Kamis, 28 Januari 2016
JAKARTA – Presiden Joko Widodo mesti tegas mengevaluasi kinerja menteri terkait pangan yang masih terus melanjutkan kebijakan impor pangan tanpa kendali dan melecehkan arti penting kedaulatan pangan. Pasalnya kedaulatan pangan adalah salah satu unsur terpenting ketahanan nasional sebuah negara setelah energi dan kekuatan militer.
Terbukti, tidak ada Negara Adidaya dunia yang tidak mandiri pangan. Contohnya, Amerika Serikat (AS) adalah produsen dan eksportir gandum terbesar dunia.
“Mereka bisa maju bukan hanya karena menguasai teknologi, tapi terlebih dahulu mampu menyelesaikan masalah kebutuhan pangan. Pemerintah AS tidak segan-segan mendukung petani gandum mereka dengan aturan proteksi, riset hingga promosi, seperti sosialisasi sarapan gandum ke masyarakat,” ujar pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Suroso Imam Zadjuli, saat dihubungi, Rabu (27/1).
Dengan strategi seperti itu, lanjut dia, produk lokal terserap dan petani semakin bergairah bercocok tanam. Akibatnya, produktivitas nasional meningkat sehingga mendukung kemandirian pangan, dan mampu mengekspor untuk membantu perekonomian.
“Demikian halnya di Jepang dan Thailand. Intervensi pemerintah dalam mendukung pertaniannya sangat terasa. Hasilnya, beras Thailand paling banyak dikirim ke Indonesia,” ungkap Suroso.
Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta, Masyhuri, meminta pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak mempertahankan menteri terkait pangan bermental pedagang yang cenderung memilih cara gampang mengimpor pangan dengan alasan lebih murah ketimbang membangun kekuatan pangan nasional.
Buah Pontianak
Masyhuri mencontohkan daerah Kalimantan Barat sebagai penghasil buah-buahan tidak bisa menjual produknya dengan harga baik, padahal produksi di sana jauh lebih banyak dari konsumsi. Sementara untuk dijual ke Jakarta tidak bisa dilakukan karena tidak mendapat dukungan akses pasar dari pemerintah.
“Mereka cuma bisa jual di Pontianak. Inilah semestinya fungsi pemerintah. Kalau pergerakan hasil pertanian antardaerah bisa jalan, orang Jakarta tidak perlu menunggu buah impor yang disubsidi negara eksportir. Ini berarti para menteri tidak punya peran buat rakyatnya. Mereka tak mengerti tugas dan tanggungjawabnya,” ujar Masyhuri.
Berdasarkan pemantauan wartawan Koran Jakarta Peri Irawan di Pontianak, Kalimantan Barat, sejumlah pedagang buah mengeluhkan anjloknya harga yang mengakibatkan kerugian. “Untuk rambutan, satu ikat dihargai 1.000 rupiah saja. Buah langsat dihargai 3.000 rupiah per kilogram. Durian juga 3 buah bisa dihargai 10 ribu rupiah. Harga ini sudah sangat di bawah standar. Petani kita pasti rugi,” ujar Rony, 42 tahun, pedagang buah di kawasan Jalan Gajah Mada, Pontianak.
Rony mengungkapkan murahnya harga komoditas pertanian di Kalbar itu membuat dia harus mengatur strategi untuk mengurangi kerugian, dengan cara menjual jenis buah-buahan lain yang harganya masih menguntungkan.
“Makanya, kita jual rambutan per ikat seribu rupiah saja biar nggak terlalu rugi, minimal bisa balik modal. Buah-buahan begini tidak tahan lama, apalagi buah-buahan lokal tanpa pengawet. Kalau busuk kita buang saja,” kata Rony.
Ali, 64 tahun, pedagang buah di satu kawasan dengan Rony, memaparkan murahnya harga tersebut disebabkan pasokan yang melimpah. “Itu karena sudah banyaknya buah. Kalau lagi musimnya yakni akhir dan awal tahun, buah-buahan disini berlimpah, seperti rambutan dan langsat sampai nggak ada harganya,” tukas Ali yang mengaku telah berpuluh tahun berjualan buah itu.
Ia menilai selama ini nasib buah-buahan lokal seperti diinjak-injak oleh maraknya buah impor. Untuk itu, Ali berharap pemerintah bisa secepatnya turun tangan dan berpihak kepada petani lokal. Produksi buah-buahan yang melimpah di Pontianak itu, menurut dia, sebenarnya bisa dikirim ke Jawa atau Sumatera yang penduduknya lebih banyak, dengan harga yang lebih layak.
http://www.koran-jakarta.com/kedaulatan-pangan-syarat-mutlak-jadi-negara-kuat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar