Selasa, 1 Desember 2015
“Sejak menjabat presiden pada 20 Oktober 2014, Jokowi bersikeras tak mau impor bahan pangan, terutama beras”
PERTAHANAN terbaik adalah menyerang, kata Sun Tzu (544- 496 SM), filsuf, jenderal, dan ahli strategi perang asal Tiongkok. Begitu pun strategi pertahanan pangan. Bila hanya bertahan dengan berproduksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, tanpa menyerang lawan dengan ekspor, niscaya benteng pertahanan pangan itu mudah dijebol.
Itulah yang terjadi pada pemerintahan Presiden Joko Widodo. Strategi pertahanan pangan yang selama ini digembar-gemborkan Jokowi, terutama menyangkut komoditas beras, ternyata dengan mudah dijebol. Ironisnya, yang menjebol justru pemerintah sehingga pertahanan pangan Jokowi pun runtuh.
Wapres Jusuf Kalla, Rabu (11/11) mengakui memasukkan beras dari Vietnam. Beras itu sudah masuk Jakarta dan daerah-daerah lain. Rabu (4/11) misalnya, 4.800 ton beras dari Vietnam tiba di Manado, Sulut. Impor itu untuk memenuhi persediaan atau stok di berapa daerah akibat El Nino yang memundurkan jadwal panen karena kekeringan.
JK mengklaim kekeringan pada Agustus hingga November 2015 memicu mundurnya masa panen padi sehingga persediaan beras untuk tahun depan menjadi berkurang. Terpenting, katanya, pemerintah menyiapkan cukup cadangan beras, termasuk dari impor. Itu demi rakyat, bukan demi segelintir orang untuk menjaga citra.
Menjaga citra segelintir orang? Mungkin yang dimaksud JK adalah Presiden Jokowi. Sebab, sejak menjabat Presiden pada 20 Oktober 2014, mantan Wali Kota Solo dan mantan Gubernur DKI Jakarta itu bersikukuh tidak mau mengimpor bahan pangan, terutama beras.
Tatkala meninjau persawahan di Cilamaya Wetan, Karawang, Jabar, Minggu (27/9), Jokowi masih bersikeras belum mau impor. Dia mengklaim saat itu cadangan beras Bulog 1,7 juta ton. Jumlah itu masih ditambah 200 ribu-300 ribu ton beras hasil panen Oktober- November 2015 sehingga aman untuk stok nasional.
Dalam pidato yang dibacakan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman pada ”Rembug Paripurna Kelompok Tani Nasional Andalan (KTNA) Expo 2015” di Boyolali, Jumat (6/11), Jokowi masih bersikukuh takkan mengimpor beras. Sepanjang 2015, katanya, Indonesia tidak akan mengimpor berkat percepatan peningkatan produksi pangan.
Di hadapan kelompok tani dari 34 provinsi, Presiden melalui Menteri Pertanian juga menjelaskan, Indonesia yang berpenduduk 252 juta jiwa dengan laju pertumbuhan sekitar 1,49% membutuhkan pangan dalam jumlah besar. Presiden ingin swasembada pangan dapat dicapai dalam waktu tiga tahun.
Produksi komoditas pangan pun harus dipercepat untuk menghindari impor beras. Ada enam provinsi yang menjadi tumpuan produksi beras nasional, yakni Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Memastikan
Namun lain ladang lain belalang. Wapres Kalla pada Senin (21/9/15) justru lebih dulu memastikan pemerintah bakal mengimpor beras dari Thailand, Vietnam, Brasil, dan Pakistan.
Menurutnya, impor merupakan opsi terakhir yang dipilih pemerintah supaya stok pangan mencukupi hingga akhir tahun.
Wapres menganggap stok Bulog saat itu masih kurang aman. Stok beras untuk warga miskin (raskin) di gudang Bulog kurang lebih 1,5 juta ton hingga akhir tahun. Padahal stok pangan untuk seluruh penduduk Indonesia diperkirakan 2,5 juta-3 juta ton per bulan.
Tidak kali ini saja Presiden dan Wapres berbeda pendapat. Ironisnya, justru kebanyakan pendapat Wapres yang terlaksana ketimbang pendapat Presiden. Contoh lain adalah dalam pergantian kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri usai penggeledahan kantor PT Pelindo II di Jakarta.
Mengapa pula Wapres Kalla berani menyatakan bahwa impor beras itu demi rakyat, bukan demi menjaga citra segelintir orang? Apakah sesungguhnya Kalla is the real President?
Di luar itu, apakah di balik Wapres Kalla ada para pemburu rente? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, impor beras tersebut akan menguntungkan para pemburu rente, terutama mafia beras yang selama ini begitu mudah mengatur tata niaga dan harga komoditas makanan pokok rakyat Indonesia ini. (43)
— Suharto Wongsosumarto, alumnus Fakultas Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/keruntuhan-pertahanan-pangan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar