Jumat, 15 Juli 2016
Dalam tahun ini, pemerintah menugaskan Perum Bulog menyerap gabah kering panen alias GKP sebanyak 4 juta ton-setara 2 juta ton beras-dengan membeli langsung dari petani. Bulog menargetkan pengadaan untuk public service obligation sebesar 3,2 juta ton setara beras atau 63 persen adalah GKP.
Mampukah Bulog memenuhi target tersebut? Padahal, instrumen kebijakannya tidak berubah, masih bertumpu pada harga pembelian pemerintah, serta infrastruktur Bulog yang minim.
Sampai akhir Juni, Bulog baru mampu menyerap gabah/beras 1,8 juta ton setara beras, mengimpor beras 0,7 juta ton. Pengadaan Bulog dominan berlangsung dalam periode Maret-Juni, yang mengambil pangsa sekitar 70 persen dari total pengadaan tahunan. Pengadaan dalam negeri Bulog bertumpu pada harga pembelian pemerintah (HPP), terakhir ditetapkan pada pertengahan Maret 2015.
Badan Pusat Statistik melaporkan, pada akhir Juni harga gabah/beras di penggilingan padi masing-masing Rp 5.600/kg gabah kering giling (GKG), Rp 8.300/kg (beras medium), dan harga beras eceran termurah mencapai Rp 10.400/kg. Harga gabah tidak turun secara berarti walau pada musim panen raya (Maret-Mei). Sementara HPP sudah sangat rendah: Rp 4.600/kg (GKG), dan Rp 7.300/kg (beras medium).
Saat ini hingga September mendatang tanaman padi sedang memasuki musim panen gadu pertama. Harga gabah akan bergerak naik, seiring berkurangnya produksi serta membaiknya kualitas gabah. Kalau pada musim gadu ini beriklim basah, kemungkinan produksi gabah bisa meningkat, tetapi kualitas gabah dan rendemennya relatif rendah, sehingga harga GKP tertekan, sebaliknya harga beras menjadi lebih tinggi.
Dalam situasi itu, Bulog hampir tidak mungkin mampu menambah sisa target pengadaan mencapai 1,4 juta ton, dan diperkirakan paling realistis hanya bertambah 0,5 juta ton. Kalau itu terjadi, pengadaan Bulog hanya mencapai 2,3 juta ton setara beras, dan tidak cukup untuk kebutuhan program beras untuk rakyat sejahtera (rastra)/beras untuk rakyat miskin (raskin) sebesar 2,8 juta ton.
Artinya, kelebihan penyaluran program rastra 22 persen di atas kemampuan pengadaan dalam negeri, sehingga kekurangan itu harus ditutupi dengan beras impor. Bulog berencana untuk memperbanyak dan memperluas intervensi pasar guna meredam kenaikan harga, terutama pada musim paceklik mulai November mendatang. Itu juga akan menggunakan beras impor.
Daya serap gabah
Salah satu infrastruktur penting yang dimiliki Bulog adalah gudang tempat penyimpanan beras, berkapasitas mendekati 4 juta ton, investasi 1970-an dan 1980-an. Itu terdiri dari gudang Bulog baru (69 persen), gudang Bulog modern (10 persen), sisanya gudang semipermanen, gudang daerah terpencil, dan gudang lama.
Pada awal 2000-an, pemerintah mendanai pembangunan dryers, penggilingan padi (PP), dan silo. Tujuannya agar Bulog tidak terkendala untuk menyerap gabah petani. Maka, dibangunlah 132 unit PP, berskala menengah dengan kapasitas produksi 1,5-3 ton beras per jam, total kapasitas giling 0,5 juta ton GKG per tahun. Namun, PP itu tidak terintegrasi dengan silo yang kapasitasnya 12.000 ton. Pada saat yang sama dibangun pula 123 unit dryers, dengan kapasitas pengeringan 0,25 juta ton GKG per tahun.
Infrastruktur pasca panen yang dibangun tersebut sangat lemah: studi kelayakannya kurang matang, dan kentalnya "intervensi Senayan", terutama dalam pemilihan tempat maupun merek alat/mesin PP atau dryers. Mesin PP digerakkan dengan bahan bakar solar bersubsidi tanpa analisis sensitivitas. Demikian juga penggunaan bahan bakar solar untuk menggerakan dryers, tidak dirancang menggunakan sekam yang berlimpah ketersediaannya. Alhasil, banyak infrastruktur yang telah dibangun tersebut terbengkalai, rusak/tua, tidak ekonomis, atau yang belum optimal pemanfaatannya.
Pada situasi demikian, Bulog "tidak berdaya" menyerap GKP langsung dari petani atau pengadaan GKG. Sekiranya Bulog mampu menyewa dryers untuk mengejar target pengadaan 4 juta ton GKP, Bulog harus menyimpannya dalam bentuk GKG. Gudang Bulog tidak cocok untuk itu, apalagi kalau disimpan bersama beras. Kalau GKG disimpan dalam karung, gabah cepat rusak, paling lama bertahan tiga bulan. Bulog memerlukan beras untuk berbagai keperluan. GKG dari gudang Bulog dibawa dan digiling di PP swasta, kemudian beras diangkut kembali ke gudang, sehingga Bulog harus menanggung empat kali biaya angkut, dan susut tinggi.
Pemerintah seharusnya mempertimbangkan hal-hal seperti berikut. Pertama, pada saat Bulog belum memiliki infrastruktur yang kuat dan memadai jumlahnya (seperti dryers dan silo yang terintegrasi dengan PP modern dalam satu kompleks), dan Bulog sebaiknya "jangan diharuskan" banyak menyerap GKP/ GKG. Kalau dipaksakan, jumlah pengadaan Bulog pasti menurun, kerusakan/pemeliharaan GKG akan tinggi, juga biayanya. Seharusnya pemerintah sudah merealisasikan APBN untuk penguatan infrastruktur pasca panen modern untuk Bulog. Tidak ada jalan pintas lainnya.
Kedua, pemerintah perlu mencari instrumen lain untuk memperbesar pengadaan gabah/beras dalam negeri, tidak hanya mengandalkan instrumen HPP. Salah satu di antaranya adalah menetapkan kewajiban PP besar (melalui peraturan) untuk menyetor 5-10 persen dari total volume giling beras premium ke pemerintah/Bulog untuk memperkuat cadangan beras pemerintah.
Ketiga, rancang agar jumlah penyaluran rastra disesuaikan dengan kemampuan pengadaan dalam negeri Bulog, yaitu tidak lebih dari 2 juta ton per tahun.
M HUSEIN SAWIT
SENIOR POLICY ANALYST PADA CENTER FOR AGRICULTURE AND PEOPLE SUPPORT (CAPS); SALAH SEORANG PENDIRI HOUSE OF RICE
http://print.kompas.com/baca/2016/07/15/Target-Pengadaan-Gabah-Bulog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar