Jumat, 14 Februari 2014
Beras impor dari Vietnam baru-baru ini mengaduk-aduk pasar di Ibu Kota. Karuan saja pedagang beras mencak-mencak. Pasalnya, berkualitas hampir sama dengan beras lokal, tapi harganya lebih murah, dan ini membuat beras lokal kalah bersaing.
Kalau sudah seperti itu, lagilagi petani yang kelak menjadi korban. Mereka bisanya hanya menangisi diri karena tak mampu berbuat apa-apa terhadap banjir beras impor. Petanilah yang akhirnya terperosok ke kubang kerugian. Ini sungguh ironis. Sebagai pahlawan pangan, nasibnya selalu terlindas oleh kekejaman pemburu rente beras impor yang hanya memikirkan diri sendiri.
Padahal, tahun 2014 baru mau berjalan dua bulan, tapi faktanya, sekitar 16.900 ton beras dari Vietnam sudah masuk ke Indonesia melalui pelabuhan Tanjung Priok. Beras-beras tersebut membanjiri pasar dan meminggirkan beras-beras lokal dari arena persaingan harga. Dengan harga Rp 8.300 per kilogram hingga Rp 8.500 per kg, jelas ini membuat beras sejenis produksi petani lokal Indonesia yang dibanderol Rp 9.000 – Rp 9.500 sekilo menjadi semaput.
Jadi, apa pun alasannya, sangatlah sulit menerima kebijakan impor beras ini. Bukan saja karena persediaan beras lokal tidak menunjukkan tanda-tanda defisit, tapi lebih karena Menteri Pertanian RI Suswono pernah menegaskan bahwa tahun ini kita tidak perlu mengimpor beras.
Hal ini karena stok beras yang dimiliki Badan Urusan Logistik (Bulog) sudah lebih dari dua juta ton sampai akhir tahun. Bahkan Perum Bulog sendiri pun telah berkomitmen untuk tidak lagi mengimpor beras yang ditandai lewat nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan badan usaha milik negara (BUMN) pada Desember tahun lalu.
Usut Tuntas Pelaku
Mengacu pada regulasi tentang impor beras, yakni Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008, sebagaimana diperbarui dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 35/M-DAG/PER/8/2009 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor:06/M-DAG/PER/2/2012, disebutkan bahwa impor beras diizinkan untuk keperluan tertentu bagi kesehatan dan konsumsi khusus, anya dapat dilakukan oleh importir terdaftar yang telah mendapat persetujuan impor (kuota) dari menteri perdagangan.
Sedangkan impor beras untuk keperluan stabilisasi harga, penanggulangan keadaan darurat, masyarakat miskin, dan kerawanan pangan, itu diberlakukan dengan pos tarif 1006.30.99.00, dengan ketentuan tingkat kepecahan paling tinggi 25%. Beras jenis ini hanya dapat diimpor di luar masa satu bulan sebelum panen raya, masa panen raya, dan dua bulan setelah panen raya. Penentuan waktu panen raya dilakukan oleh menteri pertanian, pelaksana impornya Bulog, setelah mendapat persetujuan impor dari menteri perdagangan berdasarkan hasil kesepakatan tim koordinasi.
Baik pertimbangan konsumsi khusus maupun keadaan darurat yang menjadi legalitas impor beras sama sekali tak mendukung program impor beras saat sekarang. Apalagi, beras impor yang beredar bukan beras berkualitas khusus, tetapi berkualitas medium atau umum. Seandainya pun kita darurat pangan, hanya Bulog-lah yang berhak mengimpor dari luar negeri. Kemendag telah kebobolan karena memberi izin impor beras yang tak memenuhi syarat.
Data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sendiri menyebutkan bahwa beras impor tersebut barang legal karena didatangkan berdasarkan surat persetujuan impor (SPI) yang diterbitkan Kemendag. Dengan kenyataan tersebut, seharusnya tak sulit lagi melacak siapa yang berada di belakang kisruhnya impor beras kali ini. Tinggal meneliti dokumen impor resmi, dengan mudah aparat akan segera mengetahui siapa saja yang mengimpor. Jadi, mengapa harus pusing tujuh keliling?
Meraup Keuntungan Besar
Keuntungan yang diperoleh dari perputaran impor beras ini memang luar biasa. Bayangkan saja, jika tiap per kg beras mendapat untung Rp 500 saja, itu berarti jika dikalikan 16.900 ton nilainya mencapai Rp 8 miliar lebih. Pengusaha yang memperoleh lisensi impor pasti berpestapora dengan keuntungan yang diraihnya.
Di tengah situasi politik yang memanas menjelang Pemilu 2014 ini, penegak hukum harus serius menginvestigasi siapa di balik kasus impor beras ini. Pengalamam sudah cukup banyak berbicara bahwa di tengah kebutuhan partai politik dan elite politik mendanai biaya politik, segala cara pun dihalalkan, termasuk memasung leher petani.
Pengalaman korupsi impor daging sapi yang telah diputus oleh pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) adalah bukti bahwa keterpurukan pangan justru menjadi santapan “segar” bagi para politikus yang berburu rente demi dana kemenangan pemilu. Pada kasus tersebut, menteri pertanian berulang kali berkata: “Kita akan swasembada daging sapi, tak perlu khawatir dengan cadangan tahun sapi”. Tapi faktanya, swasembada hanya tinggal janji. Malah, pemburu rentelah yang pada akhirnya menuai keuntungan dengan hak importasi sapi.
Perburuan rente impor beras adalah kejahatan luar biasa yang dapat menghancurkan kesinambungan negara pada masa yang akan datang. Praktik busuk ini bukan hanya menurunkan moral dan motivasi berproduksi petani, tapi juga membuat pemerintah menjadi asing bagi petani. Bahkan pemerintah bisa dianggap sebagai kekuatan yang menindas karena kebijakannya cenderung antipetani dan antiinsentif bagi pembangunan pertanian Indonesia.
Jika keadaan ini dibiarkan, celah permusuhan antara petani dan pemerintah akan makin terbuka lebar, yang pada gilirannya dapat memicu petani berhenti berproduksi. Konsekuensinya, bukan lagi sekadar gagal membangun swasembada pangan, nasib negeri ini akan terperosok kian dalam. Ketergantungan pada pangan impor kian besar. Pada akhirnya nyawa rakyat negeri ini bergantung kepada pasokan pangan asing.
Oleh sebab itu, di tengah persaingan politik menjelang Pemilu 2014, pihak berwewenang harus mengusut tuntas kasus ini. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus serius membongkar kasus ini sampai ke akar-akarnya. Kalau ternyata di balik perburuan rente ini ditemukan adanya keterlibatan partai politik dan dana hasil “permainannya” mengalir ke kas partai, pembubaran parpol yang bersangkutan adalah sanksi yang layak dipertimbangkan.
Kita berkeyakinan, pengusutan kasus beras impor ini jauh lebih mudah dibandingkan dengan kasus Bank Century yang masih gelap hingga kini. Persoalan skandal impor beras ini bisa tuntas dengan penelusuran secara seksama siapa importir yang berani memalsukan informasi dan dokumen importasi beras impor. Besok pun kita bisa tahu penanggung jawab kekisruhan ini. Yang mungkin menjadi kendala penuntasan kasus ini adalah keberanian mengusik partai politik dan elite politik yang berada di belakang importir. Berani?
Arfanda Siregar
Dosen Manajemen Industri Politeknik
Negeri Medan
http://www.investor.co.id/opini/mengusut-para-pemburu-rente-impor-beras/78069
Tidak ada komentar:
Posting Komentar