Kamis, 29 Oktober 2015
BERKAH di balik musibah. Berkah bagi Thailand dan Vietnam, tapi menjadi musibah bagi Indonesia. Ini akan terjadi andai El Nino terus berkepanjangan, dan hujan tak kunjung mengguyur wilayah kita hingga akhir Oktober ini. Konsekuensinya, Indonesia harus mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam guna mengamankan cadangan beras nasional. Badai El Nino yang berkepanjangan itu berpengaruh pada kemenurunan produksi padi sehingga menyebabkan kelangkaan di pasar dan membuat harga beras melonjak. Usai membuka Trade Expo Indonesia di Jakarta, Rabu (21/10/15), Presiden Joko Widodo mengatakan Indonesia akan mengimpor beras guna memperkuat cadangan nasional bila hujan tak kunjung turun. Namun keputusan itu akan diambil setelah pihaknya mengkaji dampak El Nino dan perkembangan iklim. Andai musim kemarau berlanjut hingga November 2015, pemerintah baru memutuskan mengimpor beras. Pada 13 Oktober 2015, Menko Perekonomian Darmin Nasution juga mengatakan pemerintah telah melakukan pembicaraan dengan Vietnam dan Thailand mengenai impor beras. Rencananya beras yang diimpor itu kurang dari 1 juta ton, atau di bawah jumlah yang kita butuhkan karena stok beras di dua negara itu telah diborong Filipina. Bila kita jadi mengimpor beras berarti kontraproduktif dengan pernyataan Jokowi dan beberapa pejabat. Apalagi Kementan dan Perum Bulog selalu mengklaim stok beras nasional aman sampai akhir 2015. Target swasembada beras pada 2017 yang berujung pada ketahanan pangan pun terancam. Agustus lalu, Kepala Bulog Djarot Kusumayakti meyakinkan stok beras nasional aman hingga akhir 2015, dengan keluar-masuk stok, diserap, dan dikeluarkan sekitar 1,5-1,6 juta ton. Jumlah ini diklaim cukup untuk memenuhi kebutuhan beras bagi warga miskin (raskin) selama empat bulan, yakni sekitar 1 juta ton. Hitungan empat bulan diambil hingga musim panen kembali terjadi pada Maret 2016. Bila stok beras Bulog masih berlebih maka akan digunakan 500 ribu ton stok beras nonmedium. Sementara daya serap Bulog sampai akhir tahun ini diperkirakan 1,5 juta-2 juta ton beras atau gabah setara beras. Mentan Amran Sulaiman juga menyatakan impor merupakan opsi terakhir mengingat stok beras mencukupi hingga akhir tahun ini. Ia mengutip angka ramalan BPS yang menyebut ada sekitar 75,5 juta ton gabah kering giling (GKG) tersedia hingga akhir tahun. Bila El Nino terus melanda diperkirakan stok itu tidak turun drastis, paling hanya menjadi 75,2 juta ton. Karena itu, dana Rp 3,5 triliun yang dicadangkan pemerintah untuk menghadapi El Nino, tidak perlu digunakan mengingat cadangan beras masih aman. Paling Tinggi Standing crop (padi baru tanam) se- Indonesia saat ini 4,1 juta hektare, belum termasuk 250.000 hektare lahan rawa dari potensi lahan rawa lebih dari 800.000 hektare. BPS menyebut produksi padi tahun 2015 tercatat paling tinggi dalam 10 tahun terakhir, diperkirakan 75,55 juta ton GKG, naik 4,7 juta ton (6,64%) dibanding 2014.
Kenaikan diperkirakan terjadi di Jawa sebesar 1,83 juta ton dan di luar Jawa 2,88 juta ton. Mentan juga sesumbar El Nino yang melanda Indonesia saat ini tidak separah El Nino 1997. Bila berkait El Nino 1997 Indonesia harus mengimpor 7,1 ton beras pada 1998 maka pada El Nino saat ini kita justru masih memiliki stok 1,7 juta ton. Mentan mengklaim devisa negara bisa dihemat sekitar Rp 52 triliun tanpa impor beras. Ini tentu menjadi berkah bagi rakyat Indonesia. Sebaliknya bila hujan tidak kunjung turun dan kita harus impor, itu akan menjadi musibah bagi Indonesia dan sebaliknya berkah bagi Thailand dan Vietnam. Dalam 10 tahun terakhir, pada 2004-2014, impor beras Indonesia fluktuatif. Impor tertinggi terjadi pada 2011 sebanyak 2,74 juta ton atau 7,18% dari produksi beras nasional. Adapun yang terendah pada 2005 sebanyak 195 juta ton atau 0,62%. Tahun 2007 dan 2012, impor beras juga cukup besar, masingmasing 1,40 juta ton atau 4,2%, dan 1,93 juta ton atau 4,80%. (43)
— Suharto Wongsosumarto, alumnus Fakultas Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/impor-beras-jadi-musibah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar