Kamis, 06 Agustus 2015
JAKARTA – Guna meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi pengeluaran devisa untuk impor yang kini jumlahnya mencapai 17 miliar dollar AS, pemerintah sebaiknya mengembalikan wewenang impor pangan kepada Bulog.
Pemberdayaan Bulog ini juga akan memberikan keuntungan kepada pemerintah, sebab pendapatan dari impor kembali ke kas negara.
Ahli statistik ITS Surabaya, Kresnayana Yahya, mengungkapkan sekarang ini impor gandum sudah 8 juta ton, impor kedelai 4 juta ton, impor gula hampir 2,1 juta ton, belum lagi bawang merah dan bawang putih serta lain-lainnya yang nilainya sudah mencapai 17 miliar dollar AS.
“Kenyataan ini menjadikan Indonesia sebagai negara importer bukan produsen pangan. Padahal, kalau pemerintah bisa berhemat mengeluarkan devisa impor, manfaatnya akan langsung dirasakan oleh rakyat. Di antaranya, cadangan devisa akan menguat dan Bank Indonesia tidak perlu terengah-engah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah serta masyarakat tidak perlu pegang dollar AS lagi,” kata Kresnayana saat dihubungi, Rabu (5/8).
Kresnayana menjelaskan, bersamaan pemberian wewenang impor pangan kepada Bulog, pemerintah juga harus merealisasikan Badan Pangan seperti yang telah diamanatkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
“Terbentuknya Badan Pangan ini penting agar wewenang Bulog sebagai pemasok sekaligus penyanggah pangan nasional bisa berjalan. Untuk itu, pimpinan Bulog harus benar-benar bersih dan bertanggung jawab ke presiden, yaitu Badan Pangan,” ujarnya.
Menurut Kresnayana, pemberian wewenang kepada Bulog secara tidak langsung melindungi petani. Sebab, Bulog dan jaringannya telah berpengalaman sebagai penyanggah saat kekurangan atau setelah panen.
“Daripada semua (menteri) urusi impor lebih baik serahkan saja kepada Bulog, jadi satu pintu. Pedagang cukup 25 persen saja. Biarkanlah keuntungan masuk ke negara bukan ke 11 importir. Pemberian wewenang impor pangan kepada Bulog juga akan menekan terjadinya rent seeking,” katanya.
Ganti Menteri
Dijelaskan, yang bisa melindungi petani hanya negara. Sebab, kalau hanya melindungi pedagang tidak perlu jabatan setingkat menteri. Lagi pula, masih ada menteri yang tidak bisa membedakan antara gula untuk rakyat dan industri. Menteri bersangkutan juga tidak mengerti bea tarif yang tidak melindungi petani.
Selain itu, upaya menekan Australia dengan mengurangi impor sapi namun tetap masih impor dari sapi India, yang dikenal sebagai negara yang tidak bebas penyakit mulut dan kuku, terkesan hanya main. Seharusnya, menteri terkait menyatakan: setop impor sapi dari Australia dan bangun industri peternakan secara besar-besaran di dalam negeri.
“Ini pentingnya pergantian menteri segera mungkin. Kalau Jokowi tidak menyadari pentingnya pergantian menteri berarti dia juga tidak menyadari bahayanya ini bagi negara,” tegas Kresnayana.
Kresnayana menambahkan, konservasi cadangan devisa hanya bisa dilakukan dengan mengurangi impor. Selain itu, kekurangan pangan bisa dengan membantu petani yang menghasilkan bahan pangan yang menguntungkan.
“Artinya, bukan sekadar supply dan demand, tapi harus punya strategi dan peduli pada petani. Masa menteri belajarnya cuma supply demand, siapa pun juga bisa. Malah, di saat sekarang ini masih bicara impor sapi, beras dan gula. Ini kan belum melek. Kalau jawabnya karena kita kekurangan, orang kecil pun bisa.”
Dihubungi terpisah pakar pertanian UGM Yogyakarta, Jangkung Handoyo Mulyo, mengatakan biang keladi dari ruwetnya tata niaga gula, adalah tidak adanya neraca produksi dan konsumsi gula secara nasional. Sehingga menteri terkait bisa mengklaim apapun, impor maupun tidak impor.
Bahkan tekanan dari para produsen pengolah gula rafinasi bisa memutuskan impor atau tidak impor “Akhirnya tiap ada keputusan apapun selalu menimbulkan keresahan, terutama di kalangan petani yang aksesnya lemah. Negara kan mustinya melindungi yang lemah bukan malah memberi jalan yang kuat untuk mematikan yang lemah,” kata Jangkung.
Petani memerlukan kepastian bahwa hasil produksinya bisa diserap pasar dengan harga yang memberi keuntungan. Tapi sayangnya tanpa tata niaga yang berbasis data neraca gula yang dapat dipercaya, petani sering mendapati harga gulanya kalah dengan gula impor.
Jangkung menyebut setelah neraca gula ada, sumber daya yang ada harus dikerahkan untuk mengawasi tidak terjadinya rembesan gula rafinasi impor ke pasar konsumen rumah tangga. n SB/YK/tgh/AR-2
http://www.koran-jakarta.com/?34056-alihkan%20wewenang%20impor%20%20pangan%20kepada%20bulog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar