Sabtu, 15 Februari 2014
Pemerintah berkewajiban atas pemenuhan hak kedaulatan pangan.
Berdasarkan temuan Organisasi Pangan danPertanian PBB (FAO), ketahanan pangan sebuah negara sebagian besar bertumpu pada produksi pertanian kecil multifungsi.
Temuan ini berbeda dengan konsep lembaga multilateral, seperti Bank Dunia atau Global Donor Platform on Rural Development, yang lebih memprioritaskan pada agroindustri yang berorientasi pasar dunia dan berfungsi sebagai penyuplai jaringan supermarket global.
Bank Dunia yang mengusung konsep dengan argumentasi efektivitas, produktivitas, dan kuantitas ini mempromosikan sebuah ”revolusi hijau”.
Ini adalah revolusi baru yang mempromosikan bibit hibrida yang telah dipatenkan serta memanfaatkan oleh tanaman yang telah dimanipulasi secara genetik dalam pertanian industrial dan monokultural. Semua itu membutuhkan irigasi, pupuk, dan pestisida yang tak terjangkau kebanyakan petani kecil, buruh tani, komunitas adat, dan organisasi tani perempuan.
Pertanian kecil multifungsi memang tidak melulu berdasarkan kalkulasi ekonomi, tetapi lebih pada ketahanan pangan lokal dan nasional, bertambahnya lapangan pekerjaan, serta bagian integral dari budaya serta sistem pengetahuan/kearifanpedesaan.
Lebih dari itu, meski sering dituding mempromosikan romantisme small is beautiful, berbagai studi menunjukkan, lokasi yang pas, cara berproduksi ramah lingkungan, dan pertanian skala kecil ternyata sangat produktif. Sebaliknya, sistem monokultur dan industrialisasi pertanian adalah penyebab utama punahnya banyak jenis tanaman.
Menurut lembaga PBB Hunger Task Force, penyebab utama kelaparan adalah ketimpangan ekstrem dalam distribusi lahan. Penggusuran, pada sisi lain konsentrasi berlebihan kepemilikan lahan, telah memarginalkan serta memblokade pembangunan pedesaan.
Pendekatan berorientasi teknologi dan pasar tidak menyelesaikan atau bahkan mempertajam permasalahan. Sering petani gurem harus berutang membeli bibit, pupuk, dan pestisida. Ketika semua itu tidak terbeli, mereka kehilangan lahan.
Pengalaman dari mancanegara mengajarkan, aksesibilitas atas tanah merupakan persyaratan terpenting bagi pembangunan pertanian sekaligus pembangunan pedesaan (Brandt/Otzen, 2002). Karena itu, reformasi agraria menjadi keharusan.
Aksesibilitas atas tanah (landreform) adalah “bahasa” ekonomi politik baru, yang salah satu kata kuncinya adalah property rights.
Penggunaan istilah aksesibilitas mengingatkan kita pada Amartya Sen dan asumsinya tentang entitlement, yaitu tak seorang pun harus lapar karena di dunia ini tersedia makanan berkecukupan. Mereka yang lapar hanya karena tidak memiliki akses (untuk memproduksi) bahan pangan.
Landreform yang kurang begitu berhasil terjadi di Amerika Selatan dan terakhir di Filipina. Itu disebabkan keterbatasan dana, birokrasi yang sulit, korup, serta resistensi politik para tuan tanah. Meskipun demikian, jawaban kelemahan reformasi agraria oleh negara ini, menurut La Via Campesina, bukanlah liberalisasi, melainkan memperbaiki dan memperkuat peran negara.
Sofia Monsalve mengatakan, koordinator kampanye internasional reformasi agraria bread, land, and freedom reformasi agraria adalah kewajiban penegakan HAM oleh negara, termasuk dalam mengupayakan hak atas pangan (2003).
Pemerintah berkewajiban atas pemenuhan hak asasi paling mendasar ini dengan memberikan akses lahan, bibit, air, dan sumber-sumber produktif lainnya. Itu agar masyarakat bisa menyediakan sendiri makanannya.
Regionalisasi
Dalam sebuah pertemuan pada periode pertama jabatannya sebagai presiden (2006), SBY memang pernah mengungkapkan keprihatinannya bahwa meski telah merdeka lebih dari 60 tahun, petani kecil dan buruh tani masih miskin dan kelaparan. Lebih ironis, demikian SBY mengatakan, “Karena yang kekurangan pangan justru yang pekerjaannya sehari-hari bercocok tanam dan menanam padi.”
Sebuah pernyataan keprihatinan yang sangat menyentuh hati para petani dan bisa dianggap mewakili visi pertanian SBY. Sayangnya, hingga saat ini peminggiran sektor pertanian terjadi secara sistematis. Itu dengan menempatkan petani (kecil) sebagai pelaku di sektor pertanian dalam kondisi sangat lemah.
Lebih dari itu, pemerintahan SBY saat ini malah menentang regionalisasi pangan ketika menempatkan Jawa sebagai lumbung pangan Indonesia. Hal yang menurut banyak pihak keliru. Seharusnya, ketahanan, lebih dari itu kedaulatan pangan, menuntut setiap daerah memproduksi pangannya sendiri.
Itu berkaitan dengan kedaulatan pangan, prinsip pertanian ekologis yang memanfaatkan lingkungan sekitar lokasi pertanian, yang tampaknya menjadi salah satu tawaran solusi terhadap berbagai permasalahan.
Konsep pertanian ekologis, menurut Henry Saragih dari La Via Campesina (SHNews.co, 20/5/2013), dapat menghambat praktik mafia komoditas pangan dunia. Melalui konsep ini, diharapkan konsumen memakan pangan dari lokasi tempat ia berada dan sebisa mungkin tidak perlu mengonsumsi bahan makanan yang harus didatangkan dari belahan dunia lain, bahkan dari daerah lain dalam sebuah negara.
Sagu bagi masyarakat Papua dan Maluku adalah bahan makanan yang bagus daripada harus bergantung pada beras. Demikian pula jagung untuk Nusa Tenggara Timue (NTT). Dengan menumbuhkan bahan pangan sesuai lingkungannya, ketergantungan terhadap beras semakin rendah dan harga makanan pun bisa semakin murah.
Hasil penelitian beberapa pakar pertanian ekologis (SPI, 2010) menunjukkan, hasil produksi pangan pertanian ekologis selain murah juga ramah lingkungan. Pertanian organik ini menjauhkan diri dari pemanfaatan bahan kimia, juga menumbuhkan bahan pangan sesuai kondisi alam setempat.
Dalam pemilihan presiden (pilpres) terakhir, SBY kembali terpilih dengan suara lebih dari 60 persen suara pemilih, termasuk mayoritas petani gurem yang merupakan konstituennya.
Namun, beberapa bulan sebelum berakhirnya masa jabatan SBY, harapan berupa perbaikan sektor pertanian—apalagi yang mampu menguatkan kedaulatan pangan bangsa ini, khususnya berupa penguatan pertanian kecil multifungsi sekaligus perbaikan kehidupan petani gurem—menjadi semakin jauh panggang dari api.
Ivan Hadar
*Penulis adalah Direktur IDE (Institute for DemocracyEducation); Koordinator Nasional Target MDGs, 2007-2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar