Kamis, 21 Januari 2016
BENAR-BENAR tak gampang menjaga kekuasaan agar tetap berada di jalur yang sudah ditentukan. Ia begitu riskan untuk dibelokkan tatkala mereka yang diberi kuasa mabuk kepentingan pribadi dan golongan.
Postulat itulah yang belakangan secara terang benderang dipertontonkan di Senayan. Mereka, para wakil rakyat yang katanya terhormat, lagi-lagi menggadaikan kehormatan dalam menjalankan fungsi dan kewenangan. Fungsi dan kewenangan yang semestinya semata digunakan demi kemaslahatan rakyat malah dijalankan sembarangan.
Undang-undang menyebutkan DPR punya tiga fungsi, yakni legislasi, pengawasan, dan anggaran. Namun, nyaris tak satu pun dari ketiganya yang optimal ditunaikan. Yang terjadi justru sebaliknya, fungsi dan kewenangan itu dikelola secara serampangan. Di bidang legislasi, DPR amat minim menghasilkan undang-undang. Di bidang anggaran, masih saja terjadi patgulipat untuk mengeruk fulus. Pun dalam hal pengawasan, dewan menjalankannya sesuai dengan selera. Mereka melebar ke mana-mana dalam menggunakan kekuasaan untuk mengawasi eksekutif itu kendati undang-undang telah memberikan batasan.
Atas nama pengawasan, misalnya, pimpinan DPR sepakat untuk memanggil pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka ingin mempersoalkan penggeledahan ruangan anggota dewan pada Jumat (15/1) terkait dengan kasus korupsi yang menjerat anggota Komisi V dari Fraksi PDIP, Damayanti Wisnu Putranti.
Penggeledahan kala itu memang heboh. Situasi menjadi gaduh ketika Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dari PKS menghalangi penggeledahan karena penyidik KPK dikawal anggota Brimob bersenjata laras panjang. Padahal, pengawalan Brimob tersebut sudah sesuai dengan prosedur dan sudah pernah pula dilakukan di saat penyidik KPK menggeledah ruangan anggota DPR periode 2009-2014, Sutan Bhatoegana dan Tri Yulianto, dua tahun silam.
Namun, sekali lagi, dewan tetap menganggap perkara itu sebagai persoalan. Arogansi serta ego lembaga begitu kuat membius dan dengan mengatasnamakan pengawasan, mereka hendak menegur KPK.
Drama dengan lakon pengawasan dewan yang kebablasan juga secara telanjang diumbar Komisi III di panggung rapat dengar pendapat (RDP) dengan Jaksa Agung HM Prasetyo, dua hari terakhir ini. Amat gamblang terpampang RDP sebagai salah satu media pengawasan DPR berubah menjadi ajang penghakiman.
Sebagian besar anggota Komisi III mencecar Jaksa Agung perihal langkah kejaksaan menyelidiki kasus 'papa minta saham' yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto. Bahkan ada yang menilai kasus itu tak cukup bukti secara hukum sehingga harus dihentikan.
Substansi pengawasan juga merambah segala penjuru hingga ke kasus-kasus individu. Atas nama pengawasan, mereka menyoal pencekalan terhadap Direktur PT Mobil 8 milik Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo, Harry Jaya, terkait dengan perkara restitusi pajak. Anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra kemudian malah walk out.
Sungguh, teramat sulit bagi kita untuk menerima jalan pikiran anggota DPR tersebut. Bagaimana bisa mereka menilai sebuah kasus yang tengah diselidiki tak cukup bukti dan harus dihentikan? Bukankah itu terang-terangan merupakan intervensi terhadap hukum? Bukankah mereka seharusnya mendukung penuh kejaksaan untuk memproses tuntas megaskandal 'papa minta saham'? Juga, atas dasar apa mereka gigih mempermasalahkan pencekalan terhadap Harry Jaya? Tak salah jika ada yang beranggapan bahwa sikap anggota Komisi III kali ini sarat dengan kepentingan pribadi dan kelompok.
UU menggariskan bahwa DPR melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah. Itulah fungsi mulia yang wajib dijalankan dengan cara dan tujuan yang mulia pula. Amat tak patut menjadikan pengawasan sebagai jubah untuk menekan, menghakimi, dan mengintervensi pemerintah demi kepentingan pribadi dan golongan.
http://news.metrotvnews.com/read/2016/01/21/472568/intervensi-berjubah-pengawasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar