Selasa, 07 Januari 2014

Petani Kesulitan Dapat Pupuk Urea

Selasa, 7 Januari 2014

JEMBER, KOMPAS — Menjelang pemupukan tanaman padi yang kini berusia 20-25 hari, petani di Kacamatan Bangsalsari, Jember, Jawa Timur, kesulitan mendapatkan pupuk urea. Hampir semua kios penjual pupuk urea kehabisan.

Gatot Sudibyo, Wakil Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan Kecamatan Bangsalsari, Jember, Senin (6/1), mengatakan, petani sudah mencari pupuk ke mana-mana, tetapi belum juga mendapatkan. ”Padahal, sekarang sudah mulai melakukan pemupukan tanaman,” kata Gatot Sudibyo.

Areal tanaman padi di Desa Sukorejo, Kecamatan Bangsalsari, yang membutuhkan pemupukan sesegera mungkin mencapai sekitar 660 hektar. ”Namun, kini, semua jenis pupuk menghilang,” kata Gatot yang juga Ketua Gabungan Kelompok Tani Desa Sukorejo.

Menurut dia, untuk memenuhi kebutuhan petani setiap enam bulan, petani diminta untuk membuat rencana detail kebutuhan kelompok. Namun, sewaktu petani membutuhkan pupuk untuk proses memupuk tanaman padi, ternyata pupuk yang dibutuhkan hilang di pasaran.

Edi Suryanto, Ketua Asosiasi Petani Tanaman Pangan Jember, menambahkan, pada saat belum dimulainya masa tanam padi pertengahan Oktober 2013, petani di Desa Sukorejo digelontori pupuk urea sebanyak-banyaknya. Padahal, pada waktu itu pupuk kurang dibutuhkan. Sebab, petani masih menanam kedelai. Kini, saat petani membutuhkan pupuk urea, justru sulit dicari.

Jumantoro, salah satu distributor PT Pupuk Kaltim dan PT Petrokimia, mengatakan, persediaan pupuk sebenarnya sudah ada. Namun, surat keputusan bupati mengenai alokasinya belum terbit. Agar petani tidak kesulitan pupuk, sebagian pupuk sudah mulai diberikan.

Alokasi pupuk urea pada 2014 di Kabupaten Jember merosot tajam. Pada 2013, kuota urea 87.514 ton, kemudian merosot menjadi 79.620 ton setelah perubahan surat keputusan menteri pertanian. Sekarang, kuota urea hanya 72.151 ton.
Tikus serang padi

Di sebagian wilayah di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, seperti di Desa Pagerbarang, Kecamatan Pagerbarang, hama tikus dilaporkan menyerang tanaman padi. Tikus menyerang tanaman yang berusia 1-1,5 bulan. Akibatnya, tanaman padi di wilayah tersebut rusak.

Wasirun (48), petani di Desa Pagerbarang, mengatakan, serangan hama tikus marak dalam dua pekan terakhir. Kebanyakan tikus memakan tanaman yang berada di bagian tengah dan menyisakan di bagian pinggir.

Kondisi tersebut, menurut Wasirun, mengakibatkan para petani merugi. Mereka harus mengganti tanaman yang rusak dengan tanaman yang baru atau membiarkan begitu saja tanaman yang rusak tersebut tumbuh meski dengan risiko gagal panen. Untuk itu, Wasirun memilih membiarkan sawahnya seluas setengah bau atau sekitar 3.300 meter persegi yang rusak.

Hal tersebut dilakukan karena dia tidak memiliki banyak biaya untuk memperbarui tanaman. Untuk biaya tanam dan perawatan di lahannya itu, Wasirun menghabiskan sedikitnya Rp 3 juta. ”Kalau dipelihara lagi, biayanya menjadi lebih tinggi,” katanya.

Sebenarnya, para petani sudah coba membasmi hama tikus dengan beberapa upaya, antara lain mengelilingi sawah dengan plastik, menyemprotkan obat hama, dan pengasapan. Namun, upaya tersebut belum berhasil. (SIR/WIE)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/140107kompas/#/22/

Daya Saing Komoditas Pangan Melemah

Selasa, 7 Januari 2014

 JAKARTA, KOMPAS — Daya saing komoditas pertanian pangan nasional terus merosot. Hal ini terlihat dari tren harga komoditas pangan utama dan strategis di Indonesia yang cenderung lebih tinggi dibandingkan harga pangan di pasar internasional.

Menurut pengamat perberasan yang juga peneliti Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP) Kementerian Pertanian Husein Sawit, Senin (6/1), saat dihubungi di Bogor, mengatakan, masalah utama produksi pangan tidak pernah menjadi fokus penanganan pemerintah.

Pemerintah terlena dengan lahan pertanian pangan yang terus meningkat. Sekalipun itu tidak rasional di tengah konversi lahan yang terus terjadi. ”Luas lahan pertanian di pantai utara Jawa naik terus padahal konversi lahan besar di sana,” kata Husein.

Masalah fundamental produksi pangan seperti kualitas infrastruktur baik itu jaringan irigasi maupun jalan dan kualitas lahan, tidak pernah dituntaskan. Skala usaha tani juga tak kunjung menjadi fokus perhatian.

Sebaliknya, pemerintah lebih senang melakukan berbagai program subsidi pertanian. Seperti subsidi benih atau pupuk. Tidak pernah menyelesaikan masalah utamanya.

Di sisi lain, kebijakan memberikan insentif harga kepada petani ternyata tidak mampu memperluas areal pertanaman. Meningkatkan kualitas dan perbaikan infrastruktur.

Karena mahalnya harga pangan domestik, masyarakat akan kesulitan mengakses pangan. Ini akan menimbulkan masalah ketahanan pangan baru.

Program swasembada pangan selama ini tidak didesain dalam konteks jangka panjang. Tetapi hanya sepotong-sepotong dan menyisakan masalah kepada pemerintahan berikutnya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia Thomas Sembiring mengatakan, masalah kelangkaan pakan hijauan bagi peternak sapi potong juga tidak menjadi perhatian. Begitu pula dengan pola usaha ternaknya.

Thomas mengatakan, penanganan korupsi seharusnya tidak saja fokus pada urusan anggaran. Tetapi penyajian data yang keliru sehingga menimbulkan kebijakan yang tidak tepat dan memboroskan keuangan negara juga layak dipersoalkan. (MAS)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/140107kompas/#/18/


Kelangkaan Pupuk Bersubsidi, Meresahkan Petani Madiun

Senin, 6 Januari 2014

20140104 110055 384x288 Kelangkaan Pupuk Bersubsidi, Meresahkan Petani Madiun


Madiun – Mulai musim penghujan banyak petani Desa Kuwu Kec. Balerejo Kab. Madiun, Jatim melaksanakan penanaman, khususnya tanaman padi. Mengingat masyarakat Desa ini sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani.

Namun disesalkan  petani desa ini ketika mulai musim tanam tiba mereka kesulitan untuk mendapatkan pupuk bersubsidi akibat dari adanya kelangkaan pupuk dipasaran hingga menjadikan para petani semakin resah.

“Padahal hasil pertanian adalah satu-satunya sebagai penopang hidup kami,” ucap Parto salah satu petani padi Desa Kuwu. Kalau pupuk langka secara otomatis akan merepotkan dan menyusahkan para petani. Hal semacam ini dirasakan sebagian masyarakat yang berada di daerah Kec. Balerejo dan sekitarnya.

“Masyarakat disini saat ini lagi kesusahan untuk mendapatkan pupuk, kalau pupuk sulit semacam ini biasanya kami semua harus membeli dengan harga yang sangat mahal, meski sebenarnya hal ini memberatkan, tapi mau gimana lagi, karena kami tidak mau tanaman padi kami mati dan tidak subur lantaran kekurangan pupuk,” jelasnya.

Lanjutnya, selama ini belum ada tindakan jelas dari Dinas terkait tentang persolan tersebut. Hal itu menjadikan petani mulai cemas dan kuatir tanamannya  tidak bisa tumbuh secara normal dan akan terjadi kegagalan panen.

(Purwanto)

http://www.deliknews.com/2014/01/06/kelangkaan-pupuk-bersubsidi-meresahkan-petani-madiun/#.UstJRfsy9ek

Kementerian Pertanian Pangkas Pupuk Bersubsidi 27 Persen

Senin, 6 Januari 2014

Kementerian Pertanian Pangkas Pupuk Bersubsidi 27 Persen

TEMPO.CO, Banyuwangi - Kepala Bidang Pertanian Dinas Pertanian Perkebunan, Kehutanan, dan Holtikultura Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Pratmaja Gunawan, mengatakan potensi kelangkaan pupuk bersubsidi di wilayahnya akan berlanjut hingga tahun ini. Sebab, Kementerian Pertanian mengurangi jatah pupuk bersubsidi rata-rata 27 persen.

Pengurangan jatah pupuk tersebut berlaku untuk seluruh jenis pupuk bersubsidi. Jatah pupuk urea hanya disetujui 52.468 ton dari usulan 72.357,19 ton. Pupuk SP.36 dari usulan 10.419,39 ton hanya direalisasikan 8.989 ton. Pupuk ZA dari usulan 20.312,44 ton hanya disetujui 15.370 ton.

Pupuk NPK hanya dijatah 21.931 ton dari usulan 26.289,11 ton. Tak hanya pupuk kimia, Kementerian Pertanian juga membatasi jatah pupuk organik sebanyak 11.342 ton dari usulan 19.474,48 ton. "Jatah ini tidak cukup untuk setahun," kata Pratmaja kepada wartawan, Senin, 6 Januari 2013.

Pratmaja menjelaskan, pengurangan jatah pupuk ini terjadi sejak 2013. Bahkan pada Desember lalu, petani di tiga kecamatan di Banyuwangi kebingungan mendapatkan pupuk padahal mereka sedang musim tanam.

Dia meminta petani beralih menggunakan pupuk organik yang berbahan kotoran ternak. Cara lainnya, dengan memanfaatkan tanaman ryzobium seperti kacang-kacangan, kedelai, dan lamtoro. Tanaman jenis ini mengandung bakteri yang dapat mengikat nitrogen lebih banyak.

Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Banyuwangi, Sapuan, mengatakan, pengurangan jatah pupuk itu bisa mengancam produksi padi di Banyuwangi. Sebab, petani biasa memakai urea antara 1-2 kuintal per hektarenya. "Kalau urea kurang, produksi akan turun," kata dia.

Menurut Sapuan, petani sendiri belum seluruhnya memakai pupuk organik. Langkanya pupuk bersubsidi, kata dia, akan membuat biaya produksi petani membengkak sebab petani terpaksa memakai pupuk non-subsidi yang harganya dua kali lipat.

IKA NINGTYAS

http://www.tempo.co/read/news/2014/01/06/173542671/Kementerian-Pertanian-Pangkas-Pupuk-Bersubsidi-27-Persen

Wereng Mengganas

Senin, 6 Januari

Curah Hujan Memicu Hama Padi Berkembang

BANYUMAS, KOMPAS — Curah hujan tinggi di wilayah Jawa Tengah bagian selatan selama beberapa pekan terakhir memicu serangan hama wereng batang coklat di sejumlah areal pertanian padi di Kabupaten Banyumas dan Cilacap. Sedikitnya 915 hektar sawah terserang hama wereng dan sebagian di antaranya dinyatakan puso.

Kepala Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP) Dinas Pertanian Jawa Tengah Wilayah Banyumas Tri Gunawan, Minggu (5/1), mengatakan, dalam kondisi curah hujan yang cukup tinggi tingkat kelembaban tanah akan semakin tinggi sehingga memengaruhi peningkatan pertumbuhan bakteri, termasuk perkembangbiakan wereng batang coklat.

Berdasarkan data LPHP Banyumas, hingga akhir Desember wereng masih menyerang sekitar 330 hektar sawah di Banyumas dan 33 hektar di antaranya dinyatakan puso. Sementara di Cilacap, wereng menyerang areal pertanian seluas 585 hektar dan 7 hektar di antaranya puso.

Warna padi yang terserang wereng berubah mengering kuning kecoklatan. Pada tanaman yang sudah mulai berbulir, bulir padi juga gabuk atau kosong.

Suwardiman (45), petani Desa Ciberung, Kecamatan Ajibarang, mengatakan, sebagian dari lahan padi seluas 1 hektar yang digarap kini sudah mulai mengering setelah diserang hama wereng. ”Tinggal sepertiga yang masih coba saya selamatkan. Saya rutin menyemprot pestisida setiap tiga hari sekali,” ucapnya.

Petani Desa Ajibarang Wetan, Kecamatan Ajibarang, Tisno Jawardi (51), mengeluhkan serangan wereng semakin meluas dalam waktu singkat sejak awal tahun. Bahkan, selain wereng, tanaman padi berusia sekitar 45 hari di sawah seluas 500 meter persegi miliknya juga diserang hama belalang.

”Kalau sampai tidak bisa diselamatkan lagi, saya merugi jutaan rupiah. Apalagi, harga obat pestisida juga semakin mahal,” ujarnya.
Lokalisasi serangan

Ketua Forum Komunikasi Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (FKP4S) Kabupaten Banyumas Muthohar mengatakan, curah hujan yang tinggi selama musim hujan sangat mendukung hama wereng dan penyakit berkembang. Ia menyarankan supaya serangan wereng dilokalisasi sehingga tidak menyebar ke hamparan sawah lain.

Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah Suryo Banindro membenarkan, sepanjang musim hujan hingga akhir Desember 2013 tidak kurang 17.713 hektar lahan tanaman padi di 10 kabupaten di Jawa Tengah kebanjiran. Lahan padi seluas 3.669 hektar dinyatakan puso alias gagal panen.

Lahan terluas yang kebanjiran berada di Kabupaten Kebumen, yaitu 9.353 hektar, dan Purworejo 7.021 hektar. (GRE/WHO)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/140106kompas/#/22/


Rabu, 01 Januari 2014

Target Swasembada Pangan Utama Sulit Terealisasi

Rabu, 1 Januari 2013


Sejumlah kalangan pesimistis target swasembada pangan pada 2014, khususnya pada lima komoditas pangan utama, yakni beras, jagung, kedelai, gula, dan daging, dapat terwujud. Sebab, hingga triwulan akhir 2013, ketersediaan kelima komoditas tersebut masih mengandalkan impor.

Bahkan, Ketua Komisi IV DPR, Romahurmuzy, menyatakan empat dari lima komoditas tersebut tak akan mencapai swasembada pada 2014, kecuali beras. Beras pun diprediksi tak akan mencapai target 10 juta ton.

Menurut dia, dengan adanya aturan pembebasan impor daging premium dan impor bebas sapi siap potong, sesungguhnya swasembada daging sapi ini sudah melenceng jauh dari target yang harus dicapai.

Begitu juga dengan komoditas gula, politisi dari PPP itu menilai ada kesalahan perencanaan. Menurutnya, insentif seharusnya diberikan kepada pabrik gula berbasis tebu, bukan pabrik rafinasi.

Begitu pula dengan kedelai. Saat ini produksi nasional hanya 748.000 ton, jauh dari kebutuhan nasional yang sebesar 2,2 juta ton.
Peningkatan produksi kedelai terkendala sejumlah faktor, mulai dari perluasan area tanam baru hingga kebijakan tata niaga yang terkesan malah menguntungkan jika komoditas tersebut diimpor daripada diproduksi dalam negeri.

Produksi jagung dalam negeri saat ini belum memenuhi syarat industri sehingga impor masih menjadi pilihan.

Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir, menilai target pemerintah untuk swasembada pangan sangat sulit karena anggaran untuk sektor pertanian dan nelayan sangat kecil, kemudian infrastruktur seperti irigasi tidak memadai.

"Sebanyak 52 persen infrastruktur pertanian mengalami kerusakan, dan butuh 21 triliun rupiah untuk perbaikan," katanya. Selain itu, tambahnya, subsidi pupuk terus dikurangi, dan terakhir adalah penyaluran benih yang tidak teratur.

Pakar gizi dan keamanan pangan dari Institut Pertanian Bogor, Prof Ahmad Sulaiman, mengatakan swasembada pangan secara keseluruhan akan mengalami hambatan. Kondisi itu disebabkan selama ini, swasembada pangan hanya bertumpu pada Kementerian Pertanian.

Padahal swasembada pangan harus melibatkan kementerian lainnya, seperti Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pekerjaan Umum.

"Selama ini swasembada pangan diserahkan kepada Mentan. Ketika produksi kemudian Kemendag memiliki kebijakan lain dan dipengaruhi oleh importir dan impor pun masuk. Akibatnya, ketika petani semangat menanam namun harganya jatuh akibat produk impor," katanya.

Kementerian PU harus bertanggung jawab untuk pengairan. Selama ini, waduk dan irigasi untuk mengalirkan air ke sawah-sawah petani merupakan warisan dari pemerintah Orde Baru, dan 53 persen rusak. "Itu menjadi penyebab pemerintah belum mencapai sasaran," katanya.

Anggota Komisi IV DPR, Viva Yoga Mauladi, menilai program swasembada pangan hanya merupakan target politik. Dia juga pesimistis swasembada pangan 2014 bisa terwujud.

Salah satu penyebabnya adalah politik anggaran pemerintah yang tidak berpihak pada sektor pertanian. Hal itu tecermin dari minimnya alokasi anggaran Kementan. Menurutnya, Kementan tidak masuk 10 prioritas yang mendapat anggaran besar. Tahun 2014, anggaran Kementan bahkan dipangkas menjadi 15,5 triliun rupiah dari sebelumnya 16,5 triliun rupiah.

Anggota Komisi IV DPR yang juga mantan Menteri Transmigrasi, Siswono Yudhohusodo, menambahkan ketersediaan lahan yang terbatas juga akan menjadi penghambat tercapainya swasembada lima komoditas pada 2014.

Saat ini, lahan pertanian yang mendukung produksi produk utama pangan adalah 10 juta ha atau tidak berbeda jauh dengan lahan perkebunan sebesar 8 juta ha. "Perluasan lahan pertanian sangat diperlukan. Jika tidak, kita akan terus melakukan kebijakan impor pangan," ujarnya.

Tetap Optimistis

Sementara itu, Menteri Pertanian, Suswono, mengaku tetap optmistis bisa mencapainya. Menurut dia, jika dilihat dalam persentase, untuk beras, tingkat swasembada sudah 100 persen, sedangkan jagung 98 persen, dan gula pasir 95 persen. Kemudian untuk kedelai sekitar 30 persen, dan daging sapi sudah 85 persen.

Seperti diketahui, pemerintah menetapkan untuk mencapai swasembada pangan pada tahun 2014, target produksi padi adalah sebesar 76,57 juta ton, jagung 20,82 juta ton, kedelai 2,7 juta ton, gula 3,1 juta ton, dan daging sapi 530.000 ton.

Kementan hanya merevisi target swasembada gula. Masalahnya, swasembada tersebut tidak tercapai karena penambahan lahan yang tidak ada, revitalisasi pabrik belum terlaksana, dan tidak adanya pembangunan pabrik gula baru.

Terkait turunnya anggaran Kementan, Suswono mengatakan, menurunnya anggaran tidak akan mengganggu upaya swasembada, namun Kementan tetap akan mengajukan tambahan anggaran melalui Inisiatif Baru sebesar 7,55 triliun rupiah. Dengan demikian, total anggaran yang diusulkan kementeriannya di tahun depan mencapai 22,96 triliun rupiah.

Mentan mengakui masih ada berbagai kendala yang dihadapi untuk mencapai sasaran produksi pangan, antara lain laju alih fungsi lahan pertanian yang sangat tinggi serta perubahan iklim yang berpengaruh negatif pada upaya peningkatan produksi pangan. Ada pula kendala lainnya, seperti kerusakan infrastruktur pertanian, jalan, dan saluran irigasi yang mencapai 50 persen lebih.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, sejumlah langkah telah diambil, antara lain melakukan pencetakan sawah baru untuk menggantikan alih fungsi lahan pertanian serta perbaikan jaringan irigasi guna meningkatkan indeks pertanaman. sdk/Ant/E-3

http://koran-jakarta.com/?2298-target%20swasembada%20pangan%20utama%20sulit%20terealisasi

Konsolidasi Usaha Tani

Selasa, 31 Desember 2013

Sensus Pertanian 2013 mengirim kabar penting tentang rasionalisasi usaha tani.

Selama 10 tahun terakhir telah terjadi pengurangan 5,1 juta rumah tangga pertanian. Pengurangan terjadi pada jumlah petani tunalahan (buruh tani) dan petani berlahan sempit (petani gurem). Buruh tani dan petani gurem itu—terpaksa atau sukarela—telah beralih ke sektor lain, meninggalkan sektor pertanian.

Kabar menarik lain dari Sensus Pertanian 2013 adalah adanya petani gurem yang ”naik kelas”, menggarap lahan lebih luas. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan jumlah petani dengan penguasaan lahan lebih dari setengah hektar. Selain itu, kita jadi makin yakin betapa penting pertanian padi bagi petani. Jumlah rumah tangga yang mengusahakan pertanian padi relatif tidak berubah. Sementara itu, usaha pertanian lain, seperti menangkap ikan, beternak, dan menanam hortikultura, semakin ditinggalkan.

Penurunan peran sektor pertanian dalam penciptaan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja adalah proses lumrah dalam perekonomian yang berkembang. Karena itu, kabar di atas sebenarnya tak terlalu mengejutkan. Tidak perlu membuat kita terlalu khawatir atau berbesar hati. Yang membuat kita sedikit miris: pergeseran komposisi pekerja yang diperoleh dari survei angkatan kerja nasional.

Limpahan pekerja dari sektor pertanian idealnya terserap sektor industri. Sayangnya, peningkatan peran sektor industri relatif kecil, hanya menyerap sebagian kecil pekerja baru. Kenaikan pesat terjadi pada peran sektor jasa, terutama perdagangan dan jasa perorangan. Pekerja yang keluar dari sektor pertanian, boleh jadi, masuk ke sektor tersebut.

Pergeseran pekerja dari sektor pertanian ke sektor jasa memang bukan pola normal dalam perubahan struktur ekonomi. Meski demikian, perubahan dari buruh tani atau petani gurem menjadi buruh atau pengusaha jasa informal tidak selalu berarti menjadi lebih buruk. Informasi yang tersedia kelihatannya tidak cukup untuk membuktikan terjadinya proses pemiskinan pada mantan petani.
Skala usaha tani

Penurunan jumlah rumah tangga petani adalah akibat langsung dari proses konsolidasi untuk mencapai skala usaha tani yang ekonomis. Peningkatan rata-rata penguasaan lahan oleh rumah tangga petani membuktikan adanya proses konsolidasi tersebut. Rata-rata penguasaan lahan sawah, misalnya, naik dua kali lipat. Rata-rata penguasaan lahan pertanian bukan sawah juga naik dengan tingkat kenaikan lebih tinggi. Rata-rata skala usaha tani semakin membesar.

Rumah tangga petani tampaknya makin fokus pada usaha pertanian. Pada tiap rumah tangga petani, jumlah anggota rumah tangga (ART) yang terlibat pada usaha pertanian makin bertambah. Keterlibatan ART petani pada kegiatan usaha nonpertanian berkurang. Rumah tangga petani jadi semakin bergantung pada usaha tani. Kegagalan usaha tani makin berdampak besar pada penurunan pendapatan petani.

Hasil sensus itu kian menegaskan pentingnya industrialisasi di pedesaan. Idealnya, kegiatan industri dapat memberi tambahan nilai pada komoditas pertanian dan menyerap limpahan pekerja dari sektor pertanian. Agar industri dapat tumbuh, peran pemerintah tentu tidak cukup hanya menyediakan infrastruktur fisik. Kapasitas dan kualitas petani perlu disesuaikan dengan kegiatan ekonomi yang berubah.

Perlindungan bagi petani semakin diperlukan: bukan hanya dari dampak volatilitas harga komoditas pertanian, melainkan juga dari risiko gagal panen. Soal perlindungan petani memang belum banyak mendapat perhatian. Namun, perlindungan bukan berarti mengalihkan semua risiko kegagalan kepada pihak lain, termasuk pemerintah. Pemerintah perlu menyediakan skema perlindungan berbiaya rendah dan mendorong petani untuk mengelola risiko berbasis pasar.

Udi H Pungut, Peneliti pada Indonesia Research and Strategic Analysis




http://epaper.kompas.com/kompas/books/131231kompas/index.html#/7/