Oktober 2013
Ketahanan Pangan Berkelanjutan
16 Oktober 2013
Lebih dari itu, program revitalisasi pertanian yang telah dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa tahun lalu tidak membawa hasil optimal dan hanya menjadi utopia jika tidak diikuti dengan reformasi agraria secara struktural persoalan pertanahan.
Setiap tanggal 16 Oktober, masyarakat memperingati Hari Pangan Sedunia (World Food Day/WFD). Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menetapkan tema internasional peringatan WFD ke-33 tahun ini "Sustainable Food Systems for Food Security and Nutrition".
Adapun tema nasional yang ditetapkan pemerintah adalah "Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan". Berbicara tentang pangan sama berbicara hidup atau mati suatu bangsa. Oleh karena itu, kemandirian dan kedaulatan pangan memiliki nilai strategis bagi kejayaan suatu bangsa. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa negara yang ketahanan pangannya rapuh akan gawat pula berbagai sendi kehidupan lainnya, seperti sosial, ekonomi, politik, serta pemerintahan.
Lebih dari itu, menurut FAO, negara berpenduduk lebih dari 100 juta jiwa seperti Indonesia tidak dapat membuat rakyatnya sejahtera jika kebutuhan pangan mereka selalu diimpor. Kebiasaan panen di pelabuhan (baca: impor) sangat tidak sesuai dengan semangat kedaulatan pangan dan tunduk pada keputusan politik negara lain. Apalagi dalam situasi dunia yang tidak menentu seperti sekarang, semua negara cenderung mengutamakan domestic security.
Kebiasaan impor pangan yang menafi kan kedaulatan pangan dalam negeri akan mengakibatkan kebergantungan pangan. Dalam intensitas yang tinggi, kebiasaan ini dapat menyeret Indonesia lebih dalam jebakan pangan (food trap). Somalia merupakan salah satu contoh kasus paling anyar. Negara di tanduk Afrika itu kini dirundung bencana kelaparan akut karena terlalu jauh masuk jebakan pangan.
Defisit
Selama ini, dijumpai banyak ironi negara agraris besar bernama Indonesia tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan domestik. Sumber daya alam melimpah, tetapi defi sit neraca perdagangan komoditas pertanian sangat besar. Ini menjadi sangat menyedihkan.
Betapa tidak, hanya kurang dari enam tahun meningkat 200 kali lipat. Data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) tentang neraca perdagangan komoditas pertanian Indonesia menyebutkan bahwa pada 2006 mengalami defi sit 28,03 juta dollar AS. Angka nominal defi sit neraca perdagangan tersebut membengkak menjadi 5,509 miliar dollar AS pada 2011.
Kerawanan pangan seperti ini tentu sangat gawat. Apalagi saat ini Indonesia setidaknya menghadapi sejumlah tantangan pangan, di antaranya pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat. Jumlah penduduk kini sekitar 237 juta. Tahun 2015 diprediksi menjadi 247 juta.
Konsekuensi pertambahan jumlah penduduk yang semakin berlipat ini membuat kebutuhan pangan juga makin membesar. Fenomena pemanasan global (global warming) yang memicu perubahan iklim telah berdampak pada banyak sistem fi sik dan biologis alam yang ujung-ujungnya akan menyebabkan instabilitas pasokan bahan pangan. Secara umum, kondisi itu juga akan berpengaruh signifi kan pada penurunan produksi pangan. Ketatnya kompetisi penggunaan lahan dan air ditandai dengan masifnya konversi tanah subur pertanian.
Hingga 2004 , telah diajukan permohonan alih fungsi lahan seluas 3 juta hektare. Ditinjau dari ketahanan pangan nasional, pemilikan lahan yang semakin sempit merupakan bahasa lain dari hilangnya basis produksi terpenting yang berdampak permanen pada pangan.
Mulai saat ini, Indonesia makin terintegrasi dengan pasar global sehingga geliat perdagangan komoditas pangan dunia akan langsung berimbas pada pasar domestik. Gonjang-ganjing harga komoditas kedelai di pasar domestik beberapa waktu terakhir menjadi contoh paling aktual. Kegagalan produksi kedelai di Amerika akibat bencana kekeringan serta melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS membuat harga kedelai dalam negeri meroket.
Upaya
Berbagai upaya harus segera ditempuh, antara lain dengan membatasi angka kelahiran melalui revitalisasi program keluarga berencana. Saat ini, angka fertilitas nasional 2,6 persen dan pertumbuhan penduduk 1,3 persen per tahun. Pertumbuhan penduduk seimbang hanya dapat tercapai jika angkanya kurang dari 0,5 persen. Kondisi tersebut hanya bisa diwujudkan apabila angka fertilitas nasional berhasil diturunkan dari 2,6 menjadi 2,0.
Terkait dengan fenomena perubahan iklim, perlu disusun kebijakan yang komprehensif untuk menanggulangi semua sektor kehidupan, mulai dari sektor energi, transportasi, gedung, industri, pertanian, kehutanan, hingga manajemen limbah. Inovasi teknologi pertanian sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan produksi pangan. Perlu diinovasikan varietas benih yang, selain berproduksi tinggi, mampu beradaptasi dengan baik pada tanah dan iklim suboptimal, utamanya kekeringan, genangan tinggi, dan salinitas tinggi.
Saatnya lembaga-lembaga penelitian pertanian memanfaatkan teknologi transgenik "genetically modifi ed organism" untuk mendapat benih unggul yang sangat berpengaruh pada peningkatan produksi. Upaya berikutnya mencegah konversi lahan subur seminimal mungkin. Antara lain dengan pemberian insentif yang memadai bagi kepemilikan sawah berupa keringanan pajak serta jaminan pendapatan melalui harga pembelian pemerintah yang memadai terhadap komoditas yang dihasilkan.
Sebagai contoh, untuk menggairahkan petani menanam kedelai, pemerintah harus konsisten menjaga harga pembelian pemerintah kedelai dari petani sebesar 7.000 rupiah per kilogram dan menjual kepada perajin sebesar 7.450 per kilogram. Pemerintah juga harus membantu legalisasi tanah-tanah petani dalam bentuk sertifi kasi massal guna kepastian hukum atas aset mereka. Hernando de Soto (2001) menegaskan pentingnya aset bagi pengentasan kemiskinan. Kelemahan negara-negara berkembang, hak atas pemilikan sumber daya tidak terdokumentasi dengan baik sehingga menjadi "aset mati" yang tidak dapat dikonversi menjadi modal.
Di negara-negara maju, aset dapat dikonversi menjadi modal untuk meningkatkan produktivitas karena kepemilikannya terjamin. Lebih dari itu, program revitalisasi pertanian yang telah dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa tahun lalu tidak membawa hasil optimal dan hanya menjadi utopia jika tidak diikuti dengan reformasi agraria secara struktural persoalan pertanahan. Pemerintah juga harus menjamin perbaikan sarana infrastruktur dan penyediaan sarana produksi yang memadai, termasuk pembiayaan usaha petani.
Sungguh ironis, meski menjadi pilar pembangunan, pertumbuhan kredit sektor pertanian sangat jauh tertinggal dari sektor ekonomi lainnya. Data Bank Indonesia per April 2013, total portofolio kredit bank umum sektor pertanian secara luas hanya 5,2 persen dari seluruh penyaluran kredit. Untuk melindungi pasar domestik, perlu segera diciptakan instrumen yang mampu berperan sebagai isolator terhadap pasar global. Salah satu penyebab gonjang-ganjing harga beberapa komoditas pertanian belakangan ini adalah tiadanya instrumen tersebut. Pasar domestik menjadi sangat volatile saat terjadi turbulensi harga di pasar global.
Penulis adalah lulusan Teknologi Industri Pertanian IPB, Magister Manajemen Unsoed.
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/131156
Lebih dari itu, program revitalisasi pertanian yang telah dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa tahun lalu tidak membawa hasil optimal dan hanya menjadi utopia jika tidak diikuti dengan reformasi agraria secara struktural persoalan pertanahan.
Setiap tanggal 16 Oktober, masyarakat memperingati Hari Pangan Sedunia (World Food Day/WFD). Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menetapkan tema internasional peringatan WFD ke-33 tahun ini "Sustainable Food Systems for Food Security and Nutrition".
Adapun tema nasional yang ditetapkan pemerintah adalah "Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan". Berbicara tentang pangan sama berbicara hidup atau mati suatu bangsa. Oleh karena itu, kemandirian dan kedaulatan pangan memiliki nilai strategis bagi kejayaan suatu bangsa. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa negara yang ketahanan pangannya rapuh akan gawat pula berbagai sendi kehidupan lainnya, seperti sosial, ekonomi, politik, serta pemerintahan.
Lebih dari itu, menurut FAO, negara berpenduduk lebih dari 100 juta jiwa seperti Indonesia tidak dapat membuat rakyatnya sejahtera jika kebutuhan pangan mereka selalu diimpor. Kebiasaan panen di pelabuhan (baca: impor) sangat tidak sesuai dengan semangat kedaulatan pangan dan tunduk pada keputusan politik negara lain. Apalagi dalam situasi dunia yang tidak menentu seperti sekarang, semua negara cenderung mengutamakan domestic security.
Kebiasaan impor pangan yang menafi kan kedaulatan pangan dalam negeri akan mengakibatkan kebergantungan pangan. Dalam intensitas yang tinggi, kebiasaan ini dapat menyeret Indonesia lebih dalam jebakan pangan (food trap). Somalia merupakan salah satu contoh kasus paling anyar. Negara di tanduk Afrika itu kini dirundung bencana kelaparan akut karena terlalu jauh masuk jebakan pangan.
Defisit
Selama ini, dijumpai banyak ironi negara agraris besar bernama Indonesia tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan domestik. Sumber daya alam melimpah, tetapi defi sit neraca perdagangan komoditas pertanian sangat besar. Ini menjadi sangat menyedihkan.
Betapa tidak, hanya kurang dari enam tahun meningkat 200 kali lipat. Data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) tentang neraca perdagangan komoditas pertanian Indonesia menyebutkan bahwa pada 2006 mengalami defi sit 28,03 juta dollar AS. Angka nominal defi sit neraca perdagangan tersebut membengkak menjadi 5,509 miliar dollar AS pada 2011.
Kerawanan pangan seperti ini tentu sangat gawat. Apalagi saat ini Indonesia setidaknya menghadapi sejumlah tantangan pangan, di antaranya pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat. Jumlah penduduk kini sekitar 237 juta. Tahun 2015 diprediksi menjadi 247 juta.
Konsekuensi pertambahan jumlah penduduk yang semakin berlipat ini membuat kebutuhan pangan juga makin membesar. Fenomena pemanasan global (global warming) yang memicu perubahan iklim telah berdampak pada banyak sistem fi sik dan biologis alam yang ujung-ujungnya akan menyebabkan instabilitas pasokan bahan pangan. Secara umum, kondisi itu juga akan berpengaruh signifi kan pada penurunan produksi pangan. Ketatnya kompetisi penggunaan lahan dan air ditandai dengan masifnya konversi tanah subur pertanian.
Hingga 2004 , telah diajukan permohonan alih fungsi lahan seluas 3 juta hektare. Ditinjau dari ketahanan pangan nasional, pemilikan lahan yang semakin sempit merupakan bahasa lain dari hilangnya basis produksi terpenting yang berdampak permanen pada pangan.
Mulai saat ini, Indonesia makin terintegrasi dengan pasar global sehingga geliat perdagangan komoditas pangan dunia akan langsung berimbas pada pasar domestik. Gonjang-ganjing harga komoditas kedelai di pasar domestik beberapa waktu terakhir menjadi contoh paling aktual. Kegagalan produksi kedelai di Amerika akibat bencana kekeringan serta melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS membuat harga kedelai dalam negeri meroket.
Upaya
Berbagai upaya harus segera ditempuh, antara lain dengan membatasi angka kelahiran melalui revitalisasi program keluarga berencana. Saat ini, angka fertilitas nasional 2,6 persen dan pertumbuhan penduduk 1,3 persen per tahun. Pertumbuhan penduduk seimbang hanya dapat tercapai jika angkanya kurang dari 0,5 persen. Kondisi tersebut hanya bisa diwujudkan apabila angka fertilitas nasional berhasil diturunkan dari 2,6 menjadi 2,0.
Terkait dengan fenomena perubahan iklim, perlu disusun kebijakan yang komprehensif untuk menanggulangi semua sektor kehidupan, mulai dari sektor energi, transportasi, gedung, industri, pertanian, kehutanan, hingga manajemen limbah. Inovasi teknologi pertanian sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan produksi pangan. Perlu diinovasikan varietas benih yang, selain berproduksi tinggi, mampu beradaptasi dengan baik pada tanah dan iklim suboptimal, utamanya kekeringan, genangan tinggi, dan salinitas tinggi.
Saatnya lembaga-lembaga penelitian pertanian memanfaatkan teknologi transgenik "genetically modifi ed organism" untuk mendapat benih unggul yang sangat berpengaruh pada peningkatan produksi. Upaya berikutnya mencegah konversi lahan subur seminimal mungkin. Antara lain dengan pemberian insentif yang memadai bagi kepemilikan sawah berupa keringanan pajak serta jaminan pendapatan melalui harga pembelian pemerintah yang memadai terhadap komoditas yang dihasilkan.
Sebagai contoh, untuk menggairahkan petani menanam kedelai, pemerintah harus konsisten menjaga harga pembelian pemerintah kedelai dari petani sebesar 7.000 rupiah per kilogram dan menjual kepada perajin sebesar 7.450 per kilogram. Pemerintah juga harus membantu legalisasi tanah-tanah petani dalam bentuk sertifi kasi massal guna kepastian hukum atas aset mereka. Hernando de Soto (2001) menegaskan pentingnya aset bagi pengentasan kemiskinan. Kelemahan negara-negara berkembang, hak atas pemilikan sumber daya tidak terdokumentasi dengan baik sehingga menjadi "aset mati" yang tidak dapat dikonversi menjadi modal.
Di negara-negara maju, aset dapat dikonversi menjadi modal untuk meningkatkan produktivitas karena kepemilikannya terjamin. Lebih dari itu, program revitalisasi pertanian yang telah dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa tahun lalu tidak membawa hasil optimal dan hanya menjadi utopia jika tidak diikuti dengan reformasi agraria secara struktural persoalan pertanahan. Pemerintah juga harus menjamin perbaikan sarana infrastruktur dan penyediaan sarana produksi yang memadai, termasuk pembiayaan usaha petani.
Sungguh ironis, meski menjadi pilar pembangunan, pertumbuhan kredit sektor pertanian sangat jauh tertinggal dari sektor ekonomi lainnya. Data Bank Indonesia per April 2013, total portofolio kredit bank umum sektor pertanian secara luas hanya 5,2 persen dari seluruh penyaluran kredit. Untuk melindungi pasar domestik, perlu segera diciptakan instrumen yang mampu berperan sebagai isolator terhadap pasar global. Salah satu penyebab gonjang-ganjing harga beberapa komoditas pertanian belakangan ini adalah tiadanya instrumen tersebut. Pasar domestik menjadi sangat volatile saat terjadi turbulensi harga di pasar global.
Penulis adalah lulusan Teknologi Industri Pertanian IPB, Magister Manajemen Unsoed.
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/131156
Pangan dan Kemiskinan
16 Oktober 2013
TERASA selalu aktual membicarakan isu tentang kesenjangan pangan dan kemiskinan. Dua topik ini selalu menjadi fokus pembahasan berbagai pertemuan, dari skala lokal hingga skala dunia.
Potret tata kehidupan dunia saat ini ditandai oleh kondisi paradoksal, kesenjangan Utara-Selatan, antara penduduk kaya dan miskin. Kondisi di negara maju melimpah-ruah, namun di negara berkembang muncul kelangkaan dan kemiskinan.
Data terbaru Badan Pangan dan Pertanian Dunia pada awal Oktober 2013 menyebutkan saat ini tak kurang dari 842 juta orang, atau 1 di antara 8 penduduk, menderita kelaparan kronis. Mereka tidak mendapat cukup makanan untuk menjalani hidup aktif dan sehat. Sebagian besar tinggal di negara berkembang, sementara 15,7 juta tinggal di negara maju.
Lingkaran kemiskinan membelit tak kurang dari 1,2 miliar penduduk dunia. Robert Chambers menyebut kelompok ini terseret dalam jebakan kekurangan (deprivation trap). Jebakan kekurangan tersebut meliputi lima ketidakberuntungan, yaitu kemiskinan, kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan dan ketidakberdayaan (Robert Chambers, 1983 : 111).
Dua ketidakberuntungan terakhir, kerentanan dan ketidakberdayaan, acap menyeret keluarga miskin kepada situasi kemiskinan absolut. Berkait Peringatan Ke-33 Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober 2013, FAO menetapkan tema ìSustainable Food Systems for Food Security and Nutritionî. Mengacu tema internasional itu, pemerintah Indonesia menetapkan tema ”Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan”.
Ketimpangan akses pangan dunia tidak terlepas dari dominasi negara-negara maju dalam semua bidang kehidupan, termasuk pangan dan pertanian. Dominasi itu dibangun dari praktik tidak fair perdagangan dengan kebijakan protektif terhadap pertanian mereka. Laporan Oxfam, organisasi nonpemerintah menyebutkan selama ini negara maju telah memberikan subsidi pada pertanian mereka 1 miliar dolar AS/hari.
Penyebab Kebangkrutan
Tindakan tidak fair inilah yang dituding oleh aktivis kemanusiaan sebagai penyebab kebangkrutan usaha petani di negara-negara berkembang. Sampai kapan pun komoditas pangan dan pertanian yang mereka hasilkan mustahil dapat bersaing dengan komoditas serupa dari negara-negara maju.
Karena itu aktivis menyeru negara-negara maju untuk menghentikan subsidi sekaligus membuka akses seluas-luasnya pasar bagi komoditas pertanian negara-negara berkembang.
Perluasan akses pasar melalui penurunan hambatan perdagangan dan penghentian pemberian subsidi di negara-negara maju diyakini jauh lebih efektif untuk mengatasi problem kemiskinan di negara berkembang dibanding kebijakan pemberian bantuan. Bantuan pangan bagi negara-negara miskin tidak akan pernah mengungkap substansi permasalahan sebenarnya, yaitu kemiskinan.
Cara-cara seperti itu selalu dipilih untuk ìmenolongî negara-negara miskin dan mengemasnya dalam bentuk bantuan kemanusiaan. Padahal di balik itu ada beberapa agenda tersembunyi. Acap negara-negara donor menawarkan proyek kepada negara berkembang yang dikendalikannya.
Namun di balik itu terkandung maksud mengambil keuntungan lebih besar. Bukankah pepatah Barat mengatakan no free lunch, tak ada makan siang gratis? Melalui cara-cara seperti itu, tanpa dirasakan oleh negara-negara miskin, mereka jauh terperangkap dalam berbagai jebakan, salah satunya jebakan pangan (food trap).
Ketergantungan pemenuhan pangan melalui impor dari negara maju, merupakan wujud nyata dari ketidakberdayaan, bentuk lain imperialisme modern. Tragisnya, saat ini Indonesia nyaris masuk perangkap itu. Impor berbagai bahan pangan, dari beras, daging, kedelai, hingga bawang merah, menjadi kebijakan rutin pemerintah kita.
Kesenjangan terhadap akses pangan diyakini sebagai penyebab kemiskinan dan kelaparan. Amartya Sen, penerima Nobel Ekonomi 1998, menuliskannya dalam buku Inequality Reexamined. Masalah kemiskinan dan kelaparan di dunia bukan semata-mata disebabkan ketiadaan makanan melainkan ketiadaaan akses orang miskin terhadap makanan. Tesis Sen dipertegas oleh Weisband (1989), dalam buku Poverty Amidst Plenty.
Weisband mengatakan dalam keberlimpahan produksi bahan pangan di suatu negeri, sangat dimungkinkan terjadi kasus kelaparan dan kemiskinan yang hebat. Hal ini mengindikasikan adanya ketidakadilan dan ada sesuatu yang keliru di negeri itu. Melihat situasi itu, sepatutnya pemerintah mengevaluasi sistem dan kebijakan ketahanan pangan, untuk bahan rekonstruksi.
Ada tiga alasan pokok yang mendasari. Pertama; pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang kecukupannya menjadi hak asasi tiap rakyat Indonesia, tanpa kecuali. Kedua; pangan memiliki peran sangat menentukan dalam mewujudkan SDM yang berkualitas sebagai pelaksana pembangunan nasional. Ketiga; pangan memiliki peran sangat signifikan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik bangsa. (10)
— Ir Trie Joko Paryono MSi, alumnus Pascasarjana IPB, anggota Komisi Penyuluhan Provinsi Jawa Tengah
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/10/16/240131/10/Pangan-dan-Kemiskinan
TERASA selalu aktual membicarakan isu tentang kesenjangan pangan dan kemiskinan. Dua topik ini selalu menjadi fokus pembahasan berbagai pertemuan, dari skala lokal hingga skala dunia.
Potret tata kehidupan dunia saat ini ditandai oleh kondisi paradoksal, kesenjangan Utara-Selatan, antara penduduk kaya dan miskin. Kondisi di negara maju melimpah-ruah, namun di negara berkembang muncul kelangkaan dan kemiskinan.
Data terbaru Badan Pangan dan Pertanian Dunia pada awal Oktober 2013 menyebutkan saat ini tak kurang dari 842 juta orang, atau 1 di antara 8 penduduk, menderita kelaparan kronis. Mereka tidak mendapat cukup makanan untuk menjalani hidup aktif dan sehat. Sebagian besar tinggal di negara berkembang, sementara 15,7 juta tinggal di negara maju.
Lingkaran kemiskinan membelit tak kurang dari 1,2 miliar penduduk dunia. Robert Chambers menyebut kelompok ini terseret dalam jebakan kekurangan (deprivation trap). Jebakan kekurangan tersebut meliputi lima ketidakberuntungan, yaitu kemiskinan, kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan dan ketidakberdayaan (Robert Chambers, 1983 : 111).
Dua ketidakberuntungan terakhir, kerentanan dan ketidakberdayaan, acap menyeret keluarga miskin kepada situasi kemiskinan absolut. Berkait Peringatan Ke-33 Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober 2013, FAO menetapkan tema ìSustainable Food Systems for Food Security and Nutritionî. Mengacu tema internasional itu, pemerintah Indonesia menetapkan tema ”Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan”.
Ketimpangan akses pangan dunia tidak terlepas dari dominasi negara-negara maju dalam semua bidang kehidupan, termasuk pangan dan pertanian. Dominasi itu dibangun dari praktik tidak fair perdagangan dengan kebijakan protektif terhadap pertanian mereka. Laporan Oxfam, organisasi nonpemerintah menyebutkan selama ini negara maju telah memberikan subsidi pada pertanian mereka 1 miliar dolar AS/hari.
Penyebab Kebangkrutan
Tindakan tidak fair inilah yang dituding oleh aktivis kemanusiaan sebagai penyebab kebangkrutan usaha petani di negara-negara berkembang. Sampai kapan pun komoditas pangan dan pertanian yang mereka hasilkan mustahil dapat bersaing dengan komoditas serupa dari negara-negara maju.
Karena itu aktivis menyeru negara-negara maju untuk menghentikan subsidi sekaligus membuka akses seluas-luasnya pasar bagi komoditas pertanian negara-negara berkembang.
Perluasan akses pasar melalui penurunan hambatan perdagangan dan penghentian pemberian subsidi di negara-negara maju diyakini jauh lebih efektif untuk mengatasi problem kemiskinan di negara berkembang dibanding kebijakan pemberian bantuan. Bantuan pangan bagi negara-negara miskin tidak akan pernah mengungkap substansi permasalahan sebenarnya, yaitu kemiskinan.
Cara-cara seperti itu selalu dipilih untuk ìmenolongî negara-negara miskin dan mengemasnya dalam bentuk bantuan kemanusiaan. Padahal di balik itu ada beberapa agenda tersembunyi. Acap negara-negara donor menawarkan proyek kepada negara berkembang yang dikendalikannya.
Namun di balik itu terkandung maksud mengambil keuntungan lebih besar. Bukankah pepatah Barat mengatakan no free lunch, tak ada makan siang gratis? Melalui cara-cara seperti itu, tanpa dirasakan oleh negara-negara miskin, mereka jauh terperangkap dalam berbagai jebakan, salah satunya jebakan pangan (food trap).
Ketergantungan pemenuhan pangan melalui impor dari negara maju, merupakan wujud nyata dari ketidakberdayaan, bentuk lain imperialisme modern. Tragisnya, saat ini Indonesia nyaris masuk perangkap itu. Impor berbagai bahan pangan, dari beras, daging, kedelai, hingga bawang merah, menjadi kebijakan rutin pemerintah kita.
Kesenjangan terhadap akses pangan diyakini sebagai penyebab kemiskinan dan kelaparan. Amartya Sen, penerima Nobel Ekonomi 1998, menuliskannya dalam buku Inequality Reexamined. Masalah kemiskinan dan kelaparan di dunia bukan semata-mata disebabkan ketiadaan makanan melainkan ketiadaaan akses orang miskin terhadap makanan. Tesis Sen dipertegas oleh Weisband (1989), dalam buku Poverty Amidst Plenty.
Weisband mengatakan dalam keberlimpahan produksi bahan pangan di suatu negeri, sangat dimungkinkan terjadi kasus kelaparan dan kemiskinan yang hebat. Hal ini mengindikasikan adanya ketidakadilan dan ada sesuatu yang keliru di negeri itu. Melihat situasi itu, sepatutnya pemerintah mengevaluasi sistem dan kebijakan ketahanan pangan, untuk bahan rekonstruksi.
Ada tiga alasan pokok yang mendasari. Pertama; pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang kecukupannya menjadi hak asasi tiap rakyat Indonesia, tanpa kecuali. Kedua; pangan memiliki peran sangat menentukan dalam mewujudkan SDM yang berkualitas sebagai pelaksana pembangunan nasional. Ketiga; pangan memiliki peran sangat signifikan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik bangsa. (10)
— Ir Trie Joko Paryono MSi, alumnus Pascasarjana IPB, anggota Komisi Penyuluhan Provinsi Jawa Tengah
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/10/16/240131/10/Pangan-dan-Kemiskinan
Inovasi kunci kedaulatan pangan
16 Oktober 2013
Tanggal 16 Oktober ditetapkan oleh FAO sebagai Hari Pangan Sedunia. Perayaan tahun ini mengambil tema “Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan”.
Tema ini hendak mengajak kita berkontemplasi sejenak untuk melihat situasi terkini pembangunan ketahanan pangan yang masih jauh dari makna kemajuan. Masyarakat Indonesia yang mengalami gizi buruk karena kelaparan masih banyak jumlahnya. Aroma campur tangan asing begitu kental dalam pembangunan ketahanan pangan. Kesan itulah yang segera tersirat saat melihat statistik nilai pangan impor negeri ini.
Rendahnya penguasaan teknologi pangan lokal menyebabkan devisa negara sebesar Rp125 triliun terkuras setiap tahun untuk mengimpor pangan. Nilainya melampaui total anggaran sektor pertanian yang tahun ini hanya Rp16,42 triliun. Jika dana sebesar itu diinvestasikan untuk percepatan perbaikan teknologi budi daya, teknologi pasca panen dan teknologi pengolahan pangan dan hasil pertanian maka Indonesia akan merdeka dari penjajahan pangan impor.
Hobi baru
Pemerintahan SBY-Boediono masih tetap konsisten dengan hobi barunya, yakni suka mengimpor pangan. Data terkini di Kementerian Pertanian ada tujuh komoditas pangan pokok yang harus impor, belum termasuk garam, hortikultura, dan pangan olahan. Suatu saat—cepat atau lambat—kebiasaan yang tidak baik ini akan menuai rawan pangan yang sudah lama menjadi keprihatinan masyarakat pemerhati ketahanan pangan. Komoditas gandum hampir seluruhnya impor untuk kebutuhan bahan baku roti dan mi. Porsi impor kedelai mencapai 70%.
Krisis kedelai akan selalu menjadi kalender tahunan selama negeri ini menggantungkan kebutuhannya pada pasokan impor. Para perajin tempe dan tahu yang sudah puluhan tahun menekuni usaha ini mengerang kesakitan karena mereka berhadapan dengan defisit bahan baku. Harganya semakin mahal karena Amerika Serikat, pemasok utama kedelai dunia, menghadapi kekeringan berkepanjangan yang sudah menurunkan hasil panen mereka. Pemerintah cenderung memilih langkah gampang dengan mengimpor pangan jika terjadi kelangkaan pasokan.
Kebergantungan yang tinggi pada impor seharusnya menyadarkan kita untuk terus melakukan inovasi guna percepatan kebangkitan teknologi pangan dan hasil pertanian. Selain hasilnya untuk mencapai ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat, juga akan menciptakan lapangan pekerjaan baru di perdesaan. Upaya pemerintah meningkatkan produksi beras nasional patut diapresiasi karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Pemerintahan SBY sudah lama mencanangkan produksi beras nasional mesti surplus sebanyak 10 juta ton pada 2014.
Meski disadari upaya itu bukan perkara mudah, pemerintah tetap optimistis target itu dapat dicapai jika semua pihak mendukung sepenuhnya. Namun, tumpahan perhatian ke komoditas padi ini hendaknya juga jangan membuat kita lantas alpa membangun komoditas pangan penting lain yang saat ini masih kita impor. Tingginya kebergantungan pada impor dan rapuhnya kedaulatan pangan selama ini tak bisa dilepas dari minimnya perhatian pemerintah pada perbaikan inovasi dan teknologi pertanian. Indonesia tertinggal dalam inovasi di bidang pangan lokal.
Pangan lokal
Cara pemerintah untuk menjaga stabilitas ketersediaan pangan dengan membuka keran impor sesungguhnya sebuah ironi. Fakta itu amat menyedihkan karena kita acap menyebut diri sebagai bangsa agraris yang mayoritas penduduknya memeras keringat di sektor pertanian. Namun, mereka mengalami proses pemiskinan karena digilas kebijakan pangan pemerintah yang pro-impor. Para petani sebagai konsumen bukannya menikmati manisnya harga pangan yang melonjak, mereka justru dijerat harga kebutuhan pokok yang merangkak naik.
Cengkeraman pangan impor yang makin kuat akan membahayakan ketahanan ekonomi nasional. Kini Indonesia makin sulit keluar dari ”perangkap pangan” (food trap) impor ciptaan kapitalisme global yang dimainkan negara maju. Enam komoditas pangan utama nonberas yakni gandum, kedelai, jagung, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras, sangat bergantung pada impor dan dalam kategori kritis. Pemerintah pun semakin tidak mampu mengatasi persoalan itu.
Dari waktu ke waktu tidak ada perkembangan berarti yang dicapai anak bangsa di bidang teknologi dan inovasi pertanian untuk memasok pangan lokal yang cukup, justru sebaliknya malah makin parah karena rendahnya penguasaan teknologi pertanian di tingkat petani. Karena itu, perlu upaya berkelanjutan mendorong inovasi dan teknologi pertanian modern kepada pelaku usaha agrobisnis guna menghasilkan produk pangan lokal yang berdaya saing tinggi. Di tahun politik ini ruang impor pangan kian mudah diisi para mafia pangan yang hendak mendulang keuntungan.
Hipotesisnya adalah, untuk meredam gejolak sosial akibat kian mahalnya harga pangan maka kebutuhan dasar ini harus tersedia dengan harga terjangkau. Impor menjadi pilihan ketimbang memproduksi lewat lahan petani lokal. Pemerintah sudah saatnya membuat kebijakan baru untuk menetaskan produk “Pangan untuk Indonesia”. Produk Pangan untuk Indonesia ini harus berbasis sumber daya lokal seperti sagu, pisang, sorgum, jagung, singkong, ubi jalar, dan umbi-umbian lainnya.
Pangkin didorong untuk dapat menyubstitusi beras rakyat miskin (raskin), laju konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal akan terdongkrak dan jumlah raskin di masa datang akan semakin berkurang. Dari perspektif kedaulatan pangan, program pangkin berimplikasi meningkatkan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan seperti kontrak politik menteri pertanian dengan Presiden SBY, yakni mewujudkan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman (B2SA) untuk mengurangi laju konsumsi beras sebesar 1,5% tiap tahun.
Anatomi pemerintahan hasil Pemilu 2014 diharapkan memiliki kinerja yang kuat dalam pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Inovasi dan kebangkitan teknologi pangan lokal menjadi kata kunci untuk kedaulatan pangan, sekaligus menahan laju pangan impor. Program pangkin harus dirancang untuk bisa bersinergi dengan upaya percepatan pengembangan agroteknoindustri pangan di perdesaan dan petani bisa menikmati nilai tambah dari hasil pertaniannya sekaligus mengerem gelombang urbanisasi.
POSMAN SIBUEA
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
(nfl)
http://nasional.sindonews.com/read/2013/10/16/18/794625/inovasi-kunci-kedaulatan-pangan
Tanggal 16 Oktober ditetapkan oleh FAO sebagai Hari Pangan Sedunia. Perayaan tahun ini mengambil tema “Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan”.
Tema ini hendak mengajak kita berkontemplasi sejenak untuk melihat situasi terkini pembangunan ketahanan pangan yang masih jauh dari makna kemajuan. Masyarakat Indonesia yang mengalami gizi buruk karena kelaparan masih banyak jumlahnya. Aroma campur tangan asing begitu kental dalam pembangunan ketahanan pangan. Kesan itulah yang segera tersirat saat melihat statistik nilai pangan impor negeri ini.
Rendahnya penguasaan teknologi pangan lokal menyebabkan devisa negara sebesar Rp125 triliun terkuras setiap tahun untuk mengimpor pangan. Nilainya melampaui total anggaran sektor pertanian yang tahun ini hanya Rp16,42 triliun. Jika dana sebesar itu diinvestasikan untuk percepatan perbaikan teknologi budi daya, teknologi pasca panen dan teknologi pengolahan pangan dan hasil pertanian maka Indonesia akan merdeka dari penjajahan pangan impor.
Hobi baru
Pemerintahan SBY-Boediono masih tetap konsisten dengan hobi barunya, yakni suka mengimpor pangan. Data terkini di Kementerian Pertanian ada tujuh komoditas pangan pokok yang harus impor, belum termasuk garam, hortikultura, dan pangan olahan. Suatu saat—cepat atau lambat—kebiasaan yang tidak baik ini akan menuai rawan pangan yang sudah lama menjadi keprihatinan masyarakat pemerhati ketahanan pangan. Komoditas gandum hampir seluruhnya impor untuk kebutuhan bahan baku roti dan mi. Porsi impor kedelai mencapai 70%.
Krisis kedelai akan selalu menjadi kalender tahunan selama negeri ini menggantungkan kebutuhannya pada pasokan impor. Para perajin tempe dan tahu yang sudah puluhan tahun menekuni usaha ini mengerang kesakitan karena mereka berhadapan dengan defisit bahan baku. Harganya semakin mahal karena Amerika Serikat, pemasok utama kedelai dunia, menghadapi kekeringan berkepanjangan yang sudah menurunkan hasil panen mereka. Pemerintah cenderung memilih langkah gampang dengan mengimpor pangan jika terjadi kelangkaan pasokan.
Kebergantungan yang tinggi pada impor seharusnya menyadarkan kita untuk terus melakukan inovasi guna percepatan kebangkitan teknologi pangan dan hasil pertanian. Selain hasilnya untuk mencapai ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat, juga akan menciptakan lapangan pekerjaan baru di perdesaan. Upaya pemerintah meningkatkan produksi beras nasional patut diapresiasi karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Pemerintahan SBY sudah lama mencanangkan produksi beras nasional mesti surplus sebanyak 10 juta ton pada 2014.
Meski disadari upaya itu bukan perkara mudah, pemerintah tetap optimistis target itu dapat dicapai jika semua pihak mendukung sepenuhnya. Namun, tumpahan perhatian ke komoditas padi ini hendaknya juga jangan membuat kita lantas alpa membangun komoditas pangan penting lain yang saat ini masih kita impor. Tingginya kebergantungan pada impor dan rapuhnya kedaulatan pangan selama ini tak bisa dilepas dari minimnya perhatian pemerintah pada perbaikan inovasi dan teknologi pertanian. Indonesia tertinggal dalam inovasi di bidang pangan lokal.
Pangan lokal
Cara pemerintah untuk menjaga stabilitas ketersediaan pangan dengan membuka keran impor sesungguhnya sebuah ironi. Fakta itu amat menyedihkan karena kita acap menyebut diri sebagai bangsa agraris yang mayoritas penduduknya memeras keringat di sektor pertanian. Namun, mereka mengalami proses pemiskinan karena digilas kebijakan pangan pemerintah yang pro-impor. Para petani sebagai konsumen bukannya menikmati manisnya harga pangan yang melonjak, mereka justru dijerat harga kebutuhan pokok yang merangkak naik.
Cengkeraman pangan impor yang makin kuat akan membahayakan ketahanan ekonomi nasional. Kini Indonesia makin sulit keluar dari ”perangkap pangan” (food trap) impor ciptaan kapitalisme global yang dimainkan negara maju. Enam komoditas pangan utama nonberas yakni gandum, kedelai, jagung, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras, sangat bergantung pada impor dan dalam kategori kritis. Pemerintah pun semakin tidak mampu mengatasi persoalan itu.
Dari waktu ke waktu tidak ada perkembangan berarti yang dicapai anak bangsa di bidang teknologi dan inovasi pertanian untuk memasok pangan lokal yang cukup, justru sebaliknya malah makin parah karena rendahnya penguasaan teknologi pertanian di tingkat petani. Karena itu, perlu upaya berkelanjutan mendorong inovasi dan teknologi pertanian modern kepada pelaku usaha agrobisnis guna menghasilkan produk pangan lokal yang berdaya saing tinggi. Di tahun politik ini ruang impor pangan kian mudah diisi para mafia pangan yang hendak mendulang keuntungan.
Hipotesisnya adalah, untuk meredam gejolak sosial akibat kian mahalnya harga pangan maka kebutuhan dasar ini harus tersedia dengan harga terjangkau. Impor menjadi pilihan ketimbang memproduksi lewat lahan petani lokal. Pemerintah sudah saatnya membuat kebijakan baru untuk menetaskan produk “Pangan untuk Indonesia”. Produk Pangan untuk Indonesia ini harus berbasis sumber daya lokal seperti sagu, pisang, sorgum, jagung, singkong, ubi jalar, dan umbi-umbian lainnya.
Pangkin didorong untuk dapat menyubstitusi beras rakyat miskin (raskin), laju konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal akan terdongkrak dan jumlah raskin di masa datang akan semakin berkurang. Dari perspektif kedaulatan pangan, program pangkin berimplikasi meningkatkan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan seperti kontrak politik menteri pertanian dengan Presiden SBY, yakni mewujudkan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman (B2SA) untuk mengurangi laju konsumsi beras sebesar 1,5% tiap tahun.
Anatomi pemerintahan hasil Pemilu 2014 diharapkan memiliki kinerja yang kuat dalam pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Inovasi dan kebangkitan teknologi pangan lokal menjadi kata kunci untuk kedaulatan pangan, sekaligus menahan laju pangan impor. Program pangkin harus dirancang untuk bisa bersinergi dengan upaya percepatan pengembangan agroteknoindustri pangan di perdesaan dan petani bisa menikmati nilai tambah dari hasil pertaniannya sekaligus mengerem gelombang urbanisasi.
POSMAN SIBUEA
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
(nfl)
http://nasional.sindonews.com/read/2013/10/16/18/794625/inovasi-kunci-kedaulatan-pangan
Langganan:
Postingan (Atom)