Senin, 4 Januari 2016
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu memperkuat kebijakan pangan, terutama impor pangan, dengan validitas data dan peta pangan. Tanpa hal ini, Indonesia akan terus berada dalam lingkaran ketidakstabilan harga kebutuhan pokok.
Selain itu, kebijakan pangan yang tidak tepat dapat terus terjadi.
Direktur Eksekutif Institue for Development of Economics dan Finance (Indef) Enny Sri Hartati kepada Kompas, Sabtu (2/1), di Jakarta, mengatakan, tiga persoalan krusial mengenai pangan adalah validasi data, peningkatan produktivitas, dan pemerataan distribusi. Tiga persoalan tersebut bisa dikelola dengan baik berdasarkan peta pangan, yang antara lain melingkupi daerah penghasil pangan, produksi, dan konektivitas distribusi.
Validasi data pangan merupakan hal penting sebab data yang tidak tepat dan tidak benar akan menyebabkan ketidaktepatan dalam pengambilan kebijakan pangan. Selama ini pemerintah menyatakan stok cukup, tetapi harga pangan tetap tinggi.
"Hal ini terjadi karena pendekatan statistik pemerintah masih lemah. Dalam kasus daging sapi misalnya. Tidak semua ternak di penggemukan dan peternakan rakyat bisa dipotong untuk konsumsi. Pemerintah seharusnya menyajikan data riil atau asumsi, berapa persen ternak yang bisa dipotong dan yang tidak," katanya.
Di sisi lain, kata Enny, peningkatan produktivitas dan pemerataan distribusi juga masih menjadi kendala sehingga masih bergantung pada impor. Kendati demikian, pemerintah sudah mulai memperbaiki sejumlah hal.
Kebutuhan
Untuk mengatasi kebutuhan sapi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi serta Lampung, pemerintah telah menyediakan kapal pengangkut sapi dari Nusa Tenggara Timur ke DKI Jakarta. Upaya ini perlu ditindaklanjuti dengan penyediaan kapal pengangkut sapi dari Jawa Timur, wilayah yang surplus sapi, ke DKI Jakarta.
"Terkait dengan pangan yang mudah rusak, seperti cabai, perlu ada pengaturan giliran tanam dan panen cabai serta pendistribusiannya, yang bisa dilakukan bergantian antardaerah," kata Enny.
Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen juga berpendapat sama. Dia menilai, selama ini pemerintah tidak pernah menghitung data produksi, stok, dan kebutuhan konsumsi bahan pokok secara akurat.
"Gula kristal putih (GKP) misalnya. Berdasarkan penghitungan pemerintah, kebutuhan GKP nasional rata-rata 250.000 ton per bulan. Namun, rata-rata GKP yang dijual pedagang per bulan 150.000-200.000 ton. Pedagang masih mempunyai stok sisa GKP 50.000-100.000 ton per bulan," katanya.
Soemitro menambahkan, jika kebutuhan konsumsi GKP sebanyak 250.000 ton per bulan, sisa 50.000-100.000 ton per bulan tersebut justru terpenuhi dari rembesan gula rafinasi dan GKP yang masuk secara ilegal. GKP ilegal ini ditengarai banyak tersebar di wilayah-wilayah perbatasan di Kalimantan, bahkan ada yang didistribusikan sampai ke Sulawesi.
Pada 2016, pemerintah berencana mengimpor sejumlah kebutuhan pokok. Sapi bakalan akan diimpor sebanyak 600.000 ekor, daging sapi 50.000-60.000 ton, dan gula 200.000 ton.
Khusus impor kedelai, pemerintah tidak menentukan jumlahnya. Namun, pengimpor harus menyerap kedelai petani terlebih dahulu untuk mendapatkan izin impor kedelai.
Berdasarkan data nasional di laman Kementerian Perdagangan, harga daging sapi dalam satu bulan terakhir meningkat dari Rp 108.223 per kilogram menjadi Rp 110.264 per kilogram. Adapun harga cabai merah besar melonjak dari Rp 27.093 per kilogram menjadi Rp 40.126 per kilogram.
(HEN)
http://print.kompas.com/baca/2016/01/04/Data-dan-Peta-Pangan-Memperkuat-Kebijakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar