Senin, 17 Februari 2014
Mengapa negara kita yang notabene negara agraris harus mengimpor beras? Apakah tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional secara mandiri?
Pertanyaan seperti itu sering muncul di benak masyarakat terlebih bagi mereka kalangan menengah ke bawah yang amat “kritis” terhadap kebijakan pemerintah, terutama kebijakan yang dirasa tidak pro rakyat.
Kembali pada pertanyaan di atas. Logikanya cukup sederhana, Indonesia tidak akan mengimpor beras jika telah mampu memenuhi kebutuhan beras nasional secara mandiri. Artinya, impor beras dilakukan karena Indonesia dirasa sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi semua kebutuhan beras bagi sekitar 240 juta jiwa yang tersebar di seluruh wilayah di negeri ini.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2011 Indonesia memproduksi gabah kering giling sebanyak 65.757.000 ton yang berasal dari padi sawah maupun padi ladang. Produksi beras berdasarkan prediksi adalah sekitar 63 % dari produksi Gabah Kering Giling (GKG), maka produksi beras Indonesia pada tahun 2011 adalah 41.426.910 ton.
Konsumsi beras rata-rata penduduk Indonesia pernah menembus angka 152 Kg perkapita pertahun, sedangkan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2011 menurut perkiraan BKKBN yaitu 241 juta jiwa. Jika mengambil nilai konsumsi tertinggi per kapita per tahun, maka konsumsi beras penduduk Indonesia adalah 36.632.000 ton pada tahun 2011. Artinya Indonesia mengalami surplus sebanyak 5 juta ton per tahun.
Perhitungan BPS dan Kementrian Pertanian tersebut tidak semata-mata dapat dijadikan pijakan bagi Bulog selaku badan yang mengurusi kegiatan logistik. Bulog mengatakan bahwa perhitungan tersebut tidak akurat karena hanya dihitung tanpa mempertimbangkan faktor lain seperti potensi gagal panen yang mungkin terjadi disebabkan oleh bencana maupun iklim yang tidak menentu. Selain itu, laju konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian semakin meningkat. Terlebih di daerah perkotaan dimana kebutuhan akan perumahan terus meningkat dan salah satu dampaknya harus mengorbankan lahan pertanian. Hal ini penting diperhatikan agar tidak ada kekeliruan dalam menghitung produktivitas pangan dan konsumsinya terutama beras.
Kegagalan panen yang dikhawatirkan oleh Bulog tidak dapat dihitung berapa jumlahnya atau berapa luasnya. Alasan Bulog mengimpor beras adalah untuk mengamankan stok agar jika terjadi gagal panen atau kemarau berkepanjangan stok beras nasional tetap aman dan harga stabil. Walaupun berdasarkan perhitungan terdapat surplus beras yang cukup besar, kebijakan impor beras untuk keamanan stok tersebut tidak sepenuhnya dapat disalahkan. Hal ini dikarenakan data produksi dan konsumsi pangan di Indonesia masih diragukan keakuratan dalam perhitungannya.
Kekeliruan dalam perhitungan konsumsi beras yang mungkin tidak disadari adalah tidak adanya perhitungan konsumsi beras berdasarkan usia. Sejauh ini data konsumsi yang ditampilkan hanya secara umum saja dengan asumsi semua penduduk mengkonsumsi beras dengan porsi yang sama. Padahal jika dikaji lebih lanjut, konsumsi beras penuduk usia anak-anak tentu akan berbeda dengan konsumsi beras pada usia dewasa. Belum lagi jika menghitung berdasarkan tingkat pendapatan penduduk, konsumsi beras dua porsi sehari mungkin sudah cukup bagi mereka kalangan menengah ke bawah untuk menyambung hidup.
Dalam hal ini, BPS maupun Kementrian Pertanian tidak dapat melakukan generalisasi terhadap kebutuhan beras di Indonesia, perlu melakukan klasifikasi berdasarkan unsur-unsur demografi agar hasil perhitungan konsumsi beras lebih valid. Hal ini dapat menjadi acuan ke depannya untuk mempertimbangkan kebijakan impor beras dalam kurun waktu tertentu apakah benar-benar perlu impor atau tidak.
Selain itu, nasib para petani khususnya petani kecil sangat perlu diperhatikan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentu harus memihak kepada rakyat kecil dalam hal ini adalah petani. Rantai tata niaga yang panjang menyebabkan petani tidak memperoleh keuntungan besar, begitu pun dengan masyarakat yang harus membayar beras dengan harga lebih tinggi. Hasil pertanian yang berupa gabah kering giling harus melalui mekanisme pasar yang rumit. Harga gabah dari petani semestinya tidak bergantung pada harga internasional karena tidak ada korelasinya dengan keuntungan petani dan kemampuan konsumen sehingga akan memberatkan kedua pihak dan keuntungan besar hanya didapat oleh pemilik modal atau mereka yang menjadi “bos”.
Tidak sedikit petani di Indonesia yang bekerja namun bukan pada lahan miliknya, atau lebih populer disebut petani gurem. Mereka hanya sebagai kuli untuk menggarap sawah milik tetangga atau orang lain yang memiliki lahan dan modal. Lahan pertanian ini belum tentu akan bertahan lama, karena pemilik lahan tersebut bisa saja mengkonversinya untuk kegiatan lain. Nasib petani gurem ini tentu tidak terjamin kesejahteraannya, karena sawah yang mereka garap keuntungannya bagi pemilik lahan dan hanya sekian persen saja yang akan menjadi pengganti keringatnya.
Persepsi masyarakat mengatakan bahwa lahan pertanian tidaklah menguntungkan karena dianggap tertinggal dan tidak mengikuti perkembangan jaman. Maka tak heran jika banyak lahan pertanian yang terkonversi menjadi lahan untuk kegiatan berbisnis yang lebih kontemporer. Padahal lahan pertanian adalah sumber kehidupan bagi semua orang terlebih bagi Indonesia dengan konsumsi beras tertinggi di Asia Tenggara. Jika berkaca pada negara-negara maju di Eropa, justru lahan pertanian disana sangat terawat dan bahkan pekerjaan bertani bukanlah hal yang asing.
Solusi unruk menyelesaikan permasalahan pertanian di Indonesia sangat mungkin jika dikaitkan dengan otonomi daerah. Setiap kepala daerah terutama memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan-kebijakan bagi daerahnya. Begitupun dengan kebijakan terkait pertanian regional, perlu adanya insentif bagi daerah-daerah yang diperuntukkan bagi lahan pertanian.
Otonomi daerah sangat berperan dalam penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, serta keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI. Pelaksanaan otonomi daerah merupakan amanat UUD 1945 dalam konteks konstitusional maupun legal yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat baik melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat (Isran Noor, 2012).
Konsep otonomi daerah tersebut dapat diimplementasikan ke dalam pemecahan masalah pertanian di Indonesia yang menjadi salah satu perhatian pemerintah saat ini. Pemerintah pusat tentu tidak dapat mengatur secara keseluruhan tanpa adanya dukungan dari pemerintah daerah. Begitupun dengan pemerintah daerah yang perlu dukungan dari pemerintah pusat. Keweangan kebijakan pertanian semestinya diberikan kepada masing-masing pemerintah daerah karena sejatinya pemimpin daerah lebih paham bagaimana karakteristik daerah yang dipimpinnya, termasuk pemahaman tentang kondisi pertaniannya.
Sistem pasar dalam pertanian di Indonesia sudah saatnya untuk diperbaiki. Nasib para petani di daerah-daerah tertinggal khususnya perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah agar kesejahteraan mereka tidak terabaikan. Dalam konteks yang lebih luas pemerintah dapat merubah mindset masyarakat terhadap pembangunan bahwa lahan pertanian itu penting dan menjadi petani bukanlah pekerjaan yang tidak menguntungkan.
Mungkin pernah terpikir dalam benak kita bagaimana luas lahan pertanian di masa yang akan datang dan siapa yang akan meneruskan mengelola lahan pertanian? Saat ini jumlah petani yang berusia dibawah 30 tahun sangat sedikit dan semakin menyusut jumlahnya, sebagian besar petani di Indonesia berusia diatas 40 tahun. Jika jumlah petani terus menyusut setiap tahunnnya dan tidak ada generasi muda yang meneruskannya, maka akan banyak lahan pertanian terabaikan dan terkonversi menjadi lahan non pertanian yang dianggap lebih menguntungkan. Di negara maju seperti Jerman, salah satu dari anggota keluarga diwajibkan menjadi petani dan juga berlaku bagi keturunannya secara berkelanjutan. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan lahan pertanian, terlebih di negara dengan arus globalisasi yang tinggi. lalu bagaimana jika diterapkan di Indonesia?
Pemerintah dalam hal ini kepala daerah sebagai pembuat kebijakan harus segera mengambil langkah untuk menyelesaikan permasalahan pertanian. Tidak perlu menunggu perintah dari pusat yang belum tentu kepastiannya, karena setiap daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur daerahnya masing-masing dengan tetap memperhatikan batasan dan kebijakan pusat agar tidak terjadi tumpang tindih. Jika dianalogikan pemerintah pusat sebagai regulator dan pemerintah daerah dapat berperan sebagai operator dalam konteks normatif. Ini merupakan salah satu kelebihan sistem otonomi daerah dalam implementasi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara merata.
Devki Firmansyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar