Senin, 17 Februari 2014

Dari Inspeksi Jadi Kontroversi

Senin, 17 Februari 2014

 Polemik Beras Vietnam

Kisruh beras impor membanjiri pasar bukan permasalahan baru. Jauh sebelum permasalahan beras Vietnam mengemuka, para pedagang dan petani kerap mengeluhkan kebijakan tersebut. Sebab, dinilai merugikan mereka.  

BANJIR yang melanda sebagian wilayah DKI Jakarta beberapa pekan, membuat pemerintah kha­watir. Rapat koordinasi tentang stabilisasi harga pangan yang biasa di­gelar di Kantor Kemenko Perekonomian, Lapangan Banteng pun ber­pindah tempat.  Beberapa menteri ekonomi yang dipimpin Menko Perekonomian Hatta Rajasa meluncur ke Pasar Induk Cipinang di Jakarta Timur, Rabu (22/1)

Tujuannya, untuk memantau harga beras di tengah kondisi banjir pada awal tahun ini. Agenda lalu dilanjutkan dengan rapat koordinasi di Gudang Bu­log, Ke­lapa Ga­ding, Ja­karta.

Sesampainya di Pa­sar Induk Ci­pi­nang, mereka me­ninjau kios  Bu­log yang sudah di­siap­kan. Be­bera­pa warta­wan televisi dan foto­grafer pun si­buk mengambil gam­bar Hatta Ra­jasa, Men­teri Pertanian Suswo­no, dan Kepala Badan Pusat Sta­tistik Suryamin saat me­ninjau beras di kios tersebut.

Wartawan ce­tak yang berada di be­lakang kerumunan lalu melihat Wakil Menteri Perdagangan Ba­yu Krisnamur­thi dihampiri se­orang pria.

Usut punya usut, pria itu bernama Bili Harianto, se­orang pedagang beras di pasar itu. Bili menyampaikan protes ke pemerintah.

”Begini Pak, ada beras Viet­nam mulai marak masuk di pasar. Harganya murah, tapi bukan beras khusus. Harganya itu lebih murah Rp 500. Ini kan bikin harga jatuh,” ka­ta Bili.

Dia mengaku rugi dengan masuknya beras impor tersebut.

”Kata pedagangnya itu legal. Karena ada surat dari Dirjen Perdagangan Luar Negeri (Ke­mendag). Itu ada kop suratnya,” katanya.

Setelah melihat beras tersebut, Bayu menyatakan, beras tersebut tidak boleh diimpor. Sebab, beras umum dan hanya Bulog yang boleh mengimpor. Sementara pengusaha swasta hanya diperbolehkan impor beras khusus.

Mereka akhirnya berdebat. Beberapa pedagang lain juga ikut protes ke Bayu.

Bayu menjanjikan akan mengecek izin impor beras itu. Menurutnya, beras tersebut ilegal. Namun, pedagang menilai beras tersebut resmi diimpor karena ada izinnya. Hatta yang ditemui usai rakor juga berujar beras tersebut ilegal.

Beberapa hari kemudian, inspeksi ke pasar ini akhirnya menjadi kontroversi beras Vietnam. Beritanya menghiasi beberapa media. Bayu kemudian meralat pernyataannya. Ia menyebut beras tersebut berjenis premium yang sah diimpor. Pihaknya kemudian menyelidiki dugaan permainan impor beras.

Dia menegaskan pihaknya tidak menemukan kesalahan prosedur pada beras Vietnam tersebut.

Menurutnya, wewenang Ke­men­terian Perdagangan dalam kasus ini adalah menerbitkan Surat Persetujuan Impor (SPI) atas rekomendasi Kementerian Pertanian. Dan, itu sudah dija­lankan dengan benar.

Menurut Bayu, ketentuan mengimpor beras khusus diatur berdasarkan Peraturan Menteri perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tanggal 11 April 2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras.

Berdasarkan peraturan tersebut, diatur tata niaga impornya, antara lain beras untuk keperluan stabilisasi harga, penanggulangan keadaan darurat, raskin dan kerawanan pangan. Beras tersebut diimpor Perum Bulog dengan tingkat kepecahan 5%-25%.

Selain itu, beras yang diatur tata niaga impornya adalah beras untuk keperluan tertentu (beras konsumsi khusus) yang terkait dengan kesehatan/dietary dan konsumsi khusus/segmen tertentu, antara lain beras ketan, beras ketan pecah 100%, beras pecah 100%, beras kukus, beras Thai Hom Mali, beras Japonica, dan beras Basmati (tingkat keterpecahan paling tinggi 5% untuk beras Japonica dan Basmati).

Menurut Bayu, pihaknya telah meneliti sampel beras asal Vietnam tersebut. Dari penelitian di laboratorium, tambah dia, beras tersebut ternyata premium, yang memang diizinkan untuk diimpor. ”Anehnya, harganya lebih murah ketimbang beras medium lokal,” katanya.

Sebanyak 165 importir beras sudah diperiksa. Bahkan sudah mengerucut pada tiga importir. Namun, menurut Bayu, tidak ada pelanggaran prosedur impor beras.

Persaingan Bisnis

Bayu menduga persoalan beras Vietnam di Pasar Induk Cipinang itu soal persaingan bisnis antarpedagang. Hal senada juga disampaikan oleh Penga­mat Pertanian dari Institut Perta­nian Bogor, Dwi Andreas San­tosa. ”Itu hanya masalah peng­kodean, mengenai beras kan mereka tidak pilah mana beras medium mana beras premium, berdasarkan kualitasnya. Dari sisi pedagang tidak bisa disalahkan, kesalahan terbesar di pemerintah. Jadi untuk apa gontok-gontokan sendiri saling menyalahkan dan sebagainya, wong kelakuan mereka sendiri,” kata Guru Besar IPB ini.

Andreas menekankan masalah kode HS impor beras hanya sebagian kecil masalah yang timbul akibat persoalan serius, yakni impor pangan yang masif.

Bea Cukai sebagai garda terdepan masuknya barang impor mengakui beras adalah barang impor yang tergolong berisiko rendah, sehingga tidak melalui pemeriksaan fisik. Ditambah lagi, impor beras masih menggunakan satu kode HS untuk jenis premium maupun medium, yakni 1006.30.99.00 untuk beras Japonica, Basmati, dan beras yang diimpor Bulog. Selain itu, bea masuk untuk semua jenis beras sama, yakni Rp 450 per kilogram sehingga tidak bisa dibedakan mana beras premium dan medium.

Bea Cukai Kementerian Ke­uangan mencatat pemasukan impor beras selama 2013 totalnya 445.259 ton. Angka itu terdiri dari bibit sebanyak 1.219 ton, beras ketan 190.996 ton, beras Thai Hom Mali dari Thailand 22.843 ton, dan beras setengah masak 418 ton.  Beras lain yakni Japonica, Basmati, Bulog 34.823 ton, beras pecah 194.960 ton.

Namun, data tersebut berbeda dengan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat realisasi impor beras. Dalam laporan BPS, tercatat selama 2013 ada 472.000 ton beras yang diimpor atau senilai dengan 246 juta dolar AS. Jumlah itu lebih banyak dibanding data impor Bea Cukai, yaitu 445.259 ton.

Data BPS untuk impor beras khusus dan kode HS pada 2013, terdiri atas beras pecah 100% sebanyak 201.099,8 ton, beras ketan utuh dan pecah 198.943,65 ton, beras Thai Hom Mali se­banyak 23.117,8 ton, beras ku­kus/setengah matang sebanyak 418 ton, beras Basmati, Japonica, dan beras hibah sebanyak 47.867,1 ton.

Belakangan, Bea Cukai me­nemukan dugaan pelanggaran lainnya, yakni 32 kontainer beras impor yang saat ini masih berada di Pelabuhan Tanjung Priok.

”Harusnya yang masuk beras Thai Hom Mali dari Thailand tapi yang masuk (beras) Vietnam. Yang paling penting perizinan dan impornya cocok atau tidak,” kata Dirjen Bea Cukai Agung Kuswandono di Pelabuhan Tanjung Priok beberapa waktu lalu.

Beras dengan ketentuan impor kuota ini ternyata ketika sampai di pelabuhan menjadi beras lain yakni beras wangi dari Vietnam.

Adapun beras Vietnam yang ditemukan di Pasar Induk Cipi­nang adalah beras jenis Ja­ponica, Basmathi yang satu kode HS dengan beras Bulog.

”Hasil sementara diduga terjadi pelanggaran dengan menyalahgunakan SPI (Surat Persetujuan Impor) sehingga importasi barang menjadi tidak sesuai antara laporan surveyor dengan ijin SPI-nya,” jelasnya.

Importasi 32 kontainer tersebut dilakukan oleh CV PS sejumlah 200 ton (8 kontainer), CV KFI sejumlah 400 ton (16 kontainer) dan PT TML sejumlah 200 ton (8 kontainer).

Saat ini, baik Bea Cukai mau­pun Kemendag masih menyelidiki dugaan pelanggaran tersebut. Jika terbukti melanggar, importir akan kena sanksi.

Selain itu, Bea Cukai memutuskan menaikan tingkat peme­riksaan beras impor menjadi high risk.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mengusulkan agar kode HS beras premium dan medium dipisah. Namun, Men­teri Keuangan Chatib Basri menyatakan, perbedaan tarif bea masuk bisa dilakukan jika kode HS impor beras tidak disamakan. Menurutnya, jika Kemendag menginginkan kode HS berbeda maka harus diajukan ke tim tarif.

Dia menilai pemisahan kode HS tidak mudah dilakukan karena hal itu merupakan kesepakatan dagang dengan negara-negara lain. (Kartika Runiasari-71)

http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/02/17/252771

Musim Tanam, Pupuk Urea Hilang

Senin, 17 Februari 2014

PASAMAN - Pupuk bersubsidi urea kembali langka di pasaran. Sejumlah petani di Kabupaten Pasaman pun mengeluhkan hal tersebut. Padahal,kebutuhan pupuk sangat mendesak bagi mereka di saat musim tanam tiba seperti sekarang ini.

"Kami kewalahan mencari pupuk jenis ini, jika pun ada harganya selangit, jauh dari harga normalnya," ujar salah seorang petani, Ridoan Pulungan kepada Padangmedia.com, di Padanggelugur, Senin (17/2).

Dikatakannya, saat ini kebutuhan pupuk mendesak bagi petani di daerahnya. Sementara ketersediaan pupuk di sejumlah kios dan milik keltan minim.

"Stok pupuk jenis itu minim. Jika pun ada itu hanya milik keltan untuk petani setempat sesuai alokasi RDKK," sebutnya.

Saat ini, kata Riduan, puluhan hektare sawah sedang memasuki musim tanam sehingga membutuhkan pupuk.

Ia dan sejumlah petani lainnya di daerah itu berharap, pemerintah setempat segera mengatasi kesulitan mereka tersebut dengan melakukan pendistribusian pupuk.

Menurutnya, terkendala pupuk akan berakibat fatal bagi pendapatan petani ke depannya. Sehingga berujung pada gagalnya program penyejahteraan petani sebagaimana yang dicanangkan pemerintah pusat. (Wahyu)

http://www.padangmedia.com/1-Berita/86222-Musim-Tanam--Pupuk-Urea-Hilang.html

Minggu, 16 Februari 2014

Kedaulatan Pangan

Sabtu, 15 Februari 2014

Pemerintah berkewajiban atas pemenuhan hak kedaulatan pangan.
Berdasarkan temuan Organisasi Pangan danPertanian PBB (FAO), ketahanan pangan sebuah negara sebagian besar bertumpu pada produksi pertanian kecil multifungsi.

Temuan ini berbeda dengan konsep lembaga multilateral, seperti Bank Dunia atau Global Donor Platform on Rural Development, yang lebih memprioritaskan pada agroindustri yang berorientasi pasar dunia dan berfungsi sebagai penyuplai jaringan supermarket global.

Bank Dunia yang mengusung konsep dengan argumentasi efektivitas, produktivitas, dan kuantitas ini mempromosikan sebuah ”revolusi hijau”.

Ini adalah revolusi baru yang mempromosikan bibit hibrida yang telah dipatenkan serta memanfaatkan oleh tanaman yang telah dimanipulasi secara genetik dalam pertanian industrial dan monokultural. Semua itu membutuhkan irigasi, pupuk, dan pestisida yang tak terjangkau kebanyakan petani kecil, buruh tani, komunitas adat, dan organisasi tani perempuan.

Pertanian kecil multifungsi memang tidak melulu berdasarkan kalkulasi ekonomi, tetapi lebih pada ketahanan pangan lokal dan nasional, bertambahnya lapangan pekerjaan, serta bagian integral dari budaya serta sistem pengetahuan/kearifanpedesaan.

Lebih dari itu, meski sering dituding mempromosikan romantisme small is beautiful, berbagai studi menunjukkan, lokasi yang pas, cara berproduksi ramah lingkungan, dan pertanian skala kecil ternyata sangat produktif. Sebaliknya, sistem monokultur dan industrialisasi pertanian adalah penyebab utama punahnya banyak jenis tanaman.

Menurut lembaga PBB Hunger Task Force, penyebab utama kelaparan adalah ketimpangan ekstrem dalam distribusi lahan. Penggusuran, pada sisi lain konsentrasi berlebihan kepemilikan lahan, telah memarginalkan serta memblokade pembangunan pedesaan.

Pendekatan berorientasi teknologi dan pasar tidak menyelesaikan atau bahkan mempertajam permasalahan. Sering petani gurem harus berutang membeli bibit, pupuk, dan pestisida. Ketika semua itu tidak terbeli, mereka kehilangan lahan.

Pengalaman dari mancanegara mengajarkan, aksesibilitas atas tanah merupakan persyaratan terpenting bagi pembangunan pertanian sekaligus pembangunan pedesaan (Brandt/Otzen, 2002). Karena itu, reformasi agraria menjadi keharusan.

Aksesibilitas atas tanah (landreform) adalah “bahasa” ekonomi politik baru, yang salah satu kata kuncinya adalah property rights.

Penggunaan istilah aksesibilitas mengingatkan kita pada Amartya Sen dan asumsinya tentang entitlement, yaitu tak seorang pun harus lapar karena di dunia ini tersedia makanan berkecukupan. Mereka yang lapar hanya karena tidak memiliki akses (untuk memproduksi) bahan pangan.

Landreform yang kurang begitu berhasil terjadi di Amerika Selatan dan terakhir di Filipina. Itu disebabkan keterbatasan dana, birokrasi yang sulit, korup, serta resistensi politik para tuan tanah. Meskipun demikian, jawaban kelemahan reformasi agraria oleh negara ini, menurut La Via Campesina, bukanlah liberalisasi, melainkan memperbaiki dan memperkuat peran negara.

Sofia Monsalve mengatakan, koordinator kampanye internasional reformasi agraria bread, land, and freedom reformasi agraria adalah kewajiban penegakan HAM oleh negara, termasuk dalam mengupayakan hak atas pangan (2003).

Pemerintah berkewajiban atas pemenuhan hak asasi paling mendasar ini dengan memberikan akses lahan, bibit, air, dan sumber-sumber produktif lainnya. Itu agar masyarakat bisa menyediakan sendiri makanannya.

Regionalisasi

Dalam sebuah pertemuan pada periode pertama jabatannya sebagai presiden (2006), SBY memang pernah mengungkapkan keprihatinannya bahwa meski telah merdeka lebih dari 60 tahun, petani kecil dan buruh tani masih miskin dan kelaparan. Lebih ironis, demikian SBY mengatakan, “Karena yang kekurangan pangan justru yang pekerjaannya sehari-hari bercocok tanam dan menanam padi.”

Sebuah pernyataan keprihatinan yang sangat menyentuh hati para petani dan bisa dianggap mewakili visi pertanian SBY. Sayangnya, hingga saat ini peminggiran sektor pertanian terjadi secara sistematis. Itu dengan menempatkan petani (kecil) sebagai pelaku di sektor pertanian dalam kondisi sangat lemah.

Lebih dari itu, pemerintahan SBY saat ini malah menentang regionalisasi pangan ketika menempatkan Jawa sebagai lumbung pangan Indonesia. Hal yang menurut banyak pihak keliru. Seharusnya, ketahanan, lebih dari itu kedaulatan pangan, menuntut setiap daerah memproduksi pangannya sendiri.

Itu berkaitan dengan kedaulatan pangan, prinsip pertanian ekologis yang memanfaatkan lingkungan sekitar lokasi pertanian, yang tampaknya menjadi salah satu tawaran solusi terhadap berbagai permasalahan.

Konsep pertanian ekologis, menurut Henry Saragih dari La Via Campesina (SHNews.co, 20/5/2013), dapat menghambat praktik mafia komoditas pangan dunia. Melalui konsep ini, diharapkan konsumen memakan pangan dari lokasi tempat ia berada dan sebisa mungkin tidak perlu mengonsumsi bahan makanan yang harus didatangkan dari belahan dunia lain, bahkan dari daerah lain dalam sebuah negara.

Sagu bagi masyarakat Papua dan Maluku adalah bahan makanan yang bagus daripada harus bergantung pada beras. Demikian pula jagung untuk Nusa Tenggara Timue (NTT). Dengan menumbuhkan bahan pangan sesuai lingkungannya, ketergantungan terhadap beras semakin rendah dan harga makanan pun bisa semakin murah.

Hasil penelitian beberapa pakar pertanian ekologis (SPI, 2010) menunjukkan, hasil produksi pangan pertanian ekologis selain murah juga ramah lingkungan. Pertanian organik ini menjauhkan diri dari pemanfaatan bahan kimia, juga menumbuhkan bahan pangan sesuai kondisi alam setempat.

Dalam pemilihan presiden (pilpres) terakhir, SBY kembali terpilih dengan suara lebih dari 60 persen suara pemilih, termasuk mayoritas petani gurem yang merupakan konstituennya.

Namun, beberapa bulan sebelum berakhirnya masa jabatan SBY, harapan berupa perbaikan sektor pertanian—apalagi yang mampu menguatkan kedaulatan pangan bangsa ini, khususnya berupa penguatan pertanian kecil multifungsi sekaligus perbaikan kehidupan petani gurem—menjadi semakin jauh panggang dari api.

Ivan Hadar
*Penulis adalah Direktur IDE (Institute for DemocracyEducation); Koordinator Nasional Target MDGs, 2007-2010. 

Sabtu, 15 Februari 2014

Impor Beras saat Surplus

Sabtu, 15 Februari 2014

PETER Drucker berpendapat sebenarnya tidak ada negara miskin, yang terjadi  hanya negara salah kelola. Pernyataan ahli manajemen tersebut berkait fenomena itu masih banyak kita temukan di dunia ketiga. Di balik kemiskinan, yang sesungguhnya terjadi adalah akibat salah kelola dalam menjalankan pemerintahan.

Mantan perdana menteri Malaysia Ma­hathir Muhammad pun ketika mengomentari kemunculan kemiskinan dalam aneka bentuk di Indonesia mengatakan bahwa kondisi itu lebih disebabkan salah kelola dalam menjalankan fungsi-fungsi manajemen.

Pilihan mundur dari kabinet Menteri Per­dagangan Gita Wirjawan yang ramai dibica­ra­kan, salah satunya meninggalkan masalah impor ”ilegal” beras dari Vietnam. Masalah mun­dur dari jabatan merupakan fenomena ba­ru di Indonesia. Pada era Orde Baru, mun­dur dari jabatan merupakan hal yang dita­bukan.

Sebaliknya, di berbagai negara, mundur dari jabatan dengan berbagai alasan merupakan”kelaziman’’. Misal merasa tak cocok dengan atasan, tersangkut suatu masalah berat seperti pelanggaran susila, atau kegagalan mencapai target. Bahkan di Jepang, mundur dari jabatan kadang diakhiri harakiri (bunuh diri) karena saking malunya mela­kukan pekerjaan yang tidak sesuai rencana.

Keterjaminan Stok

Melihat data, produksi dan stok beras di Indonesia sebenarnya dalam kondisi aman. Menteri Pertanian Suswono bahkan menyatakan stok beras, khususnya tahun 2013 dalam kondisi baik karena pasokan mencukupi dan harganya pun relatif  stabil. (Metronews.com, 7/2/14).

Pasokan beras di Pasar Induk Cipinang rata-rata 2.000 ton per hari. Bahkan beberapa waktu lalu, BPS melansir data produksi beras nasional tahun 2012 mencapai 39,1 juta ton dengan konsumsi sekitar 33,4 juta ton sehingga masih surplus 5,6 juta ton. Kondisi 2013 pun sama, sehingga mestinya harga komoditas itu stabil karena tidak terjadi kesenjangan antara permintaan dan penawaran.

Persoalannya, dan ini perlu”dicurigai’’ adalah seperti dikatakan Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, kelahiran India bahwa di salah satu distrik di India, cadangan beras berlimpah tetapi terjadi kelaparan akut. Ternyata setelah ditelusuri penyebabnya adalah hanya masalah distribusi beras dan kemelemahan daya beli masyarakat.

Saat ini kemampatan distribusi mungkin saja terjadi karena buruknya infrastruktur jalan dan ketimpangan distribusi pendapatan. Kondisi itu juga disebabkan banyaknya kantong kemiskinan sehingga kelaparan meng­gejala di mana-mana. Bercermin pada kasus di India, penyaluran beras untuk masyarakat miskin (raskin) yang ditangani Bulog, banyak membantu masalah ketahanan dan keamanan pangan di Indonesia.

Saat ini masalah kelaparan di berbagai dae­rah terpencil di Indonesia pun rasa-rasa­nya jarang terjadi karena ada keterbukaan in­for­masi. Andai benar-benar terjadi pun, amat mudah mengetahui penyebabnya. Kenyataan ini sekaligus menunjukkan masalah pangan dan perut tidak dapat disepelekan.

Kementerian Perdagangan dalam kaitannya dengan isu impor”ilegal’’ beras sudah memberikan klarifikasi bahwa yang diimpor adalah beras kelas premium untuk memenuhi kebutuhan khusus (misal hotel berbintang atau resto mewah), dan bukan kualitas medium yang biasa dikonsumsi masyarakat. Tetapi dalam era reformasi dengan kebebasan sangat tinggi, suara masyarakat bisa bernada lain.

Kementerian Pertanian mungkin bisa berpendapat lain karena berkaitan dengan kestabilan harga dan prospek petani dalam menggeluti profesi. Bisa saja kementerian itu menyatakan sebagai sebuah ironi mengingat dalam kondisi suprlus beras tapi harus impor?

Kebijakan itu dapat mengganggu harga beras mengingat harga beras impor lebih murah dari beras sejenis yang dihasilkan di dalam negeri. Siapa bisa menjamin itu beras premium namun praktiknya beras lain, dan bisa saja kantong beras impor itu diganti kantong beras produksi domestik.

Hal itu mengutip pernyataan Gunnar Myrdal, salah satu peraih hadiah Nobel Ekonomi dari Swedia, yang menyatakan ciri negara berkembang adalah lemah dalam segalanya. Bahasa gaulnya adalah di negara kita semuanya bisa direkayasa. Pasalnya, motif dari suatu pekerjaan sering bukan untuk kesejahteraan umum melainkan lebih pada kepentingan jangka pendek, kepentingan keluarga dan golongan.

Antara ucapan dan perilaku bisa berbeda dan jamak terjadi. Karena itu, untuk memahami yang sebenarnya terjadi, perlu penelitian mendalam, yang dalam bahasa ilmiah disebut penelitian investigasi. Bukan tampilannya saja yang muncul, tetapi apa di balik kasus tersebut.

Pernyataan mundur merupakan hak pribadi yang sangat positif tapi seperti diingatkan oleh Drucker bahwa di negara yang kaya sumber daya ini, banyak terjadi salah kelola. Mengenai kasus sebenarnya impor beras perlu ditangani pihak-pihak yang terkait dengan prinsip keadilan. Mestinya pedang hukum pun berlaku sama bagi siapa saja, jangan tebang pilih.

Jangan sampai menunggu rakyat marah karena begitu menjerit dalam kesusahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di sisi lain panggung drama para elite tidak pernah berakhir karena secara sadar berbuat kesalahan dalam menjalankan pemerintahan. Semoga segala kepalsuan segera berakhir, dan prinsip keadilan bisa ditegakkan. (10)


— Purbayu Budi Santosa, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Uni­versitas Diponegoro, pengampu mata kuliah Agribisnis dan Ekonomi Kelembagaan

http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/02/15/252540

Jumat, 14 Februari 2014

Rekomendasi Impor Beras oleh Plt Dirjen yang Berubah-ubah

Jumat, 14 Februari 2014

JAKARTA, (PRLM).- Sejumlah impor beras yang terjadi belakangan ini dan sempat heboh, patut dicurigai dan menjadi perhatian pihak-pihak tertentu untuk diusut, karena banyak hal-hal yang janggal telah terjadi.

Anggota DPR yang duduk di Komisi VI DPR, Lili Asdjudiredja mengungkap ‘permainan’ impor beras dari luar negeri yang biang keroknya diduga berasal dari surat-surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh pejabat Kementan.

Selama tahun 2013 saja, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementan telah merekomendasikan impor beras sebanyak 474.545 ton kepada 454 pengusaha.

Dari kejadian-kejadian itu yang menarik perhatian Lili, kenapa yang tanda tangan rekomendasi impor beras tersebut, Plt Dirjen yang orangnya berubah-ubah.

Misalnya, ketika memberikan rekomendasi impor beras kepada PT Budi Semesta, suratnya ditandatangani Plt Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Banun Harpini.

Seperti diketahui, Banun Harpini ini sekarang menjabat Kepala Badan Karantina Pertanian, kata Lili Asdjudiredja di DPR, Jakarta, Kamis (13/2/2014).

Dijelaskan, surat yang ditandatangani Banun, nomor 48/PP 130/G/01/2013, tanggal 15 Januari 2013. Beras yang diimpor sebanyak 200 ton, jenis berasnya Thai Hom Mali. Pada tanggal yang sama, pejabat yang sama juga mengeluarkan rekomendasi impor beras Japonica sebanyak 100 ton kepada CV. Daya Sakti, melalui surat bernomor 84/PP 130/G/01/2013.

Kemudian pada 18 September 2013, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian mengeluarkan surat rekomendasi impor beras kepada CV Sukses Abadi.

Suratnya diteken oleh Haryono yang sehari-hari menjabat Kepala Badan Litbang Kementan, selalu Plt Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Suratnya bernomor1204/PP 130/G/9/2013.

‘’Dari surat-surat yang kita telusuri, kenapa yang neken rekomendasi itu Plt Dirjen semua? Kenapa tidak dilakukan oleh dirjennya sendiri? Ada apa ini??’’ tanya Lili.

Politisi Partai Golkar dari Jabar itu menguraikan, impor beras yang direkomendasikan Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementan sebanyak 474.545 ton itu, yang disetujui Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag sebanyak 474.451 ton. Selisihnya hanya 4 ton karena pihak Kemendag tidak berani mengurangi jumlah yang direkomendasikan Kementan. Tetapi dari jumlah impor yang disetujui Kemendag, yang bisa direalisasikan lembaga surveyor hanya 328.284 ton, sisanya sebanyak 146.167 ton tak bisa atau gagal direalisasikan.

‘’Jadi, dari 474.545 ton beras yang direkomendasikan Kementan, hanya 328.284 ton yang bisa direalisasikan. Kita patut menduga, rekomendasi impor beras ini ada kaitannya dengan pemberian fee, ini yang harus diusut oleh KPK dan lembaga penegak hukum lainnya,’’ pinta Lili Asdjudiredja. (A-109/A_88)***


http://www.pikiran-rakyat.com/node/270018


Mengusut Para Pemburu Rente Impor Beras

Jumat, 14 Februari 2014

Beras impor dari Vietnam baru-baru ini mengaduk-aduk pasar di Ibu Kota. Karuan saja pedagang beras mencak-mencak. Pasalnya, berkualitas hampir sama dengan beras lokal, tapi harganya lebih murah, dan ini membuat beras lokal kalah bersaing.

Kalau sudah seperti itu, lagilagi petani yang kelak menjadi korban. Mereka bisanya hanya menangisi diri karena tak mampu berbuat apa-apa terhadap banjir beras impor. Petanilah yang akhirnya terperosok ke kubang kerugian. Ini sungguh ironis. Sebagai pahlawan pangan, nasibnya selalu terlindas oleh kekejaman pemburu rente beras impor yang hanya memikirkan diri sendiri.

Padahal, tahun 2014 baru mau berjalan dua bulan, tapi faktanya, sekitar 16.900 ton beras dari Vietnam sudah masuk ke Indonesia melalui pelabuhan Tanjung Priok. Beras-beras tersebut membanjiri pasar dan meminggirkan beras-beras lokal dari arena persaingan harga. Dengan harga Rp 8.300 per kilogram hingga Rp 8.500 per kg, jelas ini membuat beras sejenis produksi petani lokal Indonesia yang dibanderol Rp 9.000 – Rp 9.500 sekilo menjadi semaput.

Jadi, apa pun alasannya, sangatlah sulit menerima kebijakan impor beras ini. Bukan saja karena persediaan beras lokal tidak menunjukkan tanda-tanda defisit, tapi lebih karena Menteri Pertanian RI Suswono pernah menegaskan bahwa tahun ini kita tidak perlu mengimpor beras.

Hal ini karena stok beras yang dimiliki Badan Urusan Logistik (Bulog) sudah lebih dari dua juta ton sampai akhir tahun. Bahkan Perum Bulog sendiri pun telah berkomitmen untuk tidak lagi mengimpor beras yang ditandai lewat nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan badan usaha milik negara (BUMN) pada Desember tahun lalu.

Usut Tuntas Pelaku
Mengacu pada regulasi tentang impor beras, yakni Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008, sebagaimana diperbarui dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 35/M-DAG/PER/8/2009 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor:06/M-DAG/PER/2/2012, disebutkan bahwa impor beras diizinkan untuk keperluan tertentu bagi kesehatan dan konsumsi khusus, anya dapat dilakukan oleh importir terdaftar yang telah mendapat persetujuan impor (kuota) dari menteri perdagangan.

Sedangkan impor beras untuk keperluan stabilisasi harga, penanggulangan keadaan darurat, masyarakat miskin, dan kerawanan pangan, itu diberlakukan dengan pos tarif 1006.30.99.00, dengan ketentuan tingkat kepecahan paling tinggi 25%. Beras jenis ini hanya dapat diimpor di luar masa satu bulan sebelum panen raya, masa panen raya, dan dua bulan setelah panen raya. Penentuan waktu panen raya dilakukan oleh menteri pertanian, pelaksana impornya Bulog, setelah mendapat persetujuan impor dari menteri perdagangan berdasarkan hasil kesepakatan tim koordinasi.

Baik pertimbangan konsumsi khusus maupun keadaan darurat yang menjadi legalitas impor beras sama sekali tak mendukung program impor beras saat sekarang. Apalagi, beras impor yang beredar bukan beras berkualitas khusus, tetapi berkualitas medium atau umum. Seandainya pun kita darurat pangan, hanya Bulog-lah yang berhak mengimpor dari luar negeri. Kemendag telah kebobolan karena memberi izin impor beras yang tak memenuhi syarat.

Data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sendiri menyebutkan bahwa beras impor tersebut barang legal karena didatangkan berdasarkan surat persetujuan impor (SPI) yang diterbitkan Kemendag. Dengan kenyataan tersebut, seharusnya tak sulit lagi melacak siapa yang berada di belakang kisruhnya impor beras kali ini. Tinggal meneliti dokumen impor resmi, dengan mudah aparat akan segera mengetahui siapa saja yang mengimpor. Jadi, mengapa harus pusing tujuh keliling?

Meraup Keuntungan Besar
Keuntungan yang diperoleh dari perputaran impor beras ini memang luar biasa. Bayangkan saja, jika tiap per kg beras mendapat untung Rp 500 saja, itu berarti jika dikalikan 16.900 ton nilainya mencapai Rp 8 miliar lebih. Pengusaha yang memperoleh lisensi impor pasti berpestapora dengan keuntungan yang diraihnya.

Di tengah situasi politik yang memanas menjelang Pemilu 2014 ini, penegak hukum harus serius menginvestigasi siapa di balik kasus impor beras ini. Pengalamam sudah cukup banyak berbicara bahwa di tengah kebutuhan partai politik dan elite politik mendanai biaya politik, segala cara pun dihalalkan, termasuk memasung leher petani.

Pengalaman korupsi impor daging sapi yang telah diputus oleh pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) adalah bukti bahwa keterpurukan pangan justru menjadi santapan “segar” bagi para politikus yang berburu rente demi dana kemenangan pemilu. Pada kasus tersebut, menteri pertanian berulang kali berkata: “Kita akan swasembada daging sapi, tak perlu khawatir dengan cadangan tahun sapi”. Tapi faktanya, swasembada hanya tinggal janji. Malah, pemburu rentelah yang pada akhirnya menuai keuntungan dengan hak importasi sapi.

Perburuan rente impor beras adalah kejahatan luar biasa yang dapat menghancurkan kesinambungan negara pada masa yang akan datang. Praktik busuk ini bukan hanya menurunkan moral dan motivasi berproduksi petani, tapi juga membuat pemerintah menjadi asing bagi petani. Bahkan pemerintah bisa dianggap sebagai kekuatan yang menindas karena kebijakannya cenderung antipetani dan antiinsentif bagi pembangunan pertanian Indonesia.

Jika keadaan ini dibiarkan, celah permusuhan antara petani dan pemerintah akan makin terbuka lebar, yang pada gilirannya dapat memicu petani berhenti berproduksi. Konsekuensinya, bukan lagi sekadar gagal membangun swasembada pangan, nasib negeri ini akan terperosok kian dalam. Ketergantungan pada pangan impor kian besar. Pada akhirnya nyawa rakyat negeri ini bergantung kepada pasokan pangan asing.

Oleh sebab itu, di tengah persaingan politik menjelang Pemilu 2014, pihak berwewenang harus mengusut tuntas kasus ini. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus serius membongkar kasus ini sampai ke akar-akarnya. Kalau ternyata di balik perburuan rente ini ditemukan adanya keterlibatan partai politik dan dana hasil “permainannya” mengalir ke kas partai, pembubaran parpol yang bersangkutan adalah sanksi yang layak dipertimbangkan.

Kita berkeyakinan, pengusutan kasus beras impor ini jauh lebih mudah dibandingkan dengan kasus Bank Century yang masih gelap hingga kini. Persoalan skandal impor beras ini bisa tuntas dengan penelusuran secara seksama siapa importir yang berani memalsukan informasi dan dokumen importasi beras impor. Besok pun kita bisa tahu penanggung jawab kekisruhan ini. Yang mungkin menjadi kendala penuntasan kasus ini adalah keberanian mengusik partai politik dan elite politik yang berada di belakang importir. Berani?

Arfanda Siregar
Dosen Manajemen Industri Politeknik
Negeri Medan


http://www.investor.co.id/opini/mengusut-para-pemburu-rente-impor-beras/78069

Kamis, 13 Februari 2014

Selain Beras, Pemerintah Doyan Impor Jagung

Kamis, 13 Februari 2014

Jakarta, Aktual.co — Selain impor beras, Pemerintah ternyata juga gemar mengimpor jagung. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip Aktual.co, Kamis (13/2), impor terbesar berasal dari India sebanyak 1,4 juta ton. Nilai impor tersebut setara dengan USD427,68 juta.

Selain itu, impor jagung juga berasal dari Brasil yang angkanya mencapai 1,2 juta ton, dengan nilai USD 344,19 juta. Disusul oleh Argentina sebesar 442,79 ribu ton, nilainya USD131,11 juta.

Sementara impor dari Amerika Serikat sebanyak 24,54 ribu ton, nilainya mencapai USD7,8 juta. Sedangkan impor dari Thailand menembus 6,9 ribu ton, nilainya sebesar USD3,7 juta.

Untuk negara lainnya impor sebesar 12,4 ribu ton. Nilainya USD4,3 juta. Sehingga total impor jagung sepanjang tahun 2013 mencapai 3,1 juta ton, dengan nilai USD918 juta.

Ismed Eka Kusuma -

http://www.aktual.co/ekonomibisnis/082221selain-beras-pemerintah-doyan-impor-jagung