Minggu, 31 Januari 2016
BERITAPLATMERAH.COM-JAKARTA-Rahman Sabon Nama Ketua Umum APT2PHI kepada Plat Merah mengatakan(28/1- 2016) , bahwa kinerja Kabinet yang membidangi pangan khususnya kinerja pengamanan HD amat buruk. “Dirinya menilai, Kementrian Perdagangan, Kementrian Pertanian dan Bulog amat buruk,dan lamban dalam mengambil keputusan.
“Rahman Mengatakan,Kemendag,Kementan dan Bulog , sangat lamban dalam menetapkan Harga Dasar /HD harusnya HD sudah ditetapkan sejak Desember 2015,akhirnya petani padi terus-terusanan yang menjadi korban dan hidupnya tetap melarat.
Buruknya kinerja Kemendag,Kementan dan Bulog /pemerintah akan membawa kerugjan bagi petani dan seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah,karena pemerintah membawa misi untuk kepentingan publik.Untuk mengatasi stok nasional pemerintah tahun 2016 ini, pemerintah harus mempertegas komitmennya dalam membantu petani dalam Jaminan Harga Dasar.Buruknya kinerja lembaga pemerintah di bidang pangan tersebut sudah terjadi tahun 2015 , seperti Harga HD rendah akhirnya Bulog gagal menyerap pembelian gabah dan beras petani sehingga pemerintah terpaksa harus mengimpor 2,5 juta ton beras asal Veitnam,Thailand dan Pakistan.
Sebagai Ketum APT2PHI (Asosiasi Pedagang dan Tani Tanaman Pangan dan Holtikulura Indonesia)pada saat melakukan kunjungan kerja Sabtu ( 23/1-2016 ) dengan petani di Ngawi Jatim dan Sragen Jateng,mengatakan bahwa tanaman padi di kedua daerah ini cukup nenggembirakan untuk panen Maret- Mah 2016 saya melihat dilapangan sangat bagus, apabila ditopang komitmen pemerintah untuk melindungi petani dengan HD tahun 2016.
“Tambah Rahman,” sekarang HD belum ditetapkan pemerintah harusnya,”Kalau HD ditetapkan pada musim tanam ini ,nanti akan berakibat buruk pada penyerapan pembelian oleh Bulog ,karena kemungkinan dana pengadaan gabah/beras untuk Bulog baru akan disetujui bulan Pebruari sehingga pencairannya baru dilakukan pada akhir Maret 2016,dan efektif penggunaan anggarannya perkiraan saya baru bisa digunakan pada pertengahan April 2016, padahal Panen Raya berakhir bulan May,maka saya bisa pastikan kantor Kementan dan Bulog gagal lagi menyerap pembelian beras/gabah petani untuk cadangan stok nasional,akhirnya pemerintah harus menguras devisa negara untuk impor beras tahun 2016 akibat dari kegagalan kinerja buruk dari Kementrian pertanian,Kementrian Perdagangan dan Bulog ,kasihan Presiden Joko Widodo punya komitnen tulus merealisasikan Nawacita untuk kesejahteraan rakyat dan petani dlm rangka swasembada untuk ketahanan dan kemandirian pangan jadi terhambat.
“Rahman menyarankan ,Seharusnya pemerinahan Jokowi bisa menolong petani padi agar kenaikan Harga Dasar untuk komoditas padi yang dapat dinikmati petani pada musim Panen Raya Maret-May 2016 ini ,bisa ditetapkan dengan HD pada patokan 14 % diatas FOB harga beras Luar Negeri dan juga harus memperhatikan biaya produksi dan inflasi,pemerintah harus membawa petani padi untuk menikmati hasil panen tahun ini,apalagi telah berlakunya pasar bebas Asean seperti sekarang harus hati hati dalam penetapan HD untuk Gabah/Beras harus bertujuan untuk menolong petani padi,penggilingan padi dan pedagang pangan UKM jangan sampai hanya dinikmati oleh para pedagang importir/pencari rente,bukan murni pedagang beras di PIC dan pedagang beras tradisional di Indonesia.
http://beritaplatmerah.com/kementankemendag-dan-buloglamban-dalam-menetapkan-harga-dasar-gabah/
Senin, 01 Februari 2016
Jumat, 29 Januari 2016
Perang Pangan
Jumat, 29 Januari 2016
Tahun ini, 10 negara ASEAN dipastikan akan berkompetisi memenuhi kebutuhan pangan di negara masing-masing ataupun di negara ASEAN lainnya.Negara yang tidak memiliki kedaulatan pangan tampaknya akan tergilas oleh negara yang sudah berdaulat pangannya.
Di ASEAN, kurang lebih setengah miliar perut (tepatnya 570 juta jiwa) setiap harinya membutuhkan pangan. Dari 10 negara ASEAN, Indonesia adalah negara dengan jumlah perut terbanyak (42,43 persen dari total penduduk di ASEAN) untuk dipenuhi kebutuhan pangannya.Disusul Filipina (15,41 persen), Vietnam (14,65 persen), dan Thailand (11,48 persen).
Tentang hal ini, Presiden Soekarno pernah berpesan, ”Persoalan pangan adalah persoalan hidup-matinya suatu bangsa!” Lalu, apakah pemerintah (Kementerian Pertanian) sudah melakukan persiapan? Dan, bagaimana nasib Indonesia ketika perang pangan terjadi?
Gagal paham
Presiden Joko Widodo selalu berpesan: Indonesia harus siap siaga menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Di hadapan ribuan kepala desa yang mengikuti Rakernas Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia di Boyolali, akhir 2015, Jokowi kembali menegaskan bahwa menggali potensi sumber daya dan memperkuat kapasitas masyarakat adalah kata kunci menghadapi MEA.
Tampaknya Jokowi paham betul bahwa menekankan keunggulan potensi akan sia-sia apabila kapasitas masyarakat sangat minim. Dalam konteks pertanian, relasi subyek (petani)-obyek (komoditas) adalah kekuatan utama dalam penataan pertanian. Pertanyaannya: apakah pesan Jokowi dipahami Menteri Pertanian selaku pengawal kebijakan pertanian?
Menjawab pertanyaan di atas, mari kita lacak modus operandi Mentan. Semenjak dilantik, modus operandi kebijakan Mentan lebih berorientasi pencitraan obyek. Aksi membagikan ratusan traktor, membuka sejuta hektar lahan sawah, klaim surplus beras, dan jagung adalah sebagian bukti bahwa Mentan melupakan penguatan petani. Padahal, dalam konteks MEA, membangun kesadaran dan penguatan petani sebagai produsen sekaligus konsumen merupakan agenda penting dan mendesak.
Tampaknya, Mentan gagal paham menakhodai Kementerian Pertanian dalam merespons MEA. Gagal paham yang dimaksud, pertama melupakan struktur pelaku pertanian. Lebih dari 60 persen produsen pangan di negara ini adalah petani kecil yang memiliki luas lahan di bawah 1 hektar. Minimnya upaya pengonsolidasian petani dalam kebijakan Mentan menjadi senjata makan tuan. Program pupuk bersubsidi (Rp 30,063 triliun) akan berdampak besarnya peluang penyelewengan, pengadaan alat dan mesin pertanian (Rp 360 miliar pra panen dan Rp 8,32 miliar pasca panen) berpotensi salah sasaran dan target, serta pencetakan sawah (Rp 1,76 triliun) menyebabkan kerusakan ekologis. Alhasil, Mentan kembali mengulangi kesalahan kebijakan terdahulu yang selalu menihilkan peran petani untuk menggeser pola produksi pertanian dari orientasi subsisten ke bisnis.
Kedua, melakukan homogenisasi padi-jagung-kedelai (pajale). Kampanye Mentan di setiap kunjungan kerjanya untuk memproduksi pajale merupakan kebijakan yang gagal paham. Mentan Amran Sulaiman seolah menihilkan perbedaan ekologi Indonesia yang selama ini memberikan keuntungan keanekaragaman sumber daya pangan. Obsesi membuka rice estate di tanah Papua adalah tindakan gagal paham tentang makna ekologis dan keterlibatan penduduk lokal. Seyogianya Mentan belajar dari kegagalan pembukaan jutaan hektar lahan sawah di Sumatera dan Kalimantan yang berekologi kebun (bukan sawah) ketika masifnya program transmigran di rezim Orde Baru. Padahal, perbedaan ekologi akan mendorong tampilnya spesifikasi potensi komoditas pertanian yang harus dikonsolidasikan oleh setiap daerah.
Ketiga, melupakan kebutuhan akses petani terhadap teknologi pertanian dan jejaring. Perlu dicatat, sektor pertanian adalah sektor yang sangat berkontribusi terhadap tenaga kerja padat karya di pedesaan. Realitas saat ini, minimnya pengetahuan dan keterampilan petani harus dijawab dengan membuka akses teknologi tepat guna yang inklusif dan bermanfaat bagi petani. Demikian juga halnya dengan problem pembiayaan dan pemasaran, dapat dijawab dengan memfasilitasi terbangunnya jejaring kerja sama antarpetani dengan berbagai pihak. Ketika gagal paham ini dipelihara, pembangunan pertanian dipastikan tak mampu mencegah terjadinya urbanisasi dan kemiskinan di pedesaan, apalagi memiliki daya saing terhadap negara-negara ASEAN.
Menang atau kalah
Perang pangan adalah aksi suatu negara atau aliansi negara yang berupaya mendominasi kebutuhan pangan di suatu negara. Di sini ada negara yang mengatur dan ada negara yang diatur kondisi dan situasi pangannya. Negara yang memiliki strategi kebijakan pangan yang jitu dipastikan memenangi pertarungan dan memiliki pengaruh terhadap negara-negara lainnya. Artinya, negara yang menguasai pangan akan menguasai dunia!
Jika kebijakan Mentan yang gagal paham di atas dipertahankan, dipastikan Indonesia akan kalah perang pangan. Keberadaan Charoen Pokphand asal Thailand yang saat ini menguasai lebih 50 persen pangan hewani (ayam) di Indonesia dan strategi lima negara ASEAN, (Thailand, Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Laos), yang membangun aliansi pengekspor beras adalah penetrasi penguasaan pangan di mana Indonesia sebagai pasar potensial.Sebaliknya, belum satu pun inisiatif penetrasi yang sistematis dilakukan Indonesia untuk negara-negara ASEAN.
Untuk itu, jika pilihannya ingin memenangi perang pangan, diperlukan strategi andal agar tak digilas oleh negara ASEAN lainnya. Ada tiga strategi yang harus dilakukan. Pertama, mempersenjatai petani dengan pengetahuan dan teknologi. Sudah saatnya petani kita yang mayoritas lulusan SD dibekali pengetahuan teknis dan teknologi pertanian. Sebab, rendahnya produksi pangan berhubungan dengan kondisi sumber daya manusia yang menggerakkan sektor pertanian.
Kedua, memperkuat benteng komoditas sesuai konteks ekologi. Harus disadari bahwa homogenisasi pajale berdampak negatif bagi masa depan pertanian Indonesia.Sebaliknya, pola pikir Mentan harus berubah untuk mengembangkan komoditas pangan yang memiliki nilai ekologis dan historis di setiap daerah.
Ketiga, menciptakan sekutu kedaulatan pangan. Tampaknya Indonesia harus menciptakan sekutu untuk mewujudkan kedaulatan pangan berlandaskan kesetaraan dan bermartabat. Alhasil, MEA tidak dimaknai sebagai persaingan (kompetisi), tetapi arena menciptakan jejaring poros kedaulatan pangan ASEAN. Apabila tiga strategi ini dilakukan, tidak tertutup kemungkinan Indonesia bisa memimpin negara-negara ASEAN dalam kedaulatan pangan!
SOFYAN SJAF, DOSEN PASCASARJANA SOSIOLOGI PEDESAAN IPB DAN SEKRETARIS PSP3 IPB
http://print.kompas.com/baca/2016/01/29/Perang-Pangan
Tahun ini, 10 negara ASEAN dipastikan akan berkompetisi memenuhi kebutuhan pangan di negara masing-masing ataupun di negara ASEAN lainnya.Negara yang tidak memiliki kedaulatan pangan tampaknya akan tergilas oleh negara yang sudah berdaulat pangannya.
Di ASEAN, kurang lebih setengah miliar perut (tepatnya 570 juta jiwa) setiap harinya membutuhkan pangan. Dari 10 negara ASEAN, Indonesia adalah negara dengan jumlah perut terbanyak (42,43 persen dari total penduduk di ASEAN) untuk dipenuhi kebutuhan pangannya.Disusul Filipina (15,41 persen), Vietnam (14,65 persen), dan Thailand (11,48 persen).
Tentang hal ini, Presiden Soekarno pernah berpesan, ”Persoalan pangan adalah persoalan hidup-matinya suatu bangsa!” Lalu, apakah pemerintah (Kementerian Pertanian) sudah melakukan persiapan? Dan, bagaimana nasib Indonesia ketika perang pangan terjadi?
Gagal paham
Presiden Joko Widodo selalu berpesan: Indonesia harus siap siaga menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Di hadapan ribuan kepala desa yang mengikuti Rakernas Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia di Boyolali, akhir 2015, Jokowi kembali menegaskan bahwa menggali potensi sumber daya dan memperkuat kapasitas masyarakat adalah kata kunci menghadapi MEA.
Tampaknya Jokowi paham betul bahwa menekankan keunggulan potensi akan sia-sia apabila kapasitas masyarakat sangat minim. Dalam konteks pertanian, relasi subyek (petani)-obyek (komoditas) adalah kekuatan utama dalam penataan pertanian. Pertanyaannya: apakah pesan Jokowi dipahami Menteri Pertanian selaku pengawal kebijakan pertanian?
Menjawab pertanyaan di atas, mari kita lacak modus operandi Mentan. Semenjak dilantik, modus operandi kebijakan Mentan lebih berorientasi pencitraan obyek. Aksi membagikan ratusan traktor, membuka sejuta hektar lahan sawah, klaim surplus beras, dan jagung adalah sebagian bukti bahwa Mentan melupakan penguatan petani. Padahal, dalam konteks MEA, membangun kesadaran dan penguatan petani sebagai produsen sekaligus konsumen merupakan agenda penting dan mendesak.
Tampaknya, Mentan gagal paham menakhodai Kementerian Pertanian dalam merespons MEA. Gagal paham yang dimaksud, pertama melupakan struktur pelaku pertanian. Lebih dari 60 persen produsen pangan di negara ini adalah petani kecil yang memiliki luas lahan di bawah 1 hektar. Minimnya upaya pengonsolidasian petani dalam kebijakan Mentan menjadi senjata makan tuan. Program pupuk bersubsidi (Rp 30,063 triliun) akan berdampak besarnya peluang penyelewengan, pengadaan alat dan mesin pertanian (Rp 360 miliar pra panen dan Rp 8,32 miliar pasca panen) berpotensi salah sasaran dan target, serta pencetakan sawah (Rp 1,76 triliun) menyebabkan kerusakan ekologis. Alhasil, Mentan kembali mengulangi kesalahan kebijakan terdahulu yang selalu menihilkan peran petani untuk menggeser pola produksi pertanian dari orientasi subsisten ke bisnis.
Kedua, melakukan homogenisasi padi-jagung-kedelai (pajale). Kampanye Mentan di setiap kunjungan kerjanya untuk memproduksi pajale merupakan kebijakan yang gagal paham. Mentan Amran Sulaiman seolah menihilkan perbedaan ekologi Indonesia yang selama ini memberikan keuntungan keanekaragaman sumber daya pangan. Obsesi membuka rice estate di tanah Papua adalah tindakan gagal paham tentang makna ekologis dan keterlibatan penduduk lokal. Seyogianya Mentan belajar dari kegagalan pembukaan jutaan hektar lahan sawah di Sumatera dan Kalimantan yang berekologi kebun (bukan sawah) ketika masifnya program transmigran di rezim Orde Baru. Padahal, perbedaan ekologi akan mendorong tampilnya spesifikasi potensi komoditas pertanian yang harus dikonsolidasikan oleh setiap daerah.
Ketiga, melupakan kebutuhan akses petani terhadap teknologi pertanian dan jejaring. Perlu dicatat, sektor pertanian adalah sektor yang sangat berkontribusi terhadap tenaga kerja padat karya di pedesaan. Realitas saat ini, minimnya pengetahuan dan keterampilan petani harus dijawab dengan membuka akses teknologi tepat guna yang inklusif dan bermanfaat bagi petani. Demikian juga halnya dengan problem pembiayaan dan pemasaran, dapat dijawab dengan memfasilitasi terbangunnya jejaring kerja sama antarpetani dengan berbagai pihak. Ketika gagal paham ini dipelihara, pembangunan pertanian dipastikan tak mampu mencegah terjadinya urbanisasi dan kemiskinan di pedesaan, apalagi memiliki daya saing terhadap negara-negara ASEAN.
Menang atau kalah
Perang pangan adalah aksi suatu negara atau aliansi negara yang berupaya mendominasi kebutuhan pangan di suatu negara. Di sini ada negara yang mengatur dan ada negara yang diatur kondisi dan situasi pangannya. Negara yang memiliki strategi kebijakan pangan yang jitu dipastikan memenangi pertarungan dan memiliki pengaruh terhadap negara-negara lainnya. Artinya, negara yang menguasai pangan akan menguasai dunia!
Jika kebijakan Mentan yang gagal paham di atas dipertahankan, dipastikan Indonesia akan kalah perang pangan. Keberadaan Charoen Pokphand asal Thailand yang saat ini menguasai lebih 50 persen pangan hewani (ayam) di Indonesia dan strategi lima negara ASEAN, (Thailand, Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Laos), yang membangun aliansi pengekspor beras adalah penetrasi penguasaan pangan di mana Indonesia sebagai pasar potensial.Sebaliknya, belum satu pun inisiatif penetrasi yang sistematis dilakukan Indonesia untuk negara-negara ASEAN.
Untuk itu, jika pilihannya ingin memenangi perang pangan, diperlukan strategi andal agar tak digilas oleh negara ASEAN lainnya. Ada tiga strategi yang harus dilakukan. Pertama, mempersenjatai petani dengan pengetahuan dan teknologi. Sudah saatnya petani kita yang mayoritas lulusan SD dibekali pengetahuan teknis dan teknologi pertanian. Sebab, rendahnya produksi pangan berhubungan dengan kondisi sumber daya manusia yang menggerakkan sektor pertanian.
Kedua, memperkuat benteng komoditas sesuai konteks ekologi. Harus disadari bahwa homogenisasi pajale berdampak negatif bagi masa depan pertanian Indonesia.Sebaliknya, pola pikir Mentan harus berubah untuk mengembangkan komoditas pangan yang memiliki nilai ekologis dan historis di setiap daerah.
Ketiga, menciptakan sekutu kedaulatan pangan. Tampaknya Indonesia harus menciptakan sekutu untuk mewujudkan kedaulatan pangan berlandaskan kesetaraan dan bermartabat. Alhasil, MEA tidak dimaknai sebagai persaingan (kompetisi), tetapi arena menciptakan jejaring poros kedaulatan pangan ASEAN. Apabila tiga strategi ini dilakukan, tidak tertutup kemungkinan Indonesia bisa memimpin negara-negara ASEAN dalam kedaulatan pangan!
SOFYAN SJAF, DOSEN PASCASARJANA SOSIOLOGI PEDESAAN IPB DAN SEKRETARIS PSP3 IPB
http://print.kompas.com/baca/2016/01/29/Perang-Pangan
Kamis, 28 Januari 2016
Kedaulatan Pangan Syarat Mutlak Jadi Negara Kuat
Kamis, 28 Januari 2016
JAKARTA – Presiden Joko Widodo mesti tegas mengevaluasi kinerja menteri terkait pangan yang masih terus melanjutkan kebijakan impor pangan tanpa kendali dan melecehkan arti penting kedaulatan pangan. Pasalnya kedaulatan pangan adalah salah satu unsur terpenting ketahanan nasional sebuah negara setelah energi dan kekuatan militer.
Terbukti, tidak ada Negara Adidaya dunia yang tidak mandiri pangan. Contohnya, Amerika Serikat (AS) adalah produsen dan eksportir gandum terbesar dunia.
“Mereka bisa maju bukan hanya karena menguasai teknologi, tapi terlebih dahulu mampu menyelesaikan masalah kebutuhan pangan. Pemerintah AS tidak segan-segan mendukung petani gandum mereka dengan aturan proteksi, riset hingga promosi, seperti sosialisasi sarapan gandum ke masyarakat,” ujar pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Suroso Imam Zadjuli, saat dihubungi, Rabu (27/1).
Dengan strategi seperti itu, lanjut dia, produk lokal terserap dan petani semakin bergairah bercocok tanam. Akibatnya, produktivitas nasional meningkat sehingga mendukung kemandirian pangan, dan mampu mengekspor untuk membantu perekonomian.
“Demikian halnya di Jepang dan Thailand. Intervensi pemerintah dalam mendukung pertaniannya sangat terasa. Hasilnya, beras Thailand paling banyak dikirim ke Indonesia,” ungkap Suroso.
Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta, Masyhuri, meminta pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak mempertahankan menteri terkait pangan bermental pedagang yang cenderung memilih cara gampang mengimpor pangan dengan alasan lebih murah ketimbang membangun kekuatan pangan nasional.
Buah Pontianak
Masyhuri mencontohkan daerah Kalimantan Barat sebagai penghasil buah-buahan tidak bisa menjual produknya dengan harga baik, padahal produksi di sana jauh lebih banyak dari konsumsi. Sementara untuk dijual ke Jakarta tidak bisa dilakukan karena tidak mendapat dukungan akses pasar dari pemerintah.
“Mereka cuma bisa jual di Pontianak. Inilah semestinya fungsi pemerintah. Kalau pergerakan hasil pertanian antardaerah bisa jalan, orang Jakarta tidak perlu menunggu buah impor yang disubsidi negara eksportir. Ini berarti para menteri tidak punya peran buat rakyatnya. Mereka tak mengerti tugas dan tanggungjawabnya,” ujar Masyhuri.
Berdasarkan pemantauan wartawan Koran Jakarta Peri Irawan di Pontianak, Kalimantan Barat, sejumlah pedagang buah mengeluhkan anjloknya harga yang mengakibatkan kerugian. “Untuk rambutan, satu ikat dihargai 1.000 rupiah saja. Buah langsat dihargai 3.000 rupiah per kilogram. Durian juga 3 buah bisa dihargai 10 ribu rupiah. Harga ini sudah sangat di bawah standar. Petani kita pasti rugi,” ujar Rony, 42 tahun, pedagang buah di kawasan Jalan Gajah Mada, Pontianak.
Rony mengungkapkan murahnya harga komoditas pertanian di Kalbar itu membuat dia harus mengatur strategi untuk mengurangi kerugian, dengan cara menjual jenis buah-buahan lain yang harganya masih menguntungkan.
“Makanya, kita jual rambutan per ikat seribu rupiah saja biar nggak terlalu rugi, minimal bisa balik modal. Buah-buahan begini tidak tahan lama, apalagi buah-buahan lokal tanpa pengawet. Kalau busuk kita buang saja,” kata Rony.
Ali, 64 tahun, pedagang buah di satu kawasan dengan Rony, memaparkan murahnya harga tersebut disebabkan pasokan yang melimpah. “Itu karena sudah banyaknya buah. Kalau lagi musimnya yakni akhir dan awal tahun, buah-buahan disini berlimpah, seperti rambutan dan langsat sampai nggak ada harganya,” tukas Ali yang mengaku telah berpuluh tahun berjualan buah itu.
Ia menilai selama ini nasib buah-buahan lokal seperti diinjak-injak oleh maraknya buah impor. Untuk itu, Ali berharap pemerintah bisa secepatnya turun tangan dan berpihak kepada petani lokal. Produksi buah-buahan yang melimpah di Pontianak itu, menurut dia, sebenarnya bisa dikirim ke Jawa atau Sumatera yang penduduknya lebih banyak, dengan harga yang lebih layak.
http://www.koran-jakarta.com/kedaulatan-pangan-syarat-mutlak-jadi-negara-kuat/
JAKARTA – Presiden Joko Widodo mesti tegas mengevaluasi kinerja menteri terkait pangan yang masih terus melanjutkan kebijakan impor pangan tanpa kendali dan melecehkan arti penting kedaulatan pangan. Pasalnya kedaulatan pangan adalah salah satu unsur terpenting ketahanan nasional sebuah negara setelah energi dan kekuatan militer.
Terbukti, tidak ada Negara Adidaya dunia yang tidak mandiri pangan. Contohnya, Amerika Serikat (AS) adalah produsen dan eksportir gandum terbesar dunia.
“Mereka bisa maju bukan hanya karena menguasai teknologi, tapi terlebih dahulu mampu menyelesaikan masalah kebutuhan pangan. Pemerintah AS tidak segan-segan mendukung petani gandum mereka dengan aturan proteksi, riset hingga promosi, seperti sosialisasi sarapan gandum ke masyarakat,” ujar pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Suroso Imam Zadjuli, saat dihubungi, Rabu (27/1).
Dengan strategi seperti itu, lanjut dia, produk lokal terserap dan petani semakin bergairah bercocok tanam. Akibatnya, produktivitas nasional meningkat sehingga mendukung kemandirian pangan, dan mampu mengekspor untuk membantu perekonomian.
“Demikian halnya di Jepang dan Thailand. Intervensi pemerintah dalam mendukung pertaniannya sangat terasa. Hasilnya, beras Thailand paling banyak dikirim ke Indonesia,” ungkap Suroso.
Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta, Masyhuri, meminta pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak mempertahankan menteri terkait pangan bermental pedagang yang cenderung memilih cara gampang mengimpor pangan dengan alasan lebih murah ketimbang membangun kekuatan pangan nasional.
Buah Pontianak
Masyhuri mencontohkan daerah Kalimantan Barat sebagai penghasil buah-buahan tidak bisa menjual produknya dengan harga baik, padahal produksi di sana jauh lebih banyak dari konsumsi. Sementara untuk dijual ke Jakarta tidak bisa dilakukan karena tidak mendapat dukungan akses pasar dari pemerintah.
“Mereka cuma bisa jual di Pontianak. Inilah semestinya fungsi pemerintah. Kalau pergerakan hasil pertanian antardaerah bisa jalan, orang Jakarta tidak perlu menunggu buah impor yang disubsidi negara eksportir. Ini berarti para menteri tidak punya peran buat rakyatnya. Mereka tak mengerti tugas dan tanggungjawabnya,” ujar Masyhuri.
Berdasarkan pemantauan wartawan Koran Jakarta Peri Irawan di Pontianak, Kalimantan Barat, sejumlah pedagang buah mengeluhkan anjloknya harga yang mengakibatkan kerugian. “Untuk rambutan, satu ikat dihargai 1.000 rupiah saja. Buah langsat dihargai 3.000 rupiah per kilogram. Durian juga 3 buah bisa dihargai 10 ribu rupiah. Harga ini sudah sangat di bawah standar. Petani kita pasti rugi,” ujar Rony, 42 tahun, pedagang buah di kawasan Jalan Gajah Mada, Pontianak.
Rony mengungkapkan murahnya harga komoditas pertanian di Kalbar itu membuat dia harus mengatur strategi untuk mengurangi kerugian, dengan cara menjual jenis buah-buahan lain yang harganya masih menguntungkan.
“Makanya, kita jual rambutan per ikat seribu rupiah saja biar nggak terlalu rugi, minimal bisa balik modal. Buah-buahan begini tidak tahan lama, apalagi buah-buahan lokal tanpa pengawet. Kalau busuk kita buang saja,” kata Rony.
Ali, 64 tahun, pedagang buah di satu kawasan dengan Rony, memaparkan murahnya harga tersebut disebabkan pasokan yang melimpah. “Itu karena sudah banyaknya buah. Kalau lagi musimnya yakni akhir dan awal tahun, buah-buahan disini berlimpah, seperti rambutan dan langsat sampai nggak ada harganya,” tukas Ali yang mengaku telah berpuluh tahun berjualan buah itu.
Ia menilai selama ini nasib buah-buahan lokal seperti diinjak-injak oleh maraknya buah impor. Untuk itu, Ali berharap pemerintah bisa secepatnya turun tangan dan berpihak kepada petani lokal. Produksi buah-buahan yang melimpah di Pontianak itu, menurut dia, sebenarnya bisa dikirim ke Jawa atau Sumatera yang penduduknya lebih banyak, dengan harga yang lebih layak.
http://www.koran-jakarta.com/kedaulatan-pangan-syarat-mutlak-jadi-negara-kuat/
Rabu, 27 Januari 2016
Kritik Bulog Ikut Recoki Urus Sapi, Mendag Ingatkan Soal Perberasan
Selasa, 26 Januari 2016
Jakarta, Aktual.com — Badan Urusan Logistik (Bulog) disebut akan ikut mengurusi 11 komoditas strategis di luar beras. Mulai dari daging sapi, jagung, kedelai, dsn lainnya. Tapi Menteri Perdagangan, Thomas Lembong mengingatkan Bulog agar BUMN ini tidak lupa mengurusi tugas utamanya, soal perberasan.
“Saat ini, dengan adanya gejolak el nino, tugas Bulog untuk mencukupi stok beras perlu kerja keras. Makanya, jangan sampai Bulog kemana-mana tapi tugas utamanya di perberasan malah terbengkalai,” sebut Mendag di Jakarta, Selasa (26/1).
Menurutnya, untuk dapat memenuhi tugas baru dengan mencukupi stok 11 barang komoditas strategis itu, tidak bisa secepat itu. “Jadi masih butuh waktu untuk itu. Karena fokus utama Bulog tetap harus di perberasan,” sindir dia.
Bahkan saat ini, pemerintah sendiri masih merumuskan Perpres mengenai penugasan Bulog yang mengelola stok pangan terhadap 11 komodutas strategis itu.
“Namun kami sangat realistis. Untuk membangun kapasitas itu perlu waktu. Seperti kita lihat tahun lalu ditugasi mengurusi bidang sapi, apalagi mengurusi komodutas lainnya. Kita lihat sekarang (harganya) begini (tinggi),” kata dia.
Kata dia, pemerintah sudah serius menugasi Bulog untuk membantu Kemendag menjaga pasokan daging sapi. Agar harga-harga daging sapi bisa distabilkan. Tapi justru hasilnya bisa dianggap tidak maksimal.
“Pemerintah sudah menugaskan Bulog intervensi di sektor sapi. Tapi karena ini pertama kali mengurus sapi, maka hasilnya tidak akan optimal dan tidak komprehensif,” keluh dia.
(Arbie Marwan)
https://www.aktual.com/kritik-bulog-ikut-recoki-urus-sapi-mendag-ingatkan-soal-perberasan/
Jakarta, Aktual.com — Badan Urusan Logistik (Bulog) disebut akan ikut mengurusi 11 komoditas strategis di luar beras. Mulai dari daging sapi, jagung, kedelai, dsn lainnya. Tapi Menteri Perdagangan, Thomas Lembong mengingatkan Bulog agar BUMN ini tidak lupa mengurusi tugas utamanya, soal perberasan.
“Saat ini, dengan adanya gejolak el nino, tugas Bulog untuk mencukupi stok beras perlu kerja keras. Makanya, jangan sampai Bulog kemana-mana tapi tugas utamanya di perberasan malah terbengkalai,” sebut Mendag di Jakarta, Selasa (26/1).
Menurutnya, untuk dapat memenuhi tugas baru dengan mencukupi stok 11 barang komoditas strategis itu, tidak bisa secepat itu. “Jadi masih butuh waktu untuk itu. Karena fokus utama Bulog tetap harus di perberasan,” sindir dia.
Bahkan saat ini, pemerintah sendiri masih merumuskan Perpres mengenai penugasan Bulog yang mengelola stok pangan terhadap 11 komodutas strategis itu.
“Namun kami sangat realistis. Untuk membangun kapasitas itu perlu waktu. Seperti kita lihat tahun lalu ditugasi mengurusi bidang sapi, apalagi mengurusi komodutas lainnya. Kita lihat sekarang (harganya) begini (tinggi),” kata dia.
Kata dia, pemerintah sudah serius menugasi Bulog untuk membantu Kemendag menjaga pasokan daging sapi. Agar harga-harga daging sapi bisa distabilkan. Tapi justru hasilnya bisa dianggap tidak maksimal.
“Pemerintah sudah menugaskan Bulog intervensi di sektor sapi. Tapi karena ini pertama kali mengurus sapi, maka hasilnya tidak akan optimal dan tidak komprehensif,” keluh dia.
(Arbie Marwan)
https://www.aktual.com/kritik-bulog-ikut-recoki-urus-sapi-mendag-ingatkan-soal-perberasan/
Selasa, 26 Januari 2016
Sulsel Genjot Panen Padi Tiga Kali Setahun
Selasa, 26 Januari 2016
Tahun Ini Luas Tanam di Sumsel Bertambah 40.000 Hektar
MAKASSAR, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menargetkan peningkatan produksi padi tahun ini di tengah kondisi anomali iklim. Salah satu cara meningkatkan produksi adalah dengan memaksimalkan sawah yang sudah dapat ditanami tiga kali dalam setahun.
"Saya bisa menjamin produksi beras Sulsel tidak turun," ujar Wakil Gubernur Sulsel Agus Arifin Nu'mang di Makassar, Sulsel, Senin (25/1).
Agus mengatakan, untuk mengantisipasi terganggunya produksi beras akibat kekeringan, pihaknya akan memaksimalkan penanaman padi pada lahan- lahan yang sudah dapat ditanami tiga kali setahun atau IP 300. "Kalau biasanya pola tanam padi- padi-palawija, sekarang tiga kali musim tanam itu kami upayakan padi semua," katanya.
Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian Sulsel Muhammad Aris mengatakan, sejumlah daerah sentra beras di Sulsel sudah memiliki lahan IP 300, seperti di Kabupaten Maros seluas 8.000 hektar dan di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) dan Pinrang masing-masing 9.000 hektar. "Lahan-lahan itulah yang akan dioptimalkan untuk meningkatkan produksi beras," ujarnya.
Aris menambahkan, tahun ini target produksi gabah kering giling (GKG) Sulsel dipatok 5,7 juta ton atau meningkat 300.000 ton dibandingkan produksi tahun 2015 sebesar 5,4 juta ton GKG. Peningkatan produksi itu akan membuat surplus produksi beras Sulsel 2,3 juta ton atau meningkat dari surplus tahun 2015 sebesar 2,2 juta ton.
Pada musim tanam Oktober- Maret ini, Aris mengatakan, realisasi tanam sudah mencapai 60 persen dari rencana tanam untuk lahan seluas 570.000 hektar. "Sisanya masih akan berjalan dua bulan ke depan," ujarnya.
Surplus
Di Sumatera Selatan, walaupun terkena fenomena El Nino, produksi GKG masih surplus. Bahkan, kelebihan itu disalurkan ke beberapa provinsi yang membutuhkan, seperti Lampung, Bengkulu, Jambi, dan Pulau Jawa.
Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumsel Erwin Noor Wibowo saat dihubungi, Senin (25/1), mengatakan, akibat fenomena El Nino, produksi GKG tidak mencapai target yang ditetapkan. Pada tahun 2015, target produksi GKG 4,6 juta ton. Namun, akibat kemarau dan serangan hama, realisasi produksi 4,2 juta ton. "Walaupun tak mencapai target, tetap surplus 1,8 juta ton," katanya.
Erwin menyebutkan, tahun 2016 pemerintah menargetkan produksi GKG 4,5 juta ton. Namun kini, petani dihadapkan pada keterlambatan masa tanam. "Seharusnya, masa tanam dilakukan pada Oktober. Nyatanya, tanam Januari," ujar Erwin.
Untuk mengejar target tersebut, pihaknya melakukan percepatan masa tanam dan memperluas lahan tanam dengan menggali potensi lahan yang belum tergarap.
Menurut Erwin, peningkatan luas tanam terus dilakukan. Tahun 2014, luas tanam sawah padi 812.000 hektar. Jumlah itu meningkat tahun 2015 dengan luas tanam 894.000 hektar. Tahun 2016, menurut rencana, dilakukan penambahan 40.000 hektar luas tanam. Beberapa kabupaten akan ditambah luas tanamnya, antara lain Banyuasin, Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, dan Ogan Komering Ulu Timur
Di Sumatera Utara, dinas pertanian provinsi itu akan dilepas varietas baru padi darat (ladang) bernama sigambir. Produktivitas varietas itu 4 ton per hektar.
Kepala Seksi Pengembangan Lahan Dinas Pertanian Sumatera Utara Lusyantini mengatakan, luas panen padi darat saat ini sekitar 45.000 ton per tahun, sedangkan padi sawah 780.000 ton per tahun. Produktivitas padi darat sekitar 3,5 ton GKG per hektar serta ditanam dan dipanen satu tahun sekali dengan usia panen 4-5 bulan. Padi darat banyak ditanam di kawasan pegunungan, seperti di Simalungun, Toba Samosir, dan Karo. Di lereng Sinabung banyak warga memanfaatkan lahan untuk menaman padi darat.
Dari Palu, Sulawesi Tengah, dilaporkan, harga beras kelas medium di provinsi itu melonjak hingga menjadi Rp 11.000 per kilogram, dari sebelumnya Rp 8.000 hingga Rp 9.000. Harga naik dipicu menipisnya persediaan di daerah produksi.
(ENG/RAM/WSI/VDL)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160126kompas/?abilitastazione=#/22/
Tahun Ini Luas Tanam di Sumsel Bertambah 40.000 Hektar
MAKASSAR, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menargetkan peningkatan produksi padi tahun ini di tengah kondisi anomali iklim. Salah satu cara meningkatkan produksi adalah dengan memaksimalkan sawah yang sudah dapat ditanami tiga kali dalam setahun.
"Saya bisa menjamin produksi beras Sulsel tidak turun," ujar Wakil Gubernur Sulsel Agus Arifin Nu'mang di Makassar, Sulsel, Senin (25/1).
Agus mengatakan, untuk mengantisipasi terganggunya produksi beras akibat kekeringan, pihaknya akan memaksimalkan penanaman padi pada lahan- lahan yang sudah dapat ditanami tiga kali setahun atau IP 300. "Kalau biasanya pola tanam padi- padi-palawija, sekarang tiga kali musim tanam itu kami upayakan padi semua," katanya.
Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian Sulsel Muhammad Aris mengatakan, sejumlah daerah sentra beras di Sulsel sudah memiliki lahan IP 300, seperti di Kabupaten Maros seluas 8.000 hektar dan di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) dan Pinrang masing-masing 9.000 hektar. "Lahan-lahan itulah yang akan dioptimalkan untuk meningkatkan produksi beras," ujarnya.
Aris menambahkan, tahun ini target produksi gabah kering giling (GKG) Sulsel dipatok 5,7 juta ton atau meningkat 300.000 ton dibandingkan produksi tahun 2015 sebesar 5,4 juta ton GKG. Peningkatan produksi itu akan membuat surplus produksi beras Sulsel 2,3 juta ton atau meningkat dari surplus tahun 2015 sebesar 2,2 juta ton.
Pada musim tanam Oktober- Maret ini, Aris mengatakan, realisasi tanam sudah mencapai 60 persen dari rencana tanam untuk lahan seluas 570.000 hektar. "Sisanya masih akan berjalan dua bulan ke depan," ujarnya.
Surplus
Di Sumatera Selatan, walaupun terkena fenomena El Nino, produksi GKG masih surplus. Bahkan, kelebihan itu disalurkan ke beberapa provinsi yang membutuhkan, seperti Lampung, Bengkulu, Jambi, dan Pulau Jawa.
Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumsel Erwin Noor Wibowo saat dihubungi, Senin (25/1), mengatakan, akibat fenomena El Nino, produksi GKG tidak mencapai target yang ditetapkan. Pada tahun 2015, target produksi GKG 4,6 juta ton. Namun, akibat kemarau dan serangan hama, realisasi produksi 4,2 juta ton. "Walaupun tak mencapai target, tetap surplus 1,8 juta ton," katanya.
Erwin menyebutkan, tahun 2016 pemerintah menargetkan produksi GKG 4,5 juta ton. Namun kini, petani dihadapkan pada keterlambatan masa tanam. "Seharusnya, masa tanam dilakukan pada Oktober. Nyatanya, tanam Januari," ujar Erwin.
Untuk mengejar target tersebut, pihaknya melakukan percepatan masa tanam dan memperluas lahan tanam dengan menggali potensi lahan yang belum tergarap.
Menurut Erwin, peningkatan luas tanam terus dilakukan. Tahun 2014, luas tanam sawah padi 812.000 hektar. Jumlah itu meningkat tahun 2015 dengan luas tanam 894.000 hektar. Tahun 2016, menurut rencana, dilakukan penambahan 40.000 hektar luas tanam. Beberapa kabupaten akan ditambah luas tanamnya, antara lain Banyuasin, Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, dan Ogan Komering Ulu Timur
Di Sumatera Utara, dinas pertanian provinsi itu akan dilepas varietas baru padi darat (ladang) bernama sigambir. Produktivitas varietas itu 4 ton per hektar.
Kepala Seksi Pengembangan Lahan Dinas Pertanian Sumatera Utara Lusyantini mengatakan, luas panen padi darat saat ini sekitar 45.000 ton per tahun, sedangkan padi sawah 780.000 ton per tahun. Produktivitas padi darat sekitar 3,5 ton GKG per hektar serta ditanam dan dipanen satu tahun sekali dengan usia panen 4-5 bulan. Padi darat banyak ditanam di kawasan pegunungan, seperti di Simalungun, Toba Samosir, dan Karo. Di lereng Sinabung banyak warga memanfaatkan lahan untuk menaman padi darat.
Dari Palu, Sulawesi Tengah, dilaporkan, harga beras kelas medium di provinsi itu melonjak hingga menjadi Rp 11.000 per kilogram, dari sebelumnya Rp 8.000 hingga Rp 9.000. Harga naik dipicu menipisnya persediaan di daerah produksi.
(ENG/RAM/WSI/VDL)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160126kompas/?abilitastazione=#/22/
Senin, 25 Januari 2016
Pemberantasan Kartel Pangan Jadi Fokus KPPU
Minggu, 24 Januari 2016
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU pada 2016 masih memfokuskan pada pencegahan dan pemberantasan kartel pangan khususnya komoditas beras, daging dan ayam potong.
"Pemantauan terhadap beras, daging dan ayam masih berjalan. KPPU tetap komitmen dengan program itu yang didukung penuh Presiden Joko Widodo," ujar Wakil Ketua KPU, R Kurnia Sya"ranie di Medan, Sabtu.
Kartel daging misalnya sudah ditangani dengan memperkarakan perusahaan penggemuk sapi yang diduga melakukan kartel.
Adapun terhadap dugaan kartel komoditas beras akan dilakukan pendalaman pengawasan sesuai yang diinginkan pemerintah melalui Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
KPPU misalnya sudah melakukan pengawasan di 11 provinsi termasuk Sumut yang merupakan sentra produksi beras nasional.
Ayam ras juga akan fokus diawasi karena fluktuasi harganya sering terjadi.
"KPPU sudah melaporkan upaya kartel pangan itu ke Presiden Jokowi dan presiden mendukung penuh," katanya.
Menurut Kurnia, sebenarnya langkah pemerintah untuk menekan praktik kartel sudah dilakukan mulai dari menekan impor hingga memberikan kepercayaan kepada Bulog untuk menangani barang strategis.
"KPPU akan membantu dengan pengawasan dan pencegahan hingga memperkarakan kalau persaingan usaha tidak sehat masih dilakukan," katanya.
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/01/24/o1f0ll219-pemberantasan-kartel-pangan-jadi-fokus-kppu
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU pada 2016 masih memfokuskan pada pencegahan dan pemberantasan kartel pangan khususnya komoditas beras, daging dan ayam potong.
"Pemantauan terhadap beras, daging dan ayam masih berjalan. KPPU tetap komitmen dengan program itu yang didukung penuh Presiden Joko Widodo," ujar Wakil Ketua KPU, R Kurnia Sya"ranie di Medan, Sabtu.
Kartel daging misalnya sudah ditangani dengan memperkarakan perusahaan penggemuk sapi yang diduga melakukan kartel.
Adapun terhadap dugaan kartel komoditas beras akan dilakukan pendalaman pengawasan sesuai yang diinginkan pemerintah melalui Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
KPPU misalnya sudah melakukan pengawasan di 11 provinsi termasuk Sumut yang merupakan sentra produksi beras nasional.
Ayam ras juga akan fokus diawasi karena fluktuasi harganya sering terjadi.
"KPPU sudah melaporkan upaya kartel pangan itu ke Presiden Jokowi dan presiden mendukung penuh," katanya.
Menurut Kurnia, sebenarnya langkah pemerintah untuk menekan praktik kartel sudah dilakukan mulai dari menekan impor hingga memberikan kepercayaan kepada Bulog untuk menangani barang strategis.
"KPPU akan membantu dengan pengawasan dan pencegahan hingga memperkarakan kalau persaingan usaha tidak sehat masih dilakukan," katanya.
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/01/24/o1f0ll219-pemberantasan-kartel-pangan-jadi-fokus-kppu
Kemtan klaim surplus, tapi harga beras mahal
Minggu, 24 Januari 2016
Jakarta. Kenaikan harga beras di pasaran menjadi indikator minimnya pasokan beras.
Kenaikan harga beras yang sudah berlangsung sejak akhir tahun 2015 membuat masyarakat semakin sengsara.
Klaim pemerintah yang menyatakan ada surplus beras sebesar 10,25 juta ton tak sejalan dengan fakta di lapangan.
Impor beras yang dilakukan Perum Bulog pun semakin memperjelas produksi beras yang tidak seperti di klaim di atas kertas oleh pemerintah.
Saat ini, harga beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) tercatat mulai dari Rp 8.500 per kilogram (kg) hingga Rp 13.500 per kg.
Harga beras tersebut tergolong tinggi yang selama ini memberatkan masyarakat.
Kendati begitu, Kementerian Pertanian (Kemtan) mengklaim produksi beras melimpah dan ada surplus sebesar 10,25 juta ton.
Sementara itu menurut rilis Kementerian Perdagangan (Kemdag), harga beras medium di Jakarta rata-rata Rp 10.650 per kg dan di tingkat nasional Rp 10.880 per kg.
Kendati begitu, Kementerian Pertanian (Kemtan) masih ngotot pada data-data pangan yang tidak sejalan dengan kondisi di lapangan.
Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kemtan Suwandi misalnya mengatakan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2 November 2015 lalu, tercatat Angka Ramalan-II (ARAM-II) 2015 produksi padi 74,99 juta ton gabah kering giling (GKG) atau naik 5,84% dari produksi tahun 2014.
Rinciannya, produksi gabah tersebut diperoleh beras setara 43,61 juta ton yang berarti surplus untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan sekitar 33,35 juta ton beras nasional.
"Surplus beras sebesar 10,25 juta ton saat ini berada tersebar di produsen, penggilingan, pedagang, industri, rumah makan, restoran, konsumen dan di Bulog," klaim Suwanti dalam rilis akhir pekan lalu.
Ia bilang, saat ini ada sebanyak 900.000 ton beras impor masih di Gudang Bulog.
Kondisi ini membuktikan bahwa impor beras yang dilakukan pemerintah benar-benar hanya sebagai cadangan nasional saja.
Berdasarkan perkiraan Suwandi, sampai sekarang penduduk Indonesia belum mengkonsumsi beras impor.
"Kebutuhan konsumsi beras penduduk sebesar 2,6 juta ton per bulan cukup dipenuhi dari produksi dalam negeri," bebernya.
Menurut Suwandi, ketersediaan beras Januari-Maret 2016 dipastikan aman mengingat pada bulan Februari 2016 akan dipanen 5 juta ton gabah setara 3,1 juta ton beras dan pada Maret 2016 akan dipanen 12,56 juta ton gabah setara 7,9 juta ton beras.
Sedangkan konsumsi beras penduduk hanya 2,6 juta ton per bulan.
BPS pernah mengklarifikasi kalau data-data pangan yang diperoleh dari Kemtan terkadang angka-angkanya terlalu besar sehingga tidak sesuai dengan realitas di lapangan.
Karena itu, BPS akan melakukan pendataan sendiri bekerjasama dengan Kemtan agar data pangan sesuai dengan realitas di lapangan.
Sebab kalau saat ini ketersediaan beras melimpah, maka Bulog tidak perlu melakukan impor dan harga beras di pasaran lebih murah.
Tapi faktanya, surplus beras 10,25 juta ton yang diklaim Kemtan tersebut tidak jelas keberadaannya.
Akibatnya, Bulog harus mengimpor 1,5 juta ton beras dari Thailand dan Vietnam dan saat ini.
Bulog juga tengah menjajaki peluang impor beras 1,5 juta ton lagi dari Pakistan untuk mengantisipasi kekurangan pasokan beras pada bulan Maret bila panen raya mundur akibat mundurnya masa tanam.
Terkait klaim beras impro masih di dalam gudang, Direktur Utama Bulog Djarot Kusumayakti mengatakan sebagian besar beras impor sudah dijual ke pasar untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri.
Dengan begitu, maka beras impor sudah dijual ke masyarat karena pasokan beras dalam negeri masih kekurangan.
Jakarta. Kenaikan harga beras di pasaran menjadi indikator minimnya pasokan beras.
Kenaikan harga beras yang sudah berlangsung sejak akhir tahun 2015 membuat masyarakat semakin sengsara.
Klaim pemerintah yang menyatakan ada surplus beras sebesar 10,25 juta ton tak sejalan dengan fakta di lapangan.
Impor beras yang dilakukan Perum Bulog pun semakin memperjelas produksi beras yang tidak seperti di klaim di atas kertas oleh pemerintah.
Saat ini, harga beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) tercatat mulai dari Rp 8.500 per kilogram (kg) hingga Rp 13.500 per kg.
Harga beras tersebut tergolong tinggi yang selama ini memberatkan masyarakat.
Kendati begitu, Kementerian Pertanian (Kemtan) mengklaim produksi beras melimpah dan ada surplus sebesar 10,25 juta ton.
Sementara itu menurut rilis Kementerian Perdagangan (Kemdag), harga beras medium di Jakarta rata-rata Rp 10.650 per kg dan di tingkat nasional Rp 10.880 per kg.
Kendati begitu, Kementerian Pertanian (Kemtan) masih ngotot pada data-data pangan yang tidak sejalan dengan kondisi di lapangan.
Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kemtan Suwandi misalnya mengatakan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2 November 2015 lalu, tercatat Angka Ramalan-II (ARAM-II) 2015 produksi padi 74,99 juta ton gabah kering giling (GKG) atau naik 5,84% dari produksi tahun 2014.
Rinciannya, produksi gabah tersebut diperoleh beras setara 43,61 juta ton yang berarti surplus untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan sekitar 33,35 juta ton beras nasional.
"Surplus beras sebesar 10,25 juta ton saat ini berada tersebar di produsen, penggilingan, pedagang, industri, rumah makan, restoran, konsumen dan di Bulog," klaim Suwanti dalam rilis akhir pekan lalu.
Ia bilang, saat ini ada sebanyak 900.000 ton beras impor masih di Gudang Bulog.
Kondisi ini membuktikan bahwa impor beras yang dilakukan pemerintah benar-benar hanya sebagai cadangan nasional saja.
Berdasarkan perkiraan Suwandi, sampai sekarang penduduk Indonesia belum mengkonsumsi beras impor.
"Kebutuhan konsumsi beras penduduk sebesar 2,6 juta ton per bulan cukup dipenuhi dari produksi dalam negeri," bebernya.
Menurut Suwandi, ketersediaan beras Januari-Maret 2016 dipastikan aman mengingat pada bulan Februari 2016 akan dipanen 5 juta ton gabah setara 3,1 juta ton beras dan pada Maret 2016 akan dipanen 12,56 juta ton gabah setara 7,9 juta ton beras.
Sedangkan konsumsi beras penduduk hanya 2,6 juta ton per bulan.
BPS pernah mengklarifikasi kalau data-data pangan yang diperoleh dari Kemtan terkadang angka-angkanya terlalu besar sehingga tidak sesuai dengan realitas di lapangan.
Karena itu, BPS akan melakukan pendataan sendiri bekerjasama dengan Kemtan agar data pangan sesuai dengan realitas di lapangan.
Sebab kalau saat ini ketersediaan beras melimpah, maka Bulog tidak perlu melakukan impor dan harga beras di pasaran lebih murah.
Tapi faktanya, surplus beras 10,25 juta ton yang diklaim Kemtan tersebut tidak jelas keberadaannya.
Akibatnya, Bulog harus mengimpor 1,5 juta ton beras dari Thailand dan Vietnam dan saat ini.
Bulog juga tengah menjajaki peluang impor beras 1,5 juta ton lagi dari Pakistan untuk mengantisipasi kekurangan pasokan beras pada bulan Maret bila panen raya mundur akibat mundurnya masa tanam.
Terkait klaim beras impro masih di dalam gudang, Direktur Utama Bulog Djarot Kusumayakti mengatakan sebagian besar beras impor sudah dijual ke pasar untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri.
Dengan begitu, maka beras impor sudah dijual ke masyarat karena pasokan beras dalam negeri masih kekurangan.
Langganan:
Postingan (Atom)