Jumat, 24 Oktober 2014
BANYAK pihak mengakui bahwa kelompok-kelompok relawan memberi kontribusi sangat besar atas terpilihnya pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI dalam Pilpres 2014. Kontribusi para relawan mulai dari proses pencalonan, kampanye pemenangan hingga pelaksanaan penghitungan suara, termasuk dalam sidang gugatan di MK dengan aktif mencari bukti-bukti. Bahkan saat pelantikan, kelompok relawan membuat kegiatan pesta rakyat di sejumlah kota untuk merayakan resminya Jokowi sebagai Presiden. Tidak ada pelantikan presiden yang hiruk-pikuk seperti saat ini.
Besarnya dukungan para relawan terhadap Jokowi-JK konon dilatarbelakangi kesamaan agenda (politik), yakni pembangunan yang pro-rakyat. Sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan atas kontribusi relawan, Jokowi menyertakan mereka sebagai Kelompok Kerja dalam transisi pemerintahan. Selain itu, relawan diminta terus berperan dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Hal ini menunjukan bahwa secara tidak langsung Presiden Jokowi (1) memberi posisi dan akses politik kepada kelompok relawan dan (2) menempatkan kelompok relawan sebagai penopang kekuasaannya.
Istilah relawan (volunteer) mulai dikembangkan pada 1755 oleh seorang Perancis M Fr Voluntaire ketika memberi pelayanan kepada tentara yang sedang berperang. Tugasnya adalah mengabdi secara ikhlas terkait kegiatan altruistik untuk mendorong, memperbaiki, dan meningkatkan kualitas kehidupan di bidang sosial-budaya-ekonomi. Relawan hadir membantu tidak dilandasi motif mencari keuntungan ekonomi dan posisi politik, namun lebih berupa kepedulian, komitmen, serta tanggung jawab bagi upaya memperbaiki kondisi yang ada. Relawan biasanya bekerja dengan tenggat terbatas, bertumpu pada network serta tidak tergantung pada organisasi dan komando maupun dukungan pihak lain (baca: sponsor).
Dengan esensi tersebut, peran dan tugas para relawan pendukung Jokowi seharusnya usai seiring dengan terpilihnya Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019. Tugas berikutnya adalah melihat sejauh mana Presiden Jokowi menjalankan kebijakan dan program pembangunan sesuai dengan komitmennya. Prinsip relawan yang independen secara politik kurang tepat jika diterjemahkan dalam bentuk peran aktif mengusulkan struktur dan personel kabinet hingga mengawal dan menjaga pemerintahan. Relawan tidak diperlukan lagi bila pemerintahan Jokowi menjalankan tugas dengan baik. Sebaliknya, relawan mutlak dituntut bersikap kritis dan menjadi oposisi bila Presiden Jokowi tidak menjalankan pemerintahan dengan baik, melakukan penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Peran (aktif) relawan politik pasca-pilpres memang bisa memunculkan beragam tafsir terhadap keberadaannya. Para relawan dapat dituding bahwa “berlanjutnya” peran mereka sekadar alat atau media untuk memasukkan kepentingan dan agenda politik tertentu. Seolah-olah menjadi relawan merupakan jalur cepat dan jalan pintas untuk memperoleh posisi atau jabatan politik dalam pemerintahan. Karena itu, penting untuk dihindari bahwa relawan politik pada dasarnya bekerja hanya untuk mencari kekuasaan. Jika hal ini terjadi, maka publik akan menilai relawan politik tidak jauh berbeda dibanding partai politik. Perbedaannya, relawan tampak “malu-malu” dan mampu menyembunyikan kepentingan politik yang disandangnya
http://prismaindonesia.com/index.php/editorial/item/325-relawan-politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar