KETUA Umum Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) Subiyono mengatakan, saat ini tantangan industri gula nasional sangat berat, apalagi implementasi ASEAN Economic Community (Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA) 2015 sudah di depan mata. Dia pun meminta agar daya saing industri gula nasional harus ditingkatkan agar bisa menghadapi persaingan global.
Dengan jumlah penduduk 240 juta jiwa, konsumsi gula terus meningkat, namun di sisi lain pertumbuhan produksi lambat. ”Semua pemain industri gula nasional harus bergegas, apalagi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah di depan mata,” ujarnya.
Menurutnya, dengan kondisi saat ini, industri gula nasional sulit untuk bersaing dalam MEA. Khususnya dengan Thailand yang kini menjadi salah satu eksportir utama gula dunia. Sebagai perbandingan, produksi gula di Thailand berkisar 10,6 juta ton per tahun, sedangkan Indonesia pada 2013 mencatat produksi gula 2,55 juta ton. Rendemen (kadar gula dalam tebu) Thailand mencapai 11,82 persen, sedangkan Indonesia hanya di level 7 persen.
”Kapasitas total pabrik gula di Thailand sekitar 940.000 ton tebu per hari (tons of cane per day/TCD), masih jauh di atas Indonesia yang berkisar 205.000 TCD,” jelas Subiyono.
Ekspor gula Thailand mencapai 8 juta ton, di mana 30 persen di antaranya mengalir ke Indonesia. Adapun Indonesia adalah importir gula, terutama untuk memenuhi kebutuhan gula industri yang meningkat seiring pertumbuhan ekonomi nasional yang cukup tinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Subiyono mengatakan, untuk mendorong daya saing industri gula nasional, kuncinya ada pada tiga hal, yaitu efisiensi, diversifikasi, dan optimalisasi alias EDO. Tiga hal itu harus dilakukan bersamaan karena memang saling memengaruhi.
Selama ini, industri gula nasional belum efisien, terbukti dari biaya produksi gula yang masih mahal dibanding gula impor. Indonesia juga belum serius menggarap diversifikasi produk turunan tebu non-gula, seperti bioetanol dan listrik dari ampas tebu melalui program co-generation. Padahal, di Brasil, India, atau Thailand, diversifikasi produk sudah menjadi andalan pendapatan industri berbasis tebu.
Bahkan, di sebagian perusahaan berbasis tebu di luar negeri, pendapatan dari produk non-gula seperti bioetanol dan listrik dari ampas tebu sudah lebih besar dibanding pendapatan dari produk gula. ”Di Brazil, sekitar 18 persen kebutuhan energinya disumbang oleh bahan bakar berbasis tanaman tebu. Uang dari diversifikasi produk inilah yang ikut menyangga ekspansi pabrik gula di luar negeri untuk modernisasi mesin dan riset-riset budidaya tebu biar semakin produktif,” kata Subiyono.
Di Indonesia, diversifikasi produk belum digarap serius. Padahal, setiap 1 ton tebu setelah diproses bisa menghasilkan surplus listrik 100 kWh, bioetanol sebanyak 12 liter, dan biokompos sebesar 40 kilogram.
Terkait optimalisasi, Subiyono menambahkan, industri gula nasional belum optimal. Kapasitas giling dari 62 pabrik gula yang ada di Indonesia mencapai 205.000 ton tebu per hari (TCD). Dengan asumsi 170 hari giling dan rendemen 9 persen, maka produksi gula seharusnya 3,1 juta ton.
Faktanya, kini produksi gula konsumsi hanya di kisaran 2,5 juta ton. ”Artinya, belum optimal,” kata dia. Masalah optimalisasi ini juga terkait erat dengan tingkat teknologi. Sebagian pabrik gula masih menggunakan teknologi lama yang tak efisien. Menurut Subiyono, industri gula nasional harus total dalam memacu optimalisasi.
Optimalisasi kapasitas sangat relevan mengingat barrier to entry (hambatan untuk masuk) ke industri gula sangat tinggi. Industri gula merupakan industri padat modal dengan investasi USD 24 juta untuk pembangunan pabrik per kapasitas 1.000 ton.
Selain itu, produsen harus menyiapkan lahan budidaya tebu yang mencapai puluhan ribu hektar serta membangun infrastruktur berupa jalan untuk angkat-angkut tebu dan saluran irigasi. ”Barrier to entry yang tinggi ini membuat pemain lama bisa lebih eksis dan punya peluang lebih besar untuk memacu kinerja asalkan mempunyai strategi yang tepat,” pungkasnya. (eri/mas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar