Sabtu, 5 April 2014
TANJUNG JABUNG TIMUR, KOMPAS — Petani di 20 desa di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, menghidupkan kembali gerakan bertani secara organik. Gerakan ini berhasil membebaskan mereka dari ketergantungan konsumtif pada berbagai produk pertanian.
Eko Prasetyo, petani Desa Pandan, Kecamatan Geragai, Jumat (4/4), mengatakan, petani selama ini menghabiskan biaya Rp 3 juta per hektar selama satu kali masa tanam padi atau empat bulan. Uang tersebut digunakan untuk membeli pupuk kimia, pestisida, herbisida, dan fungsisida serta membayar upah buruh tanam.
Setelah kembali pada sistem pertanian organik, Eko menambahkan, tidak hanya efektif memulihkan kesuburan tanah, tetapi juga berhasil menekan biaya produksi hingga lebih dari 90 persen. ”Sekarang padi sudah menjelang dipanen, tetapi biaya yang saya keluarkan untuk pemupukan dan pembasmian hama baru Rp 98.000,” ujar Eko.
Sejauh ini, petani menerapkan sistem organik secara menyeluruh, mulai dari pengolahan lahan hingga panen. Eko menambah kesuburan tanah dengan menebar kotoran sapi, abu, atau sedikit kapur.
Setelah penyemaian ditanam ke lahan, Eko memanfaatkan bahan alam di sekitar rumah untuk memacu pertumbuhan tanaman serta mengendalikan penyakit dan hama.
”Sebelum disemai, benihnya direndam dengan air sirih semalaman. Tanaman jadi sehat dan tumbuh lebih cepat,” lanjut Eko, yang memanfaatkan kunyit olahan sebagai pengganti insektisida, air kelapa sebagai pengganti herbisida, singkong olahan sebagai pembasmi tikus dan babi, serta urine sapi.
Sejak penggunaan sistem organik, tanamannya tidak mengalami masalah. ”Bahkan, tikus dan babi tidak lagi mengganggu padi. Hama ini pasti akan mati setelah memakan singkong dengan olahan air kelapa yang disebarkan di sawah,” kata Eko.
Relawan tani dari Lembaga Mitra Aksi, Ngatimin, menambahkan, pola pertanian yang diterapkan selama ini membuat petani konsumtif dan bergantung pada pasar. Pembasmi hama dan penyakit semuanya dari bahan kimia. ”Padahal, semestinya petani bisa diberdayakan untuk memproduksi sendiri. Seluruh bahan ada di desa,” ujar dia.
Saat ini, Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur menggagas insentif bagi petani yang tidak mengalihfungsikan sawahnya untuk tanam sawit. Sebanyak 15.000 petani dengan lahan seluas 18.000 hektar masuk program insentif pengembangan pola pertanian organik. Namun, petani tetap dikondisikan jadi konsumtif dengan pupuk organik di pasaran.
Kurang produksi
Produksi padi di Provinsi Maluku setiap tahun hanya sekitar 180.000 ton gabah kering giling atau sepertiga dari total kebutuhan masyarakat. Salah satu penyebab kurangnya produksi karena alih fungsi lahan potensial menjadi daerah perkebunan.
”Jumlah produksi padi di Maluku sangat kurang sehingga untuk pemenuhan kebutuhan masih disuplai daerah lain. Maluku belum bisa mencapai swasembada beras seperti diharapkan,” kata Kepala Dinas Pertanian Provinsi Maluku Diana Padang. (ITA/FRN/VDL)
http://epaper.kompas.com/kompas/books/140405kompas/#/22/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar