Jumat, 28Februari 2014
Pengelolaan Anggaran I Pembiaran Kasus BLBI Berpotensi Picu Gejolak Sosial
JAKARTA – Indonesia mesti siap-siap menderita sakit akibat kebergantungan yang tinggi pada utang, mencapai 2.465 triliun rupiah per Januari 2014, atau naik sekitar 300 triliun rupiah dalam setahun. Ironisnya, utang yang terus membengkak tersebut gagal menyejahterakan rakyat banyak.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan jumlah penduduk miskin meningkat dari 28,07 juta pada Maret 2013 menjadi 28,55 juta pada September 2013, atau naik 480 ribu orang. Secara persentase, angka kemiskinan meningkat dari 11,37 persen menjadi 11,47 persen. Itu berarti, target penurunan kemiskinan menjadi 9,5–10,5 persen pada 2013 meleset jauh, bahkan intensitas kesengsaraan orang miskin makin hebat.
Oleh karena itu, pemerintah diminta segera menghentikan kecanduan utang yang justru akan semakin membebani dan memiskinkan bangsa Indonesia. Negara mesti fokus memperkuat fondasi ekonomi dari sumber pendanaan dalam negeri ketimbang terus mengandalkan era utang murah yang kini mulai berakhir.
Mengenai kecerobohan pemanfaatan utang, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Suharto, menyayangkan pemerintah yang hanya terlena dengan utang, namun mengabaikan tugas pokoknya memperbaiki fundamental ekonomi agar bisa bersaing dengan negara-negara lain. Penambahan utang juga dinilai tidak meningkatkan infrastruktur dasar, terutama di luar Jawa. Akibatnya, pembangunan menjadi tidak merata sehingga berpotensi terjadi kecemburuan sosial.
“Utang telah membuat pemerintah kecanduan dan menyebabkan manajemen pemerintahan kendor, bahkan mismanajemen. Utang juga menyebabkan pemerintah sakit seperti pencandu narkoba (sakau) sehingga tidak pernah sadar bahaya utang,” kata Suharto saat dihubungi, Kamis (27/2).
Sebelumnya, kelompok negara maju mengisyaratkan agar negara berkembang, termasuk Indonesia, menyelesaikan pekerjaan rumah lebih dahulu, yakni memperkuat fondasi ekonomi, ketimbang menyalahkan negara lain atas berakhirnya era utang murah.
Pernyataan sikap negara maju seperti Jerman, Inggris, dan Prancis itu juga dinilai sebagai isyarat bahwa mereka yang selama ini menjadi kreditor kurang puas dengan hasil pemanfaatan bantuan dana mereka ke negara berkembang.
Suharto mengingatkan jika pemerintah terus mempertahankan rezim anggaran defisit yang ditutup dengan utang, kesalahan penggunaan utang makin sulit dikoreksi karena terlena seolah-olah masih memiliki uang.
Akibatnya, lanjut dia, yang menjadi korban adalah rakyat Indonesia karena kemiskinan bakal bertambah akibat melesatnya inflasi yang dipicu kenaikan belanja impor karena depresiasi rupiah.
Sementara itu, lanjut Suharto, kegagagalan memperkuat fundamental ekonomi dan meningkatkan daya saing global akan membuat pengangguran bertambah pesat, yang pada gilirannya akan membuat kemiskinan absolut dan persentase kemiskinan nasional bertambah.
Terancam Bangkrut
Sebelumnya dikabarkan, pemerintah diminta segera menghentikan kebergantungan pada utang meski dalam jangka pendek dampak kecanduan utang selama ini akan terasa “menyakitkan” perekonomian. Pada tahap awal, pemerintah mesti menghentikan utang dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sekaligus melaksanakan hak tagih atas obligor yang belum melunasi kewajiban.
Seperti diketahui, utang negara yang kini mencapai 2.465 triliun rupiah, yang mayoritas bersumber dari utang BLBI, terbukti malah memiskinkan bangsa dan hanya memperkaya obligor pengemplang BLBI.
Untuk itu, Indonesia membutuhkan pemimpin yang jujur dan tegas melaksanakan komitmen penghentian utang. Dan, selanjutnya konsisten membangun kemandirian pangan, energi terbarukan, dan industri dasar guna memperkokoh fundamental ekonomi nasional.
Sementara itu, pengamat hukum dan dosen ilmu kepolisian, Bambang Widodo Umar, mengatakan bila negara terus membayar kewajiban utang obligasi rekap, bukannya tidak mungkin kas negara terkuras dan akhirnya bangkrut. “Dalam keadaan seperti itu, tiap gesekan dalam masyarakat berpotensi memicu konflik sosial. Bukan tidak mungkin gejolak sosial seperti 1998 akan terulang,” ujar Bambang.
Untuk itu, lanjut dia, perlu ada pembenahan dan penyelesaian masalah BLBI, bukan hanya melalui sistem hukum dan perbankan, tetapi juga pembenahan sistem politik. “Pembenahan harus dilakukan secara terintegrasi, baik melalui jalur hukum, politik, maupun perbankan,” tukas Bambang.
Pasalnya, menurut dia, kasus BLBI ini sangat kental nuansa politiknya. Ia pun menilai skandal perbankan itu tergolong kejahatan kemanusiaan. Dalam kasus ini, pelaku menggunakan kelemahan dan kesempatan yang ada di sisi ekonomi, politik, dan hukum untuk merampok uang negara dalam jumlah besar. YK/eko/WP
http://www.koran-jakarta.com/?6861-utang-gagal-turunkan-jumlah-orang-miskin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar