Selasa, 19 Juli 2016
Selasa pekan lalu, Presiden Joko Widodo memanggil tiga menteri ke Istana. Mereka adalah Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Ferry Mursyidan Baldan.
Dalam pertemuan itu, Presiden mengevaluasi proses penyediaan lahan untuk investasi pangan, yang diprioritaskan untuk sektor peternakan sapi, jagung, dan tebu untuk memasok bahan baku gula.
Presiden sadar, tanpa menggenjot investasi, akan sulit meningkatkan produksi ketiga komoditas itu.
Dalam pertemuan Senin (18/7) pagi, Kementerian Pertanian, KLHK, Kementerian ATR, merumus kan komitmen baru. Mereka menyebut pemerintah akan menyediakan 2 juta hektare lahan untuk dapat digarap sebagai lahan pangan.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyampaikan penyediaan lahan tersebut diprioritaskan untuk investasi lahan tebu, jagung, dan peternakan sapi. Amran mencontohkan sejumlah perusahaan pabrik gula kekurangan lahan sehingga produksinya tidak optimal. Untuk dapat swasembada gula dibutuhkan tambahan lahan seluas 500.000 ha.
“Khusus gula misalnya ada 380.000 hektare dan 30 perusahaan siap operasi, ada 15 perusahaan sudah investasi bangun pabrik. Potensi ini mesti dimaksimalkan karena mereka sudah investasi,” jelas Amran dalam konferensi pers, Senin (18/7).
Mentan menyebut kurangnya ketersediaan lahan menyebabkan pabrik-pabrik gula tersebut tidak dapat memaksimalkan kapasitas secara penuh.
Dia menyebut pemerintah ingin menekan impor gula seperti impor jagung yang sepanang tahun ini sudah turun hingga 47%
“Potensi ini harus kita optimalkan. Mereka sudah investasi hingga Rp2 triliun—Rp4 triliun. Kapasitasnya 10.000 tcd , tapi bahan baku yang tersedia hanya mampu mencukupi 5.000 tcd, jadi idle capacity,” kata Amran.
Bukan kali ini pemerintah bergerak mencari lahan. Bisnis mencatat setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir pemerintah tertatih-tatih mencari lahan untuk merealisasikan investasi. Tanpa lahan, sulit untuk melepaskan ketergantungan pada impor pangan.
Hal tersebut berujung pada stagnasi pembangunan pabrik gula kristal putih (GKP) atau gula konsumsi. Kita masih tergantung dengan PG BUMN yang berumur sangat tua dan tidak lagi efisien. Pabrik gula baru yang dibangun dalam 10 tahun terakhir bisa dihitung jari.
Sulitnya mendapatkan lahan pun berujung pada pembangunan sebelas pabrik gula rafinasi tanpa kebun. Meski UU Perkebunan mewajibkan kepemilikan kebun 2 tahun setelah memiliki izin usaha, hingga saat ini PG rafinasi masih menggantungkan bahan baku pada 3 juta ton gula mentah (raw sugar) impor per tahun sebagai bahan baku.
Hal yang sama terjadi pada lahan untuk peternakan sapi. Lahan untuk mengembangkan peternakan terbatas, sehingga investor pembibitan ternak dapat dihitung jari. Padahal, Indonesia mengimpor rata-rata 80.000 ton daging dan 600.000 ekor sapi bakalan setiap tahun.
SENTIMEN NEGATIF
Secara tidak langsung, kebijakan impor komoditas pangan menjadi sentimen negatif bagi investor yang hendak masuk ke sektor tersebut. Apalagi, biaya produksi pangan tertentu seperti gula, kedelai, dan daging sapi di dalam negeri masih lebih tinggi dibandingkan dengan impor.
Beruntung, belakangan ada Tim Percepatan Investasi yang dibentuk Kementan. Sejumlah investor baik lokal maupun asing dihimpun, difasilitasi kelancaran perizinannya, dan terus didampingi proses pengurusan lahan. Pemerintah sebelumnya menyerahkan urusan pencarian lahan bulat-bulat pada investor.
Tim tersebut yang saat ini giat menarik investor. Dalam perjalanan, segera aturan soal lahan yang dinilai menghambat investasi pangan disisir. Tercatat sedikitnya tiga beleid terkait lahan sedang diajukan revisi, sehingga proses penjajakan lahan lebih mudah dilakukan.
Pertengahan tahun lalu, Dirjen Perkebunan Kementan Gamal Nasir sempat memiliki target penambahan luas tanam tebu sebanyak 300.000 ha untuk mengejar swasembada gula. Saat itu pemerintah berencana membangun hingga sepuluh pabrik gula baru.
Pada pekan kedua Mei 2015, Gamal menyebut pihaknya telah berulang kali mengadakan rapat intensif dengan KLHK dan Kementerian ATR untuk memetakan lahan-lahan potensial.
“Kami sudah lima kali menggelar rapat intensif dengan BPN dan KLHK,” kata Gamal saat dihubungi Bisnis.
Belum tuntas soal pembahasan lahan tersebut, Desember 2015, pemerintah lalu membentuk Tim Pencadangan Lahan Investasi yang beranggotakan perwakilan dari KLHK, Kementerian Pertanian, dan Kementerian ATR.
Jumat, 18 Desember 2015, Menteri LHK Siti Nurbaya menyebut lahan yang diperlukan untuk investasi tebu, jagung, dan peternakan sapi tersebut yaitu masing-masing 1 juta ha, 600.000 ha, dan 350.000 ha. Total lahan 2 juta ha ini akan menjadi target khusus tim teknis.
“Saya maunya ini berjalan cepat. Setelah ini kami akan komunikasikan ke pemerintah daerah, karena lahan ada di daerah. Kami akam dorong kepala daerahnya karena investasi ini untuk kemajuan ekonomi daerah mereka juga,” kata Siti kala itu.
Konon, selain sejumlah regulasi yang saat ini tengah diajukan revisi, birokrasi di daerah pun menjadi momok utama bagi investor yang ingin menjajaki investasi pangan. Tidak sedikit realisasi investasi stagnan akibat proses di daerah yang rumit.
Pemanggilan yang dilakukan Presiden Joko Widodo pada tiga menteri pekan lalu seharusnya menjadi warning call bagi para menteri teknis. Sudah sangat lama angin surga penyediaan lahan untuk investasi pangan berhembus.
Realisasi investasi pangan pun harus menyentuh segala sisi, mulai dari pendampingan penjajakan lahan bersama investor, penyederhanaan birokrasi, hingga mengajak pemerintah daerah ikut berkomitmen menekan impor komoditas pangan.
Ketercukupan pangan di dalam negeri akan sulit terlepas dari ketergantungan impor selama tidak ada investasi dalam skala besar. Selain ketersediaan lahan bagi para investor, faktor lain seperti pengaturan impor pangan pun ikut mempengaruhi minat investor untuk masuk ke sektor pangan.
http://koran.bisnis.com/read/20160719/244/567098/alokasi-lahan-jangan-hanya-angin-surga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar