Selasa, 25 Februari
Praktik impor beras secara ilegal yang terungkap baru-baru ini mengindikasikan pemerintah telah gagal merevitalisasi pertanian.
Implikasinya, kedaulatan pangan sebagai buah revitalisasi pertanian seperti yang diamanatkan UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan belum terwujud. Kedaulatan pangan disebutkan sebagai kemandirian untuk menentukan kebijakan pangan sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
Kedaulatan pangan kini tercederai dan semakin jauh dari jangkauan bangsa dengan masuknya beras impor asal Vietnam. Pemerintah selalu "bernyanyi" tentang keberhasilan program pembangunan pertanian pangan dengan produksi beras meningkat setiap tahun. Bahkan produksi gabah kering giling (GKG) dipacu ke angka 76,57 juta ton pada tahun 2014 untuk pencapaian surplus 10 juta ton beras.
Peningkatan ini terkesan hanya sebatas wacana politik kampanye menjelang Pemilu 2014. Niat yang seakan-akan berpihak pada peningkatan kesejahteraan petani ini cenderung ambisius di tengah alih fungsi lahan yang kian cepat dan masuknya beras impor secara ilegal.
Pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat masih dilakukan setengah hati. Program dan gerakan revitalisasi pertanian hanya kuat di atas kertas namun lemah di implementasi. Sudah 10 tahun pemerintahan SBY menggulirkan program revitalisasi pertanian, perikanan, dan perkebunan supaya negara agraris ini dapat memutus mata rantai pangan impor.
Kenyataannya lain. Revitalisasi yang dilakukan dengan tujuan akhir menyejahterakan petani justru makin meminggirkan petani.
Kian Lemah
Sektor pertanian harus menyediakan beras dengan harga murah guna mengamankan variabel-variabel makro (inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan).
Pertanian juga dituntut mendukung sektor industri dengan menyediakan bahan baku murah bagi para pekerja di kota. Sementara keseriusan pemerintah membangun pertanian yang berdaya saing tinggi untuk mengawal kedaulatan pangan semakin lama semakin lemah.
Revitalisasi pertanian yang digulirkan Presiden SBY pada tahun 2005 untuk menciptakan kemandirian pangan yang kuat dan meningkatkan kesejahteraan petani kini roh dan semangatnya terasa kian jauh. Indonesia yang berada di ambang krisis pangan membuat bangsa prihatin dan miris.
Padahal pemerintah negara maju amat melindungi petaninya. Mereka menyadari persoalan kebutuhan dasar ini tidak boleh bergantung pada negara lain sehingga sektor pertaniannya disubsidi dalam jumlah luar biasa besar untuk meningkatkan produksi pangan dan terjadi surplus produksi.
Kelebihan pangan memungkinkan mereka menjual di bawah harga dasar ke negara-negara berkembang. Itulah yang mengganggu pasar.
Namun, yang membuat para pengamat ketahanan pangan di negeri ini takjub adalah produksi beras menurut versi pemerintah selalu di atas kebutuhan konsumsi dan surplus.
Seperti halnya produksi gabah 2013 yang mencapai 70,87 juta ton GKG, meningkat 2,62 persen dibanding tahun 2012. Peningkatan produksi yang siginifikan ini seakan-akan mengabaikan sejumlah kendala yang menghambat peningkatan produksi beras.
Harga pupuk yang kian mahal, meningkatnya laju konversi lahan pertanian, dan buruknya penyediaan benih unggul sudah pasti bermuara pada produktivitas padi yang kian melandai.
Lahan pertanian pangan kian menyempit dengan laju tahunan konversi yang mencapai rata-rata sekitar 100.000 hektare. Tanpa diikuti pencetakan sawah baru di luar Jawa, sulit meningkatkan produksi padi signifikan.
Upaya pemerintah kabupaten meningkatkan pendapatan asli daerah di tengah hiruk-pikuk pelaksanaan otonomi menetaskan pencapaian kedaulatan pangan yang semakin kehilangan arah.
Lahan sawah irigasi yang subur kini beralih fungsi menjadi kawasan non pertanian pangan. Ini menjadi ancaman serius pencapaian ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Pencapaian surplus 10 juta ton beras di tahun 2014 semakin jauh dari harapan.
Kalah
Pola konsumsi masyarakat yang masih berpusat pada beras memaksa pemerintah menutup defisit beras dengan membuka keran impor yang justru memukul harga beras produk domestik.
Petani yang sudah lama menjadi objek pembangunan kembali mengalami hidup di bawah bayang-bayang kemelaratan. Mereka bahkan semakin terpuruk dalam kesengsaraan karena terus merugi. Harga produk pangan domestik kalah bersaing dengan impor. Belum lagi aksi penyelundupan beras impor yang merajalela.
Patut disadasri, karakteristik pasar beras global sangat tipis. Volume beras yang diperdagangkan hanya sekitar 4 persen dari total produksi global.
Dengan jumlah penduduk besar dan sekitar 60 persen dari mereka membelanjakan pendapatannya sejumlah 25 persen untuk beras, sangatlah berbahaya jika Indonesia mengandalkan pasokan beras dari pasar internasional.
Jila angka produksi GKG tahun 2013 bisa dipercaya sebanyak 70,87 juta ton, kebutuhan konsumsi sebesar 34 juta ton beras sudah mencukupi. Bahkan Indonesia surplus beras yang bisa digunakan sebagai stok nasional di gudang Bulog.
Lantas, mengapa pemerintah masih mengimpor beras? Impor terjadi akibat gurihnya rente yang dinikmati para importir yang pada gilirannya memukul petani.
Pemerintah sepatutnya melarang sementara impor beras untuk mencegah anjloknya harga bahan makanan pokok ini. Apabila kebijakan itu bisa diimplementasikan pada tahun 2014, patut diacungi jempol sebagai propetani!
Sudah bukan rahasia, urusan logistik beras yang sebagian dipenuhi dengan cara mengimpor menjadi lahan empuk untuk meraup uang (fund rising) di tahun politik.
Indonesia sudah lama masuk perangkap pangan impor karena perilaku semacam ini. Ditambah dengan kesepakatan yang menguntungkan antara importir dan oknum pejabat yang bermain di belakangnya menjadikan "tradisi impor" seakan-akan legal sebagai pilihan tepat daripada memproduksi beras dari dalam negeri.
Terciptalah lingkaran setan penyediaan beras nasional. Impor dihentikan, defisit beras otomatis terjadi. Impor beras dilakukan dapat membunuh hidup dan kehidupan petani kecil, yang pada gilirannya mendorong stagnan proses produksi perberasan dalam negeri.
Namun, jika pemerintah masih mempertahankan kebijakan lama mengimpor beras dalam jumlah besar, jangka panjangnya menyimpan bom waktu.
Pemerintah harus mengakhiri politik beras guna mengatasi kemiskinan dengan mengatur tata niaganya. Dengan begitu, harganya tetap rendah. Pemerintah sesungguhnya menekan petani secara tidak adil. Meski para pemimpin silih berganti yang menjanjikan pembangunan pertanian dengan berbagai istilah dan program, masalah beras tidak ada akhirnya.
Presiden SBY yang melontarkan gagasan revitalisasi pertanian, misalnya, sampai sekarang belum terlihat jelas bidang yang sedang dan telah direvitalisasi.
Pemerintah patut belajar dari Thailand dan Korsel yang menyubsidi petaninya secara besar-besaran guna mendorong pembangunan pertanian berkelanjutan. Sudah saatnya memperluas diversifikasi produk pangan olahan untuk mengawal penguatan kedaulatan guna memutus mata rantai impor beras sekaligus mengakhiri politik beras murah.
Oleh Posman Sibuea
Penulis adalah Guru Besar Tetap Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan
http://www.koran-jakarta.com/?6623-kedaulatan%20pangan%20makin%20jauh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar