Senin, 7 April 2014
JAKARTA, KOMPAS — Reforma agraria sebagai solusi dasar atas berbagai persoalan akut di Indonesia, termasuk kesenjangan ekonomi, masih sebatas wacana. Sudah saatnya pemerintah memprioritaskan isu ini dalam kebijakan pembangunan lima tahun ke depan.
Kesenjangan ekonomi masyarakat Indonesia semakin parah selama tahun 2011-2013. Rasio gini sebagai indikatornya, stagnan di angka 0,41. Persoalan ketimpangan penguasaan lahan diyakini sebagai akar persoalannya, termasuk akar persoalan juga bagi masalah kemiskinan, pengangguran, konflik agraria, dan pengelolaan sumber daya alam. Oleh sebab itu, sejumlah pihak kembali menyerukan pentingnya isu reforma agraria agar menjadi prioritas pembangunan dalam lima tahun ke depan.
Dari data Badan Pertanahan Nasional (BPN), 56 persen aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia. Sementara Sensus Pertanian 2013 menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga tani hanya menguasai lahan rata-rata 0,89 hektar (ha). Sebanyak 14,25 juta rumah tangga tani lainnya hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 ha per keluarga. Padahal, skala ekonominya minimal 2 ha.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin saat dihubungi di Jakarta, Minggu (6/4), menyatakan, reforma agraria adalah janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kampanye tahun 2009. Namun, mendekati akhir periode, isu itu masih sebatas wacana dalam program kerja pemerintah.
”Kami bisa buktikan bahwa selama sepuluh tahun ini justru kepemilikan tanah rakyat semakin hilang karena investasi pertambangan, perkebunan skala besar, dan kehutanan. Bahkan tanah-tanah yang sudah dikelola dan dihidupi rakyat pun hilang,” kata Iwan.
Lahan kelapa sawit
Luas perkebunan sawit milik korporasi sekitar 11 juta ha. Namun, luas perkebunan rakyat kurang dari 20 persennya.
Total areal hutan tanaman industri (HTI) dan hak pengusahaan hutan (HPH) lebih dari 40 juta ha, sementara hutan desa yang pengelolaannya diberikan kepada rakyat kurang dari 1 juta ha.
Hutan yang dikonversi menjadi perkebunan belakangan ini mencapai lebih dari 6 juta ha. Hampir semuanya untuk perkebunan sawit. Namun, hutan yang diserahkan pengelolaannya kepada rakyat nihil.
Absennya reforma agraria juga menyebabkan maraknya konflik agraria. KPA mencatat, 369 kasus konflik agraria dengan korban 24 orang tewas tahun 2013. Tanah yang disengketakan lebih dari 1,2 juta ha. Sebagian besar perkebunan dan kehutanan.
”Pemerintah yang baru harus punya agenda untuk menjalankan reforma agraria. Itu bukan pekerjaan yang sulit karena aturan hukumnya sudah ada. Hanya butuh kepemimpinan kuat dan niat politik untuk menjalankannya. Ingat, reforma agraria bukan berarti mempertahankan struktur agraris masyarakat melainkan memodernkan struktur agraria dengan dasar yang lebih adil,” kata Iwan.
Peneliti Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia, Iswan Kaputra, di Medan, menyatakan, pemerintah menjanjikan redistribusi 8,15 juta ha lahan kepada rakyat. Namun, sampai sekarang, janji itu tinggal janji.
Redistribusi lahan yang terjadi di sejumlah daerah selama ini, menurut Iswan, merupakan inisiatif rakyat sendiri melalui kelompok masyarakat sipil. Namun, skalanya kecil dan menemukan banyak persoalan yang tak pernah difasilitasi pemerintah. Di Sumatera Utara, misalnya, terdapat berbagai macam model mafia tanah. Di samping itu, ada juga perlawanan dari korporasi.
”Kalau Indonesia mau maju dan berkeadilan, reforma agraria wajib diprioritaskan dalam pemerintahan baru nanti. Mengapa reforma agraria, karena Indonesia ini, kan, basisnya agraris sehingga mutlak setiap petani berhak mendapatkan lahan yang layak sebagai media bercocok tanam,” kata Iswan. (LAS)
http://epaper.kompas.com/kompas/books/140407kompas/#/17/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar