Kamis, 9 Oktober 2014
RATUSAN orang berjalan melingkari tanah lapang, di pinggiran hutan sonokeling, di gelap malam. Obor di tangan meliuk-liuk mengiringi langkah kaki. Sambil berjalan, mereka merapal doa, meminta perlindungan agar dijauhkan dari ancaman bencana. Ancaman itu dilafalkan dengan tegas oleh mereka sebagai ”hama pabrik semen”.
”Bang Suratebang surate Gunung Kendeng ono omo teko kene panggonane kali gede ojo ngganggu, nek ngganggu seblak obor dadi awu. Se hore....” Demikian penggalan mantra yang dirapal Mbah Sarutomo, pemimpin ritual, sambil terus berjalan. Artinya, kira-kira, ”...Bang Suratebang kabar dari Gunung Kendeng ada hama datang kemari tempatnya sungai besar jangan mengganggu, kalau mengganggu ditebas obor jadi abu. Se hore.” Lalu, dengan kompak, orang-orang menyambut dengan sorakan, hore...!
Ritual ”lamporan” yang dilakukan petani di Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Jumat (3/10) malam, itu menutup acara rembuk warga tentang kedaulatan pangan yang digelar sejak pagi. Warga, yang kebanyakan petani itu, datang dari kawasan di sepanjang Pegunungan Kendeng Utara, mulai Pati, Purwodadi, Blora, hingga Rembang. Bahkan, datang wakil warga dari kawasan karst Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan.
Laki-laki, perempuan, anak-anak hingga dewasa, antusias. Keragaman peserta ritual tampak dari penampilan. Beberapa perempuan berjilbab, sebagian berkebaya hitam berkain jarit. Sebagian lelaki berkopiah dan kain sarung, lainnya bersurjan hitam bercelana komprang berikat udeng.
Amrih Widodo, peneliti komunitas Sedulur Sikep dari Australian National University, mengatakan, lamporan adalah ritual masyarakat agraris Jawa. ”Ritual ini biasanya dimaksudkan mengusir lampor atau kekuatan jahat. Bagi petani, lampor bisa mewujud hama perusak tanaman dan berbagai penyakit yang dianggap ancaman,” katanya. ”Kali ini, yang dianggap ancaman besar adalah pabrik semen.”
Amrih datang atas undangan Gunretno, tokoh komunitas Sedulur Sikep. Beberapa akademisi yang selama ini membela petani Kendeng juga datang, seperti Hermanu Triwidodo dan Soeryo Adi Wibowo dari Institut Pertanian Bogor, Eko Teguh Paripurno dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, dan Hendro Sangkoyo dari School of Democratic Ecomy. Selain itu, turut serta tokoh agama, seperti Gus Zaim Uchrowi dan Gus Baehaqi dari Rembang. Ada juga Alissa Wahid, putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid, serta mantan Menteri Sekretaris Negara di era Gus Dur, Bondan Gunawan.
Hidup mati
Sekalipun berasal dari latar belakang berbeda, mereka disatukan semangat melindungi tanah dan air dari ancaman tambang. ”Seumur hidup saya, petani yang menggantungkan air untuk hidup. Kehadiran pabrik semen pasti merusak lingkungan kami. Karena itu, kami tegas menolaknya,” tutur Saidi (54), petani dari Desa Karangawen, Kecamatan Tambakromo, Pati.
Sukinah yang datang dari Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Rembang, juga berharap banyak dari pertemuan itu. Sudah lebih dari dua bulan ia dan puluhan perempuan Gunem lain tinggal di tenda, menolak pembangunan pabrik semen. ”Saya sebenarnya ingin berdialog dengan Pak Gubernur. Saya memilih dia saat pilkada lalu. Saya juga memilih Pak Jokowi. Ayo Pak, jangan lupakan kami,” katanya.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebenarnya diundang, tetapi tidak datang. Ia mengirim anak buahnya, salah satunya Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral Jawa Tengah Teguh Dwi Paryono yang menyatakan, pendirian pabrik semen jalan terus, asal sesuai aturan, termasuk yang di Rembang. ”Pak Surono (Kepala Badan Geologi) juga sudah menganulir surat sebelumnya yang melarang penambangan di Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih Rembang, yang intinya boleh menambang dengan syarat tertentu,” ungkapnya.
Penjelasan Teguh ini mengagetkan warga, khususnya Sukinah dan kawan-kawannya yang datang dari Rembang. Apalagi, sehari sebelumnya, Gunretno juga diberi informasi langsung dari Gubernur bahwa Surono melunak. Sebelumnya, 1 Juli 2014, Surono mengirim surat kepada Gubernur Jateng yang isinya soal kondisi batu gamping di rencana tapak penambangan itu telah ditetapkan sebagai CAT Watuputih, yang sesuai peraturan harus dilindungi.
Saat dikonfirmasi terpisah, Surono tegas menyatakan tidak menganulir surat yang dibuat sebelumnya. Ia memang kembali mengirim surat ke Gubernur. ”Itu pun karena Pak Gubernur meminta penjelasan lagi. Namun, surat terakhir saya tidak ada satu kata pun Badan Geologi mengizinkan boleh menambang di sana,” papar Surono sambil menunjukkan surat itu.
”Kita jangan sampai dipecah belah dan mudah dibujuk-bujuk agar melepas tanah. Mari satukan tekad membela Ibu Pertiwi. Kita tidak akan bisa hidup tanpa tanah dan air. Salam Kendeng lestari,” tutur Gunarti, perempuan tokoh Sedulur Sikep dalam dialog.
Pecah belah
Sekalipun marah dengan sikap Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang dianggap tak membela mereka, para petani Kendeng menunjukkan sikap melawan secara elegan. Selain menggelar dialog untuk mencari jalan keluar dan doa bersama melalui ritual lamporan, acara hari itu juga diramaikan berbagai kegiatan kesenian. Sepanjang acara, gending Jawa berlirik sarat kritik segar terus mengiringi. Acara diselingi pertunjukan teater dan tari dari grup Sahita, Solo.
Empat biduanita yang bersolek seperti petani paruh baya berlenggak-lenggok di tengah petani. Pertunjukan dimulai dengan tembang pangkur, dari Serat Wedatama yang konon ditulis Mangkunegara IV. Dimulai dengan kalimat mingkar mingkuring angkoro, syair tembang ini berisi falsafah kehidupan, seperti hidup bertenggang rasa, menjadi manusia seutuhnya, dan orang berwatak ksatria.
Dialog-dialognya pun segar dan kontekstual sehingga menggugah penonton antusias menyahutinya, ”Anakku, putuku, bakale manggon ning endi? Lemahku mung sak cuil, kuwi wae arepo diiris-iris? Opo iyo jarene awake dewe negoro agraris, ning wis ora bakal nduwe beras? Awake dewe arep mangan opo? Aku arep manggon ning endi?” (Anakku, cucuku, bakal tinggal di mana? Tanahku hanya sedikit, itu pun bakal kalian ambil? Apa iya negara kita masih agraris, tetapi nanti bakal tidak punya beras lagi? Kita mau makan apa? Mau tinggal di mana?).
Para petani itu bersorak. Sebagian tertunduk. ”Saya mbrebes mili (menangis) menyaksikan semangat perlawanan petani di sini,” kata Bondan, sore hari seusai dialog. ”Kita mungkin akhirnya kalah, tetapi harus terus melawan karena Sedulur Sikep ini mungkin benteng terakhir perlawanan warga di Jawa.”
Seperti dikatakan Hendro Sangkoyo, perlawanan petani Kendeng itu bukan hanya mencerminkan konflik antara pengusaha semen dan Sedulur Sikep. ”Namun, kapital global melawan laku sikep. Ini etika kehidupan Sedulur Sikep, juga petani, yang hidup dari tanah dan air, melawan kapital global yang hanya peduli pada keuntungan usaha mereka,” katanya.
(P RADITYA MAHENDRA YASA)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/141009kompas/#/15/